Anda di halaman 1dari 13

Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS Bandung

Sari Kepustakaan
Divisi
: Respirologi
Oleh
: Siti Deinar Andhitya
Andi Arfandi Arifudin
Nyoman Ayu Anggayanti
Idawati Muhajir
Jihad Harun Sandiah
Yossy Yoanita Ariestiana
Pembimbing
: Prof.dr. Cissy R.S. Prawira, Sp.A(K),MSc.,PhD
Prof.Dr.dr.Hesa Melinda, Sp.A(K), M.Kes
Dr. Diah Asri Wulandari, Sp. A(K).
Dr. Sri Sudarwati Sp.A(K)
Hari/Tanggal
: 04 November 2016
BRONKOPNEUMONIA
Pneumonia adalah infeksi saluran pernafasan akut bagian bawah yang mengenai parenkim
paru. Pneumonia pada anak dibedakan menjadi:
1) Pneumonia lobaris
2) Pneumonia interstisial (bronkiolitis)
3) Bronkopneumonia.
Pneumonia adalah salah satu penyakit yang menyerang saluran nafas bagian bawah yang
terbanyak kasusnya didapatkan di praktek-praktek dokter atau rumah sakit dan sering
menyebabkan kematian terbesar bagi penyakit saluran nafas bawah yang menyerang anakanak dan balita hampir di seluruh dunia. Diperkirakan pneumonia banyak terjadi pada bayi
kurang dari 2 bulan, oleh karena itu pengobatan penderita pneumonia dapat menurunkan
angka kematian anak.
Bronkopneumonia disebut juga pneumonia lobularis yaitu suatu peradangan pada
parenkim paru yang terlokalisir yang biasanya mengenai bronkiolus dan juga mengenai
alveolus disekitarnya, yang sering menimpa anak-anak dan balita, yang disebabkan oleh
bermacam-macam etiologi seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing.
Kebanyakan kasus pneumonia disebabkan oleh mikroorganisme, tetapi ada juga sejumlah
penyebab non infeksi yang perlu dipertimbangkan. Bronkopneumonia lebih sering
merupakan infeksi sekunder terhadap berbagai keadaan yang melemahkan daya tahan tubuh
tetapi bisa juga sebagai infeksi primer yang biasanya kita jumpai pada anak-anak dan orang
dewasa.
Bronkopneumonia adalah salah satu jenis pneumonia yang mempunyai pola
penyebaran bercak, teratur dalam satu atau lebih area terlokalisasi di dalam bronchi dan
meluas ke parenkim paru yang berdekatan di sekitarnya (Smeltzer & Suzanne C,2002:57).
Bronkopneumonia adalah peradangan paru yang disebabkan oleh bermacam-macam
etiologi jamur dan seperti bakteri, virus, dan benda asing( Ngastiyah,2005)Bronkopneumonia
adalah bronkolius terminal yang tersumbat oleh eksudat, kemudian menjadi bagian yang
terkonsolidasi atau membentuk gabungan di dekat lobules, disebut juga pneumonia lobaris
(Whaley& Wong,2000).
Bronkopneumonia berasal dari kata bronchus dan pneumonia berarti peradangan pada
jaringan paru-paru dan juga cabang tenggorokan (broncus). (Arief Mansjoer)
Bronkopneumonia suatu cadangan pada parenkim paru yang meluas sampai bronkioli
atau dengan kata lain peradangan yang terjadi pada jaringan paru melalui cara penyebaran
langsung melalui saluran pernafasan atau melalui hematogen sampai ke bronkus (Riyadi
sujono& Sukarmin,2009).
1

Kesimpulannya bronkopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh


agen infeksius seperti bakteri, virus, jamur dan benda asing yang mengenai daerah bronkus
dan sekitar alveoli.
Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Saluran Pernafasan


(Sumber;http//www.medicastore.com )

1)

1)
2)
3)

1. Anatomi
Organ pernafasan berguna bagi transgportasi gas-gas dimana organ-organ pernafasan tersebut
dibedakan menjadi bagian dimana udara mengalir yaitu rongga hidung, pharynx, larynx,
trakhea, dan bagian paru-paru yang berfungsi melakukan pertukaran gas-gas antara udara dan
darah.
a. Saluran nafas bagian atas, terdiri dari:
Hidung yang menghubungkan lubang-lubang sinus udara paraanalis yang masuk kedalam
rongga hidung dan juga lubang-lubang naso lakrimal yang menyalurkan air mata kedalam
bagian bawah rongga nasalis kedalam hidung
2) Parynx (tekak) adalah pipa berotot yang berjalan dari dasar teanggorokan sampai
persambungannya dengan esophagus pada ketinggian tulang rawan krikid maka
letaknya di belakang hidung (naso farynx), dibelakang mulut(oro larynx), dan
dibelakang farinx (farinx laryngeal)
b. Saluran pernafasn bagian bawah terdiri dari :
Larynx (Tenggorokan) terletak di depan bagian terendah pharnyx yang memisahkan dari
kolumna vertebra, berjalan dari farine-farine sampai ketinggian vertebra servikalis dan masuk
ke dalam trakhea di bawahnya.
Trachea (Batang tenggorokan ) yang kurang lebih 9 cm panjangnya trachea berjalan dari
larynx sampai kira-kira ketinggian vertebra torakalis ke lima dan ditempat ini bercabang
menjadi dua bronchus (bronchi).
Bronchus yang terbentuk dari belahan dua trachea pada ketinggian kira-kira
vertebralis torakalis kelima, mempunyai struktur serupa dengan trachea yang dilapisi oleh
jenis sel yang sama. Cabang utama bronchus kanan dan kiri tidak simetris. Bronchus kanan
lebih pendek, lebih besar dan merupakan lanjutan trachea dengan sudut lancip. Keanehan
anatomis ini mempunyai makna klinis yang penting.Tabung endotrachea terletak sedemikian
rupa sehingga terbentuk saluran udara paten yang mudah masuk kedalam cabang bronchus
kanan. Kalau udara salah jalan, makap tidak dapat masuk kedalam paru-paru akan kolaps
(atelektasis).Tapi arah bronchus kanan yang hampir vertical maka lebih mudah memasukkan
kateter untuk melakukan penghisapan yang dalam. Juga benda asing yang terhirup lebih
mudah tersangkut dalam percabangan bronchus kanan ke arahnya vertikal. Cabang utma
bronchus kanan dan kiri bercabang-cabang lagi menjadi segmen lobus, kemudian menjadi
2

segmenbronchiolus
bronchus. Percabangan
terminalis disebut
ini terus-menerus
saluran pengantar
sampai
udara
cabang
karena
terkecil
fungsiyang
utamanya
dinamakan
dalah
bronchioles
sebagai
terminalis
pengantar
yang udara
merupakan
ketemapat
cabangpertukaran
saluran udara
gasterkecil
paru-paru.Diluar
yang tidak mengandung
bronchiolus
alveolus.Bronchiolus
terminalis terdapat
terminalasinus
kurangyang
lebih merupakan
bergaris tengah
unit1 mm.bronchiolus
fungsional paru-paru,
tidak diperkuat
tempat
oleh cincin
pertukaran
tulang gas.
rawan,
Asinus
tetapiterdiri
di kelilingi
bronchiolus
oleh otot
respiratorius,
polos sehingga
yang ukurannya
kadang- kadang
dapat
berubah,memiliki
semua saluran
kantung
udara
udara
dibawah
kecil atau alveoli yang bersal dari dinding mereka.Duktus
alveolaris yang seluruhnya dibatasi oleh alveolus dan sakus alveolaris terminalis
merupakan struktur akhir paru-paru.
4) Paru merupakan organ elastik berbentuk kerucut yang terletak dalam rongga toraks
atau dada. Kedua paru-paru saling terpisah oleh mediastinum central yang
mengandung jantung dan pembuluh-pembuluh darah besar.Setiap paru mempunyai
apeks (bagian atas paru) dan dasar.Pembuluh darah paru dan bronchial, bronkus, saraf
dan pembuluh limfe memasuuki tiap paru pada bagian hilus dan membentuk akar
paru.Paru kanan lebih daripada kiri,paru kanan dibagi menjadi tiga lobus dan paru kiri
dibagi menjadi dua lobus. Lobus-lobus tersebut dibagi lagi menjadi beberapa segmen
sesuai dengan segmen bronchusnya. Paru kanan dibagi menjadi 10 segmen sedangkan
paru dibagi 10 segmen.Paru kanan mempunyai 3 buah segmen pada lobus inferior, 2
buah segmen pada lobus medialis, 5 buah pada lobus superior kiri. Paru kiri
mempunyai 5 buah segmen pada lobus inferior dan 5 buah segmen pada lobus
superior.Tiap-tiap segmen masih terbagi lagi menjadi belahan-belahan yang bernama
lobules. Didalam lobolus, bronkhiolus ini bercabang- cabang banyak sekali, cabang
ini disebut duktus alveolus.Tiap duktus alveolus berakhir pada alveolus yang
diameternya antara 0,2- 0,3mm. Letak paru dirongga dada di bungkus oleh selaput
tipis yang bernama selaput pleura. Pleura dibagi menjadi dua :1.) pleura visceral
(selaput dada pembungkus) yaitu selaput paru yang langsung membungkus paru.2.)
pleura parietal yaitu selaput yang melapisi rongga dada sebelah luar. Antara kedua
pleura ini terdapat rongga (kavum) yang disebut kavum pleura.Pada keadaan normal,
kavum pleura ini vakum (hampa udara)sehingga paru dapat berkembang kempis dan
juga terdapat sedikit cairan (eksudat) yang berguna untuk meminyaki permukaannya
(pleura), menghindarkan gesekan antara paru dan dinding sewaktu ada gerakan
bernafas. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah dari tekanan atmosfir, sehingga
mencegah kolpas paru kalau terserang penyakit, pleura mengalami peradangan, atau
udara atau cairan masuk ke dalam rongga pleura, menyebabkan paru tertekan atau
kolaps.
2. Fisiologi
a. Pernafasan paru (pernafasan pulmoner)
Fungsi paru adalah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida pada pernafasan melalui
paru / pernafasan eksternal, oksigen di pungut melalui hidung dan mulut, pada waktu
bernafas oksigen masuk melalui trachea dan pipa bronchial ke alveoli, dan erat
hubungan dengan darah di dalam kapiler pulmonaris. Hanya satu lapisan membrane
yaitu membrane alveoli kapiler, memisahkan oksigen dari darah, darah menembus dan
dipungut oleh hemoglobin sel darah merah dan dibawa ke jantung. Dari sini dipompa
didalam arteri kesemua bagian tubuh. Darah meninggalkan paru pada tekanan oksigen
mmHg dan pada tingkatan Hb 95% jenuh oksigen.
Didalam paru, karbondioksida salah satu buangan metabolsme menembus membrane
kapiler dan kapiler darah ke alveoli dan setelah melalui pipa bronchial dan trachea di
lepaskan keluar melalui hidung dan mulut.
Empat proses yang berhubungan dengan pernafasan pulmoner pernafasan eksterna:
1)
Ventilasi pulmoner, gerakan pernafasan yang menukar udara dalam alveoli
dengan udara luar.
3

2)

Arus darah melaui paru, darah mengandung oksigen masuk keseluruh tubuh,
karbondioksida dari seluruh tubuh masuk paru.
3)
Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian sehingga jumlahnya yang
bisa dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang membrane alveoli dan kapiler, karbondioksida lebih mudah
berdifusi daripada oksigen.
b. Pernafasan jaringan (pernafasan interna)
Darah yang menjenuhkan hemoglobinnya dengan oksigen (oksihemoglobin) mengitari
seluruh tubuh dan mencapai kapiler, dimana darah bergerak sangat lambat. Sel jaringan
memungut oksigen dari hemoglobin untuk memungkinkan oksigen berlangsung dan darah
menerima sebagai gantinya hasil buangan oksidasi yaitu karbondioksida.
Perubahan perubahan berikut terjadi dalam komposisi udara dalam alveoli, yang
disebabkan pernafasan eksterna dan pernafasan interna atau pernafasan jaringan. Udara
(atmosfer) yang dihirup: Oksigen 20% dan Karbondioksida 0-0.4%
Udara yang dihembuskan: Nitrogen 79%,
Oksigen 16%, Karbondioksida 4-0.4%
Udara yang dihembuskan jenuh dengan uap air dan mempunyai suhunyang sama
dengan badan (20 persen panas badan hilang untuk pemanasan uadra yang
dikeluarkan).
c. Daya muat paru
Besarnya daya muat udara dalam paru 4500 ml- 5000 ml (4,5 5 liter).Udara diproses
dalam paru (inspirasi dan ekspirasi) hanya 10% kurang lebih 500 ml disebut juga udar a
pasang surut (tidal air) yaitu yang dihirup dan yang dihembuskan pada pernafasn biasa.
Pada seorang laki- laki normal (4-5 liter) dan pada seorang perempuan (3-4 liter).
Kapasitas (h) berkurang pada penyakit paru-paru) dan pada kelemahan otot pernafasan.
d. Pengendalian pernafasan
Mekanisme pernafasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor uatam yaitu kimiawi dan
pengendalian saraf. Adanya faktor tertentu, merangsang pusat pernafasan yang terletak
didalm medulla oblongata, kalau dirangsang mengeluarkan impuls yang disalurkan
melalui saraf spiralis ke otot pernafasan ( otot diafragma atau interkostalis).
1) Pengendalian oleh saraf
Pusat pernafasan adalah suatu pusat otomatik dalam medulla oblongata mengeluarkan
impuls eferen ke otot pernafasan, melalui radik saraf sevikalis diantarkan ke diafragma
oleh saraf frenikus.
Impuls ini menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan interkostalis yang
kecepatannya kira- kira 15 kali setiap menit.
2.) Pengendalian secara kimia
Pengendalian dan pengaturan secara kimia meliputi : Frekuensi kecepatan dan
dalamnya gerakan pernafasan, pusat pernafasan dalam sumsum sangat peka sehingga
kadar alkali harus tetap dipertahankan, karbondioksida adalah preduksi asam
metabolisme dan bahan kimia yang asam ini merangsang pusat pernafasan untuk
mengirim keluar impuls saarf yang bekerja atas otot pernafasan.
e. Kecepatan pernafasan
Kecepatan pernafasan secara normal, ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian
istirahat, pada bayi ada kalanya terbalik, inspirasi- istirahat ekspirasi, disebut juga
pernafasan terbalik.
Kecepatan normal setiap menit berdasarkan umur :
Bayi prematur
: 40 90x/menit
Neonatus

: 30 80 x/menit

1 Tahun

: 20- 40x/ menit

Inspirasi atau menarik nafas adalah proses aktif yang diselenggarakan oleh kerja otot.
Kontraksi diafragma meluaskan rongga dada dari atas sampai bawah, yaitu
vertical.Kenaikan iga-iga dan sternum, yang ditimbulkan oleh kontaksi otot interkostalis,
meluaskan romgga dada kedua sisi dari belakang ke depan. Paru yang bersifat elastis
mengembang untuk mengisi ruang yang membesar itu dan udara ditarik masuk kedalam
saluran udara, otot interkostalis eksterna diberi peran sebagai otot tambahan hanya bila
inspirasi menjadi gerak sadar.
Pada ekspirasi, udara dipaksa oleh pengendoran otot dan karena paru kempes kembali,
disebakan sifat elastis paru itu gerakan ini adalah proses pasif.
Ketika pernafasan sangat kuat, gerakan dada bertambah, otot leher dan bahu membantu
menarik iga-iga dan sternum ke atas. Otot sebelah belakang dan abdomen juga dibawa
bergerak.
f. Kebutuhan tubuh akan oksigen
Keadaan genting timbul bila misalnya seorang anak menutupi kepala dan mukanya dengan
kantong plastik menjadi lemas. Tetapi hanya penyadiaaan oksigen berkurang, maka pasien
menjadi kacau pikirannya, ia menderita anoxia serebralis. Hal ini terjadi pada orang yang
bekerja dalam ruangan sempit tertutup seperti dalam ruang kapal, oksigen yang ada
mereka habiskan dan kalau mereka tidak diberi oksigen untuk bernafas atau tidak
dipindahkan ke udara yang normal, maka akan meninggal karena anoxemia. Istilah lain
adalah hypoxemia atau hipoksia. Bila oksigen didalam darah tidak mencukupi maka warna
merahnya hilang dan berubah menjadi kebiru- biruan, bibir telingga, lengan dan kaki
pasien menjadi kebiru- biruan dan keadaan itu disebut sianosis (Evelyn C.Pearce, 2002)
C. Etiologi atau predisposisi
Secara umum individu yang terserang bronchopneumonia diakibatkan oleh adanya
penurunan mekanisme pertahanan tubuh terhadap virulensi organisme pathogen. Orang yang
normal dan sehat mempunyai mekanisme pertahanan tubuh terhadap organ pernafasan yang
terdiri atas : reflek glottis dan batuk, adanya lapisan mucus, gerakan silia yang menggerakan
kuman keluar dari organ, dan sekresi humoral setempat.
Timbulnya bronchopneumonia disebabkan oleh virus, bakteri, jamur, protozoa,
mikrobakteri, mikoplasma, dan riketsia. (Sandra M.Nettina, 2001:628) antara lain:
1. Bakteri : Streptococcus, Staphylococus,H. Influenza, Klebsiella.
2. Virus : Legionella pneumonia
3. Jamur : Aspergillus spesies, Candida albicans
4. Aspirasi makanan, sekresi orofariengal atau isi lambung kedalam paru
5. Terjadi karena kongesti paru yang lama.
Sebab lain dari pneumonia adalah akibat flora normal yang terjadi pada pasien yang daya
tahannya terganggu, atau terjadi aspirasi flora normal yang terdapat dalam mulut dank arena
adanya pneumocystis crania, Mycoplasma. (Smeltzer & Suzanne C, 2002: 572 dan Sandra
M.Nettina, 2001:628).
D. Patofisiologi
Bronchopneumonia selalu didahului oleh infeksi saluran nafas bagian atas yang
disebabkan oleh bakteri staphylococcus, Haemophilus influenza atau karena aspirasi
makanan dan minuman. Dari saluran pernafasan dengan gambaran sebagai berikut:
1.
Infeksi saluran nafas bagian bawah menyebabkan tiga hal, yaitu dilatasi pembuluh
darah alveoli, peningkatan suhu, dan edema antara kapiler dan alveoli
5

2. Ekspansi kuman melaui pembuluh darah kemudian masuk kedalam saluran


pencernaan dam menginfeksinya mengakibatkan terjadinya peningkatan flora normal
dalam usus, peristaltic meningkat akibat usus mengalami malabsorbsi dan kemudian
terjadilah diare yang beresiko terhadap gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
3. Bila pertahanan tubuh tidak kuat maka mikroorganisme dapat melalui jalan nafas
sampai ke alveoli yang menyebabkan radang pada dinding alveoli dan jaringan
sekitarnya. Setelah itu mikroorganisme tiba di alveoli membentuk suatu proses
peradangan yang meliputi empat stadium, yaitu :
4. 1. Stadium I/Hiperemia (4 12 jam pertama/kongesti)
5.
Pada stadium I, disebut hyperemia karena mengacu pada respon peradangan
permulaan yang berlangsung pada daerah baru yang terinfeksi. Hal ini ditandai dengan
peningkatan aliran darah dan permeabilitas kapiler di tempat infeksi. Hiperemia ini terjadi
akibat pelepasan mediator-mediator peradangan dari sel-sel mast setelah pengaktifan sel imun
dan cedera jaringan. Mediator-mediator tersebut mencakup histamin dan prostaglandin.
Degranulasi sel mast juga mengaktifkan jalur komplemen. Komplemen bekerja sama dengan
histamin dan prostaglandin untuk melemaskan otot polos vaskuler paru dan peningkatan
permeabilitas kapiler paru. Hal ini mengakibatkan perpindahan eksudat plasma ke dalam
ruang interstisium sehingga terjadi pembengkakan dan edema antar kapiler dan alveolus.
Penimbunan cairan di antara kapiler dan alveolus meningkatkan jarak yang harus ditempuh
oleh oksigen dan karbondioksida maka perpindahan gas ini dalam darah paling berpengaruh
dan sering mengakibatkan penurunan saturasi oksigen hemoglobin.
6. 2. Stadium II/Hepatisasi Merah (48 jam berikutnya)
7.
Pada stadium II, disebut hepatisasi merah karena terjadi sewaktu alveolus
terisi oleh sel darah merah, eksudat dan fibrin yang dihasilkan oleh penjamu (host) sebagai
bagian dari reaksi peradangan. Lobus yang terkena menjadi padat oleh karena adanya
penumpukan leukosit, eritrosit dan cairan sehingga warna paru menjadi merah dan pada
perabaan seperti hepar, pada stadium ini udara alveoli tidak ada atau sangat minimal sehingga
anak akan bertambah sesak, stadium ini berlangsung sangat singkat, yaitu selama 48 jam.
8. 3. Stadium III/Hepatisasi Kelabu (3 8 hari)
9.
Pada stadium III/hepatisasi kelabu yang terjadi sewaktu sel-sel darah putih
mengkolonisasi daerah paru yang terinfeksi. Pada saat ini endapan fibrin terakumulasi di
seluruh daerah yang cedera dan terjadi fagositosis sisa-sisa sel. Pada stadium ini eritrosit di
alveoli mulai di reabsorbsi, lobus masih tetap padat karena berisi fibrin dan leukosit, warna
merah menjadi pucat kelabu dan kapiler darah tidak lagi mengalami kongesti.
10. 4. Stadium IV/Resolusi (7 11 hari)
11. Pada stadium IV/resolusi yang terjadi sewaktu respon imun dan peradangan mereda,
sisa-sisa sel fibrin dan eksudat lisis dan diabsorpsi oleh makrofag sehingga jaringan kembali
ke strukturnya semula.
12.
13. Determinan Bronkopneumonia
14. a. Faktor Host
15. 1. Umur
16.
ISPA merupakan salah satu penyebab kematian tersering pada anak di negara
sedang berkembang. ISPA ini menyebabkan empat dari 15 juta perkiraan kematian pada anak
berusia di bawah 5 tahun setiap tahunnya, sebanyak dua pertiga kematian tersebut adalah bayi
(khususnya bayi muda). Hampir seluruh kematian karena ISPA pada bayi dan balita
disebabkan oleh Infeksi Saluran Pernafasan bawah Akut (ISPbA), paling sering adalah
pneumonia
17.
Tingginya kejadian pneumonia terutama menyerang kelompok usia bayi dan
balita Faktor usia merupakan salah satu faktor risiko kematian pada bayi dan balita yang
6

sedang menderita pneumonia. Menurut hasil penelitian Taisir (2005) di Kelurahan Lhok
Bengkuang Kecamatan Tapak Tuan Aceh Selatan dengan menggunakan desain Cross
Sectional, IR ISPA balita pada kelompok umur 0-11 bulan (59,1%) lebih tinggi daripada
kelompok umur 12-59 bulan (33,7%).
18. 2. Jenis kelamin
19.
Berdasarkan konsep epidemiologi, secara umum setiap penyakit dapat terjadi
pada laki-laki maupun perempuan. Selain umur, jenis kelamin merupakan determinan
perbedaan kedua yang paling signifikan di dalam peristiwa kesehatan atau dalam faktor risiko
suatu penyakit.
20.
Menurut penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan jenis kelamin berhubungan secara
bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,001) dan diperoleh nilai OR=1,524
(CI 95%=1,495-4,261), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 1,524 kali
lebih besar pada perempuan dibandingkan laki-laki.
21. 3. Status gizi
22.
Kelompok umur yang rentan terhadap penyakit-penyakit kekurangan gizi
adalah kelompok bayi dan balita Masukan zat-zat gizi yang diperoleh pada tahap
pertumbuhan dan perkembangan dipengaruhi oleh : umur, keadaan fisik, kondisi
kesehatannya, kesehatan fisiologis pencernaannya, tersedianya makanan dan aktivitasnya
23.
Status gizi pada balita berdasarkan hasil pengukuran antropometri dengan
melihat kriteria yaitu : Berat Badan per Umur (BB/U), Tinggi Badan per Umur (TB/U), Berat
Badan per Tinggi Badan (BB/TB)
24.
Keadaan gizi yang buruk muncul sebagai faktor risiko yang penting untuk
terjadinya ISPA. Beberapa penelitian telah membuktikan adanya hubungan antara gizi buruk
dan infeksi paru, sehingga anak-anak yang bergizi buruk sering mendapat pneumonia.
Disamping itu adanya hubungan antara gizi buruk dan terjadinya campak dan infeksi virus
berat lainnya serta menurunnya daya tahan tubuh balita terhadap infeksi
25.
Balita dengan gizi yang kurang akan lebih mudah terserang ISPA
dibandingkan balita dengan gizi normal karena faktor daya tahan tubuh yang kurang.
Penyakit infeksi akan menyebabkan balita tidak mempunyai nafsu makan dan mengakibatkan
kekurangan gizi. Pada keadaan gizi kurang, balita lebih mudah terserang ISPA berat bahkan
serangannya lebih lama.
26. Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status gizi berhubungan secara
bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,013) dan diperoleh nilai OR=6,041
(CI 95%=1,067-22,713), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 6,04 kali
lebih besar mempunyai riwayat gizi kurang dibandingkan gizi baik atau sedang. Status gizi
berhubungan dengan daya tahan tubuh, makin baik status gizi makin baik daya tahan tubuh,
sehingga memperkecil risiko pneumonia.
27. 4. Status imunisasi
28. Imunisasi merupakan salah satu cara menurunkan angka kesakitan dan angka
kematian pada bayi dan balita. Dari seluruh kematian balita, sekitar 38% dapat dicegah
dengan pemberian imunisasi secara efektif. Imunisasi yang tidak lengkap merupakan faktor
risiko yang dapat meningkatakan insidens ISPA terutama pneumonia.
29. Bayi dan balita yang pernah terserang campak dan sembuh akan mendapat
kekebalan alami terhadap pneumonia sebagai komplikasi campak. Sebagian besar kematian
ISPA berasal dari jenis ISPA yang berkembang dari penyakit yang dapat dicegah dengan
imunisasi seperti difteri, pertusis, campak. Peningkatan cakupan imunisasi akan berperan
besar dalam upaya pemberantasan ISPA. Untuk mengurangi faktor yang meningkatkan
mortalitas ISPA, diupayakan imunisasi lengkap. Bayi dan balita yang mempunyai status
7

imunisasi lengkap bila menderita ISPA diharapkan perkembangan penyakitnya tidak akan
menjadi lebih berat.
30. Menurut hasil penelitian Widodo (2007) di Tasikmalaya dengan menggunakan
desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan status imunisasi berhubungan
secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita (p=0,009), dan diperoleh nilai
OR=1,758 (CI 95%=1,375-2,883), maka balita yang mengalami pneumonia kemungkinan
1,76 kali lebih besar mempunyai status imunisasi yang tidak lengkap dibandingkan yang
lengkap.
31. Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan imunisasi campak
berhubungan secara bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan (OR
= 2,307; p=0,003), dapat dikatakan bahwa balita yang mengalami pneumonia kemungkinan
2,3 kali lebih besar tidak diimunisasi campak dibandingkan yang telah diimunisasi campak.
32.
33. b. Faktor Agent
34. Bronkopneumonia umumnya disebabkan oleh bakteri seperti Diplococus
pneumonia, Pneumococcus sp, Streptococcus sp, Hemoliticus aureus, Haemophilus influenza,
Basilus friendlander (Klebsial pneumonia), Mycobacterium tuberculosis.
35.
Virus seperti Respiratory syntical virus, Virus influenza, Virus sitomegalik. Jamur
seperti Citoplasma capsulatum, Criptococcus nepromas, Blastomices dermatides,
Cocedirides immitis, Aspergillus sp, Candinda albicans, Mycoplasma pneumonia.
36. Pada zaman sebelum ditemukan antibiotik, pneumokokus merupakan
penyebab pneumonia paling sering (95-98%) dari semua pneumonia yang dirawat di rumah
sakit, dan menyebabkan kematian pada 60% penderita pneumonia dengan bakteriemia dan
pada 20% penderita pneumonia non bakteriemia. Kini, hanya 62% pneumonia disebabkan
oleh kuman pneumokokus dan menyebabkan kematian hanya pada 32% penderita pneumonia
dengan bakteriemia dan 6% menderita pneumonia non bakteriemia.
37. Dahulu kuman gram negatif jarang menyebabkan pneumonia dan
menyebabkan angka kematian 97%, tapi sekarang gram negatif menyebabkan pneumonia
20% dari seluruh penderita pneumonia, menggantikan stafilokokus sebagai penyebab kedua
yang paling sering. Pneumonia sebab gram negatif tetap mempunyai angka kematian yang
tinggi 79%.
38.
39. c. Faktor Lingkungan Sosial
40. 1. Pekerjaan Orang Tua
41.
Penghasilan keluarga adalah pendapatan keluarga dari hasil pekerjaan utama
maupun tambahan. Tingkat penghasilan yang rendah menyebabkan orang tua sulit
menyediakan fasilitas perumahan yang baik, perawatan kesehatan, dan gizi balita yang
memadai. Rendahnya kualitas gizi anak menyebabkan daya tahan tubuh berkurang dan
mudah terkena penyakit infeksi termasuk penyakit pneumonia.
42. Menurut hasil penelitian Heriyana, dkk (2005) di Makassar dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan OR=1,280 (CI
95%=0,686-3,193), dapat dikatakan bahwa bayi yang mengalami pneumonia kemungkinan
1,3 kali lebih besar pada bayi yang memiliki keluarga yang berpenghasilan kurang (dibawah
Upah Minimal Propinsi <Rp. 510.000,00) dibandingkan bayi yang memiliki keluarga yang
berpenghasilan cukup (Rp. 510.000,00).
43. 2. Pendidikan Orang Tua
44. Tingkat pendidikan orang tua yang rendah juga merupakan faktor risiko yang
dapat meningkatkan angka kematian ISPA terutama pneumonia. Tingkat pendidikan ibu akan
berpengaruh terhadap tindakan perawatan oleh ibu kepada anak yang menderita ISPA
8

45. Menurut hasil penelitian Notosiswoyo, dkk (2001) di Indramayu dengan


menggunakan rancangan penelitian survei cepat (Rapid Assement Survey), pendidikan akhir
ibu berhubungan bermakna dengan pengetahuan tentang ISPA (p<0,05). Dilihat dari
pengetahuan ibu bayi/anak balita masih terdapat : tidak mengetahui istilah ISPA (70%), tidak
tahu istilah pneumonia (76,2%), tidak tahu adanya hubungan antara penyakit ISPA dan
pneumonia (75,0%), tidak tahu penyebab penyakit ISPA (72,6%), tidak tahu cara mencegah
penyakit ISPA (56,5%).
46. Menurut hasil penelitian Hatta (2000) di Sumatera Selatan dengan
menggunakan desain Case Control, hasil analisis statistik menunjukkan pendidikan ibu
(OR=2,037; p=0,013) dan pengetahuan ibu (OR=2,364; p=0,005) berhubungan secara
bermakna dengan kejadian pneumonia pada balita umur 9-59 bulan, dapat dikatakan bahwa
balita yang mengalami pneumonia kemungkinan 2,04 kali lebih besar memiliki ibu yang
berpendidikan rendah dibandingkan yang berpendidikan tinggi dan 2,4 kali lebih besar
memiliki ibu yang berpengetahuan rendah dibandingkan yang berpengetahuan tinggi.
47. 3. Pola Asuhan Anak Dalam Keluarga Berdasarkan Jumlah Anak
48. Orang tua yang menerapkan pola asuh secara tepat artinya pola asuh yang
diterapkan orang tua bersifat dinamis, sesuai, konsisten, penerapan pola asuh yang kompak
antara kedua orang tua, serta adanya contoh perilaku yang positif dari kedua orang tua. Pola
asuh yang dinamis artinya pola asuh yang diterapkan sejalan dengan usia balita misalkan
pemberian jenis makanan pada anak yang berumur 1 tahun tentu berbeda dengan jenis
makanan anak yang berumur 5 tahun, pola asuh bersifat sesuai artinya orang tua menerapkan
pola asuh sesuai dengan kondisi balita itu sendiri karena pola asuh pada balita yang memiliki
ganaguan kesehatan tentu berbeda dengan pola asuh pada balita normal. Pola asuh yang baik
yaitu pola asuh yang bersifat konsisten dalam penerapan pola asuh cenderung bersifat tetap
sebagai contoh balita boleh bermain asal ditempat yang bersih dan saat tiba waktu makan
balita harus berhenti bermain dulu unuk makan, berbagi dan berkasih sayang dengan saudara
dan anggota keluarga yang lain, lama kelamaan balita akan terbiasa dengan hal tersebut dan
pada akhirnya balita akan mengerti hal mana yang boleh atau baik dan hal mana yang tidak
boleh atau tidak baik
49. Pada orang tua yang melakukan pola asuh tidak tepat, artinya pola asuh yang
diterapkan orang tua bersifat terlalu over protektif dimana balita tidak diberi kepercayaan
sama sekali seperti tidak memperbolehkan bermain diluar rumah dan harus didalam rumah
terus membuat anak stres sehingga dapat membuatnya sakit.
50.
51. E. Manifestasi Klinik
52. Bronchopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktusrespiratoris bagian atas
selama beberapa hari suhu tubuh naik sangat mendadak sampai 39-40 derajat celcius dan
kadang disertai kejang karena demam yang tinggi. Anak sangat gelisah, dispenia pernafasan
cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung serta sianosis sekitar hidung dan mulut,
kadang juga disertai muntah dan diare. Batuk biasanya tidak ditemukan pada permulaan
penyakit tapi setelah beberapa hari mula-mula kering kemudian menjadi produktif.
53. Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan fisik tetapi
dengan adanya nafs dangkal dan cepat, pernafasan cuping hidung dan sianosis sekitar hidung
dan mulut dapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan fisik tergantung luas daerah
auskultasi yang terkena, pada perkusi sering tidak ditemukan kelainan dan pada auskultasi
mungkin hanya terdengar ronchi basah nyaring halus dan sedang. (Ngastiyah, 2005).
54.
55. F. Penatalaksanaan
1. Oksigen 1-2 liter per menit
2. Jika sesak tidak terlalu hebat, dapat dimulai makan eksternal bertahap melaui selang
9

nasogastrik dengan feeding drip


3. Jika sekresi lender berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan salin normal dan beta
agonis untuk transport muskusilier
4. Koreksi gangguan keseimbangan asam basa elektrolit (Arief Mansjoer, 2000)
56.
G. Pengkajian fokus
1. Pengkajian fokus
a. Demografi meliputi;nama, umur, jenis kelamin, dan pekerjaan.
b. Keluhan utama
57.
Saat dikaji biasanya penderita bronchopneumonia akan mengeluh
sesak nafas, disertai batuk ada secret tidak bisa keluar.
58. c. Riwayat penyakit sekarang
59.
Penyakit bronchitis mulai dirasakan saat penderita mengalami batuk
menetap dengan produksi sputum setiap hari terutama pada saat bangun pagi
selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap tahun sedikitnya 2 tahun produksi
sputum (hijau, putih/ kuning) dan banyak sekali. Penderita biasanya
menggunakan otot bantu pernfasan, dada terlihat hiperinflasi dengan peninggian
diameter AP, bunyi nafas krekels, warna kulit pucat dengan sianosis bibir, dasar
kuku.
60.
d. Riwayat penyakit dahulu.
61.
Biasanya penderita bronchopneumonia sebelumnya belum pernah menderita
kasus yang sama tetapi mereka mempunyai riwayat penyakit yang dapat memicu
terjadinya bronchopneumonia yaitu riwayat merokok, terpaan polusi kima dalam
jangka panjang misalnya debu/ asap.
62.
e.
Riwayat penyakit keluarga
63.
Biasanya penyakit bronchopneumonia dalam keluarga bukan merupakan
faktor keturunan tetapi kebiasaan atau pola hidup yang tidak sehat seperti merokok.
f. Pola pengkajian
64.
Bronkopneumonia biasanya didahului oleh infeksi traktus respiratorius
bagian atas selama beberapa hari. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39 0
C 40o C dan kadang disertai kejang karena demam tinggi. Anak sangat gelisah,
dispneu, pernafasan cepat dan dangkal disertai pernafasan cuping hidung serta sianosi
sekitar hidung dan mulut. Kadang-kadang disertai diare dan muntah. Batuk biasanya
tidak ditemukan pada permulaan penyakit, tetapi setelah beberapa hari mula-mula
kering lalu produktif.
65.
Pada stadium permulaan sukar dibuat diagnosis dengan pemeriksaan
fisik tetapi dengan adanya nafas cepat dan dangkal, pernafasan cuping hidung dan
sianosis sekitar hidung dan mulutdapat diduga adanya pneumonia. Hasil pemeriksaan
fisik tergantung pada luas daerah auskultasi yang terkena; pada perkusi sering tidak
ditemukan kelainan dan pada auskultasi mungkin hanya terdengar ronchi basah
nyaring, halus, atau sedang. Bila sarang Bronkopneumonia menjadi satu (konfluens)
mungkin pada perkusi terdengar keredupan dan suara pernafasan pada auskultasi
terdengar mengeras. Pada stadium resolusi ronchi terdengar lagi
66.
67.
68.
H. Pemeriksaan Penunjang
69. Untuk dapat menegakkan diagnose keperawatan dapat digunakan cara:
1. Pemeriksaan laboratorium
a. Pemeriksaan darah
10

70.
Pada kasus bronkopneumonia oleh bakteri akan terjadi leukositosis
( meningkatnya jumlah neutrofil) ( Sandra M,Nettina 2001: 684).
b. Pemeriksaan sputum
71.
Bahan pemeriksaan diperoleh dari batuk yang spontan dan dalam.
Digunakan untuk pemeriksaan mikroskopis dan untuk kultur serta tes sensifitas
untuk mendeteksi agen infeksius (Barbara C, Long, 1996 : 435)
c. Analisa gas darah untuk mengevaluasi status oksigenasi dan status asam basa
(Sandra M, Nettina, 2001 : 684)
d. Kultur darah untuk mendeteksi bakterimia
e. Sampel darah, sputum, dan urin untuk tes imunologi untuk mendeteksi antigen
mikroba (Sandra M, Nettina 2001 : 684)
2. Pemeriksaan radiologi
a) Rontgenogram thoraks
72.
Menunujukan konsolidasi lobar yang seringkali dijumpai pada infeksi
pneumokokal atau klebsiella. Infilrate multiple seringkali dijumpai pada
infeksi stafilokokus dan haemofilus (Barbara C, Long, 1996 : 435).
73.
Laringoskopi / bronkoskopi untuk menentukan apkah jalan nafas
tersumbat oleh benda padat (Sandra M, Nettina, 2001).
74.
I. Komplikasi
75. Komplikasi dari bronchopneumonia adalah :
1. Atelektasis adalah pengembangan paru yang tidak sempurna atau kolaps paru yang
merupakan akibat kurangnya mobilisasi atau reflek batuk hilang
2. Empyema adalah suatu keadaan dimana terkumpulnya nanah dalm rongga pleura
yang terdapat disatu tempat atau seluruh rongga pleura.
3. Abses paru adalah pengumpulan pus dala jaringan paru yang meradang
4. Endokarditis yaitu peradangan pada setiap katup endokardial
5. Meningitis yaitu infeksi yang menyerang selaput otak.
6.
76. J. Pencegahan Bronkopneumonia
77. 1. Pencegahan Primer
78. Pencegahan tingkat pertama ini merupakan upaya untuk mempertahankan
orang yang sehat agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat agar tidak sakit. Secara
garis besar, upaya pencegahan ini dapat berupa pencegahan umum dan pencegahan khusus.
79. Pencegahan primer bertujuan untuk menghilangkan faktor risiko terhadap
kejadian bronkopneumonia. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Memberikan imunisasi BCG satu kali (pada usia 0-11 bulan), Campak satu kali (pada usia
9-11 bulan), DPT (Diphteri, Pertusis, Tetanus) sebanyak 3 kali (pada usia 2-11 bulan),
Polio sebanyak 4 kali (pada usia 2-11 bulan), dan Hepatitis B sebanyak 3 kali (0-9 bulan).
b. Menjaga daya tahan tubuh anak dengan cara memberika ASI pada bayi neonatal sampai
berumur 2 tahun dan makanan yang bergizi pada balita.
c. Mengurangi polusi lingkungan seperti polusi udara dalam ruangan dan polusi di luar
ruangan.
d. Mengurangi kepadatan hunian rumah.
80.

11

81. 2. Pencegahan Sekunder


82. Tingkat pencegahan kedua ini merupakan upaya manusia untuk mencegah
orang telah sakit agar sembuh, menghambat progesifitas penyakit, menghindari komplikasi,
dan mengurangi ketidakmampuan. Pencegahan sekunder meliputi diagnosis dini dan
pengobatan yang tepat sehingga dapat mencegah meluasnya penyakit dan terjadinya
komplikasi. Upaya yang dilakukan antara lain :
a. Bronkopneumonia berat : rawat di rumah sakit, berikan oksigen, beri antibiotik
benzilpenisilin, obati demam, obati mengi, beri perawatan suportif, nilai setiap hari.
b. Bronkopneumonia : berikan kotrimoksasol, obati demam, obati mengi.
c. Bukan Bronkopneumonia : perawatan di rumah, obati demam.
83.
84. 3. Pencegahan Tersier
85.
Pencegahan ini dimaksudkan untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Upaya yang dapat dilakukan anatara lain :
a. Memberi makan anak selama sakit, tingkatkan pemberian makan setelah sakit.
b. Bersihkan hidung jika terdapat sumbatan pada hidung yang menganggu proses
pemberian makan.
c. Berikan anak cairan tambahan untuk minum.
d. Tingkatkan pemberian ASI.
e. Legakan tenggorok dan sembuhkan batuk dengan obat yang aman.
86. Ibu sebaiknya memperhatikan tanda-tanda seperti: bernapas menjadi sulit,
pernapasan
87. menjadi cepat, anak tidak dapat minum, kondisi anak memburuk, jika terdapat tandatanda seperti itu segera membawa anak ke petugas kesehatan.
88.
89.
90.
91.
92.
93.
94.
95.
96.
97.
98.
99.
100.
101.
102.
103.
104.
105.
106.
107.
108.
109.
110.
111.
112.
113.

114.
115.
116.

DAFTAR PUSTAKA
117.
118. Akbar, S. (2011,Juli 4) . 2.261 Balita di Medan Menderita Penyakit
Pneumonia. Tribun Medan. Diperoleh tanggal 13 Oktober 2012, diakses dari:
http://medan.tribunnews.com/2011/07/04/2.261-balita-di-medan-menderita-penyakitpneumonia
119. Rudan ,I.,Pinto, C.B.,Biloglav, Z.,Mulholland, K., Campbell, H. (2008).
Epidemiology and Etiology of Childhood Pneumonia. Bulletin Of World Health
Organization 86:408-416
120.
Fanada,M. (2012). Faktor-Faktor yang Berhubungan dengan Kejadian
Penyakit Pneumonia pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Kenten Palembang Tahun
2012.Badan Diklat Provinsi Sumatera Selatan
121. M. G. F. Gilliland,.Frequency of Bronchopneumonia in Children With
Survival Interval Before Death, The American Journal of Forensic Medicine and
Pathology 22(2):200202, 2001.
122. Swati Kambli. Knowledge of Bronchopneumonia among Caretakers of
Infants. International Journal of Science and Research 2012
123. Nozaki I, Kato-Motozaki,Aspiration pneumonia and bronchopneumonia in
progressive supranuclear palsy treated with qing fei tang: two case reports. Journal of
Medical Case Reports (2015)
124. Udupai A.,Gupta P., Antibiotic Therapy in Pneumonia : A comparative study
of antibiotics in a rural health care center. International Journal of Pharmacy and
Pharmaceutical Sciences. Vol 3, Suppl 3, 2011
125.

Anda mungkin juga menyukai