Anda di halaman 1dari 29

ASUHAN KEPERAWATAN INKONTINENSIA URINE

PADA LANSIA

Disusun Oleh :

Syarief Satria Aji 18.0601.0043

Priyono 18.0601.0044

Saras Dwi Ulfa 18.0601.0045

Nurinda Fitriana 18.0601.0046

Ardian Ridho F 18.0601.0047

PROGRAM STUDI D3 KEPERAWATAN


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH MAGELANG

2020
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penyusun panjatkan kehadirat Allah Subhanau Wata’ala


yang telah melimpahkan rahmat, karunia dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah ini dengan baik. Adapun tujuan dari penulisan makalah
ini adalah sebagai salah satu metode pembelajaran bagi Mahasiswa/i (Universitas
Muhammadiyah Magelang) dalam memenuhi tugas (Mata Kuliah Keperawatan
Gerontik). Ucapan terimakasih tidak lupa penyusun sampaikan kepada semua
pihak yang telah membantu, sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas ini,
Semua pihak yang telah membantu dan memberikan motivasi dalam pembuatan
makalah ini yang namanya penyusun tidak dapat sebutkan satu persatu.

Penyusun menyadari atas kekurangan kemampuan penyusun dalam


pembuatan, makalah ini sehingga akan menjadi suatu kehormatan besar bagi
penyusun apabila mendapatkan kritikan dan saran yang membangun agar makalah
ini selanjutnya akan lebih baik dan sempurna serta komprehensif.

Demikian akhir kata dari penyusun, semoga makalah ini bermanfaat bagi
semua pihak dan sebagai media pembelajaran budaya khususnya dalam segi
teoritis sehingga dapat membuka wawasan ilmu budaya serta akan menghasilkan
yang lebih baik di masa yang akan datang.

Magelang, 18 juni 2020

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................ii

DAFTAR ISI..........................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1

I.1. Latar Belakang..........................................................................................1

I.2. Rumusan Masalah.....................................................................................2

I.3. Tujuan Penulisan.......................................................................................2

BAB II TEORI DAN PEMBAHASAN..................................................................3

II.1. Pengertian..................................................................................................3

II.2. Klasifikasi..................................................................................................3

II.3. Anatomi fisiologi system perkemihan.......................................................4

II.4. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Pada Lansia.................................9

II.5. Etiologi....................................................................................................13

II.6. Patofisiologi.............................................................................................13

II.7. Tanda dan Gejala.....................................................................................14

II.8. Penatalaksanaan.......................................................................................14

II.9. Pemeriksaan Penunjang.......................................................................15

II.10. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................17

BAB III PENUTUP..............................................................................................25

III.1. Kesimpulan..............................................................................................25

III.2. Saran........................................................................................................25

Daftar Pustaka........................................................................................................26

iii
BAB I
PENDAHULUAN

I.1. Latar Belakang


Pada masa lanjut usia secara bertahap seseorang mengalami
berbagai kemunduran, baik kemunduran fisik, mental, dan sosial (Azizah,
2011). Perubahan fisik yang terjadi pada setiap lanjut usia sangat
bervariasi, perubahan ini terjadi dalam berbagai sistem, yaitu sistem
integumen, sistem kardiovaskuler, sistem gastrointestinal, sistem
reproduksi, sistem muskuloskeletal, sistem neurologis, dan sistem urologi.
Semua perubahan fisiologis ini bukan merupakan proses patologis, tetapi
perubahan fisiologis umum yang perlu diantisipasi (Potter & Perry, 2005).
Pada lanjut usia sering terjadi masalah “empat besar” yang memerlukan
perawatan segera, yaitu : imobilisasi, ketidakstabilan, gangguan mental,
dan inkontinensia. Bagi lanjut usia masalah inkontinensia merupakan
masalah yang tidak menyenangkan (Watson, 2003). Masalah inkontinensia
tidak disebabkan langsung oleh proses penuaan, pemicu terjadinya
inkontinensia pada lanjut usia adalah kondisi yang sering terjadi pada
lanjut usia yang dikombinasikan dengan perubahan terkait usia dalam
sistem urinaria (Stanley & Beare, 2007).

Masalah yang sering dijumpai pada lanjut usia adalah


inkontinensia urin. Inkontinensia urin merupakan keluarnya urin yang
tidak terkendali dalam waktu yang tidak dikehendaki tanpa
memperhatikan frekuensi dan jumlahnya yang akan menyebabkan masalah
sosial dan higienis penderitanya. Selain masalah sosial dan hieginis
inkontinensia urin mempunyai komplikasi yang cukup serius seperti
infeksi saluran kemih, kelainan kulit, gangguan tidur, problem psikososial
seperti depresi, mudah marah dan terisolasi (Setiati, dkk, 2007).
Inkontinensia urin merupakan masalah yang belum terselesaikan pada
lanjut usia. Inkontinensia urin pada lanjut usia dapat menimbulkan
masalah baru bagi lanjut usia, oleh karena itu inkontinensia memerlukan
penatalaksanaan tersendiri untuk dapat diatasi (Purnomo, 2008).

1
I.2. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Inkontinensia Urine?
2. Apa klasifikasi dan anatomi fisiologi dari Inkontinensia Urine?
3. Apa etiologi dan tanda gejala dari Inkontinensia Urine?
4. Bagaimana jalan nya penyakit serta penatalaksanaan dari Inkontinensia
Urine?
5. Apa saja pemeriksaan penunjang dan konsep asuhan keperawatan pada
pasien Inkontinensia Urine?

I.3. Tujuan Penulisan


1. Tujuan Umum :

Untuk memenuhi salah satu tugas Keperawatan Gerontik

2. Tujuan Khusus:
1) Menjelaskan definisi Inkontinensia Urine
2) Menjelaskan klasifikasi dan anatomi fisiologi Inkontinensia Urine
3) Menjelaskan etiologi dan tanda gejala Inkontinensia Urine
4) Menjelaskan Patofisiologi serta penatalaksanaan Inkontinensia
Urine
5) Menjelaskan pemeriksaan penunjang dan konsep dasar asuhan
keperawatan pada pasien Inkontinensia Urine

2
BAB II
TEORI DAN PEMBAHASAN

I.4. Pengertian
Adalah ketidakmampuan otot sfingter eksternal sementara atau
menetap untuk mengontrol ekskresi urine. (Wartonah, 2011)
Inkontinensia urine merupakan eliminasi urine dari kandung kemih
yang tidak terkendali atau terjadi diluar keinginan (Brunner & Suddarth,
2013)
Inkontinensia urine didefinisikan sebagai keluarnya urine yang
tidak terkendali pada waktu yang tidak dikehendaki tanpa memperhatikan
frekuensi dan jumlahnya,yang mengakibatkan masalah social dan higienis
penderitanya (FKUI, 2006).
Menurut International Continence Sosiety, inkontinensia urine
adalah kondisi keluarnya urin tak terkendali yang dapat didemonstrasikan
secara obyektif dan menimbulkan gangguan hygiene dan social.

I.5. Klasifikasi
1. Inkotenensia dorongan. Merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urine tanpa sadar, terjadi segera setelah
merasa dorongan yang kuat untuk berkemih.
2. Inkotenensia total. Merupakan keadaan dimana seseorang mengalami
pengeluaran urin terus menerus dan tidak dapat diperkirakan.
3. Inkotenensia stress. Merupakan stress yang terjadi paada saat tekanan
intra abdomen meningkat seperti pada saat batuk dan tertawa.
4. Inkotenensia refleks. Merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin yang tidak dirasakan terjadi pada interval
yang dapat diperkirakan bila volume kandung kemih mencapai jumlah
tertentu.
5. Inkotenensia fungsional. Merupakan keadaan dimana seseorang
mengalami pengeluaran urin tanpa disadari dan tidak dapat
diperkirakan. (Brunner & Suddarth, 2013)

3
I.6. Anatomi fisiologi system perkemihan
1. Ginjal
Ginjal terletak dibagian belakang abdomen atas, dibelakang
peritonium, di depan dua kosta terakhir dan tiga otot-otot besar
transversus abdominalis,kuadratus lumborum dan psoas mayor. Ginjal
dipertahankan dalam posisi tersebut oleh bantalan lemak yang tebal.
Disebelah posterior dilindungi oleh kosta dan otot-otot yang meliputi
kosta, sedangkan dianterior dilindungi oleh bantaan usus yang tebal.
Pada orang dewasa ginjal panjangnya 12-13 cm, lebarnya 6 cm dan
beratnya antara 120-150 gram. Ukurannya tidak berbeda menurut
bentuk dan ukuran tubuh. 95 % orang dewasa memiliki jarak antara
katup ginjal antara 11-15 cm. Perbedaan panjang dari kedua ginjal
lebih dari 1,5 cm atau perubahan bentuk merupakan tanda yang
penting karena kebanyakan penyakit ginjal
dimanifestasikan dengan perubahan struktur. Ginjal diliputi oleh suatu
kapsula tribosa tipis mengkilat, yang berikatan longgar dengan
jaringan dibawahnya dan dapat dilepaskan dengan mudah dari
permukaan ginjal.
Bagian – Bagian Ginjal
Tiga bagian ginjal, yaitu :
1) Kulit Ginjal (Korteks)
Pada kulit ginjal terdapat bagian yang bertugas melaksanakan
penyaringan darah yang disebut nefron. Pada tempat penyaringan
darah ini banyak mengandung kapiler-kapiler darah yang tersusun
bergumpal-gumpal disebut glomerolus. Tiap glomerolus dikelilingi
oleh simpai bowman, dan gabungan antara glomerolus dengan
simpai bowman disebut badan malphigi. Penyaringan darah terjadi
pada badan malphigi, yaitu diantara glomerolus dan simpai
bowman. Zat-zat yang terlarut dalam darah akan masuk kedalam
simpai bowman. Dari sini maka zat-zat tersebut akan menuju ke
pembuluh yang merupakan lanjutan dari simpai bowman yang
terdapat di dalam sumsum ginjal.
2) Sumsum Ginjal (Medula)

4
Sumsum ginjal terdiri beberapa badan berbentuk kerucut yang
disebut pyramid renal. Dengan dasarnya menghadap korteks dan
puncaknya disebut apeks atau papilla renis, mengarah ke bagian
dalam ginjal. Satu piramid dengan jaringan korteks di dalamnya
disebut lobus ginjal. Piramid antara 8 hingga 18 buah tampak
bergaris-garis karena terdiri atas berkas saluran paralel (tubuli dan
duktuskoligentes). Diantara pyramid terdapat jaringan korteks yang
disebut dengan kolumna renal. Pada bagian ini berkumpul ribuan
pembuluh halus yangmerupakan lanjutan dari simpai bowman. Di
dalam pembuluh halus ini terangkut urine yang merupakan hasil
penyaringan darah dalam badan malphigi, setelah mengalami
berbagai proses.
3) Rongga Ginjal (Pelvis Renalis)
Pelvis Renalis adalah ujung ureter yang berpangkal di ginjal,
berbentuk corong lebar. Sebelum berbatasan dengan jaringan
ginjal, pelvis renalis bercabang dua atau tiga disebut kaliks mayor,
yang masing – masing bercabang membentuk beberapa kaliks
minor yang langsung menutupi papila renis dari piramid. Kaliks
minor ini menampung urine yang terus keluar dari papila. Dari
Kaliks minor, urine masuk ke kaliks mayor, ke pelvis renis ke
ureter, hingga di tampung dalam kandung kemih (vesikula
urinaria).
2. Fungsi Ginjal
Ginjal berfungsi sebagai berikut :
1) Mengatur volume air (cairan) dalam tubuh. Kelebihan air dalam
tubuh akan dieksresikan oleh ginjal sebagai urine (kemih) yang
encer dalam jumlah besar, kekurangan air (kelebihan keringat)
menyebabkan urine yang di eksresi berkurang dan konsentrasinya
lebih pekat sehingga susunan dan volume cairan tubuh dapat
dipertahankan relatif normal.
2) Mengatur keseimbangan osmotic dan mempertahankan
keseimbangan ion yang optimal dalam plasma (keseimbangan

5
elektrolit). Bila terjadi pemasukan/pengeluaran yang abnormal ion
–i on akibat pemasukan garam yang berlebihan/penyakit
perdarahan (diare, muntah) ginjal akan meningkatkan eksresi ion –
ion yang penting (mis. Na, K, Cl, Ca dan fosfat).
3) Mengatur keseimbangan asam basa cairan tubuh bergantung pada
apa yang dimakan, campuran makanan menghasilkan urine yang
bersifat agak asam, pH kurang dari 6 ini disebabkan hasil akhir
metabolisme protein. Apabila banyak makan sayur – sayuran, urine
akan bersifat basa. pH urine bervariasiantara 4 , 8 – 8,2. Ginjal
menyekreksi urine sesuai dengan perubahan pH darah.
4) Eksresi sisa hasil metabolisme (ureum, asam urat, kreatinin) zat-zat
toksik , obat- obatan, hasil metabolisme hemoglobin dan bahan
kimia asing (pestisida).
5) Fungsi hormonal dan metabolisme. Ginjal menyekresi hormon
rennin yang mempunyai peranan penting mengatur tekanan darah
(system rennin angiotensin aldesteron) membentuk eritropoiesis
mempunyai peranan penting untuk memproses pembentukan sel
darah merah (eritropoiesis).
3. Nefron
Pada manusia setiap ginjal mengandung 1-1,5 juta nefron yang pada
dasarnya mempunyai struktur dan fungsi yang sama.
Bagian-bagian nefron:
1) Glomerolus
Suatu jaringan kapiler berbentuk bola yang berasal dari arteriol
afferent yang kemudian bersatu menuju arteriol efferent, Berfungsi
sebagai tempat filtrasi sebagian air dan zat yang terlarut dari darah
yang melewatinya.
2) Kapsula Bowman
Bagian dari tubulus yang melingkupi glomerolus untuk
mengumpulkan cairan yang difiltrasi oleh kapiler glomerolus.
3) Tubulus, dibagi menjadi 3 yaitu:

6
Tubulus proksimal berfungsi mengadakan reabsorbsi bahan-bahan
dari cairan tubuli dan mensekresikan bahan-bahan ke dalam cairan
tubuli. Kemudian Lengkung Henle Lengkung henle membentuk
lengkungan tajam berbentuk U. Terdiri dari pars descendens yaitu
bagian yang menurun terbenam dari korteks ke medula, dan pars
ascendens yaitu bagian yang naik kembali ke korteks. Bagian
bawah dari lengkung henle mempunyai dinding yang sangat tipis
sehingga disebut segmen tipis, sedangkan bagian atas yang lebih
tebal disebut segmen tebal. Lengkung henle berfungsi reabsorbsi
bahan-bahan dari cairan tubulus dan sekresi bahan-bahan ke dalam
cairan tubulus. Selain itu, berperan penting dalam mekanisme
konsentrasi dan dilusi urin. Tubulus distal Berfungsi dalam
reabsorbsi dan sekresi zat-zat tertentu.
Duktus pengumpul (duktus kolektifus) Satu duktus pengumpul
mungkin menerima cairan dari delapan nefron yang berlainan.
Setiap duktus pengumpul terbenam ke dalam medula untuk
mengosongkan cairan isinya (urin) ke dalam pelvis ginjal.
4. Ureter

Ureter adalah tabung/saluran yang menghubungkan ginjal dengan


kandung kemih. Ureter merupakan lanjutan pelvis renis, menuju distal
& bermuara pada vesica urinaria. Panjangnya 25-30 cm. Persarafan
ureter oleh plexus hypogastricus inferior T11-L2 melalui neuron²
simpatis. Terdiri dari dua bagian: pars abdominalis,pars pelvina, Tiga
tempat penyempitan pada ureter: uretero,pelvic junction,tempat
penyilangan ureter dengan vassa iliaca sama dengan flexura marginalis
– muara ureter ke dalam vesica urinaria. Terdiri dari 2 saluran pipa
masing – masing bersambung dari ginjal kekandung kemih (vesika
urinaria) panjangnya ± 25 – 30 cm dengan penampang ±0,5 cm. Ureter
sebagian terletak dalam rongga abdomen dan sebagian terletak dalam
rongga pelvis. Lapisan dinding ureter terdiri dari :

1) Dinding luar jaringan ikat (jaringan fibrosa)

7
2) Lapisan tengah otot polos
3) Lapisan sebelah dalam lapisan mukosa

Lapisan dinding ureter menimbulkan gerakan – gerakan peristaltik tiap


5 menit sekali yang akan mendorong air kemih masuk ke dalam
kandung kemih (vesika urinaria). Gerakan peristaltik mendorong urin
melalui ureter yang dieskresikan oleh ginjal dan disemprotkan dalam
bentuk pancaran, melalui osteum uretralis masuk ke dalam kandung
kemih. Ureter berjalan hampir vertikal ke bawah sepanjang fasia
muskulus psoas dan dilapisi oleh pedtodinium. Penyempitan ureter
terjadi pada tempat ureter terjadi pada tempat ureter meninggalkan
pelvis renalis, pembuluh darah, saraf dan pembuluh sekitarnya
mempunyai saraf sensorik.

5. Vesica Urinaria
Disebut juga bladder/kandung kemih. Vesica urinaria merupakan
kantung berongga yang dapat diregangkan dan volumenya dapat
disesuaikan dengan mengubah status kontraktil otot polos di
dindingnya. Secara berkala urin dikosongkan dari kandung kemih ke
luar tubuh melalui ureter. Organ ini mempunyai fungsi sebagai
reservoir urine (200 - 400 cc). Dindingnya mempunyai lapisan otot
yang kuat. Letaknya di belakang os pubis. Bentuk bila penuh seperti
telur (ovoid). Apabila kosong seperti limas. Apex (puncak) vesica
urinaria terletak di belakang symphysis pubis.
Fungsi vesica urinaria: Sebagai tempat penyimpanan urine,
Mendorong urine keluar dari tubuh.
6. Uretra
Merupakan saluran keluar dari urin yang diekskresikan oleh tubuh
melalui ginjal, ureter, vesica urinaria. Uretra adalah saluran sempit
yang berpangkal pada kandung kemih yang berfungsi menyalurkan air
kemih keluar.Pada laki- laki uretra bewrjalan berkelok – kelok melalui
tengah – tengah prostat kemudian menembus lapisan fibrosa yang
menembus tulang pubis kebagia penis panjangnya ± 20 cm.

8
Uretra pada laki – laki terdiri dari :
1) Uretra Prostaria
2) Uretra Membranosa
3) Uretra Kavernosa
Lapisan uretra laki – laki terdiri dari lapisan mukosa (lapisan paling
dalam),dan lapisan submukosa. Uretra pada wanita terletak dibelakang
simfisis pubis berjalan miring sedikit kearah atas, panjangnya ± 3-4
cm. Lapisan uretra pada wanita terdiri dari tunika muskularis (sebelah
luar), lapisan spongeosa merupakan pleksus dari vena-vena, dan
lapisan mukosa (lapisan sebelah dalam). Muara uretra pada wanita
terletak di sebelah atas vagina (antara klitoris dan vagina) dan uretra di
sini hanya sebagai saluran ekskresi. (Syaifudin, 2012)

I.7. Anatomi Fisiologi Sistem Perkemihan Pada Lansia

1. Perubahan Ginjal pada Lansia


Pada lansia ginjal berukuran lebih kecil dibanding dengan ginjal pada
usia muda Pada usia 90 tahun beratnya berkurang 20-30% atau 110-
150 gram bersamaan dengan pengurangan ukuran ginjal. Pada studi
kasus dari McLachlan dan Wasserman bahwa panjang ginjal berkurang
0,5 cm per dekade setelah mencapai usia 50 tahun. Dengan
bertambahnya usia, banyak jaringan yang hilang dari korteks ginjal,
glomerulus dan tubulus. Jumlah total glomerulus berkurang 30-40%
pada usia 80 tahun, dan permukaan glomerulus
berkurang secara progresif setelah 40 tahun, dan yang terpenting
adalah terjadi penambahan dari jumlah jaringan sklerotik. Meskipun
kurang dari 1% glomerulus sklerotik pada usia muda, persentase ini
meningkat 10-30% pada usia 80 tahun. Terdapat beberapa perubahan
pada pembuluh darah ginjal pada lansia. Pada korteks ginjal, arteri
aferen dan eferen cenderung untuk atrofi yang berarti terjadi
pengurangan jumlah darah yang terdapat di glomerulus. Atrofi arteri
aferen dan eferen pada jukstaglomerulus terjadi tidak simetris sehingga
timbul fistel. Jadi ketika aliran darah di korteks berkurang, aliran di

9
jukstaglomerular akan meningkat. Ini berpengaruh pada konsentrasi
urin yang berkurang pada usia lanjut akibat gangguan
pengaturan sistem keseimbangan.
2. Perubahan Aliran Darah Ginjal pada Lansia
Ginjal menerima sekitar 20% dari aliran darah jantung atau sekitar 1
liter per menit darah dari 40% hematokrit, plasma ginjal mengalir
sekitar 600 ml/menit. Normalnya 20% dari plasma disaring di
glomerulus dengan GFR 120 ml/menit atau sekitar 170 liter per hari.
Penyaringan terjadi di tubular ginjal dengan lebih dari 99% yang
terserap kembali meninggalkan pengeluaran urin terakhir 1-1,5 liter
per hari. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan,
memperlihatkan bahwa aliran darah ginjal pada usia 80 tahun hanya
menjadi sekitar 300 ml/menit. Pengurangan dari aliran darah ginjal
terutama berasal dari korteks. Pengurangan aliran darah ginjal
mungkin sebagai hasil dari kombinasi pengurangan curah jantung dan
perubahan dari hilus besar, arcus aorta dan arteri interlobaris yang
berhubungan dengan usia.
3. Perubahan Fungsi Ginjal pada Lansia
Pada lansia banyak fungsi hemostasis dari ginjal yang berkurang,
sehingga merupakan predisposisi untuk terjadinya gagal ginjal. Ginjal
yang sudah tua tetap memiliki kemampuan untuk memenuhi
kebutuhan cairan tubuh dan fungsi hemostasis, kecuali bila timbul
beberapa penyakit yang dapat merusak ginjal. Penurunan fungsi ginjal
mulai terjadi pada saat seseorang mulai memasuki usia 30 tahun dan
60 tahun, fungsi ginjal menurun sampai 50% yang diakibatkan karena
berkurangnya jumlah nefron dan tidak adanya kemampuan untuk
regenerasi. Beberapa hal yang berkaitan dengan faal ginjal pada lanjut
usia antara lain:
1) Fungsi konsentrasi dan pengenceran menurun.
2) Keseimbangan elektrolit dan asam basa lebih mudah terganggu bila
dibandingkan dengan usia muda.

10
3) Ureum darah normal karena masukan protein terbatas dan produksi
ureum yang menurun.
4) Kreatinin darah normal karena produksi yang menurun serta massa
otot yang berkurang.
5) Maka yang paling tepat untuk menilai faal ginjal pada lanjut usia
adalah dengan memeriksa Creatinine Clearance.
6) Renal Plasma Flow (RPF) dan Glomerular Filtration Rate (GFR)
menurun sejak usia 30 tahun.
4. Perubahan Laju Filtrasi Glomerulus pada Lansia

Salah satu indeks fungsi ginjal yang paling penting adalah laju filtrasi
glomerulus (GFR). Pada usia lanjut terjadi penurunan GFR. Hal ini
dapat disebabkan karena total aliran darah ginjal dan pengurangan dari
ukuran dan jumlah glomerulus. Pada beberapa penelitian yang
menggunakan bermacam-macam metode, menunjukkan bahwa GFR
tetap stabil setelah usia remaja hingga usia 30-35 tahun, kemudian
menurun hingga 8-10 ml/menit/1,73 m2/dekade. Penurunan bersihan
kreatinin dengan usia tidak berhubungan dengan peningkatan
konsentrasi kreatinin serum. Produksi kreatinin sehari-hari (dari
pengeluaran kreatinin di urin) menurun sejalan dengan penurunan
bersihan kreatinin. Untuk menilai GFR/creatinine clearance rumus di
bawah ini cukup akurat bila digunakan pada usia lanjut. Cratinine
Clearance (pria) = (140-umur) x BB (kg) ml/menit 72 x serum
cretinine (mg/dl) Cretinine Clearance (wanita) = 0,85 X CC pria.

5. Perubahan Fungsi Tubulus pada Lansia


Aliran plasma ginjal yang efektif (terutama tes eksresi PAH) menurun
sejalan dari usia 40 ke 90-an. Umumnya filtrasi tetap ada pada usia
muda, kemudian berkurang tetapi tidak terlalu banyak pada usia 70, 80
dan 90 tahunan. Transpor maksimal tubulus untuk tes ekskresi PAH
(paraaminohipurat) menurun progresif sejalan dengan peningkatan usia
dan penurunan GFR. Penemuan ini mendukung hipotesis untuk
menentukan jumlah nefron yang masih berfungsi, misalnya hipotesis

11
yang menjelaskan bahwa tidak ada hubungan antara usia dengan
gangguan pada transport tubulus, tetapi berhubungan dengan atrofi
nefron sehingga kapasitas total untuk transpor menurun.
Transpor glukosa oleh ginjal dievaluasi oleh Miller, Mc Donald dan
Shiock pada kelompok usia antara 20-90 tahun. Transpor maksimal
Glukosa (TmG) diukur dengan metode clearance. Pengurangan TmG
sejalan dengan GFR oleh karena itu rasio GFR : TmG tetap pada
beberapa dekade. Penemuan ini mendukung hipotesis jumlah nefron
yang masih berfungsi, kapasitas total untuk transpor menurun sejalan
dengan atrofi nefron. Sebaliknya dari penurunan TmG, ambang ginjal
untuk glukosa meningkat sejalan dengan peningkatan usia.
Ketidaksesuaian ini tidak dapat dijelaskan tetapi mungkin dapat
disebabkan karena kehilangan nefron secara selektif.
6. Perubahan Pengaturan Keseimbangan Air pada Lansia
Perubahan fungsi ginjal berhubungan dengan usia, dimana pada
peningkatan usia maka pengaturan metabolisme air menjadi terganggu
yang sering terjadi pada lanjut usia. Jumlah total air dalam tubuh
menurun sejalan dengan peningkatan usia. Penurunan ini lebih berarti
pada perempuan daripada laki-laki, prinsipnya adalah penurunan
indeks massa tubuh karena terjadi peningkatan jumlah lemak dalam
tubuh. Pada lanjut usia, untuk mensekresi sejumlah urin atau
kehilangan air dapat meningkatkan osmolaritas cairan ekstraseluler dan
menyebabkan penurunan volume yang mengakibatkan timbulnya rasa
haus subjektif. Pusat-pusat yang mengatur perasaan haus timbul
terletak pada daerah yang menghasilkan ADH di hypothalamus.
Pada lanjut usia, respon ginjal pada vasopressin berkurang
biladibandingkan dengan usia muda yang menyebabkan konsentrasi
urin juga berkurang, Kemampuan ginjal pada kelompok lanjut usia
untuk mencairkan dan mengeluarkan kelebihan air tidak dievaluasi
secara intensif. Orang dewasa sehat mengeluarkan 80% atau lebih
dari air yang diminum (20 ml/kgBB) dalam 5 jam.

12
I.8. Etiologi
1. Poliuria, nokturia
2. Gagal jantung
3. Faktor usia : lebih banyak ditemukan pada usia >50 tahun.
4. Lebih banyak terjadi pada lansia wanita dari pada pria hal ini
disebabkan oleh :
1) Penurunan produksi esterogen menyebabkan atropi jaringan uretra
dan efek akibat melahirkan dapat mgengakibatkan penurunan otot-
otot dasar panggul.
2) Perokok, Minum alkohol. 3) Obesitas
3) Infeksi saluran kemih (ISK)

I.9. Patofisiologi
Inkontinesia urine dapat terjadi dengan berbagai manifestasi, antara lain :

1. Perubahan yang terkait dengan usia pada sistem perkemihan Vesika


Urinaria (kandung kemih) Kapasitas kandung kemih yang normal sekitar
300-600ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-
350ml. Dengan sensasi keinginan untuk berkemih diantara 150-350ml.
Berkemih dapat ditunda 1-2 jam sejak ke inginan berkemih dirasakan.
Ketika keinginan berkemih atau miksi terjadi pada otot destrusor kontraksi
dari sfingter eksternal relaksasi yang membuka uretra pada orang dewasa
mudah dikeluarkan dengan proses ini. Pada lansia tidak semua urine
dikeluarkan, tetapi residu urine 50 mlatau kurang diangap adekuat. Jumlah
yang lebih dari 100 ml mengidikasikan adanya retensi urine. Perubahan
yang lainnya pada proses penuaan adalah terjadinya kandung kemih tanpa
disadari. Wanita lansia, terjadi penurunan produksi esterogen
menyebabkan atrofi jaringan uretra dan efek akibat melahirkan
mengakibatakan penurunan pada otot-otot dasar (Stanley M & Beare G
Patricia, 2006)

2. Fungsi otak besar yang terganggu dan mengakibatkan kontraksi


kandung kemih. Terjadi hambatan pengeluaraan urine dengan pelebaran
kandung kemih, urine banyak dalam kandung kemih sampai kapasitas

13
berlebihan. Fungsi sfingter yang terganggu menyebabkan kandung kemih
bocor bila batuk atau bersin.

I.10. Tanda dan Gejala


1. Inkontinensia Dorongan
1) Sering miksi
2) Spasme kandung kemih 2)
2. Inkontinensia total
1) Aliran konstan terjadi pada saat tidak diperkirakan.
2) Tidak ada distensi kandung kemih.
3) Nokturia dan Pengobatan Inkontinensia tidak berhasil.
3. Inkontinensia stress
1) Adanya urin menetes dan peningkatan tekanan abdomen.
2) Adanya dorongan berkemih.
3) Sering miksi.
4) Otot pelvis dan struktur penunjang lemah.
4. Inkontinensia reflex
1) Tidak dorongan untuk berkemih.
2) Merasa bahwa kandung kemih penuh.
3) Kontraksi atau spesme kandung kemih tidak dihambat pada
interval.
5. Inkontinensia fungsional
1) Adanya dorongan berkemih.
2) Kontraksi kandung kemih cukup kuat untuk mengeluarkan urin.

(Abata, 2014)

I.11. Penatalaksanaan
a. Pemanfaatan catatan berkemih

Catat pada kartu misalnya waktu berkemih dan jumlah urin yang
keluar, baik secara normal, maupun yang keluar karena tidak tertahan
catat waktu jumlah dan jenis minuman yang di miinum.

14
b. Terapi non farmakologi

Melakukan latihan menahan kemih (memperpanjang interval waktu


berkemih) distraksi sehingga frekuensi 6-7x/hari

c. Terapi farmakologi

Obat-obat dapat diberikan pada inkontinesia urgen adalah


antikolinergik seperti oxybutinin, propantteine, dicylomine, fllavoxate,
imipramine.

d. Terapi pembedahan

Terapi ini dapat dipertimbangkan pada inkontinensia tipe stres


danurgensi bila terapi non farmakologi dan farmakogi idak berhasil

e. Modalitas lain

Sambil melakukan terapi dan mengobati masalah medik yang


menyebabkan inkontensia urin, dapat pula digunakan beberap alat
bantu bagi lansia yang mengalami inkontensia urin, diantarannya
adalah pempers, kateter

f. Pemantauan asupan cairan

Pada orang dewasa minimal asupan cairan adalah 1500 ml perhari


dengan rentan yang leboh adekuat antara lain 2500 dan 3500 ml
perhari dengan asumsi tidak ada kondisi kontraindikasa.

I.12. Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan Penunjang Inkontinensia Urine Uji


urodinamik sederhana dapat dilakukan tanpa menggunakan alat-
alat mahal. Sisa-sisa urin pasca berkemih perlu diperkirakan pada
pemeriksaan fisis. Pengukuran yang spesifik dapat dilakukan
dengan ultrasound atau kateterisasi urin. Merembesnya urin.

Pada saat dilakukan penekanan dapat juga dilakukan.


Evaluasi tersebut juga harus dikerjakan ketika kandung kemih
penuh dan ada desakan keinginan untuk berkemih. Diminta untuk

15
batuk ketika sedang diperiksa dalam posisi litotomi atau berdiri.

a. Elektrolit, ureum, creatinin, glukosa, dan kalsium serum


dikaji untuk menentukan fungsi ginjal dan kondisi yang
menyebabkan poliuria. Tes laboratorium tambahan
seperti kultur urin, blood urea nitrogen, creatinin, kalsium
glukosasitol.

 b. Catatan Berkemih dilakukan untuk mengetahui pola


berkemih. Catatan ini digunakan untuk mencatat waktu
dan jumlah urin saat mengalami inkontinensia urine dan
tidak inkontinensia urine, dan gejala berkaitan denga
inkontinensia urine. Pencatatan pola berkemih tersebut
dilakukan selam 1-3 hari. Catatan tersebut dapat
digunakan untuk memantau respons terapi dan juga dapat
dipakai sebagai intervensi terapeutik karena dapat
menyadarkan pasien faktor pemicu.

16
I.13. Konsep Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian

Adapun data-data yang akan dikumpulkan dikaji pada


asuhan keperawatan klien dengan diagnosa medis Inkontinensia
Urine :

1. Identitas Klien

Meliputi nama, jenis kelamin, umur, agama/kepercayaan,


status perkawinan,  pendidikan, pekerjaan, suku bangsa,
alamat, diagnosa medis.

2. Keluhan Utama

Pada kelayan Inkontinensia Urine keluhan-keluhan yang


ada adalah nokturia, urgence, disuria, poliuria, oliguri, dan
staguri.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Memuat tentang perjalanan penyakit sekarang sejak timbul


keluhan, usaha yang telah dilakukan untuk mengatasi
keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

Adanya penyakit yang berhubungan dengan ISK (Infeksi


Saluran Kemih) yang berulang. penyakit kronis yang
pernah diderita.

5. Riwayat Penyakit keluarga

Apakah ada penyakit keturunan dari salah satu anggota


keluarga yang menderita penyakit Inkontinensia Urine,
adakah anggota keluarga yang menderita DM, Hipertensi.

6. Pemeriksaan Fisik 

17
Pemeriksaan Fisik yang digunakan adalah B1-B6 :

a. B1 (breathing)

Kaji pernapasan adanya gangguan pada pola nafas,


sianosis karena suplai oksigen menurun. kaji
ekspansi dada, adakah kelainan pada perkusi.

b. B2 (blood)

Terjadi peningkatan tekanan darah, biasanya pasien


bingung dan gelisah

c. B3 (brain)Kesadaran biasanya sadar penuh

d. B4 (bladder)

Inspeksi :periksa warna, bau, banyaknya urine


biasanya bau menyengat karena adanya aktivitas
mikroorganisme (bakteri) dalam kandung kemih
serta disertai keluarnya darah apabila ada lesi
pada bladder, pembesaran daerah supra pubik
lesi pada meatus uretra, banyak kencing dan
nyeri saat  berkemih menandakan disuria akibat
dari infeksi, apakah klien terpasang kateter
sebelumnya. Palpasi : Rasa nyeri di dapat pada
daerah supra pubik / pelvis, seperti rasa terbakar
di uretra luar sewaktu kencing / dapat juga di
luar waktu kencing.

e. B5 (bowel)

Bising usus adakah peningkatan atau penurunan,


Adanya nyeri tekan abdomen, adanya
ketidaknormalan perkusi, adanya ketidaknormalan
pada ginjal

f. B6 (bone)

18
Pemeriksaan kekuatan otot dan membandingkannya
dengan ekstremitas yang lain, adakah nyeri pada
persendian.

2. Diagnosa Keperawatan

1. Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya


sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih

2. Resiko infeksi berhubungan dengan pemasangan kateter dalam


waktu yang lama.

3. Resiko kerusakan integitas kulit yang berhubungan dengan


irigasi konstan oleh urine.

4. Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan


dengan intake yang tidak adekuat

3. Intervensi

1) Diagnosa 1

Gangguan eliminasi urin berhubungan dengan tidak adanya


sensasi untuk berkemih dan kehilangan kemampuan untuk
menghambat kontraksi kandung kemih.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien


akan bisa melaporkan suatu pengurangan / penghilangan
inkontinensia

Kriteria Hasil :

Klien dapat menjelaskan penyebab inkonteninsia dan rasional


penatalaksanaan. Intervensi :

1. Kaji kebiasaan pola berkemih dan gunakan catatan berkemih


sehari.

19
R: Berkemih yang sering dapat mengurangi dorongan beri
distensi kandung kemih

2. Ajarkan untuk membatasi masukan cairan selama malam hari

R: Pembatasan cairan pada malam hari dapat mencegah


terjadinya enurasis

3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara


berkemih yang telah direncanakan

R: Kapasitas kandung kemih mungkin tidak cukup untuk


menampung volume urine sehingga diperlukan untuk lebih
sering berkemih.

4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika tidak ada


kebocoran, ulangi dengan posisi klien membentuk sudut 45,
lanjutkan dengan klien berdiri jika tidak ada kebocoran yang
lebih dulu.

R: Untuk membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien mendapat


masukan cairan 2000 ml, kecuali harus dibatasi.

R: Hidrasi optimal diperlukan untuk mencegah ISK dan batu


ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek medikasi dan


tentukan kemungkinan

 perubahan obat, dosis / jadwal pemberian obat untuk


menurunkan frekuensi inkonteninsia.

2) Diagnosa 2

Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas


dalam waktu yang lama.

20
Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan
klien dapat berkemih dengan nyaman.

Kriteria Hasil :

Urine jernih, urinalisis dalam batas normal, kultur urine


menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun setiap


shift. Jika pasien inkontinensia, cuci daerah perineal
sesegera mungkin.

R: Untuk mencegah kontaminasi uretra.

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan perawatan


kateter 2x sehari (merupakan bagian dari waktu
mandi pagi dan pada waktu akan tidur) dan setelah
buang air besar. Ajarkan untuk membatasi masukan
cairan selama malam hari R: Pembatasan cairan pada
malam hari dapat mencegah terjadinya enurasis

3. Bila masih terjadi inkontinensia kurangi waktu antara


berkemih yang telah direncanakan R: Kapasitas
kandung kemih mungkin tidak cukup untuk
menampung volume urine sehingga diperlukan untuk
lebih sering berkemih.

4. Instruksikan klien batuk dalam posisi litotomi, jika


tidak ada kebocoran, ulangi dengan posisi klien
membentuk sudut 45, lanjutkan dengan klien berdiri
jika tidak ada kebocoran yang lebih dulu. R: Untuk
membantu dan melatih pengosongan kandung kemih.

5. Pantau masukan dan pengeluaran, pastikan klien


mendapat masukan cairan 2000 ml, kecuali harus

21
dibatasi. R: Hidrasi optimal diperlukan untuk
mencegah ISK dan batu ginjal.

6. Kolaborasi dengan dokter dalam mengkaji efek


medikasi dan tentukan kemungkinan  perubahan obat,
dosis / jadwal pemberian obat untuk menurunkan
frekuensi inkonteninsia.

3) Diagnosa 3

Resiko infeksi berhubungan dengan inkontinensia, imobilitas


dalam waktu yang lama.

Tujuan: setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan


klien dapat berkemih dengan nyaman.

Kriteria Hasil :Urine jernih, urinalisis dalam batas normal,


kultur urine menunjukkan tidak adanya bakteri.

Intervensi :

1. Berikan perawatan perineal dengan air sabun


setiap shift. Jika pasien inkontinensia, cuci
daerah perineal sesegera mungkin. R: Untuk
mencegah kontaminasi uretra.

2. Jika di pasang kateter indwelling, berikan


perawatan kateter 2x sehari (merupakan bagian
dari waktu mandi pagi dan pada waktu akan
tidur) dan setelah buang air besar.

3. Ganti wafer stomehesif setiap minggu atau


bila bocor terdeteksi. Yakinkan kulit  bersih
dan kering sebelum memasang wafer yang
baru. Potong lubang wafer kira- kira setengah
inci lebih besar dar diameter stoma untuk
menjamin ketepatan ukuran kantung yang

22
benar-benar menutupi kulit periostomal.
Kosongkan kantung urostomi bila telah
seperempat sampai setengah penuh. R:
Peningkatan berat urine dapat merusak segel
periostomal, memungkinkan kebocoran urine.
Pemajanan menetap pada kulit periostomal
terhadap asam urine dapat menyebabkan
kerusakan kulit dan peningkatan resiko infeksi

4) Diagnosa 4

Resiko kekurangan volume cairan tubuh berhubungan


dengan intake yang tidak adekuat

Tujuan: Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan


volume cairan seimbang Kriteria Hasil : pengeluaran urine
tepat, berat badan 50 kg

Intervensi

1. Awasi TTV R: Pengawasan invasive diperlukan untuk


mengkaji volume intravascular, khususnya pada pasien
dengan fungsi jantung buruk.

a. Catat pemasukan dan pengeluaran

R: Untuk menentukan fungsi ginjal, kebutuhan


penggantian cairan dan penurunan resiko kelebihan
cairan

b. Awasi berat jenis urine

R: Untuk mengukur kemampuan ginjal dalam


mengkonsestrasikn urine

c. Berikan minuman yang disukai sepanjang 24 jam

R: Membantu periode tanpa cairan, meminimalkan

23
kebosanan pilihan yang terbatas dan menurunkan rasa
haus

d. Timbang BB setiap hari

R: Untuk mengawasi status cairan

(NIC-NOC, 2013)

24
BAB III
PENUTUP

I.14. Kesimpulan
Inkontinensia urine adalah pengeluaran urine dalam jumlah dan jumlah
dan frekuensi yang cukup banyak, sehingga mengakibatkan masalah
gangguan kesehatan dan social. Inkontinensia urine banyak terjadi pada
lansia perempuan, karena system anatomis dan personal hygiene.

I.15. Saran
Kelompok menyadari bahwa makalah kami tidak sempurna dan masih
banyak kekurangan, maka kelompok membutuhkan kritik dan saran untuk
memperbaiki makalah kami kedepannya.

25
Daftar Pustaka

Abata, A. Q. (2014). Ilmu Penyakit Dalam. Madiun: Yayasan PP Al-Furqan.

Brunner, & Suddarth. (2013). Buku Ajar Keperawtan Medikal Bedah (12 ed.). (E.
A. Merdella, Ed.) Jakarta: EGC.

NIC-NOC, N. (2013). Panduan Penyusunan Asuhan Keperwatan. Yogyakarta:


Medication Publishing.

Syaifudin. (2012). Anatomi dan fisiologi. Jakarta: EGC.

Wartonah, T. (2011). Kebutuhan Dasar Manusia dan Proses Keperawatn.


Jakarta: Salemba Medika.

26

Anda mungkin juga menyukai