Anda di halaman 1dari 7

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN By. Ny.

S DENGAN DIAGNOSA INFECTION OF NEWBORN DI RUANG NICU


RUMAH SAKIT UMUM DR. ZAINOEL ABIDIN BANDA ACEH

Disusun
Oleh:

MUKTHI

NIM : 22900035

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN (STIKes)


PROGRAM STUDI PROFESI NERS (K3S)
MEDIKA NURUL ISLAM
2022
A. PENGERTIAN
Sepsis pada bayi baru lahir (BBL) adalah infeksi aliran darah yang bersifat invasif
dan ditandai dengan ditemukannya bakteri dalam cairan tubuh seperti darah, cairan sum-
sum tulang atau air kemih yang terjadi pada bulan pertama kehidupan (Kosim, 2014).
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik yang disebabkan oleh
mikroorganisme penyebab infeksi seperti bakteri, virus, jamur, dan protozoa, pada satu
bulan pertama setelah lahir (Idai, 2009).
Sepsis adalah suatu kondisi dimana terdapat mikroorganisme maupun toksin
penyebab infeksi dalam darah atau jaringan tubuh, bersamaan dengan munculnya
manifestasi sistemik dari infeksi tersebut (Dellinger, 2013).

B. ETIOLOGI
Berbagai mikroorganisme seperti bakteri, virus, parasit atau jamur dapat
menyebabkan sepsis. Sepsis neonatorum awitan dini sering dikaitkan dengan adanya
infeksi bakteri yang didapat dari ibu, biasanya diperoleh saat proses persalinan atau in
utero. Pola bakteri penyebab sepsis dapat berbeda-beda antar negara dan selalu berubah
dari waktu ke waktu. Di negara maju, bakteri yang sering ditemukan pada sepsis
neonatorum awitan dini adalah Streptococcus grup B, Escherichia coli, Haemophillus
influenzae dan Listeria monocytogenes. Sedangkan di Indonesia yang termasuk negara
berkembang, penyebab terbanyak sepsis neonatorum awitan dini adalah bakteri batang
gram negatif. Escherichia coli merupakan kuman patogen utama penyebab sepsis pada
bayi prematur. (Prawirohardjo,2006).

C. MANIFESTASI KLINIS
Neonatus yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan asfiksia
dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir, bayi tampak lemah
dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia, hipoglikemia dan
kadangkadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai kelainan dan gangguan
fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap
buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel
dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan
clummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal
ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi abdomen,
intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang, takipnea, apnea,
merintih dan retraksi). (Aminullah, 2007).

D. KLASIFIKASI
Sepsis neonatal biasanya dibagi dalam dua kelompok yaitu Sepsis Neonatorum
Awitan Dini (SNAD) dan Sepsis Neonatorum Awitan Lanjut (SNAL). Pada awitan dini
kelainan ditemukan pada hari-hari pertama kehidupan (umur dibawah 3 hari). Infeksi
terjadi secara vertikal karena penyakit ibu atau infeksi yang diderita ibu selama
persalinan atau kelahiran. Berlainan dengan kelompok awitan dini, penderita awitan
lambat terjadi disebabkan mikroorganisme yang berasal dari lingkungan di sekitar bayi
setelah hari ke-3 lahir. Proses infeksi semacam ini disebut juga infeksi dengan transmisi
horizontal dan termasuk didalamnya ada infeksi nosokomial. Selain perbedaan waktu
paparan kuman, kedua bentuk infeksi juga berbeda dalam macam kuman penyebab
infeksi. Selanjutnya baik patogenesis, gambaran klinis ataupun penatalaksanaan penderita
tidak banyak berbeda dan sesuai dengan perjalanan sepsisnya dikenal dengan cascade
sepsis (Kosim, 2014).

E. FAKTOR RESIKO
Menurut Kosim (2014), pada sepsis awitan dini faktor resiko dikelompokkan menjadi:
a. Faktor Ibu:
1) Persalinan dan kelahiran kurang bulan.
2) Ketuban pecah lebih dari 18-24 jam.
3) Korioamnionitis.
4) Demam intrapartum pada ibu (≥38,4oC).
5) Infeksi saluran kencing pada ibu.
6) Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu yang rendah.
b. Faktor Bayi:
1) Asfiksia perinatal.
2) Berat badan lahir rendah.
3) Bayi kurang bulan.
4) Kelainan bawaan.
Semua faktor di atas sering dijumpai dalam praktik sehari-hari dan sampai saat ini
masih menjadi masalah yang belum terselesaikan. Hal ini merupakan salah satu faktor
penyebab mengapa angka kejadian sepsis neonatal tidak banyak mengalami perubahan
dalam dekade terakhir ini (Kosim, 2014).

F. PATOFISIOLOGI
Mekanisme terjadinya sepsis neonatorum secara garis besar dibagi menjadi tiga,
yaitu infeksi antenatal atau intrauterin, infeksi intranatal, dan infeksi pascanatal. Jalur
antenatal terjadi karena ibu sedang menderita suatu penyakit infeksi dari mikroorganisme
patogen seperti rubela, poliomyelitis, coxsackie, variola, vaccinia, bakteri treponema
palidum, E. coli, dan listeria monositogen, yang berada dalam sirkulasi ibu kemudian
melewati plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi janin dan menyebabkan sepsis, dengan
atau tanpa menyebabkan korioamnionitis, yaitu infeksi pada plasenta dan cairan amnion.
Pada dasarnya, janin atau neonatus baru akan terpapar mikroorganisme patogen ketika
membran plasenta telah ruptur dan melalui jalan lahir atau lingkungan ekstrauterin. Jalan
lahir ibu dengan kolonisasi organisme aerob dan anaerob memiliki kemungkinan terpapar
pada janin dan terjadi infeksi asenden, yaitu naiknya mikroorganism menuju plasenta dan
menyebabkan amnionitis (Kliegman, 2016).
Infeksi pascanatal, merupakan jalur yang sebagaian besar dapat dicegah
kejadiannya, terjadi setelah bayi dilahirkan dengan lengkap, biasanya terjadi karena
diluar faktor ibu seperti kontaminasi penggunaan alat, perawatan yang tidak terjaga
kesterilnnya, atau tertular oleh orang lain, dan pada neonatus sering terjadi diruang
perawatan atau rumah sakit. Jalur ini sebagian besar dapat dicegah (Bagian Ilmu
Kesehatan Anak FK UI, 2007)
G. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
Masalah yang ada pada sepsis neonatorum diantaranya penegakkan diagnosis
yang sulit karena tanda dan gejala awal pada sepsis neonatorum yang sering tidak
spesifik. Identifikasi penyebab sepsis harus segera dilaksanakan untuk memberikan terapi
yang efektif. Idealnya, ibu harus dievaluasi dan dilakukan pemeriksaan spesimen jika
sudah diketahui memiliki infeksi saat hamil. Penegakkan diagnosis sepsis neonatorum
berdasarkan dari gejala klinik, pemeriksaan laboratorium darah, pemeriksaan penunjang
dan kultur darah sebagai gold standard.

H. PENATALAKSANAAN
Setelah neonatus terdiagnosis sepsis neonatorum atau kecurigaan besar sepsis,
WHO (2008), menyebutkan bahwa tatalaksana yang dapat diberikan adalah pemberian
antibiotik awal secara intravena berupa ampisilin (50 mg/kgBB/kali IV setiap 6-jam)
ditambah aminoglikosida (gentamisin 5-7 mg/kgBB/kali IV sekali sehari, amikasin 10-20
mg/kgBB/hari IV). Namun, bila organisme tidak dapat ditemukan dari pemeriksaan
penunjang dan bayi tetap menunjukkan tanda-tanda sepsis sesudah 48 jam, ganti
ampisilin dengan sefotaksim dan pemberian gentamisin tetap dilanjutkan, kemudian
antibiotik spesifik diberikan untuk lanjutan terapi, disesuaikan dengan hasil kultur dan
sensitivitas, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium serial (seperti CRP).
Selain itu, pemberian antibiotik pada pada sepsis nosokomial disesuaikan dengan
pola kuman setempat, jika disertai meningitis, terapi antibiotik diberikan dengan dosis
meningitis selama 14 hari untuk gram positif dan 21 hari untuk gram negatif (IDAI,
2009). Terapi suportif juga diperlukan selain mengobati infeksi itu sendiri untuk
mencegah komplikasi atau memperparah kondisi. Pedoman tatalaksana suportif oleh
WHO (2008), yang masih dijadikan referensi pedoman tatalaksana sepsis di Indonesia,
pertama adalah menangani suhu abnormal bayi dengan menjaga bayi tetap kering dan
tertutup rapat, jaga suhu ruangan tetap hangat (minimal 25 oC), pastikan bayi berada
dekat dengan ibu dan sesering mungkin mendapatkan kontak skin-to-skin atau dengan
kangaroo mother care (KMC) selama 24 jam per hari (sama efektifnya dengan inkubator
atau alat penghangat lain), dan sebisa mungkin tidak menggunakan antipiretik (misal,
parasetamol) untuk menurunkan demam, melainkan mengontrol lingkungan seperti yang
dijelaskan sebelumnya. Yang kedua mengontrol kebutuhan nutrisi dan cairan dengan
meningkatkan jumlah dan frekuensi pemberian ASI, jika bayi mengalami gangguan
pernapasan atau kesulitan menghisap payudara, berikan ASI melalui pipa nasogastrik 6-8
kali sehari (atau 8-12 kali pada bayi baru lahir berusia 1-2 minggu), jika bayi sedang
diberikan cairan IV pantau agar tidak melebihi kebutuhan cairan tubuh bayi yang dapat
menyebabkan gagal jantung, pada kondisi hipoglikemia dengan kadar glukosa darah
kapiler
DAFTAR PUSTAKA

Aminullah. (2014). Asuhan Neonatus Bayi dan Anak Balita. Jakarta: Salemba Medika.
Dellinger. (2013). Rencana Perawatan Maternal/Bayi Pedoman untuk Perencanaan dan
Dokumentasi Perawatan Klien Edisi 2. Jakarta : EGC.
Idai. (2009). Buku Saku : Asuhan Bayi Baru Lahir Normal (Asuhan neonatal). Jakarta:
Trans Info Medika
Kliegman. (2016). Asuhan Neonatus Bayi dan Balita. Yogyakarta:
Kosim. (2014). Maternity & Newborn Nursing 2nd Edition. United States of Amerika :
Elsevier.
Prawirohardjo. (2006). Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan
Neonatal. Jakarta : Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawiroharjo.

Anda mungkin juga menyukai