Anda di halaman 1dari 5

Patofisiologi cedera kepala

Sebagian besar cedera otak tidak disebabkan oleh cedera langsung terhadap jaringan otak,
tetapi terjadi sebagai akibat kekuatan luar yang membentur sisi luar tengkorak kepala atau dari
gerakan otak itu sendiri dalam rongga tengkorak. Pada cedera deselerasi, kepala biasanya
membentur suatu objek seperti kaca depan mobil, sehingga terjadi deselerasi tengkorak yang
berlangsung tiba-tiba. Otak tetap bergerak kearah depan, membentur bagian dalam tengorak tepat
di bawah titik bentur kemudian berbalik arah membentur sisi yang berlawanan dengan titik
bentur awal. Oleh sebab itu, cedera dapat terjadi pada daerah benturan (coup) atau pada sisi
sebaliknya (contra coup).
Sisi dalam tengkorak merupakan permukaan yang tidak rata. Gesekan jaringan otak
tehadap daerah ini dapat menyebabkan berbagai kerusakan terhadap jaringan otak dan pembuluh
darah.
Respon awal otak yang mengalami cedra adalah swelling. Memar pada otak
menyebabkan vasoliditasi dengan peningkatan aliran darah ke daerah tersebut, menyebabkan
penumpukan darah dan menimbulkan penekanan terhadap jaringan otak sekitarnya. Karena tidak
terdapat ruang lebih dalam tengkorak kepala maka swelling dan daerah otak yang cedera akan
meningkatkan tekanan intraserebral dan menurunkan aliran darah ke otak. Peningkatan
kandungan cairan otak (edema) tidak segera terjadi tetapi mulai berkembang setelah 24 jam
hingga 48 jam. Usaha dini untuk mempertahankan perfusi otak merupakan tindakan
penyelamatan hidup.
Kadar CO2 dalam darah mempengaruhi aliran darah serebral. Level normal CO2 adalah
35-40 mmHg. Peningkatan kadar CO2 (HIPOVENTILASI) menyebabkan vasodilatasi dan
bengkak otak, sedangkan penurunan kadar CO2 (HIPERVENTILASI) menyebabkan
vasokontruksi dan serebral iskemia. Pada saat lampau, diperkirakan bahwa dengan menurunkan
kadar CO2 (hiperventilasi) pada penderita cedera kepala akan mengurangi bengkak otak dan
memperbaiki aliran darah otak. Akhir-akhir ini dibuktikan bahwa hiperventilasi hanya
memberikan peranan kecil terhadap bengkak otak, tetapi berpengaruh besar dalam menurunkan
aliran darah otak karena vasokonstriksi. Hal ini menyebabkan hipoksia serebral. Otak yang
mengalami cedera tidak mampu mentoleransi hipoksia.
Hipoventilasi atau hipoksia meningkatkan angka kematian dengan mempertahankan
ventilasi yang baik pada frekuensi nafas berkisar 15 kali permenit dan aliran oksigen yang
memadai merupakan hal yang sangat penting. Hiperventilasi profilaksis pada cedera kepala
sudah tidak direkomendasikan.
Tekanan intracranial
Dalam rongga tengkorak dan selaput yang membungkus otak terdapat jaringan otak,
liquor serebrospinal. Dan darah peningkatan volume salah satu komponen akan diikuti dengan

pengurangan atau penekanan terhadap masing-masing volume komponen yang lain karena
tengkorak kepala orang dewasa (suatu kotak yang kaku) tidak dapat mengembang (membesar).
Walaupun CSF memberikan toleransi, namun ruang yang diberikan tidak mampu mentoleransi
bengkak otak yang terjadi dengan cepat. Aliran darah tidak boleh terganggu karena otak
membutuhkan suplai darah yang konstan (oksigen dan glukosa) untuk bertahan hidup. Tidak satu
pun dari komponen yang mendukung otak dapat mentoloransi hal ini, oleh sebab itu, bengkak
otak yang terjadi akan cepat menyebabkan kematian. Tekanan yang ditimbulkan oleh isi
tengkorak disebut tekanan intracranial (ICP). Tekanan ini biasanya sangat rendah. Tekanan intra
kranial dinilai berbahaya jika meningkat hingga 15mmHg, dan herniasi dapat terjadi pada
tekanan di atas 25 mmHg. Tekanan darah yang mengalir dalam otak disebut sebagai tekanan
perfusi serebral (CPP). Nilai CPP diperoleh dengan mengurangkan MABP terhadap ICP.
Tekanan perfusi harus dipertahankan 70 mmHg atau lebih. Jika otak membengkak atau terjadi
pendarahan dalam tengkorak, tekanan intrakranial akan meningkat dan tekanan perfusi akan
menurun. Tubuh memiliki refleks perlindungan (respons/refleks cushing) yang berusaha
mempertahankan tekanan perfusi dalam keadaan konstan. Saat tekanan intraserebral meningkat,
tekanan darah sistematik meningkat untuk mencoba mempertahankan aliran darah otak. Saat
keadaan semakin kritis, denyut nadi menurun (bradikardia) dan bahkan frekuensi respirasi
berkurang. Tekanan dalam tengkorak terus meningkat hingga titik kritis tertentu dimana cedera
kepala memburuk dan semua tanda vital terganggu, dan berakhir dengan kematian penderita.
Jika terdapat peningkatan intrakranial, hipotensi akan memperburuk keadaan. Harus
dipertahankan tekanan perfusi paling sedikit 70 mmHg, yang membutuhkan tekanan sistolik 100110 mmHg pada penderita cedera kepala.
Sindroma herniasi
Saat otak membengkak, khususnya setelah benturan pada kepala, peningkatan tekanan
intrakranial yang tiba-tiba dapat terjadi. Hal ini dapat mendorong bagian otak ke arah bawah,
menyumbat aliran CSF dan menimbulkan tekanan besar terhadap batang otak. Hal ini merupakan
keadaan yang mengancam hidup di tandai dengan penurunan tingkat kesadaran yang secara
progresif menjadi koma, dilatasi pupil dan deviasi mata ke arah bawah dan lateral pada mata sisi
kepala yang mengalami cedera, kelemahan pada tungkai dan lengan sisi tubuh berlawanan
terhadap sisi yang mengalami cedera, dan postur deserebrasi (dijelaskan berikut ini) penderita
selanjutnya akan kehilangan semua gerakan, berhenti nafas dan meninggal. Sindroma ini sering
terjadi setelah perdarahan subdural akut. Sindroma herniasi merupakan satu-satunya keadaan di
mana hiperventilasi masih merupakan indikasi.
Cedera otak anoksia
Cedera pada otak akibat kurangnya oksigen ( misal henti jantung, obstruksi jalan nafas)
mempengarui otak secara serius. Jika otak tidak mendapatkan oksigen selama 4 hingga 6 menit,
kerusakan irreversible hampir selalu terjadi. Setelah episode anoksia, perfusi korteks akan
terganggu akibat spasme yang terjadi pada arteri kecil pada serebral. Setelah anoksia 4 hingga 6

menit, perbaikan oksigenasi dan tekanan darah tidak akan memperbaiki perfusi korteks (tidak
ada fenomena reflow) dan cedera anoksia akan terus berlangsung dalam sel otak. Sepertinya
hipotermia mampu melindungi otak terhadap efek tersebut dan terdapat laporan kasus pasien
hipotermia yang diresusitasi setelah mengalami hipoksia selama 1 jam.
Penelitian saat ini ditunjukan terhadap penemuan obat yang mampu mengatasi spasme
arteri persisten setelah keadaan anoksia atau melindungi sel terhadap cedera anoksia.
000..
Trauma kepala adalah setiap trauma pada kepala yang menyebabkan cedera pada kulit
kepala, tulang tengkorak maupun otak. Trauma pada kepala dapat menyebabkan fraktur pada
tengkorak dan trauma jaringan lunak / otak atau kulit seperti kontusio / memar otak, edema otak,
perdarahan atau laserasi, dengan derajat yang bervariasi tergantung pada luas daerah trauma.
Dampak trauma kepala pada system tubuh lain :
1. Faktor kardiovaskuler

Trauma kepala menyebabkan perubahan fungsi jantung mencakup aktivitas atipikal


miokardial, perubahan tekanan vaskuler dan edema paru.

Tidak adanya stimulus endogen saraf simpatis mempengaruhi penurunan kontraktilitas


ventrikel. Hal ini menyebabkan penurunan curah jantung dan meningkatkan tekanan
atrium kiri. Akibatnya tubuh berkompensasi dengan meningkatkan tekanan sistolik.
Pengaruh dari adanya peningkatan tekanan atrium kiri adalah terjadinya edema paru.

2. Faktor Respiratori

Adanya edema paru pada trauma kepala dan vasokonstriksi paru atau hipertensi paru
menyebabkan hiperpnoe dan bronkokonstriksi

Konsentrasi oksigen dan karbon dioksida mempengaruhi aliran darah. Bila PO2 rendah,
aliran darah bertambah karena terjadi vasodilatasi. Penurunan PCO2, akan terjadi
alkalosis yang menyebabkan vasokonstriksi (arteri kecil) dan penurunan CBF (cerebral
blood fluid).

Edema otak ini menyebabkan kematian otak (iskemik) dan tingginya tekanan intra
kranial (TIK) yang dapat menyebabkan herniasi dan penekanan batang otak atau medulla
oblongata.

3. Faktor metabolisme

Pada trauma kepala terjadi perubahan metabolisme seperti trauma tubuh lainnya yaitu
kecenderungan retensi natrium dan air dan hilangnya sejumlah nitrogen

Retensi natrium juga disebabkan karena adanya stimulus terhadap hipotalamus, yang
menyebabkan pelepasan ACTH dan sekresi aldosteron.

4. Faktor gastrointestinal

Trauma kepala juga mempengaruhi sistem gastrointestinal. Setelah trauma kepala (3 hari)
terdapat respon tubuh dengan merangsang aktivitas hipotalamus dan stimulus vagal. Hal
ini akan merangsang lambung menjadi hiperasiditas.

5. Faktor psikologis

Selain dampak masalah yang mempengaruhi fisik pasien, trauma kepala pada pasien
adalah suatu pengalaman yang menakutkan. Gejala sisa yang timbul pascatrauma akan
mempengaruhi psikis pasien. Demikian pula pada trauma berat yang menyebabkan
penurunan kesadaran dan penurunan fungsi neurologis akan mempengaruhi psikososial
pasien dan keluarga.
Mekanisme Terjadinya Trauma Kepala

Mekanisme cedera memegang peranan yang sangat besar dalam menentukan berat
ringannya konsekuensi patofisiologi dari trauma kepala kepala. Pada trauma kepala terjadi
akselerasi (gerakan yang cepat dan mendadak yang terjadi jika benda yang sedang bergerak
membentur kepala yang diam) dan deselerasi (penghentian akselerasi secara mendadak yaitu jika
kepala membentur benda yang tidak bergerak). Pada waktu akselerasi berlangsung, terjadi dua
kejadian yaitu akselerasi tengkorak ke arah dampak (kup) dan pergeseran otak ke arah yang
berlawanan dengan arah dampak primer (kontra kup). Apabila akselerasi disebabkan oleh
pukulan pada oksiput, maka pada tempat di bawah tampak terdapat tekanan positif akibat
identasi ditambah tekanan positif yang dihasilkan oleh akselerasi tengkorak ke arah dampak dan
penggeseran otak ke arah yang berlawanan. Di seberang tempat terdapat tekanan negatif akibat
akselerasi kepala yang ketika itu juga akan ditiadakan oleh tekanan yang positif yang diakibatkan
oleh pergeseran seluruh otak.
Maka pada trauma kepala dengan dampak pada oksiput, gaya kompresi di bawah
berdampak cukup besar untuk bisa menimbulkan lesi. Lesi tersebut bisa berupa perdarahan pada
permukaan otak yang berbentuk titik-titik besar dan kecil tanpa kerusakan pada duramater (lesi
kontusio). Jika lesi terjadi di bawah dampak disebut lesi kontusio kup dan jika terjadi di
seberang dampak disebut lesi kontusio kontra kup. Sehingga dari sana bisa timbul gejalagejala deficit neurologist berupa reflek babinski yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah

kesadaran pulih kembali, si penderita biasanya menunjukkan gambaran organic brain syndrom
dan berdampak juga pada autoregulasi pembuluh darah serebral, sehingga terdapat vasoparalisis.
Akselerasi dan penggeseran otak yang terjadi bersifat linear dan bahkan akselerasi yang
sering kalidiakibatkan oleh trauma kepala disebut akselerasi rotarik. Pergeseran otak pada
akselerasi dan deselerasi linear dan rotarik bisa menarik dan memutuskan vena-vena yang
menjembatani selaput arakhnoida dan dura sehingga timbul perdarahan subdural. Vena-vena
tersebut Bridging Veins.

Anda mungkin juga menyukai