PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Istilah atresia ani berasal dari bahasa Yunani yaitu “ a “ yang artinya tidak ada dan
trepsis yang berarti makanan dan nutrisi. Dalam istilah kedokteran, atresia ani adalah suatu
keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang yang normal. Atresia ani merupakan kelainan
bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran anus (Donna, 2003).
Atresia ani umumnya diketahui pada pemeriksaan fisik yang pertama kali dilakukan
ketika bayi lahir. Dokter akan memeriksa seluruh bagian tubuh bayi baru lahir, dari kepala
sampai dengan kaki. Bila ditemukan atresia ani, dokter kemudian akan memastikan apakah
ada jenis kelainan lain yang juga dialami oleh bayi.
Atresia ani atau disebut juga anus imperforata adalah salah satu jenis cacat lahir yang
terjadi saat usia kehamilan mencapai 5-7 minggu, di mana perkembangan bentuk rektum
(bagian akhir usus besar) sampai lubang anus tidak sempurna. Kondisi ini merupakan kondisi
serius yang perlu ditangani segera dengan operasi.
Pada kondisi normal, lubang anus, saluran kemih, dan kelamin janin terbentuk pada usia
kehamilan tujuh hingga delapan minggu melalui proses pembelahan dan pemisahan dinding-
dinding pencernaan janin. Gangguan pada masa perkembangan janin inilah yang akan
menyebabkan atresia ani.
Penyebab di balik gangguan perkembangan tersebut belum diketahui secara pasti. Para
pakar menduga bahwa terdapat keterlibatan faktor keturunan atau genetika di balik terjadinya
cacat lahir ini.
Atresia Ani rata-rata terjadi 1 dari 5000 kelahiran, yang kebanyakan terjadi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Di Amerika Serikat 600 anak lahir dengan atresia
ani. Dari data yang didapatkan, kejadian atresia ani timbul dengan perbandingan 1 dari 5000
kelahiran (Walker, 1996). Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir.
Frekuensi seluruh kejadian kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran.
Sedangkan atresia ani didapatkan 1% dari seluruh kelainan kongenital pada neonatus dan
dapat muncul sebagai penyakit tersering. Jumlah pasien dengan kasus atresia ani pada laki-
laki lebih banyak ditemukan dari pada pasien perempuan.
1
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup dengan sedikit
lebih banyak terjadi pada laki-laki. 20%-75% bayi yang menderita atresia ani juga menderita
anomaly lain. Kejadian tersering pada anak laki-laki dan perempuan adalah anus imperforate
dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan
(Alpers, 2006). Angka kejadian kasus di Indonesia sekitar 90%. Berdasarkan dari data, kasus
atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah, khususnya Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun
2007-2009.
B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari Atresia Ani?
2. Bagaimana persebaran Atresia Ani di dunia?
3. Apa penyebab dari Atresia Ani?
4. Apa saja klasifikasi dari Atresia Ani?
5. Apa saja manifestasi klinis dari Atresia Ani?
6. Bagaimana patofisiologi dari Atresia Ani?
7. Apasaja komplikasi yang mungkin diderita pasien Atresia Ani?
8. Apasaja pemeriksaan penunjang pada pasien Atresia Ani?
9. Apasaja penatalaksanaan medis pada pasien Atresia Ani?
10. Apasaja asuhan keperawatan yang harus ditegakkan pada Atresia Ani?
C. Tujuan
2
D. Manfaat
Setelah membaca laporan makalah ini, diharapkan pembaca mampu memahami segala
sesuatu tentang penyakit Atresia Ani dan menemukan langkah terbaik dalam penangan
terhadap pasien Atresia Ani.
3
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani yaitu ‘a’ yang
berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau nutrisi”. Dalam istilah kedokteran,
“atresia” berarti suatu keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia
ani memiliki nama lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus imperforata meliputi
anus, rektum, atau batas di antara keduanya (Betz, 2002).
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital), tidak adanya lubang atau saluran
anus (Donna, 2003).
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada distal anus atau
tertutupnya anus secara abnormal (Suradi, 2001).
Atresia ani atau anus imperforata adalah tidak terjadinya perforasi membran yang
memisahkan bagian endoterm mengakibatkan pembentukan lubang anus yang tidak sempurna.
Anus tampak rata atau sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum (Purwanto, 2001).
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak sempurna,
termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia rektum. Insiden 1:5000
kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial,
Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla, 2009).
Dapat simpulkan bahwa, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau
anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak
berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa kehamilan.
B. Epidemiologi
Angka kejadian rata-rata malformasi anorektal di seluruh dunia adalah 1 dalam 5000
kelahiran ( Grosfeld J, 2006). Secara umum, atresia ani lebih banyak ditemukan pada laki-laki
daripada perempuan. Fistula rektouretra merupakan kelainan yang paling banyak ditemui pada
4
bayi laki-laki, diikuti oleh fistula perineal. Sedangkan pada bayi perempuan, jenis atresia ani
yang paling banyak ditemui adalah fistula rektovestibular dan fistula perineal (Oldham K,
2005).
Atresia Ani rata-rata terjadi 1 dari 5000 kelahiran, yang kebanyakan terjadi pada anak
laki-laki dibandingkan anak perempuan. Di Amerika Serikat 600 anak lahir dengan atresia ani.
Data yang didapatkan kejadian atresia ani timbul dengan perbandingan 1 dari 5000 kelahiran
(Walker, 1996). Atresia ani paling sering terjadi pada bayi yang baru lahir. Frekuensi seluruh
kejadian kongenital anorektal didapatkan 1 dari tiap 5000-10000 kelahiran. Sedangkan atresia
ani didapatkan 1% dari seluruh kelainan kongenital pada neonates dan dapat muncul sebagai
penyakit tersering.
Insiden terjadinya atresia ani berkisar dari 1500-5000 kelahiran hidup. 20%-75% bayi
yang menderita atresia ani juga menderita anomaly lain. Kejadian tersering pada anak laki-
laki dan perempuan adalah anus imperforate dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-
laki dan vestibulum vagina pada perempuan (Alpers, 2006). Angka kejadian kasus di
Indonesia sekitar 90%. Berdasarkan dari data, kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah,
khususnya Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009.
C. Etiologi
5
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain juga beresiko
untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
5) Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya adalah komponen
genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko malformasi meningkat pada bayi
yang memiliki saudara dengan kelainan atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran,
dibandingkan dengan populasi umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga
menunjukkan adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari bermacam-
macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau dengan kata lain etiologi
atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Faktor Predisposisi
Atresia ani dapat terjadi disertai dengan beberapa kelainan kongenital saat lahir, seperti :
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis kelainan yang paling
banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh
tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect.
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi
duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral
seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan
kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan
teratoma intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada atresia ani.
Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan atresia ani letak
tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%.
Kelainan tersebut dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan VACTERL
6
(Vertebrae, Anorectal, Cardiovascular, Tracheoesophageal, Renal and Limb
abnormality) ( Oldham K, 2005).
D. Klasifikasi
Menurut klasifikasi Wingspread (1984) yang dikutip Hamami, atresia ani dibagi 2
golongan yang dikelompokkan menurut jenis kelamin. Pada laki – laki golongan I dibagi
menjadi 5 kelainan yaitu kelainan fistel urin, atresia rektum, perineum datar, fistel tidak ada
dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada laki – laki dibagi 5 kelainan
yaitu kelainan fistel perineum, membran anal, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit. Sedangkan pada perempuan golongan I dibagi menjadi
6 kelainan yaitu kelainan kloaka, fistel vagina, fistel rektovestibular, atresia rektum, fistel
tidak ada dan pada invertogram: udara > 1 cm dari kulit. Golongan II pada perempuan dibagi
4 kelainan yaitu kelainan fistel perineum, stenosis anus, fistel tidak ada. dan pada
invertogram: udara < 1 cm dari kulit (Hamami A.H, 2004).
E. Manifestasi Klinik
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat defekasi
mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering ditemukan
fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses keluar dari (vagina) dan
7
jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius. Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi
fistula rektourinarius dan berakhir di kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal.
Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)
Atresia ani sangat bervariasi, mulai dari atresia ani letak rendah dimana rectum berada
pada lokasi yang normal tapi terlalu sempit sehingga feses bayi tidak dapat melaluinya,
malformasi anorektal intermedia dimana ujung dari rektum dekat ke uretra dan malformasi
anorektal letak tinggi dimana anus sama sekali tidak ada (Departement of Surgery University
of Michigan, 2009). Sebagian besar bayi dengan atresia ani memiliki satu atau lebih
abnormalitas yang mengenai sistem lain. Insidennya berkisar antara 50% - 60%. Makin tinggi
letak abnormalitas berhubungan dengan malformasi yang lebih sering. Kebanyakan dari
kelainan itu ditemukan secara kebetulan, akan tetapi beberapa diantaranya dapat mengancam
nyawa seperti kelainan kardiovaskuler (Grosfeld J, 2006).
F. Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal secara komplit
karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus dari tonjolan embrionik, sehingga
anus dan rektum berkembang dari embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian
belakang berkembang menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur
anorektal. Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal. Terjadi
atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur kolon antara 7-10
minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi dapat juga karena kegagalan dalam
agenesis sakral dan abnormalitas pada uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar
yang keluar melalui anus sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga
intestinal mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur,
sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan
embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini
mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya.
Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga
terjadi asidosis hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
8
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan fistula ke vagina
(rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki umumnya fistula menuju ke
vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila kelainan merupakan letak tinggi, pada letak
rendah fistula menuju ke uretra (rektouretralis) (Faradilla, 2009).
G. Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan
H. Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya obstruksi
intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu setelah bayi berumur 24 jam.
Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan dalam keadaan posisi terbalik selama 3
menit, sendi panggul bayi dalam keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto
pandangan anteroposterior dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan
anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan keseluruhan
bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung rektum dari sfingternya.
9
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi organ intenal
terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya faktor reversibel seperti
obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk mengonfirmasi adanya
fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.
I. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a) diberikan nasihat
pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-hati atau menghindari obat-
obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol karena dapat menyebabkan atresia ani; (b)
pemeriksaan lubang dubur/anus bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai
diagnosis awal adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita
ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat mendesak
paru-paru bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), begi penyidap kelainan tipe I dengan
stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan tinja tidak
membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis yang berat perlu dilakukan
dilatasi setiap hari dengan karakter uretra, dilatasi Hegar, atau speculum hidung
berukuran kecil. Selanjutnya orang tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah
dengan jari tangan. Dilatasi dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6
bulan sampai daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan pemberian laktulose.
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan fistula, adalah
anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi pada anus slama 23 bulan.
Tindakan ini paling baik dilakukan dengan dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan
kemudian orang tua penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus
lunak serta mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum uang
buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif dapat dilakukan
10
melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi, pada tipe III biasanya perlu
dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif dapat
dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan pemeriksaan lengkap
dalam usaha menentukan letak ujung rektum yang buntu serta menemukan kelainan
bawaan yang lain, kolostomi dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon
sigmoideum. Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan
adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun, anorektoplasti sagital
posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan sakrum menurut metode Stephen
setelah bayi berumur 6-9 bulan. Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah
operasi dan selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula dengan
jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23 bulan setelah pembedahan
definitif. Sedangkan pada penanganan tipe IV dilakukan dengan kolostomi, untuk
kemudian dilanjutkan dengan operasi abdominal pull-through seperti kasus pada
megakolon congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin untuk
mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C untuk daya tahan tubuh.
Selain itu, penatalaksanaan dalam tindakan atresia ani yaitu :
a. Pembuatan kolostomi
Kolostomi adalah sebuah lubang buatan yang dibuat oleh dokter ahli bedah pada
dinding abdomen untuk mengeluarkan feses. Pembuatan lubang biasanya sementara
atau permanen dari usus besar atau colon iliaka. Untuk anomali tinggi, dilakukan
kolostomi beberapa hari setelah lahir.
b. PSARP (Posterio Sagital Ano Rectal Plasty)
Bedah definitifnya, yaitu anoplasty dan umumnya ditunda 9 sampai 12 bulan.
Penundaan ini dimaksudkan untuk memberi waktu pelvis untuk membesar dan pada
otot-otot untuk berkembang. Tindakan ini juga memungkinkan bayi untuk menambah
berat badannya dan bertambah baik status nutrisinya.
c. Tutup kolostomi
Tindakan yang terakhir dari atresia ani. Biasanya beberapa hari setelah operasi,
anak akan mulai BAB melalui anus. Pertama, BAB akan sering tetapi seminggu setelah
operasi BAB berkurang frekuensinya dan agak padat.
11
J. Asuhan Keperawatan
i. Pengkajian
a. Identitas pasien
Nama, Tempat tgl lahir, umur, Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku Bangsa
Pendidikan, Pekerjaan, No. CM, Tanggal Masuk RS, Diagnosa Medis.
b. Riwayat kesehatan
1. Keluhan Utama : Distensi abdomen
2. Riwayat Kesehatan Sekarang :Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa
buang air besar, meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
3. Riwayat Kesehatan Dahulu : Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam
pertama kelahiran
4. Riwayat Kesehatan Keluarga : Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/
penyakit menurun sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
5. Riwayat Kesehatan Lingkungan : Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi
kejadian atresia ani
c. Pola fungsi kesehatan
1. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa yang
dirasakan dan apa yang diinginkan
2. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena masih bayi.
3. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain.
d. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientas i dengan baik pada
orang lain
g. Pola konsep diri
12
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang lain secara
mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon terhadap
adanya suatu masalah
l. Pemeriksaan fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani adalah anus tampak
merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus obstruksi, termometer yang
dimasukkan melalui anus tertahan oleh jaringan, pada auskultasi terdengan
hiperperistaltik, tanpa mekonium dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin
dan vagina (FKUI, Ilmu Kesehatan Anak:1985).
1. Tanda-tanda vital
• Nadi : 110 X/menit.
• Respirasi : 32 X/menit.
• Suhu axila :37º Celsius.
2. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada benjolan/tumor, tidak
ada caput succedanium, tidak ada chepal hematom.
13
3. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva, tidak ikterus, tidak
nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak agak pucat.
4. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan cuping hidung,
tidak ada pus dan lendir.
5. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus, tidak cheilochisis.
6. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk sempurna.
7. Leher
Tidak ada webbed neck.
8. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest, pernafasan normal.
9. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur.
10. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor, tidak terdapat
perdarahan pada umbilicus.
11. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada hipospandia pada
penis, tidak ada hernia sorotalis.
12. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-kadang tampak ileus
obstruksi. Thermometer yang dimasukan kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada
auskultasi terdengar peristaltic.
13. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun kaki dan kukunya
tampak agak pucat
14. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
14
a. Suching +
b. Rooting +
c. Moro +
d. Grip +
e. Plantar +
15
iii. Intervensi Keperawatan
16
takanan darah
ortostatik)
17
hidrasi dalam bats tertekan
normal, pigmentasi 5. Monitor status 5. Menjaga
dalam batas nutrisi klien keadekuatan
normal, perfusi nutrisi guna
jaringan baik. penyembuhan
luka
2. Resiko Setelah dilakukan 1. Monitor tanda dan 1. mengetahui
infeksi b/d tindakan gejala infeksi tanda infeksi
prosedur keperawatan sistemik dan lokal lebih dini
pembedah selama 1 x 24 jam 2. Batasi pengunjung 2. menghindari
an diharapkan klien kontaminasi
bebas dari tanda- dari pengunjung
tanda infeksi 3. mencegah
3. Pertahankan
KH : bebas dari penyebab infeks
teknik cairan
tanda dan gejala
asepsis pada klien
infeksi
yang beresiko
4. Inspeksi kondisi 4. mengetahui
luka/insisi bedah kebersihan luka
dan tanda
infeksi
5. Gejala infeksi
5. Ajarkan
dapat di deteksi
keluarga klien
lebih dini
tentang tanda dan
6. Gejala
gejala infeksi
infeksi dapat
6. Laporkan
segera
kecurigaan infeksi
teratasi
18
Tanggal Jam Diagnosa Implementasi TTD
Konstipasi b/d 1. Enema atau irigasi rectal sesuai
ganglion order
2. Mengauskultasi bising usus dan
abdomen
3. Mengukur lingkar abdomen
Resiko 1. Memonitor intake – output cairan
kekurangan 2. Memasang infus
volume cairan 3. Mengobservasi TTV
b/d 4. Memonitor status hidrasi
menurunnya (kelembaban membran mukosa, nadi
intake, muntah adekuat, takanan darah ortostatik)
Cemas orang 1. Menjelaskan dengan istilah yg
tua b/d kurang dimengerti tentang anatomi dan
pengetahuan fisiologi saluran pencernaan normal.
tentang 2. Menggunakan alat, media dan
penyakit dan gambar
prosedur 2. Memberi jadwal studi diagnosa
perawatan pada orang tua
3. Memberi informasi pada orang
tua tentang operasi kolostomi
19
klien
Resiko infeksi 1. Memonitor tanda dan gejala
b/d prosedur infeksi sistemik dan lokal
pembedahan 2. Membatasi pengunjung
3. Mempertahankan teknik cairan
asepsis pada klien yang
beresiko
4. Menginspeksi kondisi luka/insisi
bedah
5. Mengajarkan keluarga klien
tentang tanda dan gejala infeksi
6. Melaporkan kecurigaan infeksi
v. Evaluasi Keperawatan
a. Diagnosa Pre oprasi
20
tentang A : Diagnosa Keperawatan Cemas
penyakit dan orang tua Teratasi
prosedur P : Intervensi dihentikan
perawatan
21
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung
ke dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
yang terjadi pada masa kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1) Putusnya saluran
pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi lahir tanpa lubang dubur; (2)
Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3)
Adanya gangguan atau berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian
distal serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam
usia kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down.
Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien apabila atresia ani
terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan pemasangan kolostomi sedangkan pada
yang rendah dilakukan dilatasi rutin.
B. Saran
Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi. Biasanya terjadi ketika
organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita harus senantiasa untuk memingatkan
kepada ibu untuk selalu berpola hidup sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan
masalah kehamilan kepada ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani,
maka perawat harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat
mengatasi masalah yang timbul.
22
DAFTAR PUSTAKA
Wong, Dona L. 2004. pedoman klinis keperawatan pediatric. Jakatra : EGC www. Bedah
Anak . Atresia Ani dengan Fistula Rektovestibularis.co.id http://bedahugm.net/Bedah-
Anak/Atresia-Ani.html
https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada 09 November
2016)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Medis dan
Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang. http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta. EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus. Jakarta. Trans Info
Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta. Trans Info
Media
23