TINJAUAN PUSTAKA
Klasifikasi
negatif (E. coli, Klebsiella, dan Pseudomonas aeruginosa). Tabel di bawah ini mencoba
menggambarkan klasifikasi sepsis berdasarkan awitan dan sumber infeksi.1,3
Di negara berkembang pembagian SAD dan SAL tidak jelas karena sebagian besar
bayi tidak dilahirkan di rumah sakit. Oleh karena itu, penyebab infeksi tidak dapat
diketahui apakah berasal dari jalan lahir (SAD) atau diperoleh dari lingkungan sekitar
(SAL). 1
2.1.3. Etiologi
Berbagai macam kuman seperti bakteri, virus, parasit, atau jamur dapat
menyebabkan infeksi berat yang mengarah pada terjadinya sepsis. Dalam kajian ini,
kami hanya membahas sepsis yang disebabkan oleh bakteri.1
Pola kuman penyebab sepsis pun berbeda-beda antar negara dan selalu berubah
dari waktu ke waktu. Bahkan di negara berkembang sendiri ditemukan perbedaan
pola kuman, walaupun bakteri Gram negatif rata-rata menjadi penyebab utama dari
sepsis neonatorum. 1
Perbedaan pola kuman penyebab sepsis antar negara berkembang telah diteliti
oleh World Health Organization Young Infants Study Group pada tahun 1999 di
empat negara berkembang yaitu Ethiopia, Philipina, Papua New Guinea dan
Gambia. Penelitian tersebut mengemukakan bahwa kuman isolat yang tersering
ditemukan pada kultur darah adalah Staphylococcus aureus (23%), Streptococcus
pyogenes (20%) dan E. coli (18%). Pada cairan serebrospinal yang terjadi pada
meningitis neonatus awitan dini banyak ditemukan bakteri Gram negatif terutama
Klebsiella sp dan E. Coli, sedangkan pada awitan lambat selain bakteri Gram negatif
juga ditemukan Streptococcus pneumoniae serotipe 2. E.coli biasa ditemukan pada
neonatus yang tidak dilahirkan di rumah sakit serta pada usap vagina wanita di
daerah pedesaan. Sementara Klebsiella sp biasanya diisolasi dari neonatus yang
dilahirkan di rumah sakit. Selain mikroorganisme di atas, patogen yang sering
ditemukan adalah Pseudomonas, Enterobacter, dan Staphylococcus aureus. 1,2,4
Di RSCM telah terjadi 3 kali perubahan pola kuman dalam 30 tahun terakhir. Di
Divisi Neonatologi Departemen Ilmu Kesehatan Anak FKUI-RSCM pada tahun
2003, kuman terbanyak yang ditemukan berturut-turut adalah Acinetobacter sp,
Enterobacter sp, Pseudomonas sp. Data terakhir bulan Juli 2004-Mei 2005
menunjukkan
Acinetobacter
calcoacetius
paling
sering
(35,67%),
diikuti
2,3
Pola penyebab sepsis ternyata tidak hanya berbeda antar klinik dan antar waktu,
tetapi terdapat perbedaan pula bila awitan sepsis tersebut berlainan. Dapat
disimpulkan bahwa etiologi penyebab sepsis neonatorum berlainan antar negara dan
dari waktu ke waktu. Selain itu, kuman penyebab antara SAD dan SAL pun berbeda.
Oleh karena itu, pemeriksaan pola kuman secara berkala pada masing-masing klinik
dan rumah sakit memegang peranan yang sangat penting.2,3
2.1.4. Perjalanan Penyakit & Patogenesis
Infeksi bukan merupakan keadaan yang statis. Adanya patogen di dalam darah
(bakteremia, viremia) dapat menimbulkan keadaan yang berkelanjutan dari infeksi
(FIRS: Fetal Inflammatory Response Syndrome/SIRS:Systemic Inflammatory
Response Syndrome) ke sepsis, sepsis berat, syok septik, kegagalan multi organ,
dan akhirnya kematian.4,5
Tabel 2.2 Perjalanan penyakit infeksi pada neonatus5
Tabel 2.4 Kriteria infeksi, sepsis, sepsis berat, dan syok septik6
Patofisiologi
Berbagai penelitian dan pengalaman para ahli telah digunakan untuk menyusun
kriteria sepsis neonatorum baik berdasarkan anamnesis (termasuk adanya faktor resiko
ibu dan neonatus terhadap sepsis), gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang.
Kriteria sepsis berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya. Selama dalam
kandungan janin relatif aman terhadap kontaminasi kuman karena terlindung oleh
berbagai organ tubuh seperti plasenta, selaput amnion, khorion, dan beberapa faktor
anti infeksi dari cairan amnion.4
Infeksi pada neonatus dapat terjadi antenatal, intranatal dan pascanatal. Lintas
infeksi perinatal dapat digolongkan sebagai berikut:1,4,6
a. Infeksi Antenatal.
Infeksi antenatal pada umumnya infeksi transplasenta, kuman berasal dari ibu,
kemudian melewati plasenta dan umbilikus dan masuk ke dalam tubuh bayi melalui
sirkulasi bayi. Infeksi bakteri antenatal antara lain oleh Streptococcus Group B.
Penyakit lain yang dapat melalui lintas ini adalah toksoplasmosis, malaria dan sifilis.
Pada dugaan infeksi tranplasenta biasanya selain skrining untuk sifilis, juga dilakukan
skrining terhadap TORCH (Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus dan Herpes).
b. Infeksi Intranatal
Infeksi intranatal pada umumnya merupakan infeksi asendens yaitu infeksi yang
berasal dari vagina dan serviks. Karena ketuban pecah dini maka kuman dari serviks
dan vagina menjalar ke atas menyebabkan korionitis dan amnionitis. Akibat korionitis,
maka infeksi menjalar terus melalui umbilikus dan akhirnya ke bayi. Selain itu
korionitis menyebabkan amnionitis dan liquor amnion yang terinfeksi ini masuk ke
traktus respiratorius dan traktus digestivus janin sehingga menyebabkan infeksi disana.
Infeksi lintas jalan lahir ialah infeksi yang terjadi pada janin pada saat melewati
jalan lahir melalui kulit bayi atau tempat masuk lain. Pada umumnya infeksi ini adalah
akibat kuman Gram negatif yaitu bakteri yang menghasilkan warna merah pada
pewarnaan Gram dan kandida. Menurut Centers for Diseases Control and Prevention
(CDC) Amerika, paling tidak terdapat bakteria pada vagina atau rektum pada satu dari
setiap lima wanita hamil, yang dapat mengkontaminasi bayi selama melahirkan.
c. Infeksi Pascanatal
Infeksi pascanatal pada umumnya akibat infeksi nosokomial yang diperoleh bayi
dari lingkungannya di luar rahim ibu, seperti kontaminasi oleh alat-alat, sarana
perawatan dan oleh yang merawatnya. Kuman penyebabnya terutama bakteri, yang
sebagian besar adalah bakteri Gram negatif. Infeksi oleh karena kuman Gram negatif
umumnya terjadi pada saat perinatal yaitu intranatal dan pascanatal.
Bila paparan kuman ini berlanjut dan memasuki aliran darah, akan terjadi respons
tubuh yang berupaya untuk mengeluarkan kuman dari tubuh. Berbagai reaksi tubuh
yang terjadi akan memperlihatkan pula bermacam gambaran gejala klinis pada pasien.
Tergantung dari perjalanan penyakit, gambaran klinis yang terlihat akan berbeda. Oleh
karena itu, pada penatalaksanaan selain pemberian antibiotika, harus memperhatikan
pula gangguan fungsi organ yang timbul akibat beratnya penyakit.
2.1.5. Diagnosis
2.1.5.1.
Faktor Resiko
Terjadinya sepsis neonatorum dipengaruhi oleh faktor resiko pada ibu, bayi dan
lain-lain.1,4,5
Faktor resiko ibu:
1. Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah
lebih dari 24 jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila
disertai korioamnionitis, kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
2. Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis,
infeksi saluran kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB),
kolonisasi perineal oleh E. coli, dan komplikasi obstetrik lainnya.
3. Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
4. Kehamilan multiple.
5. Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
6. Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Faktor resiko pada bayi:
1. Prematuritas dan berat lahir rendah.
2. Dirawat di Rumah Sakit.
3. Resusitasi pada saat kelahiran, misalnya pada bayi yang mengalami fetal distress
dan trauma pada proses persalinan.
4. Prosedur invasif seperti intubasi endotrakeal, pemakaian ventilator, kateter,
infus, pembedahan, akses vena sentral, kateter intratorakal.
Bayi dengan galaktosemia (predisposisi untuk sepsis oleh E. coli), defek imun,
atau asplenia.
5. Asfiksia neonatorum.
6. Cacat bawaan.
7. Tanpa rawat gabung.
8. Tidak diberi ASI.
9. Pemberian nutrisi parenteral.
10. Perawatan di bangsal intensif bayi baru lahir yang terlalu lama.
11. Perawatan di bangsal bayi baru lahir yang overcrowded.
12. Buruknya kebersihan di NICU.
Faktor resiko lain
Beberapa kepustakaan menyebutkan bahwa sepsis neonatorum lebih sering terjadi
pada bayi laki-laki daripada perempuan, pada bayi kulit hitam daripada kulit putih,
pada bayi dengan status ekonomi rendah, dan sering terjadi akibat prosedur cuci tangan
yang tidak benar pada tenaga kesehatan maupun anggota keluarga pasien, serta
buruknya kebersihan di NICU.
Faktor-faktor di atas sering dijumpai dalam praktek sehari-hari dan masih menjadi
masalah sampai saat ini. Hal ini merupakan salah satu penyebab tidak adanya
perubahan pada angka kejadian sepsis neonatal dalam dekade terakhir ini. Faktor-faktor
resiko ini walaupun tidak selalu berakhir dengan infeksi, harus tetap mendapatkan
perhatian khusus terutama bila disertai gambaran klinis.
2.1.5.2.
Gambaran Klinis
Gambaran klinis pasien sepsis neonatus tidak spesifik. Gejala sepsis klasik yang
ditemukan pada anak jarang ditemukan pada neonatus, namun keterlambatan dalam
menegakkan diagnosis dapat berakibat fatal bagi kehidupan bayi. Gejala klinis yang
terlihat sangat berhubungan dengan karakteristik kuman penyebab dan respon tubuh
terhadap masuknya kuman. Janin yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir
dengan asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir,
bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat berbagai
kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat kelainan susunan saraf
pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah kadang-kadang terdengar high pitch
cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi,
pucat, sianosis, dingin dan dummy skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan
hematologik, gastrointestinal ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah,
diare, distensi abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang
memanjang, takipnea, apnea, merintih dan retraksi).1,4,6
Selain itu, menurut Buku Pedoman Integrated Management of Childhood Illnesses
tahun 2000 mengemukakan bahwa kriteria klinis Sepsis Neonatorum Berat bila
ditemukan satu atau lebih dari gejala-gejala berikut ini:
Merintih
Kejang
Suhu >37,7C (atau akral teraba hangat) atau < 35,5C (atau akral teraba dingin)
Bervariasinya gejala klinik ini merupakan penyebab sulitnya diagnosis pasti pada
pasien. Oleh karena itu, pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium
ataupun pemeriksaan khusus lainnya perlu dilakukan.
2.1.5.3.
Pemeriksaan Penunjang4,5,6
Hematologi
Darah rutin, termasuk kadar hemoglobin Hb, hematokrit Ht, leukosit dan
hitung jenis, trombosit. Pada umumnya terdapat neutropenia PMN <1800/l,
trombositopeni <150.000/l (spesifisitas tinggi, sensitivitas rendah), neutrophil
muda meningkat >1500/l, rasio neutrofil imatur : total >0,2. Adanya reaktan
fase akut yaitu CRP (konsentrasi tertinggi dilaporkan pada infeksi bakteri,
kenaikan sedang didapatkan pada kondisi infeksi kronik), LED, GCSF
(granulocyte colonystimulating factor), sitokin IL-1, IL-6 dan TNF (tumour
necrosis factor).
Biakan darah atau cairan tubuh lainnya (cairan serebrospinalis) serta uji
resistensi, pelaksanaan pungsi lumbal masih kontroversi, dianjurkan dilakukan
pada bayi yang menderita kejang, kesadaran menurun, klinis sakit tampak makin
berat dan kultur darah positip.
Pemeriksaan apusan Gram dari bahan darah maupun cairan liquor, serta urin.
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan radiologi yang diperlukan ialah foto dada, abdomen atas indikasi,
dan ginjal. Pemeriksaan USG ginjal, skaning ginjal, sistouretrografi dilakukan atas
indikasi.
Pemeriksaan Penunjang Lain
Pemeriksaan
plasenta
dan
selaput
janin
dapat
menunjukkan
adanya
beberapa klinik melakukan upaya penegakan diagnosis dengan berbagai cara. Ada
klinik yang mempergunakan faktor-faktor resiko, ada pula yang mempergunakan
gabungan beberapa gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang ataupun kombinasi
berbagai pemeriksaan penunjang dalam melakukan pendekatan diagnosis. Divisi
Perinatologi FKUI/RSCM mencoba melakukan pendekatan diagnosis dengan
menggunakan faktor resiko dan mengelompokkan faktor resiko tersebut dalam resiko
mayor dan resiko minor.1,3,5
Resiko mayor :
1. Ketuban pecah > 24 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 38 C
3. Korioamnionitis
4. Denyut jantung janin yang menetap > 160x/menit
5. Ketuban berbau
Resiko minor :
1. Ketuban pecah > 12 jam
2. Ibu demam; saat intrapartum suhu > 37,5 C
3. Nilai Apgar rendah ( menit ke-1< 5 , menit ke-5< 7 )
4. Bayi berat lahir sangat rendah ( BBLSR ) < 1500 gram.
5. Usia gestasi < 37 minggu.
6. Kehamilan ganda.
7. Keputihan pada ibu.
8. Ibu dengan infeksi saluran kemih (ISK) / tersangka ISK yang tidak diobati.
Bila terdapat satu faktor resiko mayor dan dua faktor resiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septic
work-up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan
identifikasi pasien secara dini dan penatalaksanaan yang lebih efisien sehingga
mortalitas dan morbiditas pasien diharapkan dapat membaik.1
Saat ini, upaya penegakan diagnosis sepsis mengalami beberapa perkembangan.
Pada tahun 2004, The International Sepsis Forum mengajukan usulan kriteria
diagnosis sepsis pada neonatus berdasarkan perubahan klinis sesuai dengan
perjalanan infeksi. Gambaran klinis sepsis neonatorum dikelompokkan menjadi 4
variabel, yaitu variabel klinik, variabel hemodinamik, variabel perfusi jaringan, dan
variabel inflamasi.5.6
Variabel Klinik :
Suhu tubuh tidak stabil
Laju nadi > 180 kali/menit, < 100 kali/menit
Laju nafas > 60 kali/menit, dengan retraksi atau desaturasi oksigen
Letargi
Intoleransi glukosa ( plasma glukosa > 10 mmol/L )
Intoleransi minum
Variabel Hemodinamik :
TD < 2 SD menurut usia bayi
TD sistolik < 50 mmHg ( bayi usia 1 hari )
TD sistolik < 65 mmHg ( bayi usia < 1 bulan )
Variabel Perfusi Jaringan :
Pengisian kembali kapiler > 3 detik
Asam laktat plasma > 3 mmol/L
Variabel Inflamasi :
Leukositosis ( > 34000x109/L )
Leukopenia ( < 5000 x 109/L )
Neutrofil muda > 10%
Neutrofil muda/total neutrofil ( I/T ratio ) > 0,2
Trombositopenia <100000 x 109/L
C Reactive Protein > 10 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
Procalcitonin > 8,1 mg/dL atau > 2 SD dari nilai normal
IL-6 atau IL-8 >70 pg/mL
16 S rRNA gene PCR : positif
2.1.6. Penatalaksanaan
Eliminasi kuman penyebab merupakan pilihan utama dalam tata laksana sepsis
neonatorum, sedangkan penentuan kuman penyebab membutuhkan waktu dan
mempunyai kendala tersendiri. Hal ini merupakan masalah dalam melaksanakan
pengobatan optimal karena keterlambatan pengobatan akan berakibat peningkatan
komplikasi yang tidak diinginkan. Sehubungan dengan hal tersebut, penggunaan
antibiotik secara empiris dapat dilakukan dengan memperhatikan pola kuman penyebab
yang tersering ditemukan di klinik tersebut. Antibiotik tersebut segera diganti apabila
sensitivitas kuman diketahui. Selain itu, beberapa terapi suportif (adjuvant) juga sudah
mulai
dilakukan
walaupun
beberapa
dari
terapi
tersebut
belum
terbukti
Pada kasus resiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti
stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi
awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan resiko infeksi
Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin
(golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin
generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas
dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. 7,8,9
mikroorganisme
yang
resisten
dibandingkan
dengan
pemberian
aminoglikosida.9,10
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi
ketiga yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat
digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif. 7,8
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap antibiotik
lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati dengan
a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin). 7,8
Pemberian antibiotik pada SAD dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa
meniru seperti yang dilakukan di negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya
disesuaikan dengan pola kuman yang ada pada masing-masing unit perawatan
neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji resistensi harus dilakukan secara
rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih antibiotik. 7,8
Terapi suportif (adjuvant)
Pada sepsis neonatorum berat mungkin terlihat disfungsi dua sistem organ atau
lebih yang disebut disfungsi multi organ, seperti gangguan fungsi respirasi, gangguan
kardiovaskular dengan manifestasi syok septik, gangguan hematologik seperti
koagulasi intravaskular diseminata (KID), dan/atau supresi sistem imun. Pada keadaan
tersebut dibutuhkan terapi suportif seperti pemberian oksigen, pemberian inotropik, dan
pemberian komponen darah. Terapi suportif ini dalam kepustakaan disebut terapi
adjuvant dan beberapa terapi yang dilaporkan di kepustakaan antara lain pemberian
intravenous immunoglobulin (IVIG), pemberian transfusi dan komponen darah,
granulocyte-macrophage colony stimulating factor (G-CSF dan GM-CSF), inhibitor
reseptor IL-1, transfusi tukar (TT) dan lain-lain.5,7,8
Dukungan Nutrisi
Sepsis merupakan keadaan stress yang dapat mengakibatkan perubahan metabolik
tubuh. Pada sepsis terjadi hipermetabolisme, hiperglikemia, resistensi insulin, lipolisis,
dan katabolisme protein. Pada keadaan sepsis kebutuhan energi meningkat, protein otot
dipergunakan untuk meningkatkan sintesis protein fase akut oleh hati. Beberapa asam
amino yang biasanya non-esensial menjadi sangat dibutuhkan, diantaranya glutamin,
sistein, arginin dan taurin pada neonatus. Pada keadaan sepsis, minimal 50% dari
energy expenditure pada bayi sehat harus dipenuhi atau dengan kata lain minimal
sekitar 60 kal/kg/hari harus diberikan pada bayi sepsis. Kebutuhan protein sebesar 2,5-4
g/kg/hari, karbohidrat 8,5-10 g/kg/hari dan lemak 1 g/kg/hari. Pemberian nutrisi pada
bayi pada dasarnya dapat dilakukan melalui dua jalur, yaitu parenteral dan enteral. Pada
bayi sepsis, dianjurkan untuk tidak memberikan nutrisi enteral pada 24-48 jam pertama.
Pemberian nutrisi enteral diberikan setelah bayi lebih stabil.7,10
2.2. Asfiksia Sedang
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat
lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia
dan asidosis. Pembagian klasifikasi asfiksia dibuat berdasarkan nilai APGAR score
yaitu : 11
1.
Asfiksia berat
APGAR score 0-3, bayi memerlukan resusitasi segera secara aktif dan
pemberian O2 terkendali.
2.
Asfiksia sedang
APGAR score 4-6 memerlukan resusitasi dan pemberian O 2 sampai bayi dapat
bernafas normal kembali.
3.
1. Faktor Ibu
a. Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau
anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala
akibatnya.
b. Gangguan aliran darah uterus
Mengurangnya
aliran
darah
pada
uterus
akan
menyebabkan
Dalam jam-jam pertama sesudah lahir, empat gejala distress pernapasan (takipnea,
retraksi, napas cuping hidung, grunting) kadang juga dijumpai pada BBL normal tetapi
tidak berlangsung lama. Bila keadaan tersebut menetap pada beberapa jam setelah lahir,
ini merupakan indikasi adanya gangguan napas atau distress respirasi yang harus
dilakukan tindakan segera.
Tabel 2.5. Evaluasi gawat napas dengan Score Downes
Pemeriksaan
Frekuensi napas
Retraksi
Sianosis
1
< 60x/menit
Tidak ada retraksi
Tidak ada sianosis
Air entry
Udara masuk
Merintih
Tidak merintih
2
60-80 x/menit
Retraksi ringan
Sianosis
hilang
dengan O2
Penurunan
ringan
udara masuk
Dapat
didengar
dengan stetoskop
3
>80 x/menit
Retraksi berat
Sianosis
menetap
walaupun diberi O2
Tidak ada udara
masuk
Dapat didengar tanpa
alat bantu
Evaluasi:
1-3 : tidak ada gawat napas
4-7 : gawat napas
> 7 : ancaman gagal napas
Penyebab gangguan napas pada BBL di antaranya:
1. Obstruksi jalan napas
2. Trakhea: trakheomalasia, fistula trakheoesofagus, stenosis trakhea dan stenosis
bronkhial
3. Penyebab pulmonal:
a. Apirasi mekonium, darah atau susu formula
b. Penyakit membran hialin
c. Atelektasis
d. Kebocoran udara: pneumothoraks, pneumomediastinum, emfisema
pulmonalis interstisialis
e. TTN (Transient tachypnea of the newborn)
f. Pneumonia, pnemonia hemoragikkelainan
kongenital:
hernia
Pemeriksaan fisik
Gangguan pernafasan pada bayi terutama disebabkan oleh atelektasis dan perfusi
paru yang menurun. Keadaan ini akan memperlihatkan gambaran klinis seperti dispneu
atau hiperpneu, sianosis karena saturasi O2 yang menurun, retraksi suprasternal, retraksi
interkostal dan expiratory grunting. Selain tanda gangguan pernafasan, ditemukan
gejala lain misalnya bradikardia (sering ditemukan pada penderita PMH berat),
hipotensi, kardiomegali, pitting edema terutama di daerah dorsal tangan atau kaki,
hipotermia, tonus otot yang menurun, gejala sentral dapat terlihat bila terjadi
komplikasi. 11,12
DAFTAR PUSTAKA
Hospital. Pak J Med Sci January - March 2007 Vol. 23 No. 178-81.
8. Simbolon, D, 2008. Faktor Risiko Sepsis Pada Bayi Baru Lahir di RSUD Curup
Kabupaten Rejang Lebong. Buletin Penelitian Kesehatan. Vol. 36, No. 3, 2008.
9. CDC. Birth defects were top cause of infant death in most recent data release.
http://www.cdc.gov/
10. Gordon A, dkk., Antibiotic regimens for suspected late onset in newborn infants.
12.