PENDAHULUAN
Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum terpecahkan dalam
pelayanan dan perawatan neonatus. Di Negara berkembang hampir sebagian besar
neonatus yang dirawat mempunyai kaitan dengan masalah sepsis dan di negara
berkembangpun sepsis tetap merupakan sebuah masalah. Selain itu sepsis memiliki
tingkat morbiditas dan mortalitas yang tinggi. Dalam laporan WHO yang dikutip Child
Health Research Project Special Report : Reducing Perinatal and Neonatal Mortality
(1999), dikemukakan bahwa 42% kematian neonatus terjadi karena berbagai bentuk
infeksi seperti infeksi saluran pernafasan, tetanus neonatorum, sepsis, dan infeksi
gastrointestinal. Setelah tetanus neonatorum, sepsis neonatorum merupakan penyakit
dengan case fatality rate tertinggi. Hal ini terjadi karena banyak faktor resiko infeksi pada
masa perinatal yang belum dapat dicegah dan ditanggulangi. 1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis dengan gejala infeksi sistemik dan
diikuti dengan bakteremia pada bulan pertama kehidupan. Dalam sepuluh tahun terakhir
terdapat beberapa perkembangan baru mengenai definisi sepsis. Salah satunya menurut
The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001), sepsis adalah sindrom
klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response Syndrome (SIRS) dan infeksi.
Sepsis merupakan suatu proses berkelanjutan mulai dari infeksi, SIRS, sepsis, sepsis
berat, renjatan/syok septik, disfungsi multiorgan, dan akhirnya kematian.1
2.2 Epidemiologi
Angka kejadian sepsis neonatorum di dunia diperkirakan 1-10 kasus per 1000
kelahiran hidup dan 1 per 250 kelahiran prematur.9 Angka kejadian sepsis neonatorum di
negara maju 1-4 per 1000 kelahiran, di Asia Tenggara berkisar 2,1-16 per 1000 kelahiran
hidup. Sedangkan untuk angka kejadian sepsis neonatorum di beberapa rumah sakit
rujukan di Indonesia berkisar antara 1,5%-3,72% dengan angka kematian mencapai
37,09%-80%9,10 Keragaman angka kejadian pada masing-masing rumah sakit dapat
dihubungkan dengan angka prematuritas, perawatan prenatal, pelaksanaan persalinan,
dan kondisi lingkungan di ruang perawatan.1
Angka sepsis neonatorum meningkat secara bermakna pada bayi dengan berat badan lahir
rendah dan bila ada faktor risiko ibu (obstetrik) atau tanda-tanda korioamnionitis seperti
ketuban pecah lama (>18 jam), demam intrapartum ibu(>37,5C), leukositosis ibu
(>18.000), pelunakan uterus, dan takikardia janin (>180 kali/menit). Sedangkan faktor
risiko host untuk sepsis neonatorum adalah jenis kelamin laki-laki, cacat imun didapat atau
kongenital, galaktosemia (Escherichia coli), pemberian besi intramuskular, anomali
kongenital (saluran kencing, asplenia, myelomeningokel, saluran sinus), omfalitis, dan
kembar (terutama kembar kedua dari janin yang terinfeksi). Prematuritas merupakan faktor
risiko baik pada SNAD maupun SNAL.1
2.3 Etiologi
Penyebab dari timbulnya sepsis pada neonatus dapat berupa bakteri, virus, jamur,
dan protozoa (jarang). Bakteri penyebab SNAD umumnya berasal dari traktus genitalia
maternal yang tidak menimbulkan penyakit pada ibu seperti Streptococcus Grup B dan
bakteri enterik. SNAL umumnya disebabkan oleh infeksi nosokomial seperti
Enterococcus, dan Staphylococcus aureus. Penyebab SNAL lainnya seperti Streptococcus
Grup B, E. coli, Listeria monocytogenes, virus herpes simpleks, enterovirus, serta bakteri
Staphylococcus coagulase-negatif dan jamur Candida albicans yang menjadi penyebab
SNAL tersering pada bayi dengan berat badan lahir rendah.3
2.4 Klasifikasi
Ketuban pecah dini dan ketuban pecah lebih dari 18 jam. Bila ketuban pecah lebih dari 24
jam, kejadian sepsis pada bayi meningkat sekitar 1% dan bila disertai korioamnionitis,
kejadian sepsis akan meningkat menjadi 4 kalinya.
Infeksi dan demam (>38C) pada masa peripartum akibat korioamnionitis, infeksi saluran
kemih, kolonisasi vagina oleh Streptokokus grup B (SGB), kolonisasi perineal oleh E. coli,
dan komplikasi obstetrik lainnya.
Cairan ketuban hijau keruh dan berbau.
Kehamilan multipel.
Persalinan dan kehamilan kurang bulan.
Faktor sosial ekonomi dan gizi ibu.
Bila terdapat satu faktor risiko mayor dan dua risiko minor maka pendekatan
diagnosis dilakukan secara aktif dengan melakukan pemeriksaan penunjang (septicwork-
up) sesegera mungkin. Pendekatan khusus ini diharapkan dapat meningkatkan identifikasi
pasien secara dini dan tata laksana yang lebih efisien sehingga mortalitas dan morbiditas
pasien diharapkan dapat membaik.5
2.6 Patofisiologi
Patofisiologi sepsis neonatorum merupakan interaksi respon komplek antara
mikroorganisme patogen dan keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada sepsis, melibatkan
beberapa komponen, yaitu: bakteri, sitokin, komplemen, sel netrofil, sel endotel, dan
mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan gangguan fibrinolisis memegang peran
penting dalam patofisiologi sepsis neonatorum. Meskipun manifestasi klinisnya sama,
proses molekular dan seluler untuk menimbulkan respon sepsis neonatorum tergantung
mikroorganisme penyebabnya, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis
neonatorum sama dan tidak tergantung penyebab. Respon inflamasi terhadap bakteri
gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu endotoksin dari
dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian mengaktifasi sel imun non
spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel fagosit mononuklear. LPS terikat
pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi. Kompleks ini mengikat reseptor CD4
makrofag dan monosit yang bersirkulasi (Hapsari, 2009). Organisme gram positif, jamur
dan virus memulai respon inflamasi dengan pelepasan eksotoksin/superantigen dan
komponen antigen sel. Sitokin proinflamasi primer yang diproduksi adalah tumor
necrosis factor (TNF) , interleukin (IL)1, 6, 8, 12 dan interferon (IFN). Peningkatan IL-
6 dan IL-8 mencapai kadar puncak 2 jam setelah masuknya endotoksin. Sitokin ini dapat
mempengaruhi fungsi organ secara langsung atau tidak langsung melalui mediator
sekunder (nitric oxide, tromboksan, leukotrien, platelet activating factor (PAF),
prostaglandin, dan komplemen. Mediator proinflamasi ini mengaktifasi berbagai tipe sel,
memulai kaskade sepsis dan menghasilkan kerusakan endotel (Nasution, 2008).
Imunoglobulin pertama yang dibentuk fetus sebagai respon infeksi bakteri intrauterin
adalah Ig M dan Ig A. Ig M dibentuk pada usia kehamilan 10 minggu Universitas
Sumatera Utara yang kadarnya rendah saat lahir dan meningkat saat terpapar infeksi
selama kehamilan. Peningkatan kadar Ig M merupakan indikasi adanya infeksi neonatus.
Ada 3 mekanisme terjadinya infeksi neonatus yaitu saat bayi dalam kandungan / pranatal,
saat persalinan/ intranatal, atau setelah lahir/ pascanatal. Paparan infeksi pranatal terjadi
secara hematogen dari ibu yang menderita penyakit tertentu, antara lain infeksi virus atau
parasit seperti Toxoplasma, Rubella, Cytomegalovirus, Herpes (infeksi TORCH),
ditransmisikan secara hematogen melewati plasental ke fetus. Infeksi transplasenta dapat
terjadi setiap waktu selama kehamilan. Infeksi dapat menyebabkan aborsi spontan lahir
mati, penyakit akut selama masa neonatal atau infeksi persisten dengan sekuele. Infeksi
bakteri lebih sering di dapat saat intranatal atau pascanatal. Selama dalam kandungan ibu,
janin terlindung dari bakteri karena adanya cairan dan lapisan amnion. Bila terjadi
kerusakan lapisan amnion, janin berisiko menderita infeksi melalui amnionitis. Neonatus
terinfeksi saat persalinan dapat disebabkan oleh aspirasi cairan amnion yang mengandung
lekosit maternal dan debris seluler mikroorganisme, yang berakibat pneumonia. Paparan
bayi terhadap bakteri terjadi pertama kali saat ketuban pecah atau dapat pula saat bayi
melalui jalan lahir. Pada saat ketuban pecah, bakteri dari vagina akan menjalar ke atas
sehingga kemungkinan infeksi dapat terjadi pada janin (infeksi transmisi vertikal,
paparan infeksi yang terjadi saat kehamilan, proses persalinan dimasukkan ke dalam
kelompok infeksi paparan dini (early onset of neonatal sepsis) dengan gejala klinis sepsis,
terlihat dalam 3-7 hari pertama setelah lahir. Infeksi yang terjadi setelah proses kelahiran
biasanya berasal dari lingkungan sekitarnya. Bakteri masuk ke dalam tubuh melalui udara
pernapasan, saluran cerna, atau melalui kulit yang terinfeksi. Bentuk sepsis semacam ini
dikenal dengan sepsis paparan lambat (late onset of neonatal sepsis). Selain perbedaan
dalam waktu paparan kuman, kedua bentuk infeksi ini (early onset dan late onset) sering
berbeda dalam jenis kuman penyebab infeksi. Walaupun demikian patogenesis, gejala
klinik, dan tata laksana dari kedua bentuk sepsis tersebut tidak banyak berbeda.
2.7 Diagnosis
Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau satu
kriteria mayor ditambah dua kriteria minor. Kriteria tersebut yaitu:5,7
Tabel 1.3 Faktor Risiko Sepsis1,7
Tabel 1.4 Sistem skor hematologis untuk prediksi sepsis neonaturum (Kriteria Rodwell)19
Jika jumlah skor lebih atau sama dengan 3 maka kemungkinan besar sepsis.
2. Kultur
Untuk membuktikan adanya sepsis bakterial, organisme harus diisolasi dari kultur
darah atau cairan tubuh steril seperti cairan cerebrospinal, cairan sendi, cairan peritoneal
dan pleura. Kultur darah merupakan gold standard dalam diagnosis sepsis. Cairan lumbal
diperiksa pada neonatus sakit kritis dengan kultur darah positif, gambaran klinik
septikemia, sebab meningitis ditemukan pada 1 dari 4 sepsis neonatorum. Hasil kultur
positif merupakan tanda definitif terdapatnya bakteri patogen, hasil biakan baru diperoleh
minimal 3-5 hari. Kultur dapat negatif disebabkan oleh bakteremia transien, spesimen
darah kurang, proses spesimen yang tidak optimal dan antibiotik diberikan intrapartum.7,8
3. C-Reaktif Protein (CRP)
Pada proses inflamasi sintesis CRP meningkat dalam waktu 4-6 jam dengan
puncaknya 36-50 jam. Kadar CRP cepat menurun setelah sumber infeksi tereliminasi.
Kadar normal CRP bayi cukup bulan dan prematur 2-5 mg/L, kadar >10 mg/L
berhubungan dengan infeksi-sepsis. Karena protein ini meningkat pada berbagai
kerusakan jaringan tubuh maka pemeriksaan ini tidak dapat dipakai sebagai indikator
tunggal dalam menegakkan diagnosis sepsis neonatal. Nilainya bermakna apabila
dilakukan pemeriksaan serial karena dapat mengevaluasi respon antibiotik, menentukan
lamanya pengobatan dan kekambuhan.7,8
4. Prokalsitonin
Prokalsitonin dikatakan lebih superior daripada protein fase akut lainnya termasuk
CRP, dengan sensitivitas dan spesifisitas berkisar dari 87-100%. Selain itu prokalsitonoin
juga berguna untuk mengindikasikan keparahan infeksi, memantau kemajuan pengobatan
dan memperkirakan hasil keluaran. Pengukuran kuantitatif dilakukan dengan
menggunakan immunoluminometric assay (ILMA) dengan 2 antibodi monoklonal.
2.8 Penatalaksanaan
Pemberian ampisilin profilaksis intrapartum dapat menurunkan insidensi sepsis
neonatorum SGB secara drastis, namun di sisi lain akan meningkatkan insidens sepsis
yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif dan yang resisten terhadap ampisilin.
Ampisilin dan sefalosporin generasi ketiga (sefotaksim, seftriakson, seftazidim)
dilaporkan dapat menyebabkan organisme Gram negatif memproduksi ESBL yang
selanjutnya menimbulkan masalah resistensi. Oleh karena itu, terapi kombinasi antibiotik
betalaktam dan aminoglikosida sangat dianjurkan untuk mencegah resistensi tersebut.7
Karbapenem digunakan di laboratorium untuk menginduksi organisme pembawa
gen beta-laktamase yang terekspresi agar mengekspresikan gen dan memproduksi beta-
laktamase. Jadi, penggunaan imipenem dan meropenem secara berlebihan justru akan
menyebabkan organisme memproduksi beta-laktamase. Oleh karena itu, karbapenem
tidak boleh digunakan secara luas di unit perawatan intensif neonatus (UPIN), dan
penggunaannya harus dibatasi hanya pada kasus berat, yakni pada organisme yang
memproduksi ESBL dan sefalosporinase. Antibiotik tidak boleh digunakan sebagai terapi
profilaksis (pada bayi dengan intubasi, memakai kateter vaskular sentral, chest drain)
karena terbukti tidak efektif untuk pencegahan sepsis. Bila bakteri tumbuh pada pipa
endotrakeal, hal itu berarti telah terjadi kolonisasi dan pengobatan profilaksis tidak akan
mengurangi kolonisasi (kultur pipa endotrakeal akan tetap positif) serta tidak akan
mencegah sepsis, tetapi justru meningkatkan resistensi terhadap antibiotik.
a. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan dini
Pada bayi dengan SNAD, terapi empirik harus meliputi SGB, E. coli, dan Listeria
monocytogenes. Kombinasi penisilin atau ampisilin ditambah aminoglikosida mempunyai
aktivitas antimikroba lebih luas dan umumnya efektif terhadap semua organisme
penyebab SNAD. Kombinasi ini sangat dianjurkan karena akan meningkatkan aktivitas
antibakteri.
b. Pemilihan antibiotik untuk sepsis neonatorum awitan lambat
Kombinasi penisilin atau ampisilin dengan aminoglikosida dapat juga digunakan
untuk terapi awal SNAL. Pada beberapa rumah sakit, strain penyebab infeksi nosokomial
telah mengalami perubahan selama 20 tahun terakhir ini karena telah terjadi peningkatan
resistensi terhadap kanamisin, gentamisin, dan tobramisin. Oleh karena itu, pada infeksi
nosokomial lebih dipilih pemakaian netilmisin atau amikasin. Amikasin resisten terhadap
proses degradasi yang dilakukan oleh sebagian besar enzim bakteri yang diperantarai
plasmid, begitu juga yang dapat menginaktifkan aminoglikosida lain
Pada kasus risiko infeksi Staphylococcus (pemasangan kateter vaskular), obat anti
stafilokokus yaitu vankomisin ditambah aminoglikosida dapat digunakan sebagai terapi
awal. Pada kasus endemik MRSA dipilih vankomisin. Pada kasus dengan risiko infeksi
Pseudomonas (terdapat lesi kulit tipikal) dapat diberikan piperasilin atau azlosilin
(golongan penisilin spektrum luas) atau sefoperazon dan seftazidim (sefalosporin
generasi ketiga). Secara in vitro, seftazidim lebih aktif terhadap Pseudomonas
dibandingkan sefoperazon atau piperasilin. Di beberapa tempat, kombinasi sefalosporin
generasi ketiga dengan penisilin atau ampisilin, digunakan sebagai terapi awal pada
SNAD dan SNAL. Keuntungan utama menggunakan sefalosporin generasi ketiga adalah
aktivitasnya yang sangat baik terhadap bakteri-bakteri penyebab sepsis, termasuk bakteri
yang resisten terhadap aminoglikosida. Selain itu, sefalosporin generasi ketiga juga dapat
menembus cairan serebrospinal dengan sangat baik. Walaupun demikian, sefalosporin
generasi ketiga sebaiknya tidak digunakan sebagai terapi awal sepsis karena tidak efektif
terhadap Listeria monocytogenes, dan penggunaannya secara berlebihan akan
mempercepat munculnya mikroorganisme yang resisten dibandingkan dengan pemberian
aminoglikosida.
Infeksi bakteri Gram negatif dapat diobati dengan kombinasi turunan penisilin
(ampisilin atau penisilin spektrum luas) dan aminoglikosida. Sefalosporin generasi ketiga
yang dikombinasikan dengan aminoglikosida atau penisilin spektrum luas dapat
digunakan pada terapi sepsis yang disebabkan oleh bakteri Gram negatif.
Pilihan antibiotik baru untuk bakteri Gram negatif yang resisten terhadap
antibiotik lain adalah karbapenem, aztreonam, dan isepamisin. Enterokokus dapat diobati
dengan a cell-wall active agent (misal: penisilin, ampisilin, atau vankomisin) dan
aminoglikosida. Staphilococci sensitif terhadap antibiotik golongan penisilin resisten
penisilinase (misal: oksasiklin, nafsilin, dan metisilin). Pemberian antibiotik pada SNAD
dan SAL di negara-negara berkembang tidak bisa meniru seperti yang dilakukan di
negara maju. Pemberian antibiotik hendaknya disesuaikan dengan pola kuman yang ada
pada masing-masing unit perawatan neonatus. Oleh karena itu, studi mikrobiologi dan uji
resistensi harus dilakukan secara rutin untuk memudahkan para dokter dalam memilih
antibiotik.
2.9 Prognosis
Dengan diagnosis dini dan terapi yang tepat, prognosis pasien baik; tetapi bila
tanda dan gejala awal serta faktor risiko sepsis neonatorum terlewat, akan meningkatkan
angka kematian. Pada meningitis terdapat sekuele pada 15-30% kasus neonatus. Rasio
kematian pada sepsis neonatorum 24 kali lebih tinggi pada bayi kurang bulan
dibandingkan bayi cukup bulan. Rasio kematian pada sepsis awitan dini adalah 15 40 %
(pada infeksi SBG pada SNAD adalah 2 30 %) dan pada sepsis awitan lambat adalah 10
20 % (pada infeksi SGB pada SNAL kira kira 2 %).7
BAB III
KESIMPULAN
Sepsis pada neonatus masih merupakan masalah yang belum dapat dipecahkan
yang karena bersifat multifaktorial, mulai dari faktor ibu, janin, maupun dari pelayanan
rumah sakit. Sepsis neonatorum juga merupakan masalah yang sulit didiagnosa karena
pada neonatus, respon sistem imun tubuhnya tidak selalu menimbulkan gejala seperti
sepsis pada anak yang lebih besar. Umumnya penatalaksanaan yang diberikan bisa
terlambat bila tenaga medis tidak memberikan perhatian yang cukup pada pasien.
Tanda dan gejala klasik sepsis pada neonatus mencakup takikardi, takipneu,
leukositosis atau leukopeni, dan hipertermi atau hipotermi. Selain itu bila didapatkan
sepsis berat dapat ditemukan disfungsi organ-organ tertentu, seperti jantung, hati, paru-
paru, ginjal, dan sebagainya. Ketika kegagalan organ sudah mencapai derajat tertentu,
akan menyebabkan terjadinya septik syok yang dapat segera menyebabkan sindrom
disfungsi multiorgan yang berakhir pada kematian bila tidak mendapatkan
penatalaksanaan yang tepat.
BAB II
STATUS PEDIATRIK
I. IDENTIFIKASI
a. Nama : by. Ny. NA
b. Umur : 2 hari
c. Jenis kelamin : Perempuan
d. Nama Ayah : Tn. E
e. Nama Ibu : Ny. NA
f. Bangsa : Indonesia
g. Agama : Islam
h. Alamat : RT. 01 Kel. Penyengat Olak Kab. Muaro Jambi
i. MRStanggal : 02 Juni 2015
II. ANAMNESIS
Diberikan oleh : Ibu pasien dan rekam medik
Bayi lahir secara SC, lahir segera menangis, ketuban warna hijau, kental, jumlah
agak banyak, berbau amis. Denyut jantung normal, usaha bernafas (+), refleks (+), dan
bayi berwarna kemerahan. Berat badan lahir 3400 gram, PB = 46 cm.
Plasenta lahir secara manual, tidak tampak pengapuran plasenta, infark (-),
hematom (-). Kemudian bayi dirawat di ruang Perinatologi. Atas indikasi KPD 16 jam,
KWH, dan serotinus.