C. Patofisiologi
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi dapat mencapai neonatus melalui beberapa cara yaitu :
a. Pada masa antenatal atau sebelum lahir pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati
plasenta dan umbilicus masuk kedalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman penyebab infeksi
adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki,
hepatitis, influenza, parotitis. Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis dan
toksoplasma.
b. Pada masa intranatal atau saat persalinan infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada
vagina dan serviks naik mencapai kiroin dan amnion akibatnya, terjadi amnionitis dan korionitis,
selanjutnya kuman melalui umbilkus masuk ke tubuh bayi. Cara lain, yaitu saat persalinan, cairan
amnion yang sudah terinfeksi dapat terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus
respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain melalui cara tersebut diatas
infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi atau “port de entre” lain saat bayi melewati jalan lahir
yang terkontaminasi oleh kuman (mis. Herpes genitalis, candida albican dan gonorrea).
c. Infeksi pascanatal atau sesudah persalinan. Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi
akibat infeksi nosokomial dari lingkungan diluar rahim (mis, melalui alat-alat; pengisap lendir, selang
endotrakea, infus, selang nasagastrik, botol minuman atau dot). Perawat atau profesi lain yang ikut
menangani bayi dapat menyebabkan terjadinya infeksi nasokomial, infeksi juga dapat terjadi melalui
luka umbilikus.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Sepsis neonatorum adalah suatu infeksi bakteri berat yang menyebar ke seluruh tubuh bayi baru lahir.
Prevalensi kejadian ini adalah < 1% dari bayi baru lahir. Penyebab dari 30% kematian bayi adalah sepsis
neonatorum. Prevalensi sepsis neonatorum di RSU Kabupaten Madiun cukup tinggi (11%). Penyebab
utama kematian bayi tersebut antara lain; asfiksia, prematur, dan sepsis neonatorum. Ketiga faktor ini
diperberat jika ibu hamil mengalami KPD sebelum masa inpartu. Seberapa besar sepsis neonatorum
disebabkan oleh efek KPD di Madiun belum pernah dilaporkan.
Ketuban Pecah Dini (KPD) adalah pecahnya selaput ketuban sebelum tanda-tanda persalinan, dan
ditunggu satu jam belum ada tanda-tanda awal persalinan (Manuaba, 2007). Efek KPD pada bayi
disebabkan oleh infeksi dalam rahim (Mochtar, 1998). Upaya untuk mengurangi angka kesakitan ini
adalah dengan pemberian antibiotika segera, observasi vital signs, observasi detak jantung janin dan
pembatasan pemeriksaan dalam (vaginal toucher).
Menurut Elva (2002), ketuban pecah dini adalah pecahnya ketuban yang terjadi sebelum terjadinya
persalinan. Ketuban Pecah Dini (KPD) terjadi sekitar 2,7-17% kehamilan dan pada kebanyakan kasus
terjadi secara spontan. Istilah KPD digunakan untuk menyatakan peristiwa pecahnya ketuban pada
sembarang waktu sebelum terjadi persalinan, tanpa memperdulikan waktu kehamilan.
Ketuban pecah dini ada dua macam kemungkinan yaitu premature rupture of membranedan preterm
rupture of membrane. Keduanya memiliki gejala yang sama, yaitu keluarnya cairan dan tidak ada
keluhan sakit. Tanda-tanda khasnya KPD adalah keluarnya cairan dan tidak ada keluhan sakit. Aliran
cairan tidak terlalu deras, tidak disertai perasaan mulas atau sakit perut. Ibu akan merasakan sakit bila
janin bergerak-gerak. Menurut Saifuddin (2002), ketuban dinyatakan pecah dini bila terjadi sebelum
proses persalinan berlangsung. Pecahnya selaput ketuban dapat terjadi pada kehamilan preterm
sebelum usia kehamilan 37 minggu maupun kehamilan aterm.
Menurut Ratih Rochmat (2007), dampak ketuban pecah dini dapat berakibat pada faktor ibu dan faktor
janin. Pengaruh pada ibu berupa infeksi intra partum, infeksi nifas, perdarahan post partum, dari akibat
ini maka angka kesakitan dan angka kematian ibu meningkat. Pengaruh pada janin berupa prematuritas,
infeksi intra uterin, prolapsus funikuli, asfiksia neonatorum, angka kesakitan dan kematian bayi
meningkat.
Infeksi selama kehamilan akibat TORCH, ibu hamil dengan eklamsia, ibu hamil dengan diabetus mellitus
dan penyakit bawaan diduga merupakan faktor resiko sepsis neonatorum. Proses persalinan lama,
persalinan dengan tindakan, ketuban pecah dini, air ketuban keruh juga diduga sebagai faktor resiko
sepsis neonatorum. Faktor lain yang menyebabkan sepsis neonatorum adalah; bayi lahir dengan trauma,
bayi lahir kurang bulan, bayi kurang kalori protein, bayi dengan hipitermia. Vagina toucher yang
dilakukan petugas dengan frekuensi sering juga mengakibatkan sepsis neonatorum.
Tujuan Penelitian
Penelitian analitik observasional dengan rancangan kasus kontrol (retrospektif) ini berlokasi di Rumah
Sakit Daerah Kabupaten Madiun. Populasi penelitian adalah semua bayi lahir hidup di RSUD Kabupaten
Madiun selama tahun 2004-2007, sejumlah 1100 bayi. Variabel bebas penelitian adalah kejadian KPD,
sedangkan variabel terikat adalah kejadian sepsis neonatorum. Teknik pengumpulan data menggunakan
data sekunder. Data dikelompokkan dalam data resiko (KPD) dan data efek (sepsis neonatorum). Teknik
analisis data menggunakan pendekatan statistik Chi-Square dengan a £ 0,05. Analisis pengaruh paparan
terhadap efek menggunakan odds ratio.
Dari 1100 persalinan hidup didapatkan; 366 (33,3%) persalinan didahului KPD, dan 734 (66,7%)
persalinan normal (Tabel 1). Dari seluruh bayi baru lahir tersebut, ada 121 (11%) mengalami sepsis
neonatorum, selebihnya 979 (89%) tidak mengalami sepsis neonatorum (Tabel 2). Tabel 3 menunjukkan
bahwa dari 121 bayi yang sepsis, 92 di antaranya (76%) berasal dari ibu hamil dengan KPD, selebihnya 29
(24%) berasal dari ibu hamil tidak dengan KPD. Sedangkan Tabel 4 menggambarkan bahwa dari 1100
persalinan hidup, didapatkan; 676 (95,9%) persalinan tanpa KPD dan bayi tidak mengalami sepsis
neonatorum, 29 (4,1%) persalinan tanpa KPD dan bayi mengalami sepsis neonatorum.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Kejadian Sepsis Neonatorum pada Persalinan Tanpa KPD
Hubungan antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum disajikan pada Tabel 5.
Sepsis Neonatorum
+ – Total
+ 92 274 366
– 29 705 734
Uji Chi-Square menunjukkan nilai p=0,003, dan OR = 8,16. Artinya bila ibu bersalin didahului KPD, bayi
yang dilahirkan akan mengalami sepsis neonatorum 8,16 kali lebih besar daripada yang tidak didahului
KPD. Diketahui bahwa 40% ibu bersalin yang didahului KPD akan melahirkan bayi beresiko sepsis
neonatorum. Sebaliknya 6,53% ibu bersalin yang tidak didahului KPD akan melahirkan bayi beresiko
sepsis neonatorum.
Ketuban pecah dini terjadi karena beberapa faktor resiko yaitu; infeksi kehamilan, pecahnya membran
karena koitus, serviks inkompeten, dan kelainan presentasi janin. Upaya untuk mengurangi resiko antara
lain; antenatal care yang rutin minimal 4 kali selama kehamilan, pendidikan kesehatan pada PUS, dan
sistem rujukan yang memadai. Upaya lain dari petugas kesehatan (bidan) adalah melakukan tindakan
sesuai standar operasional prosedur, patuh melakukan tidakan pencegahan infeksi (UPI) pada setiap
melakukan perawatan, dan pengobatan yang tepat. Upaya-upaya tersebut tidak berhasil mengurangi
prevalensi KPD bila petugas kesehatan enggan melakukan pendidikan dan pelatihan yang kontinu. Oleh
karenanya diduga ada hubungan antara tingkat pendidikan petugas dengan kejadian KPD, dan hal ini
perlu diteliti lebih lanjut.
Prosedur tetap penanganan KPD adalah ibu inpartu didahului KPD kurang dari 24 jam harus sudah
mendapatkan perawatan di RS. Bidan diharuskan mampu mengambil keputusan klinik dengan baik.
Kemampuan bidan dalam membuat keputusan klinik sangat tergantung dari intelectual skill, technical
skill dan interpersonal skill yang dimiliki. Ketiga kemampuan ini merupakan konsep profesional seorang
bidan. Bidan harus mampu menguasai ilmu epidemiologi; perihal faktor resiko kejadian sepsis
neonatorum. Bidan juga dituntut mampu menguasai ilmu fisiologi manusia, ilmu kebutuhan dasar
manusia, dan ilmu kedokteran klinik.
Resiko sepsis neonatorum menjadi 8,16 kali jika terpapar faktor KPD. Hasil penelitian ini sesuai dengan
penelitian Hamdah (2006), bahwa gangguan hasil kehamilan disebabkan oleh ibu hamil yang mengalami
anemia, besarnya odd ratio 8,81 kali. Ada hubungan antara ketuban pecah dini dengan keadaan anemia
(Mochtar, R, 1998). Perdarahan ante partum dan post partum juga lebih sering dijumpai pada wanita
yang anemia (Notobroto,2003). Penelitian Florentina, S (2003) menyebutkan bahwa proporsi terbesar
dari hasil kehamilan terganggu akibat kelainan pada kehamilan. Ada beberapa faktor yang
mempengaruhi hasil kehamilan antara lain; 1) faktor ibu; demografi, penyakit, status gizi, kelainan
persalinan, 2) faktor kehamilan; toksemia gravidarum, kelainan plasenta, kehamilan ganda, perdarahan
antepartum, ketuban pecah dini, dan 3) faktor janin; kelainan pertumbuhan konsepsi, infeksi janin,
kelainan letak janin, 4) faktor lain yang belum diketahui.
Infeksi postnatal adalah infeksi yang diperoleh setelah bayi lahir (aquired infection). Infeksi ini terjadi
akibat dari penggunaan alat kesehatan yang tidak steril, perawatan oleh petugas yang tidak berdasarkan
prinsip universal precaution, atau karena infeksi silang. Angka kesakitan infeksi postnatal ini cukup tinggi
(Wiknjosastro, H, 2005). Beberapa faktor penyebab antara lain; 1) riwayat obstetrik ibu yang jelek, 2)
KPD, 3) keadaan bayi prematur, dan 4) standar pelayanan di unit perawatan intensif khusus anak jelek.
Faktor sosial ekonomi masyarakat secara tidak langsung juga menjadi penyebab sepsis neonatorum
(Manuaba,1998). Keadaan sosial ekonomi dan stress diduga memudahkan terjadinya infeksi saat
kehamilan, nifas dan efeknya adalah infeksi pada anak.
Berbagai kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat menyebabkan infeksi berat yang
mengarah ke terjadinya sepsis. Sepsis pada bayi hampir selalu disebabkan oleh bakteri. Kuman
Streptococcus grup B merupakan penyebab sepsis paling sering pada neonatus.
Pada berbagai kasus sepsis neonatorum, organisme memasuki tubuh bayi melalui ibu selama kehamilan
atau proses persalinan. Beberapa komplikasi kehamilan yang dapat meningkatkan resiko terjadinya
sepsis pada nenonatus antara lain; perdarahan, demam yang terjadi pada ibu, infeksi pada uterus atau
plasenta, KPD sebelum 37 minggu kehamilan, proses kelahiran yang lama dan sulit.
KPD yang tidak segera diikuti dengan adanya tanda persalinan, memberikan peluang pada
mikroorganisme (bakteri) masuk ke tubuh janin melalui vagina. Lama ketuban pecah berhubungan
dengan infeksi neonatal; hal ini dihubungkan dengan peningkatan koloni kuman, ascending
infection dan jumlah vaginal toucher. Para ahli kebidanan telah menyepakati bahwa lama ketuban pecah
lebih dari 18 jam dianggap sebagai resiko terjadinya infeksi neonatus.
Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kasus sebesar 40%. Artinya bahwa ibu
hamil yang didahului KPD sebelum persalinan, 40% bayi yang dilahirkan akan mengalami sepsis
neonatorum. Untuk itu diperlukan pendidikan kesehatan pada ibu hamil untuk mampu menjaga agar
kejadian KPD bisa ditekan. Kedua, bila ditemukan kasus KPD, maka dalam waktu kurang dari 24 jam
harus segera diberikan pengobatan yang adekuat. Ketiga, bila ditemukan kasus di tempat terpencil,
maka diupayakan adanya sistem rujukan yang baik sebelum 24 jam. Upaya-upaya ini hanya bisa
dilakukan bila masing-masing petugas dan masyarakat memiliki komitmen yang sama untuk mengurangi
kejadian infeksi pada bayi setelah dilahirkan.
Angka paparan KPD terhadap sepsis neonatorum pada kelompok kontrol sebesar 6,53%. Fakta ini
memberikan peringatan pada petugas, meskipun perawatan kehamilan sudah dilakukan dengan baik,
adanya faktor resiko tersebut, resiko sepsis pada neonatorum tetap ada. Untuk itu diperlukan
kewaspadaan bidan setiap menolong persalinan.
Simpulan penelitian ini adalah: 1) persalinan yang didahului oleh KPD adalah 33,3%, 2) 25,13% dari
persalinan yang didahului oleh KPD menimbulkan dampak sepsis neonatorum pada bayi yang dilahirkan,
3) Ada hubungan bermakna antara kejadian KPD dengan kejadian sepsis neonatorum, 4) ibu bersalin
yang didahului oleh KPD memberikan resiko 8,16 kali lebih besar melahirkan bayi dengan sepsis
neonatorum.
Saran yang diajukan adalah diperlukan teknik keputusan klinik yang tepat saat perawatan kehamilan
sesuai standar operasional prosedur ANC, guna menekan angka kejadian sepsis neonatorum akibat
resiko KPD.
DAFTAR PUSTAKA
Manuaba, 1998. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan dan Keluarga Berencana. EGC, Jakarta.
RSD Kabupaten Madiun, 2007. Prosedur Tetap Perawatan Ketuban Pecah Dini. Madiun.
Saifuddin, 2002. Panduan Praktis Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal. YBPSP, Jakarta.
Ada teori yang menghitung berapa jam sebelum in partu, misalnya 2 atau 4 atau 6 jam sebelum in partu.
Ada juga yang menyatakan dalam ukuran pembukaan serviks pada kala I, misalnya ketuban yang pecah
sebelum pembukaan serviks 3 cm atau 5 cm, dan sebagainya.
Patofisiologi
Banyak teori, mulai dari defek kromosom, kelainan kolagen, sampai infeksi.
Pada sebagian besar kasus ternyata berhubungan dengan infeksi (sampai 65%).
High virulence : bacteroides. Low virulence : lactobacillus.
Kolagen terdapat pada lapisan kompakta amnion, fibroblas, jaringan retikuler korion dan trofoblas.
Sintesis maupun degradasi jaringan kolagen dikontrol oleh sistem aktifitas dan inhibisi interleukin-1 (IL-
1) dan prostaglandin.
Jika ada infeksi dan inflamasi, terjadi peningkatan aktifitas IL-1 dan prostaglandin, menghasilkan
kolagenase jaringan, sehingga terjadi depolimerisasi kolagen pada selaput korion / amnion,
menyebabkan selaput ketuban tipis, lemah dan mudah pecah spontan.
Faktor risiko / predisposisi ketuban pecah dini / persalinan preterm
1. kehamilan multipel : kembar dua (50%), kembar tiga (90%)
2. riwayat persalinan preterm sebelumnya : risiko 2 – 4x
3. tindakan sanggama : TIDAK berpengaruh kepada risiko, KECUALI jika higiene buruk, predisposisi
terhadap infeksi
4. perdarahan pervaginam : trimester pertama (risiko 2x), trimester kedua/ketiga (20x)
5. bakteriuria : risiko 2x (prevalensi 7%)
6. pH vagina di atas 4.5 : risiko 32% (vs. 16%)
7. servix tipis / kurang dari 39 mm : risiko 25% (vs. 7%)
8. flora vagina abnormal : risiko 2-3x
9. fibronectin > 50 ng/ml : risiko 83% (vs. 19%)
10. kadar CRH (corticotropin releasing hormone) maternal tinggi misalnya pada stress psikologis, dsb,
dapat menjadi stimulasi persalinan preterm
Jika ketuban pecah : jangan sering periksa dalam !! Awasi tanda-tanda komplikasi.
INFEKSI INTRAPARTUM
Infeksi intrapartum adalah infeksi yang terjadi dalam masa persalinan / in partu.
Pada ketuban pecah 6 jam, risiko infeksi meningkat 1 kali. Ketuban pecah 24 jam, risiko infeksi
meningkat sampai 2 kali lipat.
Protokol : paling lama 2 x 24 jam setelah ketuban pecah, harus sudah partus.
Patofisiologi
1. ascending infection, pecahnya ketuban menyebabkan ada hubungan langsung antara ruang
intraamnion dengan dunia luar.
2. infeksi intraamnion bisa terjadi langsung pada ruang amnion, atau dengan penjalaran infeksi melalui
dinding uterus, selaput janin, kemudian ke ruang intraamnion.
3. mungkin juga jika ibu mengalami infeksi sistemik, infeksi intrauterin menjalar melalui plasenta
(sirkulasi fetomaternal).
4. tindakan iatrogenik traumatik atau higiene buruk, misalnya pemeriksaan dalam yang terlalu sering,
dan sebagainya, predisposisi infeksi.
Kuman yang sering ditemukan : Streptococcus, Staphylococcus (gram positif), E.coli (gram negatif),
Bacteroides, Peptococcus (anaerob).
Sepsis adalah suatu keadaan di mana tubuh bereaksi hebat terhadap bakteria atau mikroorganisme lain.
Sepsis merupakan suatu keadaan yang mesti ditangani dengan baik yang berhubungan dengan adanya
infeksi oleh bakteri. Bila tidak segera diatasi, Sepsis dapat menyebabkan kematian penderita.
Tanda dan gejala infeksi ini harus memenuhi paling sedikit 2 kriteria dari Systemic Inflamatory Response
Syndrome (SIRS). Kriteria utama dari SIRS adalah: meningkatnya denyut jantung, demam dan
meningkatnya bunyi pernafasan.
Jumlah sel-sel darah putih yang tidak normal, yaitu >12000 sel/cu mm atau <4000 sel/cu mm.
Penyebab utama dari Sepsis adalah adanya infeksi oleh bakteri atau jamur. Sepsis merupakan penyebab
utama terjadinya Shock dan memberikan angka kematian sekitar 30%-87%.
Faktor risiko untuk terjadinya Sepsis antara lain: umur, penyakit kencing manis, obat imunosupresi (yang
dapat menekan sistim kekebalan tubuh) dan adanya riwayat tindakan invasif (pemasukan suatu alat
kedokteran ke dalam tubuh), misalnya pemasangan kateter air seni, penyuntikan secara intravena
(melalui pembuluh darah balik / vena), dan lain-lain.
Secara umum, Sepsis pada penderita dengan umur lanjut mempunyai Prognosa (ramalan penyakit) yang
lebih buruk daripada umur dewasa. Prognosa Sepsis tergantung dari keganasan Sepsis dan status
kesehatan dari penderita.
MRSA sepsis yaitu sepsis yang disebabkan oleh Methicilin-resisten bakteri Stapphylocoocus
auerus, (yang menyerang darah dan jaringan tubuh lain).
VRE sepsis yaitu sepsis yang disebabkan oleh Vancomycin-resisten bakteri Enterococcus species, (yang
menyerang darah dan jaringan tubuh lain).
Urosepsis, yaitu sepsis yang disebabkan oleh adanya infeksi saluran kencing.
Neonatal sepsis atau Neonatorum sepsis atau Septicemia, yaitu sepsis pada bayi yang baru lahir,
terutama 4 minggu pertama sejak dilahirkan.
Septic abortion, yaitu keguguran yang disebabkan oleh adanya infeksi dengan terjadinya sepsis pada
seorang Ibu yang mengalami keguguran.
GEJALA
Pada keadaan Sepsis, terdapat tekanan darah yang menurun, yang menyebabkan terjadinya Shock.
Organ-organ tubuh termasuk jantung, ginjal, hati, paru-paru dan susunan syaraf pusat berhenti bekerja
dengan baik karena terdapat aliran darah yang menurun.
Secara umum, penderita akan menunjukkan gejala menggigil, penurunan kesadaran sehingga tidak
dapat diajak bicara, demam atau penurunan suhu tubuh, sakit kepala akibat tekanan darah yang
menurun, denyut jantung meninggi, bercak-bercak di kulit dan perdarahan juga dapat terjadi
Gejala pada usia lanjut sama dengan gejala pada usia dewasa (menggigil, kelemahan, pernafasan yang
cepat dan kulit tampak lebih gelap). Gejala pada penderita usia anak-anak dapat sama dengan usia
dewasa, namun lebih menonjol pada gejala demam dan produksi air seni yang menurun, penurunan
kesadaran.
Gejala lain pada penderita bayi yang baru lahir adalah demam, berbau cairan amoniak, tanda-tanda vital
yang abnormal, kejang dan muntah yang bersifat projektil (terlempar jauh).
Untuk menentukan jenis bakteri yang terdapat dalam darah, perlu dilakukan biakan darah dan tes
resistensi terhadap jenis antibiotika.
PENYEBAB
Infeksi bakteri atau jamur di dalam tubuh bagian mana saja dapat menjadi penyebab terjadinya Sepsis.
Tempat-tempat yang sering terjadinya awal infeksi antara lain:
Aliran darah,
Tulang,
Usus,
Ginjal,
Otak,
Hati,
Kandung empedu,
Paru-paru,
Kulit.
Secara umum, penderita dengan Sepsis dapat menularkan kepada orang lain sehingga harus
diperhatikan tindakan mencuci tangan, sarung tangan yang steril, pemakaian masker dan pakaian
penutup badan.
PENGOBATAN
Penderita Sepsis sebaiknya dirawat di rumah sakit dan biasanya ditempatkan di Unit Perawatan Intensif
(UPI);
Pemberian obat antibiotika secepatnya melalui infus, dengan kombinasi 2 atau 3 macam antibiotika
pada saat yang sama. Bila hasil pemeriksaan tes resistensi sudah didapatm maka penderita dapat segera
diberikan antibiotika yang masih dapat membunuh bakteri yang didapat dalam pemeriksaan Kultur dari
darah penderita;
Pemberian cairan secara intravena dan pemberian Oksigen. Pemberian cairan melalui infus
dimaksudkan untuk meningkatkan tekanan darah penderita untuk mengurangi jumlah kematian
penderita Sepsis. Pemeriksaan kultur darah, pemberian antibiotika dan pemberian cairan untuk
mengatasi Sepsis sangat diperlukan dalam 6 jam pertama sejak penderita dirawat;
Sepsis dengan cepat dapat menyebabkan kematian penderita. Oleh karena itu, pengobatan harus segera
dilakukan. Pemberian antibiotika yang terlambat dapat meningkatkan kematian 7% setiap jamnya. Pada
kebanyakan kasus, penderita Sepsis diberi pengobatan dalam ruangan Unit Perawatan Intensif.
Pengobatan yang dapat diberikan pada penderita dengan keadaan Septik Shock:
Perbaiki kesimbangan Cairan dan Elektrolit (mineral Natrium, Kalium). Bila terdapat keadaan Asidosis
(larutan yang bersifat Asam), diberikan larutan Natrium bikarbonat (larutan yang bersifat Basa ini akan
menetralisir suasana asam ini);
Tekanan darah Sistolik (tekanan darah saat jantung sedang berkontraksi) dipertahankan pada 90-100
mmHg (bila tekanan darah ini < 90 mmHg, maka penderita dapat mengalami Shok, penurunan
kesadaran);
Pada Septik shock, sering terjadi pembekuan darah di dalam seluruh pembuluh darah yang dapat diobati
dengan Heparin (sebagai pengencer darah agar tidak menggumpal);
Keberhasilan pengobatan penderita dengan Sepsis tergantung dari beberapa hal, yaitu: tingkat
keganasan Sepsis dan keadaan status kesehatan penderita. Sebagai contoh, pasien dengan sepsis dan
tidak ada tanda berkelanjutan kegagalan organ pada saat didiagnosis memiliki sekitar 15% -30%
perubahan kematian. Penderita dengan Sepsis yang hebat atau Septic shock mempunyai angka
kematian sebesar 40-60%, di mana pada usia lanjut angka tersebut dapat menjadi lebih tinggi. Penderita
anak dan anak yang baru lahir dengan Sepsis mempunyai angka kematian sebsar 9-36%.
Kematian penderita Sepsis disebabkan oleh adanya kegagalan multi organ tubuh (hati, ginjal atau paru-
paru).
Faktor risiko untuk terjadinya Sepsis dapat dikurangi dengan berbagai cara. Cara yang penting untuk
mengurangi terjadinya Sepsis adalah dengan mencegah terjadinya infeksi dengan cara:
Pemberian vaksinasi,
Mencuci tangan,
Bila terjadi infeksi pada tubuh, pemberian pengobatan untuk mengatasi infeksi sangat diperlukan
sebelum infeksi menyebar melalui aliran darah ke seluruh tubuh. Ini penting dilakukan sebagai
pencegahan infeksi, misalnya pada penderita kanker, penderita kencing manis dan penderita usia lanjut.
A. Definisi Sepsis
Sepsis adalah suatu keadaan ketika mikroorganisme menginvasi tubuh dan menyebabkan respon
inflamasi sitemik. Respon yang ditimbulkan sering menyebabkan penurunan perfusi organ dan disfungsi
organ. Jika disertai dengan hipotensi maka dinamakan Syok sepsis. ( Linda D.U, 2006), Sepsis adalah
sindrom yang dikarakteristikan oleh tanda-tanda klinis dan gejala-gejala infeksi yang parah yang dapat
berkembang ke arah septisemia dan syok septik. (Doenges, Marylyn E. 2000). Sepsis adalah infeksi berat
dengan gejala sistemik dan terdapat bakteri dalam darah. (Surasmi, Asrining. 2003).Sepsis adalah
mikrooganisme patogen atau toksinnya didalam darah. (Dorland, 2010). Dari definisi di atas penyusun
menyimpulkan bahwa sepsis adalah infeksi bakteri generalisata dalam darah yang biasanya terjadi pada
bulan pertama kehidupan dengan tanda dan gejala sistemik.
B. Patofisiologi Sepsis
Sepsis disebabkan oleh bakteri gram negatip (70%), bakteri gram positip (20-40%), jamur dan virus (2-
3%), protozoa (Iskandar, 2002).Produk bakteri yang berperan penting pada sepsis adalah
lipopolisakarida (LPS) yang merupakan komponen utama membran terluar bakteri gram negatip dan
berperan terhadap timbulnya syok sepsis (Guntur, 2008; Cirioni et al., 2006). LPS mengaktifkan respon
inflamasi sistemik (Systemic Inflamatory Response Syndrome/SIRS) yang dapat mengakibatkan syok
serta Multiple Organ Failure (MOF) (Arul, 2001). Apoptosis berperan dalam terjadinya patofisiologi
sepsis dan mekanisme kematian sel pada sepsis (Hotchkiss dan Irene, 2003; Chang et al., 2007).Pada
pasien sepsis akan terjadi peningkatan apoptosis limfosit lebih besar dari 25% total limfosit di lien (Irene,
2007).
Sitokin sebagai mediator inflamasi tidak berdiri sendiri dalam sepsis, masih banyak faktor lain
(nonsitokin) yang sangat berperan dalam menentukan perjalanan penyakit. Respon tubuh terhadap
patogen melibatkan berbagai komponen sistem imun dan sitokin, baik yang bersifat proinflamasi
maupun antiinflamasi. Termasuk sitokin proinflamasi adalah tumor necrosis factor(TNF), interleukin-
1(IL-1), dan interferon-γ (IFN-γ) yang bekerja membantu sel untuk menghancurkan mikroorganisme yang
menginfeksi. Termasuk sitokin antiinflamasi adalah interleukin-1 reseptor antagonis (IL-1ra), IL-4, dan IL-
10 yang bertugas untuk memodulasi, koordinasi atau represi terhadap respon yang berlebihan.
Sedangkan IL-6 dapat bersifat sebagai sitokin pro- dan anti-inflamasi sekaligus.
Penyebab sepsis paling banyak berasal dari stimulasi toksin, baik dari endotoksin gram (-) maupun
eksotoksin gram (+). Komponen endotoksin utama yaitu lipopolisakarida (LPS) atau endotoksin
glikoprotein kompleks dapat secara langsung mengaktifkan sistem imun seluler dan humoral, bersama
dengan antibodi dalam serum darah penderita membentuk lipopolisakarida antibodi (LPSab). LPSab
yang berada dalam darah penderita dengan perantaraan reseptor CD14+ akan bereaksi dengan
makrofag yang kemudian mengekspresikan imunomudulator.
Pada sepsis akibat kuman gram (+), eksotoksin berperan sebagai super-antigen setelah difagosit oleh
monosit atau makrofag yang berperan sebagai antigen processing celldan kemudian ditampilkan sebagai
antigen presenting cell (APC). Antigen ini membawa muatan polipeptida spesifik yang berasal dari major
histocompatibility complex (MHC), kemudian berikatan dengan CD42+(limposit Th1 dan Th2) dengan
perantaraan T cell receptor(TCR).
Sebagai usaha tubuh untuk bereaksi terhadap sepsis maka limposit T akan mengeluarkan substansi dari
Th1 yang berfungsi sebagai imunomodulator yaitu: IFN-γ, IL-2, dan macrophage colony stimulating
factor (M-CSF0. Limposit Th2 akan mengeluarkan IL-4, IL-5, IL-6, dan IL-10. IFN-γ meransang makrofag
mengeluarkan IL-1ß dan TNF-α. Pada sepsis IL-2 dan TNF-α dapatmerusak endotel pembuluh darah. IL-
1ß juga berperandalam pembentukan prostaglandin E2 (PG-E) dan meransang ekspresi intercellular
adhesion molecule-1(ICAM-1). ICAM-1 berperan pada proses adhesi neutrofil dengan endotel.Neutrofil
yang beradhesi dengan endotel akan mengeluarkan lisosim yang menyebabkan dinding endotel lisis.
Neutrofil juga membawa superoksidan radikal bebas yang akan mempengaruhi oksigenasi mitokondria.
Akibat proses tersebut terjadi kerusakan endotel pembuluh darah. Kerusakan endotel akan
menyebabkan gangguan vaskuler sehingga terjadi kerusakan organ multipel.
Masuknya mikroorganisme penginfeksi ke dalam tubuh akan menimbulkan reaksi yang berlebihan dari
sistem imun dan menyebabkan aktivasi APC yang akan mempresentasikan mikroorganisme tersebut ke
limfosit. APC akan mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi seperti TNF-α, IL-1, IL-6, C5a dan
lainnya, yang menimbulkan SIRS dan MOD yang dihasilkan oleh sel limfosit akan menyebabkan limfosit
teraktivasi dan berproliferasi serta berdiferensiasi menjadi sel efektor (Abbas dan Litchman, 2005;
Remick, 2007).
Sel limfosit yang telah berdiferensiasi ini kemudian akan mengeluarkan mediator-mediator proinflamasi
yang berlebihan tanpa diimbangi medioator antiinflamasi yang memadai. Ketidakseimbangan antara
proinflamasi dan antiinflamasi ini kemudian akan menimbulkan keadaan hiperinflamasi sel endotel yang
selanjutnya akan menyebabkan rangkaian kerusakan hingga kegagalan organ yang merugikan (Guntur,
2008).
Sel-sel imun yang paling terlihat mengalami disregulasi apoptosis ini adalah limfosit (Wesche-Soldato et
al., 2007). Apoptosis limfosit ini terjadi pada semua organ limfoid seperti lien dan timus (Hotchkiss et al.,
2005). Apoptosis limfosit juga berperan penting terhadap terjadinya patofisiologi sepsis (Chang et al.,
2007). Apoptosis limfosit dapat menjadi penyebab berkurangnya fungsi limfosit pada pasien sepsis
(Remick, 2007).
C. Etiologi
Sepsis biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri (meskipun sepsis dapat disebabkan oleh virus, atau
semakin sering, disebabkan oleh jamur). Mikroorganisme kausal yang paling sering ditemukan pada
orang dewasa adalah Escherichia coli, Staphylococcus aureus, danStreptococcus pneumonia.
Spesies Enterococcus, Klebsiella, danPseudomonas juga sering ditemukan. Umumnya, sepsis merupakan
suatu interaksi yang kompleks antara efek toksik langsung dari mikroorganisme penyebab infeksi dan
gangguan respons inflamasi normal dari host terhadap infeksi.
Kultur darah positif pada 20-40% kasus sepsis dan pada 40-70% kasus syok septik. Dari kasus-kasus
dengan kultur darah yang positif, terdapat hingga 70% isolat yang ditumbuhi oleh satu spesies bakteri
gram positif atau gram negatif saja; sisanya ditumbuhi fungus atau mikroorganisme campuran lainnya.
Kultur lain seperti sputum, urin, cairan serebrospinal, atau cairan pleura dapat mengungkapkan etiologi
spesifik, tetapi daerah infeksi lokal yang memicu proses tersebut mungkin tidak dapat diakses oleh
kultur.
Insidensi sepsis yang lebih tinggi disebabkan oleh bertambah tuanya populasi dunia, pasien-pasien yang
menderita penyakit kronis dapat bertahan hidup lebih lama, terdapat frekuensi sepsis yang relatif tinggi
di antara pasien-pasien AIDS, terapi medis (misalnya dengan glukokortikoid atau antibiotika), prosedur
invasif (misalnya pemasangan kateter), dan ventilasi mekanis
Sepsis dapat dipicu oleh infeksi di bagian manapun dari tubuh. Daerah infeksi yang paling sering
menyebabkan sepsis adalah paru-paru, saluran kemih, perut, dan panggul. Jenis infeksi yang sering
dihubungkan dengan sepsis yaitu:
2) Flu (influenza)
3) Appendiksitis
6) Infeksi kulit, seperti selulitis, sering disebabkan ketika infus atau kateter telah dimasukkan ke
dalam tubuh melalui kulit
7) Infeksi pasca operasi
Infeksi sistem saraf, seperti meningitis atau encephalitis. Sekitar pada satu dari lima kasus, infeksi dan
sumber sepsis tidak dapat terdeteksi.
D. Pathway
1. Pengkajian
a. Airway : Yakinkan kepatenan jalan napas, Berikan alat bantu napas jika perlu, Jika terjadi
penurunan fungsi pernapasan segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU
b. Breathing: Kaji jumlah pernapasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang signifikan,
Kaji saturasi oksigen, Periksa gas darah arteri untuk mengkaji status oksigenasi dan kemungkinan
asidosis, Berikan 100% oksigen melalui non re-breath mask, auskulasi dada, untuk mengetahui adanya
infeksi di dada, Periksa foto thorak
c. Circulation: Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan, Monitoring
tekanan darah, tekanan darah, Periksa waktu pengisian kapiler, Pasang infuse dengan menggunakan
canul yang besar, Berikan cairan koloid – gelofusin atau haemaccel, Pasang kateter,
Lakukan pemeriksaan darah lengkap, Catat temperature, kemungkinan pasien pyreksia atau
temperature kurang dari 360C, Siapkan pemeriksaan urin dan sputum, Berikan antibiotic spectrum luas
sesuai kebijakan setempat.
d. Disability: Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal sebelumnya
tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran dengan menggunakan AVPU.
e. Exposure: Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat suntikan dan
tempat sumber infeksi lainnya.
g. Sirkulasi
· Obyektif : Tekanan darah bisa normal atau meningkat (terjadinya hipoksemia), hipotensi terjadi
pada stadium lanjut (shock), Heart rate : takikardi biasa terjadi, Bunyi jantung : normal pada fase awal,
S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi disritmia dapat terjadi, tetapi ECG sering menunjukkan
normal, Kulit dan membran mukosa : mungkin pucat, dingin. Cyanosis biasa terjadi (stadium lanjut)
j. Neurosensori: Subyektif atau Obyektif : Gejala truma kepala, kelambatan mental, disfungsi motorik
k. Respirasi; Subyektif : Riwayat aspirasi, merokok/inhalasi gas, infeksi pulmolal diffuse, kesulitan
bernafas akut atau khronis, “air hunger”, Obyektif : Respirasi : rapid, swallow, grunting