Anda di halaman 1dari 9

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

DENGAN KASUS PERTUSIS

Disusun
Oleh:

MUKTHI

NIM : 22900035

RUANG ARAFAH 1

RSUD dr. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


PROGRAM STUDI PROFESI NERS (K3S)
MEDIKA NURUL ISLAM
A. PENDAHULUAN
Pertussis merupakan salah satu jenis penyakit yang disebabkan oleh
Bordetella Pertussis atau Hemophilus Pertussis; adenovirus tipe 1,2,3 dan 5
dapat ditemukan dalam traktus respiratorius, traktus gastrointestinalis, dan
traktus genitourinarius penderita Pertussis bersama-sama Bordetella Pertussis
atau tanpa adanya Bordetella Pertussis. Bordetella Pertussis adalah suatu
kuman (bakteri) yang kecil, tidak bergerak, gram negatif, dan didapatkan
dengan melakukan swab pada daerah nasofaring penderita Pertussis dan
kemudian ditanam pada agar media Bordet-Gengou.
Pertussis juga biasa disebut sebagai Tussis Quinta, Whooping Caught,
Batuk Rejan ataupun Batuk Seratus Hari. Pertussis dapat mengenai semua
golongan umur. Hal ini dikarenakan tidak ada kekebalan pasif pada ibu yang
bisa diberikan secara langsung pada saat melahirkan seorang anak. Penderita
penyakit ini terbanyak berusia 1-5 tahun dan lebih banyak laki-laki daripada
perempuan. Cara penularannya melalui kontak dengan penderita Pertussis.
Imunisasi memiliki peran yang sangat penting untuk mengurangi
angka kejadian dan kematian yang disebabkan oleh Pertussis. Oleh sebab itu
Pertussis paling banyak terdapat di negara dimana imunisasi belum menjadi
suatu prosedur yang rutin. Imunitas setelah imunisasi biasanya tidak
berlangsung lama. Natural Immunity adalah imunitas yang bisa bertahan lama
dan jarang didapatkan infeksi ulang Pertussis.
Pencegahan terhadap Pertussis dapat dilakukan secara aktif dan pasif.
Secara aktif yaitu dengan memberikan vaksin Pertussis dalam jumlah 12 unit
dibagi dalam 3 dosis dengan interval 8 minggu. Vaksin yang digunakan
adalah vaksin DPT (Difteria, Pertussis, Tetanus). Secara pasif yaitu dengan
memberikan kemoprofilaksis. Perlu diingat bahwa tidak ada imunitas terhadap
Pertussis. (Herdman, T. heather, 2012).
B. PENGERTIAN
Pertusis adalah penyakit saluran napas yang disebabkan oleh bakteri
bordetella pertussis. Nama lain penyakit ini adalah tussis quinta, whooping
cough, batuk rejan, batuk 100 hari. (Arif Mansjoer, 2015).
Pertusis adalah penyakit infeksi yang ditandai dengan radang saluran
napas yang menimbulkan serangan batuk panjang yang bertubi-tubi, berakhir
dengan inspirasi berbising. (Ramali, 2013).
Pertussis adalah penyakit infeksi akut pada saluran pernapasan yang
sangat menular dengan ditandai oleh suatu sindrom yang terdiri dari batuk
yang bersifat spasmodic dan paroksismal disertai nada yang meninggi.
(Rampengan,1993).Pertusis adalah suatu infeksi akut saluran napas yang men
genai setiap pejamu yang rentan, tetapi paling sering dan serius pada anak-
anak.(Behrman, 1992 ).
Batuk adalah gejala khas dari batuk rejan atau pertusis. &eranagn
batuk terjadi tiba-tiba dan berlanjut terus tanpa henti hingga seluruh udara
didalam paru-paru terbuang keluar. Akibatnya saat napas berikutnya
pasien pertusis telah kekurangan udara sehingga bernapas dengan cepat, suara 
pernapasan berbunyi separti pada bayi yang baru lahir berumur kurang dari 6
bulan dan pada orang dewasa bunyi ini sering tidak terdengar. Batuk
pada pertusis biasanya sangat parah hingga muntah dan penderita sangat
kelelahan setelah serangan batuk.

C. ETIOLOGI
Pertusis biasanya disebabkan diantaranya sebagai berikut :
1. Bordetella pertussis (Hemophilis pertusis).
2. Suatu penyakit sejenis telah dihubungkan dengan infeksi oleh bordetella
para pertusis, B. Bronchiseptiea dan virus.
Adapun cirri-ciri organisme ini antara lain :
1). Berbentuk batang (coccobacilus)
2). Tidak dapat bergerak
3). Bersifat gram negative.
4). Tidak berspora, mempunyai kapsul
5). Mati pada suhu 55 º C selama ½ jam, dan tahan pada suhu rendah (0º-
10º C)
6). Dengan pewarnaan Toluidin blue, dapat terlihat granula bipolar
metakromatik
7). Tidak sensitive terhadap tetrasiklin, ampicillin, eritomisisn, tetapi
resisten terhdap penicillin
8). Menghasilkan 2 macam toksin antara lain :
a. Toksin tidak yahan panas (Heat Labile Toxin)
b. Endotoksin (lipopolisakarida)

D. KOMPLIKASI
1. Alat Pernafasan Dapat terjadi otitis media (sering pada bayi), bronkitis,
bronkopneumania, atelektasis yang disebabkan sumbatan mukus, emfisema
(dapat juga terjadi emfisema mediastrum, leher kulit pada kasus yang berat,
bronkrektasis, sedangkan tuberkulosis yang sebelumnya telah ada dapat
terjadi bertambah berat.
2. Alat Pencernaan Muntah-muntah yang berat dapat menimbulkan emasiasi,
prolaapsus rektum atau hernia yang mungkin timbul karena tingginya
tekanan intra abdominal, ulkus pada ujung lidah karena lidah tergosok pada
gigi atau tergigit pada waktu serangan batuk, stomatitis
3. Sususnan saraf Kejang dapat timbul karena gangguan keseimbangan
elektrolit akibat muntah-muntah kadang-kadang terdapat kongesti dan
edema otak. Mungkin pula terjadi perdarahan otak
4. Lain -lain Dapat pula terjadi pendarahan lain seperti epistaksis dan
perdarahan subkonjungtiva.

E. MANIFASTASI KILINIS
Masa tunas 7 – 14 hari penyakit dapat berlangsung sampai 6 minggu
atau lebih dan terbagi dalam 3 stadium, yaitu :
1. Stadium kataralis Lamanya 1 – 2 minggu
Pada permulaan hanya berupa batuk-batuk ringan, terutama pada
malam hari. Batuk-batuk ini makin lama makin bertambah berat dan
terjadi serangan dan malam. Gejala lainnya ialah pilek, serak dan
anoreksia. Stadium ini menyerupai influenza.
2. Stadium spasmodik Lamanya 2 – 4 minggu
Pada akhir minggu batuk makin bertambah berat dan terjadi
paroksismal berupa batuk-batuk khas. Penderita tampak berkeringat,
pembuluh darah leher dan muka melebar. Batuk sedemikian beratnya
hingga penderita tampak gelisah gejala – gejala masa inkubasi 5 – 10 hari.
Pada awalnya anak yang terinfeksi terlihat seperti terkena flu biasa dengan
hidung mengeluarkan lendir, mata berair, bersih, demam dan batuk ringan.
Batuk inilah yang kemudian menjadi parah dan sering. Batuk akan
semakin panjang dan seringkali berakhir dengan suara seperti orang
menarik nafas (melengking). Anak akan berubah menjadi biru karena
tidak mendapatkan oksigen yang cukup selama rangkaian batuk. Muntah-
muntah dan kelelahan sering terjadi setelah serangan batuk yang biasanya
terjadi pada malam hari. Selama masa penyembuhan, batuk akan
berkurang secra bertahap.
3. Stadium konvalesensi Lamanya kira-kira 4-6 minggu
Beratnya serangan batuk berkurang. Juga muntah berkurang, nafsu
makan pun timbul kembali. Ronki difus yang terdapat pada stadium
spas,odik mulai menghilang. Infaksi semacam “Common Cold” dapat
menimbulkan serangan batuk lagi.

F. PATOFISOLOGI
Peradangan terjadi pada lapisan mukosa saluran nafas. Dan organisme
hanya akan berkembang biak jika terdapat kongesti dan infiltrasi mukosa
berhubungan dengan epitel bersilia dan menghasilkan toksisn seperti
endotoksin, perttusinogen, toxin heat labile, dan kapsul antifagositik, oleh
limfosist dan leukosit untuk polimorfonuklir serta penimbunan debrit
peradangan di dalam lumen bronkus. Pada awal penyakit terjadi hyperplasia
limfoid penbronklas yang disusun dengan nekrosis yang mengenai lapisan
tegah bronkus, tetapi bronkopnemonia disertai nekrosis dan pengelupasan
epitel permukaan bronkus. Obstruksi bronkhiolus dan atelaktasis terjadi akibat
dari penimbunan mucus. Akhirnya terjadi bronkiektasis yang bersifat
menetap.
Cara penularan Penyakit ini dapat ditularkan penderita kepada orang
lain melalui percikan-percikan ludah penderita pada saat batuk dan bersin.
Dapat pula melalui sapu tangan, handuk dan alat-alat makan yang dicemari
kuman-kuman penyakit tersebut. Tanpa dilakukan perawatan, orang yang
menderita pertusis dapat menularkannya kepada orang lain selama sampai 3
minggu setelah batuk dimulai.

G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Pada stadium kataralis dan permulaan stadium spasmodic jumlah
leukosit meninggi kadang sampai 15.000-45000 per mm3 dengan limfositosis,
diagnosis, dapat diperkuat dengan mengisolasi kuman dari sekresi jalan napas
yang dikeluarkan pada waktu batuk.Secara laboratorium diagnosis pertusis
dapat ditentukan berdasarkan adanya kuman dalam biakan atau dengan
pemeriksaan imunofluoresen.
H. PENATALAKSANAAN
1. Anti mikroba
Pemakai obat-obatan ini di anjurkan pada stadium kataralis yang dini.
Eritromisin merupakan anti mikroba yang sampai saat ini dianggap paling
efektif dibandingkan dengan amoxilin, kloramphenikol ataupun
tetrasiklin. Dosis yang dianjurkan 50mg/kg BB/hari, terjadi dalam 4 dosis
selama 5-7 hari.
2. Kortikosteroid
a. Betametason oral dosis 0,075 mg/lb BB/hari
b. Hidrokortison suksinat (sulokortef) I.M dosis 30 mg/kg BB/ hari
kemudian diturunkan perlahan dan dihentikan pada hari ke-8
c. Prednisone oral 2,5 – 5 mg/hari. Berguna dalam pengobatan pertusis
terutama pada bayi muda dengan seragan proksimal. Salbutamol
Efektif terhadap pengobatan pertusis dengan cara kerja :
a) Beta 2 adrenergik stimulant
1) Mengurangi paroksimal khas
2) Mengurangi frekuensi dan lamanya whoop
3) Mengurangi frekuensi apneu
b) Terapi suportif
1) Lingkungan perawatan penderita yang tenang
2) Pemberian makanan, hindari makanan yang sulit ditelan,
sebaiknya makanan cair, bila muntah diberikan cairan dan
elektrolit secara parenteral
3) Pembersihan jalan nafas
4) Oksigen
3. Vaksin DPT
Vaksin jerap DPT ( Difteri Pertusis Tetanus ) adalah vaksin yang
terrdiri dari toxoid difteri dan tetanus yang dimurnikan dan bakeri pertusis
yang telah diinaktivasi.
Indikasi
Untuk pemberian kekebalan secara simultan terhadap pertusia. Cara
pemberian dan dosis:
1) Sebelum digunakan vaksin dikocok terlebih dahulu agar menjadi
homogen.
2) Disuntikan secara IM denagn dosis pemberian 0,5 ml sebanyak 3 dosis.
3) Dosis pertama diberikan umur 2 bulan,dosis selanjutnya diberikan 1
bulan
4) Di unit pelayanan statis, vaksin DPT yang tekah dibuka hanya boleh
digunakan 4 minggu
DAFTAR PUSTAKA

Arief Mansjoer, (2015), Kapita Selekta Kedokteran, esisi 4, Jakarta : Media


Aesculapius
Behrman, (1992), Bagian Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Rampengan, (1993), Nursing Intervension Classification (NIC), ed 6,
Mosby, California.
http://solikhulhadi98.wordpress.com/2010/09/22/askep-pertusis/
Herdman, T. heather, (2012), Diagnose Keperawatan Definisi Dan
Klasifikasi 2012-2014, EGC, Jakarta
Ramali, (2013), Pedoman Imunisasi di Indonesia, Jakarta : CV Infomedika

Anda mungkin juga menyukai