Disusun oleh :
2017720062
7A REGULER
2020
A. Pengertian
Cedera kepala (trauma capitis) adalah cedera mekanik yang secara langsung atau
tidak langsung mengenai kepala yang mengakibatkan luka di kepala, fraktur tulang
tengkorak, robekan selaput otak, dan kerusakan jaringan otak itu sendiri, serta
mengakibatkan gangguan neurologis. (Ayu, 2010)
Menurut lokasi trauma, trauma kepala dapat dibagi menjadi trauma kulit kepala,
tengkorak dan otak. Cedera kepala yang sering terjadi dan menyebabkan penyakit
neurologik yang cukup serius diakibatkan oleh kecelakaan dijalan raya. Resiko utama
pasien dengancedera kepala adalah kerusakan otak akibat perdarahan atau
pembengkakan otak sebagai respon terhadap cedera dan menyebabkan peningkatan
tekanan intracranial. (Smeltzer dan Brane, 2002)
Cedera kepala menyebabkan infeksi intracranial. Trauma di bagian ini dapat
menyebabkan abrasi, kontusio, laterasi dan avulasi. Suntikan prokain melalui
subkutan dapat membuat luka mudah dibersihkan dan diobati. Daerah luka diirigasi
untuk mengeluarkan benda asing dan menimalisir masuknya mikroorganisme yang
menyebabkan infeksi.
Jenis cedera kepala berdasarkan lokasi terjadinya yang terakhir adalah cedera otak.
Otak merupakan salah satu bagian terpenting dalam tubuh kita dan kejadian minor
dapat membuat otak mengalami kerusakan yang bermakna. Otak menjadi tidak dapat
menyimpan oksigen dan glukosa jika mengalami kerusakan yang cukup bermakna.
Sel-sel serebral membutuhkan suplai darah teru-menerus untuk memperoleh
makanan. Kerusakan otak tidak dapat pulih dan sel-sel mati diakibatkan karena darah
yang mengalir berhenti hanya beberapa menit saja, dan merusak neuron tidak dapat
mengalami regenerasi.
Menurut tingkat keparahannya, cedera kepala dibagi menjadi tiga (Kapita Selekta
Kedokteran, 2000), antara lain:
1. Cedera kepala ringan ( kelompok resiko rendah)\
- Skor skala koma Glasgow 15 (sadar penuh, orientatif, atentif)
- Tidak kehilangan kesadaran
- Tidak ada intoksisasi alcohol atau obat terlarang
- Pasien dapat mengeluh pusing dan nyeri kepala
- Pasien dapat mengeluh abrasi, laterasi dan hematoma kulit kepala
- Tidak ada kriteria cedera sedang atau berat
2. Cedera kepala sedang (kelompok resiko sedang)
- Skor skala Glasgow 9-14 (konfusi, letargi, atau stupor)
- Konkusi
- Amnesia pasca trauma
- Muntah
- Tidak kemungkinan fraktur cranium
- Kejang
3. Cedera kepala berat (kelompok resiko berat)
- Skor skala Glasgow 3-8 (koma)
- Penurunan derajat kesadaran secara progresif
- Tanda neurologis fokal
- Cedera kepala penetrasi atau teraba fraktur defresi cranium
Anatomi Otak
C. Patofisiologi
Cedera kepala yang terjadi waktu benturan, memungkinkan terjadi memar pada
permukaan otak, laserasi cedera robekan, hemoragi, akibatnya akan terjadi
kemampuan autoregurasi cerebrak yang menyebabpan hyperemia. Peningkatan salah
satu otak akan menyebabkan jaringan otak tidak dapat membesar karena tidakada
aliran cairan otak dan sirkulasi dalam otak, sehingga lesi akan mendorong jaringan
otak. Bila tekanan terus meningkat akibatnya tekanan dalam ruang kranium juga akan
meningkat. Maka, terjadilah penurunan aliran darah dalam otak dan perfusi jaringan
yang tidak adekuat dapat menimbulkan vasodilatasi dan edema otak. Edema akan
menekan jaringan saraf sehingga terjadi peningkatatn tekanan intracranial. (Price,
2005)
Dampak edema jaringan otak terhadap system tubuh lain, antara lain:
1. System kardiovaskuler
Trauma kepala biasa menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas
atipikal mikardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T, P dan disritmia,
vibrilasi atrium serta ventrikel takikardi. Akibat adanya perubahan otak akan
mempengaruhi tekanan vaskuler, dimana penurunan tekanan vaskuler pembuluh
darah arteriol berkontraksi. Aktivitas miokardium berubah termasuk peningkatan
frekuensi jantung dan menurunnya stroke work dimana pembacaan CVP
abnormal. Tidak adanya stimulasi endogen saraf simpatis mempengaruhi
penurunan kontraktilitas ventrikel. Hal ini dapat meneyebabkan terjadinya
penurunan curah jantung dan meningkatkan atrium kiri, sehingga tubuh akan
berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik. Pengaruh dari adanya
peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.
2. System respirasi
Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstraksi paru atau hipertensi
paru menyebabkan hiperapneu dan bronco kontraksi. Terjadi pernafasan
chynestoke dihubungkan dengan adanya sensitivitas yang meningkat pada
mekanisme terhadap karbondioksida dan episode pasca hiperventilasi apneu.
Konsentrasioksigen dan karbondioksida dalam darah arteri mempengaruhi aliran
darah. Bila tekanan oksigen rendah, aliran darah bertambah karena terjadi
vasodilatasi, jika terjadi penurunan tekanan karbondioksida dan menimbulkan
alkalosis sehingga terjadi vasokontraksi dan penurunan CBF (Cerbral Blood
Fluid). Bila tekanan karbondioksida bertambah akibat gangguan system
pernafasan akan menyebabkan asidosis dan vasodilatasi. Hal terjadi menyebabkan
penambahan CBF yang kemudian terjadi peningkatan tingginya TIK.
Edema akibat trauma adalah bentuk vasogenik. Pada kontusio otak terjadi
robekan pada pembuluh kapiler atau cairan traumatic yang mengandung protein
yang berisi albumin. Albumin dalam cairan intrerstitial otak normal tidak
didapatkan. Edema otak terjadi karena penekanan pembuluh danrah dan jaringan
sekitarnya. Edema otakini dapat menyebabkan kematian otak (iskemia) dan
tingginya TIK yang dapat menyebabkan terjadinya herniasi dan penekanan batang
otak atau medulla oblongata. Akibat penekanan pada medulla oblongata
menyebabkan pernafasan ataksia dimana ditandai dengan irama nafas tidak
teratur atau pola nafas tidak efektif.
3. System Genito-Urinaris
Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolism yaitu kecenderungan retensi
natrium dan air serta hilangnya sejumlah nitrogen. Retensi natrium juga
disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang menyebabkan
pelepasan CTH dan sekresi aldosteron. Ginjal mengambil peran dalam proses
hemodinamik ginjal untuk mengatasi retensi cairan dan natrium. Setelah tiga
sampai empat hari retensi cairan dan natrium mulai berkurang dan pasca trauma
dapat timbul hiponatremia. Untuk itu, selama 3-4 hari tidak perlu dilakukan
pemberian hidrasi. Hal tersebut dapat dilihat dari haluaran urin. Pemberian cairan
harus hati-hati untuk mencegah TIK. Demikian pula sangatlah penting melakukan
pemeriksaan serum elektolit. Hal ini untuk mengantisipasi agar tidak terjadi
eklainan pada kardiovaskuler.
Peningkatan hilangnya nitrogen adalah signifikan dnegan respon metabolic
terhadap trauma, karena adanya trauma tubuh memerlukan energy
untukmenangani perubahan-perubahan seluruh system tubuh . namun masukan
makanan kurang, makan akan terjadi penghancuran protein otot sebagai sumber
nitrogen utama. Hal ini menambah terjadinya asidosis metabolic karena adanya
metabolisme anaerob glukosa. Dalam hal ini diperlukan masukan makanan yang
disesuaikan dengan perubahan metabolism yang terjadi pada trauma. Pemasukan
makanan pada trauma kepala harus mempertimbangkan tingkat kesadaran pasien
atau kemampuan melakukan reflex menelan.
4. System Pencernaan
Setelah trauma kepala terdapat respon tubuh yang merangsang aktivitas
hipotalamus dan stimulus b=vagal hal ini akan merangsang lambung untuk terjadi
hiperasiditas.hipotalamus merangsang anterior hipofise untuk mengeluarkan
steroid adrenal. Hal ini adalah kompensasi tubuh untuk menangani edema
serebral, namun pengaruhnya terhadap lambung adalah terjadinya peningkatan
ekskresi asam lambung yangmenyebabkan hiperasiditas. Selain itu juga
hiperasiditas terjadi karena adanya peningkatan pengeluaran katekolamin dalam
menangani stress yang mempengaruhi produksi asam lambun. Jika hiperasiditas
ini tidak segera ditangani, akan menyebabkan perdarahan lambung
5. System Muskuloskeletal
Akibat utama dari cedera otak berat dapat mempengaruhi gerakkan tubuh.
Hemisfer atau hemipelgia dapat terjadi akibat dari kerusakan pada area motorik
otak. Selain itu pasien dapat mempunyai kontrol volunter terhadap gerakan dalam
menghadapi kesulitan perawatan diri dan kehidupan sehari-hari yang
berhubungan dengan postur, spastisitas atau kontraktur.
Gerakan volunteer terjadi sebagai akibat dari hubungan sinapsis dari 2 kelompok
neuro yang besar. Sel saraf pada kelompok pertama muncul pada bagian posterior
lobus frontalis yang disebut girus presentral atau strip motorik. Disini kedua
bagian saraf itu bersinaps dengan kelompok neuron-neuron motorik bawah yang
berjalan dari batang otak atau medulla spinalis atau otot-otot tertentu. Masing-
masing dari otot neuron ini menetralisikan informasi tertentu pada gerakkan.
Sehingga pasien akan menunjukkan gejala khusus jika ada salah satu dari jaras
neuron ini bekerja.
Pada disfungsi hemisfer bilateral atau disfungsi pada tingkat batang otak, terdapat
kehilangan penghambatan serebral dari gerakkan involunter. Terdapat gangguan
tonus otot dan penampilan postur abnormal, yang pada saatnya dapat membuat
komplikasi seperti peningkatan saptisitas dan kontraktur.
Pahtway
Benturan kepala
Trauma Robekan
Vasodilatasi
TIK meningkat
D. Manifestasi Klinis
1. Cerdera kepala ringan
- Kebingungan, sakit kepala, rasa ngantuk yang abnormal dan sebagian besar
pasien mengalami penyembuhan total dalam jam atau hari
- Pusing, kesulitan berkonsentrasi, pelupa, depresi, emosi, atau perasaannya
berkurang dan cemas, kesulitan belajar dan bekerja
2. Cedera kepala sedang
- Kelemahan pada salah satu tubuh yang disertai dengan kebingungan bahkan
koma
- Gangguan kesadaran, abnormalitas pupil, awitan tiba-tiba deficit neurologis,
perubahan tanda-tanda vital, gangguan penglihatan dan pendengaran,
disfungsi sensorik, kejang otot, sakit kepala, vertigo, dan gangguan
pergerakan. (Smeltzer & Bare, 2002)
3. Cedera kepala berat
- Amnesia dan tidak dapat lagi mengingat peristiwa sesaat sebelum dan sesudah
terjadinya penurunan kesehatan.
- Pupil tidak ekual. Pemeriksaan motorik tidak ekual, adanya cedera terbuka,
fraktur tengkorak dan penurunan neurologis.
E. Pemeriksaan Penunjang
1. CT-Scan
Untuk melihat letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek
2. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Menggunakan medan magnetic kuat dan frekuensi radio. Bila bercampur
gelombang yang dipancarkan tubuh, akan menghasilkan citra MRI yang dapat
digunakan untuk mendiagnosa tumor, infark dan kelainan lain di pembuluh darah
3. Angiografi Serebral
Untuk menunjukkan kelainan lain sirkulasi serebral, seperti pergeseran jaringan
otak akibat edema, perdarahan trauma. Digunakan untuk mengidentifikasi dan
menentukan kelainan serebral vaskuler.
4. Angiografi substraksi digital
Suatu tipe angiografi yang menggabungkan radiografi dengan teknik
komputerisasi untuk memperlihatkan pembuluh darah tanpa gangguan dari tulang
dan jaringan lunak di sekitarnya.
5. ENG (elektronistagmogram)
Pemeriksaan elektro fisiologis vestibularis yang dapat digunakan untuk
mendiagnosis gangguan system saraf pusat.
6. Lumbal pungsi
Untuk menentukan ada tidaknya darah pada LCS harus dilakukan sebelum 6 jam
dari saat terjadinya trauma.
7. EEG
Memperlihatkan keberadaan atau berkembangnya gelombang patologis yang
berkaitan dengan adanya lesi dikepala.
8. BAEK ( brain audition euoked tomografi)
Untuk menentukan fungsi korteks dan batang otak
9. GDA (gas darah arteri)
Untuk mengetahui adanya masalah ventilasi atau oksigenisasi yang meningkatkan
TIK
F. Pengkajian Primer
Pertanyaan mengenai riwayat terjadinya cedera
- Kapan cedera terjadi
- Apa penyebab cedera ? apakah obyek membentur kepala ? apakah pasien
sampai terjatuh?
- Dari mana arah dan kekuatan pukulan
- Apakah sempat kehilangan kesadaran ? durasi periode tidak sadar? Apakah
pasien dapat dibangunkan ? adakah anamnesa setelah cedera?
Fokus pengkajian
a. Tingkat kesadaran dan respositivitas. Tingkat kesadaran dan responsivitas
dikaji secara teratur karena perubahan pada tingkat mendahului semua
perubahan tanda vital dan neurologic lain. Skala koma Glasgow
digunakan untuk mengkaji tingkat kesadaran berdasarkan tiga pembukann
mata, respon verbal, dan respon motoric terhadap perintah atau stimulus
nyeri.
b. Pemantauan tanda vital. Meskipun penyimpangan tingkat kesehatan
pasien adalah indikasi neurologic paling sensitif tentang ancaman bahaya ,
tanda vital dipantau dalam interval sering untuk mengkaji status
intrakranial.
- Tanda peningkatan TIK meliputi pelambatan nadi, peningkatan
tekanan darah sistolik, dan pelebaran tekanan nadi.
- Pada saat kompresi otak meningkat, tanda vital cenderung
sebaliknya. Nadi dan pernapsan semakin cepat dan tekanan darah
menurun.
- Peningkatan suhu drastic dianggap hal yang tidak menguntungkan.
Karena hipertemi meningkatkan kebutuhan metabolisme otak dan
merupakan indikasi kerusakan batang otak. Suhu harus dipertahankan
dibawah 38 derajat celcius.
- Takikardia dan hipotensi arteri dapat mengindikasi perdarahan
sedang terjadi di tempat lain di tubuh.
c. Fungsi motoric sering dikaji melalui observasi gerakan- gerakan spontan,
memerintahkan pasien meninggikan dan menurunkan ekstremitas dan
membandingkan kekuatan dan genggaman tangan dalam periodik waktu
yang teratur.
- Jika pasien tidank menunjukan gerakan spontan , maka respons
stimulus nyeri dikaji. Respons abnormal (respon motorik berkurang)
mengarah pada prognosis buruk.
- Kemampuan pasien untuk bicara dan kualitas bicara juga dikaji.
Kapasitas untuk bicara merupakan indikasi tingkat fungsi otak yang
tinggi.
- Pembukaan mata secara spontan pada pasien di evaluasi.
- Ukuran dan kualitas pupil dan reaksinya terhadap cahaya. Dilatasi
unilateral dan respon pupil yang buruk merupakan indikasi adanya
pembentukan hematoma dengan tekanan lanjut pada saraf kranial
ketiga karena pergeseran otak. Jika kedua pupil kaku dan berdilatasi,
maka diindikasikan ada cedera berlebihan dan kerusakan intrinsik
pada batang otak atas, yang merupakan tanda prognostic buruk.
Pengkajian primer
Pengkajian cepat untuk mengidentifikasi dengan segera masalah actual /
potensial dari kondisi life threatening (berdampak terhadap kemampuan
pasien untuk mempertahankan hidup). Pengkajian tetap berpedoman pada
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi jika hal tersebut memungkinkan.
Prioritas penilaian dilakukan berdasarkan:
a. Airway (jalan napas) dengan kontrol servikal
Kaji :
1) Bersihan jalan napas
2) Adanya/ tidaknya sumbatan jalan napas
3) Distress pernapasan
4) Tanda- tanda perdarahan di jalan napas, muntahan, edema laring
b. Breathing dan ventilasi
Kaji:
1) Frekuensi napas, usaha napas dan pergerakan dinding dada
2) Suara pernapasan melalui hidung atau mulut
3) Udara yang dikeluarkan dari jalan napas
c. Circulation
Kaji:
1) Denyut nadi karotis
2) Tekanan darah
3) Warna kulit, kelembaban kulit
4) Tanda- tanda perdarahan eksternal dan internal
d. Disability
Kaji:
1) Tingkat kesadaran
2) Gerakan esktermitas
3) Gcs atau pada anak- anak tentukan : alert (A), repon verbal (V), respon
nyeri/pain (P), tidak berespon/ unresponsive (U)
4) Ukuran pupil dan respn pupil terhadap cahaya
e. Exposure control
Kaji:
1) Tanda- tanda trauma yang ada
Pengkajian sekunder
1) Fahrenheit (Suhu tubuh)
Kaji :
1. Suhu tubuh
2. Suhu lingkungan
2) Get vital sign/ tanda- tanda vital secara kontinu
Kaji:
1. Tekanan darah
2. Irama dan kekuatan nadi
3. Irama, kekuatan dan penggunaan otot bantu
4. Saturasi oksigen
3) Head to assessment ( pengkajian dari kepala sampai kaki)
1. Pengkajian head to toe
a. Riwayat penyakit
- Keluhan utama dan alas an klien kerumah sakit
- Lamanya waktu kejadian sampai dengan di bawa ke rumah sakit
- Tipr cedera, posisi saat cedera, lokasi cedera
- Gambaran mekanisme cedera dan penyakit seperti nyeri pada
organ tubuh yang mana digunakan : provokrd (P), quality (Q),
radian (R), severty (S), dan time (T)
- Kapan makan terakhir
- Riwayat penyakit lain yang pernah dialami / dioperasi,
pembedahan/ kehamilan
- Riwayat pengobatan yang dilakukan untuk mengatasi sakit
sekarang, imunisasi tetanus yang dilakukan dan riwayat alergi
klien
- Riwayat keluarga yang mengalami pemyakit yang sama dengan
klien
b. Pengkajian kepala, leher, dan wajah
- Periksa wajah, adakah luka dan laserasi, perubahan tulang wajah
dan jaringan lunak, adakah pendarahan serta benda asing
- Periksa mata, telinga, hidung mulut. Adakah tanda- tanda
pendarahan, benda asing, deformitas, laserasi, perlukaan serta
adanya keluaran
- Amati bagin kepala adakah depresi tulang kepala, tulang wajah ,
kontusio, jejas, hematom, serta krepitasi tulang
- Kaji adanya kaku leher
- Nyeri tulang servikal dan tulang belakang, deviasi trakea,
distensi vena leher, pendarahan, edema , kesulitan menelan,
emfisema subkutan dan kepitas pada tulang.
c. Pengkajian dada
- Pernapasan : irama, kedalaman, karakter pernapasan
- Pergerakan dinding dada anterior dan posterior
- Palpasi krepitas tulang dan emfisema subkutan
- Amati penggunaan otot bantu napas
- Perhatikan tanda- tanda injuri atau cedera : petekiae,
pendarahan, sianosis, abrasi dan laserasi
d. Abdomen dan pelvis
1) Struktur tulang dan keadaan dinding abdomen
2) Tanda- tanda cedera eksternal, adanya luka tusuk, laserasi,
abrasi, distensi abdomen, jejas
3) Masa: besarnya, lokasi, dan mobilitas
4) Nadi femoralis
5) Nyeri abdomen, tipe dan lokasi nyeri (gunakan PQRS)
6) Bising usus
7) Distensi abdomen
8) Genetalia : pendarahan, cedera, cedera pada meatus, ekimosis,
tonus spinkter ani
e. Ekstremitas
1) Tanda- tanda injuri eksternal
2) Nyeri
3) Pergerakan dan kekuatan otot ekstremitas
4) Sensasi keempat anggota gerak
5) Warna kulit
6) Denyut nadi perifer
f. Tulang belakang
1. Jika tidak didapatkan adanya cedera / fraktur tulang belakang,
maka pasien dimiringkan untuk mengamati :
- Deformitas tulang belakang
- Tanda- tanda pendarahan
- Laserasi
- Jejas
- Luka
2. Palpasi deformitas tulang belakang
Intervensi
Mandiri
Kolaborasi
Mandiri
Kolaborasi
Pemberian O2
Perekamana EKG
Pemberian terapi sesuai indikasi
IVFD sesuai indikasi
3. Perubahan perfusi serebral berhubungan dengan edema serebral ditandai denga
perubahan tingkat kesadaran, perubahan respon motoric atau sensorik, gelisah,
dan perubahan tanda vital.
Kriteria hasil :
Mempertahankan atau memperbaiki tingkat kesadaran
Tanda- tanda vital kembali normal
Tidak ada tanda- tanda peningkatan tekanan intrakranial
Intervensi
Kolaborasi
Syaifudin. 2011. Anatomi Tubuh Manusia Untuk Mahasiswa Keperawatan Edisi 2. Jakarta :
Salemba Medika
Seorang laki-laki 24 tahun mengalami kecelakan tunggal terjatuh dari motornya yang
menabrak pohon karena klien mengantuk, hasil pengkajian tampak luka difrontal bengkak
dan darah mengalir deras, klien di bawa ke UGD klien tidak sadar selama 1 jam GCS = 10
E=3 M=4 V=2, tampak jejas ditangan dan kaki kanan nya tidak bisa di gerakkan karena
tertimpa motor, krepitasi, angulasi, bengkak dan ekimosis (+) bone ekspose (-) TD 110/70
mmHg, Nd 80x/menit, RR 25x/menit.
2. Pengkajian
a. Keluhan utama
Kaki kanannya tidak bisa di gerakkan karena tertimpa motor
Riwayat perjalanan penyakit
Trauma Langsung
Perdarahan
Fraktur tertutup
Deformitas
Resiko Syok
(Hipovolemi)
Gangguan fungsi
pergerakan
3. Survey primer
Airway :
- Tidak ada lidah jatuh kebelakang
- Tidak adanya benda asing pada jalan nafas
- Tidak ada edema pada mulut dan
- Tidak ada nyeri telan.
Brithing :
- Tidak ada otot bantu nafas
- Tidak ada pernafasan cuping hidung
- Tidak ada suara nafas tambahan dan
- Jalan nafas paten
Circulation :
- Frekuensi nadi 80x/menit, TD 110/70 mmHg
Disability :
- GCS = 10 E=3 M=4 V=2
Eksposure :
- Adanya jejas di tangan dan kaki kanan
- Perdarahan di kepala
- Ekimosis
4. Survey sekunder
Kepala : Adanya luka dibagian frontal dan perdarahan
Wajah : Simetris
Mata : Simetris, tidak ada cairan yang keluar (bersih)
Hidung : Simetris, tidak ada nafas cuping hidung
Mulut : Tidak ada edema
Leher : Tidak terpasang neck colar, tidak ada pembesaran vena jugularis
Dada :
- Inspeksi : Tidak ada jejas, pergerakan dinding dada normal
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan, dada simetris
- Perkusi : Terdenger suara sonor pada paru dan pekak pada jantung
- Auskultasi : Suara jantung normal, dan suara nafas vesikular
Abdomen :
- Inspeksi : Tidak ada jejas
- Auskultasi : Bising usus normal
- Perkusi : Timpani
- Palpasi : Tidak ada nyeri tekan
Genitalia
- Bersih
- Tidak terpasang kateter
Ekstermitas
- Krepitasi
- Kaki kanan tidak bias digerakkan
- Ekimosis
- Angulasi
5. Analisa Data
Do
- Luka di Frontal (+)
- Bengkak (+)
- Darah Mengalir (+)
Do
- Krepitasi (+)
- Angulasi (+)
- Bengkak dan Ekimosis(+)
6. Daftar Masalah
1. Risiko Syok b.d Perdarahan
2. Hambatan mobilitas fisik b.d gangguan musculoskeletal.
7. Diagnosakeperawatan (prioritas)
1. Risiko Syok b.d Perdarahan
Edukasi: Edukasi
4. Jelaskan 4. Memberikan
penyebab/factor risiko penjelasan akan
syok menambah
5. Jelaskan tanda dan pengetahuan.
gejala awal syok 5. Mampu mengetahui
6. Anjurkan melapor tanda dan gejala syok
jika 6. Mencegah terjadinya
menemukan/merasakan syok
tanda dan gejala syok 7. Untuk
7. Anjurkan mempertahankan
memperbanyak asupan cairan
cairan oral
Kolaborasi
8. Kolaborasi Kolaborasi
pemberian IV, jika 8. Untuk memberikan
perlu hidrasi cairan tubuh
9. Kolaborasi secara parental
pemberian transfusi 9. Mngidentifikasi
darah, jika perlu defisiensi dan
10. Kolaborasi kebutuhan pengobatan
pemberian anti atau respon terhadap
inflamasi, jika perlu terapi yang diberikan.
10. Untuk mengurangi
peradangan dan
meredakan nyeri
STANDAR OPERASIONAL PROSEDUR
BALUT TEKAN
a. Definisi
Balut tekan adalah tindakan penghentian pendarahan pada keadaan gawat darurat
untuk mengontrol pendarahan dengan cara melakukan penekanan di area pembuluh
darah pada pasien yang mengalami cedera atau luka akibat trauma tertentu.
Kontrol pendarahan dapat dilakukan dengan beberapa teknik, diantaranya: penekanan
langsung pada pembuluh darah, dan penekanan tidak langsung pada pembuluh darah
yang memperdarahi area luka. Kemudia kontrol pendarahan padat juga dilakukan
dengan melakukan pengikatan, koagulasi pembuluh darah dan penggunaan obat
untuk mengehntikan pendarahan.
b. Tujuan
Tujuan dilakukan tindakan balut tekan adalah untuk mengehntikan pendarahan pada
keadaan gawat darurat, sehingga pasien tidak akan kehilangan banyak darah dan
mengalami syok.
c. Peralatan
Alat yang perlu dipersiapkan adalah sebagai berikut:
1. Kassa steril
2. Verban elastis
3. Sarung tangan steril
d. Persiapan pasien
1. Memperkenalkan dengan pasien (dalam keadaan emergensi dilakukan secara
simultan)
2. Memberikan informasi kepada pasien mengenai tindakan yang akan dilakukan
3. Memberikan posisi yang nyaman pada pasien dan perawat yang akan melakukan
tindakan balut tekan
4. Membebaskan area luka
e. Prosedur tindakan
1. Penekanan langsung
a. Tahap kerja
Proteksi diri dengan menggunakan sarung tangan karet steril. Sarung
tangan akan melindungi penolong dari cairan tubuh dan sekaligus
melindungi penderita dari kontaminasi tangan penolong. Tempatkan
pasien pada lokasi yang tenang.
Elevasikan tungkai atau tempat yang mengalami luka identifikasi lokasi
dan jenis luka (sesuaikan dengan teori mengenai jenis- jenis luka ). Jika
ada bekuan darah yang menutup luka jangan diangkat. Jika ada benda
asing yang melekat atau menancap pada luka jangan diangkat.
Identifikasikan sumber pendarahan ( arteri,vena dan kapiler)
Setelah dilakukan identifikasi luka dan jenis sumber pendarahan. Lakukan
penekanan langsung dengan permukaan volar tangan menggunakan kassa
steril dengan ketebalan yang cukup (5-10 lapis) tergantung keparahan
luak.
Lakukan penekanan kassa dengan tangan selama 5-10 menit. Apabila
pendarahan tidak berhenti, lakukan pemasangan balut tekan,
menggunakan kassa yang tebal pada luka dan dibalut dengan verban
elastis dengan tekanan yang cukup. Tekanan yang diberikan harus cukup
untuk menghentikan pendarahan tanpa mengganggu aliran darah ke
bagian distal.
b. Tahap terminasi
Periksa hasil balutan pemasangan balut tekan, jika masih terjadi
pendarahan dapat diberikan kassa tambahan diatas luka dan dibalut
dengan verban elastis.
Balutan harus memberikan tekanan yang cukup untuk menghentikan
pendarahan tapi tidak mengganggu sirkulasi di distal.
Jika masih tetap berdarah , buka balutan dan evaluasi ulang luka. Pasang
lagi kassa dan balutan pada posisi yang benar.
Periksa warna kulit di distal pengisian kapiler , dan pulsasi arteri distal.
Jika ada tanda – tanda gangguan sirkulasi distal : kulit pusat kebiruan ,
dingin, pengisian kapiler melambat dan atau pulsasi arteri tidak teraba,
longgarkan balutan dan pasang kembali dengan tekanan yang cukup.
Periksa kembali efektifitas balutan dan sirkulasi distal.
2. Penekanan tidak langsung
a. Tahap kerja
Proteksi diri dengan menggunakan sarung tangan karet steril. Sarung
tangan akan melindungi penolong dari cairan tubuh dan sekaligus
melindungi penderita dari kontaminasi tangan penolong. Tempatkan
pasien pada lokasi yang tenang.
Elevasikan tungkai atau tempat yang mengalami luka identifikasi lokasi
dan jenis luka (sesuaikan dengan teori mengenai jenis- jenis luka). Jika
ada bekuan darah yang menutup luka jangan diangkat. Jika ada benda
asing yang melekat atau menancap pada luka jangan diangkat.
Identifikasikan sumber pendarahan (arteri, vena, atau kapiler)
Teknik dengan penekana tidak langsung ( indirect pressure/ poin
pressure). Penggunaan penekanan titik merupakan metode penghentian
pendarahan dengan menggunakan tekanan jari, jempol atau pangkal
permukaan tangan untuk menekan arteri yang menyuplai daerah luka.
Arteri yang dapat ditekan dengan cara ini adalah arteri yang berada di
permukaan kulit atau lebih dalam namun berada di diatas tulang. Tekanan
ini dapat menurunkan aliran darah ke lokasi luka. Teknik dapat
dikombinasikan dengan penekanan langsung.
b. Tahap terminasi
Periksa lokasi penekanan arteri
Periksa efektifitas penekanan dengan melihat berhentinya aliran darah
pada lokasi luka. Jika darah tetap mengalir , kembali lakukan
identifikasi dan diberi penekanan dengan tekanan yang lebih kuat.
f. Pendokumentasian
1. Respon pasien setelah selesai tindakan
2. Catat kegiatan dan waktu saat melakukan tindakan
3. Catat bila tedapat penggunaan obat untuk prosedur tindakan
4. Catat nama perawat yang melakukan kegiatan dan paraf
g. Komplikasi yang mungkin terjadi
1. Penekanan langsung
Kesalahan penempatan balut tekan
Ketebalan kassa tidak sebanding dengan kondisi luka
Tekanan balutan tidak optimal untuk mengehentikan pendarahan
2. Penekanan tidak langsung
Kesalahan identifikasi lokasi arteri
Kurangnya tekanan yang diberikan untuk menhgentikan aliran darah
Daftar Pustaka
ABSTRAK
Distribusi keracunan dan kematian akibat gigitan ular di dunia bevariasi.
Dalam kasus berat, akan luka gigitan akan berkembang menjadi bula dan
jaringan nekrotik, serta muncul gejala sistemik berupa mual, muntah dan
kelemahan otot atau kejang. Tingginya angka kejadian snake bite di Indonesia
belum diimbangi dengan penanganan yang optimal di prehospital. Fenomena
yang muncul, Masyarakat cenderung melakukan pertolongan pertama
menggunakan cara-cara tradisional, sedangkan WHO sejak tahun 2016 tidak
lagi merekomendasikan bentuk pertolongan tersebut.Metode penelitian ini
yaitu deskriptif kuantitatif. Penelitian ini menggunakan teknik total sampling
dengan jumlah 35 responden, waktu pengambilan data Januari – September
2019 (9 bulan) dengan kriteria eksklusi: Pasien dengan gigitan ular yang
meninggal saat datang ke IGD RSUD Gemolong. Teknik pengumpulan data
dengan kuesioner meliputi pertolongan pertama prehospital dan tanda dan
gejala klinis yang muncul pada pasien saat tiba di rumah sakit utnuk
menentukan derajat keparahan envenomasi. Analisa data univariat digunakan
untuk menggambarkan deskriptif masing-masing variabel.Gambaran
Pertolongan pertama prehospital yang dilakukan yaitu: 40,3% mengikat luka
gigitan ular dengan tali, 31% responden menghisap ara luka, 14,3%
responden merobek luka dengan pisau, 8,5% responden mencuci luka dengan
sabun, 2,9% responden membakar luka dan memberikan jahe bakar pada area
luka. Gambaran tingkat keparahan envenomasi responden yaitu: 57,2%
responden menglami envenomasi derajat 2, sejumlah 22,8% responden
mengalami envenomasi derajat 3, dan 20% responden mengalami envenomasi
derajat 1. Tidak ada responden yang mengalami envenomasi derajat
4.Tindakan tradisional yang dilakukan dapat meningkatkan keparahan luka
dan juga mempercepat penyebaran bisa. Prinsipn utama yang
direkomendasikan untuk penanganan pertama gigitan ular adalah mecegah
kecemasan yang berlebihan, melakukan imobilisasi area dengan balut tekan
(pressure immobilitation tehnik) dan segera rujuk ke rumah sakit.
Kata Kunci: gigitan ular, pertolongan pertama, keparahan envenomasi
ABSTRACT
Penanganan awal gigitan ular gigitan ular. Hal ini utamanya disebabkan
berdasarkan WHO (2016) adalah oleh keterbatasan pengetahuan dari
melakukan penilaian klinis, pemberian masyarakat. Masyarakat cenderung
pertolongan pertama dan segera melakukan pertolongan pertama
melakukan resusitasi, penilaian klinis menggunakan cara-cara tradisional
mendetail dan diagnosis, pemeriksaan seperti menghisap luka, membakar luka,
laboratorium, pengobatan antivenom, memberi obat-obat tradisional, ataupun
pemantauan dan penanganan suportif membuat luka baru, mengikat luka
dan terakhir adalah penangana daerah gigitan ular dengan tali dengan kuat.
gigitan. Untuk melakukan penanganan Secara teori, semua hal yang secara
pertama pada daerah gigitan ular, tradisional dilakukan oleh masyarakat
WHO telah merekomendasikan untuk akan memberikan dampak buruk pada
tidak dilakukan terapi-terapi lama kondisi luka.
seperti menghisap luka, memasang Data hasil studi pendahuluan di RSUD
tourniquet, memberikan atau Gemolong kasus gigitan ular sejak bulan
mengolesi terapi herbal atau zat kimia, November 2017-Maret 2018 didapatkan
membakar dan juga tidak data 55 kasus gigitan ular, itu berarti
dipebolehkan melakukan robekan atau setiap bulannya kurang lebih 11 kasus.
insisi pada luka bekas gigitan. Masih dijumpainya perbedaan
Fenomena yang muncul sejauh ini, penanganan pertama di masyarakat.
besarnya bahaya gigitan ular belum Penelitian mengenai penanganan pertama
diimbangi dengan penanganan yang prehospital dan derajat keparahan di
tepat utamanya di prehospital. Indonesia menurut hasil penelusuran
Penanganan pertama umumnya penulis belum banyak dilakukan
dilakukan oleh korban ataupun orang utamanya pada penanganan gigitan ular.
terdekat korban pada kejadian. Namun
seringkali, pemberian penanganan
pertama justru memberikan efek
perburukan kondisi pada korban
dan tingkat keparahan envenomasi Pemilihan tempat penelitian
pasien. Hal ini yang menarik didasarkan pada lokasi penelitian
peneliti untuk meneliti lebih lanjut RSUD Gemolong merupakan area
mengenai gambaran penanganan disekitar persawahan yang angka
pertama dan derajat keparahan kunjungan pasien dengan gigitan ular
envenomasi pada pasien dengan cukup tinggi, utamanya pada musim
gigitan ular di IGD RSUD panen dan musim tanam bagi petani.
Gemolong. Teknik pengumpulan data dengan
kuesioner meliputi penanganan
2. METODE PENELITIAN pertama prehospital dan tanda dan
Metode penelitian ini yaitu gejala klinis yang muncul pada pasien
deskriptif kuantitatif yatu saat tiba di rumah sakit. Tingkat
menggambarkan frekuensi suatu keparahan atau derajat keparahan
variabel, sehingga dapat diketahui envenomasi dibagi ke dalam empat
seberapa frekuensi variabel tersebut kriteria yaitu derajat 1 (minor)=tidak
(Nursalam, 2011). Penelitian ini ada gejala, derajat 2
dilakukan dengan pendekatan cross (moderate)=gejala lokal (envenomasi
scetional. Populasi dalam peneltian ringan), derajat 3 (severe)=gejala
ini adalah semua pasien yang berkembang ke daerah regional,
datang ke RSUD Gemolong dengan derajat 4 (major)=gejala sistemik.
luka snake bite. Penelitian ini
menggunakan teknik total sampling 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
dengan jumlah 35 responden, waktu Karakteristik responden dalam
pengambilan data Januari – penelitian ini mencakup jenis kelamin,
September 2019 (9 bulan) dengan usia, jenis ular, kegiatan saat terkena
kriteria eksklusi: Pasien dengan gigitan, waktu prehospital.
gigitan ular yang meninggal saat
datang ke IGD RSUD Gemolong. Tabel 1. Distribusi frekuensi berdasarakan
Tujuan dari penelitian ini ingin karakteristik responden
Karakteristik Frekuensi Presentase
mengetahui gambaran pertolongan pertam
kurang. Morbiditas dan mortalitas paling
banyak terjadi antara usia 10-30 tahun,
dimana usia tersebut merupakan usia
produktif. Sedangkan pada Anak-anak
(usia dibawah 5 tahun) juga sering
terkena gigitan dikarenakan mereka
belum dapat membedakan antara hewan
berbahaya atau bukan (WHO, 2016).
Jenis ular yang paling banyak
disebutkan oleh responden adalah ular
hijau ekor merah (ular luwak) yang
sering mereka temu di sawah dengan
Berdasarkan tabel 1 diatas jumlah 51,4%. Selain itu jenis ular lain
menunjukkan bahwa paling banyak yang
terkena gigitan ular adalah laki-laki
88,6% (31 orang). Hal ini
dikarenakan, laki-laki lebih sering
berada di luar rumah. Tugas laki-laki
sebagai pencari nafkah menuntut
mereka untuk melakukan apa saja agar
dapat menghidupi keluarganya.
Sedangkan usia paling banyak
terkena gigitan adalah 15-45 tahun
dengan prosentase 69%. Usia anak-
anak dan dewasa muda merupakan
puncak usia yang sering terkena
gigitan ular. kelompok risiko tinggi
terkena gigitan ular adalah: Penduduk
desa miskin, pekerja pertanian,
penggembala, nelayan, pemburu,
anak- anak yang bekerja (10-14
tahun), orang yang tinggal di
perumahan yang buruk, orang dengan
akses kesehatan dan pendidikan yang
menyebabkan luka gigitan adalah biasanya petani (WHO, 2016).
20% responden menyebutkan Tidak jarang juga korban tidak
bahwa bentuk kepala ular segitiga, mengetahui jenis ular atau tingkat
sejumlah 14,3% menyebutkan bahaya dari ular yang menggigitnya.
(n) (%)
bahwa ular sendok jawa, dan 14,3%
Jenis Kelamin Tidak semua masyarakat juga
Perempuan 4
sisanya tidak ingat dan ragu- ragu 11,4% memahami ciri-ciri ular berbisa dan
Laki-laki 31 88,6%
Umur (Tahun)
dengan jenis ular yang telah tidak. Ciri-ciri ular berbisa yaitu,
15-45 24 69%
menggigit.
>45 11 31% bentuk kepala segitiga atu elips,
Jenis Ular
Tiga
Bentukkategori ular berbisa yang
kepala segitiga 20% terdapat dua gigi taring besar di
Ular hijau ekor merah 18 51,4%
dijumpai di Asia Tenggara yaitu
(ular luwuk) rahang atas dan bekas gigitan terdiri
Ular sendok
Elapidae, jawa
Viperidae, 5
dan Colubridae 14,3% dari dua titik. Sedangkan ciri-ciri ular
Tidak diketahui 5 14,3%
(Warrell,
Tempat2010). Elapidae:
Pasien Terkena memiliki
Gigitan tidak berbisa adalah bentuk kepada
Sawah 20 57,2%
gigi Kebon/ladang
taring pendek di 8 depan 22,8% segi empat atau bulat, gigi taring kecil
Pekarangan rumah 5 14,3%
(proteroglyph). Famili ini 2meliputi
Dalam rumah (dapur) 5,7% dan bekas gigitan lengkung seperti
Waktu prehospital
kobra, raja kobra, kraits, ular
<2 jam 2
koral, 5,7%
huruf “U” (Luman dan Endang, 2016)
ular 2Australia
jam – 6 jamdan ular laut. Beberapa
24 69% Sejumlah 57,2%
>6 jam 9 25,3%
spesies kobra dapat meludahkan responden
bisanya hingga 1 meter atau lebih menyebutkan tempat mereka terkena
terhadap mata korbannya. Viperidae: gigitan adalah di sawah, sejumlah
memiliki gigi taring yang cukup 22,8% di kebon/ladang, 14,3% di
panjang (solenogyph) yang secara pekarangan rumah, dan 5,7% di dalam
normal terlipat rata terhadap rahang rumah (dapur). Beberapa aktivitas
atas, tetapi saat menyerang akan yang mereka lakukan diantaranya
menjadi tegang. Colubridae: dua sedang memanen padi, berjalan di
spesies penting pada regional Asia pematang sawah, tidur di pinggiran
Tenggara adalah Rhabdophis sawah, mencuci kaki di perairan
subminiatus berleher merah dan sawah. Selain sawah, rumah dan
Rhabdophis triginus. Piton besar pekarangan rumah (kebun) juga
(Boidae), merupakan Python reticularis menjadi tempat pasien terkena gigitan
di Indonesia, pernah dilaporkan ular.
menyerang dan menelan manusia, yang
5. SARAN
Tenaga kesehatan dapat memberikan edukasi kepada masyarakat sekitar mengenai
penanganan prehospital luka gigitan ular, dikarenakan temuan pada penelitian
perburukan kondisi luka pada pasien juga disebabkan oleh penanganan awal yang
tidak tepat pada pre hospital oleh masyarakat sendiri.
REFERENSI
American Heart Association. Part 15. First Aid. Web-Based Integrated
2010 & 2015 American Heart Association and American Red
Cross Guidelines for First Aid. Available online:
https://eccguidelines.heart.org/index. php/circulation/aha-red-cross-first-
aid-guidelines/part-15-first-aid/ (accessed on 20 Agustus 2018).
Luman A dan Endang. (2018). Gigitan ular Berbisa. Divisi Penyakit Tropik dan
infeksi. Departeman Ilmu penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas
Sumatera Utara
Parker JC and Meggs WJ. (2018). First aid and pre-hospital management of
venomous snakebites. Tropical Medicine and Infection Desease. 3(45).
Warrell DA. (2010). Guidelines for the management of snake bites. World
Health Organization Regional Office for South-East Asia
World Health Organization (WHO). (2018). Global snakebite burden. Report by the
Director-General. Seventy-First World Health Assembly.