Anda di halaman 1dari 24

ASUHAN KEPERAWATAN ATRESIA ESOFAGUS PADA ANAK

ASUHAN KEPERAWATAN
ATRESIA ESOFAGUS PADA ANAK

Disusun Oleh (Kelompok 3)


Apri Bayu Dwiantoro
Diana Fitri N
Eko Triyono
Heri Wijianto
Muchlas Arifin
Nur Fauziah M
Rahayu Wijayanti
Saeful Mujab
Toha Triawan
Wiwit Desiana
Sri Lestari Rahayu

AKADEMI PERAWATAN SERULINGMAS CILACAP


MAOS – CILACAP
2014
BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang


Atresia esophagus merupakan suatu kelainan congenital dimana esophagus tidak
terbentuk secara sempurna. Pada kebanyakan kasus, kelainan ini disertai dengan terbentuknya
hubungan antara esophagus dengan trakea yang disebut fistula trakeaoesophageal
(Tracheoesophageal Fistula/ TEP). Prematuritas merupakan hal umum dan lebih dari 50%
penderita disertai dengan beragai kelainan lain seperti penyakit jantung congenital, kelainan
traktus urinarius dan kelainan traktus gastrointestinal atresi esophagus ataupun fistula
trakeoesofageal ditangani dengan tindakan bedah. Diagnosis ini harus diperhatikan pada
setiap neonates yang mengeluakan banyak mucus dan saliva, dengan atau tanpa tanda-tanda
gangguan pernapasan.
Atresia esophagus (AE) merupakan kelainan congenital yang ditandai dengan tindak
menyambungnya esophagus bagian proksimal dengan esophagus bagian distal. AE dapat
terjadi bersama fistula trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan congenital dimana terjadi
persambungan abnormal antara esophagus dengan trakea.
Atresia Esophagus (AE) merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan
insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran hidup.1 Insidensi AE di
Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4 –
3,6 per 10.000 kelahiran hidup.2 Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam
2500 kelahiran hidup.

B.     Tujuan Penulisan


1.      Tujuan Umum
Mengetahui tentang penyakit Atresia Esophagus pada anak
2.      Tujuan Khusus
Adapun tujuan khusus adalah:
a.       Mengetahui definisi Atresia Esophagus
b.      Mengetahui Etiologi Atresia Esophagus
c.       Mengetahui Manifestasi klinis Atresia Esophagus
d.      Mengetahui Patofisiologi Atresia Esophagus
e.       Mengetahui Komplikasi Atresia Esophagus
f.       Mengetahui Klasifikasi Atresia Esophagus
g.      Mengetahui Diagnosis Atresia Esophagus
h.      Mengetahui Penatalaksanaan Atresia Esophagus
i.        Mengetahui Asuhan Keperawatan Atresia Esophagus  pada anak

BAB II
TINJAUAN TEORI

A.    KONSEP DASAR


1.      Definisi
Atresia berarti buntu, atresia esophagus adalah suatu keadaan tidak adanya lubang atau
muara (buntu), pada esophagus (+). Pada sebagian besar kasus atresia esophagus ujung
esophagus buntu, sedangkan pada 1/4 – 1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah
berhubungan dengan trakea setinggi karina (disebut sebagai atresia esophagus dengan
fistula).
Atresia esophagus adalah sekelompok kelainan congenital yang mencangkup gangguan
kontinuitas esophagus disertai atau tanpa adanya hubungan trakea.
Atresia esoofagus adalah esophagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara
sempurna. Pada atresia esophagus, kerongkongan menyempit atau buntu ; tidak tersambung
dengan lambung. Kebanyakan Bayi yang menderita atresia esophagus juga memiliki fistula
trakeoesofageal (suatu hubungan abnormal antara kerongkongan dan trakea/pipa udara).

2.      Etiologi
Etiologi atresia esophagus merupakan multifaktorial dan masih belum diketahui dengan
jelas. Atresia esophagus merupakan suatu kelainan bawaan pada saluran pencernaan.
Terdapat beberapa jenis atresia, tetapi yang sering ditemukan adalah kerongkongan yang
buntu dan tidak tersambung dengan kerongkongan bagian bawah serta lambung. Atresia
esophagus dan fistula ditemukan pada 2-3 dari 10.000 bayi.
Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui. Terdapat laporan
yang menghubungkan atresia esophagus dalam keluarga.juga dihubunterdapat 2% resiko
apabila saudara telah terkena kelainan ini. Kelainan ini juga dihubungkan dengan trisomi 21,
13, 18.  Angka kejadian pada anak kembar dinyatakan 6x lebih banyak dibanding bukan
kembar.

3.      Manifestasi Klinis


Biasanya timbul setelah bayi berumur 2-3 minggu, yaitu berupa muntah yang proyektil
beberapa saat setelah minum susu ( yang dimuntahkan hanya susu ), bayi tampak selalu haus
dan berat badan sukar naik.
a.       Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan
frekuensi bayi lahir premature, sebaiknya dari anamnesis didapatkan keterangan bahwa
kehamilan ibu disertai hidrmnion hendaknya dilakukan kateterisasi esophagus . bila kateter
berhenti pada jarak < 10 cm, maka diduga artesia esophagus.
b.      Bila pada BBL timbul sesak yang disertai dengan air liur yang meleleh keluar, dicurigai
terdapat atresia esophagus.
c.       Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi cairan
kedalam jalan napas.
d.      Pada fistula trakeaesofagus, cairan lambung juga dapat masuk kedalam paru, oleh karena itu
bayi sering sianosis.
Gejalanya bisa berupa :
a.       Mengeluarkan luda yang sangat banyak
b.      Terbatuk atau tersedak setelah berusaha untuk menelan
c.       Tidak mau menyusu
d.      Sianosis (kulitnya kebiruan)
Adanya fistula menyebabkan ludah bisa masuk kedalam paru-paru sehingga terjadi resiko
terjadinya pneumonia aspirasi.(4)(5)
4.      Patofisiologi
Motilitas dari esophagus selalu dipengaruhi pada atresia esophagus. Gangguan peristaltic
esophagus biasanya paling sering dialami pada bagian esophagus distal. Janin dengan atresia
tidak dapat dengan efektif menelan cairan amnion. Sedangkan pada atresia esophagus dengan
fistula trkeoesofageal distal, cairan amnion masuk melaalui trakea kedalam usus.
Polihydramnion bisa terjadi akibat perubahan dari sirkulasi amnion pada janin. 
Neonates dengan atresia tidak dapat menelan dan akan mengeluarkan banyak sekali  air
liur atau saliva. Aspirasi dari saliva atau air susu dapat menyebabkan aspirasi pneumonia.
Pada atresia dengan distal TEF, sekresi dengan gaster dapat masuk keparu-paru dan
sebaliknya, udara juga dapat bebas masuk dalam saluran pencernaan saat bayi menangis
ataupun mendapat ventilasi bantuan. Keadaan-keadaan ini bisa menyebabkan perforasi akut
gaster yang fatal. Diketahui bahwa bagian esophagus distal tidak menghasilkan peristaltic dan
ini bisa menyebabkan disfagia setelah perbaikan esophagus dan dapat menimbulkan reflux
gastroesofageal.
Trakea juga dipengaruhi akibat gangguan terbentuknya atresia esophagus. Trakea
abnormal, terdiri dari berkurangnya tulang rawan trakea dan bertambahnya ukuran otot
tranversal pada posterior trakea. Dinding trakea lemah sehingga mengganggu kemampuan
bayi untuk batuk yang akan mengarah pada munculnya pneumonia yang bisa berulang-ulang.
Trakea juga dapat kolaps bila diberikan makanana atupun air susu dan ini akan menyebabkan
pernapasan yang tidak efektif, hipoksia atau bahkan bisa menjadi apneo.

5.      Klasifikasi
a.       Kalasia
Chalasia ialah keadaan bagian bawah esophagus yang tidak dapat menutup secara
baik, sehingga menyebabkan regurgitasi, terutama kalau bayi dibaringkan. Pertolongan :
member makanan dalam posisi tegak, yaitu duduk dalam kursi khusus. Kalasia adalah
kelainan yang terjadi pada bagian bawah esophagus (pada persambungan dengan lambung
yang tidak dapat menutup rapat sehingga bayi sering regurgitasi bila dibaringkan.
b.      Akalasia
Ialah kebalikan chalasia yaitu bagian akhir esophagus tidak membuka secara baik,
sehingga  keadaan seperti stenosis atau atresia. Disebut pula  spasmus cardio-oesophagus.
Sebabnya : karena terdapat cartilage trachea yang tumbuh ektopik dalam esophagus bagian
bawah, berbentuk tulang rawan yang  ditemukan secara mikroskopik dalam lapisan otot.
c.       Classification System Gross
Atresia esophagus disertai dengan fistula trakeoesofageal distal adalah tipe yang
paling sering terjadi. Varisi anatomi dari atresia esophagus menggunakan system klasiifikasi
gross of bostom yang sudah popular digunakan.
System ini berisi antara lain:
1)      Tipe A       : Atresia esophagus tanpa fistula ; atresia esophagus murni (10%)
2)      Tipe B       : Atresia esophagus dengan TEF proximal (<1%)
3)      Tipe C       : Atresia esophagus dengan TEF distal (85%)
4)      Tipe D       : Atresia esophagus dengan TEF proximal dan distal (<1%)
5)      Tipe E        : TEF tanpa atresia esophagus ; fistula tipe H (4%)
6)      Tipe F        : Stenosis esophagus congenital tanpa atresia (<1%)

6.      Komplikasi
a.       Komplikasi dini, mencakup
1)      Kebocoran anastomosis
Terjadi 15-20% dari kasus. Penanganan dengan cara dilakukan thoracostomy sambil
suction  terus menerus dan menunggu penyembuhan dan penutupan anastomisis secara
spontan, atau dengan melakukan tindakan bedah darurat untuk menutup kebocoran.
2)      Striktur anastomisis
Terjadi pada 30-40% kasus. Penanganannya ialah dengan melebarkan striktur yang ada
secara endoskopi.
3)      Fistula rekuren
Terjadi pada 5-14% kasus.

b.      Komplikasi lanjut, mencakup :


1)      Reflux gastroesofageal
Terjadi 40% kasus. Penanganannya mencakup medikamentosa dan fundoplication, yaitu
tindakan bedah dimana bagian atas lambung dibungkus ke sekitar bagian bawah esophagus.
2)      Trakeomalasia
Terjadi pada 10% kasus. Penanganannya ialah dengan melakukan manipulasi terhadap
aorta untuk memberika ruangan bagi trakea agar dapat mengembang.

3)      Dismotility Esofagus


Terjadi akibat kontraksi esophagus yang terganggu. Pasien disarankan untuk makan
diselingin dengan minum.

7.      Diagnosis
a.       Anamnesis :
1)      Biasanya disertai dengan hidramnion (60%) dan hal ini pula yang menyebabkan kenaikan
frkuensii bayi bayi yang lahir premature. Sebaiknya bila dari anamnesis didapatkan
keterangan bahwa kehamilan ibu disertai hidramnion, hendaknya dilakukan katerisasi
esophagus dengan kateter no 6-10 F. Bila kateter terhenti pada jarak kurang dari 10 cm, maka
harus diduga terdapat atresia esophagus.
2)      Bila pada bayi baru lahir timbul sesak napas yang disertai dengan air liur yang meleleh ke
luar, harus dicurigai terdapat atresia esophagus.
3)      Segera setelah diberi minum, bayi akan berbangkis, batuk dan sianosis karena aspirasi cairan
kedalam jalan napas.
4)      Perlu dibedakan pada pemeriksaan fisis apakah lambung terisi atau kosong untuk menunjang
atau menyingkirkan terdapatnya fistula trakeo-esofagus.hal ini dapat dilihat pada foto
abdomen.
b.      Pemeriksaan fisis :
Ditemukan gerakan peristaltic lambung dalam usaha melewatkan makanan melalui daerah
yang sempit di pylorus. Teraba tumor pada saat gerakan peristaltic tersebut. Pemeriksaan ini
sebaiknya dilakukan sesaat setelah anak diberi minum.
c.       Pemeriksaan penunjang : Dengan memberikan barium peroral didapatkan gambaran
radiologis yang patognomonik barupa penyempitan pylorus yang relative lebih panjang.
d.      Gambaran Radiologik : Pada barium per os, yang patognomonik pada kelainan ini ialah
penyampitan pylorus yang relative lebih panjang.
e.       Diagnosis lainnya :
1)      Antenatal
Atresia esophagus dapat dicurigai pada USG bila didapati polihidramion pada Ibu,
abdomen yang kecil pada janin, dan pemesaran ujung esophagus bagian atas. Dugaan juga
semakin jelas bila didapati kelainan-kelainan lain yang bekaitan dengan atresia esophagus.
2)      Diagnosis klnis
Bayi dengan sekresi air liur dan ingus yang sering dan banyak harus diasumsikan
menderita atresia esophagus sampai terbkti tidak ada. Diagnosis dibuat dengan memasukkan
kateter/NGT ke dalam mulut, berakir pada sekitar 10 cm dari pangkal gusi. Kegagalan untuk
memasukan kateter ke lambung menandakan adanya atresia esophagus. Ukuran kateter yang
lebih kecil bisa melilit di kantong proximal sehingga bisa membuat kesalahan diagnosis
adanya kontinuitas esophagus. Radiografi dapat membuktikan kepastian bahwa selang tidak
tidak mencapai lambung. Selang tidak boleh dimasukkan dari hidung karena dapat merusak
saluran napas atas. Dalam kedokteran modern, diagnosis dengan  menunggu bayi tersedak
atau batuk pada pemberian makan pertama sekali, tidak disetujui lagi.
3)      Diagnosis Anatomis
Tindakan penanganan tergantung dari variasi anatomi. Penting untuk mengetaui apakah
ada fistula pada satu atau kedua segmen esophagus. Juga penting untuk mengetahui jarak
antara kedua ujung esophagus.
Bila tidak ada fistula distal, pada foto thorax dengan selang yang dimasukkan melalui
mulut akan menunjukan segmen atas esophagus berakhir diatas medistinum. Dari posisi
lateral dapat dilihat adanya fistula dan udara di esophagus distal. Dari percabangan trakea
bisa dilihat letak dari fistula.
Tidak adanya udara atau gas pada abdomen menunjukkan adanya suatu atresia tanpa
disertai fistula atau atresia dengan fistula trrakeosofageal proximal saja. Jika didapati ujung
kantong esophagus proximal, bisa diasumsikan bahwa ini adalah atresia esophagus tanpa
fistula. Adanya udara atau gas pada lambung dan usus menunjukan adanya fistula
trakeoesofageal distal.
Pada bayi dengan H-Fistula (Gross Tipe E) agak berbeda karena esophagus utuh. Anak
dapat menelan, tetapi dapat tersedak dan batuk saat makan. Bila udara keluar daro fistula dan
masuk kesaluran pencernaan akan menimbulkan distensi abdomen, selain itu,  aspirasi
makanan yang berulang akan menyebabkan infekasi saluran pernapasan . diagnosis dapat
diketahui dengan endoskopi atau penggunaan kontras.
4)      Pemeriksaan Laboratorium
a)      Darah Rutin
Terutama untuk mengetahui apabila terjadi suatu infeksi pada saluran pernapasan akibat
aspirasi makanan ataupun cairan.
b)      Elektrolit
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaaan lain yang menyertai.
c)      Analisa Gas Darah Arteri
Untuk mengetahui apabila ada gangguan respiratorik terutama pada bayi.
d)     BUM dan Serum Creatinin
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
e)      Kadar Gula Darah
Untuk mengetahui keadaan abnormal bawaan lain yang menyertai.
5)      Diagnosis Banding
a)      Pilorospasme, yang gejalanya akan hilang setelah anak diberi spasmolitikum
b)      Prolaps mukosa lambung.
Tindakan : anak disiapkan untuk operasi pyloromyotomi cara fredet-ramstedt. Operasi ini
mudah dan memberikan penyembuhan yang memuaskan.

8.      Penatalaksanaan
a.       Tindakan Sebelum Operasi
Atresia esophagus ditangani dengan tindakan bedah. Persiapan operasi untuk bayi
baru lahir mulai umur 1 hari antara lain :
1)      Cairan intravena mengandung glukasa untuk kebutuhan nutrisi bayi.
2)      Pemberian antibiotic broad-spectrum secara intra vena.
3)      Suhu bayi dijaga agar selalu hangat dengan menggunakan incubator, spine dengan posisi
fowler, kepala diangkat sekitar 45o.
4)      NGT dimasukkan secara oral dann dilakukan suction rutin.
5)      Monitor vital signs.
Pada bayi premature dengan kesulitan benapas, diperlukan pehatin khusus. Jelas
diperlukan pemasangan endotracheal tube dan ventilator mekanik. Sebagai tambahan, ada
resiko terjadinya distensi berlebihan ataupun rupture lambung apabila udara respirasi masuk
kedalam lambung melalui fistula karena adanya resistensi pulmonal. Keadaan ini dapat
diminimalisasi dengan memasukkan ujung endotracheal tube sampai kepintu masuk fistula
dan dengan memberikan ventilasi dengan tekanan rendah.
Echochardiography  atau pemerikksaan EKG pada bayi dengan atresia esophagus penting
untuk dilakukan agar segera dapat mengetahui apabila terdapat adanya kelainan
kardiovaskular yang memerlukan penanganan segera.
b.      Tidakan Selama Operasi
Pada umumnya operrasi perbaikan atresia esophagus tidak dianggap sebagai hal yang
darurat. Tetapi satu pengecualian ialah bila bayi premature dengan gangguan respiratorik
yang memerlukan dukungan ventilatorik. Udara pernapasan yang keluar melalui distal fistula
akan menimbulkan distensi lambung yang akan mengganggu fungsi pernapasan. Distensi
lambung yang terus-menerus kemudian bisa menyebabkan rupture dari lambung sehingga
mengakibatkan tension pneumoperitoneum yang akan lebih lagi memperberat fungsi
pernapasan.
Pada keadaan diatas, maka tindakan pilihan yang dianjurkan ialah dengan melakukan
ligasi terhadap fistula trakeaesofageal dan menunda tindakan thoratocomi sampai masalah
ganggua respiratorik pada bayi benr-benar teratasi. Targetnya ialah operasi dilakukan 8-10
hari kemuudian untuk memisahkan fistula dari memperbaiki esophagus.
Pada prnsipnya tindakan operasi dilakukan untuk memperbaiki abnormalitas anatomi.
Tindakan operasi dari atresia esophagus mencakup.
a)      Operasi dilaksanakan dalam general endotracheal anesthesia dengan akses vaskuler yang
baik dan menggunakan ventilator dengan tekanan yang cukup sehingga tidak menybabkan
distensi lambung.
b)      Bronkoskopi pra-operatif berguuna untuk mengidentifikasi dan mengetahui lokasi fistula.
c)      Posisi bayi ditidurkan pada sisi kiri dengan tangan kanan diangkat di depan dada untuk
dilaksanakan right posterolateral thoracotomy. Pada H-fistula, operasi dilakukan melalui
leher karena hanya memisahkan fistula tanpa memperbaiiki esophagus. Esophagus
d)     Operasi dilaksanakan thoracotomy, dimana fistula ditutup dengan cara diikat dan dijahit
kemudian dibuat anastomisis esophageal antara kedua ujung proximal dan distal dan
esofagus.
e)      Pada atresia esofagus dengan fistula trakeoesofageal, hamppir selalu jarak antara esofagus
proksimal dan distal dapat disambung langsung ini disebut dengan primary repairyaitu
apabila jarak kedua ujung esofagus dibawah 2 ruas vertebra. Bila jaraknya 3,6 ruas vertebra,
dilakukan delaved primary repair. Operasi ditunda paling lama 12 minggu, sambil dilakukan
cuction rutin dan pemberian makanan melalui gstrostomy, maka jarak kedua ujung esofagus
akan menyempit kemudian dilakukan primary repair. Apabiila jarak kedua ujung esofagus
lebih dari 6 ruas vertebra, maka dijoba dilakukan tindakan diatas, apabila tidak bisa juga
makaesofagus disambung dengan menggunakan sebagai kolon.

c.       Tindakan Setelah Operasi


Pasca Operasi pasien diventilasi selama 5 hari. Suction harus dilakukan secara rutin.
Selang kateter untuk suction harus ditandai agar tidak masuk terlalu dalam dan mengenai
bekas operasi tempat anastomisis agar tidak menimbulkan kerusakan. Setelah hari ke-3 bisa
dimasukkan NGT untuk pemberian makanan.

B.     KONSEP KEPERAWATAN


1.      Pengkajian
Asuhan keperawatan yang diberikan pada bayi baru lahir adalah berdasarkan tahapan-
tahapan pada proses keperawatan.  tahap pengkajian merupakan tahap awal, disini perawat
mengumpulkan semua imformasi  baik dari klien dengan cara observasi dan dari
keluarganya. Lakukan penkajian bayi baru lahir.observasi manipestasi atresia esophagus dan
fistula. Traekeoesofagus, saliva berlebihan, tersedat, sianosis, apneu.
a.       Sekresi berlebihan , mengalirkan liur konstan,sekresi hidung banyak.
b.      Sianosis intermitten yang tidak diketahui penyebabnya.
c.       Laringaspasme yang disebabkan oleh aspirasi saliva yang terakumulasi dalam kantong
buntu.
d.      Distensi abdominal.
e.       Respon kekerasan setelah menelan makanan yang pertama atau kedua : bayi batuk dan
tersedat saat cairan kembali melalui hidung dan mulut trejadi sianosis.
f.       Bayi sering premetur dan kehamilan munkun terkomplikasi oleh hydra amniaon (cairan
amniotic berlebihan dalam kantong ).

2.      Diagnosa Keperawatan


Masalah keperawatan yang munkin timbul pada klien dengan atersia esophagus
a.       Bersihan jalan napas tidak epektif.
b.      Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh.
c.       kesulitan menelan.

3.      Intervensi Keperawatan


a.       Intervensi terapeutik
1)      Pengobatan segera terdiri dari penyokongan bayi pada sudut 30 derajat untuk mencegah
refluks isi lambung : pengisapan kantong esophagus atas dengan selang replogleatau drai
penampung; gastrostomi untuk mendekompresi lambung dan mencegah aspirasi ( selanjutnya
digunakan untuk pemberian makan ) puasa, cairan diberikan IV.
2)      pengobatan secaa tepat terhadap proses patoogis pennerta,seperti pneumonitis atau gagal
jantung kongestif.
3)      terapi pendukung meliputi pemenuhan kebutuhan nutrisi, cairan IV,antibiotic, dukungan
pernapasa, dan mempertahankan lingkungan netral secara termal.
b.      Intervensi pembedahan
1)      Perbaikan primer segera: pembagian fistula diikuti oleh anatomisis esophagus segmen
proksimal dan disal bila berat  bayi lebih dari 2000g dan tanpa pneumonia.
2)      Perlambatan jangka pendek (perbaiakan primer lanjut): untuk menstabilkan bayi dan
mencegah penyimpangan bila bayi tidak dapat mentoleransi pembedahan dengan segera.
3)      Pentahapan:pada awalnya, pembagian fistula dan  gastrotomi dilakukan dengan anastomisis
esophagus sekunder lanjut. Pendkatan dapat digunakan pad bayi yang masih sanhat kecil,
prematr atau neonatus, yang sakit, atu bila anomal congenital berat.
4)      Esofagomiotomi servikal ( lubang buatan pada leher yang memungkinkan drainase
esophagus bagian atas ) dapat dialakukan bila ujung esofagus terpisah terlau jauh:
pengggantian esophagus dengansegmen usus pada usia 18 sampai 24 bulan.
c.       Nutrisi kurang dari kebutuhan
Intervensi
1)      pada praoperasi waspada terhadap indikasi gawat napas: retrasi, sianosissirkomoral, gelisa,
pernapasan cuping hidung, peningkatan frekuensi pernapasan dan jantung.
2)      Pantau tanda –tanda vital dengan sering terhadap perubahan pedatekanan darhdan nadi, yang
dapat mengidikasikan dehidrasi atau kelebihan beban volume cairan.
3)      Catat masukan dan haluaran, termasuk drainase lambung (bila selang gastrotomiuntuk
dekomensasi terpasang)
4)      Pantau terhadap distensi abdomen.
5)      pantau terhadap tanda gejala yang dapat menunjukkan anomaly congenital tambahan atau
komplikasi.
6)      pada pasca operasi,kaji adanya kebocoran pada anastomisis yang menyebapkan mediastinitis
dan pneumotoraks perhatikan saliva dalam selang dada, hipotermia dan hipertermia, gawat
napas berat, sianosis, gelisah, nadi lemah.
7)      Lanjutkan untuk memantau komplikasi selama proses pemulihan :
a)      Stritur pada anastomisis : kesulitan menelan, muntah atau memuntahkan kembali cairan yang
diminum,menolak makan,demam(terjadi setelah aspirasi dan pneumonia)
b)      Fistula berulang : batuk,tersedak, dan sianosis yang dikaitkan dengan distensi abnormal:
episode berulang pneumonia : kondisi umum buruk (tidak ada penambahan berat badan)
c)      Atelektasis atau pneumonitis :aspirasi dan gawat napas.
d.      Bersihan jalan napas tidak efektif
Intervensi
1)      Posisi bayi dengan kepala ditinggikan 20 sampai 30 derajat untuk mencegah atau
mengurangi refluks asam lambung kedalam percabangan trakeobronkial. Balik bayi dengan
sering untuk mencegah atelektasis dan pneumonia.
2)      Lakukan pengisapan nasofaring intermitten atau pertahankan selang lumen ganda atau selang
penampung dengan pengisapan konstan untuk mengeluarkan sekresi dari kantung buntu
esophagus :
a)      Jamin bahwa selang indwelling tetap paten, diganti sesuai kebutuhan, sedikitnya sekaliu
setiap 12 sampai 24 jam lubang hidung yang digunakan harus bergantian. Cegah nekrosis
lubang hidung dari tekanan oleh kateter
b)      Isap mulut untuk mempertahankan bebas sekresi dan mencegah aspirasi.
3)      Bila gastrotomi ditempatkan sebelum pembedahan definitive, pertahankan selang yang
mengalir sesuai gravitasi, dan jangan mengirigasi sebelum pembedahan.
4)      Tempatkan bayi dalam isolette atau dibawah penghangat radian dengan humiditas tinggi.
5)      Bantu dalam mengencerkan sekresi dan mucus yang kental.
6)      Pertahkan suhu bayi dalam zona termoneutral dan jamin isolasi lingkungan untuk
mengcegah infeksi.
7)      Berikan oksigen sesuai kebutuhan
8)      pertahankan puasa dan berikan cairan parenteral dan elektrolit sesuai ketentuan,untuk
mencegah dehidrasi
9)      Sediakan dan kenali kebutuhan untuk prawatan kedaruratan atau resusitasi.
10)  Jelaskan prosedur dan kejadian penting pada orang tua segera mungkin orientasikan merka
pada lingkungan RS dan ruang perwwatan tertentu.
11)  Biarkan keluarga menggendong dan membantu merawat bayi.
12)  Berikan ketenangan dan dorongan keluarga dengan sering, berikan dukungan tambahan
melalui pekerja sosial,rohaniawan, konselor, sesuaikebutuhan.
e.       Kesulitan menelan
1)      Perhatikan kepatenan jalan nafas, isap dengan sering sedikitnya setiap 1 sampai 2 jam,
mungkin diperlukan setiap 5 sampai 10 menit.
a)      Minta ahli bedah untuk menandai keteter pengisap untuk menunjukan seberapa jauh keteter
dapat dimasukkan dengan aman tanpa mengganggu anastomosis.
b)      Observasi terhadap tanda   sumbatan jalan nafas.
2)      Berikan fisioterapi dada sesuai ketentuan
a)      Ubah posisi bayi dengan membalik, rangsang supaya menangis untuk meningkatkan
pengembangan penuh paru.
b)      Tinggikan kepala dan bahu 20 sampai 30 derajat
c)      Gunakan vibrator mekanis 2 sampai 3 hari pada pascaoperasi (untuk meminimalkan trauma
pada anastomosis), diikuti dengan lebih banyak terapi fisik dada keras setelah hari ketiga.
3)      Lanjutkan penggunaan Isolette atau penghangat radian dengan kelembaban.
4)      Lanjutkan dengan penyediaan alat kedaruratan , termasuk mesin pengisap, keteter, oksigen,
laringoskop, selang endotrakeal dalam berbagai ukuran.
5)      Berikan lanjitan IV sampai pemberian gastrostomi dapat dimulai.
6)      Mulai pemberian makan gastrostomi segera setelah diprogramkan karena nutrisi adekuat
adalah factor penting dalam penyembuhan.
a)      Gastrostomi secara umum diletakkan pada drainase gravitasi selama 3 hari pascaoperasi,
kemudian tinggikan dan biarkan terbuka untuk memungkinkan udara keluar dan penyaluran
sekresi lambung ke dalam dupdenum sewaktu sebelum pemberian makan dimulai.
b)      Berikan bayi dot untuk mengisap selama pemberian makan, kecuali dikontraindikasikan.
c)      Cegah udara memasuki lambung dan menyebabkan distensi lambung dan kemungkinan
refluks.
d)     Lanjutkan pemberian makan gastrostomi sampai bayi mentoleransi makan secara oral penuh.
7)      Pertahankan kepatenan drainase dada.
8)      Bila bayi telah mengalami esofagostomi servikal:
a)      Pertahankan area bersih dari saliva dan tempatkan bantalan penyerap diatas area.
b)      Sesegera mungkin, biarkan anak mengisap beberapa milliliter susu bersamaan dengan
pemberian makan secara gastrostomi.
c)      Tingkatkan anak untuk makan padat bila tepat jika esofagostomi dipertahankan selama
beberapa bulan.
9)      Mulai pemberian makan oral 10 sampai 14 hari setelah anastomosis.
10)  Coba untuk membuat saat makan adalah saat yang menyenangkan pada bayi. Gunakan
pendekatan dan kesabaran konsisten.
11)  Anjurkan orang tua untuk menimang dan berbicara pada bayi.
12)  Berikan stimulasi visual, audiotorius dan taktil yang tepat untuk kondisi fisik dan usia bayi.
13)  Bantu untuk mengembangkan hubungan yang sehat antara orang tua anak melalui kunjungan
fleksibel.

4.      Evaluasi Keperwatan


Pada tahap ini perawat menkaji kembali hal-hal perhan  dilakukan, berdasarkan pada
criteria hasil yang telah ditetapkan.  Apabila masih terdapat masalah – masalah klien yang
belum teratasi, perawat hendaknya menkaji kembali hal –hal yang berkenaan dengan masalah
tersebut dan kembali melakukan intrvensi keperawatan. Sebaliknya bila masalah klin telah
teratasi maka prlu dilakukan pengawasan dan  pengontrolan yang teratur untuk mencegah
timbulnya serangan atau gejala – gejala yang memicu terjadinya serangan.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Atresia esophagus adalah sekelompok kelainan congenital yang mencangkup gangguan
kontinuitas esophagus disertai atau tanpa adanya hubungan trakea. Atresia esoofagus adalah
esophagus (kerongkongan) yang tidak terbentuk secara sempurna. Pada atresia esophagus,
kerongkongan menyempit atau buntu ; tidak tersambung dengan lambung. Kebanyakan Bayi
yang menderita atresia esophagus juga memiliki fistula trakeoesofageal (suatu hubungan
abnormal antara kerongkongan dan trakea/pipa udara).
Klasifikasi atresia esophagus : Atresia Esofagus dengan fistula trakheooesophageal distal (
86% Vogt 111.grossC) , Atresia erofagus dengan fistula trakeoesofagus proksimal (2%Vogt
III & Gross B), Fistula trakheo esofagus tanpa atresia ( 4 %, Groos E), Atresia Esofagus
terisolasi tanpa fistula ( 7%, Vogg II, Gross A), dan Atresia esofagus dengan fistula trakheo
esofagus distal dan proksimal (< 1% Vogt   IIIa, Gross D).

B.     Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan atresia esofagus
perawat harus mengerti konsep dasar dan konsep keperawatan untuk kesembuhan pasien
yang optimal.
DAFTAR FUSTAKA

Ngastiyah. Perawatan anak sakit. Buku kedokteran. EGC,1997. Jakarta


Sylvia A price, Lorraine m Wilson. Patofisiologi. Buku kedokteran, 
EGC, 1997, Jakarta
Ronna L Wong. Keperawatan pediatric.Buku kedokteran, EGC.2003. Jakarta
Robbins dan kumar.Patologi .Fakultas kedoteran. Universitas  Aerlangga, Edisi 4, EGC, 1995,
Jakarta
Ilmu kesehatan anak. Fakultas Kedokteran. EGC.1995. Jakata
Bagikan Keteman Lewat:

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang


Atresia esophagus merupakan suatu kelainan kongenital yang penyebabnya tidak diketahui
secara pasti tetapi biasanya ditemukan pada riwayat kehamilan dengan adanya hidramnion.
Ditemukan angka
kejadian dari atresia esophagus 1 banding 200 dari 5000 kelahiran hidup.

Saat mahasiswa praktek di ruang PBRT didapatkan bayi yang dicurigai adanya atresia esophagus
karena terdapat data-data yang mendukung terjadinya atresia esophagus. Karena kejadian ini
merupakan kejadian yang jarang ditemui, karena itu mahasiswa tertarik untuk melakukan asuhan
keperawatan pada bayi dengan atresia esophagus.

B.     Tujuan
         Tujuan umum:
Mahasiswa dapat memberikan asuhan keperawatan pada bayi dengan atresia esophagus.
         Tujuan khusus:
a.       Mahasiswa dapat mejelaskan pengertian dari atresia esophagus.
b.      Mahasiswa dapat menjelaskan penyebab dari atresia esophagus
c.       Mahasiswa dapat mejelaskan patofisiologi dari atresia esophagus.
d.      Mahasiswa dapat mejelaskan tanda dan gejala atresia esophagus
e.       Mahasiswa dapat melakukan pengkajian dari atresia esophagus
f.       Mahasiswa dapat melakukan analisa data dari atresia esophagus
g.      Mahasiswa dapat melakukan diagnosa keperawatan dari atresia esophagus
h.      Mahasiswa dapat melakukan rencana keperawatan dari atresia esophagus
i.        Mahasiswa dapat melakukan implementasi serta evaluasi dari atresia esophagus

BAB II
TINJAUAN TEORI 

A.     Pengertian
Intususepsi adalah invaginasi atau masuknya bagian usus ke dalam perbatasan atau bagian yang
lebih distal dari usus (umumnya, invaginasi ileum masuk ke dalam kolon desendens).  (Nettina, 2002)
Suatu intususepsi terjadi bila sebagian saluran cerna terdorong sedemikian rupa sehingga sebagian
darinya akan menutupi sebagian lainnya hingga seluruhnya mengecil atau memendek ke dalam
suatu segmen yang terletak di sebelah kaudal. (Nelson, 1999)

B.     Etiologi
Penyebab dari kebanyakan intususepsi tidak diketahui. Terdapat hubungan dengan infeksi – infeksi
virus adeno dan keadaan tersebut dapat mempersulit gastroenteritis. Bercak – bercak peyeri yang
banyak terdapat di dalam ileum mungkin berhubungan dengan keadaan tersebut, bercak jaringan
limfoid yang membengkak dapat merangsang timbulnya gerakan peristaltic usus dalam upaya untuk
mengeluarkan massa tersebut sehingga menyebabkan intususepsi.  Pada puncak insidens penyakit
ini, saluran cerna bayi juga mulai diperkenalkan dengan bermacam bahan baru. Pada sekitar 5%
penderita  dapat ditemukan penyebab – penyebab yang dikenali, seperti divertikulum meckeli
terbalik, suatu polip usus, duplikasi atau limfosarkoma. Secara jarang, keadaan ini akan mempersulit
purpura Henoch – Schonlein dengan sutau hematom intramural yang bertindak sebagai puncak dari
intususepsi. Suatu intususepsi pasca pembedahan jarang dapat didiagnosis, intususepsi – intususepsi
ini bersifat iloileal.

C.     Patofisiologi dan Pathways


Kebanyakan intususepsi adalah ileokolik dan ileoileokolik, sedikit sekokolik dan jarang hanya ileal.
Secara jarang, suatu intususepsi apendiks membentuk puncak dari lesi tersebut. Bagian atas usus,
intususeptum, berinvaginasi ke dalam usus di bawahnya, intususipiens sambil menarik mesentrium
bersamanya ke dalam ansa usus pembungkusnya. Pada mulanya terdapat suatu konstriksi
mesentrium sehingga menghalangi aliran darah balik. Penyumbatan intususeptium terjadi akibat
edema dan perdarahan mukosa yang menghasilkan tinja berdarah, kadang – kadang mengandung
lendir. Puncak dari intususepsi dapat terbentang hingga kolon tranversum desendens dan sigmoid
bahkan ke anus pada kasus – kasus yang terlantar. Setelah suatu intususepsi idiopatis dilepaskan,
maka bagian usus yang memebentuk puncaknya tampak edema dan menebal, sering disertai suatu
lekukan pada permukaan serosa yang menggambarkan asal dari kerusakan tersebut. Kebanyakan
intususepsi tidak menimbulkan strangulasi usus dalam 24 jam pertama, tetapi selanjutnya dapat
mengakibatkan gangren usus dan syok.
                                   
D.     Manifestasi Klinik
Umumnya bayi dalam keadaan sehat dan gizi baik. Pada tahap awal muncul gejala strangulasi
berupa nyeri perut hebat yang tiba – tiba. Bayi menangis kesakitan saat serangan dan kembali
normal di antara serangan. Terdapat muntah berisi makanan/minuman yang masuk dan keluarnya
darah bercampur lendir (red currant jelly) per rektum. Pada palpasi abdomen dapat teraba massa
yang umumnya berbentuk seperti pisang (silindris).
Dalam keadaan lanjut muncul tanda obstruksi usus, yaitu distensi abdomen dan muntah hijau
fekal, sedangkan massa intraabdomen sulit teraba lagi. Bila invaginasi panjang hingga ke daerah
rektum, pada pemeriksaan colok dubur mungkin teraba ujung invaginat seperti porsio uterus,
disebut pseudoporsio. Pada sarung tangan terdapat lendir dan darah.

E.      Pemeriksaan Penunjang


1.       Foto polos abdomen memperlihatkan kepadatan seperti suatu massa di tempat intususepsi.
2.       Foto setelah pemberian enema barium memperlihatkan gagguan pengisisan atau pembentukan
cekungan pada ujung barium ketika bergerak maju dan dihalangi oleh intususepsi tersebut.
3.       Plat datar dari abdomen menunjukkan pola yang bertingkat (invaginasi tampak seperti anak tangga).
4.       Barium enema di bawah fluoroskopi menunjukkan tampilan coiled spring pada usus.
5.                                          Ultrasonogram dapat dilakukan untuk melokalisir area usus yang masuk.
F.      Prinsip pengobatan dan managemen keperawatan
1.       Penurunan dari intususepsi dapat dilakukan dengan suntikan salin, udara atau barium ke dalam
kolon. Metode ini tidak sering dikerjakan selama terdapat suatu resiko perforasi, walaupun demikian
kecil, dan tidak terdapat jaminan dari penurunan yang berhasil.
2.                  Reduksi bedah :
a.       Perawatan prabedah:
         Rutin

         Tuba naso gastrik


         Koreksi dehidrasi (jika ada)
b.       Reduksi intususepsi dengan penglihatan langsung, menjaga usus hangat dengan salin hangat. Ini
juga membantu penurunan edema.
c.       Plasma intravena harus dapat diperoleh pada kasus kolaps.
d.      Jika intususepsi tidak dapat direduksi, maka diperlukan reseksi dan anastomosis primer.
3.                  Penatalaksanaan pasca bedah:
a.       Rutin
b.       Perawatan inkubator untuk bayi yang kecil
c.       Pemberian oksigen
d.      Dilanjutkannya cairan intravena
e.       Antibiotika
f.        Jika dilanjutkannya suatu ileostomi, drainase penyedotan dikenakan pada tuba ileostomi hingga
kelanjutan dari lambung dipulihkan.
g.       Observasi fungsi vital

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
1.       Pengkajian
a.     Pengkajian fisik secara umum
b.     Riwayat kesehatan
c.      Observasi pola feses dan tingkah laku sebelum dan sesudah operasi
d.      Observasi tingkah laku anak/bayi
e.      Observasi manifestasi terjadi intususepsi:
        Nyeri abdomen paroksismal
        Anak menjerit dan melipat lutut ke arah dada
        Anak kelihatan normal dan nyaman selama interval diantara episode nyeri
        Muntah
        Letargi
        Feses seperti jeli kismis mengandung darah dan mucus, tes hemocculi positif.
        Feses tidak ada meningkat
        Distensi abdomen dan nyeri tekan
        Massa terpalpasi yang seperti sosis di abdomen
        Anus yang terlihat tidak biasa, dapat tampak seperti prolaps rectal.
        Dehidrasi dan demam sampai kenaikan 41 0C
        Keadaan seperti syok dengan nadi cepat, pucat dan keringat banyak
f.                                    Observasi manifestasi intususepsi yang kronis
        Diare
        Anoreksia
        Kehilangan berat badan
        Kadang – kadang muntah
        Nyeri yang periodic
        Nyeri tanpa gejala lain
g.       Kaji dengan prosedur diagnostik dan tes seperti pemeriksaan foto polos abdomen, barium enema
dan ultrasonogram
2.       Masalah Keperawatan
1.                                          Nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
2.       Syok hipolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi cairan dan elektrolit dalam
lumen.
3.       Ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang asing.
4.       Inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.
5.       Nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
3.       Perencanaan
a.                                   Preoperasi
       Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan invaginasi usus.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi yang dirasakan anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada  nyeri atau ketidaknyamanan yang
minimum.
Intervensi:
        Observasi perilaku bayi sebagai indikator nyeri, dapat peka rangsang dan sangat sensitif untuk
perawatan atau letargi atau tidak responsive.
        Perlakuan bayi dengan sangat lembut.
        Jelaskan penyebab nyeri dan yakinkan orangtua tentang tujuan tes diagnostik dan pengobatan.
        Yakinkan anak bahwa analgesik yang diberikan akan mengurangi rasa nyeri yang dirasakan.
        Jelaskan tentang intususepsi dan reduksi hidrostatik usus yang dapat mengurangi intususepsi.
        Jelaskan resiko terjadinya nyeri yang berulang.
        Kolaborasi: berikan analgesik untuk mengurangi rasa nyeri.
       Diagnosa keperawatan: syok hipovolemik berhubungan dengan muntah, perdarahan dan akumulasi
cairan dan elektrolit      dalam lumen.
Tujuan: volume sirkulasi (keseimbangan cairan dan elektrolit) dapat dipertahankan.
Kriteria Hasil: tanda – tanda syok hipovolemik tidak terjadi.
Intervensi:
        Pantau tanda vital, catat adanya hipotensi, takikardi, takipnea, demam.
      Pantau masukan dan haluaran.
        Perhatikan adanya mendengkur atau pernafasan cepat dan dangkal jika berada pada keadaan syok.
        Pantau frekuensi nadi dengan cernat dan ketahui rentang nadi yang tepat untuk usia anak.
      Laporkan adanya takikardi yang mengindikasikan syok.
        Kurangi suhu karena demam meningkatkan metabolisme dan membuat oksigenasi selama anestesi
menjadi lebih sulit.
      Kolaborasi:
Lakukan pemeriksaan laboratorium: Hb/Ht, elektrolit, protein, albumin, BUN, kreatinin.
Berikan plasma/darah, cairan, elektrolit, diuretic sesuai indikasi untuk memelihara volume darah
sirkulasi.
       Diagnosa keperawatan: ansietas berhubungan dengan kurangnya pengetahuan, lingkungan yang
asing.
Tujuan: rasa cemas pada anak dapat berkurang
Kriteria hasil: anak dapat beristirahat dengan tenang dan melakukan prosedur tanpa cemas.

Intervensi:
        Beri pendidikan kesehatan sebelum dilakukan operasi untuk mengurangi rasa cemas.
        Orientasikan klien dengan lingkungan yang masih asing.
        Pertahankan ada orang yang selalu menemani klien untuk meningkatkan rasa aman.
        Jelaskan alasan dilakukan tindakan pembedahan.
        Jelaskan semua prosedur pembedahan yang akan dilakukan.

b.                                   Post operasi


       Diagnosa keperawatan: nyeri berhubungan dengan insisi pembedahan.
Tujuan: berkurangnya rasa nyeri sesuai dengan toleransi pada anak.
Kriteria Hasil: anak menunjukkan tanda – tanda tidak ada nyeri atau ketidaknyamanan yang
minimum.
Intervensi:
                                                        Hindarkan palpasi area operasi jika tidak diperlukan.
        Masukkan selang rektal jika diindikasikan, untuk membebaskan udara.
        Dorong untuk buang air untuk mencegah distensi vesika urinaria.
        Berikan perawatan mulut untuk memberikan rasa nyaman.
        Lubrikasi lubang hidung untuk mengurangi iritasi.
        Berikan posisi yang nyaman pada anak jika tidak ada kontraindikasi.
        Kolaborasi:
Berikan analgesi untuk mengatasi rasa nyeri.
Berikan antiemetik sesuai pesanan untuk rasa mual dan muntah.
       Diagnosa keparawatan: inefektif termoregulasi berhubungan dengan proses inflamasi, demam.
Tujuan: termoregulasi tubuh anak normal.
Kriteria Hasil: tidak ada tanda – tanda kenaikan suhu.
Intervensi:
        Gunakan tindakan pendinginan untuk mengurangi demam, sebaiknya 1 jam setelah pemberian
antipiretik.
                                Meningkatkan sirkulasi udara.
                                Mengurangi temperatur lingkungan.
                                Menggunakan pakaian yang ringan / tipis.
                                Paparkan kulit terhadap udara.
                                Gunakan kompres dingin pada kulit.
        Cegah terjadi kedinginan, bila anak menggigil tambahkan pakaian.
        Monitor temperatur.
        Kolaborasi: berikan antipiretik sesuai dengan berat badan bayi.

4.       Evaluasi
                                                  Nyeri pada abdomen dapat berkurang
b.       Syok hipovolemik dapat teratasi dengan segera melakukan koreksi terhadap keseimbangan cairan
dan elektrolit.
c.       Obstrusi usus dapat teratasi untuk memperbaiki kelangsungan dan fungsi usus kembali normal.
PATHWAYS INTUSUSEPSI

BAB IV

PENUTUP 
A.     Kesimpulan
Berbagai gangguan yang terdapat pada saluran pencernaan bayi dan anak salah satunya adalah
adanya obstruksi pada usus dan hal ini mencakup mekanik maupun paralitik. Sedangkan intususepsi
merupakan salah satu bentuk gangguan obstruksi usus yang sifatnya mekanik.
Intususepsi merupakan gangguan saluran pancernaan yang dimanifestasikan dengan terjadinya
invaginasi usus ke dalam bagian usus di bawahnya. Masalah yang utama muncul yaitu terjadinya
rasa nyeri abdomen yang paroksismal. Serta terjadinya gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit
hingga terjadi syok hipovolemik.
B.     Saran
Dalam memberikan perawatan kepada bayi atau anak dengan gangguan saluran pencernaan
obstruksi usus mekanik ini yaitu intususepsi harus diperhatikan ancaman yang dapat muncul selain
rasa nyeri yaitu resiko terjadinya syok yang dapat menyebabkan kematian. Sehingga tenaga
kesehatan harus benar – benar memperhatikan tanda – tanda yang mengarah ke arah syok.

DAFTAR PUSTAKA
Staf Pengajar Ilmu kesehatan masyarakat. Ilmu kesehatan anak. Jakarta: Ilmu Kesehatan Anak
Fakultas Kedokteran UI, 1985

Pilliteri, Adele. Child health nursing, care of the child and family, Los Angeles California, Lippincott,
1999

Wong, Donna L, Marilyn Hockenberry- Eaton, Wilson- Winkelstein, Wong’s essentials of pediatric
nursing, America, Mosby, 2001

Nettina, Sandra M. Pedoman Praktik Keperawatan. Alih bahasa Setiawan,dkk. Jakarta, 2001

Wong, Donna L. Wong and Whaley’s clinical Manual Of Pediatric Nursing. St. Louis Nissori: Mosby,
1996

Read more: http://belajaraskep.blogspot.com/2011/05/asuhan-keperawatan-anak-


atresia.html#ixzz4HgsVn4vR

Anda mungkin juga menyukai