Anda di halaman 1dari 67

CASE REPORT STUDY

PRAKTEK KERJA PROFESI APOTEKER


DI RUMAH SAKIT UMUM DAERAH M. NATSIR SOLOK

BANGSAL INTERNE

“Gastropati NSAID, ASHD, ISK, AKI”

Preseptor :

dr. Yostila Derosa, Sp. PD

Disusun oleh :

Gesnia Anggreini, S.Farm (2030121024)


Hafizah, S.Farm (2030122026)
Indri Sustia Rahmi, S.Farm (2030122029)

PROGRAM PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS PERINTIS INDONESIA
PADANG
2021
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih juga Maha Penyayang, kami
panjatkan puji dan syukur kami kepada-Nya yang telah melimpahkan rahmat, nikmat,
dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan Praktik Kerja Profesi
Apoteker (PKPA) bidang Rumah Sakit di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) M. Natsir
Solok dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih atas doa, dukungan dan bimbingan dari semua
pihak yang sudah membimbing dan mengarahkan penulis hingga laporan ini bisa
tersusun dengan baik, oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Ibu Yostila Derosa, Sp.PD selaku Preseptor yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, arahan dan bantuan dengan tulus sehingga case study
report ini dapat diselesaikan dengan baik.
2. Ibu apt. Robby Kurniawan selaku clinical instructor yang telah meluangkan waktu untuk
memberikan bimbingan, petunjuk, arahan sehingga case study report ini dapat
diselesaikan dengan baik.
3. Bapak Yendrizal Jafri S.Kp, M. Biomed selaku Rektor Universitas Perintis Indonesia.
4. Ibu Dr. apt. Eka Fitrianda, M.Farm selaku Dekan Fakultas Farmasi yang telah
meluangkan waktu untuk memberikan bimbingan, petunjuk, dan arahan sehingga laporan
Case Study ini dapat diselesaikan.
5. Ibu. apt. Mimi Aria, M.Farm. selaku Ketua Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Perintis Indonesia.
6. Seluruh dosen pengajar dan tata usaha Program Profesi Apoteker Fakultas Farmasi
Universitas Perintis Indonesia.
7. Kedua Orang tua dan keluarga atas dukungan serta semangat luar biasa yang diberikan
selama menjalankan Praktek Kerja Profesi Apoteker.
8. Rekan seperjuangan apoteker angkatan XXVIII atas dukungan dan kerja samanya selama
ini.
9. Semua pihak yang telah membantu sehingga laporan Praktek Kerja Profesi Apoteker
terselesaikan.

i
Terimakasih atas semua bimbingan, bantuan dan dukungan yang telah diberikan
kepada penulis. Semoga dapat bermanfaat bagi kita semua untuk perkembangan ilmu
pengetahuan pada masa mendatang. Penulis menyadari laporan kasus ini masih memiliki
kekurangan dan jauh dari sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran
yang membangun dari semua pihak.

Solok, Juni 2021

Penulis

iii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.......................................................................................................................i

Daftar Isi.................................................................................................................................

BAB I Pendahuluan................................................................................................................1

BAB II Tinjauan Pustaka.....................................................................................................3

2.1Gastropati NSAID.............................................................................................................3

2.2 Atherosclerosis Heart Disease (Penyakit Jantung Koroner) .......................................8

2.3 Infeksi Saluran Kemih...................................................................................................14

2.4 Acute Kidney Injury (Gagal Ginjal Akut).....................................................................17

BAB III Tinjauan Kasus......................................................................................................23

BAB IV Pembahasan...........................................................................................................41

BAB V Penutup....................................................................................................................43

Daftar Pustaka

Lampiran

iii
iii
BAB I
PENDAHULUAN

Lambung merupakan organ yang berfungsi menerima makanan dan minuman,


menggiling, mencampur dan mengalirkan makanan ke dalam duodenum. Mukosa lambung
dapat mengalami ganguan akibat semua jenis makanan, minuman dan obat-obatan secara
kontak langsung ataupun sistemik (Wallace, 2008).

Nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan salah satu obat- obatan


yang memiliki efek samping yang melibatkan sistem GI (gastritis dan perforasi), ginjal
(nekrosis papiler ginjal dan penurunan kreatinin) dimana obat – obatan ini yang paling sering
diresepkan (Dipiro, 2008).

Gastrointestinal side effect akibat NSAID dapat berupa dispepsia, ulkus peptikum dan
perdarahan saluran cerna. Obat ini sebagai lini pertama dalam pengobatan arthritis dan
digunakan secara luas pada kasus trauma, nyeri pasca pembedahan dan nyeri-nyeri yang lain.
Sebagian besar efek samping NSAID pada saluran cerna bersifat ringan dan reversible –
hanya sebagian kecil yang menjadi berat yakni tukak peptik, perdarahan saluran cerna dan
perforasi. Resiko untuk mendapatkan efek samping NSAID tidak sama untuk semua orang.
Sekitar 20% pasien yang mendapat NSAID akan mengalami dyspepsia (Wallace, 2008).
Sementara,lambung dilindungi terhadap faktor iritan oleh lapisan mukosa pertahanan
lambung (Wallace, 2000).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Penyakit Jantung Koroner (PJK) adalah
ketidaksanggupan jantung akut atau kronis yang timbul karena kekurangan suplai darah pada
myokardium sehubungan dengan proses penyakit pada sistem nadi koroner (Knight, 1996).
Definisi lain untuk PJK adalah suatu kelainan yang disebabkan oleh terjadinya penyempitan
dan hambatan arteri yang mengalirkan darah ke otot jantung. Apabila penyempitan ini
menjadi parah, dapat menimbulkan serangan jantung (Soeharto, 2004).

Ginjal merupakan organ penting dalam tubuh dan berfungsi untuk membuang sampah
metabolism dan racun tubuh dalam bentuk urin, yang kemudian dikeluarkan dari tubuh.
Ginjal menjalankan fungsi yang vital sebagai pengatur volume dan komposisi kimia darah.
Dengan mengekskresikan zat terlarut dan air secara selektif. (Verdiansah, 2016 & Wilson,
2012). Gangguan ginjal akut atau Acute Kidney Injury (AKI) dapat diartikan sebagai
penurunan cepat dan tiba-tiba atau parah pada fungsi filtrasi ginjal. Kondisi ini biasanya

1
ditandai oleh peningkatan konsentrasi kreatinin serum atau azotemia (peningkatan
konsentrasi BUN). Akan tetapi biasanya segera setelah cedera ginjal terjadi, tingkat
konsentrasi BUN kembali normal, sehingga yang menjadi patokan adanya kerusakan ginjal
adalah penurunan produksi urin (Kidney, 2012)

Infeksi Saluran Kemih (ISK) adalah suatu keadaan yang disebabkan karena adanya
invasi bakteri pada saluran kemih. Infeksi saluran kemih disebabkan oleh bakteri Escherechia
coli, Klebsiella pneumonia dan Pseudomonas aeruginosa. Infeksi saluran kemih dapat
mengenai baik pria maupun wanita dari semua umur baik anak, remaja, dewasa maupun
umur lanjut. Wanita lebih sering terinfeksi dari pria dengan angka populasi umum kurang
lebih 5-15% (Tessy & Suwanto, 2001). Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan infeksi
dengan keterlibatan bakteri tersering dikomunitas dan hampir 10% orang pernah terkena ISK
selama hidupnya.

Sekitar 150 juta penduduk di seluruh dunia tiap tahunnya terdiagnosis menderita infeksi
saluran kemih. Prevalensinya sangat bervariasi berdasar pada umur dan jenis kelamin,
dimana infeksi ini lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan dengan pria yang oleh
karena perbedaan anatomis antara keduanya. Infeksi saluran kemih menempati posisi kedua
tersering (23,9%) di negara berkembang setelah infeksi luka operasi (29,1%) sebagai infeksi
yang paling sering didapatkan oleh pasien di fasilitas kesehatan. ISK merupakan penyebab
morbiditas dan mortalitas yang cukup signifikan (Pezzlo, 1992).

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Gastropati NSAID

2.1.1 Defenisi

Gastropati adalah terjadinya kerusakan sel epitel mukosa ambung dan gangguan
regenerasi sel epiel tanpa adanya proses intamasi. Gastropati timbul akibat adanya iritasi okh
at kimia (seperti obat anti inflamasi non steroid dan alkohol), refluks cairan empedu
hipovolemik dan bendungan kronik.(Hirlan, 2014).

2.1.2 Faktor resiko

a. Usia Lanjut > 60 tahun


b. Riwayat pernah menderita tukak
c. Riwayat perdarahan salıran cera
d. Dosis tinggi atau menggunakan dua jenis NSAID
e. Menderita penyakit sistemik yang berat
f. Bersama-sama dengan infeksi Helicobacter pylory
g. Merokok
h. Mengkonsumsi alkohol (Hirlan, 2014).

2.1.3 Epidemiologi

Kelompok usia tua > 65 tahun merupakan populasi tertinggi mencapai 10-20%
memakai NSAID setiap hari, penelitian di Alberta Canada menunjukkan 27% pasien usia tua
mendapat peresepan NSAID sedangkan Tannessee (USA), 40% penderita usia lanjut
menerima sekurang-kurangnya satu NSAID setiap tahun. Pada penelitian dengan
membandingkan 2 populasidengan usia > 65 tahun, pemakaian obat-obatan untuk mencegah
ulkus peptikum atau menghilangkan dyspepsia hamper dua kali lipat pada pemakai NSAID
(20-26%) regular dibanding tidak pemakai NSAID (11%) (Hirlan, 2014).
Banyak studi menunjukkan bahwa NSAID meningkatkan resiko komplikasi ulkus
peptikum 2-3 kali lipat dan pada beberapa populasi berbeda diperkirakan 15-35% penyebab
ulkus peptikum disebabkan NSAID. Di UK tiap tahun diperkirakan 30.000 gangguan
gastrointestinal yang serius diakibatkan oleh NSAID dan diperkirakan 12.000 pasien terpaksa

3
dirawat dirumah sakit dan menyebabkan 1.200 kematian. Di USA diperkirakan lebih dari
40.000 penderita tiap tahun dirawat di rumah sakit dan menyebabkan 3.000 kematian pada
penderita lanjut usia yang disebabkan oleh pemakaian NSAID. (Valle, 2008 & ji, 2006)
2.1.4 Manifestasi Klinik

2.1.5 Patofisiologi

Efek samping NSAID pada saluran cerna tidak terbatas pada lambung. Efek samping
pada lambung memang yang paling sering terjadi. NSAID merusak mukosa lambung melalui
2 mekanisme, yakni topical dan sistemik. Kerusakan mukosa secara topical terjadi karena
NSAID bersifat asam dan lipofilik, sehingga mempermudah trapping ion hydrogen masuk ke
dalam mukosa dan menimbulkan kerusakan. Efek sistemik NSAID tampaknya lebih penting,
yaitu kerusakan mukosa terjadi akibat produksi prostaglandin menurun. NSAID secara
bermakna menekan prostaglandin. (Carr, 2008 & Lanza, 1998)

Seperti diketahui, prostaglandin merupakan substansi sitoprotektif yang amat penting


bagi mukosa lambung. Efek sitoproteksi ini dilakukan dengan cara menjaga aliran darah
mukosa, meningkatkan sekresi mukosa dan ion bikarbonat, dan meningkatkan epithelial
defense. Aliran darah mukosa yang menurun menimbulkan adhesi netrofil pada endotel
pembuluh darah mukosa dan memacu lebih jauh proses imunologis. Radikal bebas dan
protease yang dilepaskan akibat proses imunologis tersebut akan merusak mukosa lambung
seperti dijelaskan pada gambar 5

4
Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin pada penggunaan NSAID
melalui 4 tahap, yaitu: Menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi
asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan
mikrovaskuler yang diperberat oleh kerjasama platelet dan mekanisme koagulasi.
(Hernandes, 2001)
Endotel vaskuler secara terus menerus menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan
I, yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokontriksi sehingga
aliran darah menurun yang menyebabkan nekrose epitel. Hambatan COX-2 menyebabkan
peningkatan perlengketan leukosit PMN pada endotel vaskuler gastroduodenal dan
mesenterik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen sehongga
memperberatkerusakan epitel dan endotel. Perlengketan leukosit PMN menimbulkan statis
aliran mikrovaskuler, iskemia dan berakhir dengan kerusakan mukosa/tukak peptik (ji, 2006;
Lanza, 1998 & Classen, 2010).
2.1.6 Diagnosa Penyakit
Diagosis gastropati NSAID dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis pemeriksaan
fisik, pemeriksaan penunjang. Pada ananesis manikestasi klni gastrtis bervarasi dari tapa
gejala, gejala ringan dengan marifestasi terserin yatu heartbum, dispepsia, abdominal
discomfort dan nausea, hingga gejala berat seperti tukak peptk, perdarahan, dan perforasi.
Manifestasi klnis lain yang biasa drasakan pasien adaah mngakami gangguan pada saluran
pencermaan atas berpa mfsu makan menurun, perut kembung dan perasaan penuh di perut,
muntah, mual dan bersendawa. Jika terdapat pendarahan aktif, dapat terjadi hematemesis dan
melem Pada pemerksaan fisik dapat ditemkan nyeri tekan pada daerah epigastraum dan dapat
diemukan distensi abdomn pada gejah yang berat (Rao, 2015)
Untuk pemeriksaan penunjang dapat dilakukan pemerik saan EGD
(Esofagogastroduedenoscopy) dan pemeriksaan histopatobgi Tes ini dlakukan dengan cara
memasukkan sebuah sehng keci yang fleksibel (endoskop) mehli mult dan masuk ke dahm
esophagus, lambung dan bagian atas usus kecl Pada EGD dapat djunpai kongesti mukosa.
erosi-erosi keci dan kadang-kadang disertai pendarahan kecil Lesi seperi ini dapat sembuh
sendiri Lesi yang lebih berat dapat berupa erosi dan tukak mipe. pendarahan las dan perforasi
sakıran cema (Rao, 2015)

5
Untuk mengevaluasi ganggun mukosa dapat menggunakan Modfied Lana Skor (MLS)
krieria. Sistem grading ini menurut MLS adalah sebagai berikut (Hirlan, 2014):

Grade 0: Tdak ada erosi atau perdarahan

Girade 1 : Erosi dan perdarahan di satu wlayah atau jumlah lesi kurang lebih 2

Grade 2 :Erosi dan perdarahan di satu daerah atau ada 3-5 esi

Grade 3: Erosi dan perdarahan di dua daerah atau ada 6-10 esi

Grade 4: Erosi dan perdaraha> 3 daerah atau lebh dalam lambung

Grade 5 :Sudah ada tukak lambung

2.1.7 Penatalaksanan Terapi

2.1.7.1 Farmakologi

Penanganan perlukaan mukosa karena NSAID terdiri dari peangaan terhadap uks aktif
dan pencegahan primer terhadap perlukaan dikemudian hari Idealnya, NSAID dihentikan
sebagai langkah pertama terapi ulkus. Searjunya. pada penderita diberikan obat penghambat
sekresi asam (penghambat H2. PPls) (Rao, 2015).
Evaluasi sangat penting karena sebagian besar gastropati NSAID ringan dapat sembuh
sendri walaupun NSAID tetap diteruskan. Antagonis reseptor H2 (ARH2) atau PPI dapat
mengatasi rasa sakit dengan baik. Pasien yang dapat menghentikan NSAID, obat-obat tukak
seperti golongan ARH2 dan PPI dapat diberkan dengan hasil yang baik. Sedangkan pasien
yang tidak mungkin menghentikan NSAID dengan berbagai pertimbangan sebaknya
menggunakan PPI. Mereka yang mmpunyai faktor risiko untuk mendapat komplikasi berat,
sebaiknya diberikan terapi pencegahan mengunakan PPI atau analog prostaglandin.
1. Misoprostol
Misoprostol adalah obat lambung prostaglandin yang diguakan untuk menggantikan
secara lokal penbentukan prostaglandin yang dhanbat oleh NSAID. Dalam studi aplikasi
mkosa misoprostol 200 mg empat kali sehari terbukti mengurangi tingkat keseluruhan
komplikasi NSAID sekiar 40%. Namun, penggunaan misoprostol dosis tinggi dbatasi karena
efek samping terhadap Gi. Sehin u, pengguaan misoprostol tidak berhubungan dengan
pengurangan gejak dispepsia (Tarigan, 2006 & Almatsier, 2007).

6
2. Sukralfat /antasida
Sukralfat mengurangi paparan asam pada epitel yang rusak dengan membentuk gel
pelindung (sueralfate) atau dengan netralisasi asam lambung (antasida). kedua regimen teah
dtunjukkan urtuk mendorong berbagai mekanisme gastroprotektif. Sukralat dapat
menghambat hidrokis protein mukosa oeh pepsin Sukralat masih dapat digunakan pada pence
gahan tukak akibar sress, meskipun kurang efektif Karem diaktivasi oleh asam maka
sukralfat digunakan pada kondisi lambung kosong Efek samping yang palng banyak terjadi
yaitu konstipasi
2.1.7.2 Non Farmakologi
berupa istirahat, diet dan jika memungkinkan, penghentian penggunaan NSAID.
Secara umum pasien dapat danjurkan pengobatan rawat jalan, bila kurang berhasi atau ada
komplikasi baru danjurkan rawat inap di rumh sakit. Pada pasien dengan disertai tukak, dapat
dberikan diet lambung yang bertujuan untuk memberikan makanan dan cairan secukupnya
yang tidak memberatkan lambung. mencegah dan menetrakan asam lambung yang berebihan
serta mengusahakan keadaan gi sebaik mungkin.
Adapun syarat diet lambung yakni
1. Mudah dicerna. porsi kecil, dan sering diberkan.
2. Energi dan protein cukup. sesuai dengan kemampuan pasien untuk menerima
rendah lemak, yaitu 10-15% dari kebutuhan energi total yang diingkatkan secara
bertahap hingga sesuai dengan kebutuhan.
3. Rendah serat, terutama serat tidak larut air yang ditingkatkan secara bertahap.
5. Cairan cukup. terutama bila ada muntah
6. Tidak mengandung bahan makanan atau bumbu yang tajam, baik secara termis,
mekanis, maupun kima (disesuaikan dengan daya teria perseorangan)
7. Laktosa rendah bla ada gejah intoleransi laktosa, umumnya tidak dianjurkan minum
susu terlalu banyak.
8. Makan secara perlahan
9. Pada fase akut dapat diberikan makanan parenteral saja selama 24-48 jam untuk
memberikan istirahat pada ambung.

7
2.2 Astherosclerosis Heart Disease (Penyakit Jantung Koroner)
2.2.1 Defenisi
Penyakit jantung koroner (PJK) atau iskemia miokard, adalah penyakit yang ditandai
dengan iskemia (suplai darah berkurang) dari otot jantung, biasanya karena penyakit arteri
koroner (aterosklerosis dari arteri koroner) (Dipiro, 2011).
2.2.2 Etiologi
Penyakit Jantung Koroner disebabkan oleh penumpukan lemak pada dinding dalam
pembuluh darah jantung (pembuluh koroner), dan hal ini lama kelamaan diikuti oleh berbagai
proses seperti penimbunan jaringan ikat, perkapuran, pembekuan darah yang semuanya akan
mempersempit atau menyumbat pembuluh darah tersebut. Hal ini akan mengakibatkan otot
jantung di daerah tersebut mengalami kekurangan aliran darah dan dapat menimbulkan
berbagai akibat yang cukup serius dari Angina Pectoris (nyeri dada) sampai Infark Jantung,
yang dalam masyarakat di kenal dengan serangan jantung yang dapat menyebabkan kematian
mendadak.Pembuluh arteri ini akan menyempit dan bila parah terjadi penghentian darah.
Setelah itu terjadi proses penggumpalan dari berbagai substansi dalam darah sehingga
menghalangi aliran darah dan terjadi atherosklerosis. Manifestasi klinik dari penyakit jantung
koroner adalah: Tanpa gejala, Angina pectoris, Infark miokard akut, Aritmia, Payah jantung,
Kematian mendadak (Soeharto, 2004).
2.2.3 Faktor resiko
Faktor risiko yang mencetuskan PJK dapat dikelompokkan dalam dua kategori yaitu
faktor risiko yang dapat dimodifikasi dan tidak dapat dimodifikasi :
1) Faktor risiko yang dapat dimodifikasi (Sudoyo, 2006 & Antman 2005).
a) Hipertensi
Hipertensi adalah hasil tekanan darah yang konsisten sistolik ≥ 140 mmHg atau
diastolik ≥ 90 mmHg. Hipertensi merusak sel endotel arteri, kemungkinan disebabkan
oleh kelebihan tekanan dan perubahan karakteristik aliran darah. Kerusakan ini dapat
merangsang perkembangan plak ateroklerotik.
b) Diabetes
Diabetes mempengaruhi endotelium pembuluh darah, berperan pada proses
ateroklerosis. Hiperglikemia dan hiperinsulinemia, perubahan fungsi trombosit,
kenaikan kadar fibrinogen, dan inflamasi juga berperan pada perkembangan
aterosklerosis pada orang diabetes.

8
c) Hiperlipidemia
Hiperlipidemia adalah kadar lemak dan lipoprotein tinggi yang abnormal. Lipoprotein
densitas rendah (LDL) adalah pembawa utama kolesterol. Kadar tinggi LDL
meningkatkan ateroklerosis karena LDL menyimpan kolesterol pada dinding arteri.
Kenaikan trigliserida juga berperan pada risiko pada PJK.
d) Merokok
Pria perokok mempunyai dua hingga tiga kali risiko mengalami penyakit jantung
disbanding pria bukan perokok; wanita yang perokok mempunyai risiko hingga empat
kalinya. Nikotin membuat kontriksi arteri, membatasi perfusi jaringan (pengiriman
aliran darah dan oksigen). Lebih lanjut, nikotin mengurangi kadar HDL dan
meningkatkan agregasi trombosit, meningkatkan risiko pembentukan thrombus.
e) Obesitas
Obesitas umumnya didefinisikan sebaga indeks massa tubuh (IMT) 30 kg/m2 atau
lebih dan distribusi lemak yang mempengaruhi risiko PJK. Orang yang obes
mempunyai risiko hipertensi, diabetes, dan hyperlipidemia yang lebih tinggi
dibanding dengan yang nornal.
f) Kurang aktifitas fisik
Kurang aktifitas fisik dikaitkan dengan risiko PJK yang lebih tinggi. Manfaat latihan
pada kardiovaskular mencakup peningkatan ketersediaan oksigen ke otot jantung,
penurunan kebutuhan oksigen dan beban kerja jantung, serta peningkatan fungsi
miokardium dan stabilitas listrik. Efek positif lain dari aktifitas fisik teratur mencakup
oenurunan tekanan darah, lemak darah, kadar insulin, agregasi trombosit, dan berat
badan.
g) Diet
Diet adalah faktor risiko PJK terutama supan lemak dan kolesterol secara bebas. Diet
banyak buah, sayur, gandum utuh, dan asam lemak.

2) Faktor risiko yang tidak dapat dimodifikasi (Black & Hawks, 2014).
a) Keturunan (termasuk ras)
Anak-anak dari orang tua yang memiliki penyakit jantung memiliki risiko PJK yang
lebih tinggi. Peningkatan risiko ini terkait dengan predisposisi genetik pada hipertensi,
peningkatan lemak darah, diabetes dan obesitas yang meningkatkan risiko PJK.

9
b) Pertambahan usia
Usia mempengaruhi risiko dan keparahan PJK. PJK simtomatis tampaknya lebih
banyak pada orang berusia lebih dari 40 tahun, 4 dari 5 orang yang meninggal karena
PJK berusia 65 tahun atau lebih.
c) Jenis kelamin
Pria memiliki risiko yang lebih tinggi mengalami serangan jantung pada usia lebih
muda, risiko pada wanita meningkat signifikan pada masa menopause, sehingga angka
PJK pada wanita setelah menopause dua atau tiga kali lipat pada usia yang sama
sebelum menopause.
2.2.4 Prevalensi
Data dari Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2013 juga menyebutkan
bahwa prevalensi penyakit jantung koroner di Indonesia berdasarkan diagnosis dokter adalah
sebesar 0,5%, sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner berdasarkan terdiagnosis
dokter atau gejala sebesar 1,5% (Kemenkes RI, 2013). Data dari Kementerian Kesehatan
Indonesia pada tahun 2014 (Kemenkes RI, 2014) menyebutkan bahwa prevalensi penyakit
jantung koroner di Jawa Timur pada tahun 2013 berdasarkan diagnosis dokter adalah sebesar
0,5% atau sekitar 144.279 penderita, sedangkan prevalensi penyakit jantung koroner di Jawa
Timur berdasarkan diagnosis dokter atau gejala adalah sebesar 1,3% atau sekitar 375.127
penderita dan merupakan jumlah penderita penyakit jantung koroner tertinggi (Dayu, 2015)
2.2.5 Manifestasi Klinik
Manifestasi klinik PJK yang klasik adalah angina pektoris. Angina Pektoris ialah suatu
sindroma klinis dimana didapatkan sakit dada yang timbul pada waktu melakukan aktivitas
karena adanya iskemik miokard. Hal ini menunjukan bahwa telah terjadi > 70 % penyempitak
arter koronaria. Angina pektoris dapat muncul sebagai angia pektoris stabil (APS, stable
angina), dan keadaan ini bisa berkembang menjadi lebih berat dan menimbulkan sindroma
koroner akut (SKA) atau yang dikenal sebagai serangan jantung mendadak (heart attack) dan
bisa menyebabkan kematian ( Majid, 2007).
Jantung yang mengalami kerusakan irreversibel akan mengalami degenerasi dan
kemudian diganti dengan jaringan parut. Bila kerusakan jantung sangat luas, jantung akan
mengalami kegagalan. Artinya, ia tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan tubuh akan darah
dengan memberikan curah jantung yang adekuat. Untuk beberapa pasien dengan penyakit
koroner yang signifikan, gejala yang muncul mungkin berbeda dari gejala klasik. Pola rasa
nyeri yang timbul termasuk nyeri pada dada bagian depan (96%), nyeri di lengan kiri bagian
atas (83,7%), nyeri di lengan kiri bagian bawah (29,3%), dan kadang – kadang nyeri leher
10
(22%). Nyeri pada area lain jarang terjadi. Iskemik dideteksi dengan elektrokardiogram
(EKG). Penyakit ini akan lebih mudah terdeteksi pada pagi hari (6 pagi hingga 12 siang)
daripada waktu lain (Dipiro, 2011).
2.2.6 Patofisiologi
Perkembangan PJK dimulai dari penyumbatan pembuluh jantung oleh plak pada
pembuluh darah. Penyumbatan pembuluh darah pada awalnya disebabkan peningkatan kadar
kolesterol LDL (low-density lipoprotein) darah berlebihan dan menumpuk pada dinding
arterisehingga aliran darah terganggu dan juga dapat merusak pembuluh darah (Al fajar,
2015). Penyumbatan pada pembuluh darah juga dapat disebabkan oleh penumpukan lemak
disertai klot trombosit yang diakibatkan kerusakan dalam pembuluh darah. Kerusakan pada
awalnya berupa plak fibrosa pembuluh darah, namun selanjutnya dapat menyebabkan ulserasi
dan pendaeahan di bagian dalam pembuluh darah yang menyebabkan klot darah. Pada
akhirnya, dampak akut sekaligus fatal dari PJK berupa serangan jantung (Naga, 2012).

Pada umumnya PJK juga merupakan ketidakseimbangan antara penyedian dan


kebutuhan oksigen miokardium. Penyedian oksigen miokardium bisa menurun atau
kebutuhan oksigen miokardium bisa meningkat melebihi batas cadangan perfusi koroner
peningkatan kebutuhan oksigen miokardium harus dipenuhi dengan peningkatan aliran darah.
gangguan suplai darah arteri koroner dianggap berbahaya bila terjadi penyumbatan sebesar
70% atau lebih pada pangkal atau cabang utama arteri koroner. Penyempitan <50%
kemungkinan belum menampakkan gangguan yang berarti. Keadaan ini tergantung kepada
beratnya arteriosklerosis dan luasnya gangguan jantung (Saparina, 2010).
2.2.7 Diagnosa Penyakit
Pemeriksaan EKG di IGD merupakan landasan yang kuat dalam menentukan
keputusan terapi karena bukti kuat menunjukkan gambaran elevasi segmen ST dapat
mengidentifikasi pasien yang bermanfaat untuk dilakukan terapi reperfusi. Jika pemeriksaan
EKG awal tidak terdiagnosis sebagai STEMI tetapi simptomatik kuat dan terdapat kecurigaan
diagnosis ke sana, EKG serial dengan interval 5-10 menit atau pemantauan EKG 12 sadapan
secara kontinu harus dilakukan untuk mendeteksi potensi perkembangan elevasi segmen ST.
Pada pasien dengan STEMI inferior EKG sisi kanan harus diambil untuk mendeteksi
kemungkinan infark pada ventrikel kanan (Lily, 2011 ; sudoyo, 2006 & Antman 2005).
Sebagian besar pasien dengan presentasi awal elevasi segmen ST mengalami evolusi
menjadi gelombang Q pada EKG yang akhirnya didiagnosis infark miokard gelombang Q.
Sebagian kecil menetap menjadi infark miokard gelombang non Q. Jika obstruksi tidak total,

11
obsrtuksi bersifat sementara atau ditemukan banyak kolateral, biasanya tidak ditemukan
elevasi segmen ST.
Pasien tersebut biasanya mengalami angina pectoris unstabil atau non STEMI. Pada
sebagian pasien tanpa elevasi ST berkembang tanpa menunjukkan gelombang Q disebut
infark non Q. (Lily, 2011 ; sudoyo, 2006 & Antman 2005).
2.2.8 Penatalaksanan Terapi
Penatalaksanaan terapi pasien jantung koroner memiliki dua tujuan yakni tujuan terapi
jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan terapi jangka pendek adalah agar dapat
mengurangi atau mencegah gejala angina yang dapat mengganggu aktivitas penderita,
sedangkan tujuan terapi jangka panjang adalah untuk mencegah munculnya komplikasi pada
penyakit jantung koroner seperti infark miokard, aritmia, dan gagal jantung serta untuk
meningkatkan kualitas hidup penderita. Terapi farmakologi yang biasa digunakan pada
pasien penyakit jantung koroner adalah golongan nitrat, antiplatelet, antidislipidemia, β –
Blockers, ACE – Inhibitor, dan vasodilator nitrat (Dipiro dkk, 2008).
2.2.8.1 Farmakologi
Aspirin dosis rendah
Dari berbagai studi telah jelas terbukti bahwa aspirin masih merupakan obat utama untuk
pencegahan trombosis. Meta-analisis menunjukkan, bahwa dosis 75-150 mg sama
efektivitasnya dibandingkan dengan dosis yang lebih besar. Karena itu aspirin disarankan
diber pada semua pasien PJK kecuali bila ditemui kontraindikasi. Selain itu aspirin juga
disarankan diberi jangka lama namun perlu diperhatikan efek samping iritasi gastrointestinal
dan perdarahan, dan alergi. Cardioaspirin memberikan efek samping yang lebih minimal
dibandingkan aspirin lainnya.
* Thienopyridine Clopidogrel dan Ticlopidine merupakan antagonis ADP dan
menghambat agregasi trombosit. Clopidogrel lebih diindikasikan pada penderita dengan
resistensi atau intoleransi terhadap aspirin. AHA/ACC guidelines update 2006 memasukkan
kombinasi aspirin dan clopidogrel harus diberikan pada pasien PCI dengan pemasangan stent,
lebih 1 bulan untuk bare metal stent, lebih 3 bulan untuk sirolimus eluting stent, dan lebih 6
bulan untuk paclitaxel-eluting stent.
* Obat penurun kolesterol
Pengobatan dengan statin digunakan untuk mengurangi risiko baik pada prevensi
primer maupun prevensi sekunder. Berbagai studi telah membuktikan bahwa statin dapat
menurunkan komplikasi sebesar 39% (Heart Protection Study), ASCOTT-LLA atorvastatin
untuk prevensi primer PJK pada pasca-hipertensi. Statin selain sebagai penurun kolesterol,
12
juga mempunyai mekanisme lain (pleiotropic effect) yang dapat berperan sebagai anti
inflamasi, anti trombotik dll. Pemberian atorvastatin 40 mg satu minggu sebelum PCI dapat
mengurangi kerusakan miokard akibat tindakan. Target penurunan LDL kolesterol adalah <
100 mg/dl dan pada pasien risiko tinggi, DM, penderita PJK dianjurkan menurunkan LDL
kolesterol < 70 mg/dl.
* ACE-Inhibitor/ARB
Peranan ACE-I sebagai kardioproteksi untuk prevensi sekunder pada pasien dengan PJK
telah dibuktikan dari berbagai studi a.l., HOPE study, EUROPA study dll. Bila intoleransi
terhadap ACE-I dapat diganti dengan ARB.
* Nitrat pada umumnya disarankan, karena nitrat memiliki efek venodilator sehingga
preload miokard dan volume akhir bilik kiri dapat menurun sehingga dengan demikian
konsumsi oksigen miokard juga akan menurun. Nitrat juga melebarkan pembuluh darah
normal dan yang mengalami aterosklerotik. Menaikkan aliran darah kolateral, dan
menghambat agregasi trombosit. Bila serangan angina tidak respons dengan nitrat jangka
pendek, maka harus diwaspadai adanya infark miokard. Efek samping obat adalah sakit
kepala, dan flushing.
* Penyekat β juga merupakan obat standar. Penyekat β menghambat efek katekolamin
pada sirkulasi dan reseptor β-1 yang dapat menyebabkan penurunan konsumsi oksigen
miokard. Pemberian penyekat β dilakukandengan target denyut jantung 50-60 per menit.
Kontraindikasi terpenting pemberian penyekat β adalah riwayat asma bronkial, serta
disfungsi bilik kiri akut.
* Antagonis kalsium mempunyai efek vasodilatasi. Antagonis kalsium
dapat mengurangi keluhan pada pasien yang telah mendapat nitrat atau penyekat β; selain itu
berguna pula pada pasien yang mempunyai kontraindikasi penggunaan penyekat β. Antagonis
kalsium tidak disarankan bila terdapat penurunan fungsi bilik kiri atau gangguan konduksi
atrioventrikel. ( Majid, 2007).)
Rekomendasi pengobatan untuk memperbaiki prognosis pasien dengan angina stabil
menurut ESC 2006 sbb.:
1. Pemberian Aspirin 75 mg per hari pada semua pasien tanpa kontraindikasi yang spesifik
(cth. Perdarahan lambung yang aktif, alergi aspirin, atau riwayat intoleransi aspirin) (level
evidence A).
2. Pengobatan statin untuk semua pasien dengan penyakit jantung koroner (level evidence A).

3. Pemberian ACE inhibitor pada pasien dengan indikasi pemberian ACE inhibitor, seperti
13
hipertensi, disfungsi ventrikel kiri, riwayat miokard infark dengan disfungsi ventrikel kiri,
atau diabetes (level evidence A).
4. Pemberian Beta-blocker secara oral pada pasien gagal jantung atau yang pernah
mendapat infark miokard (level evidence A).
2.2.8.2 Non Farmakologi
1) Merubah gaya hidup, memberhentikan kebiasaan merokok.
2) Olahraga dapat meningkatkan kadar HDL kolesterol dan memperbaiki kolateral koroner
sehingga PJK dapat dikurangi, olahraga bermanfaat karena :
a) Memperbaiki fungsi paru dan pemberian O2 ke miokard
b) Menurunkan berat badan sehingga lemak lemak tubuh yang berlebih berkurang
bersama-sama dengan menurunnya LDL kolesterol
c) Menurunkan tekanan darah
d) Meningkatkan kesegaran jasmani
e) Diet merupakan langkah pertama dalam penanggulangan hiperkolesterolemia.
Tujuannya untuk menjaga pola makan gizi seimbang, makan makanan yang dapat
menurunkan kadar kolesterol dengan menerapkan diet rendah lemak (Rahman, 2007).
f) Terapi diet pada PJK yang merupakan panduan dalam masalah kesehatan
kardiovaskuler yang telah diikuti secara luas adalah dari AHA dan NCEP. Terapi diet
ini secara khusus bertujuan untuk memperbaiki profil lemak darah pada batas-batas
normal. Terapi diet dasar atau tingkat 1 dapat menurunkan ≥ 10% dari total kalori
berasal dari asam lemak tidak jenuh majemuk (poly-unsaturated fatyacid). bila kadar
total kolesterol darah turun 10% atau lebih dan
memenuhi batas yang ditargetkan, diet telah dianggap berhasil dan perlu
dipertahankan. Namun, apabila penurunan < 10%, diet dilanjutkan ke tingkat 2 selama
8-10 minggu, dan pada akhir dilakukan tes darah. Bila hasilnya belum juga mencapai
sasaran, mungkin sekali tubuh tidak cukup responsif terhadap diet dan individu perlu
berkonsultasi dengan dokter mengenai kemungkian pemakaian obat (Sudoyo, et all
2011 ; Rahman, 2007).
2.3 Infeksi Saluran Kemih
2.3.1 Defenisi
Infeksi saluran kemih (ISK) adalah suatu keadaan dimana kuman atau mikroba
tumbuh dan berkembang biak dalam saluran kemih dalam jumlah bermakna (IDAI, 2011).
Istilah ISK umum digunakan untuk menandakan adanya invasi mikroorganisme pada saluran
kemih (Haryono, 2012). ISK merupakan penyakit dengan kondisi dimana terdapat
14
mikroorganisme dalam urin yang jumlahnya sangat banyak dan mampu menimbulkan infeksi
pada saluran kemih (Dipiro et al, 2015).
2.3.2 Epidemiologi
Di Indonesia, ISK merupakan penyakit yang relatif sering pada semua usia mulai dari
bayi sampai orang tua. Semakin bertambahnya usia, insidensi ISK lebih banyak terjadi pada
perempuan dibandingkan laki-laki karena uretra wanita lebih pendek dibandingkan laki-laki
(Purnomo, 2014). Menurut data penelitian epidemiologi klinik melaporkan 25%-35% semua
perempuan dewasa pernah mengalami ISK. National Kidney and Urology Disease
Information Clearinghouse (NKUDIC) juga mengungkapkan bahwa pria jarang terkena ISK,
namun apabila terkena dapat menjadi masalah serius (NKUDIC, 2012). Infeksi saluran kemih
(ISK) diperkirakan mencapai lebih dari 7 juta kunjungan per tahun, dengan biaya lebih dari $
1 miliar. Sekitar 40% wanita akan mengalami ISK. setidaknya sekali selama hidupnya, dan
sejumlah besar perempuan ini akan memiliki infeksi saluran kemih berulang (Gradwohl,
2011).
2.3.4 Etiologi
Infeksi saluran kemih sebagian besar disebabkan oleh bakteri,virus dan jamur tetapi
bakteri yang sering menjadi penyebabnya. Penyebab ISK terbanyak adalah bakteri gram-
negatif termasuk bakteri yang biasanya menghuni usus dan akan naik ke sistem saluran
kemih antara lain adalah Escherichia coli, Proteus sp, Klebsiella, Enterobacter (Purnomo,
2014). Pasca operasi juga sering terjadi infeksi oleh Pseudomonas, sedangkan Chlamydia dan
Mycoplasma bisa terjadi tetapi jarang dijumpai pada pasien ISK. Selain mikroorganisme, ada
faktor lain yang dapat memicu ISK yaitu faktor predisposisi (Fauci et all, 2008).
2.3.5 Manifestasi Klinik
Infeksi saluran kemih dapat diketahui dengan beberapa gejala seperti demam, susah
buang air kecil, nyeri setelah buang air besar (disuria terminal), sering buang air kecil,
kadang-kadang merasa panas ketika berkemih, nyeri pinggang dan nyeri suprapubik
(Permenkes, 2011).Namun, gejala-gejala klinis tersebut tidak selalu diketahui atau ditemukan
pada penderita ISK. Untuk memegakan diagnosis dapat dilakukan pemeriksaan penunjang
pemeriksaan darah lengkap, urinalisis, ureum dan kreatinin, kadar gula darah, urinalisasi
rutin, kultur urin, dan dip-stick urine test. (Stamm dkk, 2001). Dikatakan ISK jika terdapat
kultur urin positif ≥100.000 CFU/mL. Ditemukannya positif (dipstick) leukosit esterase
adalah 64 - 90%. Positif nitrit pada dipstick urin, menunjukkan konversi nitrat menjadi nitrit
oleh bakteri gram negatif tertentu (tidak gram positif), sangat spesifik sekitar 50% untuk
infeksi saluran kemih. Temuan sel darah putih (leukosit) dalam urin (piuria) adalah indikator
15
yang paling dapat diandalkan infeksi (> 10 WBC / hpf pada spesimen berputar) adalah 95%
sensitif tapi jauh kurang spesifik untuk ISK. Secara umum, > 100.000 koloni/mL pada kultur
urin dianggap diagnostik untuk ISK (Grabe et al, 2015).
2.3.6 Patofisiologi
Infeksi saluran kemih terjadi ketika bakteri (kuman) masuk ke dalam saluran kemih
dan berkembang biak. Saluran kemih terdiri dari kandung kemih, uretra dan dua ureter dan
ginjal (Purnomo, 2014). Sejauh ini diketahui bahwa salurankemih atau urin bebas dari
mikroorganisma atau steril. Infeksi saluran kemih terjadi pada saat mikroorganisme ke dalam
saluran kemih dan berkembang biak di dalam media urin (Israr, 2009). Mikroorganisme
penyebab ISK umumnya berasal dari flora usus dan hidup secara komensal dalam introitus
vagina, preposium, penis, kulit perinium, dan sekitar anus. Kuman yang berasal dari feses
atau dubur, masuk ke dalam saluran kemih bagian bawah atau uretra, kemudian naik ke
kandung kemih dan dapat sampai ke ginjal (Fitriani, 2013).Mikroorganisme memasuki
saluran kemih melalui empat cara, yaitu:

1) Ascending, kuman penyebab ISK pada umumnya adalah kuman yang berasal dari
flora normal usus dan hidup secara komensal introitus vagina, preposium penis, kulit
perineum, dan sekitar anus. Infeksi secara ascending (naik) dapat terjadi melalui empat
tahapan, yaitu :

a) Kolonisasi mikroorganisme pada uretra dan daerah introitus vagina

b) Masuknya mikroorganisme ke dalam buli-buli

c) Mulitiplikasi dan penempelan mikroorganisme dalam kandung kemih

d) Naiknya mikroorganisme dari kandung kemih ke ginjal (Israr, 2009).

2) Hematogen (descending) disebut demikian bila sebelumnya terjadi infeksi pada


ginjal yang akhirnya menyebar sampai ke dalam saluran kemih melalui peredaran darah.

3) Limfogen (jalur limfatik) jika masuknya mikroorganisme melalui sistem limfatik


yang menghubungkan kandung kemih dengan ginjal namun yang terakhir ini jarang terjadi
(Coyle dan Prince, 2009).

2.3.8 Penatalaksanan Terapi


2.3.8.1 Farmakologi

16
• Kemampuan membasmi bakteri dari saluran kemih berhubungan langsung dengan
sensitivitas organisme dan konsentrasi yang dapat dicapai dari agen antimikroba dalam urin.
• Penatalaksanaan terapeutik ISK paling baik dilakukan dengan kategori pertama rizing jenis
infeksi: sistitis akut tanpa komplikasi, simtomatik abakteriuria, bakteriuria asimtomatik, ISK
terkomplikasi, berulang infeksi, atau prostatitis.
• Tabel 50-3 mencantumkan agen yang paling umum digunakan dalam pengobatan ISK,
bersama dengan komentar tentang penggunaan umum mereka.

2.4 Acute Kidney Injury (Gagal Ginjal Akut)


2.4.1 Defenisi

17
Acute Kidney Injury (AKI) adalah penurunan cepat (dalam jam hingga minggu) laju
filtrasi glomerulus (LFG) yang umumnya berlangsung reversibel, diikuti kegagalan ginjal
untuk mengekskresi sisa metabolisme nitrogen, dengan/ tanpa gangguan keseimbangan cairan
dan elektrolit.
2.4.2 Epidemiologi
AKI menjadi penyakit komplikasi pada sekitar 5-7% acute care admission patient dan
mencapai 30% pada pasien yang di admisi di unit perawatan intensif (ICU). AKI juga
menjadi komplikasi medis di Negara berkembang, terutama pasien dengan latar belakang
adanya penyakit diare, penyakit infeksi seperti malaria, leptospirosis, dan bencana alam
seperti gempa bumi. Insidennya meningkat hingga 4 kali lipat di United State sejak 1988 dan
diperkirakan terdapat 500 per 100.000 populasi pertahun. Insiden ini bahkan lebih tinggi dari
insiden stroke. (Lameire, 2006 & Nash, 2002).
Beberapa laporan dunia menunjukkan insiden yang bervariasi antara 0,5-0,9% pada
komunitas, 7% pada pasien yang dirawat di rumah sakit, hingga 36-67% pada pasien yang
dirawat di unit perawatan intensif (ICU) dan 5-6% Pasien ICU dengan AKI memerlukan
Terapi Penggantian Ginjal ( TPG atau Replacement Renal Therapy (RRT)). (Lameire, 2006).
Terkait dengan epidemiologi AKI, terdapat variasi definisi yang digunakan dalam
studi klinis dan diperkirakan menyebabkan variasi yang luas dari laporan insiden dari AKI itu
sendiri (1-31%) dan angka mortalitasnya (19-83%). Dalam penelitian Hoste (2006) diketahui
AKI terjadi pada 67 % pasien yang di rawat di ruang intensif dengan maksimal RIFLE yaitu
12% kelas R, 27% kelas I dan 28% kelas F. Hospital mortality rate untuk pasien dengan
maksimal RIFLE kelas R, I dan F berturut- turut 8.8%, 11.4% dan 26.3% dibandingkan
dengan pasien tanpa AKI yaitu 5.5%.8 Namun hasil penelitian Ostermann (2007)
menunjukkan Hospital mortality rate yang lebih tinggi yaitu 20.9%, 45.6% dan 56.8%
berturut-turut untuk maksimal kelas RIFLE R, I, dan F (Lameire, 2006 & Nash, 2002).

2.4.3 Etiologi

Etiologi AKI dibagi menjadi 3 kelompok utama berdasarkan patogenesis AKI, yakni
(1) penyakit yang menyebabkan hipoperfusi ginjal tanpa menyebabkan gangguan pada
parenkim ginjal (AKI prarenal,~55%); (2) penyakit yang secara langsung menyebabkan
gangguan pada parenkim ginjal (AKI renal/intrinsik,~40%); (3) penyakit yang terkait dengan
obstruksi saluran kemih (AKI pascarenal,~5%). Angka kejadian penyebab AKI sangat
tergantung dari tempat terjadinya AKI. (Verdiansyah, 2016)

18
2.4.4 Manifestasi Klinik

Gangguan ginjal akut/ GnGA (Acute kidney injury/AKI) merupakan istilah pengganti
dari gagal ginjal akut, didefinisikan sebagai penurunan mendadak dari fungsi ginjal (laju
filtrasi glomerulus/LFG) yang bersifat sementara, ditandai dengan peningkatan kadar
kreatinin serum dan hasilmetabolisme nitrogen serum lainnya, serta adanya ketidakmampuan
ginjal untuk mengatur homeostasis cairan dan elektrolit.1 Istilah gangguan ginjal akut
merupakan akibat adanyaperubahan paradigma yang dikaitkan dengan klasifikasi dan
ketidakmampuan dalam mengenal gejala dini serta prognosis. (Verdiansyah, 2016 & wilson
2012).

2.4.5 Patofisiologi

Gagal ginjal akut ditandai dengan gejala yang timbul secara tiba-tiba dan penurunan
volume urin secara cepat. Laju filtrasi glomerulus dapat menurun secara tiba-tiba sampai
dibawah 15 mL/menit. Penyakit ini mengakibatkan peningkatan kadar serum urea, kreatinin,
dan bahan lain. Gagal ginjal akut bersifat reversibel, namun secara umum tingkat kematian
pasien tinggi (Kenward & Tan,2003).
1). Patofisiologi gagal ginjal akut
Terdapat tiga kategori ARF (Acute Renal Failure) atau gagal ginjal akut, yaitu
prerenal, renal dan postrenal dengan mekanisme patofisiologi berbeda.Postrenal Postrenal
terjadi karena obstruksi aliran kemih oleh beberapa sebab, antara lain: hipertrofi prostat jinak,
tumor panggul, dan pengendapan batu ginjal (Stamatakis, 2008).
2). Penyebab gagal ginjal akut:
a). Penyebab prerenal, misalnya septicaemia, hypovolaemia, cardiogenic shock, dan hipotensi
akibat obat.
b). Penyebab intrarenal, misalnya glomerulonephritis, myoglobinuria, obstruksi intrarenal,
obat yang bersifat nefrotoksik, dan hipertensi yang meningkat.
c). Penyebab postrenal, misalnya obstruksi saluran kemih akibat hipertrofi prostat, batu
ginjal, dan batu pada saluran kemih (Kenward & Tan, 2003).
3). Gambaran klinis

Gambaran klinis gagal ginjal akut meliputi perubahan volume urin (oliguria, poliuria),
kelainan neurologis (lemah, letih, gangguan mental), gangguan pada kulit (gatal-gatal,
pigmentasi), tanda pada kardiopulmoner (sesak, perikarditis), dan gejala pada saluran cerna
(mual, nafsu makan menurun, muntah) (Kenward & Tan, 2003).

19
2.4.6 Diagnosa Penyakit

Pada pasien yang memenuhi kriteria diagnosis AKI sesuai dengan yang
telahdipaparkan di atas, pertama-tama harus ditentukan apakah keadaan tersebut memang
merupakan AKI atau merupakan suatu keadaan akut pada PGK. Beberapa patokan umum
yang dapat membedakan kedua keadaan ini antara lainriwayat etiologi PGK, riwayat etiologi
penyebab AKI, pemeriksaan klinis (anemia,neuropati pada PGK) dan perjalanan penyakit
(pemulihan pada AKI) dan ukuranginjal. Patokan tersebut tidak sepenuhnya dapat dipakai.
Misalnya, ginjal umumnya berukuran kecil pada PGK, namun dapat pula berukuran normal
bahkanmembesar seperti pada neuropati diabetik dan penyakit ginjal polikistik.Upaya
pendekatan diagnosis harus pula mengarah pada penentuan etiologi, tahap AKI, dan
penentuankomplikasi. (Mehta, 2003 &2007)
Assessment pasien dengan AKI
a. Kadar kreatinin serum.
Pada GGA faal ginjal dinilai dengan memeriksa berulang kali kadar serum kreatinin.
Kadar serum kreatinin tidak dapat mengukur secara tepat LFG karena tergantung dari
produksi (otot), distribusi dalam cairan tubuh, dan ekskresi oleh ginjal
b. Volume urin.
Anuria akut atau oliguria berat merupakan indicator yang spesifik untuk gagal ginjal
akut, yang dapat terjadi sebelum perubahan nilai-nilai biokimia darah. Walaupun demikian,
volume urin pada GGA bisa bermacam-macam, GGA prerenal biasanya hampir selalu
disertai oliguria (<400ml/hari), walaupun kadang tidak dijumpai oliguria. GGA renal dan
post-renal dapat ditandai baik oleh anuria maupun poliuria.
c. Petanda biologis (biomarker).
Syarat petanda biologis GGA adalah mampu mendeteksi sebelum kenaikan kadar
kreatinin disertai dengan kemudahan teknik pemeriksaannya. Petanda biologis diperlukan
untuk secepatnya mendiagnosis GGA. Petanda biologis ini adalah zat-zat yang dikeluarkan
oleh tubulus ginjal yang rusak, seperti interleukin 18, enzim tubular, N-acetyl-B-
glucosamidase, alanine aminopeptidase, kidney injury molecule 1. Dalam satu penelitian
pada anak-anak pasca bedah jantung terbuka gelatinase-associated lipocain (NGAL) terbukti
dapat dideteksi 2 jam setelah pembedahan, 34 jam lebih awal dari kenaikan kadar kreatinin.
(Mehta, 2007).
Dari pemeriksaan urinalisis, dapat ditemukan berbagai penanda inflamasiglomerulus,
tubulus, infeksi saluran kemih, atau uropati kristal. Pada AKI prerenal, sedimen yang

20
didapatkan aselular dan mengandung cast hialin yang transparan. AKI postrenal juga
menunjukkan gambaran sedimen inaktif, walaupun hematuria dan piuria dapat ditemukan
pada obstruksi intralumen atau penyakit prostat. AKI renal akan menunjukkan berbagai cast
yang dapat mengarahkan pada penyebab AKI, antara lain pigmented “muddy brown”granular
cast, cast yang mengandung epitel tubulus yang dapat ditemukan padaATN; cast eritrosit
pada kerusakan glomerulus atau nefritis tubulointerstitial; cast leukosit dan pigmented
“muddy brown” granular cast pada nefritisinterstitial. (Osterman, 2007).
2.4.7 Penatalaksanan Terapi
2.4.7.1 Farmakologi
Dalam penatalaksanaan GnGA pertama harus disingkirkan kemungkinan prerenal dan
pasca renal. Pada pre-renal, dicari dengan anamnesis yang sistematik mengenai kemungkinan
etiologi (gastroenteritis, dehidrasi, syok, luka bakar, kelainan jantung) dan pemeriksaan fisik
terhadap adanya dehidrasi dan syok. Bila ditemukan pre-renal terapi disesuaikan dengan
etiologinya. Padagastroenteritis dehidrasi diberikan cairan ringer laktat. Pada syok hemoragik
diberikan transfusidarah. Syok yang terjadi pada sindrom nefrotik akibat hipovolemia diberi
infus albumin atau plasma( Goldstein, 2006 &maka 2008)

Tindakan pencegahan Pencegahan terhadap kejadian GnGA berpengaruh terhadap


penurunan angka mortalitas.

Pemberian teofilin intravena pada asfiksia berat neonatus dalam 1 jam kelahiran,
dihubungkan dengan perbaikan keseimbangan cairan, dan pengurangan kadar kreatinin serum
dan tidak berpengaruh terhadap komplikasi neurologi dan respirasi. Adenosin merupakan
vasokonstriktor penting yang dilepaskan dari katabolisme ATP selama iskemia, mekanisme
tersebut menjadikan teofilin dapat melindungi dari adanya GnGA dengan menghambat
reseptor adenosin.7-10 Diuretik dan agonis reseptor dopamin Saat ini diuretik dan dopamin
sering digunakan untuk mencegah atau membatasi terjadinya GnGA.

Terdapat beberapa penelitian menggunakan manitol, diuretik, dan dopamin untuk


penanganan GnGA. Pemantauan pengeluaran urin membantu dalam penanganan dari GnGA,
namun perubahan dari oliguria menjadi non-oliguria GnGA hanya berpengaruh sedikit dalam
penanganan gagal ginjal. Furosemid dapat meningkatkan jumlah aliran urin melalui
penurunan obstruksi intratubular dan akan menghambat Na-K ATPase, yang akan membatasi
penggunaan oksigen pada kerusakan tubulus. (Mehta, 2007)

21
Penggunaan dari renal-dose dopamin (0.5 µg/kg/menit sampai 3-5 µg/kg/menit) untuk
memperbaiki perfusi ginjal pada keadaan iskemia dilakukan di unit perawatan intensif.
Dopamin dapat meningkatkan aliran darah ginjal melalui peningkatan vasodilatasi dan dapat
memperbaiki produksi urin melalui peningkatan natriuresis. Terdapat penelitian terkini yang
menyatakan bahwa dosis rendah dopamin efektif dalam menurunkan kebutuhan dilaisis pada
pasien dengan GnGA. (Mehta, 2007).

Terapi untuk mempercepat penyembuhan Walaupun tidak ada terapi spesifik untuk
mencegah kerusakan ginjal atau mempercepat penyembuhan pada ATN, beberapa terapi
potensial sedang diteliti, penanganan GnGA yang akan datang juga termasuk pemberian
antioksidan, molekul anti-adhesi, serta pemberian mediator vaskular atau sel mesenkim untuk
mencegah kerusakan ataupun mempercepat waktu penyembuhan. Beberapa terapi yang
berbeda telah dapat mencegah, mengurangi atau mempercepat penyembuhan pada hewan
percobaan. Melanocyte-stimulating hormoneb(MSH) memiliki aktifitas anti inflamasi dan
menunjukkan perlindungan tubulus renalis terhadap kerusakan. (Himmelfarb, 2008)

2.4.7.2 Non Farmakologi

Transplantasi ginjal mungkin diperlukan pada pasien ARF untuk kelebihan volume
yang menghasilkan respon terhadap diuretik, untuk meminimalkan akumulasi produk limbah
nitrogen, dan untuk memperbaiki abnormalitas elektrolit dan asam basa sementara menunggu
fungsi ginjal pulih. Gizi yang cukup, manajemen cairan, dan koreksi kelainan hematologi
merupakan terapi suportif pada ARF (Stamatakis, 2008).

22
BAB III

TINJAUAN KASUS
3.1 Identitas Pasien

Data Umum
No.MR 0777XX

Nama Pasien Tn. RML

Umur 65 Th

Jenis Kelamin Laki-Laki

Agama Islam

Alamat Nan Balimo

Ruangan IP

DiagnosaUtama Gastropati NSAID

Diagnosa Tambahan ISK, ASHD,AKI


DPJP Dr. YD, Sp. PD

Tanggal Masuk 30/05/21

Tanggal Keluar 04/05/21

3.2 Riwayat Penyakit


3.2.1 Keluhan Utama
Pasien baru masuk IGD dengan keluhan nyeri perut, nyeri kepala, mual, muntah,
demam dan batuk 9 hari sebelum masuk Rumah Sakit.
3.2.2 Riwayat Penyakit Sekarang
Gastropati NSAID, Observasi Febris
3.2.3 Riwayat Penyakit Terdahulu
Jantung.
3.2.4 Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada

23
3.3 Data Penunjang
3.3.1 Data Pemeriksaan Fisik
Nadi (HR) : 89x/menit (Normal 60-100x/menit)
Suhu : 38,1C (normal 36 – 37,5C)
Keadaan umum : Pasien dalam keadaan sadar
Tekanan Darah : 126/60 mmHg (Normal 120/80 mmHg)
Pernafasan : 20x/menit (Normal)

24
3.3.1 Tanda-Tanda Vital

30/05/2021 31/05/2021 01/06/2021 02/06/2021 03/06/2021 04/06/2021


Nilai Normal
Data Klinik

Pernafasan (RR) 16-20x/menit 20 20 20 24 20 20

Suhu 36-37,5oC 38,1 37,3 35,8 36 36 36

Tekanan Darah 120/80 mmHg 126/60 131/62 100/60 116/72 110/70 110/60

Nadi 60-100x/menit 90 82 83 70 71 68

: Rendah : Tinggi

No Test Nilai Rujukan Hasil


30Mei 2021 31 Mei 2021 3 Juni 2021
Hematologi Lengkap
1 Hemoglobin 14,0-17,4 g/dL 15,7 g/dL 14,8 g/dL -
2 Eritrosit 4,5 – 5,5 106/μL3 4,80 106/mm 4,54 106 /μL3 -
3 Hematokrit 42-52% 44,9% 42,8 % -
4 Leukosit 5.0-10 10³/ μL3 4,7 10³/ μL3 5 -
5 Trombosit 140-40010³/ μL3 227 222 -

26
Nilai-Nilai MC
6 MCV 84 – 96 fL 93,5 94,3 -
7 MCH 28-34 pg/cell 32,7 32,6 -
8 MCHC 32– 36 g /dL 35 34,6 -
9 RDW-CV 11,5 – 14,5% 13,8 13,7 -
10 Eosinofil 1-3 % 0 - -
11 Neutrofil segmen 50-70% 67 54 -
12 Neutrofil batang 3-6% 19
13 Limfosit 25-40 % 26 22 -
14 Monosit 2-8 % 7 5 -
15 ALC (Absolute Lymphocyte Count) 1500-4000 1222 - -
16 NLR ( Neutrophil Lymphocyte Ratio) <3,13 2,58 - -
Pemeriksaan Kimia Klinik
17 Ureum 20-50 mg/dL 68mg/dL 56 mg/dL
18 Kreatinin 0,5 - 1,5 mg/dL 1,65mg/dL 1,46 mg/dL
19 Glukosa darah <200 mg/Dl 133 mg/dL
Pemeriksaan Urinalisa
20 Warna Kuning muda jernih Kuning
21 Blood Negatif Negatif
22 Bilirubin 1EU 1
23 Keton Negatif 3+

27
24 Nitrit Negatif Negatif
25 Glukosa 4,6 - 8,5 6,00
26 Berat Jenis 1,002- 1,029 1,025
27 Eritrosit 0-4 3-4
28 Silinder Negatif Negatif
29 Kristal Negatif Negatif
30 Epitel 0-1 2-3

3.3.4 Diagnosa

Tanggal masuk : 30Mei 2021

Diagnosa : Gastropati NSAID, ASHD, ISK, AKI

3.4 Follow up

Tanggal Dokter Apoteker

S O A P A P

30/05/2021 keluhan nyeri TD : 126/60 -Gastropati NSAID - IVDF RL 12 -sukralfat menurunkan -Disarankan
perut, nyeri jam/kolf efek furosemide penggunaan sukralfat
IGD N : 90x /menit dengan low intake
kepala, mual, - Ondansentron 2x1 iv dengan menghambat dengan furosemid
muntah, penyerapan GI dijarakkan 2 jam

28
demam dan RR : 20x/menit - observasi febris - Ranitidin 2x1 iv (medscape) (Medscape)
batuk 9 hari - Sukralfat 3xcth po -clopidogrel - Disarankan
S : 38,1
sebelum - Curcuma 3x1 po meningkatkan penggunaan
masuk - Paracetamol 3x1 po toksisitas aspilet clopidogrel dan aspilet
Rumah Sakit. - Furosemid 1x40mg dengan sinergisme dipantau dengan hati-
Pasien (pagi) farmakodinamik hati
mempunyai - Nitrokaf 2x1 po ( medscape) -Disarankan
riwayat - Clopidogrel 1x75mg -Aspilet dapat penggunaan aspilet
penyakit (pagi) menurunkan efek dengan furosemid
jantung. - Aspilet 1x80mg diuretik dari dipantau dengan hati-
Pasien PCI 8 (malam) furosemide hati.
bulan yang (Stockley's Drug
lalu di rs. Interaction)
M.Djamil
31/05/2021 Pasien TD :131/62 -Gastropati NSAID - IVDF RL 12 -sukralfat menurunkan -Disarankan
jam/kolf efek furosemide penggunaan sukralfat
Ruang Interne mengatakan N : 82x /menit - CAD
- Ondansentron 2x1 iv dengan menghambat dengan furosemid
badan letih, Suhu : 37,4
- Ranitidin 2x1 iv penyerapan GI dijarakkan 2 jam
badan terasa RR : 20x - Sukralfat 3xcth po (medscape) (Medscape)
- Curcuma 3x1 po - Terjadi peningkatan - Disarankan
panas, Nyeri /menit
- Paracetamol 3x1 po risiko pendarahan jika penggunaan
ulu hati,
- Furosemid 1x40mg clopidogrel diberikan clopidogrel dan aspilet

29
muntah (-) (pagi) dengan aspilet dipantau dengan hati-
- Nitrokaf 2x1 po (Stockley's Drug hati
- Clopidogrel 1x75mg Interaction) -Disarankan
(pagi) penggunaan aspilet
-Aspilet dapat
- Aspilet 1x80mg dengan furosemid
menurunkan efek
(malam) dipantau dengan hati-
diuretik dari
- Urinter 2x1 hati.
furosemide
- cotrimoxazole
(Stockley's Drug
2x960mg
Interaction)

01/06/2021 Paseien TD : 100/60 - Gastropati -IVDF RL 12 jam/kolf -sukralfat menurunkan -Disarankan


- Ondansentron 2x1 iv efek furosemide penggunaan sukralfat
mengatakan N : 83x /menit NSAID
- Ranitidin 2x1 iv dengan menghambat dengan furosemid
badan letih, Suhu : 35,8 - CAD
- Sukralfat 3xcth po penyerapan GI dijarakkan 2 jam
nafsu makan RR: 20x /menit (coronary - Curcuma 3x1 po (medscape) (Medscape)
- Paracetamol 3x1 po - Terjadi peningkatan - Disarankan
kurang artery
- Furosemid 1x40mg risiko pendarahan jika penggunaan
disease) /
(pagi) clopidogrel diberikan clopidogrel dan aspilet
ASHD - Nitrokaf 2x1 po dengan aspilet dipantau dengan hati-
- Clopidogrel 1x75mg (Stockley's Drug hati

30
- AKI (pagi) Interaction) -Disarankan
-Aspilet 1x80mg penggunaan aspilet
- ISK -Aspilet dapat
(malam) dengan furosemid
menurunkan efek
-Urinter 2x1 dipantau dengan hati-
diuretik dari
-Cotrimoxazole hati.
furosemide
2x960mg
(Stockley's Drug
Interaction)
02/06/2021 Pasien TD :116/72 - Gastropati -IVDF RL 12 jam/kolf -sukralfat menurunkan -Disarankan
- Ondansentron 2x1 iv efek furosemide penggunaan sukralfat
mengatakan N : 70x/ menit NSAID
- Ranitidin 2x1 iv dengan menghambat dengan furosemid
nyeri ulu Suhu : 36 - CAD
- Sukralfat 3xcth po penyerapan GI dijarakkan 2 jam
hati,badan RR : 24x/menit (coronary - Curcuma 3x1 po (medscape) (Medscape)
- Paracetamol 3x1 po - Terjadi peningkatan - Disarankan
letih, nafsu artery
- Furosemid 1x40mg risiko pendarahan jika penggunaan
makan masih disease) /
(pagi) clopidogrel diberikan clopidogrel dan aspilet
kurang ASHD - Nitrokaf 2x1 po dengan aspilet dipantau dengan hati-
- Clopidogrel 1x75mg (Stockley's Drug hati
- AKI
(pagi) Interaction) -Disarankan
- ISK
-Aspilet 1x80mg penggunaan aspilet
-Aspilet dapat
(malam) dengan furosemid
menurunkan efek
-cotrimoxazole dipantau dengan hati-
diuretik dari

31
2x960mg furosemide hati.
- Bfluid iv (Stockley's Drug
Interaction)
03/06/2021 Pasien TD : 110/70 - Gastropati -IVDF RL 12 jam/kolf -sukralfat menurunkan -Disarankan
- Ondansentron 2x1 iv efek furosemide penggunaan sukralfat
mengatakan N : 71x/menit NSAID
- Ranitidin 2x1 iv dengan menghambat dengan furosemid
nyeri perut Suhu : 36 - CAD
- Sukralfat 3xcth po penyerapan GI dijarakkan 2 jam
masih terasa, RR: 20x /menit (coronary - Curcuma 3x1 po (medscape) (Medscape)
- Paracetamol 3x1 po - Terjadi peningkatan -Disarankan
nafsu makan artery
- Furosemid 1x40mg risiko pendarahan jika penggunaan
masih kurang disease) /
(pagi) clopidogrel diberikan clopidogrel dan aspilet
ASHD - Nitrokaf 2x1 po dengan aspilet dipantau dengan hati-
- Clopidogrel 1x75mg (Stockley's Drug hati
- AKI
(pagi) Interaction) -Disarankan
- ISK
-Aspilet 1x80mg penggunaan aspilet
-Aspilet dapat
(malam) dengan furosemid
menurunkan efek
-cotrimoxazole dipantau dengan hati-
diuretik dari
2x960mg hati.
furosemide
- Bfluid iv
(Stockley's Drug
Interaction)

32
33
3.5 Tabel Pemberian Obat

NAMA OBAT 30/05/2021 31/05/2021 01/06/202 02/06/2021 03/06/2021 04/06/2021


1
M P S M P S M P S M P S M P S M
1. IVFD RL 12 jam √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ Pasien pulang

2. Ondansentron 2x1 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √

3. Ranitidin 2x1 IV √ √ √ √ √ √ √ √ √

4. Sucralfat 3xcth po √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

5. Curcuma 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

6. Paracetamol 3x1 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √

7. Furosemid tab 40 mg 1x1 √ √ √ √

8. Nitrokaf 2x1 po √ √ √ √ √ √ √ √ √

9. Clopidogrel 75mg 1x1 √ √ √ √ √

10. Aspilet 80 mg 1x1 √ √ √ √

11. Clobazam √ √ √

12. Cotrimoxazole 2x √ √ √ √ √ √ √ √

13 Urinter √ √ √ √

34
Obat pulang untuk 7 hari

- Sukralfat syr 1 fls


- Curcuma 3x1
- Paracetamol 3x1
- Nitrokaf 2x1
- Clopidogrel 1x70mg (pagi)
- Aspilet 1x80mg (malam)
- Furosemid 1x20mg (pagi)
- Clobazam 2x10mg
- Cotrimoxazole 2x960mg
- Lansoprazaole 1x1
- Xanda DS 3x1
3.6 Drug Related Problem (DRP)

Drug Related Problem

No Drug Therapy Problem Permasalahan Keterangan

1 Terapi Obat Yang Tidak Diperlukan

Terdapat terapi tanpa indikasi - Obat telah diberikan sesuai dengan


indikasi.
medis
-Infus RL untuk mengembalikan
keseimbangan elektrolit pada
pasien
- Paracetamol untuk menurunkan
suhu tubuh pasien pada hari
pertama dan hari selanjutnya untuk
mengatasi nyeri perut.
- sukralfat untuk gastropati NSAID
dan perbaikan mukosa lambung
-injeksi ondansentron digunakan
untuk mencegah serta mengobati
mual dan muntah pada hari pertama
-Curcuma diberikan untuk
memperbaiki nafsu makan
- Furosemid diberikan sebagai
terapi gangguan ginjal akut (AKI)
-Urinter digunakan untuk mengatasi
infeksi saluran kemih
-Nitrokaf diberikan untuk terapi
ASHD (Atherosclerosis Heart
Disease)
- Clopidogrel diberikan untuk terapi
ASHD
- Aspilet diberikan untuk terapi
ASHD
-Cotrimoxazole diberikan untuk
mengobati infeksi saluran kemih
-Clobazam diberikan untuk
menghilangkan rasa cemas
-Lansoprazole diberikan untuk
gastropati NSAID
-Xanda DS diberikan untuk
meningkatkan nafsu makan
Pasien mendapatkan terapi √ Disarankan ondansentron hanya
ketika mual dan muntah saja
tambahan yang tidak di

perlukan

Pasien masih memungkinkan Pasien harus menjalani terapi


farmakologi untuk membantu
menjalani terapi non
penyembuhan dan pasien.
farmakologi

Terdapat duplikasi terapi √ Clopidogrel dan aspilet merupakan


obat anti platelet
Penggunaan clopidogrel dan aspilet
dapat meningkatkan resiko
pendarahan
Pantau penggunaan clopidogrel dan
aspilet
Pasien mendapatkan Adapun efek samping yang
mungkin terjadi:
penanganan terhadap efek

samping yang dapat seharusnya -Sukralfat :Konstipasi

dicegah - Paracetamol:Kerusakan hati

- Furosemid :Hipokalemia

-Nitrokaf :Sakit kepala berdenyut


- Clopidogrel :pendarahan

- Aspilet :pendarahan

- Urinter: gangguan pencernaan

-Cotrimoxazole:gangguan
pencernaan

- Clobazam : kelemahan otot

2 Kesalahan Obat

Bentuk sedian tidak tepat Bentuk sediaan yang diberikan


tepat yaitu dalam bentuk oral dan
injeksi karena pasien masih bisa
menelan obat

Terdapat kontraindikasi Tidak terdapat kontra indikasi obat

Kondisi pasien tidak dapat Kondisi pasien masih dapat


disembuhkan oleh obat yang
disembuhkan oleh obat
diberikan.

Obat tidak diindikasi untuk √ Disarankan ondansentron hanya


kondisi pasien ketika mual dan muntah saja

Terdapat obat lain yang efektif √ -Disarankan Misoprostol untuk


terapi gastropati NSAID

-Disarankan golongan PPI untuk


gastropati NSAID ex: Lansoprazole

3. Dosis Tidak Tepat

Dosis terlalu rendah - Dosis yang diberikan untuk kondisi


pasien telah sesuai literature
Dosis terlalu tinggi - Dosis yang diberikan untuk kondisi
pasien telah sesuai literature
Frekuensi penggunaan tidak - Frekuensi penggunaan telah tepat.
tepat

Durasi penggunaan tidak tepat - Durasi penggunaan telah tepat.

Penyimpanan tidak tepat - Penyimpanan obat telah sesuai


disimpan oleh perawat

4. Reaksi Yang Tidak Diinginkan

Obat tidak aman untuk pasien −¿ Obat aman untuk pasien

Terjadi reaksi alergi - Tidak terjadi reaksi alergi pada


pasien.

Terjadi interaksi obat √ -Penggunaan clopidogrel dan


aspilet dapat meningkatkan resiko
pendarahan
-sukralfat menurunkan efek
furosemide dengan menghambat
penyerapan GI (medscape)
-Aspilet dapat menurunkan efek
diuretik dari furosemide

Dosis obat dinaikan atau Dosis tidak dinaikkan atau


diturunkan terlalu cepat diturunkan terlalu cepat

Muncul efek yang tidak −¿ Tidak muncul efek yang tidak


diinginkan diinginkan

Administrasi obat yang tidak - Administrasi obat telah tepat.


tepat

5. Ketidaksesuaian Kepatuhan Pasien

Obat tidak tersedia - Obat yang diresepkan tersedia di


apotek RSUD M.Natsir Solok.
Pasien tidak mampu - Pasien mampu menyediakan obat
menyediakan obat karna pasien merupakan peserta
BPJS.

Pasien tidak bisa menelan obat - Pasien masih mampu menelan obat
atau menggunakan obat sehingga diberkan dalam bentuk
tablet per oral

Pasien tidak mengerti intruksi - Pasien dan Keluarga pasien


penggunanan obat mengerti instruksi penggunaan obat
pasien.

Pasien tidak patuh atau memilih - Pasien patuh dan selalu minum obat
untuk tidak menggunakan obat yang diberikan.

6. Pasien Membutuhkan Terapi Tambahan

Terdapat kondisi yang tidak -


diterapi
BAB IV

PEMBAHASAN

Seorang pasien berinisial Tn. RML berumur 65 tahun berjenis kelamin laki-laki

masuk IGD RSUD M.Natsir Solok tanggal 30 mei 2021 dengan keluhan nyeri perut, nyeri

kepala, mual, muntah, demam dan batuk 9 hari sebelum masuk Rumah Sakit. Pasien di

diagnosa Gastropati NSAID, ISK(Infeksi Saluran Kemih), ASHD ( Arteriosclerotic Heart

Disease), AKI (Acute Kidney Injury). Pasien mempunyai riwayat penyakit jantung dan

pasien PCI (Percutaneous coronary intervention) 8 bulan yang lalu di RS. M.Djamil Padang.

Pada pemeriksaan fisik kesadaran pasien normal, suhu tubuh 38,1°C, Nadi 89x /menit

tekanan darah 126/90 mmHg, Laju pernafasan 20x /menit. Pada pemeriksaan Laboratorium

diketahui bahwa Nilai Hemoglobin 15,7 g/dL (normal), leukosit 4,7 10³/ μL3 (rendah),

Hematokrit 44,9% (Normal), trombosit 227 10³/ μL 3(Normal), MCV 93,5 fL (Normal), MCH

32,7 pg/cell (normal), MCHC 35 g/dL (normal), RDW-CV 13,8% (normal), ALC

(Absolute Lymphocyte Count) dibawah normal yaitu 1222, NLR ( Neutrofil Lymposite

Ratio) 2,58 (normal). Ureum diatas normal yaitu 68 mg/dL, Kreatinin diatas normal 1,65

mg/dL, glukosa darah normal yaitu 133 mg/dL

Pasien diberikan terapi Infus RL untuk mengembalikan keseimbangan elektrolit pada

pasien, Paracetamol 3x1 untuk menurunkan suhu tubuh pasien ketika hari pertama karena

suhu tubuh pasien tinggi dan hari berikutnya paracetamol diberikan untuk mengatasi nyeri

perut yang dirasakan pasien, sukralfat diberikan untuk terapi gastropati NSAID dan perbaikan

mukosa lambung, Curcuma 3x1 diberikan untuk meningkatkan nafsu makan, Furosemid

1x40mg diberikan untuk mengobati AKI (Acute Kidney Injury), Urinter 2x1 digunakan untuk

mengatasi infeksi saluran kemih, Nitrokaf untuk mengobati ASHD, Clopidogrel 1x75mg

diberikan untuk mengobati ASHD, aspilet 1x80mg diberikan untuk mencegah proses
agregasi trombosit pada pasien infark miokard atau ASHD, Cotrimoxazole 2x960mg

diberikan untuk mengobati infeksi saluran kemih.

Pada tanggal 4 Mei 2021 pasien pulang dalam keadaan perbaikan dan obat yang

berikan untuk 7 hari yaitu Sukralfat syr 1 fls, Curcuma 3x1, Paracetamol 3x1, Nitrokaf 2x1,

Clopidogrel 1x70mg (pagi), Aspilet 1x80mg (malam), Furosemid 1x20mg (pagi), Clobazam

2x10mg,Cotrimoxazole 2x960mg, Lansoprazaole 1x1, Xanda DS 3x1.


DAFTAR PUSTAKA

Abdul Majid.2007.Penyakit Jantung Koroner: Patofisiologi, Pencegahan, Dan Pengobatan


Terkini Universitas Sumatera Utara Medan : Usu

Antman E, Braunwald E. Management ST Elevation Myocardial Infarction In: Braunwald E,


Zipes DP,Libby P, editor. Heart Disease: A Textbook of Cardiovascular Medicine. 7th
ed. Philadelphia: WB Saunders;2005.p.1167

Carr DB, francia MB. Non-steroidal antiinflamatory Agents- Benefits and New
Developments for Cancer Pain. Touch briefing 2008

Classen M, Tytgat GNJ, Lightdale CJ.in : gastric ulcer. Gastroenterological endoscopy.


2010;505-509

Dayu, M. S. T. 2015. Hubungan Riwayat Lama Merokok dengan Angka Kejadian Penyakit
Jantung Koroner di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek Provinsi Lampung [pdf] Tersedia di
http://farmaunmal.files.wordpress.com/2015/05/jurnal-meri-sinta-pjk.pdf [Diakses
tanggal 25 Mei 2016].

Dipiro J, Dipiro J, Schwinghammer T, and Wells B. Pharmacotherapy Handbook 9th edition.


United State of America: The McGraw-Hill Companies; 2015.

Dipiro, J. T., Talbert, R. I., Yee, G.C., Matzke, G.R., Wells, B. G., Posey, L. M., 2008
Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach Sevent Edition, McGraw-Hill
Companies, Inc., New York, 1906-1907.

Fraker TD Jr, Fihn SD, Gibbons RJ. Chronic Angina Focused Update of The ACC/AHA
Guidelines for The Management of Angina: A Report of The American College of
Cardiology / American Heart Association Task Force on Practice Guidelines Writing
Group to Develop the Focused Update of 2002 Guidelines. Circulation. 2007;116:2762-
72.

Goldstein SL. Pediatric acute kidney injury: it’s time for real progress. Pediatr Nephrol
(2006) 21: 891-895.

Gradwohl Steven E., (2011). Urinary Tract Infection Guideline, May 2011
Haryono Rudi ( 2013 ) Keperawatan Medikal Bedah ( sistem Perkemihan )
Edisi1,Yogyakarta. Rapha Publishing

Hernandez-Diaz S, Rodriguez LAG. Steroids and Risk of Upper Gasrointestinal


Complications. Am J Epidemiol vol 153, No.11, 2001

Himmelfarb J, Joannidis M, Molitoris B, Schietz M, Okusa MD, Warnock D et al.Evaluation


and Initial Management of Acute Kidney Injury. Clin J Am Soc Nephrol 3:962-
967,2008.14.

Ji KY, Hu FL. Interaction or relationship between Helicobacter pylori and non steroidal anti-
inflammatory drugs in upper gastrointestinal diseases. World J gastroenterol
2006;12(24):3789-3792

Kenward, R., dan Tan, C.K. 2003. Penggunaan Obat Pada Gangguan Ginjal, dalam Aslam
Farmasi Klinis: Menuju Pengobatan Rasional dan Penghargaan Pilihan Pasien 2003.
140-153. PT. Elex Media Komputindo Gramedia. Jakarta.

Kidney Disease Improving Global Outcome (KDIGO). KDIGO Clinical Practice Guideline
for Acute Kidney Injury. Kidney International Supplements 2012. Vol.2. 19-36

L. Saparina, Titi. (2010). Analisis Faktor Risiko Penyakit Jantung KoronerDi RSUP Dr.
Wahiddin Sudirohusodo Makassar. Program PascasarjanaUniversitas Hasanuddin
Makassar. Tesis dipublikasikan

Lameire N, Biesen WV, Vanholder R. The rise of prevalence and the fall of mortality of
patients with acute renal failure: what the analysis of two databases does and does not
tell us. J Am Soc Nephrol. 2006;17:923-5.

Lanza FL. A guideline for the treatment and prevention of NSAID-nduced Ulcers. The
American journal of Gastroenterology vol 93,No11,1998.

Lily S Leonard. Pathophysiology of Heart Disease. 5th ed. Philadelphia : Wolters Kluwer
Lippincott Williams and Wilkins ; 2011 .p.135-89.

M. Wilson Lorraine, Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889
Mak RH. Acute kidney injury in children: the dawn of a new era. Pediatr Nephrol (2008)
23:2147-2149.

Mehta RL, Chertow GM. Acute renal failure definitions and clas-sification: time for change?.
J Am Soc Nephrol. 2003;14:2178-87.

Mehta RL, Kellum JA, Shah SV, Molitoris BA, Ronco C, Warnock DG, et al. Acute kidney
injury network: report of an initiative to improve outcomes in acute kidney injury.
Critical Care. 2007,11:R31

Naga, Sholeh S. (2012). Buku Panduan Lengkap Ilmu Penyakit Dalam. Yogyakarta: DIVA
Press.

Nash K, Hafeez A, Hou S: Hospital-acquired renal insufficiency. American Journal of


Kidney Diseases 2002; 39:930-936.

Osterman M, Chang R: Acute Kidney Injury in the Intensive Care Unit according to RIFLE.
Critical Care Medicine 2007; 35:1837-1843.

Pezzlo M., 1992, Urinary Tract Specimens, In editor: Tilton RC., Clinical Laboratory
Medicine, Mosby Year Book, United State of America.

Soeharto I. Penyakit Jantung Koroner dan Serangan Jantung. Jakarta: Gramedia; 2004.

Sudoyo Aru W, Setiyohadi Bambang, Alwi Idrus, Simadibrata Marcellus, Setiati Siti. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. 4th ed. Jakarta: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit Dalam
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006 .p.1606-23.

Tourkey JM . Gastric Ulcer’s diseases pathogenesis, complications and strategies for


Prevention. Webmedcentral GASTROENTEROLOGY 2011;2(3):WMC001684

Valle JD. Peptic ulcer disease and related disorders. In: Fauci AS, Braunwald E. Isselbacher
KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper Dl, et al, Harrison’s principles of internal medicine,
16th, vol 1. New York: Mc Graw Hill inc;2008. P.1649;1-7

Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung, Indonesia.


CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.

Verdiansah. Pemeriksaan Fungsi.Ginjal. Rumah Sakit Hasan Sadikin : Bandung, Indonesia.


CDK-237/ vol. 43 no. 2. 2016.
Wallace JL, Vong L. NSAID-induced gastrointestinal damage and the design of GI-sparing
NSAIDs. Current opinion in investigational Drugs 2008 (11):1151-1156

Wallace JL. How do NSAIDs cause ulcer disease? Bailliers Clinical Gastroenterology; vol
14,No1.pp. 147-159,2000.

WHO dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2011. Pelayanan Kesehatan Anak di Rumah
Sakit, Pedoman Bagi Rumah Sakit Rujukan Tingkat. Pertama. Jakarta : WHO dan IDAI

Wilson Lorraine, W. Sylvia. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. 6th edition.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC: 2012.p867-889.
Lampiran 1. Tinjauan Obat

1. Ringer Laktat

Ringer Laktat
Kelas Terapi Cairan dan elektrolit.
Komposisi Satu liter cairan ringer laktat memiliki komposisi elektrolit Na+
(130 mEq/L), Cl- (105 mEq/L), Ca+ (3 mEq/L), dan laktat (28
mEq/L). Osmolaritasnya sebesar 273 mOsm/L.SS
Indikasi Terapi cairan elektrolit.
Dosis Disesuaikan dengan umur, berat badan dan kebutuhan defisit cairan
pasien.
Interaksi obat Preparat Kalium dan Kalsium akan meningkatkan efek digitalis.
Kontraindikasi Hipernatremia, kelainan ginjal, kerusakan sel hati, laktat asidosis.
Efek Samping Sensasi panas, infeksi pada tempat penyuntikan, trombosis
vena atau flebitis yang meluas dari tempat penyuntikan,
ekstravasasi, urtikaria dan pruritus.

Gambar sediaan
2. Injeksi Ondansentron

Ondansentron
Kelas Terapi Anti Emetik
Komposisi Tiap 4 mL injeksi mengandung ondansenton hydrochloride setara 8
mg ondansentron
Indikasi Penanggulangan mual dan muntah karena kemoterapi dan
radioterapi serta operasi
Dosis 8 mg tiap 4 mL

Interaksi obat Golongan anti aritmia (amiodarone), Atenolol, antrasiklin,


eritromycin dan ketoconazole, Analgesik tramadol, Dexametason
Na fosfat, Golongan obat SSRI, MAOI, Mirtazapine, fentanyl,
lithium, methylene blue, serotonin noradrenaline reuptake inhibitor
(SNRI), Golongan obat penginduksi CYP3A4 yang kuat (misalnya
fenitoin, karbamazepin, rifampisin)
Kontraindikasi Pasien yang hipersensitif terhadap Ondansentron
Efek Samping Bradikardia, Hipotensi, Aritmia (gangguan irama jantung), Hipoksia
(kekurangan oksigen), peningkatan sementara enzim hati, sakit
kepala, sembelit, sensasi terbakar pada kepala dan ulu hati
(epigastrum), sedasi, diare, nyeri dada, penglihatan kabur sementara
(karena intavena cepat), perubahan EKG.
Gambar sediaan
3. Injeksi Injeksi Ranitidine

Ranitidine
Kelas Terapi Antasida, Antirefluks dan Antiulserasi.
Komposisi Ranitidine HCl 25 mg/ Dl
Indikasi dan Dosis Produksi asam lambung yang berlebih: Dewasa: Pemberian awal
dengan dosis 1 mg/kg/BB/jam.
Interaksi obat Tidak boleh digunakan bersama obat Propantheline bromide,
Antikoagulan, ketoconazole,midazolam, dan glipizide serta antasid
Kontraindikasi Tidak diberikan kepada orang yang pernah mengalami keluhan
porfiria akut.
Efek Samping Sakit kepala, pusing, Insomnia, Halusinasi, sembelit, mual dan
muntah, ruam.
Gambar sediaan
4. Sucralfate

Sucralfate
Komposisi Per 5 mL: Sucralfate 500mg
Kelas terapi Ulkus Peptikum, Gastritik kronik
Indikasi Untuk mengobati Gastropati NSAID
Cara penggunaan Peroral
Dosis Tukak Lambung dan Duodenum: Tablet 4x1 g/hari (2 jam
sebelum makan & sebelum tidur malam) selama 4-6 minggu. Maks 8
g/hari. Larutan suspensi : 2 cth 4x/hari.
Bentuk sediaan Suspensi
Kontraindikasi Hipersensitif, pasien dengan gagal ginjal kronis karena obat ini bisa
menyebabkan nefropati yang diinduksikan oleh aluminium.
Efek samping Kelainan darah, hipersensitif (kemerahan, gatal), saluran cerna
(konstipasi).
Interaksi obat Menurunkan absorbsi Ketoconazole, Ciprofloxacin, Warfarin,
Ofloxacin, Tetracyclin, Phenytoin, Tiroksin.
Mekanisme kerja Membentuk lapisan pada dasar tukak sehingga melindungi tukak
dari pengaruh agresif asam lambung dan pepsin, serta membantu
sintesa prostaglandin, menambah sekresi bikarbonat dan mukus,
meningkatkan daya tahan dan perbaikan mukosa.
Gambar sediaan
5. Curcuma FCT

Curcuma FCT
Komposisi Extrak Curcumae Xanthorrhizae Rhizoma 20 mg
Kelas terapi Amara
Indikasi Suplemen penambah nafsu makan.
Cara penggunaan Peroral
Dosis 3x sehari 1-2 tablet
Bentuk sediaan Tablet salut selaput,
Efek samping Anoreksia (kehilangan nafsu makan), ikterus (menjadi kuningnya
warna kulit, selaput lendir, dan berbagai jaringan tubuh oleh zat
warna empedu) akibat obstruksi/ penyumbatan saluran empedu,
amenore (tidak haid).
Interaksi obat Aspirin, obat NSAID, obat diabetes, obat hipertensi, obat pengencer
darah
Gambar sediaan
6. Paracetamol 500 mg

Paracetamol
Komposisi Paracetamol 500 mg
Kelas terapi Analgetik, Antipiretik
Indikasi Nyeri ringan sampai sedang, demam.
Cara penggunaan Peroral
Dosis 500 mg
Bentuk sediaan Tablet.
Kontraindikasi Hipersensitif, gangguan hati.
Efek samping Reaksi alergi, ruam kulit berupa eritema atau urtikaria, kelainan
darah,hipotensi, kerusakan hati.
Mekanisme kerja Paracetamol bekerja pada pusat pengatur suhu dihipotalamus
untuk menurunkan suhu tubuh (antipiretik). Bekerja menghambat
sintesis prostaglandin sehingga dapat mengurangi nyeri ringan-
sedang.
Peringatan Gangguan fungsi hati, ginjal, ketergantungan Alkohol.
Gambar sediaan
7. Furosemid

Furosemid
Komposisi Furosemid 40 mg
Kelas terapi Diuretik
Golongan Loop Diuretik
Indikasi Sebagai terapi AKI
Cara penggunaan Oral: Edema: Dewasa dosis awal 40 mg pada pagi hari,
dan Dosis penunjang 20-40 mg sehari.
Bentuk sediaan Tablet.
Kontraindikasi Hipovolemia, hiponatremia, pasien yang alergi terhadap preparat
sulfa.
Efek samping Hipotensi, hiponatremia, anuri (obstruksi post renal), pasien yang
alergi terhadap preparat sulfa.
Interaksi obat Pemberian bersama: Aminoglikosida dan cisplatin: meningkatkan
atotoksisitas; aminoglikosida, sefaloridin: meningkatkan
nefrotoksisitas: ACE inhibitor: penurnan tekanan darah secara tajam.
Efek antagonisme dengan endometasin. Potensiasi efek dengan
salisilat, teophyllin, lithium, relaksan otot. Hipokalemia dapat
menimbulkan toksisitas digitalis.
Mekanisme kerja Menghambat Co-transport Na+/K+/Cl- dari membran lumen pars
ascenden ansa henle, karena itu reabsorbsi Na+/K+/Cl- menurun.
Gambar sediaan
8. Nitrocaf Retard 2,5 mg

Nitrocaf Retard
Komposisi Nitrogliserin
Kelas terapi Anti Angina
Golongan Nitrat
Indikasi Diberikan untuk terapi ASHD
Cara penggunaan Sediaan Oral: Sediaan oral memiliki lama kerja 6-8 jam
dan Dosis Pencegahan dan terapi jangka panjang angina: kapsul lepas lambat
(Nitrocaf Retard): dosis 2,5 mg/kali diberikan 2-3x sehari. Pada
kasus berat 5 mg/kali diberikan 2-3x sehari.
Bentuk sediaan Kapsul.
Kontraindikasi Hipersensitivitas terhadap nitrat: hipotensi/ hipovolemia,
kardiomiopati obstruktif, stenosis mitral: anemia berat, trauma
kepala,perdarahan otak, glaukoma suut sempit, pemberian bersama
sildenafil
Efek samping Sakit kepala berdenyut, muka merah,pusing, hipotensi postural,
takikardi. Pasca injeksi (terutama jika diberikan terlalu cepat)
meliputi hipotensi berat, mual dan muntah, diaforesis, gelisah,
kedutan otot, palpitasi, nyeri perut, syncope, methemoglobinemia.
Interaksi obat - Peningkatan resiko terjadinya hipotensi efek samping yang
fatal,jika digunakan bersama obat golongan inhibitor
fosfodiesterase tipe 5 (PDE5) seperti avanafil, sildenefil,
tadalafil, dan vardenafil.
- Peningkatan resiko terjadinya hipotensidan efek samping
yangfataljika digunakanbersama riociguat.
- Peningkatan risiko terjadinya methemoglobinemia jika
digunakan bersama prilocaine.
- Penurunan efektivitas obat jika digunakan bersama obat-
obatan antidepresan, seperti amitriptyline, desipramine atau
doxepine.

Mekanisme kerja Menimbulkan vasodilatasi semua sistemvaskular. Pada dosis


rendah nitrat menimbulkan vasodilatasi sehingga terjadi
penggumpalan darah pada vena perifer. Hal ini menyebabkan
berkurangnya aliran balik darah kedalam jantung sehingga preload
menurun. Pada dosis yang lebih tinggi nitrat juga akan
menimbulkan dilatasi arteriolperifer sehingga tekanan darah
sistolik dan diastolik menurun (afterload).
Gambar sediaan
9. Clopidogrel

Clopidogrel
Komposisi Clopidogrel 75 mg
Kelas terapi Anti Angina
Indikasi Mencegah terjadinya aterotrombosis pada pasien yang menderita
infark miokard,stroke iskemik, atau penyakit arteri perifer, sindrom
koroner akut (STEMI, NSTEMI,Angina Pectoris tidak stabil
Dosis Sindrom koroner akut: Dosis awal 1x 300mg/hari, lalu
dilanjutkan dengan dosis pemeliharaan 1x75 mg/hari.
Bentuk sediaan Tablet
Kontraindikasi Hipersensitivitas,perdarahan aktif seperti ulkus peptikumatau
perdarahan intrakranial,menyusui.
Efek samping Dispepsia, nyeriperut, diare, perdarahan (termasuk
perdarahansaluran cerna dan intrakranial): mual, muntah, gastritis,
perut kembung,konstipasi, tukak lambung dan usus besar, sakit
kepala, pusing, paraestesia, leukopenia, platelet menurun (sangat
jarang trombositopenia berat), eosinofilia, ruam kulit, dan gatal,
vertigo, gangguan darah (termasuk trombositopenia purpura,
agranulositosis, dan pansitopenia
Interaksi obat - Penghambat CYP2C19, seperti omeprazole, esomeprazole,
carbamazepine, ticlopidine, variconazole dan fluvoxamine,
efeknya adalah mengurangiefek antiplatelet dari clopidogrel.
- Obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS), antikoagulan, atau
antiplatelet termasukaspirin, efeknya adalah mningkatkan
risiko terjadinya perdarahan.

Mekanisme kerja Clopidogrel merupakan obat yang memiliki efek anti agregasi dan
menghambat pembentukan trombus. Obat ini menghambat reseptor
P2Y12 di platelet secara irreversible. Clopidogrel digunakan untuk
pencegahan kejadian iskemik pada pasien dengan riwayat gejala
penyakit iskemik.
Gambar sediaan

10. Aspilet
Aspilet
Komposisi Aspirin
Kelas terapi Anti Platelet
Indikasi Untuk terapi ASHD
Cara penggunaan Sindrom Koroner akut: dosis loading 150-300 mgdan
dan Dosis dosispemeliharaan 75-100 mg setyiap harinya untuk jangka
panjang.
Bentuk sediaan Tablet
Kontraindikasi Hipersensitivitas, asma, tukak peptik yang aktif, hemofilia dan
gangguan perdarahan lain, hamil, menyusui.
Efek samping Bronkospasme, mual, muntah, nyeri, ulserasi, dan perdarahan
saluran cerna,perdarahan lain, trombositopenia, tinnitus.
Interaksi obat Aspirin meningkatkan efek warfarin, heparin,digoksin, sulfonilurea,
aspirin menghambat efek diuretik seperti furosemide dan
spironolactone. Menghambat efek obat hipertensi.
Mekanisme kerja Bekerja dengan cara mengurangi agregasi platelet,sehingga dapat
menghambatpembentukan trombus pada sirkulasi arteri.
Aspirin memiliki efek anti agregasi trombosit, Aspirin
menghambat aktivitas enzim cyclo-oxygenase I & II (COX 1 &
COX 2) yang selanjutnya menghambat produksi tromboksan.
(Tromboksan merupakan zat yang merangsang agregasi trombosit).
Peringatan Riwayat menderita ulkus peptik, gangguan hati, gangguan ginjal,
hentikan penggunaan bila terjadi tinnitus.
Gambar sediaan

11. Clobazam
Clobazam
Komposisi Clobazam 10 mg
Kelas terapi Anti Ansietas
Golongan Benzodiazepin
Indikasi Ansietas,kondisi psikoneurotik yangberhubungan dengan ansietas
Dosis 2-3 x 10mg/hari
Bentuk sediaan Tablet.
Kontraindikasi Pasien yang hipersensitif terhadap benzodiazepine, glaucoma,
masthenia gravis, insufiensi pulmonalkronik,penyait hai atau ginjal
kronik,depresi pernapasan, serangan asma akut,trimester pertama
kehamilan, persalinan. Tidak boleh digunakan sendirian pada
depresi atau ansietas dengan depresi.
Efek samping Mengantuk, kelemahan otot.
Interaksi obat - Peringatan kadar clobazam dalam darah jika dikonsumsi
dengan fluconazole, omeprazole.
- Peningkatan resiko terjadinya gangguan
pernapasan,koma,kantuk bahkan kematian jika digunakan
dengan obat golongan opioid.
- Peningkatan risiko terjadinya pada sistem syaraf pusat jika
digunakan dengan obatantipsikotik, obat antidepresan, obat
penenang, obat bius, obat antihistamin, atau obat
antikonvulsan

Mekanisme kerja Bekerja dengan cara menyeimbangkan aliran listrik yang ada
didalam otak dan melemaskan otot-otot yang menegang selama
kejang, sehingga kejang dapat teratasi. Obat ini tidak boleh
digunakan sembarangan dan harus sesuaidengan resep dokter.
Gambar sediaan

12. Cotrimoxazol
Cotrimoxazol
Komposisi Sulfamethoxazol 400 mg, Trimethoprime 80 mg
Kelas terapi Anti Infeksi, Antibiotik
Golongan Sulfonamide
Indikasi Infeksi saluran kemih (sistitis).
Cara penggunaan Dosis Dewasa: 2x 960 mg/ hari. Pada infeksiberat
dan Dosis dapatditingkatkan menjadi 1,44 g tiap 12jam.
1 tablet Cotrimoxazol mengandung 480mg,mengandung 400mg
Sulfamethoxazole = 80 mg Trimetoprime.
Bentuk sediaan Tablet
Kontraindikasi Hipersensitif, gangguan fungsi hati & ginjal berat, Anemia
megaloblastik atau anemia defisiensi folat, pasien hamil &
menyusui (sulfonamide dapat menembus sawar darah plasenta
sehingga menyebabkan kern cterus)
Efek samping Gangguan GI (mual, muntah, diare), reaksi alergi, gangguan hati,
pankreatitis, kolitis terhadap antibiotik, gangguan SSP (sakit kepala,
depresi, konvulsi), ataksia, tinitus, Anemia megaloplastik karena
trimetoprim, gangguanelektrolit, kristaluria, gangguan ginjal.
Interaksi obat Pemberian dengan diuretik dapat mempermudah timbulnya
trombositopenia terutama pada pasien lansia. Meningkatkan efek
antikoagulan oral, sulfonil urea, dan metothrexate.
Mekanisme kerja Aktivitas cotrimoxazol berdasarkan atas kerjanya pada dua tahap
yang berurutan dalam reaksi enzimatik untuk membentuk asam
tetrahidrofolat. Sulfametoxazol menghambat masuknya PABA
kedalam molekul asam folat dan Trimetropim menghambat
terjadinya reaksi eduksi dari dihidrofolat menjadi tetrahidrofolat.
Peringatan Gangguan fungsi hati dan ginjal perlu (penyesuaian dosis). Minum
banyak untuk menghindari kristaluria. Hindarkan pengguanaan pada
gangguan darah. Pada penggunaan jangkapanjang perlu dilakukan
hitung jenis sel darah. Bila timbul ruam atau gangguan darah, obat
segera dihetikan. Hati-hati pada pasien asma, defisiensi G6PD.
Gambar sediaan

13. Lansoprazole
Lansoprazole
Komposisi lansoprazole 30 mg
Kelas terapi Antasida, agen antireflux dan antiulceran
Golongan Penghambat pompa proton
Indikasi Ulkus duodenum, ulkus gaster jinak, esofagitis refluks.
Cara penggunaan Pagi hari sebelum makan
Dosis Dewasa: 15-30 mg, 1 kali sehari selama 4-8 minggu.
Bentuk sediaan Kapsul, tablet, dan Injeksi.
Kontraindikasi Tidak boleh diberikan kepada pasien yang hipersensitif terhadap
lansoprazole
Efek samping sakit kepala, diare, nyeri perut, dispepsia, mulut kering, susah buang
air besar, urtikaria, pruritus, mual, muntah, kembung, pusing dan
lelah
Interaksi obat Penurunan efektivitas lansoprazole jika digunakan bersama
dengan antasida, dan sukralfat.
Mekanisme kerja Mekanisme kerja dari Lansoprazole yaitu: • Lansoprazole termasuk
golongan PPI (Proton Pump Inhibitor) yang efektif bekerja dengan
menghambat sekresi asam lambung melalui sistem enzim adenosin
trifosfatase hidrogen-kalium (pompa proton) dari sel parietal
lambung.
Gambar sediaan

14. B-Fluid Infus


B-Fluid Infus
Kelas Terapi Nutrisi Parenteral
Komposisi Aminofluid
Indikasi Menyuplai berbagai nutrisi kedalam tubuh pengguna yang kesulitan
untuk menelan ataupun mengunyah makann.
Dosis Pada pengguna lansia 500 mL dimasukkan melalui pembuluh darah
dengan kecepatan jatuh tetes infus 500 mL per 120 menit
Interaksi obat Antikoagulan, karbon aktif
Kontraindikasi Asidosis, gagaljantung kronis, gangguan fungsi ginjal kronis
Efek Samping Demam,menggigil, sakit kepala, alergi kulit dan gejala lainnya

Gambar sediasan

15. Urinter 400 mg


Urinter 400 mg
Komposisi Pipemidic Acid 400 mg
Kelas terapi Antibiotik dan Anti Jamur
Indikasi Infeksi saluran kemih
Cara penggunaan peroral
Dosis 400 mg
Bentuk sediaan Kapsul
Kontraindikasi Tidak boleh digunakan pada pasien gaagal ginjal berat CrCl <
10mL/menit
Efek samping Mual, sakit perut, pusing.
Interaksi obat Penurunan efektivitas paracetamol dan acyclovir,penurunan
metabolisme teofilin.
Mekanisme kerja Membunuh bakteri penyebab infeksi dengan cara menghambat
enzim topoisomerase IV dan DNA gyrase yang berperan penting
dalam pertumbuhan bakteri
Gambar Sediaan

16. Xanda DS
Xanda DS
Komposisi Curcuma extrak 8%, Fructo-oligosaccharide 53%, Lysine 27,5%,
Taurine 4%, Inositol 4,8%.
Indikasi Meningkatkan ketahanan tubuh, meningkatkan nafsu makan.
Cara penggunaan Diberikan 1 jam sebelum makan
Bentuk sediaan Syrup
Gambar Sediaan

Anda mungkin juga menyukai