Puji syukur saya haturkan kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat dan
rahmat-Nya, saya dapat menyelesaikan karya ilmiah akhir ini. Penulisan karya
ilmiah akhir ini dilakukan guna memperoleh gelar Ners Keperawatan, Program
Studi Profesi Ners Fakultas Ilmu Keperawatan, Universitas Indonesia. Saya
menyadari bahwa, tanpa bantuan dan bimbingan dari berbagai pihak, dari masa
perkuliahan sampai pada penyusunan karya ilmiah akhir ini, sangatlah sulit bagi
saya untuk menyelesaikannya. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih
kepada:
(1) D r a . Junaiti Sahar, M.App. Sc., Ph.D., sebagai Dekan Fakultas Ilmu
Keperawatan Universitas Indonesia
(2) Kuntarti, S.Kp., M.Biomed., selaku dosen pembimbing yang telah
menyediakan waktu, tenaga dan pikiran untuk mengarahkan saya dalam
penyusunan karya ilmiah akhir ini
(3) Ns. Siti Anisah, S.Kep, ETN., selaku pembimbing klinik dan penguji yang
telah membimbing selama praktik di RSPAD Gatot Soebroto, terimakasih
untuk waktu, ilmu, dan tenaga yang telah mengarahkan saya dan teman-
teman
(4) Fajar Tri Waluyanti S.Kp., M.Kep., sebagai Koordinator MA
PKKKMP dan KIAN, sekaligus Penanggung Jawab Profesi/ Sekretaris
Program Studi Ners FIK-UI.
(5) Titin Ungsianik S.Kp., M.B.A selaku pembimbing akademik yang
senantiasa memotivasi dan membimbing saya dalam menjalankan masa
perkuliahan
(6) Orang tua tercinta, yaitu Bapak Muksinin dan Ibu Rosidah, kedua adik saya
(Nia dan Alya), dan keluarga besar yang telah memberikan banyak bantuan
doa, motivasi, kasih sayang yang tiada henti, dan bantuan finansial untuk
saya
(7) Para perawat dan jajaran staf di lantai 6 Perawatan Umum RSPAD Gatot
Soebroto, terimakasih untuk tujuh minggu yang berharga yang telah
meningkatkan kemampuan klinik dan berpikir sebagai perawat
iv
Penulis
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang menjadi masalah di masyarakat
perkotaan. Penyakit ginjal kronik menyebabkan beberapa komplikasi, salah satunya adalah
anemia. Perawat berperan penting dalam pemberian edukasi untuk mencegah rehospitalisasi
karena anemia kepada pasien penyakit ginjal kronik. Karya ilmiah ini bertujuan untuk memberikan
gambaran asuhan keperawatan pada penyakit ginjal kronik, khususnya mengenai penerapan
edukasi pasien untuk mencegah rehospitalisasi karena anemia pada penyakit ginjal kronik.
Edukasi yang diberikan kepada pasien berupa penjelasan tentang anemia, perencanaan diet untuk
anemia pada pasien ginjal kronik, medikasi, adaptasi toleransi aktivitas, dan waktu kontrol
kesehatan. Pasien mampu mengenal masalah, memutuskan perawatan, dan bersedia melanjutkan
perawatan.
ABSTRACT
Chronic kidney disease (CKD) was the one of problem of urban health. Anemia was one of CKDs
complications. Nurses had an important role to give education about how to prevent CKD
patients rehospitalization caused by anemia. This paper aimed to provide an overview of nursing
care in chronic kidney disease, particularly regarding implementation of patient education to
prevent rehospitalization because of anemia in chronic kidney disease. Patient got education
about description of anemia, dietary planning for anemia in patients with chronic kidney,
medication, how to increase tolerance adaptation, and schedule of health control. The patient was
able to recognize the problem, deciding care, and are willing to continue treatment.
vii
HALAMAN JUDUL........................................................................................ i
LEMBAR PERNYATAAN ORISINALITAS ................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................. iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................... iv
HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI ....................... vi
ABSTRAK ....................................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................... viii
DAFTAR TABEL ............................................................................................ ix
DAFTAR RUMUS .......................................................................................... x
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................... xi
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1
1.2 Perumusan Masalah.............................................................................. 5
1.3 Tujuan Penelitian.................................................................................. 6
1.4 Manfaat Penelitian................................................................................ 6
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 8
2.1 Keperawatan Masyarakat Perkotaan .................................................... 8
2.3 Penyakit Ginjal Kronik ........................................................................ 10
2.3 Anemia pada Penyakit Ginjal Kronik .................................................. 16
2.4 Asuhan Keperawatan pada Klien Penyakit Ginjal Kronik................... 18
2.5 Edukasi Pasien pada Pelayanan Kesehatan Primer .............................. 21
BAB 3 LAPORAN KASUS KELOLAAN UTAMA ................................... 25
3.1 Pengkajian ............................................................................................ 25
3.2 Analisis Data ........................................................................................ 33
3.3 Rencana Keperawatan .......................................................................... 35
3.4 Implementasi dan Evaluasi Keperawatan ............................................ 37
BAB 4 ANALISIS SITUASI.......................................................................... 39
4.1 Profil Lahan Praktik ............................................................................. 40
4.2 Analisa Masalah Keperawatan dengan Konsep Terkait KKMP dan
Konsep Kasus Terkait .......................................................................... 42
4.3 Analisa Salah Satu Intervensi dengan Konsep dan Penelitian Terkait 48
4.5 Alternatif Pemecahan Masalah yang dapat Dilakukan ........................ 52
BAB 5 PENUTUP........................................................................................... 54
5.1 Kesimpulan .......................................................................................... 54
5.2 Saran..................................................................................................... 54
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 56
LAMPIRAN
viii
ix
xi
Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu penyakit yang berkaitan dengan pola
hidup masyarakat perkotaan, terutama dalam hal pemenuhan kebutuhan cairan
dan eliminasi urin. Pada pendertita penyakit ginjal kronik, ginjal mengalami
kerusakan yang menyebabkan kemampuan untuk menyaring darah menurun.
Akibatnya sampah tubuh di dalam darah tertahan yang kemudian menyebabkan
masalah kesehatan lainnya. Apabila tidak ditangani lebih dini, dapat
menyebabkan ginjal tidak berfungsi dan harus digantikan dengan transplantasi
ginjal atau hemodialisis pada penderita penyakit ginjal kronik tahap akhir atau
gagal ginjal kronik (National Kidney Foundation, 2002).
Kasus penyakit ginjal kronik di dunia terus merangkak naik setiap tahunnya. The
2010 Global Burden of Disease Study menunjukkan penyakit ginjal kronik
menempati urutan ke 27 dari daftar penyakit yang menyebabkan kematian di
dunia pada tahun 1990 (rata-rata kematian 15,7% per 100.000 jiwa), kemudian
meningkat menjadi urutan ke 18 pada tahun 2010 (rata-rata kematian 16,3% per
100.000 jiwa) (Lozano, et al, 2013). Kasus meningkatnya penyakit ginjal kronik
1 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kasus penyakit ginjal kronik di Indonesia sebagai salah satu negara yang cukup
berkembang di kawasan Asia Tenggara telah mengalami peningkatan.
Berdasarkan 4th Report of Indonesian Renal Registry jumlah penduduk Indonesia
yang didiagnosis menderita penyakit ginjal kronik tahap akhir mencapai 12.466
orang (Perkumpulan Nefrologi Indonesia, 2011). Pada tahun 2013, berdasarkan
data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) prevalensi penyakit ginjal kronik tahap
akhir atau gagal ginjal kronik berdasar diagnosis dokter di Indonesia sebesar 0,2%
(144.466 orang) (Kementrian Kesehatan Republik Indonesia [Kemenkes RI],
2013).
Penanganan penyakit ginjal kronik yang belum mencapai tahap akhir adalah
mencegah peningkatan kerusakan ginjal dan mengatasi komplikasi yang telah
dirasakan oleh pasien. Komplikasi dari penyakit ginjal kronik yang dapat muncul,
antara lain: anemia, ketidakseimbangan elektrolit tubuh, edema, gangguan
mineral, gangguan tulang, dislipidemia, dan gangguan kardiovaskuler (Thomas,
Kanso, & Sedor, 2008). Penanganan yang tepat akan meningkatkan kualitas hidup
penderita penyakit ginjal kronik.
Salah satu komplikasi yang banyak dirasakan oleh penderita penyakit ginjal
kronik adalah anemia. Keadaan anemia sering muncul pada pasien penyakit ginjal
kronik yang telah mencapai penurunan laju filtasi glomerulus <60ml/min/1,73m2
(Kazmi, et al, 2001). Prevalensi anemia semakin meningkat seiring penurunan
laju filtrasi glomerulus dari penyakit ginjal kronik. Pada tahap empat awal
penyakit ginjal kronik (laju filtasi glomerulus 25-34 ml/min/1,73m2) prevalensi
mencapai 51%, sedangkan pada tahap empat akhir (laju filtasi glomerulus <25
ml/min/1,73m2) prevalensi mencapai 87%. Sedangkan pada tahap lima penyakit
ginjal kronik (laju filtasi glomerulus <15 ml/min/1,73m2) prevalensi anemia 60-
80%.
Universitas Indonesia
Dampak dari anemia pada penyakit ginjal kronik adalah meningkatnya morbiditas
dan mortalitas berkaitan dengan gangguan kardiovaskular, seperti: angina,
perbesaran jantung kiri, dan perburukan gagal jantung. Kejadian yang saling
berkaitan ini disebut dengan Cardiorenal Anemia Syndrome (Thomas, Kanso, &
Sedor, 2009). Anemia memang dapat memberikan dampak yang cukup besar pada
penderita penyakit ginjal kronik, tetapi anemia lebih mungkin untuk mengalami
perbaikan dengan penanganan yang tepat (Kidney Disease Improving Global
Outcome, 2012). Penelitian terakhir menunjukkan bahwa manajemen yang tepat
dari semua tim kesehatan tidak hanya mengurangi mortalitas tetapi juga menunda
inisiasi terapi dialisis (Wu, et al, 2009). Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen
penatalaksanaan medis dan keperawatan yang tepat untuk mengatasi dan
mencegah pasien mengalami anemia berat.
Kasus anemia pada pasien penyakit ginjal kronik di ruang rawat penyakit dalam
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto cukup banyak ditemukan.
Berdasarkan pengamatan penulis, setelah menjalani praktik selama tiga minggu di
lantai enam perawatan umum, jumlah pasien yang dirawat karena kasus penyakit
ginjal kronik sebanyak sepuluh orang dengan masa rawat satu sampai tiga
minggu. Keseluruhan pasien yang dirawat tersebut mengalami komplikasi
anemia, dan beberapa pasien merupakan pasien yang pernah dirawat dan kembali
menjalani perawatan karena mengalami anemia.
Universitas Indonesia
Manajemen perawatan diri merupakan salah satu bagian penting yang dapat
mempengaruhi pasien dalam mengontrol proses penyakitnya (National Clinical
Guideline Center, 2011). Manajemen perawatan diri dari masing-masing pasien
bergantung pada kualitas informasi dalam diri pasien dan sistem pendukung dari
luar diri pasien. Edukasi pasien penting diberikan karena dapat meningkatkan
kualitas informasi untuk mencapai keefektifan manajemen perawatan diri pasien.
Karya ilmiah akhir ini akan membahas lebih lanjut bagaimana penatalaksanaan
keperawatan khususnya dalam mempersiapkan pasien untuk menjalani perawatan
mandiri di rumah dengan pemberian edukasi kepada pasien, sehingga dapat
mencegah terjadinya anemia berulang.
Salah satu komplikasi yang banyak dirasakan oleh penderita penyakit ginjal
kronik adalah anemia. Pada penyakit ginjal kronik, produksi eritropoetin menurun
dan anemia berat dapat terjadi. Oleh karena itu, dibutuhkan manajemen
penatalaksanaan keperawatan yang tepat untuk mengatasi dan mencegah pasien
mengalami anemia berat. Salah satu tindakan keperawatan yang dapat menunjang
peningkatan manajemen mandiri pasien dan mencegah terjadinya anemia pada
pasien dengan penyakit ginjal kronik adalah pemberian edukasi pasien. Karya
ilmiah akhir ini akan membahas lebih lanjut bagaimana penatalaksanaan
keperawatan khususnya terkait edukasi pasien untuk mempersiapkan pasien
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
1.4.2 Pendidikan
Hasil penulisan ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas pembelajaran
dan mengembangkan ilmu yang berkaitan dengan edukasi pasien anemia
pada penyakit ginjal kronik.
1.4.3 Penelitian
Hasil penulisan ini diharapkan dapat menjadi dasar untuk melakukan
evidence based practice yang serupa dengan kasus yang lain sesuai dengan
penelitian terbaru.
Universitas Indonesia
8 Universitas Indonesia
masyarakat urban terbagi menjadi dua bagian, yaitu populasi urban dengan
penghasilan menengah ke atas dan populasi dengan penghasilan rendah yang
tinggal di daerah padat perkotaan. Terbentuklah dua kesenjangan populasi yang
menghadirkan permasalahan kesehatan dominan. Masalah kesehatan pada
masyarakat urban dengan penghasilan rendah terkait dengan infeksi, sanitasi, air
bersih, dan pemukiman kumuh, sehingga masalah kesehatan yang banyak muncul
adalah penyakit-penyakit yang menular (Kjellstorm, 2007). Hal ini akan berbeda
polanya ketika dilihat dari masyarakat perkotaan yang memiliki penghasilan
menengah ke atas, masalah kesehatannya adalah penyakit tidak menular yang
berkaitan dengan pola hidup (makanan dan aktivitas), seperti hipertensi, diabetes
mellitus, penyakit jantung, dan lain-lain (WHO, 2010).
Universitas Indonesia
2.2.2 Klasifikasi
Klasifikasi penyakit ginjal kronik didasarkan pada kerusakan ginjal yang terjadi
secara secara bertahap dan irreversibel. Tahapan kerusakan dan penurunan fungsi
ginjal tersebut terbagi menjadi lima tahap, yang ditentukan berdasarkan laju
filtrasi glomerulus, yaitu kemampuan glomerulus dalam melakukan tugasnya
untuk menyaring sampah yang akan dikeluarkan. Penentuan laju filtrasi
glomerulus dapat dilihat dari hasil creatinin clearances yang merupakan hasil
perhitungan dari konsentrasi kreatinin urin yang diukur dalam urin tampung per
24 jam. Selain itu, penentuan laju filtrasi glomerulus juga dapat dilakukan dengan
perhitungan cepat yang disebut dengan estimate Glomerular Filtration Rate
(eGFR). Perhitungan ini menggunakan konsentrasi kreatinin serum, yang diukur
dengan rumus Cockcroft-Gault (National Kidney Foundation, 2002):
LFG (2.1)
,
Universitas Indonesia
Keadaan ginjal yang terus memburuk kemudian akan sampai pada keadaan ginjal
yang benar-benar gagal untuk menyaring darah. Hal ini disebut dengan penyakit
ginjal tahap akhir atau tahap gagal ginjal kronik, yang akan menunjukkan nilai
laju filtrasi glomerulus <15 ml/min per 1,73 m2. Orang dengan keadaan ginjal
pada tahap ini membutuhkan prosedur cuci darah (hemodialisis) sebagai
pengganti kinerja ginjalnya yang telah mengalami kerusakan (National Kidney
Foundation, 2002).
2.2.3 Etiologi
Penyebab dari penyakit ginjal kronik bermacam-macam, berdasarkan Laporan
Tahunan Sistem Data Ginjal Amerika Serikat tahun 2007 penyebab penyakit
ginjal kronik, antara lain: DM, hipertensi, glomerulonefritis, penyakit ginjal sistik,
dan penyakit urologi lainnya (Jha, et al, 2013).
1. Glomerulonefritis : Primer dan sekunder
Glomerulonefritis adalah peradangan ginjal bilateral, yang biasanya timbul
setelah infeksi Streptococcus. Manifestasinya adalah proteinuria dan atau
hematuria. Gangguan fisiologis utama pada glomerulonefritis akut adalah
berkurangnya ekskresi air, Na dan zat-zat nitrogen, sehingga timbul edema dan
azotemia. Glomerulonefritis kronik, biasanya timbul tanpa diketahui asal
usulnya. Ditandai dengan kerusakan glomerulus secara progresif lambat, akan
tampak ginjal mengkerut, berat lebih kurang 50 gram dengan permukaan
bergranula. Hal ini disebabkan karena jumlah nefron berkurang karena iskemia
Universitas Indonesia
yang disebabkan oleh tubulus yang mengalami atropi, fibrosis interstisialis dan
penebalan dinding arteri. Menurut stadium penyakitnya, gejala yang mungkin
timbul antara lain poliuria atau oliguria, protenuria, hipertensi, azotemia
progresif, dan kematian akibat uremia.
3. Hipertensi esensial
Hipertensi esensial merupakan penyakit primer dan menyebabkan kerusakan
pada ginjal. Sebaliknya penyakit ginjal kronik juga dapat menyebabkan
hipertensi melalui mekanisme retensi Na dan H2O, pengaruh vasopressor dari
sistem renin angiotensin dan defisiensi prostaglandin. Keadaan ini merupakan
salah satu penyebab utama penyakit ginjal kronik yang berkembang menjadi
gagal ginjal kronik. Dampak hipertensi lama pada organ ginjal adalah
terjadinya arteriosklerosis ginjal yang menyebabkan nefrosklerosis benigna.
Gangguan ini merupakan akibat langsung dari iskemia yang terjadi karena
penyempitan lumen pembuluh darah intrarenal. Ginjal dapat mengecil,
biasanya simetris, dan mempunyai permukaan yang berlubang-lubang dan
bergranula. Penyumbatan arteria dan arteriol (aferen adalah yang paling sering
terjadi) akan menyebabkan kerusakan glomerulus, sehingga seluruh nefron
rusak.
4. Uropati obstruktif
Obstruksi aliran urine yang terletak di sebelah proksimal vesika urinaria dapat
mengakibatkan penimbunan cairan bertekanan dalam pelvis ginjal dan ureter.
Hal ini saja sudah cukup untuk mengakibatkan atrofi hebat pada parenkim
ginjal (hidronefrosis). Di samping itu, obstruksi yang terjadi di bawah vesika
Universitas Indonesia
urinaria sering disertai refluk vesikoureter dan infeksi pada ginjal. Penyebab
umum obstruksi ginjal adalah jaringan parut ginjal atau uretra, batu,
neoplasma, benigna prostat hipertrofi, kelainan kongenital pada leher vesika
urinaria dan uretra serta penyempitan uretra.
7. Nefropati toksik
Ginjal rentan terhadap efek toksik, obat-obatan, dan bahan-bahan kimia karena:
Universitas Indonesia
a. ginjal menerima 25% dari curah jantung sehingga sering dan mudah kontak
dengan zat kimia dalam jumlah besar
b. interstisium yang hiperosmotik memungkinkan zat kimia dikonsentrasikan
pada daerah yang relatif hipovaskular
c. ginjal merupakan jalur ekskresi obligatorik untuk sebagian besar obat,
sehingga insufisien ginjal mengakibatkan penimbunan obat dan
meningkatkan konsentrasi dalam cairan tubulus
Universitas Indonesia
(menetap pada 1,010 menunjukkan kerusakan ginjal berat); d) Osmolalitas urin <
350 mOsm/kg menunjukkan kerusakan tubular, dan rasio urine/serum sering 1:1;
e) Clearence Creatinin yang menunjukkan hasil penurunan dari nilai normal; f)
Natrium terdeteksi > 40 mEq/L karena ginjal tidak mampu mereabsorbsi natrium;
g) Protein, terdeteksi derajat tinggi proteinuria (3-4+) secara kuat menunjukkan
kerusakan glomerulus jika SDM dan fragmen juga ada
Universitas Indonesia
2.2.6 Penatalaksanaan
Prinsip terapi untuk menangani penyakit ginjal kronik, antara lain: terapi untuk
penyakit penyebab, memperlambat progesivitas penyakit ginjal kronik, dan
penanganan komplikasi. Penanganan penyakit ginjal kronik dapat berdasarkan
derajat penurunan laju filtrasi glomerulus yang akan dijabarkan pada tabel 2.2
(Thorp, 2011)
Tabel 2.2 Penangan Penyakit Ginjal Kronik Berdasarkan Derajat Penurunan Laju
Filtrasi Glomerulus
dari 13 g/dl, sedangkan pada klien wanita pre-menopouse jika kadar hemoglobin
kurang dari 12 g/dl (Thomas, Kanso, & Sedor, 2009).
Anemia pada klien penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin B12; perdarahan
gastrointestinal; mengalami hiperparatiroid; inflamasi sistemik; dan
memendeknya usia sel darah merah. Namun, penurunan sintesis eritropoetin
adalah penyebab terpenting dan spesifik yang menimbulkan anemia pada penyakit
ginjal kronik. Eritropoetin adalah substansi glicoprotein yang diproduksi oleh
fibroblast intersisial ginjal, yang bekerja menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penyakit ginjal kronik, atropi tubulus
menyebabkan fibrosis tubulus intersisial, yang menyebabkan kapasitas sintesis
eritropoetin menurun dan anemia berat dapat terjadi (Thomas, Kanso, & Sedor,
2009).
Dampak dari anemia pada penyakit ginjal kronik adalah meningkatnya morbiditas
dan mortalitas berkaitan dengan gangguan kardiovaskular, seperti: angina,
perbesaran jantung kiri, dan perburukan gagal jantung. Kejadian yang saling
berkaitan ini disebut dengan Cardiorenal Anemia Syndrome. Selain itu, anemia
adalah prediktor independen dari kematian penyakit arteri koroner pada penderita
penyakit ginjal kronik (Thomas, Kanso, & Sedor, 2009).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
g) Nyeri/kenyamanan
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala nyeri
panggul, sakit kepala; kram otot/nyeri kaki (memburuk pada malam hari).
Tanda yang muncul, yaitu Prilaku berhati-hati/distraksi, gelisah
h) Pernafasan
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala nafas
pendek; dispnea nocturnal paroksismal; batuk dengan/tanpa sputum kental
dan banyak. Tanda yang muncul, yaitu takipnea, dispnea, peningkatan
frekuensi/kedalaman (pernafasan kusmaul). Batuk produktif dengan sputum
merah muda, encer (edema paru).
i) Keamanan
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala kulit gatal;
ada/berulangnya infeksi. Tanda yang muncul, yaitu Pruritus, Demam
(sepsis, dehidrasi);normotermia dapat secara actual terjadi peningkatan pada
pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal (efek
GGK/depresi respon imun). Petikie, area ekimosis pada kulit, fraktur tulang;
defosit posfat kalsium (kalsifikasi metastatik) pada kulit, jaringan lunak,
sendi; keterbatasan gerak sendi.
j) Seksualitas
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala penurunan
libido; amenorea; infertilitas.
k) Interaksi Sosial
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala kesulitan
menentukan kondisi, cth : tak mampu bekerja, mempertahankan fungsi
peran biasanya dalam keluarga.
l) Penyuluhan/pembelajaran
Pasien dengan penyakit ginjal kronik biasanya memiliki gejala Riwayat DM
keluarga (risiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefritis
herediter, kalkulus urinaria. Riwayat terpajan toksin, contoh obat, racun
lingkungan. Penggunaan antibiotik nefrotoksik saat ini/berulang.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Pengetahuan dan perilaku sehat yang pasien miliki bertujuan untuk meningkatkan
dan memelihara, serta sebagai bekal untuk menanggulangi kondisi yang harus
dihadapi pasien, umumnya pada pasien penyakit kronik (Engers A, et al., 2008
dalam Pellise & Sell, 2009). Oleh karena itu, edukasi pasien dapat berupa
infomasi, konseling, dan modifikasi perilaku kesehatan. Dalam hal ini, perawat
memberikan edukasi kepada klien berupa beberapa rencana aktivitas mengenai
tindakan peningkatan kesehatan yang telah disesuaikan dengan kondisi klien dan
tindakan yang dapat mencegah klien menderita penyakit yang sama maupun
terjangkit penyakit lainnya, dan mengalami perburukan. Edukasi pasien
merupakan pemberian informasi yang dibutuhkan klien untuk melakukan
perawatan diri dalam menjamin kelanjutan perawatan dari rumah sakit ke rumah
(Falvo, 2004). Edukasi pasien dapat menjadi solusi untuk menyiapkan pasien agar
tidak terlalu lama dirawat di rumah sakit.
Edukasi pasien di pelayanan kesehatan primer penting karena setiap klien berhak
untuk tahu dan diinformasikan tentang diagnosis dan prognosis dari penyakitnya,
sama halnya dengan pilihan pengobatan dan risiko dari pengobatan. Selain itu,
edukasi pasien di pelayanan kesehatan juga sangat dibutuhkan karena hal ini dapat
meningkatkan tanggung jawab pasien terhadap perawatan dirinya, pemantauan,
dan keberlanjutan perawatan. Kesimpulannya, edukasi pasien merupakan
pemberian informasi dan praktik kesehatan yang dapat membantu klien dalam
meningkatkan pengetahuan tentang kesehatan, sehingga klien mampu
meningkatkan derajat kesehatannya secara mandiri.
Universitas Indonesia
yang beradaptasi pada penyakit atau luka mencari informasi tentang kesehatan
mereka. Namun, pasien yang mendapati bahwa sulit untuk beradaptasi pada
penyakit mungkin menjadi pasif dan tidak tertarik untuk belajar. Identifikasi
kemauan pasien, dan motivasi pasien untuk belajar.
c) Koping dengan fungsi yang terganggu: tidak semua pasien pulih secara utuh
dari penyakit atau luka. Banyak yang belajar untuk mengatasi perubahan
kesehatan yang permanen. Pada kasus ini, pasien membutuhkan pengetahuan
dan kemampuan baru untuk melanjutkan aktivitas sehari-hari. Contoh, pasien
yang kehilangan kemampuan untuk berbicara setelah operasi laring belajar cara
baru untuk berkomunikasi (Potter & Perry, 2007).
Seseorang dengan penyakit ginjal kronik memiliki kondisi yang lebih baik ketika
mereka berperan aktif dalam mengatur kondisi tubuhnya. Oleh karena itu,
pelayanan kesehatan primer dapat berperan dalam mempromosikan manajemen
kesehatan mandiri untuk klien, sehingga klien dapat berperan aktif dalam menjaga
kesehatannya. Hal yang dapata dilakukan oleh tim pelayanan kesehatan primer,
antara lain pertama, penyedia pelayanan kesehatan primer dapat membantu pasien
dan keluarga belajar tentang penyakit ginjal kronik dan mengawal penerimaan
klien dan keluarga terhadap diagnosis penyakit yang diderita. Kedua, penyedia
pelayanan kesehatan primer dapat bekerjasama dengan klien untuk
mengidentifikasi tujuan perawatan, perubahan gaya hidup, dan sumber-sumber
pendukung. Ketiga, penyedia pelayanan kesehatan primer dapat menganjurkan
klien untuk memonitor peningkatan kesehatan menggunakan diari atau lembaran
catatan klien. Tahapan tersebut merupakan bagian dari edukasi klien di pelayanan
kesehatan primer yang dapat mendorong klien menjadi lebih aktif terhadap
kesehatannnya dan menyatu dengan asuhan keperawatan di pelayanan kesehatan
(Craven, 2005).
Setelah klien pulang dari perawatan, diharapkan manajemen mandiri ini dapat
berlanjut dan dapat terevaluasi. Oleh karena itu, pelayanan kesehatan primer akan
melimpahkan status kesehatan klien ke pelayanan kesehatan di komunitas yang
terdekat dengan rumah klien. Klien dan keluarga dapat datang ke pelatihan yang
Universitas Indonesia
terkait bagaimana hidup dengan penyakit ginjal kronik, menjaga perilaku positif,
dan mengembangkan rencana tindakan disesuaikan dengan kebutuhan individu.
Pelayanan kesehatan primer akan memberikan informasi tentang pelatihan ini dan
menyarankan klien untuk hadir. Sistem ini termasuk ke dalam sistem pendukung
manajemen mandiri (self management support) yang berdasarkan penelitian Chen,
et al (2011) sistem pendukung manajemen mandiri dapat memperlambat progres
dari penyakit ginjal kronik derajat akhir dan mengurangi morbiditas selama
perjalanan penyakit.
Universitas Indonesia
3.1 Pengkajian
3.1.1 Identitas Pasien
Pasien dengan inisial Tn. SM (No. RM: 429715) berusia 46 tahun (Tanggal lahir
17 November 1967), masuk ke Instalasi Gawat Darurat RSPAD Gatot Soebroto
pada Tanggal 14 Mei 2014 Pukul 13.08, dengan keluhan lemas sehingga jalan
dipapah. Klien sebelum masuk rumah sakit didiagnosis Tuberkulosis paru dan
sudah minum obat anti tuberkulosis selama hampir 4 bulan secara rutin. Selain itu,
pada perawatan di rumah sakit sebelumnya klien juga terdiagnosis mengalami
hipertiroid, dan saat ini mengonsumsi obat pengendali hormon tiroid, yaitu PTU.
3.1.3 Aktivitas
Klien sehari-hari sebelum sakit bekerja sebagai pegawai swasta di bidang
ekspedisi. Oleh karena itu, klien banyak menghabiskan waktunya mengendarai
motor atau mobil. Semenjak sakit, klien mengalami penurunan aktivitas, bahkan
tidak mampu lagi mobilisasi secara mandiri. Klien berkata, saya sulit berjalan,
kaki saya lemes. Biasanya klien tidur malam diatas jam 24.00, dan tidak pernah
tidur siang. Satus mental saat ini sadar dan terorientasi. Aktivitas lebih banyak
dibantu, dengan skor barthel indeks 7 (Ketergantungan Berat). Hasil pengkajian
neuromuskular, kaki kanan dan kedua tangan mampu digerakkan secara mandiri,
dengan postur tubuh tegap.
3.1.4 Sirkulasi
Gejala (Subyektif): Riwayat hipertensi tidak ada, klien mengaku tidak pernah
mengalami masalah jantung. Klien mengatakan, kaki saya rasa kesemutan,
seperti berjalan di atas air. Ada perubahan dengan pola berkemih, semenjak
25 Universitas Indonesia
Tanda (Obyektif): Tekanan darah diukur di tangan kanan saat klien berbaring,
yaitu 100/70 mmHg. Tekanan nadi radialis dengan frekuensi 80 x/menit, kualitas
kuat, dan irama teratur. Jantung dipalpasi teraba getaran dengan dorongan yang
kuat. Bunyi jantung 1 dan 2 terdengar tanpa ada murmur dan gallop. Bunyi nafas
terdengar saat auskultasi adalah vesikuler. Ekstrimitas teraba hangat,
denganwarna kulit sebagaimana warna kulit klien biasanya, tidak ditemukan
kebiruan. Pengisian kapiler berlangsung kurang dari 3 detik. Tidak ditemukan
adanya varises kaki dan kuku jari tidak menebal. Rambut rontok, berminyak di
bagian kulit kepala, rambut di bagian muka mulai tumbuh memanjang, sehingga
klien tampak kurang terawat. Warna wajah sedikit pucat, membran mukosa:
pucat, konjungtiva: pucat, sklera tampak sedikit ikterik.
3.1.6 Eliminasi
Gejala (Subyektif): pola buang air besar, klien mengusahakan setiap hari
setidaknya 1 kali dilakukan, jika kesulitan klien berusaha untuk mengedan dengan
kuat. Klien mengatakan BAB terakhir tadi pagi, dengan karakter feses padat,
keras, sebesar jempol kaki, dan tidak ada perdarahan. Buang air kecil saat ini
dilakukan di tempat tidur, ditampung dengan pampers atau pispot. Klien
mengatakan sehabis menahan buang air kecil, saat akan dikeluarkan dan pispot
telah siap klien merasa kehilangan rasa untuk berkemih, sehingga urin tidak jadi
Universitas Indonesia
Tanda (Obyektif): berat badan saat ini 50 kg, dan sebelum sakit 57 kg. Tinggi
badan 170 cm, lingkar lengan atas 20cm. Bangun tubuh tinggi kurus. Makanan
dari rumah sakit kadang tidak dihabiskan, klien lebih senang mengonsumsi
makanan yang dibeli sendiri seperti nasi kuning atau sop. Bising usus aktif di
keempat kuadran. Cairan yang diminum perhari sekitar 1500 ml. Turgor kulit
menurun, beberapa bagian kulit mulai bersisik, mukosa bibir kering, dan pucat.
3.1.9 Neurosensori
Gejala (Subyektif): klien mengatakan, saya sering merasa kepala saya
keleyengan saat bangun dari posisi tidur ke duduk, dan saat duduk terlalu lama.
Ada rasa kebas di kaki. Kedua kaki masih memiliki rasa sakit. Kaki kiri klien
tidak dapat digerakkan, keluarga mengatakan, bapak merasa kedua kakinya
lemas sejak beberapa bulan yang lalu, tapi masih mampu digerakkan. Beberapa
hari yang lalu, setelah buang air besar mengedan dengan keras, kaki kiri bapak
jadi sulit untuk digerakkan (menekuk) sendiri. Tidak ada kehilangan kemampuan
indera penglihatan, penciuman, dan pendengaran
Universitas Indonesia
3.1.11 Pernapasan
Gejala (Subyektif): dispnea tidak ada. Klien mengatakan tidak ada batuk. Klien
saat ini sedang minum OAT, sudah berlangsung selama 3 bulan, Tuberkulosis
paru (+). Klien perokok, bisa menghabiskan 1 bungkus perhari, dan klien
merokok sejak SMA. Saat ini klien tidak menggunakan alat bantu pernapasan.
Tanda (Obyektif): frekuensi penapasan 18 x/menit, kedalaman normal, dan
simetris. Bunyi nafas vesikuler, tidak ada sianosis. Fungsi mental compos mentis.
3.1.12 Keselamatan
Gejala (Subyektif): klien tidak pernah mengalami alergi, pernah menjalani prosesi
transfusi darah, klien mengatakan tidak ada penyakit hubungan seksual. Klien
pernah mengalami dislokasi dan patah di bagian siku tangan kanan, dikarenakan
kecelakaan saat mengendarai motor. Klien tidak mengalami kesurakan indera
penglihatan dan pendengaran. Alat ambulatori menggunakan kursi roda. Tanda
(Obyektif): suhu pengkajian 36oC, integritas kulit ada yang terganggu, klien
mengalami luka dekubitus di bagian bokong (tepat di tonjolan tulang sacrum).
Luka dekubitus saat ini diameternya 2,5cm, dengan grade 2, tidak ada
pengeluaran nanah, dan tidak berbau. Tonus otot lemah, rentang gerak terbatas,
kelemahan pada kaki kiri. Kekuatan otot klien:
4444 4444
2333 2222
3.1.13 Seksualitas
Gejala (Subyektif): ada perubahan terakhir dalam frekuensi dan minat, yaitu
menurun. Tidak ada rabas penis, tidak ada gangguan prostat. Tanda (Obyektif):
pemeriksaan genitalia tidak ditemukan laserasi, dll.
Universitas Indonesia
pemasukan tambahan. Saat ini semenjak sakit, peran klien terganggu. Orang-
orang pendukung lain adalah saudara-saudara lain. Tidak ditemukan adanya
perubahan bicara dan penggunaan alat bantu komunikasi.
Tanda (Obyektif): bicara klien jelas dan dapat dimengerti. Komunikasi secara
verbal dan non verbal dapat berjalan dengan baik. Pola interaksi keluarga: Klien
dan istri senang mengobrol untuk berdiskusi atau sekedar bercerita,
mengungkapkan hal yang kurang menyenangkan. Istri duduk di samping temapt
tidur, kerap membereskan ruangan dan tempat tidur klien, membantu aktivitas
klien, dan saling berkomentar.
Universitas Indonesia
Riwayat keluhan terakhir, sejak bulan Februari yang lalu bapak sempat dirawat
di RSIJ Pondok Kopi, dengan diagnosis TB paru, setelah itu sambil rawat jalan
bapak didiagnosis kena hipertiroid, saat itu bapak telah mengeluh kakinya terasa
lemas meskipun masih bisa digerakkan dan digunakan untuk berjalan. Namun saat
dirawat disini, kaki kiri yang lemas tidak dapat digerakkan sendiri sejak tanggal
16 Mei 2014, setelah bapak mengedan dengan keras waktu itu. Harapan pasien
terhadap perawatan ini, saya bisa sehat, beraktivitas lagi, dan kaki saya bisa
digerakkan. Penyakit lain yang relevan: terkait dengan kelemahan kaki pernah
kecelakaan dengan posisi akhir terduduk. Kebiasaan hidup, klien sering begadang
dan makan kacang, minum-minuman berenergi saat harus mengendarai mobil,
khususnya saat harus keluar kota, dan senang minum teh di pagi hari.
Universitas Indonesia
Kemudian selama dua hari (15-16 Mei 2014) berturut-turut klien dilakukan
pemeriksaan darah rutin dan urinalisis. Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 15
Mei 2014 menunjukkan ketidaknormalan nilai, yaitu: hemoglobin 7,8 g/dl,
hematokrit 23%, eritrosit 2,7 juta/uL, leukosit 17600/uL, dan trombosit
110000/uL. Hasil pemeriksaan darah pada tanggal 16 Mei 2014 menunjukkan
ketidaknormalan nilai, yaitu: hemoglobin 9,6 g/dl, hematokrit 27%, eritrosit 3,3
juta/uL, leukosit 20700/uL, dan RDW 16,30%. Pemeriksaan urinalisis tanggal 16
Mei 2014 menunjukkan adanya ketidaknormalan, yaitu adanya protein (positif 1)
dan adanya leukosit (10-15-10).
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
tidak bengkak, tidak ada sesak, tidak ada edema, tekanan darah stabil (sistole 110-
130 mmHg, distole 70-90 mmHg), tidak terdengar ronkhi, tidak ditemukan
peningkatan vena juguaris (JVP), dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Rencana tindakan mandiri keperawatan yang disusun mahasiswa dalam mengatasi
masalah ini meliputi kaji tanda-tanda vital (terutama tekanan darah) per 8 jam,
pantau pencatatan intake dan output klien, kaji tanda-tanda kelebihan volume
cairan, auskultasi bunyi pernapasan. Sedangkan tindakan kolaborasi yang
direncanakan meliputi pemberian medikasi untuk mengoreksi ketidakseimbangan
elektrolit, konsultasi dengan ahli diet, dan pemantauan hasil pemeriksaan
laboratorium.
Universitas Indonesia
perubahan posisi setiap dua jam; berikan perawatan kulit, dan jaga linen tetap
kering dan tidak berlipat-lipat.
Universitas Indonesia
gelas minum, dan merapikan dirinya. Hal ini dirasa perawat dapat dilakukan oleh
klien karena kedua tangan klien mampu bergerak cukup kuat, dan saat dilakukan
klien tidak mengalami peningkatan nadi, tekanan darah, dan frekuensi pernapasan.
Setelah empat hari menjalani latihan bertahap, beberapa aktivitas yang tidak
membutuhkan mobilisasi, klien mampu lakukan, asalkan barang-barang yangg
dibutuhkan didekatkan dengan klien. Tubuh klien juga dapat mentoleransi
aktivitas-aktivitas tersebut, karena tidak ada perubahan fisiologis yang berarti.
Penting untuk diberikan kepada klien adalah motivasi agar kuat dan menjalani
pelatihan.
Universitas Indonesia
diet yang tepat untuk anemia pada penyakit ginjal kronik dan perencanaan diet
yang dapat klien terapkan saat dirumah nanti.
Universitas Indonesia
Visi RSPAD Gatot Soebroto adalah menjadi rumah sakit berstandar internasional,
sebagai rujukan tertinggi dan rumah sakit pendidikan utama serta merupakan
kebanggan prajurit dan masyarakat. Visi tersebut diturunkan ke dalam misi
berikut, antara lain: 1) menyelenggarakan fungsi rumah sakit tingkat pusat dan
rujukan tertinggi bagi rumah sakit TNI AD dalam rangka mendukung tugas pokok
TNI AD, 2) menyelenggarakan dukungan dan pelayanan kesehatan yang bermutu
secara menyeluruh untuk prajurit PNS TNI AD serta masyarakat, 3)
mengembangkan keilmuan secara berkesinambungan, 4) meningkatkan
kemampuan tenaga kesehatan melalui pendidikan berkelanjutan, 5) memberikan
lingkungan yang mendukung proses pembelajaran dan penelitian bagi tenaga
kesehatan (Admin, 2014).
menjadi Rumah Sakit yang modern secara bertahap dengan biaya bantuan residen
sebagai bentuk penghargaan dan sumbangsih bagi Prajurit. Hal pertama yang
dilakukan adalah dengan penetapan tim pembangunan RSPAD Gatot Soebroto
dengan Keppres Nomor 31 Tahun 1971. Guna menghormati dan mengenang jasa
Letjen TNI Gatot Soebroto, dengan Surat Keputusan Kasad Nomor:
Skep/582/X/1970 tanggal 22 Oktober 1970 nama beliau ditetapkan sebagai nama
RSPAD dan sejak saat itu rumah sakit ini bernama "Rumah Sakit Gatot
Soebroto. Pada tanggal 17 November 1971 dilakukan peletakan batu pertama
pembangunan unit perawatan umum. Unit Perawatan Umum yang dikenal dengan
Unit I / PU, terdiri atas enam lantai dengan luas bangunan 13.950 m2 dan
berkapasitas 298 tempat tidur yang dibangun sejak November 1971 telah selesai
dan diresmikan penggunaannya pada tanggal 28 Oktober 1974 oleh Jenderal TNI
Suharto (Admin, 2014). Lantai enam perawatan umum merupakan salah satu lahan
praktik Keperawatan Kesehatan Masyarakat Perkotaan (KKMP) mahasiswa
profesi Ners FIK UI di RSPAD Gatot Soebroto.
Ruangan di lantai enam perawatan umum merupakan ruang rawat inap kelas tiga.
Terdapat sebelas kamar, dengan kapasitas kapasitas tempat tidur sebanyak 56
tempat tidur, dengan pembagian 52 tempat tidur untuk ruang perawatan, dan
empat tempat tidur untuk perawatan khusus (isolasi). Pasien yang dirawat di
lantai enam perawatan umum adalah pasien yang menderita sakit kanker; penyakit
mata dan telinga; penyakit diabetes mellitus dan gangguan endokrin; penyakit
stroke dan gangguan saraf lainnya; penyakit gangguan pada hati dan ginjal;
HIV/AIDS; penyakit autoimun; dan penyakit tropis, seperti Demam berdarah,
malaria, thypoid. Dalam rentang waktu dua bulan terakhir (Mei-Juni 2014) cukup
banyak pasien yang dirawat di lantai enam perawatan umum menderita penyakit
diabetes mellitus, penyakit ginjal kronik, demam berdarah, sirosis hepatikum,
hipertensi, dan penyakit persarafan (Stroke, SOL, dll).
Beragamnya jenis penyakit dalam yang ada di lantai enam perawatan umum
mendukung pula iklim belajar bagi mahasiswa yang sedang praktik, karena
mahasiswa dapat lebih banyak terpapar variasi penyakit dan asuhan keperawatan
yang khas pada setiap penyakit. Mahasiswa dapat merasakan pengalaman
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
virus, dan parasit yang mempengaruhi kinerja ginjal. Selain itu, berdasarkan
Laporan Tahunan Sistem Data Ginjal Amerika Serikat tahun 2007 penyebab
tertinggi penyakit ginjal kronik di beberapa negara maju dan berkembang (seperti
Amerika Serikat, Taiwan, New Zealand, Malaysia, dan Australia) adalah
hipertensi dan diabetes mellitus (Jha, et al, 2013). Namun, kedua hasil penelitian
tersebut berbeda dengan hasil 4th Report of Indonesian Renal Registry yang
menunjukkan penyebab utama pasien yang didiagnosis penyakit ginjal kronik
tahap akhir dan harus menjalani dialisis adalah hipertensi dan diabetes mellitus
(Perkumpulan Nefrologi Indonesia, 2011).
Pertentangan ini mungkin berkaitan dengan perubahan gaya hidup yang telah
terjadi di masyarakat perkotaan Indonesia, seperti pola diet dengan meningkatkan
konsumsi energi tinggi dan makanan cepat saji yang tinggi lemak; dan
menurunnya tingkat pengguna transportasi ilmiah yang membutuhkan aktivitas
fisik (jalan kaki dan sepeda). Konsumsi makanan yang tidak sehat dan aktivitas
fisik yang berkurang berkontribusi dalam meningkatkan berat badan, sehingga
ancaman kesehatan di daerah perkotaan Indonesia saat ini adalah epidemi obesitas
dan permasalahan degeneratif lainnya yang kemudian salah satunya berujung pada
penyakit ginjal kronik.
Pasien merupakan penderita penyakit ginjal kronik yang berjenis kelamin laki-
laki, pasien dapat dikatakan memiliki faktor lebih berisiko penyakitnya
Universitas Indonesia
Saat pemeriksaan awal didapatkan pasien mengalami gangguan jantung, dari hasil
pemeriksaan elektrokardiogram ditemukan adanya gelombang Q patologis yang
mengindikasikan adanya nekrosis miokardium. Selain itu, terdapat pula
ventricular premature complexes leftward axis dan right bundle branch block.
Hasil ini menunjukkan pasien telah mengalami kelainan fungsi pada jantungnya.
Pemeriksaan selanjutnya untuk memperkuat diagnosis, maka dilakukan rontgen
thorak yang menunjukkan kesan paru dengan tuberkulosis, tetapi tanpa ada
perbesaran jantung.
Universitas Indonesia
Pemeriksaan darah telah dilakukan saat awal pasien masuk rumah sakit, dan hasil
yang didapatkan sebagian besar mengalami masalah pada pemeriksaan
hematologi dan kimia klinik darah. Pasien memiliki kadar hemoglobin,
hematokrit, dan eritrosit berada di bawah rentang normal, sedangkan leukosit
berada di atas rentang normal. Pada pemeriksaan kimia klinik darah didapatkan
nilai ureum serum 122 mg/dl, kreatinin 2,9 mg/dl, natrium 128 mmol/L, dan
kalium 2,9 mmol/L. Hasil pemeriksaan awal ini pasien dicurigai mengalami
penyakit ginjal kronik yang berkaitan dengan proses infeksi dari tuberkulosis,
sehingga pasien segera dirawat dan menjalani pemeriksaan lebih lanjut.
Universitas Indonesia
(proteinuria), dan ditemukan adanya leukosit dalam urin yang nilainya lebih tinggi
dari rentang normal, yaitu 10-15-10. Pemeriksaan creatinin clearence dilakukan
tanggal 21 Mei 2014 dari urin tampung 24 jam sebanyak 850 ml, nilai ureum urin
104 mg/dl dan nilai creatinin clearence 9,78 ml/menit, keduanya menunjukkan
adanya kerusakan dari penyaringan ginjal. Pemeriksaan USG Abdomen yang
dilakukan pada tanggal 20 Mei 2014 menunjukkan pasien mengalami perbesaran
ukuran di kedua ginjal pasien dengan peninggian cortical echoes.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Anemia pada pasien penyakit ginjal kronik dapat disebabkan oleh banyak faktor,
diantaranya kekurangan zat besi, asam folat, atau vitamin B12; perdarahan
gastrointestinal; mengalami hiperparatiroid; inflamasi sistemik; dan
memendeknya usia sel darah merah. Namun, penurunan sintesis eritropoetin
adalah penyebab terpenting dan spesifik yang menimbulkan anemia pada penyakit
ginjal kronik. Eritropoetin adalah substansi glicoprotein yang diproduksi oleh
fibroblast intersisial ginjal, yang bekerja menstimulasi sumsum tulang untuk
menghasilkan sel darah merah. Pada penyakit ginjal kronik, atropi tubulus
menyebabkan fibrosis tubulus intersisial, yang menyebabkan kapasitas sintesis
eritropoetin menurun dan anemia berat dapat terjadi (Thomas, Kanso, & Sedor,
2009).
Tn. S merupakan salah satu pasien di lantai enam perawatan umum dengan
penyakit ginjal kronik yang mengalami anemia. Berdasarkan hasil pemeriksaan
laboratorium hematologi saat pertama kali pasien masuk didapatkan nilai
hemoglobin 8g/dl; hematokrit 25%; eritrosit 2,9 juta/uL; leukosit 18540/uL; dan
trombosit 196000/uL. Namun, berdasarkan Kidney Disease Improving Global
Outcome (2012) pemeriksaan kasus anemia pada penyakit ginjal kronik selain
hematologi (Complete Blood Count) perlu dilakukan pula pemeriksaan jumlah
retikulosit absolut, tingkat ferritin serum, saturasi transferrin serum (TSAT), dan
tingkat serum Vitamin B12 serta asam folat.
Universitas Indonesia
Kasus anemia pada pasien penyakit ginjal kronik di ruang rawat penyakit dalam
Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Soebroto cukup banyak ditemukan.
Berdasarkan pengamatan penulis, setelah menjalani praktik selama tiga minggu di
lantai enam perawatan umum, jumlah pasien yang dirawat karena kasus penyakit
ginjal kronik sebanyak sepuluh orang dengan masa rawat satu sampai tiga
minggu. Keseluruhan pasien yang dirawat tersebut mengalami komplikasi anemia,
bahkan beberapa pasien merupakan pasien yang pernah dirawat dan kembali
menjalani perawatan karena mengalami anemia.
Penanganan terkait anemia yang dilakukan oleh mahasiswa pada Tn. S adalah
pencegahan dirawatnya kembali setelah pasien menjalani perawatan di rumah
(rehospitalisasi) karena anemia, dengan menerapkan tindakan edukasi pasien.
Berdasarkan Agency for Healthcare Research and Quality (2009) pasien yang
mendapatkan instruksi yang jelas mengenai langkah-langkah setelah perawatan di
rumah sakit, 30% lebih sedikit kembali masuk Unit Gawat Darurat (UGD) karena
penyakit berulang dibandingkan pasien yang kurang informasi. Oleh karena itu,
perawat memberikan edukasi kepada pasien berupa beberapa rencana aktivitas
mengenai tindakan peningkatan kesehatan yang telah disesuaikan dengan kondisi
pasien dan tindakan yang dapat mencegah pasien menderita penyakit yang sama
maupun terjangkit penyakit lainnya (rehospitalisasi).
Hal-hal yang diberikan dalam edukasi pasien Tn. S terkait anemia, antara lain:
pemaparan lebih lanjut mengenai anemia, diet anemia, meningkatkan toleransi
aktivitas pasien dengan anemia, dan perencanaan perawatan setelah kembali ke
rumah. Pemaparan lebih lanjut mengenai anemia dimaksudkan untuk
mengenalkan kepada klien dan keluarga mengenai definisi, tanda-gejala,
penyebab, dan akibat dari anemia, sehingga klien dan keluarga dapat menyadari
bahwa perlu adanya penanganan anemia.
Berdasarkan Potter dan Perry (2007) edukasi dan konseling terkait diet penting
dilakukan karena dapat membantu mencegah timbulnya penyakit dan
meningkatkan kesehatan pasien. Selain itu, pasien yang memahami mengapa ia
Universitas Indonesia
harus menjalani diet terapeutik dan tahu apa saja diet yang harus ia konsumsi akan
lebih menerima untuk menjalani program terapi diet tersebut. Oleh karena itu,
tahap yang selanjutnya setelah klien dan keluarga mengenal masalah dan
mengetahui mengapa harus melakukan perawatan kesehatan, perawat menjelaskan
mengenai diet yang tepat untuk kondisi klien saat ini. Peranan perawat dalam
edukasi ini menjelaskan apa saja makanan yang dapat membantu klien
meningkatkan produksi sel darah merah.
Vitamin C juga dibutuhkan untuk meningkatkan produksi sel darah merah, karena
vitamin C merupakan zat antioksidan yang dapat meningkatkan penyerapan zat
besi. Zat besi membutuhkan lingkungan yang asam saat penyerapan, sehingga
vitamin C dapat membantu penyerapan, setidaknya 30 menit sebelum makan
Universitas Indonesia
supplement atau makan makanan berzat besi. Selain itu, vitamin C dapat
melepaskan zat besi dari ferritin, sehingga zat besi lebih banyak yang dibawa ke
sumsum tulang belakang untuk memproduksi sel darah merah. Vitamin B12 dan
asam folat jika mengalami kekurangan dapat menyebabkan anemia macrocystic
dan memperburuk anemia karena CKD. Sumber makanan vitamin B12, yaitu
ikan, telur, dll, sedangkan sumber makanan asam folat adalah sayuran yang
berdaun hijau (Thomas & Othersen, 2012).
Pasien yang akan keluar dari rumah sakit dengan persiapan terapi diet di rumah,
perlu diberikan contoh menu makan perhari dengan jumlah makanan
menggunakan satuan rumah tangga, sehingga sangat membantu pasien dan
keluarga merencanakan terapi diet saat di rumah nanti. Selain itu, pasien dan
keluarga saat di rumah mungkin akan menemui kesulitan, sehingga membutuhkan
konseling terkait perencanaan makanan yang tepat yang dapat meemenuhi
kebutuhan diet yang telah ditentukan. Perawat dapat berperan memberikan
informasi terkait sumber-sumber di komunitas yang dapat memberikan konseling
diet terhadap pasien dan keluarga. Hal ini berkaitan dengan sistem pendukung
manajemen mandiri (self management support), dimana perawat di pelayanan
kesehatan primer akan melimpahkan status kesehatan klien ke pelayanan
kesehatan di komunitas yang terdekat dengan rumah klien (Chen, et al, 2011).
Pelayanan kesehatan di komunitas dapat memberikan pelatihan dan konsultasi
terkait bagaimana hidup dengan penyakit ginjal kronik, salah satunya dalam
adaptasi diet yang harus dilakukan.
Universitas Indonesia
Keterbatasan yang ditemukan pada tindakan edukasi pasien ini adalah terkait
evaluasi tindakan. Evaluasi secara langsung setelah pemberian edukasi pasien
dapat dilakukan. Pasien dan keluarga telah mengalami peningkatan pengetahuan
dan sepakat untuk melakukan perawatan kesehatan terkait masalah anemia yang
dialami pasien. Namun, evaluasi jangka panjang terkait perubahan perilaku
setelah pemberian edukasi sulit untuk dilakukan. Penulis mencoba menghubungi
klien untuk memantau bagaimana kondisi pasien setelah menjalani perawatan di
rumah. Ternyata terdapat permasalahan di dalam keluarga dan penulis tidak
mampu mengintervensi lebih lanjut. Penulis hanya mampu mendapatkan
informasi bahwa klien masih menjalani proses rehabilitasi mobilisasi di pelayanan
kesehatan terdekat, penulis tidak dapat menanyakan lebih lanjut terkait
permasalahan anemia yang telah diberikan tindakan edukasi. Selain itu, penerapan
self management support belum bisa dilakukan karena belum adanya kebijakan
yang menghubungkan perawatan di rumah sakit ke perawatan di komunitas. Hal
ini merupakan salah satu hambatan untuk menjalankan keperawatan teraupeutik di
Indonesia.
Penerapan edukasi pasien yang telah dilakukan oleh penulis belum dilakukan
secara efektif, sehingga menemui beberapa permasalahan. Oleh karena itu, perlu
adanya beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan efektivitas
pemberian edukasi pasien, yaitu (Krames Patient Education, 2014):
1) Identifikasi orang terdekat yang akan selalu menjadi pendamping pasien
selama menjalani tindakan edukasi pasien. Menurut Debra Peter, spesialis
Universitas Indonesia
perawatan pasien (Kremes Patient Education, 2014), upaya edukasi pasien bisa
gagal dikarenakan pendamping pasien selalu berubah-ubah saat proses
pembelajaran. Pendamping klien merupakan orang terdekat pasien yang
bertanggungjawab terhadap proses pembelajaran, ia dapat membantu pasien
minum obat, menjaga pasien saat di rumah, dan mengantarkan pasien saat
menjalani rehabilitasi. Perawat dapat menuliskan pada papan di ruangan pasien
siapa pendamping pasien saat pemberian edukasi, sehingga saat tim kesehatan
akan memberikan edukasi dapat mengetahui dengan pasti siapa yang akan
terlibat dalam proses edukasi.
2) Evaluasi pembelajaran secara berkelanjutan, evaluasi dapat dilakukan dengan
teknik pengulangan pembelajaran. Teknik ini dilakukan dengan cara tim
kesehatan mengajukan beberapa pertanyaan, kemudian pendamping pasien
menyampaikan apa yang telah dipelajari dengan kata-kata mereka sendiri.
Teknik ini dapat diterapkan secara berulang setiap hari selama pasien dirawat.
Pertanyaan yang diajukan dilakukan secara bertahap, bisa dimulai dengan
pertanyaan pengetahuan, esoknya sikap, dan esoknya lagi terkait perilaku.
Setiap hal yang telah dievaluasi, didokumentasikan bersama tim kesehatan, apa
saja respon yang diberikan, sehingga dapat diketahui dengan pasti bagian mana
yang membutuhkan pembelajaran lebih lanjut. Pendokumentasian bersama tim
kesehatan ini dapat menjadi panduan kerja untuk tim kesehatan apa saja yang
akan memberikan intervensi edukasi.
3) Pemberian edukasi pasien menggunakan media yang menarik dan efektif.
Media merupakan bagian penting saat memberikan edukasi, media dapat
membantu edukator menyampaikan materi dengan mudah kepada pasien. Oleh
karena itu perlu dihindari hal-hal yang dapat membuat media edukasi menjadi
hal yang rumit bagi pasien. Hal yang perlu diperhatikan dalam membuat media
edukasi, antara lain: kejelasan tulisan, kesesuaian gambar, tulisan
menggunakan bahasa umum masyarakat, desain yang tidak rumit, dan sesuai
dengan materi yang akan disampaikan. Media yang berkualitas dapat membuat
informasi tidak hanya mudah dilihat, tetapi juga dapat lebih mengena untuk
membangun perilaku pasien yang positif.
Universitas Indonesia
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil dan pembahasan dalam penelitian ini, maka dapat disimpulkan
sebagai berikut:
5.1.1 Penyakit ginjal kronik merupakan salah satu masalah kesehatan perkotaan
yang berkaitan dengan prevalensi masalah infeksi dan perubahan pola hidup
di masyarakat perkotaan
5.1.2 Anemia pada penyakit ginjal kronik disebabkan oleh penurunan sekresi
eritropoetin oleh ginjal. Kejadian anemia semakin meningkat seiring
peningkatan derajat penyakit ginjal kronik.
5.1.3 Tn. S dengan penyakit ginjal kronik derajat empat mengalami masalah
keperawatan diantaranya intoleransi aktivitas, resiko ketidakseimbangan
volume cairan, gangguan nutrisi kurang dari kebutuhan, gangguan integritas
kulit, dan hambatan mobilitas fisik.
5.1.4 Edukasi pasien yang efektif dapat mencegah terjadinya rehospitalisasi pada
pasien penyakit ginjal kronik dengan anemia. Materi edukasi pasien yang
dapat disampaikan, antara lain: perihal penyakit, perencanaan diet,
medikasi, dan kontrol kesehatan secara berkala
5.2 Saran
5.2.1 Pelayanan Keperawatan
Karya ilmiah ini dapat menjadi masukan bagi rumah sakit dalam penerapan
tindakan edukasi pasien untuk mencegah rehospitalisasi pada pasien
penyakit ginjal kronik dengan anemia. Pemberian edukasi pasien dapat
dilakukan secara efektif dengan adanya pengidentifikasian pendamping
pasien saat proses edukasi dengan mencantumkan nama pendamping di
kamar pasien, evaluasi berkelanjutan dalam suatu dokumentasi terintegrasi,
media yang efektif, dan lembar evaluasi mandiri untuk pasien. Namun,
semua hal itu membutuhkan iklim rumah sakit yang menyatakan edukasi
pasien sebagai salah satu tindakan yang penting untuk pasien. Sehingga, tim
54 Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
56 Universitas Indonesia
Doenges, Moorhouse, & Murr. (2010). Nursing care plans: Guidelines for
individualizing client care across the life span edition 8. Philadelphia: FA.
Davis Company.
Edelman & Mandle. (2002). Health Promotion Throughout the Lifespan. 5th ed. St
Louis: Mosby.
Falvo. (2004). Effective Patient Education: A Guide to Increased Compliance. 3rd
ed. Sudburry: Mass.
Jha, et al. (2013). Chronic kidney disease: global dimention and perspective. The
Lancet, 382. 260-272.
Kazmi, et al. (2001). Anemia: An early complication of chronic renal
insufficience. American Journal of Kidney Diseases (4) 38. 803-812. DOI:
10.1053/ajkd.2001.27699
Lozano, et al. (2013). Global and regional mortality from 235 causes of death for
20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the Global
Burden of Disease Study 2010. The Lancet, 380.
Krames Patient Education. (2014). Reducing Hospital Readmissions With
Enhanced Patient Education. 04 Juli 2014.
https://www.bu.edu/fammed/projectred/publications/news/krames_dec_final
.pdf.
Kementerian Kesehatan RI. (2013). Riset kesehatan dasar (RISKESDAS) tahun
2013. Jakarta: Badan penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementrian
Kesehatan Republik Indonesia.
Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). (2012). KDIGO Clinical
Practice Guideline for Anemia in Chronic Kidney Disease. Kidney
International Supplement, 2. 331-335. http://www.kidney-international.org.
Kjellstrom, et al. (2007). Urban Environmental Health Hazards and Health
Equity. Journal of Urban Health, 84(1). i86-i96. doi:10.1007/s11524-007-
9171-9.
McPhee & Hammer. (2010). Pathophysiology of disease : an introduction to
clinical medicine. New York: McGraw-Hill Medical.
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Universitas Indonesia
Kimia Klinik
SGOT 31 <35 U/L
SGPT 32 <40 U/L
Ureum 122 20 50 mg/dl
Kreatinin 2,9 0,5 1,5 mg/dl
GDS 109 <140 mg/dl
Natrium 128 135 147 mmol/L
Kalium 2,9 3,5 5,0 mmol/L
Clorida 99 95 105 mmol/L
Kalsium 7,3 8,6 10,3 mg/dl
Fosfor 6,1 2,5 5,0 mg/dl
Magnesium 1,27 1,8 3,0 mEq/L
Protein Total 7,1 6 8,5 g/dl
Albumin 2,8 3,5 5,0 g/dl
Globulin 4,3 2,5 3,5 g/dl
Urinalisis
pH 6 6
Berat jenis 1,005 1,010 1,030
Protein Positif 1 Negatif
Glukosa Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Nitrit Negatif Negatif
Keton Negatif Negatif
Urobilinogen Negatif Negatif Positif 1
Eritrosit 2-1-2 <2 /LPB
Leukosit 10-15-10 <5 /LPB
Silinder Negatif Negatif /LPK
Kristal Negatif Negatif
Epitel Positif 1 Positif
Lain-lain Negatif Negatif
Keterangan: Hasil yang dicetak tebal menunjukkan masalah
No Data Diagnosis
Keperawatan
1 Data Subyektif Intoleransi Aktivitas
- Klien mengatakan jika dari posisi tidur ke duduk berhubungan dengan
kepalanya terasa pusing, nyut-nyutan, keleyengan gangguan sistem
- Klien mengatakan tubuhnya lemas penghantaran Oksigen
- Keluarga mengatakan saat ini kondisi klien lemas dalam tubuh
dan hanya berbaring di tempat tidur
Data Obyektif
- Tanda-Tanda Vital: (Tekanan Darah) 100/70mmHg,
(Nadi) 80x/menit, (Frekuensi Nafas) 18 x/menit,
(Suhu) 36oC
- Konjungtiva pucat
- Genggaman tangan perlahan kuat dengan tremor
- Riwayat hipertiroid 1 bulan sebelum masuk rumah
sakit (SMRS) dan riwayat TB Paru 3 bulan SMRS
- Nilai laboratorium (16 Mei 2014, Pk 10.00)
Hb 8g/dl; Ht 25%; Eritrosit 2,9 juta/uL; Leukosit
21820 / uL; Albumin 2,8 g/dl; Kalsium 7,3 mg/dl;
fosfor 6,1 mg/dl; magnesium 1,27 mEq/L; Natrium
128 mg/dl; Kalium 2,9 mg/dl
- Pemeriksaan EKG (14 Mei 2014)
Sinus rhytmik dengan detak jantung 88 x/menit;
ventricular premature complexes leftward axis;
right bundle branch block lead V1, V2, V3, dan V4;
Q patologis lead II, III, dan aVF.
2 Data Subyektif Risiko
- Klien mengatakan kaki kirinya sempat mengalami ketidakseimbangan
bengkak SMRS volume cairan
- Klien dan keluarga menyatakan klien senang berhubungan dengan
banyak minum, tapi pengeluaran urinnya juga ketidakseimbangan
masih banyak elektrolit dan
No Data Diagnosis
Keperawatan
Data Obyektif penurunan fungsi
- Balance Cairan +150 ml ginjal
Input (hanya minum) 1500 ml
Output (urin) 850ml dan (IWL) 500ml
- Edema tidak ditemukan
- Tekanan Darah 100/70 mmHg; Nadi 80 x/menit
- Pernapasan: frekuensi 18 x/mnt, kedalaman sedang,
auskultasi bunyi nafas vesikuler
- Hasil perhitungan LFG = 23ml/mm/1,73m3
(Penyakit Ginjal Kronik Derajat 4)
- Hasil pemeriksaan laboratorium: Kadar elektrolit
darah (16 Mei 2014, Pk 10.00)
Kalsium 7,3 mg/dl; fosfor 6,1 mg/dl; magnesium
1,27 mEq/L; Natrium 128 mg/dl; Kalium 2,9 mg/dl
3 Data Subyektif: Gangguan Nutrisi
Klien mengeluhkan adanya mual dan muntah. Ada Kurang dari
penurunan berat badan yang cukup drastis semenjak Kebutuhan Tubuh
sakit. berhubungan dengan
Data Obyektif: mual dan intake nutrisi
- Antopometri: Berat badan saat ini 50 kg, sebelum yang tidak adekuat
sakit 57 kg; Tinggi badan 170 cm; Lingkar lengan
atas 20cm; IMT saat ini: 17,3 ( gizi kurang)
- Nilai laboratorium (16 Mei 2014, Pk 10.00)
Hb 8g/dl; Ht 25%; Eritrosit 2,9 juta/uL; Leukosit
21820 / uL; Albumin 2,8 g/dl; Kalsium 7,3 mg/dl;
fosfor 6,1 mg/dl; magnesium 1,27 mEq/L; Natrium
128 mg/dl; Kalium 2,9 mg/dl
- Turgor kulit menurun; konjungtiva pucat, lemah;
bangun tubuh kurus tinggi; rambut rontok
- Makanan dari rumah sakit kadang tidak dihabiskan,
No Data Diagnosis
Keperawatan
klien lebih senang mengonsumsi makanan yang
dibeli sendiri seperti nasi kuning atau sop
4 Data Subyektif Gangguan Integritas
- Klien mengeluh nyeri dibagian bokong, terutama Kulit berhubungan
saat duduk terlalu lama, kualitas 2, nyeri dengan tirah baring
berlangsung sekitar 5 menit yang lama dan proses
- Keluarga mengatakan klien telah sakit, mengalami perjalanan penyakit
kelemahan, dan sempat dirawat di RS sejak bulan
februari 2014
Data Obyektif
- Terdapat luka dekubitus di bokong klien (tepat di
tonjolan tulang sacrum), diameter 2,5cm dengan
grade 2
- Kulit di bagian ekstrimitas bersisik dan mengelupas
- Klien menghabiskan waktunya ditempat tidur
dengan lebih banyak tidur pada posisi berbaring
- Nilai aktivitas sesuai barthel index : 7
(Ketergantungan Berat)
- Rentang sendi terbatas, Nilai kekuatan otot
4444 4444
2333 2222
5 Data Subyektif Hambatan mobilitas
- Keluarga mengatakan kaki klien terasa lemas, dan fisik berhubungan
sekarang kaki bagian kiri tidak dapat digerakkan dengan
sendiri ketidakmampuan
Data Obyektif pergerakan pada
- Klien menghabiskan waktunya ditempat tidur ekstrimitas bawah
dengan lebih banyak tidur pada posisi berbaring (Paraparese Inferior)
- Nilai aktivitas sesuai barthel index : 7
(Ketergantungan Berat)
No Data Diagnosis
Keperawatan
- Rentang sendi tidak ada yang kaku, tapi tidak dapat
digerakkan sendiri, rangsangan sakit dikedua kaki
ada, Nilai kekuatan otot
4444 4444
2333 2222
DIAGNOSA 1
INTOLERANSI AKTIVITAS berhubungan dengan ketidakseimbangan asupan
atau penghantaran oksigen yang ditandai dengan kelemahan, kelelahan, lebih
banyak aktivitas tidur atau istirahat, palpitasi, takikardi
Tujuan: Klien dapat melakukan aktivitas sehari-hari
Hasil yang diharapkan, pasien akan:
- Mengatakan terjadi peningkatan toleransi aktivitas
- Menunjukkan penurunan tanda fisiologis dari intoleransi (nadi, frekuensi
pernapasan, dan tekanan darah dalam rentang normal)
- Menunjukkan nilai laboraturium pada rentang normal
Tindakan Keperawatan
1) Kaji kemampuan klien dalam melakukan aktivitas sehari-hari
2) Catat perubahan keseimbangan, gangguan bergerak, dan kelemahan otot
3) Pantau TD, nadi, dan RR selama dan setelah beraktivitas
4) Tinggikan kepala tempat tidur (semifowler)
5) Anjurkan klien merubah posisi secara perlahan
6) Bantu klien menentukan aktivitas prioritas dan aktivitas yang hanya ia
inginkan
7) Anjurkan keluarga untuk membantu klien dalam beraktivitas atau ambulasi
sederhana, dan ikutsertakan klien sebanyak mungkin sesuai kemampuan
8) Rencanakan peningkatan aktivitas bersama klien, peningkatan aktivitas
disesuaikan dengan kemampuan klien.
9) Kaji dan terapkan teknik penyimpanan energi, seperti menggunakan kursi
untuk mandi dan duduk selama melakukan aktivitas
10) Instruksikan klien untuk berhenti beraktivitas jika palpitasi, nyeri dada, nafas
dangkal, kelemahan, dan pusing terjadi
Kolaborasi
11) Pantau hasil laboratorium
12) Sediakan terapi oksigen adekuat
13) Berikan transfusi darah sesuai indikasi
DIAGNOSA 2
RESIKO KETIDAKSEIMBANGAN VOLUME CAIRAN berhubungan dengan
ketidakseimbangan elektrolit dan penurunan fungsi ginjal
Tujuan : klien dapat mempertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit dengan
adekuat
Hasil yang diharapkan, klien akan:
- Mengatakan tubuhnya tidak ada yang bengkak
- Tidak ada edema
- Tekanan darah stabil
- Tidak terdengar ronkhi
- Kadar elektrolit dalam batas normal
Tindakan Keperawatan:
1) Monitoring tanda-tanda vital per 8 jam
2) Catat intake dan ouput cairan
3) Kaji ulang edema periorbital, pretibial, dan sakral
4) Kaji masukan diet dan kebiasaan yang dapat menunjang retensi cairan
5) Monitor pemeriksaan laboratorium : hematologi, elektrolit, berat jenis urin
6) Pemberian medikasi sesuai indikasi
7) Konsultasi dengan ahli gizi dalam pemenuhan nutrisi yang sesuai
DIAGNOSA 3
GANGGUAN NUTRISI KURANG DARI KEBUTUHAN TUBUH berhubungan
dengan mual dan intake nutrisi yang kurang ditandai dengan penurunan berat
badan, IMT pada rentang gizi kurang, dan Hb dibawah rentang normal.
Tujuan: memperbaiki dan mempertahankan intake nutrisi yang adekuat.
Hasil yang diharapkan, klien akan:
menunjukkan berat badan yang stabil, hasil lab normal dan tidak ada tanda
malnutrisi
menyatakan pengertiannya terhadap perlunya intake yang adekuat
berpartisipasi dalam penatalaksanaan diet yang berhubungan dengan
penyakitnya
Tindakan Keperawatan
1) Monitor intake makanan setiap hari, apakah klien makan sesuai dengan
kebutuhannya.
2) Timbang dan ukur berat badan, ukuran triceps serta amati penurunan berat
badan.
3) Kaji pucat, penyembuhan luka yang lambat dan pembesaran kelenjar parotis.
4) Anjurkan klien untuk mengkonsumsi makanan tinggi kalori dengan intake
cairan yang adekuat. Anjurkan pula makanan kecil untuk klien.
5) Sarankan makanan yang lebih kecil tetapi lebih sering
6) Ciptakan suasana makan yang menyenangkan misalnya makan bersama
teman atau keluarga.
7) Berikan dorongan higiene oral
8) Posisikan pasien dengan tepat saat makan
9) Anjurkan tehnik relaksasi, visualisasi, latihan moderate sebelum makan.
10) Pantau nilai laboraturium seperti total protein, albumin
11) Konsultasikan dengan ahli gizi, asupan yang tepat untuk pemenuhan nutrisi
yang adekuat
12) Berikan pengobatan sesuai indikasi
DIAGNOSA 4
GANGGUAN INTEGRITAS KULIT berhubungan dengan dengan tirah baring
yang lama dan proses perjalanan penyakit
Tujuan: untuk memperbaiki dan mempertahankan integritas kulit klien
Hasil yang diharapkan, klien akan:
- Kulit lambab tak bersisik
- Turgor kulit normal
- Tidak terjadi luka tekan baru, dan ada perbaikan pada luka tekan yang saat
ini diderita
Tindakan Keperawatan
1) Inspeksi dan perubahan kulit (warna, turgor, dan vaskularitas)
2) Catat adanya kemerahan, eksoriasi, ekimosis dan purpura
DIAGNOSA 5
HAMBATAN MOBILITAS FISIK berhubungan dengan ketidakmampuan
pergerakan pada ekstrimitas bawah (Paraparese Inferior)
Tujuan: agar mobilitas klien meningkat bertahap
Hasil yang diharapkan, klien akan:
- mempertahankan posisi yang optimal ditandai dengan tidak adanya tanda
kontraktur dan footdrop;
- mempertahankan kekuatan otot; dan
- mampu melakukan ROM aktif dan/ataupun pasif secara bertahap
Tindakan Keperawatan:
1) Kaji kemampuan fungsional atau luasnya gangguan sejak awal, klasifikasikan
dalam skala 0-4;
2) Lakukan terapi fisik yang di fokuskan pada latihan gerak pasif dan aktif (jika
pasien sadar) minimal 2 kali dalam sehari;
3) Letakkan pasien pada posisi tengkurap satu-dua kali dalam 24 jam jika pasien
dapat mentoleransi;
4) Sokong ekstremitas dalam posisi fungsionalnya, gunakan papan kaki (foot
board) selama periode paralysis flaksi;
5) Bila pasien ditempat tidur, lakukan tindakan untuk mempertahankan posisi
kelurusan postur tubuh;
6) Libatkan orang terdekat untuk berpartisipasi dalam aktifitas/latihan dan
merubah posisi;
7) Anjurkan pasien untuk membantu pergerakan dan latihan dengan
menggunakan ekstremitas yang tidak sakit.
8) Pemberian medikasi sesuai indikasi
9) Fisioterapi berupa terapi menguatkan otot-sendi secara rutin.
Masalah aliran darah ke ginjal Nekrotik tubulus: INFEKSI Obstruksi bagian distal
Hipotensi saluran perkemihan
Syok hipovolemik,
anafilaktik, sepsis Antigen
Antigen dari
Diabetes mellitus berasal Urin Aliran balik
luar
Hipertensi Glomerulus Glomerulus statis ke ginjal
Kerusakan Glomerulus
secara bertahap
Ginjal gagal
membentuk
Nefron yang masih baik mengompensasi kerusakan ginjal
eritropoetin
Penurunan Penurunan
Produksi 1,25 Edema ekskresi NH3 Penurunan
ekskresi fosfat
dihidroksin rearbsorbsi HCO3
vitamin D turun Kadar
amoniak & Hiperfosfatemia Peningkatan ion H
kreatinin Gangguan
Arbsorpsi Asidosis Keseimbagan
darah naik absorbsi
kalsium diusus Takipnea Metabolik Asam basa
turun kalsium turun
BIODATA DIRI