Anda di halaman 1dari 26

TUGAS MAKALAH

ASUHAN KEPERAWATAN PADA BAYI

DENGAN KELAINAN KONGINETAL ( ATRESIA ANI )

Untuk Memenuhi Tugas Matakuliah Keperawatan Anak

Disusun Oleh Kelompok 2 :

Dian Rahman

Kania Puspitasari

Resthin Kurnia Sary

Rival Rudiansyah

PROGRAM STUDY S1 KEPERAWATAN

SEKOLAH TINGGI ILMU KEPERAWATAN PPNI JAWA BARAT


2018-2019
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Atresia itu sendiri adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang
badan normal atau organ tubuler secara kongenital disebut juga clausura.
Dengan kata lain tidak adanya lubang di tempat yang seharusnya atau
buntutnya saluran atau rongga tubuh. Hal ini bisa terjadi karena bawaan sejak
lahir atau terjadi kemudian karena proses penyakit yang mengenai saluran itu.
Atresia ani yaitu yaitu tidak berlubangnya dubur. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu Anus imperforata.
Kelainan kongenital anus dan rektum relatif sering terjadi. Malformasi
kecil terdapat pada 1 diantara 500 kelahiran hidup, sedangkan malformasi
besar terjadi pada 1 diantara 5000 kelahiran hidup. Kasus pada laki-laki lebih
sering terjadi daripada pada perempuan. Pada laki-laki paling sering
didapatkan fistula rektouretra, sedangkan pada perempuan paling sering
didapatkan fistula rektovestibuler.
Dalam asuhan neonatus tidak sedikit dijumpai adanya kelainan cacat
kongenital pada anus dimana anus tidak mempunyai lubang untuk
mengeluarkan feces karena terjadi gangguan pemisahan kloaka yang terjadi
saat kehamilan. Walaupun kelainan lubang anus akan mudah terbukti saat
lahir, tetapi kelainan bisa terlewatkan bila tidak ada pemeriksaan yang cermat
atau pemeriksaan perineum.

1.2 Tujuan
1. Tujuan Umum
Mengetahui dan memahami asuhan keperawatan pada anak dengan
gangguang konginetal (atresia ani).
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui apa yang dimaksud dengan atresia ani.
b. Mengetahui etiologi dari atresia ani.

1
c. Mengetahui manifestasi klinis yang timbul pada atresia ani.
d. Mengetahui komplikasi yang timbul dari atresia ani.
e. Memahami patofisiologi dari atresia ani.
f. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan pada atresia ani.
g. Mengetahui pemeriksaan penunjang pada atresia ani.
h. Mengetahui Asuhan keperawatan pada pasien anak dengan atresia
ani.

1.3 Rumusan Masalah


a. Apa yang dimaksud dengan atresia ani?
b. Apa saja etiologi dari atresia ani?
c. Apa saja manifestasi klinis pada atresia ani?
d. Apa saja komplikasi dari atresia ani?
e. Bagaimana patofisiologi dari atresia ani?
f. Bagaimana penatalaksanaan pada atresia ani?
g. Apa saja pemeriksaan penunjang pada atresia ani?
h. Bagaimana asuhan keperawatan pada pasien atresia ani pada anak?

2
BAB II
TINJAUAN TEORI

2.1 Definisi
Menurut Nurhayati (2009), istilah atresia berasal dari bahasa Yunani
yaitu ‘a’ yang berarti “tidak ada” dan trepsis yang berarti “makanan atau
nutrisi”. Dalam istilah kedokteran, “atresia” berarti suatu keadaan tidak
adanya atau tertutupnya lubang badan abnormal. Atresia ani memiliki nama
lain yaitu “anus imperforata”.
Atresia ani atau anus imperforate adalah tidak terjadinya perforasi
membran yang memisahkan bagian entoderm mengakibatkan pembentukan
lubang anus yang tidak sempurna. Anus tampak rata atau sedikit cekung ke
dalam atau kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung
dengan rektum. (Purwanto, 2001)
Atresia ani adalah tidak lengkapnya perkembangan embrionik pada
distal anus atau tertutupnya anus secara abnormal. (Suriadi, 2001)
Atresia ani adalah kelainan kongenital yang dikenal sebagai anus
imperforate meliputi anus, rektum, atau keduanya. (Betz, 2002)
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (konginetal), tidak adanya
lubang atau saluran anus. (Donna L. Wong, 2003)
Atresia ani adalah suatu kelainan kongenital tanpa anus atau anus tidak
sempurna, termasuk didalamnya agenesis ani, agenesis rektum dan atresia
rektum. Insiden 1:5000 kelahiran yang dapat muncul sebagai sindroma
VACTRERL (Vertebra, Anal, Cardial, Esofageal, Renal, Limb) (Faradilla,
2009).
Jadi, atresia ani atau anus imperforate merupakan kelainan bawaan
(kongenital) dimana terjadi pembentukan lubang anus yang tidak sempurna
(abnormal) atau anus tampak rata maupun sedikit cekung ke dalam atau
kadang berbentuk anus namun tidak berhubungan langsung dengan rektum
yang terjadi pada masa kehamilan.

3
2.2 Etiologi
Atresia ani dapat disebabkan karena:
1. Putusnya saluran pencernaan di atas dengan daerah dubur, sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur.
2. Gangguan organogenesis dalam kandungan. Karena ada kegagalan
pertumbuhan saat bayi dalam kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan.
3. Kelainan bawaan, anus umumnya tidak ada kelainan rektum, sfingter, dan
otot dasar panggul. Namum demikian pada agenesis anus, sfingter internal
mungkin tidak memadai. Menurut penelitian beberapa ahli masih jarang
terjadi bahwa gen autosomal resesif yang menjadi penyebab atresia ani.
Orang tua tidak diketahui apakah mempunyai gen carier penyakit ini. Janin
yang diturunkan dari kedua orang tua yang menjadi carier saat kehamilan
mempunyai peluang sekitar 25 % - 30 % dari bayi yang mempunyai
sindrom genetik, abnormalitas kromosom, atau kelainan kongenital lain
juga beresiko untuk menderita atresia ani (Purwanto, 2001).
4. Berkaitan dengan sindrom down.
Atresia ani memiliki etiologi yang multifaktorial. Salah satunya
adalah komponen genetik. Pada tahun 1950an, didapatkan bahwa risiko
malformasi meningkat pada bayi yang memiliki saudara dengan kelainan
atresia ani yakni 1 dalam 100 kelahiran, dibandingkan dengan populasi
umum sekitar 1 dalam 5000 kelahiran. Penelitian juga menunjukkan
adanya hubungan antara atresia ani dengan pasien dengan trisomi 21
(Down's syndrome). Kedua hal tersebut menunjukkan bahwa mutasi dari
bermacam-macam gen yang berbeda dapat menyebabkan atresia ani atau
dengan kata lain etiologi atresia ani bersifat multigenik (Levitt M, 2007).
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan
malformasi anorektal adalah
1) Kelainan kardiovaskuler.
Ditemukan pada sepertiga pasien dengan atresia ani. Jenis
kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan
paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular
septal defect.

4
2) Kelainan gastrointestinal.
Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%),
obstruksi duodenum (1%-2%).
3) Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis.
Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah
kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly
vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering
ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma
intraspinal.
4) Kelainan traktus genitourinarius.
Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan
pada atresia ani. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan
urogeital dengan atresia ani letak tinggi antara 50 % sampai 60%,
dengan atresia ani letak rendah 15% sampai 20%. Kelainan tersebut
dapat berdiri sendiri ataupun muncul bersamaan sebagai VATER
(Vertebrae, Anorectal, Tracheoesophageal and Renal abnormality) dan
VACTERL (Vertebrae,Anorectal,Cardiovascular,Tracheoesophageal,
Renal and Limb abnormality) ( Oldham K, 2005).

2.3 Klasifikasi
Atresia ani adalah suatu kelainan bawaan, terdapat tiga letak:
1. Tinggi (supralevator) : rektum berakhir di atas M.
levator ani (M. puborektalis) dengan jarak antara
ujung buntu rektum dengan kulit perineum lebih dari
1 cm. Letak upralevator biasanya disertai dengan
fistel ke saluran kencing atau saluran genital.
2. Intermediate : rektum terletak pada M. levator ani
tetapi tidak menembusnya.
3. Rendah : rektum berakhir di bawah M. levator ani
sehingga jarak antara kulit dan ujung rektum paling
jauh 1 cm.

5
2.4 Manifestasi Klinis
Bayi muntah-muntah pada 24-48 jam setelah lahir dan tidak terdapat
defekasi mekonium. Gejala ini terdapat pada penyumbatan yang lebih tinggi.
Pada golongan 3 hampir selalu disertai fistula. Pada bayi wanita sering
ditemukan fistula rektovaginal (dengan gejala bila bayi buang air besar feses
keluar dari (vagina) dan jarang rektoperineal, tidak pernah rektourinarius.
Sedang pada bayi laki-laki dapat terjadi fistula rektourinarius dan berakhir di
kandung kemih atau uretra dan jarang rektoperineal. Gejala yang akan timbul:
1) Mekonium tidak keluar dalam 24 jam pertama setelah kelahiran.
2) Tidak dapat dilakukan pengukuran suhu rektal pada bayi.
3) Mekonium keluar melalui sebuah fistula atau anus yang letaknya salah.
4) Perut kembung. (Ngastiyah, 2005)

Gambaran Klinis :

6
2.5 Komplikasi
Menurut Betz dan Sowden (2009), komplikasi pada atresia ani antara lain:
1) Asidosis hiperkloremik
2) Infeksi saluran kemih yang terus-menerus
3) Kerusakan uretra (akibat prosedur bedah)
4) Komplikasi jangka panjang
a) Eversi mukosa anus
b) Stenosis (akibat kontraksi jaringan parut dari anastomosis)
c) Impaksi dan konstipasi (akibat dilatasi sigmoid)
d) Masalah atau keterlambatan yang berhubungan dengan toilet training
e) Inkontinensia (akibat stinosis anal atau inpaksi)
f) Prolaps mukosa anorektal (penyebab inkontinensia)
g) Fistula kambuhan

2.6 Patofisiologi
Kelainan ini terjadi karena kegagalan pembentukan septum urorektal
secara komplit karena gangguan pertumbuhan, fusi atau pembentukan anus
dari tonjolan embrionik, sehingga anus dan rektum berkembang dari
embrionik bagian belakang. Ujung ekor dari bagian belakang berkembang
menjadi kloaka yang merupakan bakal genitourinari dan struktur anorektal.
Terjadi stenosis anal karena adanya penyempitan pada kanal anorektal.
Terjadi atresia anal karena tidak ada kelengkapan dan perkembangan struktur
kolon antara 7-10 minggu dalam perkembangan fetal. Kegagalan migrasi
dapat juga karena kegagalan dalam agenesis sakral dan abnormalitas pada
uretra dan vagina. Tidak ada pembukaan usus besar yang keluar melalui anus
sehingga menyebabkan fekal tidak dapat dikeluarkan sehingga intestinal
mengalami obstruksi. Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah
dubur, sehingga bayi baru lahir tanpa lubang anus.
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada
kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan
adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi
cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel

7
menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis
hiperkloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanya akan terbentuk
fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada perempuan, 90% dengan
fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). Pada laki-laki
umumnya fistula menuju ke vesika urinaria atau ke prostat (rektovesika) bila
kelainan merupakan letak tinggi, pada letak rendah fistula menuju ke uretra
(rektouretralis) (Faradilla, 2009).

2.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dibagi menjadi dua, yaitu:
1. Preventif
Menurut Nurhayati (2009), penatalaksanaan preventif yaitu: (a)
diberikan nasihat pada ibu hamil bahwa selama hamil muda untuk berhati-
hati atau menghindari obat-obatan, makanan yang diawetkan dan alkohol
karena dapat menyebabkan atresia ani; (b) pemeriksaan lubang dubur/anus
bayi pada saat lahir sangat penting dilakukan sebagai diagnosis awal
adanya atresia ani. Sebab jika sampai tiga hari diketahui bayi menderita
ani atresia ani, jiwa bayi dapat terancam karena feses yang tertimbun dapat
mendesak paru-paru bayi dan organ yang lain.
2. Pasca Bayi Lahir
Menurut Rukiyah dan Yulianti (2012), bagi pengidap kelainan tipe I
dengan stenosis yang ringan dan tidak mengalami kesulitan mengeluarkan
tinja tidak membutuhkan penanganan apapun. Sementara pada stenosis
yang berat perlu dilakukan dilatasi setiap hari dengan karakter uretra,
dilatasi Hegar, atau speculum hidung berukuran kecil. Selanjutnya orang
tua dapat melakukan dilatasi sendiri di rumah dengan jari tangan. Dilatasi
dikerjakan beberapa kali seminggu selama kurang lebih 6 bulan sampai
daerah stenosis melunak dan fungsi defekasi mencapai keadaan normal.
Konstipasi dapat dihindari dengan pengaturan diet yang baik dan
pemberian laktulose.

8
Bentuk operasi yang diperlukan pada tipe II, baik tanpa atau dengan
fistula, adalah anoplasti pcrincum, kemudian dilanjutkan dengan dilatasi
pada anus slama 23 bulan. Tindakan ini paling baik dilakukan dengan
dilator Hegar selama bayi di rumah sakit dan kemudian orang tua
penderita dapat memakai jari tangan di rumah sampai tepi anus lunak serta
mudah dilebarkan. Pada tipe III, apabila jarak antara ujung rektum ruang
buntu ke lekukan anus kurang dari 1,5 cm, pembedahan rekonstruktif
dapat dilakukan melalui anoproktoplasti pada masa neonatus. Akan tetapi,
pada tipe III biasanya perlu dilakukan pembedahan definitif pada usia 12-
15 bulan. Kolostomi bermanfaat untuk:
a. Mengatasi obstruksi usus, memungkinkan pembedahan rekonstruktif
dapat dikerjakan dengan lapangan operasi yang bersih.
b. Memberikan kesempatan pada ahli bedah untuk melakukan
pemeriksaan lengkap dalam usaha menentukan letak ujung rektum
yang buntu serta menemukan kelainan bawaan yang lain, kolostomi
dapat dilakukan pada kolon transversum atau kolon sigmoideum.
Beberapa metode pembedahan rekonstruktif yang dapat dilakukan
adalah operasi abdominoperineum terpadu pada usia 1 tahun,
anorektoplasti sagital posterior pada usia 8-12 bulan, dan pendekatan
sakrum menurut metode Stephen setelah bayi berumur 6-9 bulan.
Dilatasi anus baru bisa dilakukan 10 hari setelah operasi dan
selanjutnya dapat dilakukan oleh orang tua di rumah, mula-mula
dengan jari kelingking kemudian dengan jari telunjuk selama 23 bulan
setelah pembedahan definitif. Sedangkan pada penanganan tipe IV
dilakukan dengan kolostomi, untuk kemudian dilanjutkan dengan
operasi abdominal pull-through seperti kasus pada megakolon
congenital. Pemberian antibiotic seperti cefotaxim dan garamicin
untuk mencegah infeksi pada pasca operasi. Pemberian vitamin C
untuk daya tahan tubuh.

9
2.8 Pemeriksaan Penunjang
Menurut Nurhayati (2009), untuk memperkuat diagnosis dapat dilakukan
pemeriksaan penunjang sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologis, yang bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya
obstruksi intestinal atau menentukan letak ujung rektum yang buntu
setelah bayi berumur 24 jam. Pada saat pemeriksaan, bayi harus diletakkan
dalam keadaan posisi terbalik selama 3 menit, sendi panggul bayi dalam
keadaan sedikit ekstensi, kemudian dibuat foto pandangan anteroposterior
dan lateral setelah petanda diletakkan pada daerah lekukan anus.
2. Sinar-X terhadap abdomen yang bertujuan untuk menentukan kejelasan
keseluruhan bowel/usus dan untuk mengetahui jarak pemanjangan kantung
rektum dari sfingternya.
3. Ultrasonografi (USG) abdomen, yang bertujuan untuk melihat fungsi
organ intenal terutama dalam sistem pencernaan dan mencari adanya
faktor reversibel seperti obstruksi massa tumor.
4. CT Scan, yang bertujuan untuk menentukan lesi.
5. Rontgenogram pada abdomen dan pelvis, yang bertujuan untuk
mengonfirmasi adanya fistula yang berhubungan dengan saluran urinaria.

10
2.9 Pathways

Kelainan kogenital

 Gangguan Pertumbuhan
 Fusi
 Pembentukan anus dari
tonjolan embrionik

ATRESIA ANI

Feses Tidak Keluar Vistel Rektovaginal

Feses Menumpuk Feses Masuk Ke Uretra

Mikroorganisme masuk
Reabsorbsi sisa Peningkatan Tekanan ke saluran kemih
metabolisme Intraabdominal

Dysuria
Keracunan Operasi Anoplasti

Gang. Rasa nyaman


Mual, muntah
Ansietas Perubahan Defekasi:
Pengeluaran Tak Gang. Eliminasi Urine
Ketidakseimbangan Nyeri
Terkontrol
Nutrisi < Kebutuhan
Iritasi Mukosa
Tubuh

Resiko kerusakan kulit Abnormalitas spingter Trauma jaringan


rektal

Nyeri Inkontinensia Defekasi Perawatan tidak adekuat


Gang. Rasa Nyaman

Resiko Infeksi

11
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian
1. Biodata
a. Identitas Klien
Nama, Tempat tgl lahir, umur , Jenis Kelamin, Alamat, Agama, Suku
Bangsa, Pendidikan, Pekerjaan , No. CM, Tanggal Masuk RS,
Diagnosa Medis
b. Identitas Penanggung Jawab
2. Riwayat Kesehatan
a. Keluhan Utama:
Distensi abdomen
b. Riwayat Kesehatan Sekarang:
Muntah, perut kembung dan membuncit, tidak bisa buang air besar,
meconium keluar dari vagina atau meconium terdapat dalam urin
c. Riwayat Kesehatan Dahulu:
Klien mengalami muntah-muntah setelah 24-48 jam pertama kelahiran
d. Riwayat Kesehatan Keluarga:
Merupakan kelainan kongenital bukan kelainan/penyakit menurun
sehingga belum tentu dialami oleh angota keluarga yang lain
e. Riwayat Kesehatan Lingkungan:
Kebersihan lingkungan tidak mempengaruhi kejadian atresia ani

3. Pola Fungsi Kesehatan


a. Pola persepsi terhadap kesehatan
Klien belum bisa mengungkapkan secara verbal/bahasa tentang apa
yang dirasakan dan apa yang diinginkan
b. Pola aktifitas kesehatan/latihan
Pasien belum bisa melakukan aktifitas apapun secara mandiri karena
masih bayi

12
c. Pola istirahat/tidur
Diperoleh dari keterangan sang ibu bayi atau kelurga yang lain
d. Pola nutrisi metabolik
Klien hanya minum ASI atau susu kaleng
e. Pola eliminasi
Klien tidak dapat buang air besar, dalam urin ada mekonium
f. Pola kognitif perseptual
Klien belum mampu berkomunikasi, berespon, dan berorientasi dengan
baik pada orang lain
g. Pola konsep diri
1) Identitas diri : belum bisa dikaji
2) Ideal diri : belum bisa dikaji
3) Gambaran diri : belum bisa dikaji
4) Peran diri : belum bisa dikaji
5) Harga diri : belum bisa dikaji
h. Pola seksual Reproduksi
Klien masih bayi dan belum menikah
i. Pola nilai dan kepercayaan
Belum bisa dikaji karena klien belum mengerti tentang kepercayaan
j. Pola peran hubungan
Belum bisa dikaji karena klien belum mampu berinteraksi dengan orang
lain secara mandiri
k. Pola koping
Belum bisa dikaji karena klien masih bayi dan belum mampu berespon
terhadap adanya suatu masalah
4. Pemeriksaan Fisik
Hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien atresia ani
adalah anus tampak merah, usus melebar, kadang – kadang tampak ileus
obstruksi, thermometer yang dimasukkan melalui anus tertahan oleh
jaringan, pada auskultasi terdengan hiperperistaltik, tanpa mekonium
dalam 24 jam setelah bayi lahir, tinja dalam urin dan vagina (FKUI, Ilmu
Kesehatan Anak:1985).

13
Pemeriksaan Fisik Head to Toe
a. Keadaan Umum
Klien lemah
b. Tanda-tanda vital
 Nadi : 120 – 140 kali per menit
 Tekanan darah : normal
 Suhu : 36,5ºC – 37,6ºC
 Pernafasan : 30 – 40 kali per menit
 BB : > 2500 gram
 PB : normal

c. Kepala
Kepala simetris, tidak ada luka/lesi, kulit kepala bersih, tidak ada
benjolan/tumor, tidak ada caput succedanium, tidak ada chepal
hematom.
d. Mata
Simetris, tidak konjungtifistis, tidak ada perdarahan subkonjungtiva,
tidak ikterus, tidak nistagamus/ tidak episnatus, conjungtiva tampak
agak pucat.
e. Hidung
Simetris, bersih, tidak ada luka, tidak ada secret, tidak ada pernafasan
cuping hidung, tidak ada pus dan lendir.
f. Mulut
Bibir simetris, tidak macrognatia, micrognatia, tidak macroglosus,
tidak cheilochisis.
g. Telinga
Memiliki 2 telinga yang simetris dan matur tulang kartilago berbentuk
sempurna
h. Leher
Tidak ada webbed neck.
i. Thorak
Bentuk dada simetris, silindris, tidak pigeon chest, tidak funnel shest,
pernafasan normal

14
j. Jantung
Tidak ada mur-mur, frekuensi jantung teratur.
k. Abdomen
Simetris, teraba lien, teraba hepar, teraba ginjal, tidak termasa/tumor,
tidak terdapat perdarahan pada umbilicus.
l. Getalia
Terdapat lubang uretra, tidak ada epispandia pada penis tidak ada
hipospandia pada penis, tidak ada hernia sorotalis.
m. Anus
Tidak terdapat anus, anus nampak merah, usus melebar, kadang-
kadang tampak ileus obstruksi. Thermometer yang dimasukan
kedalam anus tertahan oleh jaringan. Pada auskultasi terdengar
peristaltic.
n. Ektrimitas atas dan bawah
Simetris, tidak fraktur, jumlah jari lengkap, telapak tangan maupun
kaki dan kukunya tampak agak pucat
o. Punggung
Tidak ada penonjolan spina gifid
p. Pemeriksaan Reflek
a) Suching +
b) Rooting +
c) Moro +
d) Grip +
e) Plantar +

3.2 Analisa Data


Data Masalah Etiologi
DO: Inkontinensia defekasi Abnormalitas
BAB klien tidak terkontrol sfingter rektal
sebagaimana normalnya
DS: Ketidakseimbangan Kegagalan intake
Ibu klien mengatakan bahwa nutrisi kurang dari makanan (ASI)
anaknya sering muntah kebutuhan tubuh

15
DO:
Anak menangis, mual, perut
kembung, menolak pemberian
ASI
DS : Cemas orang tua Kurangnya
Ibu klien mengatakan bahwa pengetahuan terkait
dirinya bingung melihat kondisi penyakit anak
sang anak
DS: Nyeri akut Trauma jaringan
Ibu klien mengatakan bahwa
anak menangis
DO:
Klien terlihat lemas dan tidak
nyaman
DO: Kerusakan Integritas Pemasangan
Terpasang kolostomi pada klien Kulit Kolostomi
DS: Resiko Infeksi Trauma jaringan
Ibu klien mengatakan bahwa post operasi
luka pada anaknya memerah dan
seperti terjadi peradangan
DO:
Ada tanda-tanda radang pada
daerah post operasi antara lain:
rubor, dolor, calor, tumor
Pasien terlihat tidak nyaman

3.3 Diagnosa Keperawatan


1. Dx pre operasi
a. Inkontinensia defekasi b.d abnormalitas sfingter rektal.
b. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan b.d.
ketidakmampuan mencerna makanan
c. Cemas orang tua berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang
penyakit dan prosedur perawatan.
2. Dx Post Operasi
a. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan trauma saraf
jaringan.
b. Kerusakan integritas kulit berhubungan dengan kolostomi.
c. Resiko infeksi Berhubungan dengan prosedur pembedahan.

16
3.3 INTERVENSI KEPERAWATAN
Nama Klien : An. A
No. Register : 0123
Ruang : Teratai
1. Diagnosa Pre Operasi
Intervensi
No Dx. Kep Tujuan dan NOC Tindakan Rasional TTD
Keperawatan/NIC
1. Inkontinensia defekasi b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Intruksikan keluarga 1. Untuk mengetahui
abnormalitas sfingter keperawatan 1x24 jam untuk mencatat keluaran bentuk fisik feses yang
diharapkan pengeluaran feses keluar
rektal
defekasi terkontrol dengan 2. Jaga kebersihan baju dan 2. Mencegah terjadinya
kriteria hasil: tempat tidur resiko infeksi
 Defekasi lunak, feses 3. Evaluasi status BAB 3. Mengetahui
berbentuk (4) secara rutin perkembangan
perubahan defekasi
2. Ketidakseimbangan nutrisi Setelah dilakukan tindakan 1. Memonitor mual dan 1. Mengetahui berapa
kurang dari kebutuhan b.d. keperawatan selama 1x24 jam muntah output yang keluar
diharapkan kebutuhan nutrisi 2. Kaji kemampuan klien 2. Memberikan makanan
ketidakmampuan
klien terpenuhi dengan untuk mendapatkan sesuai kemampuan
mencerna makanan kriteria hasil: nutrisi yang dibutuhkan (oral atau NGT)
 Mampu 3. Memonitor status gizi 3. Mengetahui status gizi
mengidentifikasikan 4. Kolaborasi dengan dan meminimali-sir
kebutuhan nutrisi (4) dokter malnutrisi
 Tidak ada tanda-tanda 4. Terkait pemasangan
malnutrisi (4) NGT

3. Kecemasan orang tua Setelah dilakukan asuhan 1. Kaji status mental dan 1. Derajat ansietas akan
berhubungan dengan keperawatan 1x24 jam tingkat ansietas dari dipengaruhi bagaimana
diharapkan rasa cemas klien dan keluarga. informasi tersebut
kurang pengetahuan
orangtua dapat hilang atau 2. Dengarkan dengan diterima.
tentang penyakit dan berkurang. penuh perhatikan 2. Menjadi pendengar
prosedur perawatan Kriteria Hasil: 3. Jelaskan dan persiapkan yang baik dapat
1.) Ansietas berkurang untuk tindakan prosedur mengurangi rasa cemas
2.) Ibu klien tidak gelisah sebelum dilakukan orangtua
operasi. 3. Membuat orang tua
4. Beri kesempatan klien lebih mengerti keadaan
untuk mengungkapkan anaknya
isi pikiran dan bertanya. 4. Dapat meringankan
5. Ciptakan lingkungan ansietas terutama
yang tenang dan ketika tindakan operasi
nyaman. tersebut dilakukan.
5. Mengungkapkan rasa
takut dan bertanya
secara terbuka dimana
rasa takut dapat
ditujukan.
6. Lingkungan nyaman
dapat mengurangi
cemas

2. Diagnosa Post Operasi


Intervensi
TTD
No Dx. Kep Tujuan dan NOC Tindakan Keperawatan/NIC Rasional

1. Nyeri akut b.d Setelah dilakukan asuhan 1. Observasi reaksi nonverbal 1. Untuk mengetahui bagian
dari ketidaknyamanan klien mana yang nyeri
trauma jaringan keperawatan selama 1x24 jam
2. Bantu klien dan keluarga 2. Dengan dukungan orang tua
(post operasi) diharapkan nyeri akut dapat untuk mencari dan disekitar klien bisa
menemukan dukungan mengurangi nyeri
berkurang kriteria hasil:
3. Kontrol lingkungan yang 3. Lingkungan yang nyaman
 Klien tampak nyaman dan dapat memengaruhi nyeri dapat mengurangi rasa nyeri
4. Kolaborasi dengan dokter 4. Analgesik dapat mengurangi
tenang (4) terkait pemberian analgesik nyeri
2. Kerusakan Setelah dilakukan asuhan 1. Hindari kerutan pada tempat 1. Untuk mencegah perlukaan
keperawatan selama 1x24 jam tidur pada kulit
integritas kulit b.d.
diharapkan kerusakan integritas 2. Jaga kebersihan kulit agar 2. Untuk menjaga ketahanan kulit
pemasangan kulit dapat berkurang kriteria tetap bersih dan kering 3. Untuk mengetahui adanya
hasil: 3. Monitor kulit akan adanya tanda kerusakan jaringan kulit
kolostomi
 Integritas kullit yang baik kemerahan 4. Untuk menjaga kelembaban
bisa dipertahan-kan (4) 4. Oleskan lotion/baby oil pada kulit
 Perfusi jaringan baik (3) daerah yang tertekan 5. Untuk menjaga keadekuatan
 Menunjukan pemahaman 5. Monitor status nutrisi klien nutrisi guna penyembuhan
dalam proses perbaikan luka
kulit dan mencegah
terjadinya cedera berulang
(4)

3. Resiko infeksi b.d Setelah dilakukan tindakan 1. Monitor tanda dan gejala 1. Untuk mengetahui tanda
keperawatan selama 1x24 jam infeksi sistemik dan lokal infeksi lebih dini
trauma jaringan,
diharapkan klien bebas dari 2. Batasi pengunjung 2. Untuk menghindari
perawatan tidak tanda-tanda infeksi dengan 3. Pertahankan teknik cairan kontaminasi dari pengunjung
kriteria hasil: asepsis pada klien yang 3. Untuk mencegah penyebab
adekuat
 Klien bebas dari tanda dan beresiko infeksi
gejala infeksi (4) 4. Inspeksi kondisi luka/insisi 4. Untuk mengetahui kebersihan
 Jumlah leukosit dalam batas bedah luka dan tanda infeksi
normal (4) 5. Ajarkan keluarga klien 5. Agar gejala infeksi dapat di
tentang tanda dan gejala deteksi lebih dini
infeksi 6. Agar gejala infeksi dapat
6. Laporkan kecurigaan infeksi. segera teratasi
3.4 IMPLEMENTASI DAN EVALUASI KEPERAWATAN
1. Diagnosa Pre Operasi
Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
Jam
Inkontinensia defekasi 1. Keluaran feses terkaji S : Klien mampu mempertahankan
b.d abnormalitas 2. kebersihan baju dan tempat tidur terkaji pola eliminasi BAB dengan teratur
sfingter rektal. 3. Terkajinya jika ada perubahan defekasi O : Perubahan defekasi terkontrol
A : Intervensi teratasi
P : Intervensi di hentikan

Ketidakseimbangan 1. Memonitor Intake dan Output pasien S :-


nutrisi kurang dari 2. Memasang OGT O : Output Fases
kebutuhan b.d. 3. Mengobservasi TTV ml/kg/jam, capillary refill 3-5
ketidakmampuan 4. Mengobservasi status gizi dan detik, turgor kulit baik, membrane
mencerna makanan meminimali-sir malnutrisi mukosa lembab
A : Intervensi teratasi
P : Itervensi dihentikan

Cemas orang tua 1. Menjelaskan dengan istilah yg dimengerti S : orang tua mengatakan tidak cemas.
berhubungan dengan tentang anatomi dan fisiologi saluran O : klien tidak lemas
pencernaan normal. A : Intervensi Teratasi
kurang pengetahuan
2. Menggunakan alat, media dan gambar. P : Intervensi dihentikan
tentang penyakit dan 3. Memberi jadwal studi diagnose pada
orang tua
prosedur perawatan.
4. Memberi informasi pada orang tua
tentang operasi kolostomi

2. Diagnosa Post Operasi


Tanggal/ Diagnosa Implementasi Evaluasi TTD
Jam
.Gangguan rasa nyaman 1. Mengobservasi reaksi nonverbal dari S:-
ketidaknyamanan klien
nyeri berhubungan O : Klien tidak menangis dan gelisah
2. Membantu klien dan keluarga untuk
dengan trauma saraf mencari dan menemukan dukungan lagi
3. Mengontrol lingkungan yang dapat
jaringan. A : Intervensi teratasi
memengaruhi nyeri
4. Kolaborasi dengan pemberian analgesik P : Intervensi di hentikan
Kerusakan integritas 1. Menghindarkan kerutan pada tempat S :-
kulit berhubungan tidur O : Temperatur jaringan dalam batas
dengan kolostomi.
2. Menjaga kebersihan kulit agar tetap normal, sensasi dalam batas normal,
bersih dan kering elastisitas dalam batas normal,
3. Memonitor kulit akan adanya kemerahan hidrasi dalam batas normal,
4. Mengoleskan lotion/baby oil pada pigmentasi dalam batas normal,
daerah yang tertekan perfusi jaringan baik.
5. Memonitor status nutrisi klien A : Intervensi teratasi
P : Intervensi dihentikan

Resiko infeksi 1. Memonitor tanda dan gejala infeksi S :-


Berhubungan dengan sistemik dan local.
O : Tanda gejala infeksi tidak ada
prosedur pembedahan 2. Membatasi pengunjung.
A : Intervensi teratasi
3. Mempertahankan teknik cairan asepsis
pada klien yang beresiko. P : Intervensi dihentikan
4. Menginspeksi kondisi luka/insisi bedah.
5. Mengajarkan keluarga klien tentang tanda
dan gejala infeksi.
6. Melaporkan kecurigaan infeksi
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan
Atresia ani merupakan kelainan bawaan (kongenital) dimana terjadi
pembentukan lubang anus yang tidak sempurna (abnormal) atau anus tampak
rata maupun sedikit cekung ke dalam atau kadang berbentuk anus namun
tidak berhubungan langsung dengan rektum yang terjadi pada masa
kehamilan.
Atresia ani dapat disebabkan oleh beberapa faktor, antara lain: (1)
Putusnya saluran pencernaan dari atas dengan daerah dubur sehingga bayi
lahir tanpa lubang dubur; (2) Kegagalan pertumbuhan saat bayi dalam
kandungan berusia 12 minggu atau 3 bulan; (3) Adanya gangguan atau
berhentinya perkembangan embriologik didaerah usus, rektum bagian distal
serta traktus urogenitalis, yang terjadi antara minggu keempat sampai keenam
usia  kehamilan; (4) Berkaitan dengan sindrom down.
Penanganan pada atresia ani tergantung bagaimana kondisi klien
apabila atresia ani terlalu tinggi maka dilakukan operasi anoplasti dan
pemasangan kolostomi sedangkan pada yang rendah dilakukan dilatasi rutin.

4.2 Saran
Atresia ani merupakan kelainan bawaan yang diderita oleh bayi.
Biasanya terjadi ketika organgenesis pada trisemester I. Sebagai perawat, kita
harus senantiasa untuk memingatkan kepada ibu untuk selalu berpola hidup
sehat, menjaga pola makan, dan memeriksakan masalah kehamilan kepada
ahli kesehatan. Dan ketika bayi lahir dalam keadaan atresia ani, maka perawat
harus dapat melakukan asuhan keparatan sebagaimana mestinya agar dapat
mengatasi masalah yang timbul.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.cincinnatichildrens.org/health/i/imperforate-anus (diakses pada 09


November 2016)
Huda, Nuraruf Amin, dkk. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Medis dan Nanda Nic-Noc Edisi Revisi Jilid 1. Yogyakarta. Mediaction
Irfandi, Febri. 2012. Askep Atresia Ani. Jombang.
http://chocolateperfect.blogspot.co.id
Lynn, Betz Cecily, dkk. 2009. Buku Saku Keperawatan Pediatri Edisi 5. Jakarta.
EGC
Marlaim. 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak Jilid 1. Jakarta. Fakultas
Kedokteran UI
Nurhayati. 2009. Asuhan Kegawatdaruratan dan Penyulit Pada Neonatus.
Jakarta. Trans Info Media
Yeyen, Rukiyah Ai, dkk. 2009. Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta.
Trans Info Media

Anda mungkin juga menyukai