Anda di halaman 1dari 22

BAB I

PENDAHULUAN

Di negara maju cidera kepala merupakan sebab utama kerusakan otak pada
generasi muda dan usia produktif. Di negara berkembang seperti Indonesia dengan
meningkatnya pembangunan yang diikuti mobilitas masyarakat yang salah satu segi
diwarnai dengan lalu lintas makin sering terjadi dan korban cidera kepala makin
banyak. Di Indonesia pada tahun 1982 tercatat 55.495 penderita kecelakaan lalu lintas
dan terdapat korban meninggal sebanyak 11.933 orang yang berarti tiap hari ada 34
orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas. Dari korban yang meninggal ini ± 80%
disebabkan cidera kepala (1)
Cidera kepala atau trauma kapitis adalah cidera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (1). Cidera kepala dapat terjadi
akibat benturan langsung ataupun tidak langsung pada kepala. Kelainan dapat berupa
cidera otak fokal atau difus dengan atau tanpa fraktur tulang tengkorak. Cidera fokal
dapat menyebabkan memar otak, hematome epidural, subdural dan intraserebral.
Cidera difus dapat mengakibatkan gangguan fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera
struktural yang difus (2).
Dipandang dari sudut waktu dan berat ringannya cidera otak yang terjadi,
proses cidera otak dibagi proses primer dan proses sekunder. Proses primer adalah
kerusakan otak tahap pertama diakibatkan oleh benturan/proses mekanik yang
membentur kepala. Derajat kerusakan tergantung pada kuatnya benturan dan arahnya,
kondisi kepala yang bergerak/diam, percepatan dan perlambatan gerak kepala. Proses
primer mengakibatkan fraktur tengkorak/otak. Proses sekunder merupakan tahap
lanjutan dari kerusakan otak primer dan timbul karena kerusakan otak primer dan
timbul karena kerusakan primer membuka jalan untuk kerusakan berantai karena

1
berubahnya struktur anatomi maupun fungsional dari otak misalnya perdarahan,
edema otak, kerusakan neuron berlanjut,iskemia fokal/global otak, kejang, hipertermi
(3).
Natrium adalah kation terbanyak dalam cairan ekstrasel, jumlahnya bisa
mencapai 60 mEq per kilogram berat badan dan sebagian kecil (sekitar 1014 mEq/L)
berada dalam cairan intrasel. Lebih dari 90% tekanan osmotik di cairan ekstrasel
ditentukan oleh garam yang mengandung natrium, khususnya dalam bentuk natrium
klorida (NaCl) dan natrium bikarbonat (NaHCO3) sehingga perubahan tekanan
osmotik pada cairan ekstrasel menggambarkan perubahan konsentrasi natrium.
Perbedaan kadar natrium dalam cairan ekstrasel dan intrasel disebabkan oleh transpor
aktif dari natrium keluar sel yang bertukar dengan masuknya kalium ke dalam sel
(pompa Na-K+) (3).
Jumlah natrium dalam tubuh merupakan gambaran keseimbangan antara
natrium yang masuk dan natrium yang dikeluarkan. Pemasukan natrium yang berasal
dari diet melalui epitel mukosa saluran cerna dengan proses difusi dan
pengeluarannya melalui ginjal atau saluran cerna atau keringat di kulit. Pemasukan
dan pengeluaran natrium perhari mencapai 48-144 mEq. Jumlah natrium yang keluar
dari traktus gastrointestinal dan kulit kurang dari 10%. Cairan yang berisi
konsentrasi natrium yang berada pada saluran cerna bagian atas hampir mendekati
cairan ekstrasel, namun natrium direabsorpsi sebagai cairan pada saluran cerna bagian
bawah, oleh karena itu konsentrasi natrium pada feses hanya mencapai 40 mEq/L.
Keringat adalah cairan hipotonik yang berisi natrium dan klorida. Kandungan natrium
pada cairan keringat orang normal rerata 50 mEq/L. Jumlah pengeluaran keringat
akan meningkat sebanding dengan lamanya periode terpapar pada lingkungan yang
panas, latihan fisik dan demam (4).
Ekskresi natrium terutama dilakukan oleh ginjal. Pengaturan eksresi ini
dilakukan untuk mempertahankan homeostasis natrium, yang sangat diperlukan untuk
mempertahankan volume cairan tubuh. Natrium difiltrasi bebas di glomerulus,
direabsorpsi secara aktif 60-65% di tubulus proksimal bersama dengan H2O dan

2
klorida yang direabsorpsi secara pasif, sisanya direabsorpsi di lengkung henle (25-
30%), tubulus distal (5%) dan duktus koligentes (4%). Sekresi natrium di urine < 1%.
Aldosteron menstimulasi tubulus distal untuk mereabsorpsi natrium bersama air
secara pasif dan mensekresi kalium pada sistem renin-angiotensin-aldosteron untuk
mempertahankan elektroneutralitas (4).
Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum (Na+) <136 mEq/L dan
menjadi kelainan elektrolit yang paling umum pada pasien yang dirawat di rumah
sakit serta dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Hubungan
antara hiponatremia dan otak saling menguntungkan. Beberapa penyakit neurologis
sering dikaitkan dengan hiponatremia dan menyebabkan konsekuensi klinis serius
yang melibatkan sistem saraf pusat. Hiponatremia sangat sering ditemui pada pasien
dengan trauma kepala dengan angka kejadian 38-50% (3)
Kelainan neurologis umum seperti perdarahan subaraknoid, kecelakaan
serebrovaskular, tumor otak dan trauma kepala sering mengakibatkan hiponatremia
sekunder akibat syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone
(SIADH) atau cerebral salt wasting syndrome (CSW) yang tidak seimbang akibat
dari pelepasan ADH atau peptida natriuretic otak sebagai respons terhadap cedera (4).
Beberapa obat yang bekerja pada sistem saraf dan sering digunakan pada pasien
bedah saraf atau neurologis/psikiatrik, seperti obat antidepresan dan antiepilepsi,
dapat menyebabkan hiponatremia sekunder pada SIADH (5).

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Trauma Kepala


2.1.1. Definisi
Cidera kepala atau trauma kapitis adalah cidera mekanik yang secara langsung
atau tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kulit kepala,
fraktur tulang tengkorak, robekan selaput otak dan kerusakan jaringan otak itu
sendiri, serta mengakibatkan gangguan neurologis (1).
2.1.2. Fisiologi
a. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat mengakibatkan kenaikan
tekanan intrakranial (TIK) yang akan mengganggu fungsi otak dan akhirnya
berdampak buruk terhadap penderita. Peningkatan TIK menimbulkan konsekuensi
yang mengganggu fungsi otak dan tentunya mempengaruhi pula kesembuhan
penderita dan tidak hanya menjadi indikasi adanya masalah serius dalam otak tetapi
justru sering menjadi masalah utamanya. Kisaran TIK normal pada saat istirahat
adalah 10 mmHg (136 mmH2O), TIK >20 mmHg dianggap tidak normal dan >40
mmHg termasuk dalam kenaikan berat. Semakin tinggi TIK setelah cedera kepala,
semakin buruk prognosisnya (1; 6).
b. Doktrin Monro-Kellie
Doktrin Monro-Kellie adalah konsep sederhana yang menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya adalah bahwa volume intrakranial selalu konstan,
karena rongga kranium pada dasarnya merupakan rongga yang tidak mungkin
membesar. Tekanan intracranial yang normal bukan berarti tidak adanya lesi masa
intrakranial, karena TIK umumnya tetap dalam batas normal sampai kondisi penderita
mencapai titik dekompensasi dan memasuki fase ekspansional kurva tekanan-volume.
Nilai TIK sendiri tidak dapat menunjukkan kedudukan pada garis datar kurva berapa
banyak volume lesi masanya (6).

4
Gambar 1. Doktrin Monro-Kellie, kompensasi Intrakranial terhadap masa yang ekspansi
c. Aliran Darah Otak (ADO)
Aliran darah otak normal kira-kira 50 ml/100 gr jaringan otak/menit.
Penurunan ADO sampai 20-25 ml/100 gr/menit akan menghilangkan aktivitas EEG
dan pada ADO 5 ml/100 gr/menit menyebabkan kematian sel-sel otak dan terjadi
kerusakan menetap. Penderita non-trauma akan mempertahankan ADO dengan
fenomena autoregulasi pada tingkat yang konstan apabila tekanan arteri rata-rata 50-
160 mmHg. Tekanan arteri rata-rata <50 mmHg akan menurunkan ADO secara
curam dan bila tekanan arteri rata-rata >160 mmHg akan menyebabkan dilatasi pasif
pembuluh darah otak dan peningkatan ADO (6).
Mekanisme autoregulasi sering mengalami gangguan pada penderita cedera
kepala, sehingga penderita tersebut sangat rentan terhadap cedera otak sekunder
karena iskemia sebagai akibat hipotensi yang tiba-tiba. Sekali mekanisme kompensasi
tidak bekerja dan terjadi kenaikan eksponensial TIK, perfusi otak sangat berkurang,
terutama pada penderita yang mengalami hipotensi. Karenanya bila terdapat

5
hematoma intra cranial, haruslah dikeluarkan sedini mungkin dan tekanan darah yang
adekuat tetap harus dipertahankan (6).
2.1.3. Patofisiologi
Cidera kepala dapat terjadi akibat benturan langsung ataupun tidak langsung
pada kepala. Kelainan dapat berupa cidera otak fokal atau difus dengan atau tanpa
fraktur tulang tengkorak. Cidera fokal dapat menyebabkan memar otak, hematome
epidural, subdural dan intraserebral. Cidera difus dapat mengakibatkan gangguan
fungsi saja, yaitu gegar otak atau cedera struktural yang difus (2).
Gelombang kejut dapat disebar ke seluruh arah dari tempat
benturan. Gelombang ini mengubah tekanan jaringan dan bila tekanan cukup besar
akan menyebabkan kerusakan jaringan otak di tempat benturan yang disebut “coup”
atau ditempat yang berseberangan dengan benturan (countre coup). Gangguan
metabolisme jaringan otak akan mengakibatkan oedem yang dapat menyebabkan
herniasi jaringan otak melalui foramen magnum, sehingga jaringan otak tersebut
dapat mengalami iskhemi, nekrosis, atau perdarahan dan kemudian meninggal (2).
Fungsi otak sangat bergantung pada tersedianya oksigen dan glukosa. Cedera
kepala dapat menyebabkan gangguan suplai oksigen dan glukosa, yang terjadi karena
berkurangnya oksigenisasi darah akibat kegagalan fungsi paru atau karena aliran
darah ke otak yang menurun, misalnya akibat syok. Karena itu, pada cedera kepala
harus dijamin bebasnya jalan nafas, gerakan nafas yang adekuat dan hemodinamik
tidak terganggu sehingga oksigenisasi cukup (2).

2.2. Hiponatremi pada Trauma Kepala


Hiponatremia adalah konsentrasi natrium serum (Na+) <136 mEq/L dan
menjadi kelainan elektrolit yang paling umum pada pasien yang dirawat di rumah
sakit serta dikaitkan dengan morbiditas dan mortalitas yang signifikan. Hubungan
antara hiponatremia dan otak saling menguntungkan. Beberapa penyakit neurologis
sering dikaitkan dengan hiponatremia dan menyebabkan konsekuensi klinis serius

6
yang melibatkan sistem saraf pusat. Hiponatremia sangat sering ditemui pada pasien
dengan trauma kepala dengan angka kejadian 38-50% (3).
Hiponatremia setelah cedera kepala sering disebabkan karena sekresi
Antidiuretik hormon (ADH) berlebih sehingga terjadi hipovolemia akibat restriksi
cairan karena perdarahan atau cedera lain. Sekresi ADH berlebih sesuai untuk kondisi
hipovolemia tetapi tidak sesuai untuk kondisi hiponatremia. Restriksi cairan dapat
memperburuk kondisi dengan terus meningkatkan produksi ADH. Hiponatremia yang
tidak terkoreksi dapat memicu penurunan kesadaran dan kejang. Hiponatremia juga
dapat terjadi karena kelebihan penggunaan solusi dekstrosa tanpa pemberian
suplementasi sodium (7).
Gangguan elektrolit pada hampir 60% kasus cidera kepala berat, terutama
hiponatremia. Syndrome of inappropriate antidiuretic hormone secretion (SIADH)
dan cerebral salt wasting syndrome (CSWS) merupakan dua gangguan yang
umumnya terjadi pada kasus hiponatremia pascacedera kepala. (6)
Kelainan neurologis umum seperti perdarahan subaraknoid, kecelakaan
serebrovaskular, tumor otak dan trauma kepala sering mengakibatkan hiponatremia
sekunder akibat syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone
(SIADH) atau cerebral salt wasting syndrome (CSW) yang tidak seimbang akibat
dari pelepasan ADH atau peptida natriuretic otak sebagai respons terhadap cedera (4).
Beberapa obat yang bekerja pada sistem saraf dan sering digunakan pada pasien
bedah saraf atau neurologis/psikiatrik, seperti obat antidepresan dan antiepilepsi,
dapat menyebabkan hiponatremia sekunder pada SIADH (5).
2.2.1 Patofisiologi
SIADH ditandai oleh peningkatan pelepasan ADH dari hipofisis posterior
tanpa adanya rangsangan normal untuk melepaskan ADH. Pengeluaran ADH yang
berlanjut menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal dan duktus. Volume cairan
ekstra seluler meningkat dengan hiponatremi. Dalam kondisi hiponatremi dapat
menekan rennin dan sekresi aldosteron menyebabkan penurunan Na diabsorbsi
tubulus proximal. Dalam keadaan normal ADH mengatur osmolalitas plasma, bila

7
osmolalitas menurun mekanisme Feed back akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini
akan mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk
meningkatkan osmolalitas plasma menjadi normal. Pada SIADH osmolalitas plasma
terus berkurang akibat ADH merangsang reabsoprbsi air oleh ginjal (4).
Hormon Antidiuretik (ADH) bekerja pada sel-sel duktus koligentes ginjal
untuk meningkatkan permeabilitas terhadap air. Ini mengakibatkan peningkatan
reabsorbsi air tanpa disertai reabsorbsi elektrolit. Air yang direabsorbsi ini
meningkatkan volume dan menurunkan osmolaritas cairan ekstraseluler (CES). Pada
saat yang sama keadaan ini menurunkan volume dan meningkatkan konsentrasi urine
yang diekskresi (3,4)
Pengeluaran berlebih dari ADH menyebabkan retensi air dari tubulus ginjal
dan duktus. Volume cairan ekstra selluler meningkat dengan hiponatremi.Dimana
akan terjadi penurunan konsentrasi air dalam urin sedangkan kandungan natrium
dalam urin tetap,akibatnya urin menjadi pekat (3).
Dalam keadaan normal, ADH mengatur osmolaritas serum. Bila osmolaritas
serum menurun, mekanisme feedback akan menyebabkan inhibisi ADH. Hal ini akan
mengembalikan dan meningkatkan ekskresi cairan oleh ginjal untuk meningkatkan
osmolaritas serum menjadi normal. Terdapat berapa keadaan yang dapat mengganggu
regulasi cairan tubuh dan dapat menyebabkan sekresi ADH yang abnormal . Tiga
mekanisme patofisiologi yang bertanggung jawab akan SIADH, yaitu:
 Sekresi ADH yang abnormal sari system hipofisis. Mekanisme ini disebabkan
oleh kelainan system saraf pusat, tumor, ensafalitis , sindrom guillain Barre.
Pasien yang mengalami syok, status asmatikus, nyeri hebat atau stress tingkat
tinggi, atau tidak adanya tekanan positif pernafasan juga akan mengalami
SIADH.
 ADH atau substansi ADH dihasilkan oleh sel-sel diluar system supraoptik –
hipofisis , yang disebut sebagai sekresi ektopik ( misalnya pada infeksi).

8
 Kerja ADH pada tubulus ginjal bagian distal mengalami pemacuan .
bermacam-macam obat-obat menstimulasi atau mempotensiasi pelepasan
ADH . obat-obat tersebut termasuk nikotin , transquilizer, barbiturate, anestesi
umum, suplemen kalium, diuretic tiazid , obat-obat hipoglikemia,
asetominofen , isoproterenol dan empat anti neoplastic : sisplatin,
siklofosfamid, vinblastine dan vinkristin (4).
Pada SIADH terjadi sekresi ADH yang nonfisiologis yang akan meningkatkan
reabsropsi air sehingga menyebabkan hiponatremia dilusional. Ekspansi volume ini
mengaktifkan reseptor volume dan sekresi peptida natriuretik, sehingga terjadilah
natriuresis. Efek klasik dari peptida natriuretik adalah natriuresis, diuresis dan
vasodilatasi (5).
Cerebral Salt-Wasting Syndrome (CSWS) merupakan kelainan pengaturan
Natrium dan air, yang terjadi sebagai akibat penyakit serebral tanpa disertai kelainan
fungsi ginjal. CSWS ditandai adanya hiponatremia yang berkaitan dengan
hipovolemia, yang sesuai dengan namanya, disebabkan oleh natriuresis (4)
Mekanisme penyakit serebral yang menyebabkan CSWS masih belum
dimengerti sepenuhnya. Kemungkinan besar proses tersebut melibatkan gangguan
input saraf ke ginjal dan/atau penyebaran sentral faktor – faktor natriuretik dalam
sirkulasi. Pada kedua mekanisme tersebut, terjadi peningkatan ekskresi Natrium urin,
yang dapat menyebabkan penurunan Effective Arterial Blood Volume (EABV), dan
hal ini kemudian merangsang baroreseptor sehingga terjadi sekresi Arginine
Vasopressin (AVP). Dalam hal ini, peningkatan kadar AVP dapat mengganggu
kemampuan ginjal dalam menguraikan urin cair. Dapat dikatakan bahwa sekresi AVP
dalam keadaan ini merupakan respons yang sesuai terhadap deplesi volume.
Sebaliknya, sekresi AVP pada SIADH tidaklah sesuai, karena EABV meningkat (4).
Kemungkinan lokasi terjadinya penurunan absorbsi Natrium ginjal pada
CSWS terdapat pada nefron proksimal. Hal tersebut disebabkan oleh karena pada
segmen tersebut secara normal terjadi reabsorbsi sebagian besar Natrium yang

9
tersaring. Sedikit saja penurunan efisiensi pada segmen tersebut dapat menyebabkan
pelepasan sejumlah besar Natrium menuju nefron distal, dan pada akhirnya keluar
bersama – sama urin. Penurunan input simpatis ke ginjal merupakan faktor yang
memyebabkan terganggunya reabsorbsi nefron proksimal. Sistem saraf simpatis dapat
merubah pengaturan garam dan air pada segmen nefron proksimal melalui berbagai
mekanisme langsung dan tidak langsung. Sistem saraf simpatis juga berperan dalam
kontrol pelepasan rennin, sehingga penurunan tonus simpatis merupakan penjelasan
terjadinya kegagalan peningkatan kadar rennin dan aldosteron sirkulasi pada pasien
CSWS. Kegagalan peningkatan kadar aldosteron serum sebagai respons terhadap
menurunnya EABV dapat menjelaskan mengapa pada CSWS tidak terjadi ekskresi
berlebihan Kalium, meskipun terjadi pelepasan berlebihan Natrium ke nefron distal.
Dengan demikian, hipokalemia bukan merupakan bagian dari CSWS (4).
Selain penurunan input saraf ke ginjal, pelepasan satu atau lebih faktor –
faktor natriuretik juga berperan dalam mekanisme ekskresi berlebihan garam pada
CSWS. Efek Atrial Natriuretic Peptide (ANP) dan Brain Natriuretic Peptide (BNP)
dapat menyebabkan gambaran – gambaran klinis CSWS. Sebagai contoh, pemberian
peptida – peptida tersebut pada orang normal memberikan respons natriuretik yang
tidak berhubungan dengan perubahan tekanan darah. Kemampuan zat – zat tersebut
untuk meningkatkan Glomerular Filtration Rate (GFR) agak berperan dalam proses
natriuresis, namun, bahkan tanpa adanya perubahan GFR, ekskresi Natrium urin tetap
meningkat karena adanya efek inhibisi langsung pada transport Natrium di duktus
pengumpul medulla. Peptida – peptida tersebut juga dapat meningkatkan ekskresi
Natrium urin tanpa menyebabkan hipokalemia. Sebagai contoh, ANP dan BNP
berhubungan dengan menurunnya kadar aldosteron sirkulasi karena efek inhibisi
langsung pada pelepasan rennin oleh sel – sel juxtaglomerular ginjal, dan efek
inhibisi langsung pada pelepasan aldosteron oleh kelenjar adrenal. Selain itu, inhibisi
reabsorbsi Natrium pada duktus penguumpul medulla tidak seharusnya menyebabkan
ekskresi berlebih Kalium pada ginjal (K-wasting), karena segmen ini terletak distal
terhadap tempat sekresi predominan Kalium, yaitu di duktus pengumpul korteks.

10
Dengan penurunan volume cairan ekstraseluler, terjadi peningkatan reabsorbsi
Natrium proksimal, yang menyebabkan berkurangnya pelepasan Natrium distal ke
duktus pengumpul (5).

2.3. Manifestasi klinis


SIADH merupakan sindrom akibat kelebihan air dan bukan akibat defisiensi
natrium. SIADH terdiri atas hiponatremia, peningkatan osmolalitas urine (>100
mOsm/kg) dan penurunan osmolalitas plasma pada pasien euvolemik. Diagnosis
SIADH ditegakkan pada keadaan fungsi jantung, renal, adrenal, hepatik dan tiroid
yang normal, tidak ada penggunaan terapi diuretik, dan tidak ada faktor lain yang
menstimulasi sekresi ADH seperti hipotensi, nyeri, nausea dan stress (4).
Komplikasi neurologik terjadi sebagai akibat dari respon otak terhadap
osmolalitas. Hiponatremia dan hipoosmolaritas akan menyebabkan edema akut pada
sel otak. Edema serebral yang hebat dapat menyebabkan herniasi dan berakibat fatal
(4).
Hiponatremia terutama terkait dengan disfungsi SSP, dan terjadi peningkatan
dramatis ketika penurunan serum [Na +] yang terjadi secara akut. Ensefalopati
hiponatremik adalah akibat dari edema serebri akibat hiponatremia akut dan
berhubungan dengan mortalitas 34%. Hiponatremia kronis dikaitkan dengan respons
adaptif yang mencegah edema sel otak dan didefinisikan sebagai kondisi tanpa gejala.
Koreksi hiponatremia yang tidak tepat dikaitkan dengan kerusakan otak yang tidak
dapat diperbaiki (5).
Gejala – gejala hiponatremia tergantung dari onset dan beratnya penurunan
kadar Natrium. Penurunan lambat dan ringan kadar natrium serum dapat
menyebabkan anoreksia, sakit kepala, iritabilitas, dan kelemahan otot. Sebagian
pasien dapat tampak asimptomatik. Gejala yang lebih berat terjadi pada keadaan
penurunan kadar Natrium yang cepat atau bila kadar Natrium kurang dari 120 mEq/L,
berupa edema serebral, mual, muntah, delirium, halusinasi, letargi, kejang, gagal
napas, dan kemungkinan kematian. Status volume cairan juga dapat mempengaruhi

11
gejala – gejala yang dialami pasien. Adanya tanda – tanda deplesi volume cairan
ekstraseluler berupa hipotensi, penurunan berat badan dan turgor kulit melambat
dapat ditemukan pada CSWS (6).

2.4. Mekanisme Edema Serebri Akibat Hiponatremi


Osmolaritas otak berada dalam keseimbangan dengan osmolaritas cairan
ekstraseluler dalam kondisi fisiologi. Penurunan osmolaritas plasma terjadi ketika
pasien mengalami hiponatremi yang menyebabkan pergerakan air ke otak sebagai
respons terhadap gradien osmotik, sehingga menyebabkan edema serebral. Sel yang
terlibat dalam edema serebri adalah astosit, sejenis sel glial yang merupakan
konstituen barrier darah-otak yang memiliki peran mendasar dalam menjaga
konsentrasi cairan dan elektrolit dari ruang ekstraseluler di otak. Sel glial secara
selektif membesar pada tekanan hiposmolar dengan hemat neuron, hak ini
menunjukkan adanya saluran air spesifik yang terlokalisasi dalam astrosit untuk
melindungi neuron dari masuknya air (8).

12
Gambar 2. Efek hiponatremia pada otak dan mekanisme adaptif. (a) Normonatremia:
osmolalitas otak berada dalam kesetimbangan dengan cairan ekstraseluler; (B)
Hiponatremia akut: air bergerak ke otak sebagai respons terhadap gradien osmotik,
menyebabkan edema serebri; (c) Hiponatremia kronis: dalam beberapa jam sel kehilangan
elektrolit (adaptasi cepat) kemudian osmolit organik (adaptasi lambat); akibatnya hilangnya
air mengurangi edema sel dan menormalkan volume otak (d) Demielinisasi osmotik: koreksi
hiponatremia yang terlalu cepat menyebabkan gradien osmotik terbalik dengan hilangnya
air yang berlebihan dari sel yang menyebabkan dehidrasi otak dan demielinasi substansia
alba.
Penelitian menunjukkan saluran air aquaporin (AQP) di glia, khususnya
subtipe AQP1 dan AQP4 penting dalam terjadinya edema serebral selama
hiponatremia. Air bergerak melalui saluran AQP1 dan AQP4 ke dalam sel glial ketika
terjadi hypoosmolality menyebabkan edema pada beberapa neuron, sedangkan neuron
lainnya relatif terhindar (8). Sel glial bukan osmometer sempurna dan edema serebri
fase awal terjadi. Adanya mekanisme adaptif mencegah edema serebri sebagai respon
homeostatis yang sangat penting untuk kelangsungan hidup sel, karena perubahan
volume sel dapat mengubah fungsi sel seperti perkembangan siklus sel, proliferasi,
apoptosis, rangsangan dan metabolisme (9).

13
Gambar 3. Representasi skematis dari respons seluler yang menyebabkan edema pada
hiponatremia kronis. Ketika [Na +] ekstraseluler menurun, air masuk ke dalam sel melalui
AQP1 dan AQP4 menyebabkan peningkatan volume sel yang memicu sensor volume.
Aktivasi sensor volume menyebabkan penghabisan elektrolit melalui Na + -K + ATPase,
saluran K +, transporter KCC dan saluran Cl− yang sensitif terhadap volume yang juga
memediasi ekstrusi Cl− dan osmolitik organik. AQP1: saluran air aquaporin tipe 1; AQP4:
saluran air aquaporin tipe 4; KCC: K + -Cl− cotransporter (8)
Regulasi volume sel didokumentasikan dengan baik di otak, dimana
keterbatasan fisik tengkorak membatasi ekspansi dan membuat mekanisme adaptif
yang dapat mencegah edema serebri. Respon adaptif pertama adalah perpindahan
kompensasi cairan dari ruang interstitial ke dalam cairan serebrospinal dan ke dalam
sirkulasi sistemik. Mekanisme adaptif berikutnya dan lebih berkelanjutan, yang
dikenal sebagai "volume regulatory decrease" (VRD) adalah ekstrusi zat terlarut
intraseluler bersama dengan air yang secara osmotik wajib untuk mengurangi edema
sel dan menormalkan volume otak. Sel kehilangan ion anorganik seperti Na +, K +
dan Cl− dalam tiga jam pertama mengalami trauma kepala (7).

14
Jalur pertama yang diaktifkan oleh edema serebri adalah ekstrusi Na+ yang
bergantung pada energi oleh pompa Na+-K+ATPase yang mewakili pertahanan
utama terhadap edema serebral. Ion aktif secara osmotik lainnya diekstrusi melalui
saluran seluler termasuk saluran Ca++, ko-transporter K+ -Cl− dan saluran Cl− yang
peka pada volume (8). Mekanisme ini menyumbang 65% dari regulasi volume otak.
Respons kedua terdiri atas hilangnya osmolitik organik kecil, khususnya asam amino
(glutamat, taurin, glisin) dan mio-inositol melalui osmolit organik yang sensitif
terhadap volume dan saluran anion. Yang terakhir adalah saluran Cl− yang diaktifkan
melalui edema yang memediasi ekstrusi zat terlarut aktif secara osmotik organik
Pengeluaran osmolit organik dipertahankan selama hiponatremia berlanjut menjadi
mekanisme adaptif esensial dalam hiponatremia kronis (10).
Kontribusi osmolit organik terhadap regulasi volume otak diperkirakan 35%.
Beberapa osmolitik organik yang hilang, khususnya glutamat adalah neuroaktif dan
dapat menyebabkan kelainan neurologis sementara, seperti peningkatan aktivitas
kejang dan penurunan pelepasan rangsang sinaptik neurotransmitter yang dapat
menjelaskan perjalanan ketidakstabilan yang ditemukan pada pasien hiponatremik
kronis (10).
Proses pengaturan volume otak sangat penting untuk memahami variabilitas
presentasi klinis hiponatremia. Hipoosmolality muncul pada tingkat yang melebihi
kemampuan otak yang kehilangan elektrolit untuk mengatur volumenya, seperti yang
terjadi pada hiponatremia akut (<48 jam), edema serebri dapat terjadi dan pasien
dapat mengalami tanda dan gejala neurologis berat yang mungkin menyebabkan
kematian karena herniasi otak. Pasien dengan hiponatremia kronis mengalami
ketidakseimbangan >48 jam, hilangnya elektrolit dan osmolit organik merupakan
mekanisme yang sangat efisien untuk mengatur volume otak (10).

15
Gambar 4. Patofisiologi SDO. Representasi skematis dari kemungkinan kejadian yang
disebabkan oleh koreksi hiponatremia kronis yang terlalu cepat (8)
Pengetahuan tentang mekanisme adaptif yang kompleks ini sangat penting
untuk mengoreksi hiponatremia dengan terapi aktif. Pembalikan respon kompensasi
sekunder terhadap hiponatremia terjadi dengan menangkap kembali osmolitik organik
untuk mencegah kehilangan dari sel. Ini adalah proses yang sangat lambat dan
memakan waktu beberapa hari. Oleh karena itu, koreksi hiponatremia kronis yang
terlalu cepat melebihi kemampuan otak untuk menangkap kembali osmolit yang
hilang akan menyebabkan membalikkan gradien osmotik dengan dehidrasi akibat
jaringan otak dan kemungkinan demielinisasi substansia alba (3). Konsekuensi
dramatis ini dikenal sebagai sindrom demielinasi osmotic (SDO) dan terutama terjadi
pada pons (mielinolisis pontine sentral), meskipun mielinolisis ekstrapontin yang
mempengaruhi ganglia basal, korteks, tubuh geniculate lateral, dan kapsul internal
juga dapat terjadi (8).

16
Penelitian menunjukkan kematian astrosit awal setelah koreksi cepat
hiponatremia. Apoptosis astrosit diikuti oleh hilangnya komunikasi antara astrosit dan
oligodendrosit, yang sangat penting untuk proses mielinisasi (9).

2.5. Tatalaksana Hiponatremi pada Trauma Kepala


2.5.1. Ensefalopati Hyponatremic
Ensefalopati hiponatremik adalah disfungsi SSP karena hiponatremia dan
terjadi ketika otak gagal mengatur volumenya, seperti pada hiponatremia akut atau
faktor risiko lain. Kematian atau kerusakan otak permanen dikaitkan dengan gejala
hiponatremia sudah diketahui dan telah dijelaskan sejak 70 tahun yang lalu. Faktor
risiko dapat dicegah dengan pemberian cairan hipotonik intravena. Hiponatremia
simptomatik berat merupakan keadaan darurat medis dan koreksi yang cepat wajib
dilakukan. Pasien dengan hiponatremia hipervolemik dan euvolemik dapat diberikan
infus larutan salin hipertonik (3% NaC l) sebagai terapi lini pertama (8; 11).
Sebagian besar pasien dengan hiponatremia hipovolemik dapat diobati dengan
larutan saline isotonik (0,9% NaCl), tetapi dengan adanya gejala yang berat, seperti
kejang atau koma diperlukan infus salin hipertonik. Tujuan awal pemberian terapi
tersebut adalah untuk mendapatkan peningkatan 1 mmol/L/jam serum [Na +] (total 4-
6 mmol/L) untuk mencegah komplikasi paling berat dari hiponatremia akut. Koreksi
hiponatremia yang sedang berjalan tidak boleh melebihi koreksi serum [Na +] 8-12
mmol/L/hari atau 18-24 mmol/L dalam 48 jam pertama untuk menghindari risiko
SDO (5).

2.5.2. Hiponatremia kronis


Hiponatremia kronis didefinisikan sebagai kondisi tanpa gejala karena
mekanisme adaptif dalam mencegah edema serebri. Penelitian menunjukkan bahwa
kondisi ini dapat berdampak negatif terhadap status kesehatan. Hiponatremia kronis
ringan (serum [Na +] 126±5 mEq/L) dikaitkan dengan gangguan gaya berjalan,
defisit atensi dan peningkatan risiko jatuh. Penurunan kemampuan atensi dan

17
ketidakstabilan gaya berjalan pada pasien hiponatremik kronis menjadi penyebab
peningkatan risiko jatuh (9).
Peningkatan dalam pemeriksaan gaya berjalan dicatat setelah koreksi
hiponatremia menunjukkan bahwa perawatan yang tepat dari pasien ini dapat
mencegah sejumlah besar jatuh dan rawat inap. Penelitian lain menunjukkan bahwa
hiponatremia sedang kronis dapat merusak memori pada tikus dan koreksi
ketidakseimbangan elektrolit dengan antagonis reseptor vasopresin tolvaptan dapat
mengurangi efek ini. Antagonis atau vaptan reseptor vasopressin dapat penurunan
osmolalitas urin dan peningkatan serum [Na +] dapat digunakan sebagai pengobatan
hiponatremia hipervolemik dan euvolemik di USA dan hiponatremia euvolemik di
Eropa (8).
Tolvaptan merupakan satu-satunya vaptan yang dapat meningkatkan Mental
Component Summary dari Survei Kesehatan Umum SF-12 yang menunjukkan bahwa
koreksi serum [Na +] secara efektif dapat mencegah penurunan kinerja mental.
Hiponatremia kronis ringan dikaitkan dengan efek buruk pada tulang, khususnya
peningkatan risiko osteoporosis dan patah tulang yang secara independen dari
demineralisasi tulang. Peningkatan kerapuhan tulang dengan ketidakstabilan gaya
berjalan membuat hiponatremia kronis menjadi faktor risiko baru untuk patah tulang,
terutama pada orang tua dan menunjukkan pentingnya untuk memperbaiki gangguan
ini bahkan ketika kronis dan ringan (12).
Tatalaksana hiponatremia euvolemik atau hiperatremia ringan yang
asimptomatik atau simptomatik ditandai dengan retensi cairan, sedangkan
hiponatremia rehidrasi dengan larutan saline isotonik tetap menjadi terapi pilihan
pertama. Infus larutan salin hipertonik dapat direkomendasikan, pasien dengan
hiponatremia kronis memiliki risiko SDO, dan rekomendasi untuk dikoreksi 4-8
mmol/L/hari pada pasien dengan risiko SDO rendah-sedang dan 4-6 mmol/L/hari

18
pada pasien dengan risiko tinggi SDO. Vaptans menjadi alternatif yang efektif untuk
memperbaiki hiponatremia simptomatik (12).

2.5.3. Sindrom Demielinisasi Osmotik


Osmotic Demyelination Syndrome merupakan komplikasi dari koreksi
hiponatremia yang terlalu cepat. Prevalensi pasti dari sindrom ini tidak diketahui
tetapi diperkirakan 0,25-0,50%. Risiko SDO tergantung pada beberapa faktor.
Pertama, pasien yang berisiko adalah mereka yang mengalami hiponatremia kronis,
terutama jika kadar serum [Na +] <120 mmol/L, sedangkan pada hiponatremia akut,
kehilangan zat terlarut tidak ada sehingga SDO tidak mungkin terjadi. Faktor risiko
lainnya adalah hipokalemia, alkoholisme, malnutrisi dan penyakit hati lanjut
termasuk transplantasi hati. Kondisi ini dapat meningkatkan terjadinya SDO karena
perubahan kontrol volume seluler yang mengurangi toleransi otak terhadap tekanan
osmotik secara akut. Koreksi bersamaan dengan hipokalemia dapat menyebabkan
peningkatan serum [Na +] yang lebih cepat karena Na + -K + ATPase mengeluarkan
natrium ketika kalium memasuki sel untuk mengembalikan penyimpanan kalium
intraseluler yang berkurang, sehingga meningkatkan tingkat koreksi hiponatremia
(12).
Presentasi klinis SDO dapat bervariasi dan tergantung pada keparahan cedera
dan area yang terlibat. Bentuk yang paling sering adalah mielinolisis pontine sentral
yang terjadi pada sekitar 50% kasus, sedangkan 30% kedua area pontine dan
ekstrapontin terlibat dan 20% mielinolisis ekstra pontine terisolasi terjadi. Lokasi
yang paling sering terlibat, di samping pons, adalah otak kecil, kapsul eksternal,
badan geniculate lateral, putamen, ippocampus, thalamus, nukleus kaudat dan korteks
serebral. Tanda dan gejala SDO adalah quadriparesis, disartria, disfagia, dan gejala
pseudobulbar lainnya (12).
Diagnosis SDO dilakukan secara klinis pada pasien dengan gejala neurologis
setelah koreksi hiponatremia yang terlalu cepat, dan dikonfirmasi dengan adanya lesi
khas pada MRI. Prognosis SDO dianggap buruk dengan tingkat kematian yang tinggi,

19
berkisar antara 50-90% pada tiga bulan dari diagnosis. Tingkat koreksi hiponatremia
tidak boleh melebihi batas yang direkomendasikan seperti yang dirinci sebelumnya.
Terapi penurun serum [Na +] dapat dipertimbangkan, terutama pada pasien dengan
risiko SDO yang tinggi dengan pemberian desmopresin (2-5 mcg setiap 8 jam) da/
atau dengan infus dekstrosa 5% (12).

20
BAB III
PENUTUP

Hiponatremia setelah cedera kepala sering disebabkan karena sekresi


Antidiuretik hormon (ADH) berlebih sehingga terjadi hipovolemia akibat restriksi
cairan karena perdarahan atau cedera lain. Ensefalopati hiponatremik adalah disfungsi
SSP karena hiponatremia dan terjadi ketika otak gagal mengatur volumenya. Osmotic
Demyelination Syndrome merupakan komplikasi dari koreksi hiponatremia yang
terlalu cepat.
Manifestasi klinis hiponatremia terutama terkait dengan disfungsi SSP, dan
terjadi peningkatan dramatis ketika penurunan serum [Na +] yang terjadi secara akut.
Ensefalopati hiponatremik adalah akibat dari edema serebri akibat hiponatremia akut
dan berhubungan dengan mortalitas 34%. Hiponatremia kronis dikaitkan dengan
respons adaptif yang mencegah edema sel otak dan didefinisikan sebagai kondisi
tanpa gejala. Koreksi hiponatremia yang tidak tepat dikaitkan dengan kerusakan otak
yang tidak dapat diperbaiki.
Sebagian besar pasien dengan hiponatremia hipovolemik dapat diobati dengan
larutan saline isotonik (0,9% NaCl), tetapi dengan adanya gejala yang berat, seperti
kejang atau koma diperlukan infus salin hipertonik. Tatalaksana hiponatremia
euvolemik atau hiperatremia ringan yang asimptomatik atau simptomatik ditandai
dengan retensi cairan, sedangkan hiponatremia rehidrasi dengan larutan saline
isotonik tetap menjadi terapi pilihan pertama. Infus larutan salin hipertonik dapat
direkomendasikan.

21
DAFTAR PUSTAKA

1. Arifin, M Z. Cedera Kepala. Jakarta : Dian Rakyat, 2013.

2. Sjamsuhidayat, R, et al., et al. Buku Ajar Ilmu Bedah . Jakarta : EGC, 2014.

3. Incidence and prevalence of hyponatremia. Upadhyay, A, Jaber, B L and Madias, N E. s.l. :


Am. J. Med, 2006.

4. Hyponatremia in Traumatic Brain Injury: A Practical Management Protocol. Rajagopal, R,


Shalini, N and Ganesh, S. s.l. : World Neurosurgery, 2017.

5. Diagnosis, evaluation, and treatment of hyponatremia: Expert panel recommendations.


Verbalis, J G, et al., et al. 6, s.l. : Am. J. Med, 2013, Vol. 10.

6. Ganong, W F. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC, 2013.

7. Hyponatremia in Traumatic Brain Injury. Rajagopal, R, et al., et al. s.l. : World Neurosurg,
2017, Vol. 108.

8. Effects of Hyponatremia on the Brain. Giuliani, C and Peri, A. 4, s.l. : J Clin Med, 2014, Vol.
3.

9. Hyponatremia and Brain Injury: Historical and Contemporary Perspectives. Kirkman, M A,


et al., et al. s.l. : Neurocrit Care, 2013, Vol. 18.

10. Pathophysiology and puzzles of the volume-sensitive outwardly rectifying anion channel.
Okada, Y, et al., et al. s.l. : J. Physiol, 2009, Vol. 15.

11. Brain cell volume regulation in hyponatremia: Role of sex, age, vasopressin, and hypoxia.
Ayus, C, Achinger, S G and Arieff, A. s.l. : Renal Physiol, 2008, Vol. 295.

12. Osmotic demyelination syndrome. King, J D and Rosner, M H. s.l. : Am. J. Med. Sci, 2010,
Vol. 339.

22

Anda mungkin juga menyukai