Apendisitis akut
Oleh:
Dokter Pendamping :
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat- Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang mengambil topik “Apendisitis Akut”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
periode 2022 s/d 2023 di RSUD Sanjiwani Gianyar. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini kepada dr. Ni
Ketut Pande Sri Widnyani selaku dokter pendamping yang telah memberikan bimbingan kepada
kami dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.
Penulis
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................3
2.1 Definisi..........................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi................................................................................................................3
2.3 Etiologi..........................................................................................................................5
2.4 Faktor Resiko...............................................................................................................5
2.5 Embriologi Apendiks...................................................................................................6
2.6 Anatomi Apendiks.......................................................................................................7
2.7 Fisiologi Apendiks.....................................................................................................11
2.8 Patofisiologi Apendisitis...........................................................................................14
2.9 Manifestasi Klinis.......................................................................................................16
2.10 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik..........................................................................18
2.11 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................24
2.10 Tatalaksana................................................................................................................27
2.11 Prognosis...................................................................................................................32
2.12 Komplikasi..................................................................................................................33
BAB III........................................................................................................................................35
LAPORAN KASUS.....................................................................................................................35
3.1 Identitas Pasien...................................................................................................................35
3.2 Keluhan Utama....................................................................................................................35
3.3 Autoanamnesis dan Heteroanamnesis.............................................................................35
3.4 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................35
3.5 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................................36
3.6 Diagnosis Kerja...................................................................................................................38
3.7 Penatalaksanaan.................................................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................................................40
BAB V KESIMPULAN................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................43
ii
ii
i
iv
BAB I
PENDAHULUAN
organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran kanan bawah
perut. Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5 dan 45 dengan usia rata-rata 28
tahun. Insidensinya sekitar 233 / 100.000 orang. Laki- laki memiliki kecenderungan
perempuan, dengan kejadian seumur hidup 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita.
Ada sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun di Amerika Serikat untuk
masalah terkait apendisitis (Jones et al, 2020). Apendisitis paling sering muncul
pada pasien usia 10 hingga 29 tahun, dengan insiden tertinggi di antara pasien umur
10 hingga 19 tahun (Hirsch, 2017). Variasi kejadian disebabkan oleh variasi etnis,
jenis kelamin, usia, obesitas, dan musim dalam setahun (Gorter et al., 2016).
peningkatan tekanan lumen, vaskular kompromi, invasi bakteri, infl amasi, dan
Tanda-tanda dan gejala yang paling baik pada apendisitis akut pada orang dewasa
adalah nyeri kuadran kanan bawah, perut terasa kaku, dan radiasi nyeri periumbilikal
ke kuadran kanan bawah. Pada anak-anak, tidak ada atau berkurangnya bising usus,
psoas sign positif, obturator sign positif, dan Rovsing sign positif paling dapat
1
akut (Snyder et al, 2018). Alvarado skor dapat membantu penegakan diagnosis saat
apendisitis diduga menjadi penyebab mendasar dari suatu acute abdomen, terutama
apendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya
pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka apendektomi negatif
pada pediatrik berkisar 10- 50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan
Terapi kausatif yang dipilih dapat berupa medika mentosa dan operatif. Medika
obstruksi usus, masalah kesuburan, dan sepsis. Semua kasus apendisitis memerlukan
angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock.
Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa
Apendisitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di
seluruh dunia (Snyder et al, 2018). Bedasarkan latar belakang tersebut, referat ini
komprehensif.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran kanan bawah
paling sering merupakan penyakit akut yaitu dalam 24 jam, tetapi juga dapat muncul
sebagai kondisi yang lebih kronis. Jika telah terjadi perforasi dengan abses, maka
gejala yang muncul bisa lebih lamban. Fungsi pasti dari apendiks telah menjadi topik
yang diperdebatkan. Saat ini diterima bahwa apendiks mungkin memiliki fungsi
imunoprotektif dan bertindak sebagai organ limfoid, terutama pada orang yang lebih
2.2 Epidemiologi
Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5 dan 45 dengan usia rata-rata
dibandingkan dengan perempuan, dengan kejadian seumur hidup 8,6% untuk pria
dan 6,7% untuk wanita. Ada sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun di
Amerika Serikat untuk masalah terkait apendisitis (Jones et al, 2020). Apendisitis
paling sering muncul pada pasien usia 10 hingga 29 tahun, dengan insiden tertinggi
disebabkan oleh variasi etnis, jenis kelamin, usia, obesitas, dan musim dalam setahun
3
Gambar 2.1 Insiden Apendisitis (Lin et al.,2015)
Kasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20- 30% dan
meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari
satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan. Kasus apendisitis terjadi di seluruh
4
sedangkan di negara-negara industri terjadi tren peningkatan kasus apendisitis
karena pola makan yang berubah dengan diet rendah serat. Di negara barat, insidensi
namun di negara industri seperti Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Amerika
insiden untuk pasien populasi normal, dan insiden apendisitis berlubang adalah
yang lebih rendah pada kejadian dan manajemen apendisitis (Lin et al., 2015).
2.3 Etiologi
Apendisitis terjadi karena adanya obstruksi dari lumen appendix akibat dari
hiperplasia jaringan limfoid (60% kasus), yang biasanya sering terjadi pada anak dan
remaja; adanya fecalith dan fecal stasis (35% kasus) yang biasa terjadi pada orang
dewasa; adanya neoplasma (pada usia > 50 tahun), dan adanya infestasi dari parasit
terjadi pada orang berusia antara 10-20 tahun. Menurut penelitian terdahulu,
5
appendisitis semakin meningkat pada kondisi remaja, khususnya pada usia 10-12
tahun, yang dikarenakan akibta hiperlplasia dari limfoid. Akan tetapi secara
umum, memang peningkatan tertinggi berada pada rentang usia 15- 30 tahun,
dikarenakan fecalith merupakan salah satu penyebab utama yang paling sering
dari apendisitis (Ramdas, et.al, 2015). Menurut penelitian Ramdas ini pula, pasien
dari Altun et.al. (2017), prevalensi laki-laki juga meningkat yang terkena
dengan perempuan 232 orang, atau berkisar 35,2%. Menurut Altun et.al. (2017),
prevalensi anak remaja yang mengalami appendisitis adalah berkisar 3:2, yang
wanita.
terletak dibawah duodenum, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan proximal dari
dimunculkan oleh arteri mesenterika superior yang membentuk loop midgut. Tunas
cecal berkembang dari caudal limb loop. Sementara pertumbuhan tunas cecal terus
6
perkembangan ini, ukuran ceccum menjadi semakin besar, tetapi bagian bawah
sekum yang lebih kecil, membentuk appendiks. Appendiks tumbuh dengan cepat dan
bagian apex sekum. Akibat dari haustrum kanan dari sekum yang bertumbuh,
appendiks menjadi berpindah ke atas dan medial. Pada minggu kedua belas,
muncul pada bulan ke-4 dan ke- 5 dan terus tumbuh dari postpartum hingga pubertas
sekitar 1,7 cm di bawah katup ileocecal. Panjang rata-rata Appendiks adalah sekitar
7
pleksus lumbar dan sebelah posterior dari omentum mayor. Apendiks menggantung
dari terminal ileum oleh lipatan segitiga mesenterium yang disebut mesoappendix,
dan, oleh karena itu, memberikan apendiks tampilan yang berbeda, yakni tampak
Sebuah lipatan membran bermukus, atau katup Glach, berada pada bagian appendiks
appendiks. Dalam satu penelitian, pembuluh darah ini ditemukan dari ileocolic, cecal
posterior, cecal anterior, cabang medial dari ileocolic, dan arteri ileal (Barlow, et.al.,
2013). Studi yang lain ini juga menemukan bahwa arteri appendicular berasal dari
persatuan dari arteri ileocolic dan cabang dari arteri ileal dan dari arteri ileocolic di
loop terminal. Sedangkan aliran venanya, berasal dari vena appendicular, yang
bergabung dengan vena cecal menjadi vena ileocolic. Vena ini kemudian mengalir
langsung ke hepar melalui vena portal hepatik (Barlow, et.al., 2013). Limfatik dari
sekum dan apendiks mengalir dari kelenjar getah bening mesoappendix dan
superior (Barlow, et.al., 2013). Persarafan simpatis pada apendiks berasal dari
dari saraf vagus. Saraf sensorik aferen mengikuti simpatik saraf untuk memasuki
8
Gambar 2.4 Persarafan apendiks (Barlow et al., 2013)
Gambar 2.5 Anatomi apendiks dan pembuluh darahnya (Barlow et al., 2013)
apendiks termasuk kuadran kiri atas, paramidline anterior kiri, dan posisi garis
tengah bawah. Apendiks juga terdapat dalam beberapa orientasi lain seperti
9
di pinggiran panggul; subcecal, terletak lebih rendah dari sekum pada fossa iliaka;
post-ileal, posterior ke ileum; dan pre-ileal, anterior ke ileum. Selain itu, perubahan
sekum karena postur, pernapasan, tonus otot perut, dan tingkat distensi usus yang
lain pada Barlow, et.al., 2013 juga melaporkan sebuah kasus di mana apendiks
terletak di thorax terkait dengan malrotasi usus dan cacat diafragma (Barlow, et.al.,
2013).
Nyeri pinggang kanan sering timbul dengan pada pemeriksaan. Kekakuan otot
dan nyeri tekan pada palpasi dalam sering tidak ada karena perlindungan dari
caecum di atasnya. Otot psoas dapat teriritasi pada posisi ini, yang
Nyeri suprapubik dan frekuensi buang air kecil mungkin mendominasi. Diare
dapat terjadi sebagai akibat iritasi rektum. Nyeri perut mungkin kurang, tetapi
nyeri dubur atau vagina mungkin ada di sebelah kanan. Hematuria dan leukosit
Tanda dan gejala mungkin kurang. Muntah mungkin lebih menonjol, dan diare
10
Gambar 2.6 Letak Appendiks (Barlow et al, 2013)
Appendiks merupakan salah satu organ yang berasal dari caecum. Pada awalnya,
terdapat beberapa teori yang mengatakan bahwa appendiks melakukan evolusi pada
akibat dari berbagai tipe makanan yang dikonsumsi. Akan tetapi teori ini dibantah,
dan saat ini diketahui bahwa appendiks memiliki peran yang besar terhadap proses
sangat banyak. Pada beberapa spesies hewan lain, appendiks ini berfungsi sebagai
appendiks. Lebih lanjut mengenai appendiks akan segera dijelaskan di bawah ini.
11
Appendiks terdiri dari 3 lapisan dinding utama dengan urutan dari dalam keluar
terdapat sel B dan sel T. Pada awalnya, limfoid appendiks akan berkembang pada 2
minggu setelah kelahiran pada manusia, dan semakin berkembang pesat pada usia 1
tahun. Saat dewasa, area germinal center akan atrofi dan semakin mengecil seiring
pada perkembangan kelenjar getah bening dan Payer Patch pada umumnya.
Perkembangan folikel limfoid pada appendiks dipengaruhi juga oleh payer patch
dan faktor sel inducer. Tidak hanya substansi ini saja yang berperan, tetapi faktor
flora komensalisme juga berguna dalam pengembangan stuktur limfoid yang ada di
Madoux, et.al., 2018). Akibat dari adanya bantuan dari flora intestinal, igM, igA,
et.al., 2018).
2. Struktur appendiks
Bagian mukosa appendiks dari dalam keluar terdiri atas epitel, lamina propria, dan
muskularis mukosa. Pada epitelium banyak mengandung sel enterosit, sel goblet,
dan intraepitelial limfosit yang paling banyak adalah sel T regulator CD8. Pada sel
epitel juga terdapat sel M, sel B, dan sel T. IgA juga banyak diproduksi pada
appendiks dan merupkan salah satu produksi utama pada appendiks yang berfungsi
pada sistem GALT. IgA dapat menetralisasi bakteri dan virus dan memiliki fungsi
proteksi host. IgA juga dapat mengikat mikrobiota komensial walaupun dengan
afinitas yang
12
rendah. Struktur IgA membuatnya unik di antara imunoglobulin karena tidak
karena itu IgA terdapat di saluran pencernaan, yang kontak langsung dengan
antigen yang tidak berbahaya. IgA mengontrol komposisi mikrobiota, yang diubah
tumbuh dengan stabil. Biofilm merupakan koloni adheren dari bakteri yang tumbuh
dalam matriks ekstrasesuler, dan saat ini dianggap sebagai konstituen normal dari
ini diperantarai oleh aktifnya produksi mucin dan IgA, sehingga penggunaan
flora normal usus. Pada manusia, biofilm paling banyak ditemukan pada appendiks
dan menurun seiring dengan mendekati kolon. Sehingga, apabila usus besar
mengalami diare sebagai salah satu mekanisme defensif melawan patogen, maka
menginokulasi ulang usus besar melalui pelepasan biofilm dan regenerasi, sehingga
et.al., 2018). Menurut penelitian ini, tidak ada organ lain yang bertindak seperti
apendisitis, karena letaknya yang memang sangat mudah terpapar oleh bakteri.
13
2.8 Patofisiologi Apendisitis
baik obstruksi akibat biji-bijian, maupun obstruksi dari parasit, adanya lymphoid
hyperplasia pada anak (karena hiperplasia limfoid terjadi pada dekade pertama usia
anak, menurut Alfred et.al., (1953)). Obstruksi ini dapat terjadi, karena pada
fisiologisnya, appendiks akan mengeluarkan sekresi mukus dan ketika ada benda,
atau parasit yang terjebak di dalamnya, maka akan mengalami peningkatan tekanan
internal lumen yang sangat tinggi, dan menyebabkan peningkatan tekanan pada
akibat penekanannya yang melampaui tekanan kapiler darah (Engin, et.al., 2011).
bakteri yang berlebihan pada lendir yang terinspeksi (Karatepe et.al., 2009), bakteri
inflamasi, edema, dan nekrosis. Manifestasi klinis awal yang akan ditimbulkan yakni
adanya nyeri perut seperti kram yang intermitten, akibat dari penutupan lumen
appendiks. Nyeri dapat berupa parsial atau meluas di daerah pusar dan tidak
terlokalosir, yang dapat disertai mual. Ketika appendiks telah terjadi peradangan,
14
berubah dari nyeri kolik dullness menjadi nyeri konstan yang berat (Engin, et.al.,
2011). Menurut penelitian Roberts (1988), perbandingan antara bakteri normal flora
hasil yang tidak berbeda signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bakteri
normal komensal justru akan menjadi patogen apabila terjadi lingkungan yang tidak
dinding appendiks. Parasit juga bisa membuat hiperplasia limpoid pada appendiks
dan menyebabkan inflamasi sekunder (Altun, et.al., 2017). Kondisi inflamasi ini
terjadi karena adanya reaksi imun tubuh terhadap antigen (Altun, et.al, 2017) tetapi
ada juga yang menyebutkan bahwa inflamasi terjadi akibat penempelan cacing pada
dimulai pada kasus Taeniasis (Altun, et.al.,2017). Parasit melewati dinding usus,
diketahui menjangkau organ- organ seperti hati, paru-paru, otak dan mata melalui
sirkulasi sistemik, cara masuknya pada appendiks masih belum jelas (Altun, et.al,
2017). Parasit yang sering dijumpai pada appendisitis, salah satunya adalah Taenia
ini, yang paling sering terletak di ileum dan sekum, pertama kali ditunjukkan pada
tahun 1988. Tetapi walaupun begitu, menurut penelitian ini, invasi cacing bukan
merupakan salah satu penyebab pasti dari appendisitis (Altun, et.al, 2017).
15
2.9 Manifestasi Klinis
manifestasi klinis pada pasien. Variasi letak apendiks dapat mulai dari letak lokal
tubuh apendiks dan ujungnya terhadap sekum, hingga letak apendiks sebenarnya
dalam rongga peritoneum, seperti di lokasi tipikal yaitu di kuadran kanan bawah,
regio pelvis, flank kanan, kuadran kanan atas seperti pada wanita hamil, dan bahkan
di sisi kiri perut pada kasus malrotasi atau adanya kolon yang berlebihan (Gambar
Manifestasi klinis pada apendisitis akan sedikit berbeda apabila apendiks tidak
terletak di kuadran kanan bawah, terjadi pada wanita usia subur, dan pada usia yang
sangat muda atau sangat lanjut. Manifestasi dan pola nyeri yang atipikal pada
apendisitis sangat umum terjadi pada usia sangat tua atau sangat muda. Hal ini
terjadi karena anak-anak cenderung merespons stimulus nyeri secara dramatis dan
16
riwayat penyakit sekarang dan terdahulu. Selain itu, dari sisi anatomis, omentum
pada anak-anak yang lebih kecil menurunkan fungsi proteksi omentum terhadap
perforasi apendiks. Tanda dan gejala apendisitis pada lansia bisa saja tidak kentara
karena mereka mungkin tidak bereaksi hebat terhadap apendisitis seperti pada orang
yang lebih muda. Tabel di bawah ini menunjukkan frekuensi kejadian dari tanda dan
gejala yang dialami pada kasus apendisitis (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2) (Jameson et al.,
2018).
Tabel 2.1 Frekuensi relatif dari tanda-tanda terjadinya apendisitis (Jameson et al., 2018)
Rigidity 10%
Rovsing’s sign 5%
17
Gejala Frekuensi (%)
Anoreksia >70%
Konstipasi 4-16%
Diare 4-16%
Demam 10-20%
Mual >65%
Muntah 50-75%
mungkin karena apabila gejalanya persisten dan belum membaik selama 48 jam,
Apendisitis harus dimasukkan dalam diagnosis banding nyeri perut dalam kelompok
usia berapapun, kecuali apabila telah dipastikan bahwa organ tersebut telah diangkat
Banyak dari pasien apendisitis mungkin tidak memiliki riwayat penyakit sekarang
yang klasik atau temuan fisik yang seharusnya ditemukan, bahkan beberapa pasien
18
proses penyakit. Sehingga, anamnesis yang tepat perlu dilakukan untuk mendeteksi
dan mengevaluasi gejala pasien yang mungkin mengarah pada diagnosis alternatif
Pada umumnya, keluhan yang muncul terlebih dahulu bersifat tidak spesifik.
mungkin nyeri intermiten, kram, dan nyeri perut pada daerah epigastrik atau
periumbilikal. Nyeri yang dirasakan pada awal perjalanan penyakit bersifat tumpul.
Kemudian terjadi migrasi nyeri ke kuadran kanan bawah dalam waktu lebih dari 12-
24 jam. Nyeri tersebut bersifat lebih tajam dan dapat terlokalisir sebagai peradangan
pada pasien apendisitis, maka ciri khasnya adalah mual tersebut terjadi mengikuti
perkembangan dari keluhan nyeri perut. Hal ini dapat membantu membedakan
apendisitis dengan gastroenteritis, yang mana mual terjadi pertama kali. Emesis juga
dapat terjadi setelah timbulnya nyeri dan biasanya bersifat mild atau ringan. Dengan
demikian, onset dari gejala, karakteristik nyeri, serta setiap keluhan terkait harus
Pada tahun 1986, Alvarado membangun 10- poin sistem penilaian klinis, yang
akut berdasarkan gejala, tanda dan tes diagnostik pada pasien dengan dugaan
19
pemeriksaan yang mahal dan ketersediaan sumber daya untuk melakukan pencitraan
diduga menjadi penyebab mendasar dari suatu acute abdomen, terutama di negara-
negara berkembang dimana pencitraan susah untuk dilakukan (Ohle et al., 2011).
Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum pasien dengan apendisitis sederhana biasanya hanya tampak sakit
ringan dengan denyut nadi dan suhu yang biasanya hanya sedikit lebih tinggi dari
20
proses penyakit apendisitis, yaitu kemungkinan adanya komplikasi seperti perforasi,
phlegmon, atau adanya abses jika suhu tubuh >38,3°C dan terdapat kekakuan
banyak bergerak atau bahkan diam saja saat berbaring karena menghindari rasa nyeri
akibat iritasi pada peritoneum yang disebabkan oleh gerakan. Bahkan dapat ditimbul
menuju rumah sakit atau klinik, batuk, bersin, atau tindakan lain yang serupa dengan
abdomen mulai dari daerah yang tidak dikeluhkan oleh pasien. Pada pemeriksaan
palpasi akan didapatkan tenderness yang maksimal pada kuadran kanan bawah atau
dekat titik McBurney, yaitu di sekitar sepertiga garis mulai dari spina iliaca
anterior superior (SIAS) hingga umbilikus. Adanya tekanan lembut di kuadran kiri
bawah dapat menimbulkan rasa sakit di kuadran kanan bawah jika apendiks benar
terletak di sana. Tanda ini adalah yang dinamakan dengan Rovsing’s sign. Untuk
abdomen yang lembut, menggoyangkan brankar atau tempat tidur pasien, atau
memberikan benturan ringan pada kaki secara perlahan (Jameson et al., 2018).
Selain itu, manuver lain yang dapat dikerjakan adalah Dumphy’s sign, yaitu adanya
nyeri ketika batuk yang sekaligus menandakan letak apendiks berada di retrocecal
21
Manuver Hasil
pelvis
apendisitis retrocecal
Tabel 2.3 Jenis Manuver dan Hasilnya pada Apendisitis (Jameson et al., 2018)
Keterangan: Tanda psoas. Nyeri pada ekstensi pasif paha kanan. Pasien berbaring ke sisi kiri.
Penguji melakukan ekstensi pada paha kanan pasien sambil memberikan tahanan yang
22
Gambar 2.10 Obturator Sign (Snyder, 2018)
Keterangan: Tanda Obturator. Terasa nyeri pada saat dilakukan internal rotasi secara pasif pada
paha yang di fleksi kan. Penguji menggerakan betis ke lateral sambil menahan bagian lateral
Gambar 2.11 Titik lokasi dimana tenderness dapat dirasakan saat apendisitis akut
(Ishikawa, 2003)
23
2.11 Pemeriksaan Penunjang
A. Pemeriksaan Laboratorium
jumlah sel darah putih (WBC), yaitu dengan leukositosis 10.000-18.000 sel / μL.
Pada >95% kasus apendisitis terjadi shift to the left yang berarti terjadi
apendisitis gangren dan perforasi, yaitu apabila kadar leukosit berada di 17.000
memprediksi kejadian apendisitis perforasi. Jumlah sel darah putih dan protein C-
reaktif adalah dua jenis pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk dilakukan
pada pemeriksaan awal apendisitis. Selain itu, tes kehamilan juga penting untuk
B. Pemeriksaan Radiologis
rutin, kecuali jika dicurigai adanya kondisi lain seperti obstruksi usus,
24
mengeluh nyeri bukan berarti diagnosis apendisitis menjadi tegak, melainkan
Ultrasonografi (USG)
adanya cairan bebas. Untuk saat ini, pemeriksaan radiologi yang pertama
CT Scan
Sensitivitas dari CT scan adalah 94% dan spesifisitasnya adalah 95%. Dengan
akut yang tidak disertai kelainan pada peritoneum. Kelainan pada peritoneum
>6 mm dengan penebalan dinding, lumen yang tidak terisi dengan kontras
25
apendiks tanpa kelainan spesifik tidak boleh digunakan untuk mengesamping
al., 2018).
et al., 2018)
Gambar 2 13 Gambaran fekalit appendiceal (panah berwarna putih) (Jameson et al., 2018)
26
Magnetic Resonance Imaging (MRI)
2.10 Tatalaksana
konservatif tunggal yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan terapi operatif, yaitu
40% pada terapi konservatif dan 9% pada terapi operatif (Towsend et al., 2017). Hal
ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saluja et al pada tahun 2018,
lainnya. Hal ini akan memperpanjan durasi rawat inap anak di rumah sakit sehingga
membutuhkan biaya pengobatan yang jauh lebih besar (Saluja et al., 2018).
Penggunaan obat analgesik pada kasus suspek apendisitis masih sering menimbulkan
penegakan diagnosis dan bahkan menutupi tanda rupturnya apendiks. Namun belum
ada data penelitian yang mendukung teori ini. Penggunaan analgesik pada pasien
dalam
27
penegakan apendisitis (Bromberg dan Goldman, 2007, Kang et al., 2015, dan Kyle
et al., 2019).
apendektomi secara terbuka, pasien berbaring dengan posisi supinasi. Insisi dapat
dilakukan pada titik McBurney secara tegak lurus (McBurney-McArthur) atau secara
horizontal (Lanz) atau pada area midline sesuai dengan preferensi dari operator.
Kemudian dilakukan ligasi pada dasar apendiks dan pemisahan apendiks. Puntung
pada caecum kemudian dapat ditutup dengan kauterisasi atau diinversikan dengan
28
Gambar 2.16 Teknik apendektomi terbuka
Keterangan: A. Lokasi insisi pada apendektomi terbuka (kiri) dan pemisahan mesoapendiks
Pada teknik laparoskopi, pasien diposisikan pada posisi berbaring supinasi dan
laparoskop dimasukkan pada area umbilicus dengan insisi yang minimal. Insisi
minimal juga dilakukan pada tempat lain seperti pada kuadran kiri bawah abdomen
29
sebagai tempat masuk alat yang diperlukan dalam operasi. Alat penggenggam
apendiks juga dapat dilakukan dengan bantuan staples endoskopik, dimana teknik ini
lebih disukai karena dapat mengurangi risiko terjadinya kebocoran dari puntung
apendiks yang masih terdapat pada caecum. Kemudian dapat dilakukan irigasi pelvis
dengan laparoskopi membutuhkan durasi operasi yang lebih lama dan biaya operasi
30
apendektomi terbuka. Namun disamping itu, apendektomi dengan teknik laparoskopi
menimbulkan efek nyeri post-operatif yang lebih rendah, durasi rawat inap di rumah
sakit yang lebih singkat, lebih baik dari sisi kosmetik serta pasien dapat lebih cepat
ada, apendektomi terbuka memerlukan durasi operasi 7.6 hingga 18.3 menit lebih
singkat dibandingkan dengan teknik laparoskopi. Selain itu, teknik laparoskopi dapat
menurunkan durasi rawat inap di rumah sakit selama 0.6 hinnga 1.13 hari
prinsip tatalaksana operatif yang sama dengan apendisitis akut tanpa komplikasi.
Namun pada kasus perforasi, pasien memerlukan tindakan resusitasi yang lebih
untuk menangani apendiks yang rapuh dan jaringan periapendiks yang meradang
apabila kondisi pasien dinilai kurang baik untuk dilakukan operasi atau sudah terjadi
selama proses operasi. Tindakan interval apendektomi pada pasien dengan massa
31
Pada pasien dengan phlegmon atau abses yang kecil dapat dilakukan interval
Pada pasien dengan abses yang lebih besar dengan batas yang tegas, perlu
Interval apendektomi dapat dilakukan setelah fistula pada tubuh pasien telah
menutup.
2.11 Prognosis
bergantung pada kondisi klinis setiap penderita dan komplikasi yang terjadi.
admisi, dan pemberian terapi antibiotic maupun operatif. Pada pasien yang telah
2018).
yang sangat rendah, yaitu dibawah 1% (Kasper et al., 2018). Tingkat mortalitas dari
terjadinya komplikasi dari apendisitis pada anak-anak, yaitu (Craig et al., 2018):
32
Usia dibawah 5 tahun
Hiponatremia
Leukositosis
2.12 Komplikasi
komplikasi, seperti obstruksi usus dan perforasi dari apendiks. Perforasi dari
dengan batas tidak), intraabdominal abses, sepsis, dan peritonitis. Sekitar 20% pasien
Allen, 2018). Perforasi apendiks juga dapat menyebabkan peritonitis akibat infeksi
dari organisme pada cairan usus pada rongga peritoneal (Kasper et al., 2018).
Tingkat kejadian perforasi apendiks bervariasi mulai 16% hingga 40%, dimana
frekuensi terbanyak terdapat pada golongan usia muda (40-57%) dan pada golongan
50 tahun (55-70%), dimana pada rentan usia tersebut sering terjadi misdiagnosis dan
Komplikasi juga dapat terjadi pada setelah tindakan apendektomi, dengan rincian
sebagai berikut:
33
Peritonitis sekunder dapat terjadi akibat komplikasi dari apendisitis. Peritonitis
peritoneal setelah terjadi tumpahnya cairan di dalam usus akibat lubang pada usus
seperti pada kasus trauma, tindakan invasif, dan pada kasus ini adalah perforasi
apendiks. Manifestasi klinis dari peritonitis adalah nyeri abdomen akut dan berat
disertai dengan demam. Nyeri abdomen disertai dengan defans muskular yang difus
sebagai bukti terjadinya iritasi dari peritoneum parietal. Pada kasus peritonitis,
pasien biasanya datang dengan kondisi takikardia, hipotensi, dan suara bising usus
dapat menunjukkan gambaran dilatasi usus, edema, dan udara bebas pada kavum
peritoneum. Mortalitas dari apendisitis ini <10% pada pasien dengan kondisi yang
relatif sehat, sementara pada pasien dengan komplikasi, usia tua, dan
meliputi resusitasi cairan dan stabilisasi sirkulasi, koreksi elektrolit, terapi antibiotik
dan terapi operatif untuk menangani penyebab dari peritonitis (Kasper et al., 2018).
34
BAB III
LAPORAN KASUS
Nyeri perut
Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarga pasien
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak tadi pagi setelah bangun tidur.
Mual (+), muntah (+) 2x sejak pagi, disertai demam, pasien belum BAB sejak 2
hari yll, BAK lancar. Karena mual dan muntah membuat nafsu makan pasien
Riwayat Pengobatan
Parasetamol
Nafas : 20 x/menit
Suhu : 37.1ºC
Status Generalis
Telinga : sekret tidak ada, nyeri tekan dan ketok mastoid tidak ada
Abdomen : distensi (-), bising usus normal, nyeri tekan (+) epigastric dan mc
burney, rovsing sign+, psoas sign+ hepar dan lien tidak teraba
+ +
Ekstremitas : akral hangat
+ +
- -
- - Edema
36
Score Alvarado (Mantrels) : 9
Hb 11.9 11-16
SGPT 12 <31
SGOT 19 <31
Urine Lengkap
Sedimen urine
Epitel + + sedikit
38
Hasil Radiologi Pasien
Foto Thorak AP
39
Susp. Apendisitis Akut (Pro Operasi)
3.7 Penatalaksanaan
Non farmakologis :
− KIE mengenai kondisi pasien, hasil penunjang, dan rencana konsul spesialis
bedah
Farmakologis :
BAB IV
40
PEMBAHASAN
Pasien perempuan usia 27 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah
sejak tadi pagi setelah bangun tidur. Mual (+), muntah (+) 2x sejak pagi, disertai demam,
pasien belum BAB sejak 2 hari yll, BAK lancar. Karena mual dan muntah membuat nafsu
makan pasien berkurang. Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan suhu subfebris
(37.1oC) dan pada pemeriksaan fisik didapatkan , nyeri tekan + pada daerah mc burney,
rovsing sign+, psoas sign+. Adanya kondisi pasien seperti ini mengarah ke diagnosis kerja susp.
selanjutnya. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan urine lengkap, dari
darah lengkap didapatkan hasil peningkatan leukosit (15.960) dan neutrophil (75.5%) yang
menandakan kondisi akut shift to the left, pemeriksaan urine lengkap dilakukan untuk
menyingkirkan diagnosis infeksi saluran kemih yang biasanya memiliki gejala hampir mirip.
karena pada pasien tidak ada migrasi nyeri dari umbilicus ke kanan bawah.
41
Rencana tindakan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori
Pada pasien ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti USG
atau imaging lainnya (CT-Scan), karena score Alvarado pasien sudah 9. Tindakan tersebut baru
akan dilakukan jika score Alvarado dibawah <7 atau secara klinis meragukan. Untuk mengetahui
diagnosis pasti apendisitis perlu dilakukan pemeriksaan Histopatologi post op. apendiktomi.
Untuk terapi pre operasi pada pasien hanya bersifat simptomatis saja, pada pasien ini
diberikan ranitidine dan ondansentron untuk mengatasi keluhan mual, muntah, dan lambung
pasien, sementara anti nyeri yang diberikan pada pasien ini adalah parasetamol infus dan pasien
juga diberikan ceftriaxone 1x2 gram sebagai antibiotik profilaksis pre-operasi.
BAB V
KESIMPULAN
42
Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab
akut abdomen yang paling sering dan merupakan kedaruratan bedah. Biasanya timbul dengan
tanda dan gejala klinis yang mendadak. Apendisitis dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih
sering dialami oleh remaja dan dewasa muda. Kasus apendisitis akut memerlukan penanganan
yang tepat serta penegakan diagnosis yang cepat. Keterlambatan diagnosis akan berdampak pada
komplikasi yang akan terjadi, seperti gangrenosa, perforasi bahkan dapat terjadi peritonitis
generalisata. Pada pasien ini sudah dilakukan penanganan dan penegakan diagnosis kerja yang
sesuai.
Penentuan penanganan lanjut pada pasien ini dilakukan berdasarkan score Alvarado,
score yang didapat adalah 9 dan merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan tanpa
pemeriksaan imaging/USG terlebih dahulu. Diagnosis pasti akan tegak setelah dilakukan
DAFTAR PUSTAKA
Agabegi, Steven dan Elizabeth Agabegi. 2020. Step Up to Medicine 5th Edition.
43
China: Wolterz Kluwer
Alfred, Nathans A., Hyman Mereinstein, dan Samuel S. Brown. Lymphoid Hyperplasia
retrospective analysis of 660 patients and brief literature review. Saudi Med J
Balogun, O.S., Osinowo, A., Afolayan, M., Olajide, T., Lawal, A. and Adesanya, A.,
Barlow, Andrew, Mitchel Muhleman, Jerzy Gielecki, Petru Matusz, R. Shane Tubbs, dan
26:833–842
Bromberg, R. and Goldman, R.D., 2007. Does analgesia mask diagnosis of apendisitis
Brunicardi, F.C., Andersen, D.L., Billiar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Kao, L.S.,
Matthews, J.B., Pollock, R.E., 2019. Schwartz’s Principles of Surgery, 11th edn.
Craig, S., Inceu, L. and Taylor, C., 2018. Apendisitis. Medscape, 17, p.773895.
44
Di Saverio, S., Podda, M., De Simone, B., Ceresoli, M., Augustin, G., Gori, A.,
Boermeester, M., Sartelli, M., Coccolini, F., Tarasconi, A. and de’ Angelis, N.,
2020. Diagnosis and treatment of acute apendisitis: 2020 update of the WSES
Engin, Omer, Mehmet Yildirim, Savas Yakan, dan Gulnihal Ay Coskun. Can fruit seeds
and undigested plant residuals cause acute apendisitis. Asian Pac J Trop Biomed.
Gorter, R.R., Eker, H.H., Gorter-Stam, M.A.W. et al. 2016. Diagnosis and management
doi:10.1097/01.jaa.0000516357.34621.aa
doi:10.1136/bmj.38940.664363.AE
Jameson, J., Fauci, A.S., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Loscalzo, J., 2018.
New York.
45
Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. 2020. Apendisitis. [Updated 2020 Apr 28]. In:
Kang, K., Kim, W.J., Kim, K., Jo, Y.H., Rhee, J.E., Lee, J.H., Kim, Y.J., Lee, J.,
Kang, S.B., Kim, D.W. and Lee, K.H., 2015. Effect of pain control in suspected
infestation as cause of acute apendisitis. G Chir . 2009. Vol. 30-n.10 - pp. 426-
428
Kasper, D.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. and Loscalzo, J.,
2018. Harrison's Principles of Internal Medicine, (Vol. 1 & Vol. 2). McGraw
Hill Professional.
Kyle, J.A., Bradley, A.C., Hutson, M.S. 2019. Acute Apendisitis in Adults.
Lee, J.A. The influence of sex and age on apendisitis in children and young adults.
Gut. 1962, 3: 80
Lin, K., Lai, K.R., Yang, N. et al. Epidemiology and socioeconomic features of
42 (2015). https://doi.org/10.1186/s13017-015-0036-3
Longo, Dan L., Anthony S. Fauci. 2013. Harrison's Gastroenterology and Hepatology
Ohle, R., O'Reilly, F., O'Brien, K.K. et al. 2011. The Alvarado score for predicting acute
7015-9-139
46
Perez, K.S. and Allen, S.R., 2018. Complicated apendisitis and considerations for interval
Roberts, J P. Quantitative bacterial flora of acute apendisitis. Arch Dis Child. 1988 May;
63(5): 536–540.
Saluja, S., Sun, T., Mao, J., Steigman, S.A., Oh, P.S., Yeo, H.L., Sedrakyan, A. and
Snyder, M.J., Guthrie, M., Cagle, S. 2018. Acute Apendisitis: Efficient Diagnosis and
www.aafp.org/afp
Tavakkoli, Ali., and Szasz, Peter. 2020. Acute Apendisitis: Epidemiology. BMJ Best
47