Anda di halaman 1dari 17

LAPORAN PENDAHULUAN

SEPSIS NEONATORUM
Diajukan untuk memenuhi salah satu Tugas Stase Kegawat Daruratan
Keperawatan

Di Susun Oleh :
Deti Komalasari, S.Kep
4006190062

PROGRAM PROFESI NERS


PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN DHARMA HUSADA
BANDUNG
2020
LAPORAN PENDAHULUAN
SEPSIS NEONATORUM

A. DEFINISI
Sepsis adalah suatu kondisi dimana terdapat mikroorganisme maupun
toksin penyebab infeksi dalam darah atau jaringan tubuh, bersamaan dengan
munculnya manifestasi sistemik dari infeksi tersebut (Dellinger et al., 2016).
Menurut The International Sepsis Definition Conferences (ISDC,2001),
sepsis adalah sindrom klinis dengan adanya Systemic Inflammatory Response
Syndrome (SIRS) dan infeksi (Aminullah, 2014)
Neonatus adalah bayi baru lahir yang berusia sampai dengan 28 hari, pada
masa tersebut terjadi perubahan yang sangat besar dari kehidupan di dalam
rahim dan terjadi pematangan organ hampir pada semua sistem. Bayi hingga
kurang usia satu bulan merupakan golongan umur yang memiliki risiko
gangguan kesehatan paling tinggi, berbagai masalah kesehatan bisa muncul
seperti sepsis neonatus. (Kementerian Kesehatan RI, 2014)
Kliegman et al., (2016) mengutarakan, bahwa neonatus adalah bayi baru
lahir hingga berusia 28 hari setelah lahir yang dibagi lagi menjadi dua kategori,
yaitu very early dengan usia <24 jam setelah lahir, early dengan usia <7 hari
setelah lahir, dan late dengan usia 7-28 hari setelah lahir.
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis penyakit sistemik yang
disebabkan oleh mikroorganisme penyebab infeksi seperti bakteri, virus, jamur,
dan protozoa, pada satu bulan pertama setelah lahir (IDAI, 2017).
Sepsis neonatorum adalah sindrom klinis yang dihasilkan dari efek
patofisiologi infeksi bakteri yang sangat parah yang terjadi pada bulan pertama
kehidupan (Mondal. et al., 2012).

B. ETIOLOGI
Berbicara mengenai infeksi, maka penyebabnya merupakan
mikroorganisme seperti virus, jamur, atau bakteri. Terdapat berbagai
mikroorganisme patogen yang dapat menyebabkan sepsis, Effendi (2013)
menjelaskan bahwa tingkat kesejahteraan suatu negara mempengaruhi jenis
organisme dan pola kepekaan terhadap infeksi, pada negara maju penyebab
EOS tertinggi adalah group B Streptococcus (GBS) dan E. coli dan pada LOS
yaitu Coagulase Negative Staphylococci (CONS), GBS, dan Staphylococci
aureus, sementara di negara berkembang keseluruhan penyebab adalah
organisme gram negatif, seperti Klebsiella, E. coli, dan Pseudomonas dan gram
positif, seperti Streptococcus pneumoniae dan Streptococcus pyogenes.
Sementara itu, Kliegman et al., (2016) membagi mikroorganisme penyebab
sepsis neonatorum berdasarkan patogenesisnya, pada infeksi intrauterin
penyebab infeksi tertinggi adalah sifilis, rubela, CMV, toksoplasmosis,
parvovirus B19, dan varisela. Sementara, pada masa intrapartum yang tertinggi
adalah HSV, HIV, hepatitis B virus, C virus, dan tuberkulosis (TB), dan pada
infeksi postpartum yang paling tinggi adalah TB yang biasanya tertular oleh
tenaga medis dan HIV yang umumnya tertular oleh Ibu dengan HIV melalui
ASI. Infeksi intrapartum dan postpartum biasanya disebabkan oleh
mikroorganisme yang berkoloni di organ genitourinaria atau traktus
gastrointestinal bagian bawah, bakteri yang paling sering adalah GBS dan E.
coli serta virus CMV, HSV, enterovirus, dan HIV. Semua mikroorganisme
tersebut dapat menyebabkan sepsis melalui ketiga jalur infeksi, namun belum
tentu menjadi penyebab utama.
Infeksi jamur, baik Candida albicans dan non-albicans, lebih sering terjadi
pada bayi dengan berat lahir kurang dari 1.500 gram dan berhubungan dengan
pemberian nutrisi parenteral, kateter sentral, operasi abdomen, steroid atau
antibiotic spectrum luas, baik Candida albicans d an non-albicans akan terisolasi
(Bansal, Agrawal, & Sukumaran, 2013).
Pada Negara berkembang, E. coli, Klebsiella sp. dan S. aureus merupakan
patogen penyebab yang paling sering muncul sebagai penyebab sepsis awitan
dini, dimana S. aureus, Streptococcus pneumonia dan Streptococcus pyogenes
menjadi patogen penyebab tersering sepsis neonatorum awitan lambat (Khan,
2012). Di Indonesia sendiri, menurut data RSCM/FKUI pada tahun 1975-1980
patogen penyebab sepsis tersering yaitu Salmonella sp, Klebsiella sp. Pada
tahun 1985-1990 Pseudomonas Sp, Klebsiella Sp, E. Coli. Tahun 1995-2003
Acinetobacter Sp, Enterobacter Sp, Pseudomonas Sp, Serratia Sp, E. Coli
(Aminullah, 2016).

C. MANIFESTASI KLINIK
Gejala klinis neonatus sehat adalah tanpa bugar, menagis keras, reflek hisap
bagus, nafas spontan dan teratur, aktif dan gerak simetris, dengan umur
kehamilan 37-42 minggu, berat badan 2500-4000 gram dan tidak ada gerakan
terdapat kelainan bawaan. (Arkheasi, 2015).
Neonatus yang terkena infeksi akan menderita takikardia, lahir dengan
asfiksia dan memerlukan resusitasi karena nilai Apgar rendah. Setelah lahir,
bayi tampak lemah dan tampak gambaran klinis sepsis seperti hipo/hipertermia,
hipoglikemia dan kadang-kadang hiperglikemia. Selanjutnya akan terlihat
berbagai kelainan dan gangguan fungsi organ tubuh. Selain itu, terdapat
kelainan susunan saraf pusat (letargi, refleks hisap buruk, menangis lemah
kadang kadang terdengar high pitch cry, bayi menjadi iritabel dan dapat disertai
kejang), kelainan kardiovaskular (hipotensi, pucat, sianosis, dingin dan clummy
skin). Bayi dapat pula memperlihatkan kelainan hematologik, gastrointestinal
ataupun gangguan respirasi (perdarahan, ikterus, muntah, diare, distensi
abdomen, intoleransi minum, waktu pengosongan lambung yang memanjang,
takipnea, apnea, merintih dan retraksi) (Aminullah, 2016). Sementara gejala
manifestasi klinis yang mengalami sepsis seperti tabel berikut :

Sumber : Rudjan L, Amir I (2015).


Tanda dan gejala sepsis neonatorum umumnya tidak jelas dan tidak
spesifik serta dapat mengenai beberapa sistem organ. Berikut ini adalah tanda
dan gejala yang dapat ditemukan pada neonatus yang menderita sepsis :
1. Tanda dan gejala umum
Hipertermi atau hipotermi atau bahkan normal, aktivitas lemah atau
tidak ada dan tampak sakit, berat badan menurun tiba-tiba.
2. Tanda dan gejala pada saluran pernapasan
Dispnea, takipnea, apnea, tampak tarikan otot pernapasan, merintih,
mengorok, dan pernapasan cuping hidung.
3. Tanda dan gejala pada sistem kardiovaskuler
Hipotensi, kulit lembab, pucat dan sianosis.
4. Tanda dan gejala pada saluran cerna
Distensi abdomen, malas atau tidak mau minum, muntah, diare.
5. Tanda dan gejala pada sistem saraf pusat.
Reflek moro abnormal, iritabilitas, kejang, hiporefleksi, fontanel
anterior menonjol, pernapasan tidak teratur.
6. Tanda dan gejala hematologi.
Tampak pucat, ikterus, ptekiae, purpura, perdarahan, splenomegali.

Pemeriksaan laboratorium meliputi pemeriksaan tes resistensi, dapat


digunakan untuk menentukan pilihan antibiotik yang tepat. Pada hasil
pemeriksaan darah tepi, umumnya ditemukan anemia, laju endap darah mikro
tinggi, dan trombositopenia. Biakan perlu dilakukan terhadap darah, cairan
serebrospinal, usapan umbilikus, lubang hidung, lesi, pus dari konjungtiva,
cairan drainase atau hasil isapan lambung. Hasil biakan darah memberi
kepastian adanya sepsis, setelah dua atau tiga kali biakan memberikan basil
posistif dengan kuman yang sama. Pemeriksaan lain yang perlu dilakukan
antara lain pemeriksaan protein reaktif C, IgM dan IgA, pewarnaan gram.
D. KLASIFIKASI
Sepsis neonatorum menjadi tiga kategori, yatu sepsis awitan dini atau early
onset sepsis (EOS), sepsis awitan lambat atau late onset sepsis (LOS), dan
sepsis nosokomial (IDAI, 2016).
Marcdante et al., (2017), sepsis awitan dini adalah sepsis yang terjadi dalam
kurun waktu ≤72 jam setelah lahir, sering disebabkan oleh penularan infeksi
genitourinarius ibu dan dimulai sejak dalam kandungan. Selain itu juga
dijelaskan bahwa manifestasi yang paling menonjol pada EOS adalah
gangguan pernapasan, terutama pada kasus berat, dan pada bayi EOS yang
prematur, tahap awalnya sering sulit dibedakan dengan sindrom gawat napas.
LOS adalah sepsis yang terjadi >72 jam setelah kelahiran, biasanya terjadi
pada bayi usia cukup bulan yang pulang dalam keadaan sehat dan yang menjadi
penyebab utama adalah infeksi nosokomial (hospital-acquired), yaitu didapat
dari ruang perawatan atau infeksi community-acquired, yaitu didapat dari
lingkungan. edakan dengan sindrom gawat napas. LOS berbeda dengan EOS
yang umumnya disebabkan oleh faktor-faktor pada masa intrauterin (Agarwal,
Deorari, & Paul, 2014).
Pada beberapa penelitian dan referensi, sepsis dibagis menjadi dua kategori
besar yaitu EOS dan LOS, dimana sepsis nosokomial masuk kedalam kategori
LOS, namun IDAI (2009), sepsis nosokomial merupakan kategori terpisah dan
merupakan kategori sepsis ketiga. Dijelaskan lebih lanjut bahwa sepsis
nosokomial adalah infeksi yang umumnya terjadi pada neonatus dengan
intervensi medis, sedang menjalani perawatan, dan perawatan dan intervensi
yang berhubungan dengan monitor invasif dan berbagai teknik yang digunakan
di ruang gawat intensif.
Berdasarkan waktu terjadinya, sepsis neonatorum dapat diklasifikasikan
menjadi dua bentuk yaitu sepsis neonatorum awitan dini (early-onset neonatal
sepsis) dan sepsis neonatorum awitan lambat (late-onset neonatal sepsis)
(Anderson-Berry, 2014).
1. EOS ( Early Onset Neonatal) adalah sepsis yang terjadi dalam 24 jam,
atau terjadi dalam 24 jam sampai 6 hari, atau ada juga yang menyatakan
terjadi dalam 72 jam,
2. LOS ( Late Onset Neonatal )adalah sepsis yang terjadi >6 hari atau
>72 jam. Selain itu, ada juga istilah very late onset sepsis, yaitu onset
>30 hari.6.

E. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi sepsis neonatorum merupakan interaksi respon komplek
antara mikroorganisme patogen dan keadaan hiperinflamasi yang terjadi pada
sepsis, melibatkan beberapa komponen, yaitu: bakteri, sitokin, komplemen, sel
netrofil, sel endotel, dan mediator lipid. Faktor inflamasi, koagulasi dan
gangguan fibrinolisis memegang peran penting dalam patofisiologi sepsis
neonatorum. Meskipun manifestasi klinisnya sama, proses molekular dan
seluler untuk menimbulkan respon sepsis neonatorum tergantung
mikroorganisme penyebabnya, sedangkan tahapan-tahapan pada respon sepsis
neonatorum sama dan tidak tergantung penyebab. Respon inflamasi terhadap
bakteri gram negatif dimulai dengan pelepasan lipopolisakarida (LPS), suatu
endotoksin dari dinding sel yang dilepaskan pada saat lisis, yang kemudian
mengaktifasi sel imun non spesifik (innate immunity) yang didominasi oleh sel
fagosit mononuklear. LPS terikat pada protein pengikat LPS saat di sirkulasi.
Kompleks ini mengikat reseptor CD4 makrofag dan monosit yang bersirkulasi
(Hapsari, 2016).
Mikroorganisme atau kuman penyebab infeksi terjadinya sepsis
neonatorum secara garis besar dibagi menjadi tiga, yaitu infeksi antenatal atau
intrauterin, infeksi intranatal, dan infeksi pascanatal yaitu :
1. Pada masa antenatal atau sebelum lahir
Pada masa antenatal kuman dari ibu setelah melewati plasenta dan
umbilikus masuk ke dalam tubuh bayi melalui sirkulasi darah janin. Kuman
penyebab infeksi adalah kuman yang dapat menembus plasenta, antara lain
virus rubella, herpes, sitomegalo, koksaki, hepatitis, influenza, parotitis.
Bakteri yang dapat melalui jalur ini antara lain malaria, sifilis, dan
toksoplasma.
2. Pada masa intranatal atau saat persalinan
Infeksi saat persalinan terjadi karena kuman yang ada pada vagina dan
serviks naik mencapai korion dan amnion. Akibatnya, terjadi amnionitis dan
korionitis. Selanjutnya kuman melalui umbilikalis masuk ke tubuh bayi.
Cara lain, yaitu saat persalinan. Cairan amnion yang sudah terinfeksi dapat
terinhalasi oleh bayi dan masuk ke traktus digestivus dan traktus
respiratorius, kemudian menyebabkan infeksi pada lokasi tersebut. Selain
melalui cara tersebut, infeksi pada janin dapat terjadi melalui kulit bayi dan
port the entry lain saat bayi melewati jalan lahir yang terkontaminasi oleh
kuman (misalnya : herpes genitalis, candida albican dan n. Gonorrea).
3. Pada masa pascanatal atau sesudah persalinan
Infeksi yang terjadi sesudah kelahiran umumnya terjadi akibat infeksi
nasokomial dari lingkungan di luar rahim (misalnya melalui alat-alat
pengisap lendir, selang endotrakea, infus, selang nasogastrik, botol
minuman atau dot). Perawat atau profesi lain dapat menyebabkan terjadinya
infeksi nasokomial. Infeksi juga dapat terjadi melalui luka umbilikus.
(Bagian Ilmu Kesehatan Anak FK UI, 2015).
Terdapat berbagai faktor predisposisi terjadinya sepsis, baik dari ibu
maupun bayi. Faktor predisposisi tersebut diantaranya :
1. Penyakit infeksi yang diderits ibu selama kehamilan
2. Perawatan antenatal yang tidak memadai
3. Ibu menderita eklampsi, DM.
4. Pertolongan persalinan yang tidak higiene, partus lama, partus dengan
tindakan.
5. Kelahiran kurang bulan, BBLR, cacat bawaan.
6. Adanya trauma lahir, asfiksia neonatus, tindakan invasif pada neonatus.
7. Sarana perawatan yang tidak baik, bangsal yang penuh sesak.
8. Ketuban pecah dini, amnion hijau kental dan berbau.
F. PATHWAY
Pathway Sepsis Neonatorum

Infeksi Prenatal Infeksi Intranatal


Infeksi Postnatal
(rubella, herpes, sitomegalo, (Herpes genitalis, candida
koksaki, hepatitis, influenza, albican dan gonorrea)
Masuknya mikroorganisme
parotitis, malaria, sifilis dan
dari lingkungan
toksoplasma) kuman yang ada pada vagina
dan serviks naik mencapai
Infeksi nosokomial
Infeksi dr darah ibu korion dan amnion

Masuk ke plasenta dan amnionitis dan korionitis,


umbilicus
melalui umbilkus masuk ke
masuk ke sirkulasi darah janin tubuh bayi

terinhalasi oleh bayi Luka di kulit bayi

masuk ke traktus digestivus dan “port de entre” saat bayi


traktus respiratorius melewati jalan lahir yang
terinfeksi

SEPSIS NEONATUS PK Infeksi

Septikemia
Invasi ke SSP
Fagositosis oleh makrofag Respon inflamasi sistemik
Nutrisi ke sel tidak Peradangan pada
adekuat meningen
Memproduksi sitokin Peningkatan metabolisme

Terjadi mekanisme Risiko gangguan Eksudat berlebih


Merangsang hipotalamus
kompensasi tubuh untuk pertumbuhan
meningkatkan intake O2 Edema serebral
Peningkatan suhu tubuh
dengan peningkatan
frekuensi napas
Hipertermi Risiko ketidakefektifan
Peningkatan RR perfusi jaringan otak

takipneapola napas
Ketidakefektifan

Risiko syok
G. FAKTOR RISIKO
Kemungkinan terjadinya sepsis neonatorum dapat ditingkatkan oleh
beberapa faktor risiko. Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Bansal,
Agrawal, & Sukumaran, (2013), faktor risiko seperti demam maternal (>
37.8°C) menjelang melahirkan, ketuban pecah lama atau prolonged rupture of
membranes (PROM) >18 jam, prematur (<37 minggu) lahir spontan atau,
prematur dengan PROM, sepsis maternal seperti infeksi saluran kemih (ISK)
atau diare dalam 7 hari sebelum melahirkan, atau terjadi korioamnionitis pada
ibu meningkatkan terjadinya EOS.
Risiko dari sepsis neonatorum bersifat multifaktorial dan berhubungan
dengan belum matangnya sistem humoral, fagosit dan imunitas seluler
(biasanya terjadi pada bayi prematur dan berat bayi lahir rendah), hipoksia,
asidosis dan gangguan metabolisme. Insiden sepsis neonatorum juga
dipengaruhi oleh proses persalinan, usia kehamilan, jenis kelamin (laki-laki 4
kali lebih mudah terinfeksi dari pada perempuan), dan standar perawatan bayi
(Kardana, 2015).
Sepsis neonatarum mempunyai berbagai macam faktor risiko sepsis
meliputi faktor risiko mayor yaitu :
1. Ketuban pecah dini (KPD) >18 jam
2. Ibu demam intrapartum >380C
3. Korioamnionitis
4. Ketuban berbau
5. Denyut jantung janin (DJJ) >160x/menit
Faktor risiko minor terdiri dari :
1. Ketuban pecah dini (KPD) >12jam
2. Demam intrapartum >37,50C,
3. Skor APGAR rendah (menit 1 skor <5 dan menit 5 skor <7)
4. BBLSR (<1500 gram,
5. Kembar
6. Usia kehamilan <37 minggu
7. Keputihan yang tidak diobati
8. Ibu yang dicurigai infeksi saluran kemih (ISK)
Seorang bayi memiliki risiko sepsis bila memenuhi dua kriteria mayor atau
satu kriteria mayor ditambah dua kriteria minor (Wilar et al., 2015).

H. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Bila sindrom klinis mengarah ke sepsis, perlu dilakukan evaluasi sepsis
secara menyeluruh. Hal ini termasuk biakan darah, pungsi lumbal, analisis dan
kultur urin, serta foto dada. Diagnosis sepsis ditegakkan dengan ditemukannya
kuman pada biakan darah. Pada pemeriksaan darah tepi dapat ditemukan
neutropenia dengan pergeseran ke kiri (imatur:total seri granulosit>0,2). Selain
itu dapat dijumpai pula trombositopenia. Adanya peningkatan reaktans fase
akut seperti C-reactive protein (CPR) memperkuat dugaan sepsis. Diagnosis
sebelum terapi diberikan (sebelum hasil kultur positif) adalah tersangka sepsis
(Mansjoer,2015).
Pemeriksaan laboratorium yang diperlukan adalah :
1. Darah tepi : anemia, LED meninggi, trombositopenia
2. Biakan darah, CSS, Usapan umbilicus, lubang hidung, lesi, pus konjungtiva,
cairan drainage, cairan lambung.
3. Pemeriksaan protein reaktif C, IgM, IgA.
4. Kadar gula darah serum
5. Bilirubin
6. Protein aktif C
7. Imunoglobulin IgM
8. Hasil kultur cairan serebrospinal, darah, apusan hidung, umbilikus, telinga,
pus dari lesi, feses dan urine.
9. Juga dilakukan analisis cairan serebrospinal dan pemeiksaan darah tepi dan
jumlah leukosit.

I. PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN


Sepsis neonatorum adalah penyebab kematian utama pada neonatus. Tanpa
pengobatan yang memadai, gangguan ini dapat menyebabkan kematian dalam
waktu singkat. Tindakan pencegahan yang dapat dilakukan adalah :
1. Pada masa antenatal
Meliputi pemeriksaan kesehatan ibu secara berkala, imunisasi,
pengobatan terhadap penyakit infeksi yang diderita ibu, asupan gizi yang
memadai, penanganan segera terhadap keadaan yang dapat menurunkan
kesehatan ibu dan janin, rujukan segera ke tempat pelayanan yang memadai
bila diperlukan. Pemeriksaan secara berkala, imunisasi, pengobatan
terhadap infeksi yang diderita ibu, gizi cukup, penanganan segera, rujukan
memadai
2. Pada saat persalinan
Perawatan ibu selama persalinan dilakukan secara aseptik, dalam arti
persalinan diperlakukan sebagai tindakan operasi. Tindakan intervensi pada
ibu dan bayi seminimal mungkin dilakukan (bila benar-benar diperlukan),
mengawasi keadaan ibu dan janin yang baik selama proses persalinan,
melakukan rujukan secepatnya bila diperlukan, dan menghindari perlukaan
kulit dan selaput lendir. A’septik, Intervensi kepada ibu dan bayi seminimal
mungkin, observasi ibu dan janin selama persalnan, rujukan yang cepat bila
perlu, Hindari perlukaan kulit dan selaput lender
3. Sesudah persalinan
Pemberian ASI secepatnya, mengupayakan lingkungan dan
peralatan tetap bersih, setiap bayi menggunakan peralatan sendiri,
perawatan luka umbilikus secara steril. Tindakan invasif harus dilakukan
dengan memperhatikan prinsip-prinsip aseptik, menghindari perlukaan
selaput lender dan kulit, mencuci tangan dengan mengguanakan larutan
desinfektan sebelum dan sesudah memegang bayi, pemantauan keadaan
bayi secara teliti disertai pendokumentasian data-data yang benar dan baik.
Semua personel yang menangani atau bertugas di kamar bayi harus sehat.
Bayi yang berpenyakit menular harus diisolasi, pemberian antibiotik secara
rasional, sedapat mungkin melalui pemantauan mikrobiologi dan tes
resistensi. Rawat gabung, pemberian ASI segera, Alat dan lingkungan
bersih, perawatan luka/tindakan invasive a’septik, hindari luka pada selaput
lender, mencuci tangan dengan desinfektan, pantau kondisi serta
dokumentasi yang baik, petugas harus sehat, bayi infeksi diisolasi, (IDAI,
2014)
Prinsip pengobatan pada sepsis neonatorum adalah mempertahankan
metabolisme tubuh dan memperbaiki keadaan umum dengan pemberian cairan
intravena termasuk kebutuhan nutrisi. Menurut Victor Y. H. dan Hans E.
Monintja, pemberian antibiotik hendaknya memenuhi kriteria eektif
berdasarkan hasil pemantauan mikrobiologi, murah dan mudah diperileh, tidak
toksik, dapat menembus sawar darah otak, dan dapat diberi secara parenteral.
Pilihan obat yang diberikan ialah ampisilin dan gentamisin atau ampisilin dan
kloramfenikol, eritromisin atau sefalosporin atau obat lain sesuai hasil tes
resistensi.
Dosis antibiotik untuk sepsis neonatorum :
1. Ampisilin 200 mg/kg BB/hari, dibagi 3 atau 4 kali pemberian.
2. Gentamisin 5 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.
3. Kloramfenikol 25 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 atau 4 kali pemberian.
4. sefalosporin 100 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 2 kali pemberian.
5. Eritromisin 50 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis.
(Jaypee Brothers Medical Publishers, 2017).

J. PENATALAKSANAAN
Setelah neonatus terdiagnosis sepsis neonatorum atau kecurigaan besar
sepsis, WHO (20014), menyebutkan bahwa tatalaksana yang dapat diberikan
adalah pemberian antibiotik awal secara intravena berupa ampisilin (50
mg/kgBB/kali IV setiap 6-jam) ditambah aminoglikosida (gentamisin 5-7
mg/kgBB/kali IV sekali sehari, amikasin 10-20 mg/kgBB/hari IV).
Namun, bila organisme tidak dapat ditemukan dari pemeriksaan penunjang
dan bayi tetap menunjukkan tanda-tanda sepsis sesudah 48 jam, ganti ampisilin
dengan sefotaksim dan pemberian gentamisin tetap dilanjutkan, kemudian
antibiotik spesifik diberikan untuk lanjutan terapi, disesuaikan dengan hasil
kultur dan sensitivitas, gejala klinis, dan pemeriksaan laboratorium serial
(seperti CRP). Selain itu, pemberian antibiotik pada pada sepsis nosokomial
disesuaikan dengan pola kuman setempat, jika disertai meningitis, terapi
antibiotik diberikan dengan dosis meningitis selama 14 hari untuk gram positif
dan 21 hari untuk gram negatif (IDAI, 2015).
Terapi suportif juga diperlukan selain mengobati infeksi itu sendiri untuk
mencegah komplikasi atau memperparah kondisi. Pedoman tatalaksana suportif
oleh WHO (2008), yang masih dijadikan referensi pedoman tatalaksana sepsis
di Indonesia, pertama adalah menangani suhu abnormal bayi dengan menjaga
bayi tetap kering dan tertutup rapat, jaga suhu ruangan tetap hangat (minimal
25 oC), pastikan bayi berada dekat dengan ibu dan sesering mungkin
mendapatkan kontak skin-to-skin atau dengan kangaroo mother care (KMC)
selama 24 jam per hari (sama efektifnya dengan inkubator atau alat penghangat
lain), dan sebisa mungkin tidak menggunakan antipiretik (misal, parasetamol)
untuk menurunkan demam, melainkan mengontrol lingkungan seperti yang
dijelaskan sebelumnya.
Yang kedua mengontrol kebutuhan nutrisi dan cairan dengan meningkatkan
jumlah dan frekuensi pemberian ASI, jika bayi mengalami gangguan
pernapasan atau kesulitan menghisap payudara, berikan ASI melalui pipa
nasogastrik 6-8 kali sehari (atau 8-12 kali pada bayi baru lahir berusia 1-2
minggu), jika bayi sedang diberikan cairan IV pantau agar tidak melebihi
kebutuhan cairan tubuh bayi yang dapat menyebabkan gagal jantung, pada
kondisi hipoglikemia dengan kadar glukosa darah kapiler <2.5 mmol/ litre (<45
mg/dl), berikan glukosa 10% 10ml/kg dengan pipa nasogastrik (WHO, 2014).
Selain itu, jagalah patensi jalan napas dan pemberian oksigen untuk
mencegah hipoksia dan pemasangan ventilator mekanik jika dibutuhkan,
melakukan transfusi komponen juga dapat dilakukan jika dibutuhkan, atau
melakukan manajemen khusus sesuai kasus misalnya kejang, gangguan
metabolik, gastrointestinal, atau hiperbilirubin, berikan imunoterapi dengan
immunoglobulin antibodi monoklonal atau transfusi tukar (IDAI, 2015).

K. KONSEP KEPERAWATAN
Pengkajian Primer menggunakan pendekatan ABCDE
1. Airway
Yakinkan kepatenan jalan napas, berikan alat bantu napas jika perlu
(guedel atau nasopharyngeal), jika terjadi penurunan fungsi pernapasan
segera kontak ahli anestesi dan bawa segera mungkin ke ICU.
2. Breathing
Kaji jumlah pernasan lebih dari 24 kali per menit merupakan gejala yang
signifikan, kaji saturasi oksigen, periksa gas darah arteri untuk mengkaji
status oksigenasi dan kemungkinan asidosis, berikan 100% oksigen melalui
non re-breath mask, auskulasi dada, untuk mengetahui adanya infeksi di
dada, periksa foto thorak.
3. Circulation

Kaji denyut jantung, >100 kali per menit merupakan tanda signifikan,

monitoring tekanan darah, tekanan darah, periksa waktu pengisian kapiler,

pasang infuse dengan menggunakan canul yang besar, berikan cairan koloid

– gelofusin atau haemaccel, pasang kateter, lakukan pemeriksaan darah

lengkap, siapkan untuk pemeriksaan kultur, catat temperature,

kemungkinan pasien pyreksia atau temperature kurang dari 36Oc, siapkan

pemeriksaan urin dan sputum, berikan antibiotic spectrum luas sesuai

kebijakan setempat.

4. Disability

Bingung merupakan salah satu tanda pertama pada pasien sepsis padahal

sebelumnya tidak ada masalah (sehat dan baik). Kaji tingkat kesadaran

dengan menggunakan AVPU.

5. Exposure

Jika sumber infeksi tidak diketahui, cari adanya cidera, luka dan tempat

suntikan dan tempat sumber infeksi lainnya.


Pengkajian Sekunder
Pengkajian dilakukan melalui anamnesis untuk mendapatkan data. Yang
perlu dikaji adalah :
1. Status sosial-ekonomi, riwayat perawatan antenatal, ada/tidaknya ketuban
pecah dini, partus lama atau sangat cepat (partus presipitatus).
2. Riwayat persalinan di kamar bersalin, ruang operasi, atau tempat lain.
3. Ada atau tidaknya riwayat penyakit menular seksual (sifilis, herpes
klamidia, gonorea, dll).
4. Apakah selama kehamilan dan saat persalinan pernah menderita penyakit
infeksi (misal toksoplasmosis, rubella, toksemia gravidarum, dan
amnionitis).

Pada pemeriksaan fisik, data yang akan ditemukan meliputi :


1. Letargi (khususnya setelah 24 jam pertama)
2. Tidak mau minum atau refleks mengisap lemah
3. Regurgitasi
4. Peka rangsang
5. Pucat
6. Hipoteri dan hiporefleksi
7. Gerakan putar mata
8. Berat badan berkurang melebihi penurunan berat badan secara fisiologis
9. Hipotermi
10. Tampak icterus

Data lain yang mungkin ditemukan adalah :


1. Hipertermia
2. Pernapasan mendengkur
3. Bradipnea atau apnea
4. Kulit lembab dan dingin
5. Pucat
6. Pengisian kembali kapiler lambat
7. Hipotensi
8. Dehidrasi
9. Sianosis
10. Gejala traktus gastrointestinal meliputi muntah, distensi abdomen atau
diare.
11. Pada kulit terdapat ruam, petekiae, pustula dengan lesi atau herpes.

Anda mungkin juga menyukai