Preseptor :
Disusun Oleh :
2030122029
PADANG
2021
DAFTAR ISI
Daftar Isi...................................................................................................................i
BAB I.........................................................................................................................1
1.3 Tujuan......................................................................................................3
BAB II Pembahasan.................................................................................................4
2.2 Sepsis........................................................................................................17
3.1 Kesimpulan..............................................................................................41
3.2 Saran.........................................................................................................41
Daftar Pustaka..........................................................................................................42
i
BAB I
PENDAHULUAN
1
belum ada sehingga upaya untuk memperbaiki kriteria diagnosis masih terus
dilakukan (IDAI,2016).
Kejadian sepsis secara signifikan lebih tinggi pada kelompok umur yang lebih
muda dan anak dengan komorbiditas yang mengakibatkan keadaan defisiensi
imunitas, seperti keganasan, transplantasi, penyakit kronis, dan kelainan jantung
bawaan. Penyebab infeksi tersering sepsis pada anak, yaitu infeksi saluran
pernapasan, diikuti dengan infeksi non-spesifik, bakteremia, infeksi saluran kemih,
infeksi saluran pencernaan, infeksi sistem saraf pusat, dan lainnya. Infeksi luka
operasi dan jaringan lunak juga dapat menyebabkan sepsis pada anak (IDAI,2016)
Pada keadaan awal sepsis terjadi peningkatan limfosit, keadaan sepsis yang terus
menerus akan menyebabkan terjadinya apoptosis dari limfosit sehingga
limfositopenia. Penurunan eosinofil menjadi salah satu infeksi pada sepsis dan terjadi
peningkatan jumlah monosit karena monosit akan berinteraksi dengan endotoksin
yang berasal dari bakteri.Perubahan trombosit juga terjadi pada sepsis terjadi karena
pelepasan faktor pertumbuhan pada sumsum tulang yang memaju produksi trombosit
dalam ukuran besar sebagai mekanisme kompensasi (IDAI, 2016)
Infeksi SSP (Sistem Saraf Pusat) pada anak dapat mengakibatkan morbiditas dan
mortalitas yang besar jika tidak terdeteksi maupun tidak tertangani secara tepat. Salah
satu penyakit infeksi SSP yang terjadi pada anak adalah meningitis, yang disebutkan
bahwa meningitis menduduki urutan ke-10 dalam penyebab kematian akibat infeksi
yang ada pada tiap negara (WHO, 2015).
World Health Organization (WHO) memperkirakan setiap tahun terdapat 1,3 juta
kasus baru meningitis dengan tuberculosis pada anak di dunia (Sangadji & Kusnanto,
2018). Tingkat kematian pasien meningitis bakteri secara keseluruhan antara 2-30%
tergantung dari bakteri penyebab meningitis yang 2 terdapat 25.000 kasus baru
meningitis bakteri, tetapi penyakit ini jauh lebih sering ditemukan di negara-negara
sedang berkembang (Andarsari, 2011)
Secara umum, terapi yang diberikan untuk penderita meningitis adalah antibiotik.
Antibiotik yang dipilih adalah antibiotik yang pemberiannya secara intravena yang
mempunyai spektrum luas, dapat menembus sawar darah otak (Blood Brain Barrier/
2
BBB) dan masuk ke CSS sehingga dapat bekerja secara efektif untuk membunuh dan
menghambat pertumbuhan bakteri. Antibiotik empiris yang sering digunakan pada
pengobatan meningitis adalah golongan cephalosphorin generasi tiga (contoh:
cefotaxime, ceftriaxone) dan golongan carbapenem (Mace, 2008). Selain itu, terapi
tambahan dengan deksametason diberikan jika ada respon inflamasi dan digunakan
setelah dimulainya terapi antibiotik (Elshaboury, 2014).
1.3 Tujuan
1. Mengetahui defenisi, patofisiologi, tatalaksana dari Infeksi saluran kemih.
2. Mengetahui defenisi, patofisiologi, tatalaksana dari Sepsis.
3. Mengetahui defenisi, patofisiologi, tatalaksana dari Infeksi system saraf pusat.
3
BAB II
PEMBAHASAN
2.1.1 Etiologi
4
epidermidis. Haemofilus influenzae dan parainfluenza dilaporkan sebagai penyebab
ISK pada anak. Kuman ini tidak dapat tumbuh pada media biakan standar sehingga
sering tidak diperhitungkan sebagai penyebab ISK. Bila penyebabnya Proteus, perlu
dicurigai kemungkinan batu struvit (magnesiumammonium-fosfat) karena kuman
Proteus menghasilkan enzim urease yang memecah ureum menjadi amonium,
sehingga pH urin meningkat menjadi 8-8,5. Pada urin yang alkalis, beberapa
elektrolit seperti kalsium, magnesium, dan fosfat akan mudah mengendap (IDAI,
2011).
2.1.2 Diagnosis
5
demam berlangsung dua hari atau lebih, ras kulit putih, umur di bawah satu tahun,
tidak ditemukan kemungkinan penyebab demam lainnya. Bila ditemukan 2 atau lebih
faktor risiko tersebut maka sensitivitas untuk kemungkinan ISK mencapai 95%
dengan spesifisitas 31% (IDAI,2011).
Manifestasi klinis ISK pada anak bervariasi, tergantung pada usia, tempat
infeksi dalam saluran kemih, dan beratnya infeksi atau intensitas reaksi peradangan.
Sebagian ISK pada anak merupakan ISK asimtomatik dan umumnya ditemukan pada
anak umur sekolah, terutama anak perempuan. Umumnya ISK asimtomatik tidak
berlanjut menjadi pielonefritis. Pada bayi, gejala klinik ISK juga tidak spesifik dan
dapat berupa demam, nafsu makan berkurang, cengeng, kolik, muntah, diare, ikterus,
distensi abdomen, penurunan berat badan, dan gagal tumbuh. Infeksi saluran kemih
perlu dipertimbangkan pada semua bayi dan anak berumur 2 bulan hingga 2 tahun
dengan demam yang tidak jelas penyebabnya. Infeksi saluran kemih pada kelompok
umur ini terutama yang dengan demam tinggi harus dianggap sebagai pielonefritis.
Pada anak besar gejala klinik biasanya lebih ringan, dapat berupa gejala lokal saluran
kemih berupa polakisuria, disuria, urgency, frequency, ngompol. Dapat juga
ditemukan sakit perut, sakit pinggang, atau demam tinggi.8 Setelah episode pertama,
ISK dapat berulang pada 30-40% pasien terutama pada pasien dengan kelainan
anatomi, seperti refluks vesikoureter, hidronefrosis, obstruksi urin, divertikulum
kandung kemih, dan lain lain (IDAI,2011).
2.1.4 Klasifkasi
ISK pada anak dapat dibedakan berdasarkan gejala klinis, lokasi infeksi, dan
kelainan saluran kemih. Berdasarkan gejala, ISK dibedakan menjadi ISK asimtomatik
dan simtomatik. Berdasarkan lokasi infeksi, ISK dibedakan menjadi ISK atas dan
ISK bawah, dan berdasarkan kelainan saluran kemih, ISK dibedakan menjadi ISK
simpleks dan ISK kompleks. ISK asimtomatik ialah bakteriuria bermakna tanpa
gejala. ISK simtomatik yaitu terdapatnya bakteriuria bermakna disertai gejala dan
6
tanda klinik. Sekitar 10-20% ISK yang sulit digolongkan ke dalam pielonefritis atau
sistitis baik berdasarkan gejala klinik maupun pemeriksaan penunjang disebut dengan
ISK non spesifik. Membedakan ISK atas atau pielonefritis dengan ISK bawah (sistitis
dan urethritis) sangat perlu karena risiko terjadinya parut ginjal sangat bermakna pada
pielonefritis dan tidak pada sistitis, sehingga tata laksananya (pemeriksaan,
pemberian antibiotik, dan lama terapi) berbeda. Untuk kepentingan klinik dan tata
laksana, ISK dapat dibagi menjadi ISK simpleks (uncomplicated UTI) dan ISK
kompleks (complicated UTI). ISK kompleks adalah ISK yang disertai kelainan
anatomik dan atau fungsional saluran kemih yang menyebabkan stasis ataupun aliran
balik (refluks) urin. Kelainan saluran kemih dapat berupa RVU, batu saluran kemih,
obstruksi, anomali saluran kemih, buli-buli neurogenik, benda asing, dan sebagainya.
ISK simpleks ialah ISK tanpa kelainan struktural maupun fungsional saluran kemih.
National Institute for Health and Clinical Excellence (NICE) membedakan ISK
menjadi ISK atipikal dan ISK berulang. Kriteria ISK atipikal adalah; keadaan pasien
yang sakit berat, diuresis sedikit, terdapat massa abdomen atau kandung kemih,
peningkatan kreatinin darah, septikemia, tidak memberikan respon terhadap antibiotik
dalam 48 jam, serta disebabkan oleh kuman non E. coli. ISK berulang berarti terdapat
dua kali atau lebih episode pielonefritis akut atau ISK atas, atau satu episode
pielonefritis akut atau ISK atas disertai satu atau lebih episode sistitis atau ISK
bawah, atau tiga atau lebih episode sistitis atau ISK bawah (IDAI,2011).
2.1.4 Patofisiologi
Pada individu normal, laki-laki maupun perempuan urin selalu steril karena
dipertahankan jumlah dan frekuensi kencing. Uretro distal merupakan tempat
kolonisasi mikroorganisme non-pathogenic fastidious gram-positive dan gram
negatif. Hampir semua ISK disebabkan invasi mikroorganisme asending dari uretra
ke dalam saluran kemih yang lebih distal, misalnya kandung kemih. Pada beberapa
pasien tertentu invasi mikroorganisme dapat mencapai ginjal. Proses ini dipermudah
refluks vesikoureter. Proses invasi mikroorganisme hematogen sangat jarang
ditemukan di klinik, mungkin akibat lanjut dari bakteriemia (Endriani, 2012)
7
2.1.5 Tatalaksana
Tata laksana ISK terdiri atas eradikasi infeksi akut, deteksi dan tata laksana
kelainan anatomi dan fungsional pada ginjal dan saluran kemih, dan deteksi dan
mencegah infeksi berulang.8 Tujuan pemberian antibiotik adalah mengatasi infeksi
akut, mencegah urosepsis, dan mencegah atau mengurangi kerusakan ginjal. Prinsip
pemilihan terapi antibiotik untuk ISK sama dengan panduan yang digunakan untuk
memilih antibiotik untuk penyakit infeksi lain, yakni sensitivitas bakteri, antibiotik
spektrum sempit, toleransi pasien terhadap terapi, toksisitas rendah, dan cost-
effectiveness (Pardede,2018).
Terapi didasarkan pada lokasi infeksi sehingga penting membedakan ISK atas
dan ISK bawah karena mempunyai implikasi yang berbeda. Parut ginjal terjadi pada
pielonefritis, dan tidak terjadi pada sistitis, sehingga tata laksana (pemeriksaan
lanjutan, pemberian antibiotik, dan lama terapi) sangat berbeda antara pielonefritis
dan sistitis. Menentukasi tempat infeksi dilakukan berdasarkan kombinasi klinik,
laboratorium, dan pemeriksaan pencitraan. Umumnya, bakteriuria asimtomatik tidak
diterapi dengan antibiotik, sedangkan ISK simtomatik harus segera mendapatkan
antibiotik. Sebelum pemberian antibiotik, sebaiknya dilakukan biakan urin untuk
8
menentukan jenis bakteridan sensitivitasnya. Keterlambatan pemberian antibiotik
merupakan salah satu faktor risiko terbentuknya parut ginjal pada pielonefritis.
Dengan demikian, antibiotik harus diberikan secara empirik dan kemudian
disesuaikan dengan hasil biakan urin (Pardede, 2018).
1. Bayi < 3 bulan dengan kemungkinan ISK harus segera dirujuk ke dokter spesialis
anak, pengobatan harus dengan antibiotik parenteral.
9
3. Bayi ≥ 3 bulan dengan sistitis/ ISK bawah:
10
Pengobatan sistitis akut (IDAI, 2011)
Anak dengan sistitis diobati dengan antibiotik per oral dan umumnya tidak
memerlukan perawatan di rumah sakit,namun bila gejala klinik cukup berat misalnya
rasa sakit yang hebat, toksik, muntah dan dehidrasi, anak harus dirawat di rumah sakit
dan diberi pengobatan parenteral hingga gejala klinik membaik. Lama pengobatan
umumnya 5 – 7 hari, meskipun ada yang memberikan 3-5 hari, 6 atau 7 hari. Untuk
sistitis akut, direkomendasikan pemberian antibiotik oral seperti trimetoprim-
sulfametoksazol, nitrofurantoin, amoksisilin, amoksisilinklavulanat, sefaleksin, dan
sefiksim.
11
lebih sedikit dan kemungkinan terjadinya resistensi kuman terhadap obat lebih
sedikit.
Pada masa neonatus, gejala klinik ISK tidak spesifik dapat berupa apati,
anoreksia, ikterus, gagal tumbuh, muntah, diare, demam, hipotermia, tidak mau
minum, oliguria, iritabel, atau distensi abdomen. Kemampuan neonatus mengatasi
infeksi yang belum berkembang menyebabkan mudah terjadi sepsis atau meningitis,
terutama pada neonatus dengan kelainan saluran kemih. Pengobatan terutama
ditujukan untuk mengatasi infeksi bakteri Gram negatif. Antibiotik harus segera
diberikan secara intravena. Kombinasi aminoglikosida dan ampisilin pada umumnya
cukup memadai. Lama pemberian antibiotik pada neonatus dengan ISK adalah 10-14
hari. Pemberian profilaksis antibiotik segera diberikan setelah selesai pengobatan fase
akut. Bakteriuria asimtomatik Pada beberapa kasus ditemukan pertumbuhan kuman >
105 cfu/mL dalam urin tanpa gejala klinik, baik gejala klinik ISK bawah (disuria,
urgency, dan frekuensi) ataupun gejala klinik ISK atas seperti demam, menggigil,
12
nyeri sekitar ginjal. Bakteri pada bakteriuria asimtomatik biasanya bakteri dengan
virulensi rendah dan tidak punya kemampuan untuk menyebabkan kerusakan ginjal
meskipun kuman tersebut mencapai ginjal. Secara umum disepakati bahwa
bakteriuria asimtomatik tidak memerlukan terapi antibiotik, malah pemberian
antibiotik dapat menambah risiko komplikasi antara lain meningkatkan rekurensi
pada 80% kasus. Kuman komensal dan virulensi rendah pada saluran kemih dapat
menghambat invasi kuman patogen, dengan demikian kuman komensal tersebut
dianggap berfungsi sebagai profilaksis biologik terhadap kolonisasi kuman patogen.
Pengobatan suportif
Selain terapi kausal terhadap infeksi, pengobatan suportif dan simtomatik juga
perlu diperhatikan, misalnya pengobatan terhadap demam dan muntah. Terapi cairan
harus adekuat untuk menjamin diuresis yang lancar. Anak yang sudah besar dapat
disuruh untuk mengosongkan kandung kemih setiap miksi. Higiene perineum perlu
ditekankan terutama pada anak perempuan. Untuk mengatasi disuria dapat diberikan
fenazopiridin HCl (Pyridium) dengan dosis 7 – 10 mg/ kgbb/hari. Perawatan di
rumah sakit diperlukan bagi pasien sakit berat seperti demam tinggi, muntah, sakit
perut maupun sakit pinggang.
13
Tatalaksana Infeksi saluran kemih (Dipiro, 2015)
14
Amoksisilin (Dipiro, 2015).
• Mekanisme kerja : memiliki efek bakterisidal yang bekerja terhadap bakteri
yang sensitif terhadap obat ini. Obat ini bekerja dengan cara menghambat
biosintesis dinding sel mukopeptida. Pemberian oral adalah pilihan, karena
diabsorpsi lebih baik daripada obat derivat penisilin lain yang diberikan secara
parenteral.
• Efek samping : Diare, sakit perut, mual, sakit kepala dan pusing. Minumlah
banyak air putih dan konsumsilah amoxilin setelah makan untuk
mencegahnya.
• Interaksi obat :
o Meningkatnya risiko perdarahan, jika digunakan dengan obat
pengencer darah.
o Meningkatnya risiko alergi, jika digunakan dengan allopurinol
o Meningkatnya efek samping amoxicillin, jika digunakan
dengan probenecid.
o Menurunnya efektivitas amoxicillin, jika digunakan dengan
chloramphenicol, makrolid, sulfonamida, dan tetracycline HCl.
o Menurunnya efektivitas pil KB.
• Kontraindikasi : Kontraindikasi dan peringatan penggunaan amoxicillin yang
paling utama adalah pada pasien dengan gangguan ginjal dan pasien dengan
riwayat hipersensitifitas terhadap obat ini.
Kontraindikasi amoxicillin adalah pada pasien dengan riwayat alergi terhadap
derivat penisilin lainnya.
Peringatan
Beberapa peringatan dalam penggunaan amoxicilin yang harus diperhatikan
adalah :
o Amoxicillin boleh diberikan kepada wanita hamil, dimana
diperkirakan tidak berdampak buruk pada janin
15
o Amoxicillin dapat masuk kedalam air susu ibu dan dapat
menyebabkan sensitisasi pada infant, sehingga penggunaannya harus
berhati-hati
o Sediaan tablet kunyah amoxicillin dapat mengandung fenilalanin,
karenanya dapat memberikan efek samping terhadap penderita
fenilketonuria
o Dosis obat perlu dikurangi pada penderita gangguan ginjal berat
o Pemberian dosis tinggi mengakibatkan tes glukosa urine false-positif
16
2.2 Sepsis
2.2.1 Etiologi
Sepsis disebabkan oleh respon imun yang dipicu oleh infeksi. Bakteri
merupakan penyebab infeksi yang paling sering, tetapi dapat pula berasal dari jamur,
virus, atau parasit. Respon imun terhadap bakteri dapat menyebabkan disfungsi organ
atau sepsis dan syok septik dengan angka mortalitas relatif tinggi. Organ tersering
yang merupakan infeksi primer, adalah paru-paru, otak, saluran kemih, kulit, dan
abdomen. Faktor risiko terjadinya sepsis antara lain usia sangat muda, kelemahan
sistem imun seperti pada pasien keganasan dan diabetes melitus, trauma, atau luka
bakar mayor. Mikroorganisme patogen penyebab sepsis, sangat tergantung pada usia
dan respons tubuh terhadap infeksi itu sendiri (tabel 1).
17
2.2.2 Diagnosis
Diagnosis sepsis ditegakkan berdasarkan adanya:
1. Infeksi, meliputi
a. faktor predisposisi infeksi
b tanda atau bukti infeksi yang sedang berlangsung,
c. respon inflamasi;
2. Tanda disfungsi/gagal organ. Alur
penegakan diagnosis sepsis tertera pada gambar 1
18
2.2.3 Patofisiologi
19
Dalam monosit, nuclear factor-kB NF-kB) diaktifkan, yang mengarah pada
produksi sitokin proinflamasi, tumor necrosis factor a (TNF-a), dan interleukin 1 (IL-
1). TNF-a dan IL-I memacu produksi toxic downstream mediators, termasuk
prostaglandin, leukotrien, platelet-activating factor, dan fosfolipase A2. Mediator ini
merusak lapisan endotel, yang menyebabkan peningkatan kebocoran kapiler. Selain
itu, Sitokin ini menyebabkan produksi molekul adhesi pada sel endotel dan neutrofil.
Interaksi endotel neutrofilik menyebabkan cedera endotel lebih lanjut melalui
pelepasan komponen neutrofil. Akhirnya, neutrofil teraktivasi melepaskan oksida
nitrat (NO), vasodilator kuat. Dengan demikian memungkinkan neutrofil dan cairan
mengalami ekstravasasi ke dalam ruang ekstravaskular yang terinfeksi yang
mengarah ke Syok septik (Dipiro, 2020).
2.2.4 Penatalaksanaan (IDAI, 2016)
Tata laksana
Tata laksana sepsis ditujukan pada penanggulangan infeksi dan disfungsi organ.
2.2.4.1 Tata laksana Infeksi
a. Antibiotika
Pemilihan jenis antibiotika empirik sesuai dengan dugaan etiologi infeksi,
diagnosis kerja, usia, dan predisposisi penyakit. Apabila penyebab sepsis belum jelas,
antibiotik diberikan dalam 1 jam pertama sejak diduga sepsis, dengan sebelumnya
dilakukan pemeriksaan kultur darah. Upaya awal terapi sepsis adalah dengan
menggunakan antibiotika tunggal berspektrum luas. Setelah bakteri penyebab
diketahui, terapi antibiotika definitif diberikan sesuai pola kepekaan kuman.
Prinsip Penggunaan Antibiotik Empirik pada Sepsis dengan Penyebab yang
Belum Diketahui.
Prinsip utama paradigma terapi empiris
• Berikan pilihan antibiotik pertama secara efektif dan tepat
• Dasarkan pemilihan antibiotik, baik empiris maupun bertarget, pada
pengetahuan pola kepekaan lokal (antibiogram lokal)
• Optimalkan dosis dan rute pemberian antibiotik
• Berikan antibiotik tunggal, spektrum luas dengan durasi sesingkat mungkin
20
DAN
• Sesuaikan atau hentikan terapi antibiotik sedini mungkin untuk mengurangi
kemungkinan resistensi (de-eskalasi)
21
22
2.2.4.2 Tata laksana disfungsi organ
a. Transfusi darah
A. Transfusi packed red cell
Transfusi packed red cell (PRC) diberikan berdasarkan saturasi vena
cava superior (ScvO2) <70% atau Hb <7 g/dL. Pada pasien dengan
hemodinamik tidak stabil dan ScvO2 <70%, disarankan tercapai kadar
hemoglobin >10 g/dL. Setelah syok teratasi, kadar Hb <7 g/dL dapat
digunakan sebagai ambang transfusi.2,55,56
B. Transfusi konsentrat trombosit
Transfusi trombosit diberikan pada pasien sepsis sebagai profilaksis
atau terapi, dengan kriteria sebagai berikut: 2,46
- Profilaksis diberikan pada kadar trombosit <10.000/mm3 tanpa
perdarahan aktif, atau kadar <20.000 /mm3 dengan risiko
bermakna perdarahan aktif. Bila pasien akan menjalani
pembedahan atau prosedur invasif, kadar trombosit dianjurkan
>50.000/mm3.
- Terapi diberikan pada kadar trombosit <100.000/mm3 dengan
perdarahan aktif.
C. Transfusi plasma
Tranfusi plasma beku segar (fresh frozen plasma, FFP) diberikan
pada pasien sepsis yang mengalami gangguan purpura trombotik, antara
lain: koagulasi intravaskular menyeluruh (disseminated intravascular
coagulation, DIC), secondary thrombotic microangiopathy, dan thrombotic
thrombocytopenic purpura.2,46
b. Kortikosteroid
Hidrokortison suksinat 50 mg/m2/hari diindikasikan untuk pasien syok
refrakter katekolamin atau terdapat tanda-tanda insufisiensi adrenal.
c. Kontrol glikemik
Gula darah dipertahankan 50-180 mg/dL. Bila gula darah >180 mg/dL,
glucose infusion rate (GIR) diturunkan sampai 5 mg/kg/menit. Bila gula darah >180
23
mg/dL, dengan GIR 5 mg/kg/menit, GIR dipertahankan dan titrasi rapid acting
insulin 0,05-0,1 IU/kg.
d. Nutrisi
Nutrisi diberikan setelah respirasi dan hemodinamik stabil, diutamakan secara
enteral dengan kebutuhan fase akut 57 kCal/kg/hari dan protein 60% dari total
kebutuhan protein (0-2 tahun: 2-3 g/kg/hari; 2-3 tahun: 1,5-2 g/ kg/hari; 3-18 tahun:
1,5 g/kg/hari).62-64
e. Menghilangkan sumber infeksi
Melakukan debridemen, mengeluarkan abses dan pus, membuka alat dan
kateter yang berada dalam tubuh merupakan bagian dari eradikasi sumber infeksi.
24
Catatan : Antasida sebaiknya tidak digunakan pada waktu yang sama
dengan obat-obat lain karena dapat mengganggu absorpsi
- Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap penisilin
Gentamisin (IDAI,2016)
- Mekanisme kerja: Gentamisin memiliki mekanisme penghambatan sintesis
protein yang berikatan dengan subunit 30S ribosom bakteri atau beberapa
protein terikat pada subunit 50S ribosom dan menghambat translokasi
peptidil-tRNA dari situs A ke situs P, hal itu menyebabkan kesalahan
pembacaan mRNA sehingga bakteri tidak mampu mensintesis protein vital
untuk pertumbuhannya.
- Efek samping : Gangguan pendengaran dan keseimbangan, ototoksisitas dan
nefrotoksisitas berhubungan dengan besar dosis. Pada gagal ginjal interval
dosis diperpanjang, bila gagal ginjal berat, dosis diturunkan. Monitor kadar
plasma mencegah dosis berlebih dan subterapi, mencegah toksisitas menjamin
efektivitas. Nefrotoksisitas Jarang: hipomagnesemia pada terapi jangka
panjang, kolitis, mual, muntah dan ruam.
- Kontraindikasi : Kehamilan, miasthenia gravis
- Interaksi Obat: Antibiotik beta laktam (sefalosporin, penisilin),
chloramphenicol, diuretik, tetrasiklin.
Cefotaxim (Dipiro, 2015)
- Mekanisme Kerja: bekerja dengan cara memperlemah dan memecah dinding
sel, membunuh bakteri
- Efek samping : Kardiovaskular: aritmia; susunan saraf pusat: demam, nyeri
kepala; dermatologik: ruam, pruritus; gastrointestinal: kolitis
pseudomembranosa terkait antibiotik, diare, mual, muntah; hematologik:
neutropenia transien, trombositopenia, eosinofilia, leukopenia; hepatik:
peningkatan sementara enzim hepar; reaksi lokal: flebitis, nyeri pada lokasi
penyuntikan; renal: peningkatan sementara ureum dan kreatinin.
- Kontraindikasi: Hipersensitivitas terhadap sefotaksim, sefalosporin, atau
komponennya.
25
- Interaksi Obat: Cefotaxim dapat menimbulkan interaksi obat berupa
peningkatan efek toksik pada ginjal jika digunakan bersama obat
golongan aminoglikosida atau diuretik. Selain itu, kadar cefotaxim dalam
darah juga dapat meningkat jika digunakan bersama probenecid.
26
2.3.2 Patofisiologi (Octavius,2021)
Infeksi terjadi karena penyebaran melalui aliran darah dari tempat infeksi
primer, penyebaran dari fokus paramening, pengaktifan kembali infeksi tersembunyi,
trauma atau kelainan bawaan di SSP. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai jenis
bakteri, jamur, virus dan parasit. Penyebab umum terbanyak meningitis bakteri adalah
Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae dan Neisseria meningitidis.
Tahap awal yang kritis pada meningitis bakteri akut adalah kolonisasi bakteri patogen
di nasofaring. Awalnya bakteri mengikatkan diri pada sel epitel nasofaring melalui
lektin, kemudian secara fagositosit melintas sel nasofaring yang tidak bersilia ke
dalam aliran darah.
Karakteristik umum patogen SSP (Misalnya, Streptococcus pneumoniae,
Haemophilus influenzae dan Neisseria meningitidis) adalah mempunyai kapsul
polisakarida yang resisten terhadap fagositosit neutrofil dan opsonisasi komplemen.
Tepatnya tempat dan mekanisme kerja invasi bakteri ke dalam SSP tidak diketahui,
tetapi beberapa studi menunjukkan bahwa invasi ke ruang subarakhnoid terjadi
dengan cara SSP terpapar inokolat bakteri terus menerus. Sel bakteri yang mati akan
melepaskan komponen sel seperti lipopolisakarida (LPS), lipid A (endotoksin), asam
lipoteikhoid, asam teikhoid dan peptidoglikan bergantung pada jenis patogen, apakah
G+ atau G-. Komponen-komponen sel tersebut menyebabkan sel-sel endotel kapiler
dan makrofag SSP melepaskan sitokin (interleukin-1/IL-1) dan tumor necrosis factor
(TNF). Sel-sel kapiler endotel dan leukosit SSP melepaskan produk-produk asam
arakhidonat-siklooksigenase (prostaglandin dan tromboksan), platelet activating
factor (PAF). PAF mengaktifkan reaksi koagulasi dan metabolit asam arakhidonat
merangsang vasodilatasi. Semua itu menyebabkan udem serebral, peningkatan
tekanan intrakranial, peningkatan limfosit di cairan serebrospinal (pleositosit),
penyebaran koagulasi intravaskuler (DIC), sindroma sekresi Anti Diuretic Hormon
yang tidak sesuai (SIADH), penurunan aliran darah otak, iskemia otak dan kematian.
27
(Patofisiologi Infeksi system saraf pusat pada anak) (Octavius,2021)
28
(Patofisiologi Meningitis)
29
2.3.3 Gejala dan Tanda
Gejala dan tanda klasik adalah demam, kekakuan leher, belakang leher dan
punggung, tanda Brudzinski positif (fleksi kedua kaki dan paha akibat leher yang
ditekuk paksa), tanda Kernig positif (ketidakmampuan meluruskan kaki bila
berbaring pada punggung dengan paha ditekuk pada sudut kanan tubuh). Perjalanan
penyakit selanjutnya pasien dapat mengalami, kejang, defisit fokus neurologik dan
hidrosefalus.
Bayi yang menderita meningitis bakteri mungkin hanya menunjukkan gejala
yang tidak spesifik seperti, gelisah, pola tidur berubah, muntah, menangis keras,
penurunan asupan oral atau kejang.
Diagnosa biasanya ditegakkan berdasarkan pemeriksaan cairan serebrospinal
(CSS) yang diambil segera setelah dicurigai meningitis. Selain pemeriksaan CSS,
kultur darah harus dilakukan karena meningitis dapat berasal dari penyebaran
hematom. Peningkatan protein CSS ≥ 50 mg/dL dan konsentrasi glukosa CSS < 50%
secara bersamaan menguatkan diagnosa meningitis bakteri.
30
Macam – macam Bacterial Meningitis yang banyak terjadi :
a) Meningitis Neisseria Meningitidis (Meningococcus)
Meningitis ini biasanya terdapat pada anak dan dewasa muda.
Sebagian besar kasus ini terjadi biasanya pada musim dingin atau semi, di
waktu itu virus meningitis relatif tidak umum terjadi.
Gejala: demam, artritis (sendi besar), perikarditis, unilateral ketulian, lesi
purpura, petekia.
Terapi:
a. Penisilin G kristal dosis tinggi IV, 50.000 unit/kg setiap 4 jam.
b. Kloramfenikol dan Sefalosporin generasi ketiga (contohnya
sefotaksim) dapat digunakan sebagai pengganti Penisilin G.
c. Rifampisin = Dewasa: 600mg secara oral setiap 12 jam untuk 4 dosis.
Anak-anak (1 bulan-12 tahun): 10mg/kgBB setiap 12 jam untuk 4 dosis.
Bayi: 5mg/kgBB secara oral untuk 4 dosis.
b) Meningitis Pneumonia Streptococcus (Pneumokokus/ Diplokokus)
Meningitis Streptococcus terjadi pada usia sangat muda (1-4 bulan)
dan pada usia sangat tua. Biasanya terjadi pada umur 2-10 tahun.
Terapi: Kombinasi Vankomisin dan Seftriakson paling efektif untuk strain
yang resisten terhadap Penisilin G.
c) Meningitis Haemophilus influenzae
Haemophilus influenzae adalah penyebab utama meningitis pada anak
usia 6 bulan sampai 3 tahun, tetapi menurun drastis sejak vaksin yang
efektif dipasarkan. Penyakit ini sering terjadi karena komplikasi dari
infeksi primer di telinga tengah, sinus paranasal / paru.
Terapi: sekitar 30-40% H.influenzae resisten terhadap Ampisilin. Karena
itu, digunakan Sefalosporin generasi ketiga (Sefotaksim / Seftriakson) /
Kloramfenikol dengan Ampisilin untuk terapi awal.
2.3.5 Terapi Meningitis
Terapi meningitis bacterial
31
1. terapi antibiotik yang digunakan harus dapat menembus sawar darah otak,
contohnya rifampicin, chloramphenicol, dan quinolones (konsentrasi serum
sekitar 30%-50%)
2. Terapi antibiotik diberikan secepatnya setelah didapatkan hasil kultur.
3. Pada orang dewasa, Benzyl penicillin G dengan dosis 1-2 juta unit diberikan
secara intravena setiap 2 jam.
4. Pada anak dengan berat badan 10-20 kg. Diberikan 8 juta unit/hari, anak
dengan berat badan kurang dari 10 kg diberikan 4 juta unit/hari.
5. Ampicillin dapat ditambahkan dengan dosis 300-400 mg/KgBB/hari untuk
dewasa dan 100-200 mg/KgBB/ untuk anak-anak.
6. Untuk pasien yang alergi terhadap penicillin, dapat diberikan sampai 5 hari
bebas panas.
• Terapi meningitis TB
1. Diberikan prednison 1-2 mg/kgBB/hari selama 4 minggu kemudian
penurunan dosis (tapering-off) selama 8 minggu sehingga pemberian
prednison keseluruhan tidak lebih dari 2 bulan.
• Terapi meningitis viral
1. Diberi anti emetik seperti ondansetron dosis dewasa 4-8 mg IV tiap 8jam,
dosis pediatrik 0,1 mg/kg IV lambat max 4 mg/dosis dan dapat diulang tiap 12
jam
2. Diberi antiviral seperti acyclovir, diberikan secepatnya ketika didiagnosis
herpetic meningoencephalitis, dosis dewasa 30 mg/kg IV tiap 8 jam
• Terapi meningitis jamur
Meningitis kriptokokus diobati dengan obat antijamur. Dapat digunakan :
1. Flukonazol, obat ini tersedia dengan bentuk pil atau infus
2. Jika pasien intoleran dengan flukonazol dapat digunakan dengan amfoterisin
B dan kapsul flusitosin. Mempunyai efek samping besar pada amfoterisin B,
dapat diatasi dengan pemberian ibuprofen setengah jam sebelum amfoterisin
B dipakai.
32
• Terapi Farmakologi
Tujuan terapi: menghilangkan infeksi dengan menurunkan tanda-tanda
dan gejala, serta mencegah kerusakan neurologi seperti kejang, tuli, koma dan
kematian.
Deksametason sebagai terapi penguat (ajuvan)
Selain antibiotik, deksametason umum digunakan pada terapi
meningitis anak. Deksametason dapat menyebabkan perbaikan yang nyata
pada konsentrasi protein glukosa dan laktat CSS serta juga menurunkan
dengan nyata kejadian gangguan neuology yang umum berkaitan dengan
meningitis.
The American Academy of Pediatrics menyarankan penggunaan
deksametason untuk bayi dan anak berusia 2 bulan / lebih tua yang menderita
meningitis pneumokokus dan meningitis H.influenzae. dosis umum
deksametason IV adalah 0,15mg/kg setiap 6 jam selama 4 hari. Atau,
deksametason 0,15 mg/kg setiap 6 jam untuk 2 hari / 0,4mg/kg setiap 12 jam
untuk 2 hari, efektifitasnya sebanding dan kurang menimbulkan toksisitas
potensial.
Deksametason harus diberikan sebelum dosis pertama antibiotik, dan
hemoglobin dan tinja guaiak (pucat) harus dimonitor untuk mengetahui
perdarahan saluran cerna.
33
34
1. Penisilin Spektrum Luas (Ampisilin)
o Mekanisme kerja obat: Menghambat sintesa dinding bakteri melalui
penghambatan tahap akhir sintesa peptidoglikan dinding protein bakteri.
o Interaksi obat dengan obat: Interaksi ampisilin dengan allopurinol
menimbulkan ruam kulit akibat ampisilin (Ampicillin – induced skin rash)
lebih sering muncul jika diberikan bersama dengan allopurinol daripada
jika tidak dikombinasi.
o Kontraindikasi: pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap penisilin
dan derivat penisilin lainnya. Peringatan penggunaan obat ini adalah
pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
35
o Efek samping: Diare yang berlanjut dengan tinja berdarah, kram perut,
gejala infeksi, seperti demam, menggigil, batuk, dan sakit tenggorokan.
2. Sefalosporin (sefotaksim dan seftriakson)
o Mekanisme kerja obat: Menghambat sintesis dinding sel mikroba.
o Interaksi obat dengan obat: Interaksi sefalosporin dengan probenesid dapat
meningkatkan dan memperpanjang kadar plasma sefalosporin dengan
berkompetisi menghambat sekresi tubulus ginjal.
o Kontraindikasi: Alergi terhadap antibiotik golongan sefalosporin.
o Efek Samping: Hipersensitivitas: kemerahan makulopapular, urtikaria,
eosinofilia, dan demam.
3. Aminoglikosida (gentamisin, amikasin)
o Mekanisme kerja obat: aminoglikosida berikatan dengan sub unit 30 S
ribosom yang bekerja menghambat sintesis protein dan kesalahan
membaca mRNA sehingga terjadi disfungsi pembentukan protein.
o Interaksi obat dengan obat: Interaksi gentamisin dan amikasin dengan
indometasin menunjukkan kadar serum gentamisin/ amikasin meningkat
karena indometasin mengurangi kecepatan filtrasi di tubulus ginjal.
o Kontraindikasi : kehamilan, miastenia gravis.
o Efek Samping: gangguan vestibuler dan pendengaran, nefrotoksisitas,
hipomagnesemia pada pemberian jangka panjang, kolitis karena antibiotik.
4. Vankomisin
o Mekanisme kerja obat : menghambat sintesis mukopeptida pada dinding sel
bakteri.
o Interaksi obat dengan obat: Interaksi vankomisin dengan aminoglikosida
meningkatkan resiko nefrotoksik lebih dari penggunaan aminoglikosida
tunggal.
o Kontraindikasi : pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas terhadap
vancomycin. Selain itu, pasien yang memiliki riwayat hipersensitivitas
terhadap jagung atau produk jagung.
36
o Efek samping: nefrotoksisitas termasuk gagal ginjal dan nefritis interstisial
5. Penisilin G
o Mekanisme kerja obat : Menghambat sintesis dinding sel.
o Interaksi obat dengan obat: Interaksi penisilin G dengan aspirin,
fenilbutason, sulfonamida obat-obat tersebut dapat berkompetisi dengan
penisilin G pada sekresi di tubulus ginjal sehingga memperpanjang waktu
paruh penisilin dalam serum.
o Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap penisilin.
o Efek Samping: mual, muntah, diare; ruam (hentikan penggunaan), jarang
terjadi kolitis karena antibiotik
6. Kloramfenikol
o Mekanisme kerja :menghambat pemanjangan rantai polipeptida dan
pergerakan ribosom sepanjaang mARN.
o Interaksi obat dengan obat : Interaksi kloramfenikol dengan ampisilin
terjadi efek sinergis, tetapi pernah dilakukan antagonisme pada hewan.
o Kontraindikasi: wanita hamil, menyusui dan pasien porfiria.
o Efek Samping: kelainan darah yang reversibel dan ireversibel seperti
anemia aplastik (dapat berlanjut menjadi leukemia), neuritis perifer,
neuritis optik, eritema multiforme, mual, muntah, diare, stomatitis,
glositis, hemoglobinuria nokturnal.
37
Algoritma Terapi Pada Bayi dan Anak-Anak
38
Algoritma Terapi Pada Orang Dewasa
39
c) Untuk mengontrol kejang diberikan antikonvulsan, contohnya Fenitoin 5
mg/kg/24 jam, 3 kali sehari.
d) Jika demam diberikan Antipiretika : parasetamol atau salisilat 10 mg/kg/dosis
e) Pada udem cerebri dapat diberikan osmotik diuretik atau corticosteroid, tetapi
hanya bila didapatkan tanda awal dari impending herniasi.
2.3.8 Monitoring
a) Tekanan darah
b) Glukosa
c) Respirasi
d) RR dan HR
(Respiratory Rate normalnya 12 – 20 kali/ menit dan Heart Rate normalnya 60
– 100 kali/menit)
e) Volume output urine
40
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
3.2 Saran
Berbagai penyakit infeksi masih menjadi salah satu masalah kesehatan utama
di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Penularan penyakit ini juga sangat mudah
terjadi. Oleh sebab itu, tindakan pencegahan perlu dilakukan agar penyebaran
penyakit infeksi dapat dihentikan.
41
DAFTAR PUSTAKA
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.
Endriani R., Fauzia A. and Dona A., 2012, Pola Resistensi Bakteri Penyebab Infeksi
Saluran Kemih (ISK) terhadap Antibakteri di Pekanbaru, Jurnal Natur
Indonesia, 12 (2), 131-133.
Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2016. Konsensus Diagnosis dan Tatalaksana Sepsis
pada Anak. Rezeki S, Chairulfatah A, Latief A, Pujiadi A, Fachrina R, Alam
A, editors. Jakarta.
Imaniah B.A., 2015, Peta Kuman dan Resistensinya terhadap Antibiotika pada
Penderita Infeksi Saluran Kemih (ISK) di RSUD Dr. Moewardi Tahun 2014,
Skripsi, Fakultas Farmasi Universitas Muhammadiyah Surakarta.
Octavius et al.2021. Infeksi Susunan Saraf Pusat pada Anak: Sebuah Studi Potong
Lintang Deskriptif Selama Lima Tahun. Fakultas Kedokteran Universitas
Pelita Harapan, Karawaci, Tangerang, Banten
Pardede S. 2018. Infeksi pada ginjal dan saluran kemih anak: manifestasi klinis dan
tatalaksana. Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, Jakarta.
Pardede SO, Tambunan T, Alatas H, Trihono PP, Hidayati EL. 2011. Konsensus
infeksi saluran kemih pada anak. UKK Nefrologi IDAI. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI.
42