Anda di halaman 1dari 44

LAPORAN PENDAHULUAN

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN CEDERA KEPALA, KASUS, SOP BALUT TEKAN, JURNAL

Disusun oleh :

ALIFIA SALSABILA RAHMAH

2017720062

7A REGULER

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA

2020
A. Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. (Ayu, 2010)
Menurut lokasi trauma, trauma kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala yang sering terjadi dan menyebabkan penyakit
neurologik yang cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan dijalan raya. Resiko utama
pasien dengancedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial. (Smeltzer dan Brane, 2002)
Cedera kepala menyebabkan infeksi intracranial. Trauma di bagian ini dapat
menyebabkan abrasi, kontusio, laterasi dan avulasi. Suntikan prokain melalui
subkutan dapat membuat luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi
untuk mengeluarkan benda asing dan menimalisir masuknya mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi.
Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi terjadinya yang terakhir adalah cedera otak.
Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita dan kejadian minor
dapat membuat otak mengalami kerusakan yang bermakna. Otak menjadi tidak dapat
menyimpan oksigen dan glukosa jika mengalami kerusakan yang cukup bermakna.
Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah teru-menerus untuk memperoleh
makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati diakibatkan karena darah
yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan merusak neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.
Menurut tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000), antara lain:
1. Cedera kepala ringan ( kelompok resiko rendah)\
- Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientatif, atentif)
- Tidak kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksisasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala
- Pasien dapat mengeluh abrasi, laterasi dan hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang atau berat
2. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
- Skor skala Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tidak kemungkinan fraktur cranium
- Kejang
3. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
- Skor skala Glasgow 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur defresi cranium

Anatomi Otak

Anatomi Lapisan Otak


B. Etiologi
1. Trauma tajam
Kerusakan terjadi hanya terbatas pada daerah yang menyebabkan robeknya otak.
Misalnya tertembak peluru atau benda tajam
2. Trauma tumpul
Kerusakan menyebar karena kekuatan benturan, biasanya lebih berat sifatnya
3. Cedera akselerasi
Peristiwa gonjatan yang hebat pada kepalabaik disebabkan oleh pukulan maupun
yang bukan pukulan.
4. Kontak benturan. Biasanya terjadi karena suatu benturan atau tertabrak suatu
obyek.
5. Kecelakaan lalu lintas
6. Jatuh
7. Kecelakaan kerja
8. Serangan yang disebabkan karena olahraga
9. Perkelahian
(Smeltzer, bare, 2002 & Long 1996)

C. Patofisiologi
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadi memar pada
permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi
kemampuan autoregurasi cerebrak yang menyebabpan hyperemia. Peningkatan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidakada
aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan mendorong jaringan
otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam ruang kranium juga akan
meningkat. Maka, terjadilah penurunan aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan
yang tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan
menekan jaringan saraf sehingga terjadi peningkatatn tekanan intracranial. (Price,
2005)
Dampak edema jaringan otak terhadap system tubuh lain, antara lain:
1. System kardiovaskuler
Trauma kepala biasa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal mikardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan disritmia,
vibrilasi atrium serta ventrikel takikardi. Akibat adanya perubahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh
darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium berubah termasuk peningkatan
frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP
abnormal. Tidak adanya stimulasi endogen saraf simpatis mempengaruhi
penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini dapat meneyebabkan terjadinya
penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. System respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstraksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperapneu dan bronco kontraksi. Terjadi pernafasan
chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang meningkat pada
mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsentrasioksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida dan menimbulkan
alkalosis sehingga terjadi vasokontraksi dan penurunan CBF (Cerbral Blood
Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan system
pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal terjadi menyebabkan
penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein
yang berisi albumin. Albumin dalam cairan intrerstitial otak normal tidak
didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh danrah dan jaringan
sekitarnya. Edema otakini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan
tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang
otak atau medulla oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak
teratur atau pola nafas tidak efektif.
3. System Genito-Urinaris
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolism yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium juga
disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan
pelepasan CTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses
hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah tiga
sampai empat hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma
dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan
pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan
harus hati-hati untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan
pemeriksaan serum elektolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi
eklainan pada kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dnegan respon metabolic
terhadap trauma, karena adanya trauma tubuh memerlukan energy
untukmenangani perubahan-perubahan seluruh system tubuh . namun masukan
makanan kurang, makan akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber
nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolic karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
disesuaikan dengan perubahan metabolism yang terjadi pada trauma. Pemasukan
makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien
atau kemampuan melakukan reflex menelan.
4. System Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas
hipotalamus dan stimulus b=vagal hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi
hiperasiditas.hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan
steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema
serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan
ekskresi asam lambung yangmenyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga
hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambun. Jika hiperasiditas
ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung
5. System Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakkan tubuh.
Hemisfer atau hemipelgia dapat terjadi akibat dari kerusakan pada area motorik
otak. Selain itu pasien dapat mempunyai kontrol volunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunteer terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok
neuro yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior
lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik. Disini kedua
bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang
berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-
masing dari otot neuron ini menetralisikan informasi tertentu pada gerakkan.
Sehingga pasien akan menunjukkan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras
neuron ini bekerja.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakkan involunter. Terdapat gangguan
tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.

Pahtway

Benturan kepala

Trauma Robekan

Cedera jaringan otak Jaringan sekitar tertekan

Hematoma Gangguan Rasa Nyaman


Nyeri
Edema

Vasodilatasi

TIK meningkat

Perubahan perfusi jaringan serebral


Hipoksia Penurunan kesadaran

Kerusakan pertukaran gas


Gangguan Persepsi Kekacauan pola bahasa
Sensori
Nafas dangkal
Tak mampu berkata
dengan baik
Pola Nafas Tidak
Efektif
Gangguan
Komunikasi Verbal

D. Manifestasi Klinis
1. Cerdera kepala ringan
- Kebingungan, sakit kepala, rasa ngantuk yang abnormal dan sebagian besar
pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
- Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan bekerja
2. Cedera kepala sedang
- Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan bahkan
koma
- Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologis,
perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, dan gangguan
pergerakan. (Smeltzer & Bare, 2002)
3. Cedera kepala berat
- Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
- Pupil tidak ekual. Pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologis.

E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetic kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan untuk mendiagnosa tumor, infark dan kelainan lain di pembuluh darah
3. Angiografi Serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan
menentukan kelainan serebral vaskuler.
4. Angiografi substraksi digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik
komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang
dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. ENG (elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan system saraf pusat.
6. Lumbal pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam
dari saat terjadinya trauma.
7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis yang
berkaitan dengan adanya lesi dikepala.
8. BAEK ( brain audition euoked tomografi)
Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak
9. GDA (gas darah arteri)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang meningkatkan
TIK
F. Pengkajian Primer
Pertanyaan mengenai riwayat terjadinya cedera
- Kapan cedera terjadi
- Apa penyebab cedera ? apakah obyek membentur kepala ? apakah pasien
sampai terjatuh?
- Dari mana arah dan kekuatan pukulan
- Apakah sempat kehilangan kesadaran ? durasi periode tidak sadar? Apakah
pasien dapat dibangunkan ? adakah anamnesa setelah cedera?
 Fokus pengkajian
a. Tingkat kesadaran dan respositivitas. Tingkat kesadaran dan responsivitas
dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat mendahului semua
perubahan tanda vital dan neurologic lain. Skala koma Glasgow
digunakan untuk mengkaji tingkat kesadaran berdasarkan tiga pembukann
mata, respon verbal, dan respon motoric terhadap perintah atau stimulus
nyeri.
b. Pemantauan tanda vital. Meskipun penyimpangan tingkat kesehatan
pasien adalah indikasi neurologic paling sensitif tentang ancaman bahaya ,
tanda vital dipantau dalam interval sering untuk mengkaji status
intrakranial.
- Tanda peningkatan TIK meliputi pelambatan nadi, peningkatan
tekanan darah sistolik, dan pelebaran tekanan nadi.
- Pada saat kompresi otak meningkat, tanda vital cenderung
sebaliknya. Nadi dan pernapsan semakin cepat dan tekanan darah
menurun.
- Peningkatan suhu drastic dianggap hal yang tidak menguntungkan.
Karena hipertemi meningkatkan kebutuhan metabolisme otak dan
merupakan indikasi kerusakan batang otak. Suhu harus dipertahankan
dibawah 38 derajat celcius.
- Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasi perdarahan
sedang terjadi di tempat lain di tubuh.
c. Fungsi motoric sering dikaji melalui observasi gerakan- gerakan spontan,
memerintahkan pasien meninggikan dan menurunkan ekstremitas dan
membandingkan kekuatan dan genggaman tangan dalam periodik waktu
yang teratur.
- Jika pasien tidank menunjukan gerakan spontan , maka respons
stimulus nyeri dikaji. Respons abnormal (respon motorik berkurang)
mengarah pada prognosis buruk.
- Kemampuan pasien untuk bicara dan kualitas bicara juga dikaji.
Kapasitas untuk bicara merupakan indikasi tingkat fungsi otak yang
tinggi.
- Pembukaan mata secara spontan pada pasien di evaluasi.
- Ukuran dan kualitas pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Dilatasi
unilateral dan respon pupil yang buruk merupakan indikasi adanya
pembentukan hematoma dengan tekanan lanjut pada saraf kranial
ketiga karena pergeseran otak. Jika kedua pupil kaku dan berdilatasi,
maka diindikasikan ada cedera berlebihan dan kerusakan intrinsik
pada batang otak atas, yang merupakan tanda prognostic buruk.
 Pengkajian primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah actual /
potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan:
a. Airway (jalan napas) dengan kontrol servikal
Kaji :
1) Bersihan jalan napas
2) Adanya/ tidaknya sumbatan jalan napas
3) Distress pernapasan
4) Tanda- tanda perdarahan di jalan napas, muntahan, edema laring
b. Breathing dan ventilasi
Kaji:
1) Frekuensi napas, usaha napas dan pergerakan dinding dada
2) Suara pernapasan melalui hidung atau mulut
3) Udara yang dikeluarkan dari jalan napas
c. Circulation
Kaji:
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda- tanda perdarahan eksternal dan internal
d. Disability
Kaji:
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan esktermitas
3) Gcs atau pada anak- anak tentukan : alert (A), repon verbal (V), respon
nyeri/pain (P), tidak berespon/ unresponsive (U)
4) Ukuran pupil dan respn pupil terhadap cahaya
e. Exposure control
Kaji:
1) Tanda- tanda trauma yang ada
 Pengkajian sekunder
1) Fahrenheit (Suhu tubuh)
Kaji :
1. Suhu tubuh
2. Suhu lingkungan
2) Get vital sign/ tanda- tanda vital secara kontinu
Kaji:
1. Tekanan darah
2. Irama dan kekuatan nadi
3. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
4. Saturasi oksigen
3) Head to assessment ( pengkajian dari kepala sampai kaki)
1. Pengkajian head to toe
a. Riwayat penyakit
- Keluhan utama dan alas an klien kerumah sakit
- Lamanya waktu kejadian sampai dengan di bawa ke rumah sakit
- Tipr cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
- Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada
organ tubuh yang mana digunakan : provokrd (P), quality (Q),
radian (R), severty (S), dan time (T)
- Kapan makan terakhir
- Riwayat penyakit lain yang pernah dialami / dioperasi,
pembedahan/ kehamilan
- Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit
sekarang, imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi
klien
- Riwayat keluarga yang mengalami pemyakit yang sama dengan
klien
b. Pengkajian kepala, leher, dan wajah
- Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang wajah
dan jaringan lunak, adakah pendarahan serta benda asing
- Periksa mata, telinga, hidung mulut. Adakah tanda- tanda
pendarahan, benda asing, deformitas, laserasi, perlukaan serta
adanya keluaran
- Amati bagin kepala adakah depresi tulang kepala, tulang wajah ,
kontusio, jejas, hematom, serta krepitasi tulang
- Kaji adanya kaku leher
- Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trakea,
distensi vena leher, pendarahan, edema , kesulitan menelan,
emfisema subkutan dan kepitas pada tulang.
c. Pengkajian dada
- Pernapasan : irama, kedalaman, karakter pernapasan
- Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
- Palpasi krepitas tulang dan emfisema subkutan
- Amati penggunaan otot bantu napas
- Perhatikan tanda- tanda injuri atau cedera : petekiae,
pendarahan, sianosis, abrasi dan laserasi
d. Abdomen dan pelvis
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2) Tanda- tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi,
abrasi, distensi abdomen, jejas
3) Masa: besarnya, lokasi, dan mobilitas
4) Nadi femoralis
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRS)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
8) Genetalia : pendarahan, cedera, cedera pada meatus, ekimosis,
tonus spinkter ani
e. Ekstremitas
1) Tanda- tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
f. Tulang belakang
1. Jika tidak didapatkan adanya cedera / fraktur tulang belakang,
maka pasien dimiringkan untuk mengamati :
- Deformitas tulang belakang
- Tanda- tanda pendarahan
- Laserasi
- Jejas
- Luka
2. Palpasi deformitas tulang belakang

G. Diagnosa keperawatan yang sering muncul


1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau poaralisi otot, pernapasan
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral
dan edema otak ditandai dengan wajah menahan nyeri dan adanya perubahan
tanda- tanda vital
3. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan edema serebral ditandai denga
perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motoric atau sensorik, gelisah,
dan perubahan tanda vital.
H. Intervensi keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hipoventilasi dan kerusakan
neurovaskuler ditandai dengan kelemahan atau poaralisi otot, pernapasan
Kriteria hasil :
 Pernapasan reguler, dalam dan kecepatannya teratur
 Pengembangan dada kiri dan kanan simetris
 Tanda dan gejala obstruksi pernapasan tidak ada : stridor (-), sesak napas
(-), whezzing (-)
 Suara napas : vaskuler kiri dan kanan
 Trachea midline
 Analisa gas darah dalam batas normal : PaO2 80-100 mmHg, saturasi O2
>95%, PaCO2 35-45 mmHg, pH 7,35- 7,45

Intervensi
Mandiri

 Observasi frekuensi, kecepatan, kedalaman irama pernapasan


 Observasi penggunaan otot bantu pernapasan
 Berikan posisi semi fowlerbila tidak ada kontraindikasi
 Ajarkan dan anjurkan napas dalam serta batuk efektif
 Perhatikan pengembangan dada simetris atau tidak
 Kaji fokal fremitus dengan meletakkan tangan di punggung pasien
sambil pasien menyebutkan angka 99 atau 77
 Bantu pasien menekan area yang sakit saat batuk
 Lakukan fisioterapi dada jika tiak ada kontraindikasi
 Auskultasi bunyi napas , perhatikan bila tidak ada ronkhi, wheezing
dan erackles
 Lakukan suction bila perlu
 Lakukan pendidikan kesehatan

Kolaborasi

 Pemberian O2 susuai kebutuhan pasien


 Pemeriksaan laboratorium / analisa gas darah
 Pemeriksaan rontgen thorax
 Intubasi bila pernapasan makin memburuk
 Pemasangan oroparingeal
 Pemberian obat- obatan sesuai indikasi
2. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan penekanan vaskuler serebral
dan edema otak ditandai dengan wajah menahan nyeri dan adanya perubahan
tanda- tanda vital
Kriteria hasil :
 Menurunnya derajat nyeri baik daripada respon verbal maupun
pengukuran skala nyeri
 Hilangnya indicator nyeri : takhikardia (-), takipnoe (-), diaphoresis (-),
tekanan darah normal
 Hilangnya tanda- tanda non verbal karena nyeri : tidak meringis, tidak
menangis, mampu menunjukan posisi yang nyaman
 Mampu melakukan perintah yang baik
Intervensi

Mandiri

 Kaji karakteristik nyeri dengan PQRS


 Bantu melakukan teknik relaksasi
 Batasi aktivitas

Kolaborasi

 Pemberian O2
 Perekamana EKG
 Pemberian terapi sesuai indikasi
 IVFD sesuai indikasi
3. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan edema serebral ditandai denga
perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motoric atau sensorik, gelisah,
dan perubahan tanda vital.
Kriteria hasil :
 Mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesadaran
 Tanda- tanda vital kembali normal
 Tidak ada tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial

Intervensi

 Tentukan factor- factor yang menyebabkan koma atau penurunan


perfusi jaringan otak dan potensial peningkatan TIK
 Pantau status neurologik secara teratur dan bandingkan dengan nilai
standar menggunakan GCS
 Pantau TTV
 Pertahankan kepala agar posisinya tetap netral atau ditengah
 Perhatikan adanya peningkatan kegelisahan pada klien

Kolaborasi

 Berikan cairan sesuai indikasi


 Berikan obat sesuai Indikasi
Daftar Pustaka

Syaifudin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika

Arnindya kanti. 2018. https://www.scribd.com/doc/277696084/LP-Cedera-Kepala. Diakses


pada tanggal 24 Desember 2020 pukul 22.00
Kasus 19

Seorang laki-laki 24 tahun mengalami kecelakan tunggal terjatuh dari motornya yang
menabrak pohon karena klien mengantuk, hasil pengkajian tampak luka difrontal bengkak
dan darah mengalir deras, klien di bawa ke UGD klien tidak sadar selama 1 jam GCS = 10
E=3 M=4 V=2, tampak jejas ditangan dan kaki kanan nya tidak bisa di gerakkan karena
tertimpa motor, krepitasi, angulasi, bengkak dan ekimosis (+) bone ekspose (-) TD 110/70
mmHg, Nd 80x/menit, RR 25x/menit.

1. Buat pengkajian Gadar


2. Tegakkan diagnose keperawatan yang utama
3. Buat intervensi mandiri, perawat dan kolaborasi
4. Peragakan tindakan untuk mengatasi masalah tersebut dengan video
1. Identifikasi
Nama : Tn. A
Usia : 42 tahun
Jenis kelamin : Laki - laki
Diagnosa medik : Cedera kepala

2. Pengkajian
a. Keluhan utama
Kaki kanannya tidak bisa di gerakkan karena tertimpa motor
Riwayat perjalanan penyakit

Trauma Langsung

Jatuh, Hantaman dan Kecelakaan

Tekanan pada tulang Trauma pada jaringan tubuh

Tidak mampu menahan energi Destruksi kapiler


yang terlalu besar

Perdarahan
Fraktur tertutup

Pergeseran fragmen Keluar cairan dari


tulang intravena

Merusak jaringan sekitar Menurunnya volume


intravaskuler

Deformitas
Resiko Syok
(Hipovolemi)
Gangguan fungsi
pergerakan

Keterbatasan rentang Hambatan Mobilitas


gerak Fisik

3. Survey primer
Airway :
- Tidak ada lidah jatuh kebelakang
- Tidak adanya benda asing pada jalan nafas
- Tidak ada edema pada mulut dan
- Tidak ada nyeri telan.
Brithing :
- Tidak ada otot bantu nafas
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada suara nafas tambahan dan
- Jalan nafas paten
Circulation :
- Frekuensi nadi 80x/menit, TD 110/70 mmHg
Disability :
- GCS = 10 E=3 M=4 V=2
Eksposure :
- Adanya jejas di tangan dan kaki kanan
- Perdarahan di kepala
- Ekimosis
4. Survey sekunder
 Kepala : Adanya luka dibagian frontal dan perdarahan
 Wajah : Simetris
 Mata : Simetris, tidak ada cairan yang keluar (bersih)
 Hidung : Simetris, tidak ada nafas cuping hidung
 Mulut : Tidak ada edema
 Leher : Tidak terpasang neck colar, tidak ada pembesaran vena jugularis
 Dada :
- Inspeksi : Tidak ada jejas, pergerakan dinding dada normal
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, dada simetris
- Perkusi : Terdenger suara sonor pada paru dan pekak pada jantung
- Auskultasi : Suara jantung normal, dan suara nafas vesikular
 Abdomen :
- Inspeksi : Tidak ada jejas
- Auskultasi : Bising usus normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
 Genitalia
- Bersih
- Tidak terpasang kateter
 Ekstermitas
- Krepitasi
- Kaki kanan tidak bias digerakkan
- Ekimosis
- Angulasi

5. Analisa Data

Data Etiologi Problem


Ds Perdarahan Risiko Syok
-

Do
- Luka di Frontal (+)
- Bengkak (+)
- Darah Mengalir (+)

Ds Agen Pencedera Fisik Hambatan Mobilitas


Klien mengatakan kaki kananya Fisik
tidak bisa di gerakkan

Do
- Krepitasi (+)
- Angulasi (+)
- Bengkak dan Ekimosis(+)

6. Daftar Masalah
1. Risiko Syok b.d Perdarahan
2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan musculoskeletal.

7. Diagnosakeperawatan (prioritas)
1. Risiko Syok b.d Perdarahan

Trauma Pada Jaringan Tubuh Dekstruksi kapiler Perdarahan

Resiko Syok Menurunya Volume Keluarnya Cairan Dari


(Hipovolemi) Intravaskuler Intravaskuler
8. Intervensi
Tujuan setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 2x24 jam klien dapat
menunjukan kemampuan untuk melakukan aktivitas, dengan
Kriteria Hasil: Diharapkan tingkat syok menurun.

Diagnosa Keperawatan Intervensi Rasional


Risiko Syok b.d Observasi: Observasi
Perdarahan 1. Monitor status cairan 1. Untuk mengumpulkan
2. Monitor tingkat atau menganalisis data
kesadaran dan respon klien untuk mengatur
pupil. keseimbangan cairan
2. Untuk mengetahui
tingkat kesadaran klien
dan respon pupil
Terapeutik:
3. Lakukan tindakan Terapeutik
penghentian 3. Untuk menghentikan
perdarahan. (Balut perdarahan
Tekan)

Edukasi: Edukasi
4. Jelaskan 4. Memberikan
penyebab/factor risiko penjelasan akan
syok menambah
5. Jelaskan tanda dan pengetahuan.
gejala awal syok 5. Mampu mengetahui
6. Anjurkan melapor tanda dan gejala syok
jika 6. Mencegah terjadinya
menemukan/merasakan syok
tanda dan gejala syok 7. Untuk
7. Anjurkan mempertahankan
memperbanyak asupan cairan
cairan oral

Kolaborasi
8. Kolaborasi Kolaborasi
pemberian IV, jika 8. Untuk memberikan
perlu hidrasi cairan tubuh
9. Kolaborasi secara parental
pemberian transfusi 9. Mngidentifikasi
darah, jika perlu defisiensi dan
10. Kolaborasi kebutuhan pengobatan
pemberian anti atau respon terhadap
inflamasi, jika perlu terapi yang diberikan.
10. Untuk mengurangi
peradangan dan
meredakan nyeri
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR

BALUT TEKAN

a. Definisi
Balut tekan adalah tindakan penghentian pendarahan pada keadaan gawat darurat
untuk mengontrol pendarahan dengan cara melakukan penekanan di area pembuluh
darah pada pasien yang mengalami cedera atau luka akibat trauma tertentu.
Kontrol pendarahan dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya: penekanan
langsung pada pembuluh darah, dan penekanan tidak langsung pada pembuluh darah
yang memperdarahi area luka. Kemudia kontrol pendarahan padat juga dilakukan
dengan melakukan pengikatan, koagulasi pembuluh darah dan penggunaan obat
untuk mengehntikan pendarahan.

b. Tujuan
Tujuan dilakukan tindakan balut tekan adalah untuk mengehntikan pendarahan pada
keadaan gawat darurat, sehingga pasien tidak akan kehilangan banyak darah dan
mengalami syok.

c. Peralatan
Alat yang perlu dipersiapkan adalah sebagai berikut:
1. Kassa steril
2. Verban elastis
3. Sarung tangan steril

d. Persiapan pasien
1. Memperkenalkan dengan pasien (dalam keadaan emergensi dilakukan secara
simultan)
2. Memberikan informasi kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan
3. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien dan perawat yang akan melakukan
tindakan balut tekan
4. Membebaskan area luka
e. Prosedur tindakan
1. Penekanan langsung
a. Tahap kerja
 Proteksi diri dengan menggunakan sarung tangan karet steril. Sarung
tangan akan melindungi penolong dari cairan tubuh dan sekaligus
melindungi penderita dari kontaminasi tangan penolong. Tempatkan
pasien pada lokasi yang tenang.
 Elevasikan tungkai atau tempat yang mengalami luka identifikasi lokasi
dan jenis luka (sesuaikan dengan teori mengenai jenis- jenis luka ). Jika
ada bekuan darah yang menutup luka jangan diangkat. Jika ada benda
asing yang melekat atau menancap pada luka jangan diangkat.
Identifikasikan sumber pendarahan ( arteri,vena dan kapiler)
 Setelah dilakukan identifikasi luka dan jenis sumber pendarahan. Lakukan
penekanan langsung dengan permukaan volar tangan menggunakan kassa
steril dengan ketebalan yang cukup (5-10 lapis) tergantung keparahan
luak.
 Lakukan penekanan kassa dengan tangan selama 5-10 menit. Apabila
pendarahan tidak berhenti, lakukan pemasangan balut tekan,
menggunakan kassa yang tebal pada luka dan dibalut dengan verban
elastis dengan tekanan yang cukup. Tekanan yang diberikan harus cukup
untuk menghentikan pendarahan tanpa mengganggu aliran darah ke
bagian distal.
b. Tahap terminasi
 Periksa hasil balutan pemasangan balut tekan, jika masih terjadi
pendarahan dapat diberikan kassa tambahan diatas luka dan dibalut
dengan verban elastis.
 Balutan harus memberikan tekanan yang cukup untuk menghentikan
pendarahan tapi tidak mengganggu sirkulasi di distal.
 Jika masih tetap berdarah , buka balutan dan evaluasi ulang luka. Pasang
lagi kassa dan balutan pada posisi yang benar.
 Periksa warna kulit di distal pengisian kapiler , dan pulsasi arteri distal.
 Jika ada tanda – tanda gangguan sirkulasi distal : kulit pusat kebiruan ,
dingin, pengisian kapiler melambat dan atau pulsasi arteri tidak teraba,
longgarkan balutan dan pasang kembali dengan tekanan yang cukup.
Periksa kembali efektifitas balutan dan sirkulasi distal.
2. Penekanan tidak langsung
a. Tahap kerja
 Proteksi diri dengan menggunakan sarung tangan karet steril. Sarung
tangan akan melindungi penolong dari cairan tubuh dan sekaligus
melindungi penderita dari kontaminasi tangan penolong. Tempatkan
pasien pada lokasi yang tenang.
 Elevasikan tungkai atau tempat yang mengalami luka identifikasi lokasi
dan jenis luka (sesuaikan dengan teori mengenai jenis- jenis luka). Jika
ada bekuan darah yang menutup luka jangan diangkat. Jika ada benda
asing yang melekat atau menancap pada luka jangan diangkat.
Identifikasikan sumber pendarahan (arteri, vena, atau kapiler)
 Teknik dengan penekana tidak langsung ( indirect pressure/ poin
pressure). Penggunaan penekanan titik merupakan metode penghentian
pendarahan dengan menggunakan tekanan jari, jempol atau pangkal
permukaan tangan untuk menekan arteri yang menyuplai daerah luka.
Arteri yang dapat ditekan dengan cara ini adalah arteri yang berada di
permukaan kulit atau lebih dalam namun berada di diatas tulang. Tekanan
ini dapat menurunkan aliran darah ke lokasi luka. Teknik dapat
dikombinasikan dengan penekanan langsung.
b. Tahap terminasi
 Periksa lokasi penekanan arteri
 Periksa efektifitas penekanan dengan melihat berhentinya aliran darah
pada lokasi luka. Jika darah tetap mengalir , kembali lakukan
identifikasi dan diberi penekanan dengan tekanan yang lebih kuat.

f. Pendokumentasian
1. Respon pasien setelah selesai tindakan
2. Catat kegiatan dan waktu saat melakukan tindakan
3. Catat bila tedapat penggunaan obat untuk prosedur tindakan
4. Catat nama perawat yang melakukan kegiatan dan paraf
g. Komplikasi yang mungkin terjadi
1. Penekanan langsung
 Kesalahan penempatan balut tekan
 Ketebalan kassa tidak sebanding dengan kondisi luka
 Tekanan balutan tidak optimal untuk mengehentikan pendarahan
2. Penekanan tidak langsung
 Kesalahan identifikasi lokasi arteri
 Kurangnya tekanan yang diberikan untuk menhgentikan aliran darah
Daftar Pustaka

Suharyono. 2018. SOP BALUT TEKAN. Diambil dari


https://www.scribd.com/document/394233109/Sop-Balut-Tekan. Diakses pada 23 Desember
2020 pukul 10.59 wib
PERTOLONGAN PERTAMA DAN PENILAIAN
KEPARAHAN
ENVENOMASI PADA PASIEN GIGITAN ULAR

Anissa Cindy Nurul Afni1, Fakhrudin Nasrul Sani2


1,2 Prodi D3 Keperawatan STIKes Kusuma Husada

Surakarta Email: anissacindy88@gmail.com

ABSTRAK
Distribusi keracunan dan kematian akibat gigitan ular di dunia bevariasi.
Dalam kasus berat, akan luka gigitan akan berkembang menjadi bula dan
jaringan nekrotik, serta muncul gejala sistemik berupa mual, muntah dan
kelemahan otot atau kejang. Tingginya angka kejadian snake bite di Indonesia
belum diimbangi dengan penanganan yang optimal di prehospital. Fenomena
yang muncul, Masyarakat cenderung melakukan pertolongan pertama
menggunakan cara-cara tradisional, sedangkan WHO sejak tahun 2016 tidak
lagi merekomendasikan bentuk pertolongan tersebut.Metode penelitian ini
yaitu deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling
dengan jumlah 35 responden, waktu pengambilan data Januari – September
2019 (9 bulan) dengan kriteria eksklusi: Pasien dengan gigitan ular yang
meninggal saat datang ke IGD RSUD Gemolong. Teknik pengumpulan data
dengan kuesioner meliputi pertolongan pertama prehospital dan tanda dan
gejala klinis yang muncul pada pasien saat tiba di rumah sakit utnuk
menentukan derajat keparahan envenomasi. Analisa data univariat digunakan
untuk menggambarkan deskriptif masing-masing variabel.Gambaran
Pertolongan pertama prehospital yang dilakukan yaitu: 40,3% mengikat luka
gigitan ular dengan tali, 31% responden menghisap ara luka, 14,3%
responden merobek luka dengan pisau, 8,5% responden mencuci luka dengan
sabun, 2,9% responden membakar luka dan memberikan jahe bakar pada area
luka. Gambaran tingkat keparahan envenomasi responden yaitu: 57,2%
responden menglami envenomasi derajat 2, sejumlah 22,8% responden
mengalami envenomasi derajat 3, dan 20% responden mengalami envenomasi
derajat 1. Tidak ada responden yang mengalami envenomasi derajat
4.Tindakan tradisional yang dilakukan dapat meningkatkan keparahan luka
dan juga mempercepat penyebaran bisa. Prinsipn utama yang
direkomendasikan untuk penanganan pertama gigitan ular adalah mecegah
kecemasan yang berlebihan, melakukan imobilisasi area dengan balut tekan
(pressure immobilitation tehnik) dan segera rujuk ke rumah sakit.
Kata Kunci: gigitan ular, pertolongan pertama, keparahan envenomasi

ABSTRACT

The distribution of poisoning and mortality caused by snake bites in the


world is increasing. In severe cases, the bite wound will develop into bullae
and necrotic tissue, as well as systemic symptoms such as nausea, vomiting
and muscle weakness or spasms. The high incidence of snake bite in
Indonesia has not been matched by optimal handling at prehospital. The
phenomenon that arises, the community tends to do first aid using traditional
methods, WHO since 2016 no longer recommends this form of help. Design
of this study is quantitative descriptive with cross sectional approach. This
study used a total sampling technique with a total of 35 respondents, data
collection time was January - September 2019 (9 months) with exclusion
criteria: Patients with snake bites who died when they came to the
Emergency Room. Data collection techniques using questionnaires included
prehospital first aid and clinical signs and symptoms that appeared in
patients when they arrived at the hospital to determine the severity of
envenomation. Univariate data analysis is used to describe the descriptive of
each variable. Result of this study showed the Prehospital First Aid overview:
40.3% respondent used a tourniquet technique, 31% of respondents sucking
wound, 14.3% of respondents give an incission of the bite
wound, 8.5% of respondents washed wounds with soap, 2.9% of respondents
burn wounds and give burnt ginger to the injured area. The description of the
severity of envenomation is: 57.2% of respondents in grade 2, 22.8% of
respondents in grade 3, and 20% of respondents in grade 1. No one
respondents experienced grade 4 envenomation.The traditional actions taken
by the lay persone can increase the severity of the wound and also accelerate
the spread of bacteria. The main principles recommended for the first
treatment of snake bites are preventing excessive anxiety, immobilizing the
area with pressure immobilization technique and immediately referring to the
hospital.

Keywords: snake bite, first aid, severity of envenomation

1. PENDAHULUAN Amerika bagian Utara. Dan anga


Data World Health Organization kejadian tinggi di Sub Afrika Sahara,
(WHO), gigitan ular di dunia Asia utara, dan South-East Asia. Data
memakan korban hingga 4.5 juta yang dikumpulkan, estimasi gigitan ular
orang setiap tahunnya. Jumlah 135.000 kasus per tahun dan angka
tersebut kematian sebesar 5-10 persen. Data yang
mengakibatkan luka serius pada 2.7 terlapor dan ditangani di UGD ±15.000
juta pria, wanita dan anak-anak serta kasus pertahun dan yang dikonsultasikan
menghilangkan nyawa sekitar 125 ke RECS Indonesia kurang lebih 750
ribu. Sementara itu banyak korban kasus pertahun. Sehingga angka ini sama
gigtan ular yang selamat yang dengan angka HIV/AIDS 191.000
kemudian megalami kecacatan tubuh pertahun dan kematian lebih tinggi dari
dan lumpuh. World Health wabah ebola (Luman dan Endang, 2018)
Organization (2018) juga mencatat Di Indonesia belum ada data yang
bahwa 4,5-5,4 juta kasus pertahun ini pasti mengenai kasus gigitan ular. Data
menjadi kasus tertinggi kategori dari RSUD dr. Soediran Mangun
Neglected Tropical Desease (NTD). Sumarso Wonogiri diapatkan kasus
Distribusi keracunan dan kematian gigitan ular sejak 2008-2013 adalah 63
akibat gigitan ular di dunia bevariasi, kasus. Data yang didapatkan dari RSUD
rendah pada dataran Eropa, Australia, Pacitan selama kurun waktu 2009-2011
terdapat 88 kasus gigitan ular. adalah elapide contoh kobra dan
Klasifikasi WHO mengenai ular bungarus fasciatus yang ada di
berbisa yang penting di Asia Sumatera, Jawa dan Borneo di
Tenggara Indonesia. Dan jenis ular berikutnya
adalah viperidae yang memilikigigi
taring yang cukup tajam. Jenis ular di
Indonesia bagian Barat hanya 5%
yang berbisa seperti kobra jawa, ular
welang (bungarus), ular hijau.
Sedangkan di Indonesia Timu seperti
Papua dan maluku 90% merupakan
ular berbisa yang menyerang sel saraf
(WHO, 2016).
Pada kasus gigitan ular, 98% kasus
meimbulkan nyeri tekan pada area
gigitan, pembengkakan lokal
menyebar, pembengkakan dan nyeri
pada kelenjar getah bening perdarahan
lokal persisten, memar, infeksi
(pembengkakan, kemerhan,
peningkatan suhu). Dalam kasus berat,
akan luka gigitan akan berkembang
menjadi bula dan jaringan nekrotik,
serta muncul gejala sistemik berupa
mual, muntah dan kelemahan otot atau
kejang. (WHO, 2016)
Korban yang didgigit ular akan
menimbulkan gejala yang khas.
Tingkat keparahan atau derajat
keparahan envenomasi dibagi ke
dalam empat kriteria yaitu derajat 1
(minor)=tidak ada gejala, derajat 2
(moderate)=gejala lokal (envenomasi
ringan), derajat 3 (severe)=gejala
berkembang ke daerah regional, tubuh korban, komorbiditas, lokasi
derajat 4 (major)=gejala sistemik. gigitan, latihan fisik, sensirtivitas
Banyak faktor yang mempengaruhi individual, karakteristik gigitan,
keparahan dan hasil akhir spesies ular, infeksi sekunder,
envenomasi diantaranya: ukuran pengobatan (Ahmad et al, 2008).

Penanganan awal gigitan ular gigitan ular. Hal ini utamanya disebabkan
berdasarkan WHO (2016) adalah oleh keterbatasan pengetahuan dari
melakukan penilaian klinis, pemberian masyarakat. Masyarakat cenderung
pertolongan pertama dan segera melakukan pertolongan pertama
melakukan resusitasi, penilaian klinis menggunakan cara-cara tradisional
mendetail dan diagnosis, pemeriksaan seperti menghisap luka, membakar luka,
laboratorium, pengobatan antivenom, memberi obat-obat tradisional, ataupun
pemantauan dan penanganan suportif membuat luka baru, mengikat luka
dan terakhir adalah penangana daerah gigitan ular dengan tali dengan kuat.
gigitan. Untuk melakukan penanganan Secara teori, semua hal yang secara
pertama pada daerah gigitan ular, tradisional dilakukan oleh masyarakat
WHO telah merekomendasikan untuk akan memberikan dampak buruk pada
tidak dilakukan terapi-terapi lama kondisi luka.
seperti menghisap luka, memasang Data hasil studi pendahuluan di RSUD
tourniquet, memberikan atau Gemolong kasus gigitan ular sejak bulan
mengolesi terapi herbal atau zat kimia, November 2017-Maret 2018 didapatkan
membakar dan juga tidak data 55 kasus gigitan ular, itu berarti
dipebolehkan melakukan robekan atau setiap bulannya kurang lebih 11 kasus.
insisi pada luka bekas gigitan. Masih dijumpainya perbedaan
Fenomena yang muncul sejauh ini, penanganan pertama di masyarakat.
besarnya bahaya gigitan ular belum Penelitian mengenai penanganan pertama
diimbangi dengan penanganan yang prehospital dan derajat keparahan di
tepat utamanya di prehospital. Indonesia menurut hasil penelusuran
Penanganan pertama umumnya penulis belum banyak dilakukan
dilakukan oleh korban ataupun orang utamanya pada penanganan gigitan ular.
terdekat korban pada kejadian. Namun
seringkali, pemberian penanganan
pertama justru memberikan efek
perburukan kondisi pada korban
dan tingkat keparahan envenomasi Pemilihan tempat penelitian
pasien. Hal ini yang menarik didasarkan pada lokasi penelitian
peneliti untuk meneliti lebih lanjut RSUD Gemolong merupakan area
mengenai gambaran penanganan disekitar persawahan yang angka
pertama dan derajat keparahan kunjungan pasien dengan gigitan ular
envenomasi pada pasien dengan cukup tinggi, utamanya pada musim
gigitan ular di IGD RSUD panen dan musim tanam bagi petani.
Gemolong. Teknik pengumpulan data dengan
kuesioner meliputi penanganan
2. METODE PENELITIAN pertama prehospital dan tanda dan
Metode penelitian ini yaitu gejala klinis yang muncul pada pasien
deskriptif kuantitatif yatu saat tiba di rumah sakit. Tingkat
menggambarkan frekuensi suatu keparahan atau derajat keparahan
variabel, sehingga dapat diketahui envenomasi dibagi ke dalam empat
seberapa frekuensi variabel tersebut kriteria yaitu derajat 1 (minor)=tidak
(Nursalam, 2011). Penelitian ini ada gejala, derajat 2
dilakukan dengan pendekatan cross (moderate)=gejala lokal (envenomasi
scetional. Populasi dalam peneltian ringan), derajat 3 (severe)=gejala
ini adalah semua pasien yang berkembang ke daerah regional,
datang ke RSUD Gemolong dengan derajat 4 (major)=gejala sistemik.
luka snake bite. Penelitian ini
menggunakan teknik total sampling 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan jumlah 35 responden, waktu Karakteristik responden dalam
pengambilan data Januari – penelitian ini mencakup jenis kelamin,
September 2019 (9 bulan) dengan usia, jenis ular, kegiatan saat terkena
kriteria eksklusi: Pasien dengan gigitan, waktu prehospital.
gigitan ular yang meninggal saat
datang ke IGD RSUD Gemolong. Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarakan
Tujuan dari penelitian ini ingin karakteristik responden
Karakteristik Frekuensi Presentase
mengetahui gambaran pertolongan pertam
kurang. Morbiditas dan mortalitas paling
banyak terjadi antara usia 10-30 tahun,
dimana usia tersebut merupakan usia
produktif. Sedangkan pada Anak-anak
(usia dibawah 5 tahun) juga sering
terkena gigitan dikarenakan mereka
belum dapat membedakan antara hewan
berbahaya atau bukan (WHO, 2016).
Jenis ular yang paling banyak
disebutkan oleh responden adalah ular
hijau ekor merah (ular luwak) yang
sering mereka temu di sawah dengan
Berdasarkan tabel 1 diatas jumlah 51,4%. Selain itu jenis ular lain
menunjukkan bahwa paling banyak yang
terkena gigitan ular adalah laki-laki
88,6% (31 orang). Hal ini
dikarenakan, laki-laki lebih sering
berada di luar rumah. Tugas laki-laki
sebagai pencari nafkah menuntut
mereka untuk melakukan apa saja agar
dapat menghidupi keluarganya.
Sedangkan usia paling banyak
terkena gigitan adalah 15-45 tahun
dengan prosentase 69%. Usia anak-
anak dan dewasa muda merupakan
puncak usia yang sering terkena
gigitan ular. kelompok risiko tinggi
terkena gigitan ular adalah: Penduduk
desa miskin, pekerja pertanian,
penggembala, nelayan, pemburu,
anak- anak yang bekerja (10-14
tahun), orang yang tinggal di
perumahan yang buruk, orang dengan
akses kesehatan dan pendidikan yang
menyebabkan luka gigitan adalah biasanya petani (WHO, 2016).
20% responden menyebutkan Tidak jarang juga korban tidak
bahwa bentuk kepala ular segitiga, mengetahui jenis ular atau tingkat
sejumlah 14,3% menyebutkan bahaya dari ular yang menggigitnya.
(n) (%)
bahwa ular sendok jawa, dan 14,3%
Jenis Kelamin Tidak semua masyarakat juga
Perempuan 4
sisanya tidak ingat dan ragu- ragu 11,4% memahami ciri-ciri ular berbisa dan
Laki-laki 31 88,6%
Umur (Tahun)
dengan jenis ular yang telah tidak. Ciri-ciri ular berbisa yaitu,
15-45 24 69%
menggigit.
>45 11 31% bentuk kepala segitiga atu elips,
Jenis Ular
Tiga
Bentukkategori ular berbisa yang
kepala segitiga 20% terdapat dua gigi taring besar di
Ular hijau ekor merah 18 51,4%
dijumpai di Asia Tenggara yaitu
(ular luwuk) rahang atas dan bekas gigitan terdiri
Ular sendok
Elapidae, jawa
Viperidae, 5
dan Colubridae 14,3% dari dua titik. Sedangkan ciri-ciri ular
Tidak diketahui 5 14,3%
(Warrell,
Tempat2010). Elapidae:
Pasien Terkena memiliki
Gigitan tidak berbisa adalah bentuk kepada
Sawah 20 57,2%
gigi Kebon/ladang
taring pendek di 8 depan 22,8% segi empat atau bulat, gigi taring kecil
Pekarangan rumah 5 14,3%
(proteroglyph). Famili ini 2meliputi
Dalam rumah (dapur) 5,7% dan bekas gigitan lengkung seperti
Waktu prehospital
kobra, raja kobra, kraits, ular
<2 jam 2
koral, 5,7%
huruf “U” (Luman dan Endang, 2016)
ular 2Australia
jam – 6 jamdan ular laut. Beberapa
24 69% Sejumlah 57,2%
>6 jam 9 25,3%
spesies kobra dapat meludahkan responden
bisanya hingga 1 meter atau lebih menyebutkan tempat mereka terkena
terhadap mata korbannya. Viperidae: gigitan adalah di sawah, sejumlah
memiliki gigi taring yang cukup 22,8% di kebon/ladang, 14,3% di
panjang (solenogyph) yang secara pekarangan rumah, dan 5,7% di dalam
normal terlipat rata terhadap rahang rumah (dapur). Beberapa aktivitas
atas, tetapi saat menyerang akan yang mereka lakukan diantaranya
menjadi tegang. Colubridae: dua sedang memanen padi, berjalan di
spesies penting pada regional Asia pematang sawah, tidur di pinggiran
Tenggara adalah Rhabdophis sawah, mencuci kaki di perairan
subminiatus berleher merah dan sawah. Selain sawah, rumah dan
Rhabdophis triginus. Piton besar pekarangan rumah (kebun) juga
(Boidae), merupakan Python reticularis menjadi tempat pasien terkena gigitan
di Indonesia, pernah dilaporkan ular.
menyerang dan menelan manusia, yang

Bebepara pasien menyebutkan bahwa Beberapa pencegahan yang dapat


mereka sedang membersihkan rumah dilakukan untuk menghindari terkena
dan pekarangan saat digigit ular. gigitan ular, yaitu: jaga rumah dari tikus
yang merupakan mangsa ular, jangan 2,9% responden membakar luka dan
memelihara hewan ternak (ayam) di memberikan jahe bakar pada area
dalam rumah. Kita juga perlu luka.
menghindari membangun rumah Pemberi pertolongan pertama
dengan kontruksi yang dapat umumnya adalah korban sendiri
menyembunyikan ular misal jerami ataupun orang terdekat korban pada
dengan atap terbuka, dinding celah kejadian. Dan kebanyakan kasus,
yang besar, lantai tidak tertutup mereka sebagai bagian dari
sempurna, ranting pohon menempel masyarakat masih menggunakan cara-
pada atap. Hindari tidur di atas lantai, cara tradisional dalam pertolongan
rajin membersihkan tumpukan barang pertama. Dan seringkali, pemberian
atau sampah, pangkas pohon yang penanganan pertama justru
menjulur menyentuh atap atau bagian memberikan efek perburukan kondisi
rumah. Pencegahan lain yang dapat pada korban gigitan ular.
dilakukan adalah tempatkan lumbung Hal ini utamanya disebabkan oleh
padi jauh dari rumah, gunakan alat keterbatasan pengetahuan dari
pencahayaan, hindari mengumpulkan masyarakat. Masyarakat cenderung
kayu bakar di malam hari, gunakan melakukan pertolongan pertama
sepatu boot saat pergi ke area semak- menggunakan cara- cara tradisional
semak (WHO, 2016). seperti menghisap luka, membakar
Waktu prehospital yang dibutuhkan luka, memberi obat-obat tradisional,
responden hingga tiba di rumah sakit ataupun membuat luka baru, mengikat
paling banyak adalah 2-6 jam dengan luka gigitan ular dengan tali dengan
prosentase 69%. Dan >6 jam dengan kuat. Secara teori, semua hal yang
prosentase 25,3%. Hanya sejumlah secara tradisional dilakukan oleh
5,7% responden yang datang sebelum masyarakat akan memberikan
2 jam dari kejadian. dampak buruk pada kondisi luka
(Avau, Borra, Vandekerckhove, dan
De Buck; WHO, 2016; 2016).
Penelitian yang dilakukan oleh
Suryati dkk (2018) dalam penelitianya
tentang hubungan antara pengetahuan
masyarakat terhadap sikap dalam
pertolongan pertama gigitan binatang
menyebutkan bahwa 33% pengetahuan buruk dan 12% dengan
respondennya memiliki pengetahuan cukup baik dalam
Tabel 2. Pertolongan pertama prehospital penanganan awal gigitan ular.
Penelitian menunjukkan
Kegiatan tindakanPresentase
Frekuensi mengikat luka pasca gigitan ular (tourniquet)
(n) (%)
dapatIkat
meningkatkan
dengan tali insiden14pembengkakan
40,3%lokal yang signifikan pada korban (Avau,
Cuci dengan sabun 3 8,6%
Borra, Vandekerckhove, dan1 De Buck 2,9%
Di bakar , 2016). Insisi yang diberikan pada luka dapat
Dihisap 11 31%
meningkatkan nyeri dan tingkat
Diberi jahe bakar 1
pembengkakan
2,9%
pada luka gigitan ular. Insisi pada
Di luka
daerah robek
dapatdengan 5 saraf dan14,3%
merusak urat pembuluh darah.
pisau
Total
Berdasarkan 35 dilihat bahwa
tabel 2, dapat 100% Insisi dapat meningkatkan paparan
responden masih menggunakan cara-cara mikroorganisme luar pada area luka
tradisional dalam penanganan pertama saat (WHO, 2016).
terkena gigitan ular. Sejumlah 40,3% Beberapa hal yang dapat dilakukan
mengikat luka gigitan ular dengan tali, 31% sebagai pertolongan pertama pasca
responden menghisap ara luka, 14,3% gigitan ular adalah menenangkan
responden merobek luka dengan pisau, 8,5% korban dan mengurangi kecemasan.
responden mencuci luka dengan sabun, Guna mengontrol Heart rate dan
mengurangi penyebaran racun.
Pemberian pertolongan pertama

pasca gigitan ular adalah memastikan awam salah mengartikan pemberian


bahwa pasien tidak cemas. Kecemasan balutan tekan Prosedure Bandage with
yang berlebihan dapat mengalami rasa Immobilization (PIB) Atau Pressure
ekstremitas seperti tertusuk, kaku pada Immobilisation Technique (PIT) dengan
tangan dan kaki serta gangguan penambahan bidai dengan penggunaan
keseimbangan (Medikanto, Silalahi, tali sebagai pengikat luka dengan tujuan
dan Suratni, 2017). Prinsip utama agar bisa tidak menyebar (Avau, Borra,
yang direkomendasikan untuk Vandekerckhove, and De Buck, 2016).
penanganan pertama gigitan ular Pemberian Imobiliasai sangat
adalah imobilisasi area dengan balut direkomendasikan sebagai usaha untuk
tekan (pressure immobilitation) dan memperlambat sistemik absorpsi bisa.
segera dirujuk ke rumah sakit untuk Prinsip utama dari pertolongan pertama
mendapatkan perawatan lebih lanjut. pasca gigitan ular adalah usaha untuk
Namun, penerapan penanganan ini di memperlambat sistemik absorpsi bisa,
masyarakat perlu mendapatkan menyelamatkan hidup dan mencegah
perhatian, karena tidak jarang orang komplikasi sebelum pasien mendapatkan
layanan kesehatan, memantau gejala (15 cm) di pasang di seluruh panjang
awal efek dari envenomasi yang ektremitas yang tergigit dan distal ke
membahayakan, mengatur transport proksimal. Tekanan perban yang
pasien ke layanan kesehatan, dan yang direkomendasikan: Ekstermitas atas:
paling penting adalah semua tindakan 40-
itu tidak membahayakan pasien atau 70 mmHg, Ekstremitas bawah 55-70
menambah perburukan kondisi pasien mmHg. Secara praktis, tekanan sudah
(Luman dan Endang, 2016). cukup jika perban cukup ketat dan
Tujuan Pressure Immobilisation nyaman tetapi memungkinkan jari
Technique (PIT) untuk memblok untuk bergerak (Parker and Meggs,
aliran limfatik tanpa mempengaruhi 2018).
aliran darah arteri atau vena sehingga Dalam pertolongan pertama,
dapat mengurangi penyebaran dan tindakan tradisional pada bekas gigitan
absorbsi bisa ular. Prinsipnya sama tidak direkomendasikan seperti
seperti membalut lokasi pada pasien menghisap, insisi, mengikat, massage,
dengan angkle sprain. Perban harus pemberian herbal dan topikal. Insisi
perban elastis (15 cm), bukan perban dapat memperlambat penurunan
crepe. Perban diterapkan di atas lokasi pembengkakan dan
gigitan dan kemudian distal ke meningkatkan
proksimal yang menutupi seluruh paparan mikroorganisme
anggota badan (WHO, 2016). luar pada area luka (WHO, 2016).
Cara pemberian Tindakan lain yang harus
pressure immobilization dilakukana adalah Menyelamatkan
adalah Elastic bandage hidup dan mencegah komplikasi.
Memantau gejala awal. Mengatur
transportasi pasien ke penyedia
kesehatan (WHO, 2016).
Perlakukan pada luka gigitan ular
juga harus diperhatikan. Luka
dibersihkan dengan normal saline baru
setelah itu dengan imobilisasi.
Penggunaan tourniquet dapat
mengganggu aliran darah, dan
pelepasan tourniquet dapat
menyebabkan gangguan sistemik responden menglami envenomasi
yang lebih besar (WHO, 2016). derajat 2, sejumlah 22,8% responden
mengalami envenomasi derajat 3, dan
Tabel 3. Tingak keparahan envenomasi 20% responden mengalami
Derajat Frekuens Presentase envenomasi derajat 1. Tidak ada
Envenomasi i (%) responden yang mengalami
(n) envenomasi derajat 4. Tingkat
Derajat 1 7 20%
keparahan atau derajat keparahan
Derajat 2 20 57,2%
Derajat 3 8 22,8% envenomasi dibagi ke dalam empat
Derajat 4 0 0%
kriteria yaitu derajat 1 (minor)=tidak
Total 35 100%
ada gejala. Pada kondisi ini, biasanya
Berdasarkan tabel 3 di atas, luka gigitan tanpa disertai reaksi lokal
didapatkan bahwa sejumlah 57,2% atau sistemik, dengan adanya tanda

gigitan. Envenomasi derajat 2 mempengaruhi keparahan dan hasil akhir


(moderate)=gejala lokal (envenomasi envenomasi diantaranya: ukuran tubuh
ringan) akan menunjukkan adanya korban, komorbiditas, lokasi gigitan,
tanda bekas gigitan, nyeri sedang, latihan fisik, sensirtivitas individual,
edema lokal minimal (0-15cm), karakteristik gigitan, spesies ular, infeksi
adanya eritema, adanya ekimosis, sekunder, pengobatan (Ahmad et al,
tidak ada reaksi sistemik. Enevnomasi 2008).
derajat 3 (severe)=gejala berkembang Petunjuk adanya envenomisasi berat
ke daerah regional menunjukkan oleh gigitan ular harus dipertimbangkan
adanya tanda gigitan, nyeri hebat, bila dijumpai kondisi berikut: Ular
edema lokal sedang (15-30 cm), diidentifikasi sangat berbisa,
adanya eritema dan ekimosis, adanya pembengkakan lokal yang cepat pada
kelemahan sistemik, berkeringat, daerah gigitan, terjadi pembesaran
sinkop, nausea, muntah, anemia, atau kelenjar getah bening lokal yang
trombositopenia. Sedangkan menandakan penyebaran pada sistem
envenomasi derajat 4 (major)=gejala limfatik. Tanda lain yaitu adanya tanda
sistemik menunjukkan adanya tanda permasalahan sistemik awal, perdarahan
gigitan, nyeri hebat, edema lokal berat sistemik spontan awal (terutama
(>30 cm), eritema dan ekimosis, perdarahan gusi), dan adanya urine
hipotensi, parestesia, koma, eema berwarna coklat-gelap (Luman dan
paru, gagal nafas. Banyak faktor yang Endang, 2016).
Beberapa korban yang digigit oleh gigitan ular bervariasi sesuai umur dan
ular (atau dicurigai digigit) dapat ukuran tubuh, spesies ular, jumlah dan
mengalami simptom dan gejala yang lokasi gigitan, dan kuantitas dan
khas, bahkan saat tidak ada bisa yang toksisitas bisa. Morbiditas dan
diinjeksi. Hal ini diakibatkan dari mortalitas bergantung pada umur dan
ketakutan yang tidak dipahami dari ukuran tubuh korban, disertai kondisi
konsekuensi gigitan ular berbisa. komorbiditas (Ahmed et al. 2008).
Korban cemas dapat hiperventilasi Komposisi bisa ular 90% terdiri
sehingga mengalami sensasi kebas dari protein. Masing-masing bisa
dan ditusuk-tusuk pada ekstremitas, memiliki lebih dari ratusan protein
spasme tangan dan kaki, dan pusing. berbeda: enzim (meliputi 80-90% bisa
Korban lainnya dapat mengalami syok viperidae dan 25-70% bisa elapidae),
vasovagal setelah gigitan, dengan toksin polipeptida non-enzimatik, dan
kolaps disertai penurunan denyut protein non-toksik, seperti faktor
jantung yang berat. Tampilan klinis pertumbuhan saraf. Enzim pada bisa
korban ular meliputi hidrolase digestif,
hialuronidase, dan aktivator atau
inaktivator proses fisiologis, seperti
kininogenase. Sebagian besar bisa
mengandung L-asam amino oksidase,
fosfomono- dan diesterase, 5`-
nukleotidase, DNAase,
NAD- nukleosidase,
fosfolipase A2, dan peptidase (Warrell
2010).
Keracunan gigitan ular pada
manusia memiliki banyak efek
potensial, namun hanya beberapa
kategori yang memiliki klinis mayor
yang signifikan, yaitu: (1) flasid
paralisis; (2) miolisis sistemik; (3)
koagulopati dan perdarahan; (4)
kerusakan dan gangguan ginjal; (5)
kardiotoksisitas; (6) kerusakan
jaringan lokal pada daerah gigitan
(White 2005).
Pasien yang mengalami gigitan
ular dengan kasus yang parah, akan
muncul syok sistemik, mengalami
perdarahan aktif, neurotoksik
manifes kelemahan otot atau
memiliki pembengkakan sitotoksik.
Tingkat keparahan gigitan ular
sangat bervariasi dan tergantung
pada banyak faktor. Ular akan
memanfaatkan racun mereka secara
berbeda tergantung pada situasinya,
mengontrol volume yang
disuntikkan dan waktu kontak
taring dengan mangsanya (Wood
and Sartorius, 2017).
Potensi racun bervariasi sesuai
spesies ular dan pada ular yang
lebih besar volume racun yang
dikeluarkan biasanya lebih tinggi.
Dalam kasus gigitan sitotoksik,
tingkat keparahan cedera adalah
sangat tergantung pada bagian
tubuh yang digigit dan kedalaman
di mana bisa disuntikkan (Wood
and Sartorius, 2017).
4. KESIMPULAN
a.Gambaran pertolongan pertama prehospital yang dilakukan oleh responden yaitu:
40,3% mengikat luka gigitan ular dengan tali, 31% responden menghisap ara luka,
14,3% responden merobek luka dengan pisau, 8,5% responden mencuci luka
dengan sabun, 2,9% responden membakar luka dan memberikan jahe bakar pada
area luka.
b. Gambaran tingkat keparahan envenomasi responden yaitu: 57,2% responden
menglami envenomasi derajat 2, sejumlah 22,8% responden mengalami
envenomasi derajat 3, dan 20% responden mengalami envenomasi derajat 1.
Tidak ada responden yang mengalami envenomasi derajat 4.

5. SARAN
Tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai
penanganan prehospital luka gigitan ular, dikarenakan temuan pada penelitian
perburukan kondisi luka pada pasien juga disebabkan oleh penanganan awal yang
tidak tepat pada pre hospital oleh masyarakat sendiri.

REFERENSI
American Heart Association. Part 15. First Aid. Web-Based Integrated
2010 & 2015 American Heart Association and American Red
Cross Guidelines for First Aid. Available online:
https://eccguidelines.heart.org/index. php/circulation/aha-red-cross-first-
aid-guidelines/part-15-first-aid/ (accessed on 20 Agustus 2018).

Ahmed SM, Ahmed M, Nadeem A, Mahajan J, Choudhary A & Pal J. (2008)


Emergency treatment of a snake bite: Pearls from literature. J Emer Trauma Shock
1(2):97-105.

Avau B, Borra V, Vandekerckhove p, and De Buck E. (2016). The treatment of snake


bites in a first aid setting: A systemaic review. PLOS Neglected Tropical Disease.
DOI:10.1371/journal.pntd.0005079.
Luman A., dan Endang. (2016). Gigitan ular berbisa. Divisi Penyakit Tropik dan
infeksi. Departemen Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera
Utara.

Luman A dan Endang. (2018). Gigitan ular Berbisa. Divisi Penyakit Tropik dan
infeksi. Departeman Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara

Medikanto AR, Silalahi LM, dan Suratni


S. (2017). Viperidae snake bite: kasus serial. Berkal lmiah Kedokteran Duta
Wacana. 2(2). Hal: 361-374.

Nursalam. (2011). Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu


Keperawatan Edisi 2. Jakarta: Salemba.

Parker JC and Meggs WJ. (2018). First aid and pre-hospital management of
venomous snakebites. Tropical Medicine and Infection Desease. 3(45).

Suryati I, Yuliano A, Bundo P. (2018). Hubungan tingkat pengetahuan dan sikap


masyarakat dengan penanganan awal gigitan binatang. Prosiding Seminar
Kesehatan Perintis E-ISSN: 2622-2256. 1(1).

Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia

Wood D and Sartorius B. (2017). Classifying snakebite in South Africa: Validating a


scoring system. SAMJ. 107(1).hal: 46-51.

World Health Organization (WHO). (2016). Guidlines for the Management of


snakebites, 2nd edition. WHO Library Cataloguing- in- Publication data

World Health Organization (WHO). (2018). Global snakebite burden. Report by the
Director-General. Seventy-First World Health Assembly.

Anda mungkin juga menyukai