Anda di halaman 1dari 32

BAB I

PENDAHULUAN

Perforasi saluran gastrointestinal adalah salah satu penyebab akut abdomen


yang mengancam jiwa. Kebocoran pada dinding saluran gastrointestinal dapat
mengakibatkan penetrasi isi dari organ yang bersangkutan, berupa tumpahan udara,
cairan, hasil sekresi organ, makanan dan bakteri ke dalam rongga perut dan
menyebabkan secara potensial terjadinya peradangan pada peritoneum, keadaan ini
dikenal dengan istilah peritonitis. (1,2)
Menurut survei World Health Organization (WHO), kasus peritonitis di dunia
mencapai 5,9 juta kasus. Pada rentang tanggal 1 Oktober hingga 10 Desember 2004
di Republik Demokrasi Kongo telah terjadi 615 kasus peritonitis berat dengan atau
tanpa perforasi. Penyebab peritonitis sekunder yang bersifat akut tersering pada anak-
anak adalah perforasi apendiks, sedangkan pada orangtua penyebab tersering adalah
perforasi ulkus peptikum, baik gaster maupun duodenum. (3)
Pada tahun 2007 di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dilaporkan
kasus perforasi gaster mencapai 57 orang. Mayoritas kasus adalah pria (77%) dan
terbanyak pada usia 50 – 70 tahun. Hal yang menarik dari penelitian tersebut adalah
seluruh penderita perforasi gaster merupakan pengkonsumsi jamu-jamuan atau obat-
obatan antinyeri yang dibeli sendiri tanpa resep dokter karena keluhan rematik, nyeri
kepala, obat kuat, dan lain-lain. Penggunaan obat antinyeri golongan Nonsteroid Anti-
Inflammatory Drugs (NSAIDs) memang meningkat dalam satu dekade terakhir. Obat
ini menyebabkan kerusakan barier mukosa gaster serta duodenum sampai akhirnya
menimbulkan komplikasi perforasi. Lokasi perforasi gaster paling banyak terjadi
pada sisi anterior (60%), dapat pula terjadi pada bagian antrum (20%) dan pada
bagian kurvatora minor (20%). (2)
Sebagian besar pasien yang mengalami perforasi datang ke fasilitas kesehatan
dalam keadaan dramatis. Timbul nyeri mendadak pada abdomen bagian atas yang
menyiksa. Dalam beberapa menit timbul peritonitis kimia akibat keluarnya asam
lambung, pepsin, dan makanan yang menyebabkan nyeri hebat. Pasien takut untuk

1
bergerak atau bernafas. Abdomen pada pemeriksaan auskultasi senyap dan pada
palpasi mengeras seperti papan. Perforasi akut biasanya dapat didiagnosis hanya
berdasarkan pada gejala yang timbul. (2)
Pada perforasi gaster, terapi konservatif dapat dilakukan pada beberapa kasus.
Jika diperlukan dapat dilakukan tindakan laparatomi atau laparaskopi. Kombinasi
teknik bedah, terapi antimikroba dan dukungan perawatan intensif telah
meningkatkan outcome dari kasus-kasus tersebut. (1,2)

BAB II

2
LAPORAN KASUS

2.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. H. Y
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 49 Tahun
Pekerjaan : Petani
Alamat : Jl. Basir, Jaya Setia
No. RM : 0143249
Tanggal Masuk : 18 Juli 2018
Tanggal Pemeriksaan : 18 Juli 2018

2.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Nyeri seluruh perut

Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang dengan keluhan nyeri seluruh perut yang timbul sejak 2 hari yang
lalu, memberat dalam 2 jam sebelum masuk rumah sakit. Nyeri terasa seperti ditusuk-
tusuk. Awalnya nyeri perut dirasakan di ulu hati namun lama kelamaan menyebar ke
seluruh perut. Nyeri bertambah berat saat pasien duduk dan batuk serta berkurang jika
berbaring. Pasien juga mengeluhkan mual dan perut terasa keras seperti papan. Badan
terasa panas sejak 2 hari yang lalu, naik turun. Pasien tidak dapat BAB sejak 4 hari
yang lalu. Kentut tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien tidak pernah mengalami hal yang sama sebelumnya. Riwayat maag,
muntah darah, BAB hitam juga tidak pernah dikeluhkan pasien.

Riwayat Penggunaan Obat

3
Pasien mengaku 2 jam sebelum masuk rumah sakit telah berobat dengan mantri
dan diberikan obat tablet dan suntik, namun sakit perut bertambah hebat. Dua bulan
sebelum masuk rumah sakit, pasien sering menggunakan obat anti nyeri yang dibeli
sendiri di apotek untuk mengobati nyeri dan kesemutan pada tangannya. Riwayat
minum jamu sejak 5 tahun yang lalu untuk meningkatkan stamina.

Riwayat Operasi
Pasien belum pernah dioperasi sebelumnya.

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami penyakit yang sama.

Riwayat Kebiasaan Sosial


Pasien memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus perhari dan minum tuak.

2.3 Pemeriksaan Fisik


Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
Tekanan darah : 130/80 mmHg
Laju Nadi/Nafas : 92 kali per menit/ 20 kali per menit
SuhuTubuh : 37.90 C

Status Generalisata

4
Kepala
Mata : - Konjungtiva anemis (-/-)
- Sklera ikterik (-/-)
- Pupil isokor (3mm/3mm), RCL (+/+)
Hidung : Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)
Telinga : Bentuk normal, deformitas (-), sekret (-)
Mulut : Bibir sianosis (-), mukosa basah (+)
Leher : Trakea di tengah, JVP 5-2 cmH2O, KGB tidak membesar.

Thoraks
Inspeksi : Pergerakan dinding dada simetris
Palpasi : Stem fremitus kanan = Stem fremitus kiri
Perkusi : Sonor/Sonor
Auskultasi : Suara Pernapasan: vesikuler di seluruh lapangan paru.
Suara tambahan: Tidak dijumpai

Cor : BJ I < BJ II, reguler, bising (-)

Abdomen
Inspeksi : Cembung, warna kulit sama dengan sekitar, darm steifung
dan darm contour (-).
Palpasi : Defans muskular (+)
Perkusi : Timpani (+)
Auskultasi : Bising usus menurun

Ekstremitas : Akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik.


Motorik ekstremitas atas: 5555/5555, bawah: 5555/5555

2.4 Pemeriksaan Penunjang


1. Laboratorium darah (18/7/2018)

Pemeriksaan Hasil Nilai Normal


Haemoglobin (Hb) 14,1 g/dl 12-16/13-18
Leukosit 11.000 /mm3 5000-10.000

5
Hematokrit 42 % 40-48
Trombosit 177.000 /mm3 150.000-400.000
GDS 160 mg/dl <100
Ureum 18 mg/dl 10-50
Kreatinin 1,0 mg/dl 0,6-1,1
SGOT 69 U/L <32
SGPT 85 U/L <31
PT 13,7 second 11-12,5 second
APTT 21,5 second 20-35 second

2. EKG (18/7/2018)

Kesimpulan: Sinus Rhythm, HR: 92x/menit.

3. Foto Thoraks PA (18/7/2018)

6
Kesimpulan: Tampak udara bebas di subdiafragma kanan dan kiri curiga perforasi
organ berlumen.

4. USG Abdomen (18/7/2018)

7
Kesimpulan: Hepar, lien, kedua ginjal, kantong empedu, pankreas, kandung kemih
dan prostat tidak tampak kelainan. Appendiks tidak tervisualisasi.

2.5 Diagnosis Kerja


Peritonitis Diffuse et causa Perforasi Gaster

2.6 Tatalaksana
Medikamentosa
IGD
IVFD RL 20 gtt/i

8
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x50 mg
Ruangan
IVFD RL 20 gtt/I + drip Tramadol 1 amp
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr
Inj. Ranitidin 2x50 mg

Operatif
Dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi dan repair gaster pada tanggal 18 juli
2018 pukul 20.00 WIB. Dalam kavum abdomen didapatkan bowel content dengan
volume ± 300cc yang berasal dari perforasi prepyloric gaster ukuran ± 0,8cm.
Dilakukan repair gaster dengan benang Silk 1.0.0, dilanjutkan dengan omental patch.

2.7 Foto Klinis & Operasi

9
18/07/2018, 13.00 WIB
Gambar 1. Foto klinis preoperasi. Abdomen tampak cembung. Warna kulit sama
dengan sekitar, darm steifung dan darm contour (-).

18/07/2018, 21.00 WIB


Gambar 2. Foto operasi. Tampak perforasi pada bagian prepyloric gaster ukuran ±
0,8cm.

10
19/07/2018, 09.00 WIB
Gambar 3. Foto post operasi. Tampak luka bekas operasi tertutup verban.

2.8 Prognosis
Dubia ad bonam

2.9 Follow Up Post Operasi


19 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/
POD I (+). Kentut (-) Puasa hari ke-1
NGT dipertahankan
Bangsal bedah O: Regio abdomen IVFD RL: D5% 20 gtt/i
I: Luka bekas operasi IVFD Ivelip: Clinimix 20 gtt/i
tertutup verban. Inj. Meropenem 2x1gr
Rembesan (-). Drain Inf. Metronidazole 3x500mg
terpasang: volume 250 Drip tramadol 2x50mg
cc Inj. Omeprazol 2x40mg
P: Nyeri tekan (+)
A: BU (-) Planning : Cek Albumin

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster
20 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/
POD II (+). Kentut (+). Nafas sesak. Puasa hari ke-2
AFF NGT
Bangsal bedah O: Regio abdomen IVFD RL: D5% 20 gtt/i
I: Luka bekas operasi IVFD Clinoleic: Clinimix 20
tertutup verban. gtt/i

11
Rembesan (-). Drain Inf. Albumin 20% (H1)
terpasang: volume 10 Inj. Meropenem 2x1gr
cc Inf. Metronidazole 3x500mg
P: Nyeri tekan (+) Drip tramadol 2x50mg
A: BU (+) 3x/i Inj. Omeprazol 2x40mg

Lab 19/7/2018 Planning: Pindah ICU


Albumin: 0,9 g/dl

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin

21 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/


POD III (-). Diet air putih 10cc/2jam
IVFD RL: D5% 40 cc/jam
ICU O: Regio abdomen IVFD Clinoleic 10 cc/jam
I: Luka bekas operasi IVFD Clinimix 40 cc/jam
tertutup verban. Inf. Albumin 20% (H2)
Rembesan (-). Drain Inj. Meropenem 2x1gr
terpasang: volume 10 Inf. Metronidazole 3x500mg
cc Drip tramadol 2x50mg
P: Nyeri tekan (+) Inj. Omeprazol 2x40mg
A: BU (+) 4x/i

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin

22 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/


POD IV (-). Diet air gula 20 cc/2jam
IVFD RL: D5% 40 cc/jam
ICU O: Regio abdomen IVFD Clinoleic 40 cc/jam
I: Luka bekas operasi IVFD Clinimix 40 cc/jam
tertutup verban. Inf. Albumin 20% (H3)
Rembesan (-). Drain Inj. Meropenem 2x1gr
terpasang: volume 5 cc Inf. Metronidazole 3x500mg
P: Nyeri tekan (-) Drip tramadol 2x50mg
A: BU (+) 4x/i Inj. Omeprazol 2x40mg

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post

12
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin

23 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/


POD V (-). Diet MC 6x200 cc
IVFD RL: D5% 40 cc/jam
ICU O: Regio abdomen IVFD Clinoleic 40 cc/jam
I: Luka bekas operasi IVFD Clinimix 40 cc/jam
tertutup verban. Inj. Meropenem 2x1gr
Rembesan (-). Drain Inf. Metronidazole 3x500mg
terpasang: volume 5 cc Drip tramadol 2x50mg
P: Nyeri tekan (-) Inj. Omeprazol 2x40mg
A: BU (+) 4x/i

Lab 22/7/2018
Albumin : 3,2

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin

24 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/


POD VI (-). Diet BS
IVFD RL: D5% 40 cc/jam
ICU O: Regio abdomen Inj. Meropenem 2x1gr
I: Luka bekas operasi Inf. Metronidazole 3x500mg
tertutup verban. Drip tramadol 2x50mg
Rembesan (-). Drain Inj. Omeprazol 2x40mg
terpasang: volume 2 cc
P: Nyeri tekan (-)
A: BU (+) 4x/i

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin
25 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/
POD VII (-). Diet ML
IVFD RL: D5% 40 cc/jam
ICU O: Regio abdomen Inj. Meropenem 2x1gr
I: Luka bekas operasi Inf. Metronidazole 3x500mg
tertutup verban. Drip tramadol 2x50mg
Rembesan (-). Drain Inj. Omeprazol 2x40mg

13
terpasang: volume 50 Mobilisasi
cc
P: Nyeri tekan (-) Planning:
A: BU (+) 4x/i AFF Drain & Cateter
Besok Pulang
A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin
26 Juli 2018 S: Nyeri luka bekas operasi Th/
POD VIII (-). Terapi Pulang:
Levofloxacin tab 1x500mg
ICU O: Regio abdomen Ranitidin tab 2x150mg
I: Luka bekas operasi B.Complex tab 2x1
tertutup verban. Asam Mefenamat tab
Rembesan (-). 3x500mg
P: Nyeri tekan (-)
A: BU (+) 4x/i

A: Peritonitis Diffuse ec
perforasi gaster post
laparotomi eksplorasi post
repair gaster + Hipoalbumin

BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi
Anatomi Gaster

14
Gaster merupakan bagian dari organ gastrointestinal yang terletak di antara
esofagus dan duodenum. Secara topografi, gaster terbagi menjadi lima bagian yaitu
kardia dan gastroesofageal junction, fundus, korpus, antrum, serta pilorus. Esofagus
bersambungan dengan gaster melalui orifisium kardia yang terletak sebelah kiri dari
garis tengah tubuh setinggi level T10. Setelah melewati diafragma, esofagus
melengkung secara tajam ke kiri dan berlanjut menjadi bagian kardia dari gaster.
Garis tepi sebelah kanan esofagus berlanjut menjadi kurvatura minor dan garis tepi
sebelah kiri berlanjut menjadi kurvatura mayor. Bagian korpus mengandung banyak
sel parietalis yang mensekresikan asam klorida (HCl) serta sel prinsipalis yang
menghasilkan pepsinogen. Bagian kardia dan fundus memiliki struktur yang hampir
sama dengan korpus, hanya saja jumlah sel parietalis dan prinsipalis lebih sedikit.
Antrum sebagai bagian terdistal dari gaster mengandung sel-sel epitel permukaan
yang mensekresi alkali serta sel-sel G yang mensekresi hormon gastrin. Pilorus
adalah bagian yang mudah dikenali sebagai cincin otot yang memisahkan gaster dan
duodenum. Struktur ini terletak di sebelah kanan garis tengah tubuh setinggi L1. (2,4)

15
Gambar 4. Topografi Gaster (5)

Gaster terdiri dari 2 permukaan. Permukaan anterosuperior dan posteroinferior.


Permukaan anterosuperior dilapisi oleh peritoneum. Bagian ini dibatasi oleh
diafragma di superior, muskulus rektus abdominis di anterior dan lobus hepatis
sisnistra di sebelah dekstra. Permukaan posteroinferior juga dilapisi oleh peritoneum,
kecuali sebagian kecil area didekat orifisium kardia karena terdapat perlengketan
ligamen gastroprenik. Permukaan posteroinferior ini berhubungan dengan pankreas,
adrenal sinistra, ginjal dan diafragma. Kurvatura mayor dari gaster berdekatan dengan
kolon transversum, sementara kurvatura minor berbatasan dengan hepar. (2,4)
Pada gaster juga terdapat struktur omentum mayor yang menggantung dari
kurvatura mayor gaster dan berhubungan secara avaskular ke fleksura hepatika, colon
transversum dan fleksura splenika colon. Omentum minor menggantung di antara
kurvatura minor gaster dan terhubung ke ligamentum falsiformis hepar. (4)

16
Gambar 5. Gaster dan organ disekitarnya (2)

Gaster kaya akan vaskularisasi, dengan kontribusi dari lima arteri: (1) arteri
gastrika sinistra, yang berasal dari bagian atas kurvatura minor; (2) arteri gastrika
dekstra, cabang dari arteri hepatika komunis, yang memperdarahi bagian bawah
kurvatura minor; (3) arteri gastroepiploika kanan, cabang dari arteri gastroduodenal,
yang memasok antrum dan korpus bagian bawah; (4) arteri gastroepiploika sinistra,
cabang dari arteri splenika, yang memasok korpus bagian atas; dan (5) serangkaian
arteri gastrika brevis yang melewati bagian fundus dan bagian atas korpus yang
bersumber dari hilus limpa. Perdarahan bagian pylorus merupakan cabang dari arteri
gastroduodenalis. Cabang terminal arteri gastroduodenalis adalah arteri
pankreatikoduodenalis superior yang beranastomosis dengan arteri
pankreatikoduodenalis inferior (cabang pertama arteria mesenterika superior). (2,4)

17
Gambar 6. Vaskularisasi Gaster (5)

Vena gaster berjalan berdampingan dengan arteri di sepanjang kurvatura mayor


dan minor. Vena-vena ini mengalir baik secara langsung atau secara tidak langsung ke
dalam sistem portal. Vena-vena tersebut adalah sebagai berikut: (1) vena gastrika
sinistra; (2) vena gastrika dekstra; (3) vena gastroepiploika sinistra; (4) vena
gastroepiploika dekstra. (5)
Gaster dipersarafi oleh nervus vagus. Nervus tersebut turun secara lateral di
sepanjang esofagus; di setinggi diafragma nervus tersebut membentuk trunkus
anterior dan posterior (juga dikenal sebagai nervus Latarjet). Nervus vagus anterior
terdiri dari satu atau dua, dan kadang-kadang tiga cabang saraf yang langsung
memasuki otot esopagus. Di level gastroesofageal junction, cabang-cabang kecil
melewati bagian anterior omentum minor menuju hepar dan kantong empedu. Pada
level ini juga, nervus vagus posterior biasanya, tetapi tidak selalu, melewati sisi kiri
esofagus, kemudian menuju kurvatura minor. Pada gastroesofageal junction, cabang-
cabang kecil menyimpang ke kanan dan posterior, dan cabang yang cukup besar
menyimpang ke kiri untuk mempersarafi bagian kardia. (4,5)

18
Gambar 7. Persarafan Gaster (5)

Anatomi Peritoneum
Peritoneum adalah membrane serosa transparan yang bersifat kontinu, berkilau
dan licin. Peritoneum melapisi rongga abdominopelvik dan membungkus organ
visera. Peritoneum terdiri dari dua lapisan: peritoneum parietal, yang melapisi
permukaan internal dinding abdominopelvik, dan peritoneum viseral, yang
membungkus visera seperti gaster dan usus. Kedua lapisan peritoneum terdiri dari
mesotelium, suatu lapisan sel epitel skuamosa sederhana. (6)
Peritoneum parietal dilayani vaskularisasi, pembuluh limfatik dan persarafan
somatik yang sama. Peritoneum yang melapisi bagian dalam dinding tubuh sensitif
terhadap tekanan, nyeri, suhu panas dan dingin, serta laserasi. Nyeri dari peritoneum
parietal umumnya terlokalisir dengan baik, kecuali pada permukaan inferior dari
bagian tengah diafragma, yang dipersarafi oleh saraf frenik, iritasi di sini sering
merujuk pada dermatom C3-C4 di atas bahu. Peritoneum viseral dan organ-organ
yang menutupinya dilayani oleh vaskularisasi, pembuluh darah limfatik dan saraf
viseral yang sama. Peritoneum viseral tidak sensitif terhadap sentuhan, suhu panas
dan dingin, serta laserasi; peritoneium viseral dirangsang terutama oleh peregangan
dan iritasi kimia. Rasa sakit yang dihasilkan tidak terlokalisasi dengan baik. (6)
Rongga peritoneum berada di dalam rongga perut dan terus ke inferior dalam
rongga pelvis. Rongga peritoneum adalah ruang potensial yang tipis dan mengandung
cairan peritoneum, yang tersusun dari air, elektrolit, dan zat lain yang berasal dari
cairan interstisial dari jaringan yang berdekatan. Cairan peritoneum melumasi
permukaan peritoneum, memungkinkan visera berpindah tanpa bergesekan satu sama

19
lain dan memungkinkan gerakan pencernaan. Sebagai tambahannya melumasi
permukaan visera, cairan peritoneum mengandung leukosit dan antibodi yang
melawan infeksi. (6)

3.2 Definisi
Perforasi gastrointestinal merupakan suatu bentuk penetrasi yang kompleks dari
dinding lambung, usus halus atau usus besar sebagai akibat dari bocornya isi organ ke
dalam rongga perut. Perforasi dalam bentuk apapun yang mengenai saluran cerna
merupakan suatu kasus kegawatdaruratan bedah. Perforasi lambung berkembang
menjadi suatu peritonitis kimia yang disebabkan karena kebocoran asam lambung ke
dalam rongga perut. (1,2)
Istilah peritonitis merujuk pada peradangan peritoneum oleh penyebab apa pun.
Infeksi intra-abdomen menunjukkan peritonitis yang disebabkan oleh bakteri
(misalnya, proses peradangan lokal yang diprakarsai oleh bakteri dan racunnya). (6)

3.3 Epidemiologi
Perforasi traktus gastrointestinal adalah keadaan darurat pada bedah umum di
seluruh dunia yang terjadi pada sekitar 2% hingga 14% pasien dengan penyakit ulkus
aktif. Pada orangtua dilaporkan perforasi ulkus peptikum, baik gaster maupun
duodenum menjadi penyebab tersering peritonitis sekunder.(1,3)
Pada tahun 2007 di Rumah Sakit Hasan Sadikin (RSHS) Bandung dilaporkan
kasus perforasi gaster mencapai 57 orang. Mayoritas kasus adalah pria (77%) dan
terbanyak pada usia 50 – 70 tahun. Gill pada tahun 2006 melaporkan rasio penderita
perforasi gaster laki-laki dan perempuan adalah 7 : 1 dan pada sepuluh tahun terakhir
terjadi peningkatan penderita wanita dengan perbandingan 2 : 1. (2,7)
Iskandar H mengungkapkan bahwa lokasi perforasi gaster paling banyak terjadi
pada sisi anterior (60%), dapat pula terjadi pada bagian antrum (20%) dan pada
bagian kurvatura minor (20%). (2)

3.4 Etiologi

20
Peritonitis sekunder merupakan jenis peritonitis yang paling sering terjadi.
Peritonitis sekunder umum yang bersifat akut disebabkan oleh berbagai penyebab.
Infeksi traktus gastrointestinal, infeksi traktus urinarius, benda asing seperti yang
berasal dari perforasi apendiks, asam lambung dari perforasi lambung, cairan empedu
dari perforasi kandung empedu serta laserasi hepar akibat trauma. (3)
Faktor-faktor yang sering terlibat dalam kejadian perforasi peptik adalah infeksi
helicobacter pylori dan penggunaan kronik obat-obatan NSAIDs. Faktor-faktor lain
yang mempengaruhi perforasi gastrointestinal umumnya terjadi sebagai akibat dari
stres, merokok berlebihan dan konsumsi alkohol atau kopi. (1)

3.5 Patofisiologi
Secara fisiologis, gaster relatif bebas dari bakteri dan mikroorganisme lainnya
karena keasaman yang tinggi. Bagaimanapun juga mereka yang memiliki masalah
gaster sebelumnya berada pada resiko kontaminasi peritoneal pada perforasi gaster.
Kebocoran asam lambung kedalam rongga peritoneum sering menimbulkan
peritonitis kimia. Bila kebocoran tidak ditutup dan partikel makanan mengenai
rongga peritoneum, peritonitis kimia akan diperparah oleh perkembangan yang
bertahap dari peritonitis bakterial. Pasien dapat asimptomatik untuk beberapa jam
antara peritonitis kimia awal dan peritonitis bakterial lanjut. (2)
Secara umum episode dari perforasi ulkus peptikum dibagi menjadi tiga fase (2):
a. Peritonitis kimia. Pada saat awal perforasi menimbulkan peritonitis kimia, dengan
atau tanpa kontaminasi mikroorganisme. Bocornya isi gastroduodenum biasanya
terjadi difus tetapi dapat pula terlokalisir pada abdomen bagian atas dengan adanya
adhesi dari omentum.
b. Fase intermediate. Setelah 6 – 12 jam pasien dapat menunjukkan penurunan
gejala nyerinya. Hal ini mungkin disebabkan oleh dilusi dari cairan
gastroduodenum dengan adanya eksudat peritoneal.
c. Fase infeksi abdomen. Jika pasien belum dilakukan operasi, setelah 12 – 24 jam
akan terjadi infeksi intraabdomen.

3.6 Diagnosis

21
a. Anamnesis
Sebagian besar pasien yang mengalami perforasi datang ke fasilitas kesehatan
dalam keadaan dramatis. Timbul nyeri mendadak pada abdomen bagian atas yang
menyiksa. Nyeri terasa seperti ditikam di perut. Dalam beberapa jam kemudian, nyeri
dapat menyebar ke seluruh perut dan menimbulkan nyeri seluruh perut. Penderita
umumnya takut untuk bergerak atau bernafas karena nyeri semakin meningkat
dengan adanya pergerakan. Penderita juga dapat mengeluhkan nausea, vomitus dan
pada keadaan lanjut disertai demam serta mengigil. (2,8)
b. Pemeriksaan Fisik
Secara umum, pasien dengan peritonitis tampak pucat, lemas dan gelisah; mata
cekung karena dehidrasi. Secara objektif pasien akan menunjukkan tanda-tanda
Systemic Inflammatory Respon Syndrome (SIRS) atau yang paling buruk, syok septik,
syok hipovolemik atau kegagalan multi organ. (2)
Biasanya pasien akan terlihat berbaring terlentang dan relative tidak bergerak
serta bernafas secara dangkal. Lututnya ditekuk dan ditarik untuk mengurangi
ketegangan di dinding perut. Pada peritonitis difus, spasme otot perut akan
menghasilkan kekakuan seperti papan dan kegagalan perut untuk bergerak sesuai
dengan laju respirasi. Palpasi perut memperparah nyeri dan karenanya harus
dilakukan dengan hati-hati dan lembut. Tanda-tanda penyakit patognomonik spesifik
mungkin secara klinis terlihat (misalnya, tanda Rovsing pada apendisitis akut).
Pemeriksaan colok dubur akan menimbulkan nyeri anterior pada peritonitis pelvis.
Auskultasi akan mengkonfirmasi terjadinya ileus kerena berkurangnya bising usus
bahkan akhirnya berhenti. (6)
b. Pemeriksaan Penunjang
Pada pemeriksaan darah, pasien dengan peritonitis difus akan menunjukkan
leukositosis. Peningkatan kadar ureum dan elektrolit akan terlihat jika terjadi
dehidrasi dan gagal ginjal akut; pada tes fungsi hati dan serum amilase, konsentrasi
amilase dalam serum yang tinggi adalah diagnostik untuk pankreatitis akut, tetapi
konsentrasi yang cukup tinggi juga dapat disebabkan oleh akut abdomen lainnya
(misalnya perforasi ulkus duodenum). Analisa Gas Darah Arteri (AGDA)

22
mencerminkan asidosis metabolik, sering didahului oleh rendahnya tekanan
karbondioksida arteri yang disebabkan oleh hiperventilasi. Pengecekan golongan
darah dan crossmatch perlu dilakukan untuk persiapan darah jika diperlukan dalam
operasi laparotomi. (6)
Pemeriksaan penunjang dari perforasi gastrointestinal yang cepat dan dapat
diandalkan sangat penting, karena seringkali dibutuhkan tindakan pembedahan yang
segera. Diagnosis dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal,
dinyatakan sebagai gambaran seperti bulan sabit translusen antara bayangan hati dan
diafragma. Udara bebas dapat terlihat di rongga peritoneum setelah 20 menit dari
timbulnya perforasi. Udara tentu saja masuk ke dalam rongga peritoneal melalui
ulkus yang mengalami perforasi. Deteksi dari pneumoperitoneum yang minimal pada
pasien akut abdomen yang disebabkan oleh perforasi gastrointestinal merupakan
tugas utama yang sangat penting. Teknik yang paling sering digunakan adalah foto
rontgen abdomen posisi tegak dan Left Lateral Decubitus (LLD).(2)
Foto abdomen erect akan menunjukkan pneumoperitoneum pada sekitar 70-
80% perforasi viseral. Foto rontgen LLD adalah alternatif pada mereka yang tidak
bisa duduk. Foto abdomen supine kurang informatif, tetapi menunjukkan tampilan
'ground glass appearance' dalam kasus peritonitis difus. (2)
Meskipun pada saat ini penggunaan tehnik diagnostik yang modern meningkat,
pemeriksaan rontgen masih merupakan pemeriksaan pertama yang penting. Rontgen
masih merupakan pemeriksaan yang mudah, murah dan tersedia serta cepat dalam
melihat adanya udara bebas. Setiap pasien memerlukan posisi yang adekuat sekitar 10
menit sebelum dilakukan rontgen, sehingga udara dapat mencapai posisi tertinggi dari
abdomen. USG dapat berperan dalam mengkonfirmasikan atau menepis diagnosis
spesifik (misalnya abses subfrenik). (6)

3.7 Diagnosis Banding


Pneumonia basal, infark miokard, gastroenteritis, hepatitis dan infeksi saluran
kemih dapat didiagnosis salah sebagai peritonitis. Penyebab lain nyeri perut yang
akut (misalnya obstruksi usus, ureter atau kolik bilier) cenderung menyebabkan
keraguan dalam menegakkan diagnosis. (6)

23
3.8 Tatalaksana
Konservatif
Penatalaksaan tergantung penyakit yang mendasarinya. Terapi konservatif pada
perforasi ulkus peptikum diindikasikan pada kasus pasien yang non-toksik dan secara
klinis keadaan umumnya stabil. Biasanya diberikan cairan intravena jenis kristaloid,
antibiotik intravena (Cefotaxim dan Metronidazole) dan Omeprazole, analgesia opiat
injeksi dan antiemetik yang sesuai akan dibutuhkan, aspirasi NGT, dan pasiennya
dipuasakan. (2,6)
Pemantauan input dan output cairan dilakukan setiap 2 jam. Denyut nadi,
tekanan darah, dan temperatur juga perlu diawasi. Abdomen dievaluasi untuk distensi,
nyeri, dan peristaltik (bising usus). Selama 2-3 hari pertama pasien dipuasakan.
Terapi konservatif dihentikan bila pasien tidak menunjukkan perbaikan dengan
peningkatan denyut nadi, demam, distensi abdomen atau nyeri setelah 12 jam terapi.
Pasien secara hati-hati diamati adanya tanda-tanda peritonitis. Jika dapat ditoleransi
dengan baik maka NGT dilepas dan mulai diberikan makanan cair. (2)

Operatif
Intervensi bedah hampir selalu dibutuhkan dalam bentuk laparotomi explorasi
dan penutupan perforasi serta pencucian dalam rongga peritoneum (evakuasi medis).
Saat ini, pembedahan untuk penyakit ulkus peptikum terbatas pada penanganan
komplikasinya seperti perforasi, perdarahan dan sebagainya. Operasi untuk perforasi
gaster dapat dilakukan secara pembedahan terbuka dan laparoskopi dengan hasil
yang sama, dilaporkan sedikit komplikasi dari teknik laparaskopi berupa infeksi luka
operasi. Saat ini metode laparaskopi lebih sering dilakukan pada kasus perforasi
gaster.
Penjahitan perforasi dengan atau tanpa omental patch sudah menjadi pilihan utama
untuk perforasi ulkus peptikum sejak ditemukannya obat-obatan yang efektif
mensupresi produksi asam. Penutupan sederhana dengan omental patch merupakan

24
operasi termudah, tercepat dan teraman, dan dapat diterapkan untuk semua situasi
oleh setiap ahli bedah. (1)
Komplikasi dari pembedahan tergantung dari efektifitas penyembuhan
penutupan perforasi dan penyakit penyerta. Re-perforasi jarang terjadi dan semakin
jarang dengan digunakannya obat-obatan untuk supresi produksi asam lambung.
Peritoneal sepsis jarang terjadi dan berhubungan dengan lama waktu terjadinya
perforasi sebelum terdiagnosa dan dilakukan tindakan operasi. Sepsis sistemik dan
penyakit penyerta lain sangat menentukan morbiditas dan mortalitas. Pada akhir-akhir
ini terdapat kemajuan dalam tatalaksana perforasi ulkus peptikum secara laparaskopi,
tetapi belum dibuktikan adanya pengurangan komplikasi dengan menggunakan teknik
tersebut. (2)

BAB IV
ANALISIS KASUS

Telah diperiksa pasien laki-laki berusia 49 tahun di bangsal bedah RSUD H.


Hanafie Muara Bungo Jambi pada tanggal 18 Juli 2018 dengan keluhan nyeri seluruh
perut yang timbul sejak 2 hari yang lalu, memberat dalam 2 jam sebelum masuk
rumah sakit. Nyeri terasa seperti ditusuk-tusuk. Awalnya nyeri perut dirasakan di ulu

25
hati namun lama kelamaan menyebar ke seluruh perut. Nyeri bertambah berat saat
pasien duduk dan batuk serta berkurang jika berbaring. Pasien juga mengeluhkan
mual dan perut terasa keras seperti papan. Badan terasa panas sejak 2 hari yang lalu,
naik turun. Pasien tidak dapat BAB sejak 4 hari yang lalu. Kentut tidak ada.
Pada kasus ini, jenis kelamin pasien adalah laki-laki dan berusia 49 tahun. Hal
ini sesuai dengan literatur yang menyatakan bahwa penderita laki-laki lebih banyak
dibandingkan perempuan. Hasil ini juga sesuai dengan angka kejadian di RSHS dan
RSDM dimana didapatkan perbandingan penderita laki-laki 66% -77% dan penderita
perempuan 23% - 34%. Sebagian besar pasien berusia 50 – 70 tahun dan usia termuda
adalah 22 dan 28 tahun. Hal tersebut juga sesuai dengan yang dilaporkan oleh Gill
pada tahun 2006 bahwa rasio penderita perforasi gaster laki-laki dan perempuan
adalah 7:1 dan pada sepuluh tahun terakhir terjadi peningkatan penderita wanita
dengan perbandingan 2:1. (2,7)
Keluhan nyeri yang dirasakan pasien sesuai dengan teori yang menyatakan
bahwa pasien dengan perforasi gaster tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut.
Nyeri ini timbul mendadak, terutama dirasakan di daerah epigastrium akibat
rangsangan peritoneum oleh asam lambung. Cairan lambung akan mengalir ke kelok
parakolika kanan, menimbulkan nyeri perut kanan bawah, kemudian menyebar ke
seluruh perut menimbulkan nyeri seluruh perut. Rangsangan peritoneum
menimbulkan nyeri pada setiap gerakan yang menyebabkan pergeseran
antarperitoneum. Nyeri subjektif dirasa sewaktu penderita bergerak, misalnya
berjalan, bernapas, menggerakkan badan, batuk dan mengejan. (2,8)
Pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteri, fase ini disebut dengan fase
peritonitis kimia. Pengenceran zat asam di rongga peritoneum untuk sementara akan
mengurangi keluhan (fase intermediate) sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Bila telah terjadi peritonitis bakteria, suhu badan akan naik, terjadi takikardia dan
hipotensi, dan pasien tampak letargik karena syok toksik. (2,8)
Pada keadaan normal, peritoneum resisten terhadap infeksi bakteri secara
inokulasi (ringan). Kontaminasi yang terus menerus oleh bakteri yang virulen,
penurunan resistensi, dan adanya benda asing atau enzim pencernaan aktif merupakan

26
faktor-faktor yang memicu terjadinya peradangan pada peritoneum. Inflamasi yang
terjadi melibatkan mediator inflamasi berupa sitokin TNF-alfa, IL-1, IL-6, IFN-
gamma, dan lain-lain yang diproduksi oleh makrofag dan sel host lainnya sebagai
respon dari bakteri dan toksinnya. Zat-zat algesik seperti prostaglandin, serotonin,
bradikinin, leukotrin, substansi P, kalium, histamin, asam laktat, dan lain-lain juga
dihasilkan dalam suatu respon inflamasi. Zat-zat ini akan mensensitisasi reseptor-
reseptor nyeri (anyaman ujung-ujung bebas serat aferen A delta dan C) dan
menyebabkan terbentuknya impuls nyeri. Impuls ini kemudian dihantarkan melalui
serabut aferen saraf simpatis menuju sistem saraf pusat. (6,8,9,10)
Pada anamnesis riwayat penggunaan obat, pasien mengaku 2 jam sebelum
masuk rumah sakit telah berobat dengan mantri dan diberikan obat tablet dan suntik,
namun sakit perut bertambah hebat. Hal ini diduga karena air dan obat yang diminum
menambah tumpahan cairan yang melewati perforasi gaster sehingga memperberat
peradangan peritoneum yang terjadi. Dua bulan sebelum masuk rumah sakit, pasien
sering menggunakan obat anti nyeri yang dibeli sendiri di apotek untuk mengobati
nyeri dan kesemutan pada tangannya. Riwayat minum jamu sejak 5 tahun yang lalu
untuk meningkatkan stamina. Pasien juga memiliki kebiasaan merokok 1 bungkus
perhari dan minum tuak.
Riwayat penggunaan obat anti nyeri yang diduga adalah obat anti inflamasi non
steroid (NSAIDs), jamu serta kebiasaan merokok dan minum tuak pada pasien ini
berhubungan dengan kejadian perforasi yang terjadi pada gaster pasien. Iskandar H
menyatakan bahwa obat NSAIDs termasuk aspirin dapat menyebabkan perubahan
kualitatif sawar mukosa lambung yang dapat mempermudah terjadinya degradasi
mukus oleh pepsin. Menurut teori sawar mukus dari hollander, sawar mukosa
lambung penting untuk perlindungan lambung dan duodenum. Lapisan mukus
lambung yang tebal dan liat merupakan garis terdepan dalam pertahanan terhadap
autodigesti. Lapisan ini memberikan perlindungan terhadap trauma mekanis dan agen
kimia. Dalam keadaan normal, sawar mukosa ini memungkinkan sedikit difusi balik
ion hidrogen (H+) dari lumen kedalam darah, walaupun terdapat selisih konsentrasi
yang besar (pH asam lambung 1,0 versus pH darah 7,4). Aspirin, alkohol, garam

27
empedu, dan bahkan jamu yang merusak mukosa lambung mengubah permeabilitas
sawar epitel, sehingga memungkinkan difusi balik asam klorida yang mengakibatkan
kerusakan jaringan, terutama pembuluh darah. (2)
Beberapa bukti juga menunjukkan bahwa merokok merupakan resiko tambahan
dari ulkus duodenum dan gaster. Merokok dapat memperlemah kemampuan
penyembuhan ulkus dan meningkatkan angka rekurensi dari ulkus. Merokok yang
terus menerus dapat mempengaruhi efektifitas dari terapi ulkus yang aktif. Merokok
dapat meningkatkan resiko kebutuhan untuk pembedahan dan resiko postoperasinya.
Berhenti merokok merupakan salah satu kunci penting dari terapi ulkus peptikum. (2)
Pada pemeriksaan fisik regio abdomen, inspeksi abdomen tampak cembung.
Pada palpasi didapatkan defans muskular. Bising usus pada auskultasi juga menurun.
Temuan ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa pada peritonitis difus,
spasme otot perut akan menghasilkan kekakuan seperti papan dan kegagalan perut
untuk bergerak sesuai dengan laju respirasi. Rangsangan peritoneum menimbulkan
nyeri tekan dan defans muskular. Pekak hati biasanya hilang akibat adanya udara
bebas dibawah diafragma. Peristalsis usus menurun sampai menghilang akibat
kelumpuhan usus sementara. (2)
Hasil pemeriksaan laboratorium darah pada pasien didapatkan hasil leukosit
sedikit meningkat yaitu 11.000 sel/mm3. Pada kasus ini diduga pasien telah memasuki
fase infeksi abdomen yang dibuktikan dengan peningkatan kadar leukosit, walaupun
meningkat sedikit. Teori menyatakan bahwa pasien dengan peritonitis difus akan
menunjukkan leukositosis. Selain itu juga dapat dijumpai peningkatan kadar ureum
dan elektrolit jika terjadi dehidrasi dan gagal ginjal akut; pada tes fungsi hati dan
serum amilase, konsentrasi amilase dalam serum yang tinggi adalah diagnostik untuk
pankreatitis akut, tetapi konsentrasi yang cukup tinggi juga dapat disebabkan oleh
akut abdomen lainnya. AGDA mencerminkan asidosis metabolik, sering didahului
oleh rendahnya tekanan karbondioksida arteri yang disebabkan oleh hiperventilasi.
Pemeriksaan fungsi ginjal dan fungsi hati pada pasien ini dalam batas normal
sehingga dapat disimpulkan tidak terjadi dehidrasi dan gagal ginjal akut pada pasien.
Pemeriksaan elektrolit, serum amilase dan AGDA tidak diperiksa pada kasus ini. (6)

28
Foto thoraks pada kasus ini menunjukkan adanya udara bebas di subdiafragma
kanan dan kiri. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa diagnosis perforasi viseral
dipastikan melalui adanya udara bebas dalam rongga peritoneal, dinyatakan sebagai
gambaran seperti bulan sabit translusen antara bayangan hati dan diafragma. Udara
bebas dapat terlihat di rongga peritoneum setelah 20 menit dari timbulnya perforasi.
Udara tentu saja masuk ke dalam rongga peritoneal melalui ulkus yang mengalami
perforasi. Teknik yang paling sering digunakan adalah foto rontgen abdomen posisi
tegak dan Left Lateral Decubitus (LLD).(2)
Terapi medikamentosa pada kasus ini adalah pemberian infus Ringer Laktat,
antibiotik injeksi Cefoperazone, analgesia injeksi Tramadol dan injeksi Ranitidin.
Saat postoperasi pasien dipuasakan, dipasangkan NGT dan kateter. Obat-obat yang
diberikan postoperasi antara lain Meropenem injeksi, Metronidazole infus, injeksi
tramadol dan Omeprazol. Hal ini sesuai dengan literatur bahwa pada pasien dengan
peritonitis difus diberikan cairan intravena, antibiotik intravena (Cefotaxim dan
Metronidazole) dan Omeprazole serta analgesia opiat injeksi. Pemasangan NGT
dilakukan untuk mengurangi kejadian aspirasi muntah serta untuk dekompresi
abdomen yang mengalami distensi dan pasien dipuasakan. Pemasangan kateter
bertujuan untuk memantau input dan output cairan. (6)
Antibiotik yang diberikan haruslah antibiotik spektrum luas yang dapat
membunuh bakteri aerob dan anaerob, dan diberikan secara intravena. Cephalosporin
generasi ketiga dan metronidazole adalah strategi utama yang umum. Untuk pasien
yang membutuhkan perawatan intensif, terapi lini kedua dengan meropenem atau
kombinasi piperacillin dan tazobactam sangat disarankan. Penggunaan antibiotik
secara dini dan tepat adalah kunci untuk mengurangi angka kematian pada pasien
dengan syok septik yang terkait dengan peritonitis. (6)
Pada kasus ini dilakukan tindakan laparotomi eksplorasi dan repair gaster. Hal
ini sesuai dengan literatur bahwa tindakan operatif untuk perforasi gaster dapat
dilakukan secara pembedahan terbuka, yaitu operasi laparotomi eksplorasi yang
dilanjutkan dengan penutupan perforasi serta pencucian dalam rongga peritoneum
(evakuasi medis). Penjahitan perforasi dengan atau tanpa omental patch sudah

29
menjadi pilihan utama untuk perforasi ulkus peptikum sejak ditemukannya obat-
obatan yang efektif mensupresi produksi asam. Penutupan sederhana dengan omental
patch merupakan operasi termudah, tercepat dan teraman, dan dapat diterapkan untuk
semua situasi oleh setiap ahli bedah. (1)

BAB V
KESIMPULAN

1. Telah dilaporkan satu kasus Peritonitis Diffuse et causa Perforasi Gaster pada
seorang laki-laki usia 49 tahun yang diagnosisnya ditegakkan berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Pada pasien juga telah
diberikan terapi medikamentosa dan tindakan operatif berupa laparotomi
eksplorasi dan repair gaster.
2. Sebagai dokter umum, bila menemukan kasus peritonitis diffuse diharapkan:

30
- Melakukan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang tepat
- Melakukan resusitasi dan pemberian tatalaksana awal.
- Edukasi kepada pasien tentang kemungkinan penyakit pasien.
- Merujuk ke ahli bedah.

DAFTAR PUSTAKA

1. Heidari SF. A Case Report: Peritonitis Following Pre-Pyloric Ulcer Perforation.


Annal Clin Lab Res. 2017; 5 (2): p. 1-2

2. Iskandar H. Tesis: Hubungan Antara Abdominal Perfusion Pressure (APP)


degan Outcome Post Operasi Gaster. Solo: Program Pascasarjana Universitas
Sebelas; 2015. p. 1-52

3. Japanesa A, Zahari A, Rusjdi SR. Pola Kasus dan Penatalaksanaan Peritonitis


Akut di Bangsal Bedah RSUP dr. M. Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas.
2016; 5(1): 209-14

31
4. Soybel DI. Anatomy and Physiology of The Stomach. Surg Clin N Am. 2005; 85:
p. 875-894

5. Daniels IR, Allum WH. The anatomy and Physiology of The stomach. Upper
Gastrointestinal Surgery. London: Springer Specialist Surgery Series; 2005. p.
17-37

6. Dani T, Ramachandra L, Nair R, Sharma D. Evaluation of Prognosis in Patients


with Perforation Peritonitis Using Mannheim’s Peritonitis Index. International
Journal of Scientific and Research Publications. 2015; 5(5): p. 1-3

7. Gill H. Peptic Ulcer Surgery : “ A Shift in the Paradigm” Indication, Operation


of Choice and Operative Technique. Sout of Africa: University of Cape Town;
2006.

8. Pieter J. Buku Ajar Ilmu Bedah: Lambung dan Duodenum. Editor: Sjamsuhidajat
R & De Jong W. Jakarta: EGC; 2010. p. 642-662

9. Shcrock W. Peritonitis dan Massa Abdominal dalam Ilmu Bedah, Ed. 7. Jakarta:
ECG; 2000.

10. Way LW. Peritoneal Cacity in Current Surgical Diagnosis & Treatment, Ed.14.
USA: Mc Graw Hill; 2017.

32

Anda mungkin juga menyukai