Anda di halaman 1dari 52

Laporan Kasus

Apendisitis akut

Oleh:

dr. Sikas Wanda Sukma Cuaca, S.Ked

Dokter Pendamping :

Dr. Ni Ketut Pande Sri Widnyani

DALAM RANGKA MENGIKUTI


PROGRAM INTERNSIP DOKTER INDONESIA (PIDI)
RSUD SANJIWANI GIANYAR
2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat- Nya
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus yang mengambil topik “Apendisitis Akut”.
Laporan ini disusun dalam rangka menjalani Program Internsip Dokter Indonesia (PIDI)
periode 2022 s/d 2023 di RSUD Sanjiwani Gianyar. Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih
kepada berbagai pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan kasus ini kepada dr. Ni
Ketut Pande Sri Widnyani selaku dokter pendamping yang telah memberikan bimbingan kepada
kami dalam penyusunan dan penyempurnaan laporan kasus ini.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu
saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan. Penulis berharap semoga tulisan ini
dapat bermanfaat bagi pembaca.

Gianyar, 27 Desember 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................................................1
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................................1
1.1 Latar Belakang.............................................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................................................3
2.1 Definisi..........................................................................................................................3
2.2 Epidemiologi................................................................................................................3
2.3 Etiologi..........................................................................................................................5
2.4 Faktor Resiko...............................................................................................................5
2.5 Embriologi Apendiks...................................................................................................6
2.6 Anatomi Apendiks.......................................................................................................7
2.7 Fisiologi Apendiks.....................................................................................................11
2.8 Patofisiologi Apendisitis...........................................................................................14
2.9 Manifestasi Klinis.......................................................................................................16
2.10 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik..........................................................................18
2.11 Pemeriksaan Penunjang...........................................................................................24
2.10 Tatalaksana................................................................................................................27
2.11 Prognosis...................................................................................................................32
2.12 Komplikasi..................................................................................................................33
BAB III........................................................................................................................................35
LAPORAN KASUS.....................................................................................................................35
3.1 Identitas Pasien...................................................................................................................35
3.2 Keluhan Utama....................................................................................................................35
3.3 Autoanamnesis dan Heteroanamnesis.............................................................................35
3.4 Pemeriksaan Fisik...............................................................................................................35
3.5 Pemeriksaan Penunjang.....................................................................................................36
3.6 Diagnosis Kerja...................................................................................................................38
3.7 Penatalaksanaan.................................................................................................................38
BAB IV PEMBAHASAN.............................................................................................................40
BAB V KESIMPULAN................................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................................43
ii
ii
i
iv
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendiks adalah

organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran kanan bawah

perut. Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5 dan 45 dengan usia rata-rata 28

tahun. Insidensinya sekitar 233 / 100.000 orang. Laki- laki memiliki kecenderungan

sedikit lebih tinggi untuk mengembangkan apendisitis akut dibandingkan dengan

perempuan, dengan kejadian seumur hidup 8,6% untuk pria dan 6,7% untuk wanita.

Ada sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun di Amerika Serikat untuk

masalah terkait apendisitis (Jones et al, 2020). Apendisitis paling sering muncul

pada pasien usia 10 hingga 29 tahun, dengan insiden tertinggi di antara pasien umur

10 hingga 19 tahun (Hirsch, 2017). Variasi kejadian disebabkan oleh variasi etnis,

jenis kelamin, usia, obesitas, dan musim dalam setahun (Gorter et al., 2016).

Apendisitis disebabkan oleh obstruksi lumen apendiks yang mengarah ke

peningkatan tekanan lumen, vaskular kompromi, invasi bakteri, infl amasi, dan

jaringan nekrosis (Hirsch, 2017). Apendisitis adalah penyakit progresif ireversibel

yang pada akhirnya menyebabkan perforasi, pengangkatan apendiks adalah standar

utama pengobatan (Gorter et al., 2016).

Tanda-tanda dan gejala yang paling baik pada apendisitis akut pada orang dewasa

adalah nyeri kuadran kanan bawah, perut terasa kaku, dan radiasi nyeri periumbilikal

ke kuadran kanan bawah. Pada anak-anak, tidak ada atau berkurangnya bising usus,

psoas sign positif, obturator sign positif, dan Rovsing sign positif paling dapat

diandalkan untuk menentukan apendisitis

1
akut (Snyder et al, 2018). Alvarado skor dapat membantu penegakan diagnosis saat

apendisitis diduga menjadi penyebab mendasar dari suatu acute abdomen, terutama

di negara-negara berkembang dimana pencitraan susah untuk dilakukan. Diagnosis

apendisitis akut pada anak kadang-kadang sulit. Diagnosis yang tepat dibuat hanya

pada 50-70% pasien-pasien pada saat penilaian awal. Angka apendektomi negatif

pada pediatrik berkisar 10- 50%. Riwayat perjalanan penyakit pasien dan

pemeriksaan fisik merupakan hal yang paling penting dalam mendiagnosis

apendisitis (Ohle et al., 2011).

Terapi kausatif yang dipilih dapat berupa medika mentosa dan operatif. Medika

mentosa dengan menggunakan antibiotik dan operatif dengan dilakukan

apendektomi. Beberapa komplikasi yang dapat terjadi adalah abses, peritonitis,

obstruksi usus, masalah kesuburan, dan sepsis. Semua kasus apendisitis memerlukan

tindakan pengangkatan dari appendix yang terinflamasi, baik dengan laparotomy

maupun dengan laparoscopy. Apabila tidak dilakukan tindakan pengobatan, maka

angka kematian akan tinggi, terutama disebabkan karena peritonitis dan shock.

Reginald Fitz pada tahun 1886 adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa

Apendisitis acuta merupakan salah satu penyebab utama terjadinya akut abdomen di

seluruh dunia (Snyder et al, 2018). Bedasarkan latar belakang tersebut, referat ini

akan membahas mengenai cara mendiagnosis dan tatalaksana apendisitis secara

komprehensif.

2
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis. Apendiks adalah

organ berlubang yang terletak di ujung sekum, biasanya di kuadran kanan bawah

perut. Apendiks berkembang secara embrionik pada minggu kelima. Apendisitis

paling sering merupakan penyakit akut yaitu dalam 24 jam, tetapi juga dapat muncul

sebagai kondisi yang lebih kronis. Jika telah terjadi perforasi dengan abses, maka

gejala yang muncul bisa lebih lamban. Fungsi pasti dari apendiks telah menjadi topik

yang diperdebatkan. Saat ini diterima bahwa apendiks mungkin memiliki fungsi

imunoprotektif dan bertindak sebagai organ limfoid, terutama pada orang yang lebih

muda. Teori-teori lain berpendapat bahwa apendiks bertindak sebagai wadah

penyimpanan untuk bakteri kolon yang "baik" (Jones et al, 2020).

2.2 Epidemiologi

Apendisitis paling sering terjadi antara usia 5 dan 45 dengan usia rata-rata

28 tahun. Insidensinya sekitar 233 / 100.000 orang. Laki-laki memiliki

kecenderungan sedikit lebih tinggi untuk mengembangkan apendisitis akut

dibandingkan dengan perempuan, dengan kejadian seumur hidup 8,6% untuk pria

dan 6,7% untuk wanita. Ada sekitar 300.000 kunjungan rumah sakit setiap tahun di

Amerika Serikat untuk masalah terkait apendisitis (Jones et al, 2020). Apendisitis

paling sering muncul pada pasien usia 10 hingga 29 tahun, dengan insiden tertinggi

di antara pasien umur 10 hingga 19 tahun (Hirsch, 2017). Variasi kejadian

disebabkan oleh variasi etnis, jenis kelamin, usia, obesitas, dan musim dalam setahun

(Gorter et al., 2016).

3
Gambar 2.1 Insiden Apendisitis (Lin et al.,2015)

Gambar 2.2 Variasi insiden berdasarkan musim (Lin et al., 2015)

Kasus perforasi apendiks pada apendisitis akut berkisar antara 20- 30% dan

meningkat 32-72% pada usia lebih dari 60 tahun, sedangkan pada anak kurang dari

satu tahun kasus apendisitis jarang ditemukan. Kasus apendisitis terjadi di seluruh

dunia, namun insidensi di negara barat tetap stabil,

4
sedangkan di negara-negara industri terjadi tren peningkatan kasus apendisitis

karena pola makan yang berubah dengan diet rendah serat. Di negara barat, insidensi

appendektomi terus menurun dengan insidensi penyakit apendisitis yang stabil,

namun di negara industri seperti Korea Selatan, Turki, dan negara-negara Amerika

Selatan insidensi cenderung meningkat. Disamping itu, terdapat juga kecenderungan

kejadian pada usia muda (Tavakkoli dan Szasz, 2015).

Temuan penting adalah bahwa keseluruhan insiden apendisitis untuk pasien

penduduk berpenghasilan rendah adalah 34,99% lebih tinggi dari keseluruhan

insiden untuk pasien populasi normal, dan insiden apendisitis berlubang adalah

40,40% lebih tinggi pada penduduk berpenghasilan rendah dibandingkan pada

pasien populasi normal, menunjukkan negatif signifikan efek status sosioekonomi

yang lebih rendah pada kejadian dan manajemen apendisitis (Lin et al., 2015).

2.3 Etiologi

Apendisitis terjadi karena adanya obstruksi dari lumen appendix akibat dari

hiperplasia jaringan limfoid (60% kasus), yang biasanya sering terjadi pada anak dan

remaja; adanya fecalith dan fecal stasis (35% kasus) yang biasa terjadi pada orang

dewasa; adanya neoplasma (pada usia > 50 tahun), dan adanya infestasi dari parasit

(Longo dan Anthony, 2013).

2.4 Faktor Resiko

1. Orang berusia antara 15-30 tahun.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Humes (2006), appendisitis banyak

terjadi pada orang berusia antara 10-20 tahun. Menurut penelitian terdahulu,

mengenai appendisitis pada anak, ditemukan juga bahwa risiko

5
appendisitis semakin meningkat pada kondisi remaja, khususnya pada usia 10-12

tahun, yang dikarenakan akibta hiperlplasia dari limfoid. Akan tetapi secara

umum, memang peningkatan tertinggi berada pada rentang usia 15- 30 tahun,

dikarenakan fecalith merupakan salah satu penyebab utama yang paling sering

dari apendisitis (Ramdas, et.al, 2015). Menurut penelitian Ramdas ini pula, pasien

appendisitis yang disebabkan fecalith ada di usia 21-30 tahun, dibandingkan

kelompok usia lainnya.

2. Laki-laki lebih meningkat risikonya dibandingkan wanita

Menurut penelitian dari Humes (2006), laki-laki akan meningkatkan risiko

sebesar 1,4:1 dibandingkan dengan perempuan usia dewasa. Menurut penelitian

dari Altun et.al. (2017), prevalensi laki-laki juga meningkat yang terkena

appendisitis, yakni sebanyak 428 orang, atau berkisar 64,8% dibandingkan

dengan perempuan 232 orang, atau berkisar 35,2%. Menurut Altun et.al. (2017),

prevalensi anak remaja yang mengalami appendisitis adalah berkisar 3:2, yang

mana remaja laki-laki lebih sering dan meningkat prevalensinya dibandingkan

wanita.

3. Adanya keluarga yang mengalami apendisitis sebelumnya

2.5 Embriologi Apendiks

Midgut embrionik memunculkan empat struktur, yaitu usus halus yang

terletak dibawah duodenum, sekum dan apendiks, kolon asendens, dan proximal dari

dua pertiga colon transversal. Pada minggu ke 6 perkembangan, usus embrionik

dimunculkan oleh arteri mesenterika superior yang membentuk loop midgut. Tunas

cecal berkembang dari caudal limb loop. Sementara pertumbuhan tunas cecal terus

bertambah hingga mengimbangi pertumbuhan usus besar, bagian bawah dari

sekum tertinggal. Akibat

6
perkembangan ini, ukuran ceccum menjadi semakin besar, tetapi bagian bawah

ceccum justru tidak berkembang seperti sekum atasnya, sehingga terbentuklah

sekum yang lebih kecil, membentuk appendiks. Appendiks tumbuh dengan cepat dan

terlihat selama minggu ke 8 kehamilan. Awalnya, proyeksi appendiks berada pada

bagian apex sekum. Akibat dari haustrum kanan dari sekum yang bertumbuh,

appendiks menjadi berpindah ke atas dan medial. Pada minggu kedua belas,

penampang lumen melingkar menjadi lobus. Jaringan limfatik mulai berkembang

pada appendiks selama minggu ke empat belas perkembangan. Nodus limfatik

muncul pada bulan ke-4 dan ke- 5 dan terus tumbuh dari postpartum hingga pubertas

(Barlow, et.al., 2013).

Gambar 2.3 Proses embriologi dari apendiks (Barlow et al., 2013)

2.6 Anatomi Apendiks

Apendiks adalah kantong kecil berongga yang terletak di dinding posteromedial

sekitar 1,7 cm di bawah katup ileocecal. Panjang rata-rata Appendiks adalah sekitar

8,21 cm. Appendiks terletak di anterior iliopsoas dan

7
pleksus lumbar dan sebelah posterior dari omentum mayor. Apendiks menggantung

dari terminal ileum oleh lipatan segitiga mesenterium yang disebut mesoappendix,

yang juga menghubungkan ke sekum. Mesoappendix lebih pendek dari apendiks

dan, oleh karena itu, memberikan apendiks tampilan yang berbeda, yakni tampak

melengkung. Biasanya lumen dari appendiks distal sedikit tersumbat, sedangkan

ujung proksimal membuka ke sekum sekitar 2,5 cm di bawah katup ileocecal.

Sebuah lipatan membran bermukus, atau katup Glach, berada pada bagian appendiks

yang sedikit tersumbat. Arteri appendicular menyediakan pasokan darah ke

appendiks. Dalam satu penelitian, pembuluh darah ini ditemukan dari ileocolic, cecal

posterior, cecal anterior, cabang medial dari ileocolic, dan arteri ileal (Barlow, et.al.,

2013). Studi yang lain ini juga menemukan bahwa arteri appendicular berasal dari

persatuan dari arteri ileocolic dan cabang dari arteri ileal dan dari arteri ileocolic di

loop terminal. Sedangkan aliran venanya, berasal dari vena appendicular, yang

bergabung dengan vena cecal menjadi vena ileocolic. Vena ini kemudian mengalir

ke vena mesenterika superior; karenanya, infeksi dari apendiks dapat dibawa

langsung ke hepar melalui vena portal hepatik (Barlow, et.al., 2013). Limfatik dari

sekum dan apendiks mengalir dari kelenjar getah bening mesoappendix dan

mengikuti arteri ileocolic untuk mencapai kelenjar getah bening mesenterika

superior (Barlow, et.al., 2013). Persarafan simpatis pada apendiks berasal dari

ganglia mesenterika superior dan ganglia celiaca. Persarafan parasimpatis berasal

dari saraf vagus. Saraf sensorik aferen mengikuti simpatik saraf untuk memasuki

sumsum tulang belakang di tingkat T10 (Barlow, et.al., 2013).

8
Gambar 2.4 Persarafan apendiks (Barlow et al., 2013)

Gambar 2.5 Anatomi apendiks dan pembuluh darahnya (Barlow et al., 2013)

Apendiks biasanya terletak di kuadran kanan bawah perut. Lokasi tambahan

apendiks termasuk kuadran kiri atas, paramidline anterior kiri, dan posisi garis

tengah bawah. Apendiks juga terdapat dalam beberapa orientasi lain seperti

mengarah ke panggul, mengarah ke otot psoas dan menggantung

9
di pinggiran panggul; subcecal, terletak lebih rendah dari sekum pada fossa iliaka;

post-ileal, posterior ke ileum; dan pre-ileal, anterior ke ileum. Selain itu, perubahan

sekum karena postur, pernapasan, tonus otot perut, dan tingkat distensi usus yang

berdekatan juga mempengaruhi posisi appendiks di rongga perut. Sebuah penelitian

lain pada Barlow, et.al., 2013 juga melaporkan sebuah kasus di mana apendiks

terletak di thorax terkait dengan malrotasi usus dan cacat diafragma (Barlow, et.al.,

2013).

Pada kasus appendisitis, beberapa lokasi appendiks sering menimbulkan gejala

yang berbeda pada pasien. Lokasi ini meliputi (Humes, 2006):

1. Retrocaecal / retrocolic (75%)

Nyeri pinggang kanan sering timbul dengan pada pemeriksaan. Kekakuan otot

dan nyeri tekan pada palpasi dalam sering tidak ada karena perlindungan dari

caecum di atasnya. Otot psoas dapat teriritasi pada posisi ini, yang

menyebabkan fleksi pinggul dan memperburuk nyeri pada ekstensi pinggul

(tanda psoas stretch)

2. Subcaekal dan panggul (20%)

Nyeri suprapubik dan frekuensi buang air kecil mungkin mendominasi. Diare

dapat terjadi sebagai akibat iritasi rektum. Nyeri perut mungkin kurang, tetapi

nyeri dubur atau vagina mungkin ada di sebelah kanan. Hematuria dan leukosit

mikroskopis dapat ditemukan pada analisis urin

3. Pra-ileal dan post-ileal (5%)

Tanda dan gejala mungkin kurang. Muntah mungkin lebih menonjol, dan diare

dapat terjadi akibat iritasi ileum distal

10
Gambar 2.6 Letak Appendiks (Barlow et al, 2013)

2.7 Fisiologi Apendiks

Appendiks merupakan salah satu organ yang berasal dari caecum. Pada awalnya,

terdapat beberapa teori yang mengatakan bahwa appendiks melakukan evolusi pada

masing-masing makhluk hidup yang mengakibatkan perubahan bentuk dan fungsi

akibat dari berbagai tipe makanan yang dikonsumsi. Akan tetapi teori ini dibantah,

dan saat ini diketahui bahwa appendiks memiliki peran yang besar terhadap proses

imun tubuh, dikarenakan appendiks mengandung berbagai jaringan limfoid yang

sangat banyak. Pada beberapa spesies hewan lain, appendiks ini berfungsi sebagai

unit fermentasi makanannya, dikarenakan terdapat mikrobiota yang terdapat didalam

appendiks. Lebih lanjut mengenai appendiks akan segera dijelaskan di bawah ini.

1. Perkembangan jaringan limfoid appendiks

11
Appendiks terdiri dari 3 lapisan dinding utama dengan urutan dari dalam keluar

yakni: mukosa, submukosa, muskularis eksterna, serosa. Appendiks terdiri atas

jaringan limfoid dengan struktur seperti limfonodi, dengan di dalam folikulernya

terdapat sel B dan sel T. Pada awalnya, limfoid appendiks akan berkembang pada 2

minggu setelah kelahiran pada manusia, dan semakin berkembang pesat pada usia 1

tahun. Saat dewasa, area germinal center akan atrofi dan semakin mengecil seiring

bertambahnya tahun. Perkembangan jaringan limfoid pada appendiks menyerupai

pada perkembangan kelenjar getah bening dan Payer Patch pada umumnya.

Perkembangan folikel limfoid pada appendiks dipengaruhi juga oleh payer patch

dan faktor sel inducer. Tidak hanya substansi ini saja yang berperan, tetapi faktor

flora komensalisme juga berguna dalam pengembangan stuktur limfoid yang ada di

appendiks. Selama perkembangan manusia, translokasi bakteri terjadi pada

appendiks dan sejajar dengan perkembangan jaringan limfoid appendiks (Girard-

Madoux, et.al., 2018). Akibat dari adanya bantuan dari flora intestinal, igM, igA,

dan sel B yang terdapat pada appendiks semakin berkembang (Girard-Madoux,

et.al., 2018).

2. Struktur appendiks

Bagian mukosa appendiks dari dalam keluar terdiri atas epitel, lamina propria, dan

muskularis mukosa. Pada epitelium banyak mengandung sel enterosit, sel goblet,

dan intraepitelial limfosit yang paling banyak adalah sel T regulator CD8. Pada sel

epitel juga terdapat sel M, sel B, dan sel T. IgA juga banyak diproduksi pada

appendiks dan merupkan salah satu produksi utama pada appendiks yang berfungsi

pada sistem GALT. IgA dapat menetralisasi bakteri dan virus dan memiliki fungsi

proteksi host. IgA juga dapat mengikat mikrobiota komensial walaupun dengan

afinitas yang

12
rendah. Struktur IgA membuatnya unik di antara imunoglobulin karena tidak

mengaktifkan jalur komplemen untuk mencegah potensi fenomena inflamasi. Oleh

karena itu IgA terdapat di saluran pencernaan, yang kontak langsung dengan

antigen yang tidak berbahaya. IgA mengontrol komposisi mikrobiota, yang diubah

dengan tidak adanya produksi IgA (Girard-Madoux, et.al., 2018).

3. Apendiks sebagai Tempat Penampung Biota

Appendiks sangat kaya akan biofilm, sehingga memungkinkan bakteri untuk

tumbuh dengan stabil. Biofilm merupakan koloni adheren dari bakteri yang tumbuh

dalam matriks ekstrasesuler, dan saat ini dianggap sebagai konstituen normal dari

flora usus. Biofilm ini bertujuan untuk mempertahankan mikrobiota untuk

kekebalan individu. Menurut Girard- Madoux, et.al. (2018), pertumbuhan biofilm

ini diperantarai oleh aktifnya produksi mucin dan IgA, sehingga penggunaan

biofilm ini dapat mempermudah eksklusi patogen dan mempertahankan bakteri

flora normal usus. Pada manusia, biofilm paling banyak ditemukan pada appendiks

dan menurun seiring dengan mendekati kolon. Sehingga, apabila usus besar

mengalami diare sebagai salah satu mekanisme defensif melawan patogen, maka

appendiks akan menjadi reservoir organisme komensal yang mampu

menginokulasi ulang usus besar melalui pelepasan biofilm dan regenerasi, sehingga

appendiks dapat mengembalikan organisme komensal yang sehat (Girard-Madoux,

et.al., 2018). Menurut penelitian ini, tidak ada organ lain yang bertindak seperti

apendisitis, karena letaknya yang memang sangat mudah terpapar oleh bakteri.

13
2.8 Patofisiologi Apendisitis

Penyebab spesifik dari appendisitis masih belum diketahui, tetapi beberapa

penelitian menyebutkan bahwa apendisitis dapat disebabkan oleh adanya obstruksi,

baik obstruksi akibat biji-bijian, maupun obstruksi dari parasit, adanya lymphoid

hyperplasia pada anak (karena hiperplasia limfoid terjadi pada dekade pertama usia

anak, menurut Alfred et.al., (1953)). Obstruksi ini dapat terjadi, karena pada

fisiologisnya, appendiks akan mengeluarkan sekresi mukus dan ketika ada benda,

atau parasit yang terjebak di dalamnya, maka akan mengalami peningkatan tekanan

internal lumen yang sangat tinggi, dan menyebabkan peningkatan tekanan pada

dinding appendiks, sehingga lama kelamaan dapat menimbulkan iskemia mukosa

akibat penekanannya yang melampaui tekanan kapiler darah (Engin, et.al., 2011).

Ketika tekanan luminal meningkat, iskemia mukosa berkembang. Dengan kongesti

vaskular, mukosa appendiks menjadi hipoksia dan mulai mengalami ulserasi,

mengakibatkan obstruksi mukosa dan menyebabkan invasi dinding appendiks oleh

bakteri intraluminal. Selanjutnya, stasis isi intraluminal menyebabkan pertumbuhan

bakteri yang berlebihan pada lendir yang terinspeksi (Karatepe et.al., 2009), bakteri

akan ber-reproduksi dan bertranslokasi pada internal lumen appendiks, dan

menempel pada hampir keseluruhan dinding appendiks, yang dapat mengakibatkan

inflamasi, edema, dan nekrosis. Manifestasi klinis awal yang akan ditimbulkan yakni

adanya nyeri perut seperti kram yang intermitten, akibat dari penutupan lumen

appendiks. Nyeri dapat berupa parsial atau meluas di daerah pusar dan tidak

terlokalosir, yang dapat disertai mual. Ketika appendiks telah terjadi peradangan,

maka dapat menginduksi terjadinya pyogenesis dalam peritoneum kuadran kanan

bawah. Pada peradangan ini pula, nyeri akan

14
berubah dari nyeri kolik dullness menjadi nyeri konstan yang berat (Engin, et.al.,

2011). Menurut penelitian Roberts (1988), perbandingan antara bakteri normal flora

yang menyebabkan appendisitis dibandingkan dengan bakteri patogen membuahkan

hasil yang tidak berbeda signifikan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa bakteri

normal komensal justru akan menjadi patogen apabila terjadi lingkungan yang tidak

mendukung (Agabegi dan Elizabeth, 2020).

Sedangkan pengaruh parasit ternyata tidak hanya menyebabkan obstruksi pada

dinding appendiks. Parasit juga bisa membuat hiperplasia limpoid pada appendiks

dan menyebabkan inflamasi sekunder (Altun, et.al., 2017). Kondisi inflamasi ini

terjadi karena adanya reaksi imun tubuh terhadap antigen (Altun, et.al, 2017) tetapi

ada juga yang menyebutkan bahwa inflamasi terjadi akibat penempelan cacing pada

dinding appendiks, kemudian melakukan pengisapan dengan scolex, dan infeksi

dimulai pada kasus Taeniasis (Altun, et.al.,2017). Parasit melewati dinding usus,

memasuki venula, dan kemudian bergerak ke sirkulasi sistemik. Meskipun Taenia

diketahui menjangkau organ- organ seperti hati, paru-paru, otak dan mata melalui

sirkulasi sistemik, cara masuknya pada appendiks masih belum jelas (Altun, et.al,

2017). Parasit yang sering dijumpai pada appendisitis, salah satunya adalah Taenia

saginata dan Enterobius vermicularis, karena hubungan apendisitis dengan parasit

ini, yang paling sering terletak di ileum dan sekum, pertama kali ditunjukkan pada

tahun 1988. Tetapi walaupun begitu, menurut penelitian ini, invasi cacing bukan

merupakan salah satu penyebab pasti dari appendisitis (Altun, et.al, 2017).

Hiperplasia limfoid dapat menyebabkan apendisitis, dikarenakan hiperplasia limfoid

menyebabkan pembesaran dari lapisan muskularis, sehingga lama- kelamaan lumen

akan menyempit yang dapat mengalami iskemia dan

appendisitis (Alfred et.al., 1953).

15
2.9 Manifestasi Klinis

Lokasi anatomis apendiks yang bervariasi dapat secara langsung mempengaruhi

manifestasi klinis pada pasien. Variasi letak apendiks dapat mulai dari letak lokal

tubuh apendiks dan ujungnya terhadap sekum, hingga letak apendiks sebenarnya

dalam rongga peritoneum, seperti di lokasi tipikal yaitu di kuadran kanan bawah,

regio pelvis, flank kanan, kuadran kanan atas seperti pada wanita hamil, dan bahkan

di sisi kiri perut pada kasus malrotasi atau adanya kolon yang berlebihan (Gambar

2.1) (Jameson et al., 2018).

Gambar 2.7 Variasi letak anatomis apendiks (Jameson et al., 2018)

Manifestasi klinis pada apendisitis akan sedikit berbeda apabila apendiks tidak

terletak di kuadran kanan bawah, terjadi pada wanita usia subur, dan pada usia yang

sangat muda atau sangat lanjut. Manifestasi dan pola nyeri yang atipikal pada

apendisitis sangat umum terjadi pada usia sangat tua atau sangat muda. Hal ini

terjadi karena anak-anak cenderung merespons stimulus nyeri secara dramatis dan

berlebihan, serta sangat sulit untuk menanyakan

16
riwayat penyakit sekarang dan terdahulu. Selain itu, dari sisi anatomis, omentum

pada anak-anak yang lebih kecil menurunkan fungsi proteksi omentum terhadap

perforasi apendiks. Tanda dan gejala apendisitis pada lansia bisa saja tidak kentara

karena mereka mungkin tidak bereaksi hebat terhadap apendisitis seperti pada orang

yang lebih muda. Tabel di bawah ini menunjukkan frekuensi kejadian dari tanda dan

gejala yang dialami pada kasus apendisitis (Tabel 2.1 dan Tabel 2.2) (Jameson et al.,

2018).

Tabel 2.1 Frekuensi relatif dari tanda-tanda terjadinya apendisitis (Jameson et al., 2018)

Tanda Frekuensi (%)

Abdominal tenderness >95%

Right lower quadrant tenderness >90%

Rebound tenderness 30-70%

Rectal tenderness 30-40%

Cervical motion tenderness 30%

Rigidity 10%

Psoas sign 3-5%

Obturator sign 5-10%

Rovsing’s sign 5%

Palpable mass <5%

Tabel 2.2 Frekuensi relatif dari gejala terjadinya apendisitis

(Jameson et al., 2018)

17
Gejala Frekuensi (%)

Nyeri abdomen >95%

Anoreksia >70%

Konstipasi 4-16%

Diare 4-16%

Demam 10-20%

Migrasi nyeri ke right lower quadrant 50-60%

Mual >65%

Muntah 50-75%

Penting untuk mengidentifikasi pasien yang diduga menderita apendisitis sedini

mungkin karena apabila gejalanya persisten dan belum membaik selama 48 jam,

maka kecenderungan mengalami perforasi atau komplikasi lainnya akan meningkat.

Apendisitis harus dimasukkan dalam diagnosis banding nyeri perut dalam kelompok

usia berapapun, kecuali apabila telah dipastikan bahwa organ tersebut telah diangkat

sebelumnya (Jameson et al., 2018).

2.10 Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik

Banyak dari pasien apendisitis mungkin tidak memiliki riwayat penyakit sekarang

yang klasik atau temuan fisik yang seharusnya ditemukan, bahkan beberapa pasien

mungkin tidak mengalami abdominal discomfort pada awal

18
proses penyakit. Sehingga, anamnesis yang tepat perlu dilakukan untuk mendeteksi

dan mengevaluasi gejala pasien yang mungkin mengarah pada diagnosis alternatif

(Jameson et al., 2018).

Pada umumnya, keluhan yang muncul terlebih dahulu bersifat tidak spesifik.

Pasien awalnya mengeluhkan perubahan kebiasaan buang air besar, malaise,

mungkin nyeri intermiten, kram, dan nyeri perut pada daerah epigastrik atau

periumbilikal. Nyeri yang dirasakan pada awal perjalanan penyakit bersifat tumpul.

Kemudian terjadi migrasi nyeri ke kuadran kanan bawah dalam waktu lebih dari 12-

24 jam. Nyeri tersebut bersifat lebih tajam dan dapat terlokalisir sebagai peradangan

transmural ketika apendiks mengiritasi peritoneum parietal. Apabila terdapat mual

pada pasien apendisitis, maka ciri khasnya adalah mual tersebut terjadi mengikuti

perkembangan dari keluhan nyeri perut. Hal ini dapat membantu membedakan

apendisitis dengan gastroenteritis, yang mana mual terjadi pertama kali. Emesis juga

dapat terjadi setelah timbulnya nyeri dan biasanya bersifat mild atau ringan. Dengan

demikian, onset dari gejala, karakteristik nyeri, serta setiap keluhan terkait harus

dinilai secara teliti dan tepat (Jameson et al., 2018).

Pada tahun 1986, Alvarado membangun 10- poin sistem penilaian klinis, yang

juga dikenal dengan akronim MANTREL digunakan untuk mendiagnosis apendisitis

akut berdasarkan gejala, tanda dan tes diagnostik pada pasien dengan dugaan

apendisitis akut. Skor Alvarado memungkinkan stratifikasi resiko pada pasien

dengan klinis nyeri perut, menentukan probabilitas terjadinya apendisitis yang

kemudian direkomendasikan untuk dipulangkan, observasi atau dilakukan intervensi

pembedahan.. Investigasi lebih lanjut, seperti USG dan CT Scan disarankan

apabila kemungkinan terjadinya

apendisitis berada dalam kisaran sedang Namun, jeda waktu, biaya

19
pemeriksaan yang mahal dan ketersediaan sumber daya untuk melakukan pencitraan

membuat Alvarado skor dapat membantu penegakan diagnosis saat apendisitis

diduga menjadi penyebab mendasar dari suatu acute abdomen, terutama di negara-

negara berkembang dimana pencitraan susah untuk dilakukan (Ohle et al., 2011).

Gambar 2.8 Alvarado score (Ohle et al., 2011)

Pemeriksaan Fisik

Keadaan umum pasien dengan apendisitis sederhana biasanya hanya tampak sakit

ringan dengan denyut nadi dan suhu yang biasanya hanya sedikit lebih tinggi dari

normal. Pada pemeriksan fisik harus memperhatikan

20
proses penyakit apendisitis, yaitu kemungkinan adanya komplikasi seperti perforasi,

phlegmon, atau adanya abses jika suhu tubuh >38,3°C dan terdapat kekakuan

(Jameson et al., 2018).

Pada pasien dengan apendisitis akan ditemukan kecenderungan untuk tidak

banyak bergerak atau bahkan diam saja saat berbaring karena menghindari rasa nyeri

akibat iritasi pada peritoneum yang disebabkan oleh gerakan. Bahkan dapat ditimbul

ketidaknyamanan yang disebabkan oleh goncangan selama perjalanan di mobil

menuju rumah sakit atau klinik, batuk, bersin, atau tindakan lain yang serupa dengan

manuver valsava. Pemeriksaan fisik secara sistematis mencakup seluruh bagian

abdomen mulai dari daerah yang tidak dikeluhkan oleh pasien. Pada pemeriksaan

palpasi akan didapatkan tenderness yang maksimal pada kuadran kanan bawah atau

dekat titik McBurney, yaitu di sekitar sepertiga garis mulai dari spina iliaca

anterior superior (SIAS) hingga umbilikus. Adanya tekanan lembut di kuadran kiri

bawah dapat menimbulkan rasa sakit di kuadran kanan bawah jika apendiks benar

terletak di sana. Tanda ini adalah yang dinamakan dengan Rovsing’s sign. Untuk

memastikan adanya iritasi peritoneum parietal, idealnya adalah dengan perkusi

abdomen yang lembut, menggoyangkan brankar atau tempat tidur pasien, atau

memberikan benturan ringan pada kaki secara perlahan (Jameson et al., 2018).

Selain itu, manuver lain yang dapat dikerjakan adalah Dumphy’s sign, yaitu adanya

nyeri ketika batuk yang sekaligus menandakan letak apendiks berada di retrocecal

(Brunicardi et al., 2019).

21
Manuver Hasil

Rovsing’s Palpasi pada kuadran kiri bawah menyebabkan nyeri pada

sign kuadran kanan bawah

Obturator sign Rotasi ke dalam pada panggul menyebabkan nyeri, sehingga

letak apendiks yang mengalami inflamasi dicurigai berada di regio

pelvis

Iliopsoas sign Ekstensi panggul kanan menyebabkan nyeri sepanjang punggung

dan panggul sisi posterolateral, sehingga dicurigai terjadi

apendisitis retrocecal

Tabel 2.3 Jenis Manuver dan Hasilnya pada Apendisitis (Jameson et al., 2018)

Gambar 2.9 Psoas sign (Snyder, 2018)

Keterangan: Tanda psoas. Nyeri pada ekstensi pasif paha kanan. Pasien berbaring ke sisi kiri.

Penguji melakukan ekstensi pada paha kanan pasien sambil memberikan tahanan yang

berlawanan arah di pinggul (tanda bintang).

22
Gambar 2.10 Obturator Sign (Snyder, 2018)

Keterangan: Tanda Obturator. Terasa nyeri pada saat dilakukan internal rotasi secara pasif pada

paha yang di fleksi kan. Penguji menggerakan betis ke lateral sambil menahan bagian lateral

dari lutut (tanda bintang) sehingga terjadi rotasi internal.

Gambar 2.11 Titik lokasi dimana tenderness dapat dirasakan saat apendisitis akut

(Ishikawa, 2003)

23
2.11 Pemeriksaan Penunjang

A. Pemeriksaan Laboratorium

Sebanyak 70% pasien dengan apendisitis sederhana mengalami peningkatan

jumlah sel darah putih (WBC), yaitu dengan leukositosis 10.000-18.000 sel / μL.

Pada >95% kasus apendisitis terjadi shift to the left yang berarti terjadi

peningkatan leukosit polimorfonuklear imatur (Jameson et al., 2018).

Leukositosis yang semakin tinggi cenderung berkaitan dengan kejadian

apendisitis gangren dan perforasi, yaitu apabila kadar leukosit berada di 17.000

sel/mm3. Protein C-reaktif, bilirubin, interleukin-6, dan prokalsitonin dapat

membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, khususnya dalam

memprediksi kejadian apendisitis perforasi. Jumlah sel darah putih dan protein C-

reaktif adalah dua jenis pemeriksaan laboratorium yang tepat untuk dilakukan

pada pemeriksaan awal apendisitis. Selain itu, tes kehamilan juga penting untuk

dilakukan pada wanita usia subur. Pemeriksaan urinalisis berperan dalam

menyingkirkan diagnosis banding terkait gangguan pada genitourinaria, seperti

nefrolitiasis atau pielonefritis (Brunicardi et al., 2019).

B. Pemeriksaan Radiologis

 Foto Polos Abdomen

Foto polos abdomen jarang sekali membantu menegakkan diagnosis

apendisitis, sehingga tidak dianjurkan untuk dilakukan sebagai pemeriksaan

rutin, kecuali jika dicurigai adanya kondisi lain seperti obstruksi usus,

perforasi viskus, atau ureterolitiasis. Hanya kurang dari 5% kasus apendisitis

akan memberikan gambaran opaque pada fekalit di kuadran kanan bawah.

Ditemukannya fekalit di tempat pasien

24
mengeluh nyeri bukan berarti diagnosis apendisitis menjadi tegak, melainkan

berkaitan dengan kemungkinan terjadinya komplikasi yang lebih besar

(Jameson et al., 2018).

 Ultrasonografi (USG)

Efektivitas USG sebagai alat untuk mendiagnosis apendisitis sangat

tergantung pada operator. USG intravaginal paling berguna untuk

mengidentifikasi patologi panggul pada wanita. Hasil USG pada apendisitis

adalah ditemukannya penebalan dinding, peningkatan diameter apendiks, dan

adanya cairan bebas. Untuk saat ini, pemeriksaan radiologi yang pertama

dilakukan adalah USG dan dapat dilanjutkan ke pencitraan lain apabila

temuan USG tidak jelas (Jameson et al., 2018).

 CT Scan

Sensitivitas dari CT scan adalah 94% dan spesifisitasnya adalah 95%. Dengan

demikian, CT scan merupakan modalitas yang dapat membantu menegakkan

diagnosis apabila dengan pemeriksaan radiologis lain tidak ditemukan

gambaran apendisitis yang khas. Apabila diagnosis apendisitis masih belum

tegak, penundaan operasi demi melakukan CT scan tidak meningkatkan risiko

terjadinya perforasi. CT scan mampu menilai tingkat keparahan apendisitis

akut yang tidak disertai kelainan pada peritoneum. Kelainan pada peritoneum

tersebut dapat mengarah ke perforasi, abses, atau curiga keganasan. Gambaran

apendisitis pada pemeriksaan CT scan adalah adanya dilatasi apendiks

>6 mm dengan penebalan dinding, lumen yang tidak terisi dengan kontras

enterik, dan adanya udara di sekitar apendiks yang menunjukkan peradangan

(Gambar 2.2). Di sisi lain, gambaran

25
apendiks tanpa kelainan spesifik tidak boleh digunakan untuk mengesamping

kan adanya inflamasi pada appendiceal atau periappendiceal (Jameson et

al., 2018).

Gambar 2.12 CT scan dengan kontras pada apendisitis akut.

Keterangan: Gambaran penebalan dinding apendiks (panah berwarna putih) (Jameson

et al., 2018)

Gambar 2 13 Gambaran fekalit appendiceal (panah berwarna putih) (Jameson et al., 2018)

26
 Magnetic Resonance Imaging (MRI)

MRI abdomen adalah pemeriksaan yang mahal dan membutuhkan keahlian

khusus untuk melakukannya dan menginterpretasi hasilnya. Pemeriksaan ini

biasanya direkomendasikan pada pasien yang beresiko tinggi terhadap radiasi

pengion, yaitu wanita hamil dan anak-anak (Brunicardi et al., 2019).

2.10 Tatalaksana

Terapi konservatif tunggal dengan menggunakan antibiotik saja sudah tidak

direkomendasikan. Hal ini berkaitan dengan adanya kemungkinan kegagalan terapi

konservatif tunggal yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan terapi operatif, yaitu

40% pada terapi konservatif dan 9% pada terapi operatif (Towsend et al., 2017). Hal

ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Saluja et al pada tahun 2018,

dimana 1132 pasien anak yang mengalami keterlambatan apendektomi memiliki

kecenderungan untuk terkena minimal 1 komplikasi dari apendisitis seperti

peritonitis, abses intraabdominal, gangguan berkemih, dan komplikasi iatrogenik

lainnya. Hal ini akan memperpanjan durasi rawat inap anak di rumah sakit sehingga

membutuhkan biaya pengobatan yang jauh lebih besar (Saluja et al., 2018).

Penggunaan obat analgesik pada kasus suspek apendisitis masih sering menimbulkan

kontroversi. Penggunaan analgesik tidak dianjurkan untuk diberikan pada pasien

sebelum ahli bedah melakukan pemeriksaan pada pasien dikarenakan dapat

menutupi tanda inflamasi peritoneal sehingga menyebabkan keterlambatan dalam

penegakan diagnosis dan bahkan menutupi tanda rupturnya apendiks. Namun belum

ada data penelitian yang mendukung teori ini. Penggunaan analgesik pada pasien

dengan kecurigaan apendisitis tidak mempengaruhi performa tenaga kesehatan

dalam

27
penegakan apendisitis (Bromberg dan Goldman, 2007, Kang et al., 2015, dan Kyle

et al., 2019).

Standar emas terapi pada kasus apendisitis adalah apendektomi, dimana

apendektomi dapat dilakukan secara terbuka atau dengan laparoskopi. Pada

apendektomi secara terbuka, pasien berbaring dengan posisi supinasi. Insisi dapat

dilakukan pada titik McBurney secara tegak lurus (McBurney-McArthur) atau secara

horizontal (Lanz) atau pada area midline sesuai dengan preferensi dari operator.

Caecum kemudian ditarik pada bagian taenianya untuk kemudian memberikan

visualisasi dari dasar apendiks. Mesoapendiks kemudian dipisahkan dari apediks.

Kemudian dilakukan ligasi pada dasar apendiks dan pemisahan apendiks. Puntung

dari apendiks yang terdapat

pada caecum kemudian dapat ditutup dengan kauterisasi atau diinversikan dengan

penjahitan bentuk Z. Abdomen kemudian dapat diirigasi dan penutupan luka

operasi dapat dilakukan (Townsend et al., 2017).

28
Gambar 2.16 Teknik apendektomi terbuka

Keterangan: A. Lokasi insisi pada apendektomi terbuka (kiri) dan pemisahan mesoapendiks

(kanan). B. Ligasi dan pemisahan dari apendiks. C. Penjahitan bentuk Z.

D. Inversi dari puntung apendiks (Townsend et al., 2017).

Pada teknik laparoskopi, pasien diposisikan pada posisi berbaring supinasi dan

laparoskop dimasukkan pada area umbilicus dengan insisi yang minimal. Insisi

minimal juga dilakukan pada tempat lain seperti pada kuadran kiri bawah abdomen

dan pada area suprapubik atau supraumbilicus pada midline

29
sebagai tempat masuk alat yang diperlukan dalam operasi. Alat penggenggam

atraumatik kemudian mengangkat apendiks, dan mesoapendiks dipisahkan dengan

apendiks dengan menggunakan harmonic scalpel. Dasar dari apendiks kemudian

diligasi dengan menggunakan endoloop dan apendiks dapat dipisahkan. Pemisahan

apendiks juga dapat dilakukan dengan bantuan staples endoskopik, dimana teknik ini

lebih disukai karena dapat mengurangi risiko terjadinya kebocoran dari puntung

apendiks yang masih terdapat pada caecum. Kemudian dapat dilakukan irigasi pelvis

dan penutupan dari luka operasi (Townsend et al., 2017).

Gambar 2.17 Apendektomi dengan teknik laparoskopi

Keterangan: A. Visualisasi dan retraksi ke atas dari apendiks. B. Pemisahan

mesoapendiks dengan harmonic scalpel. C. Pemakaian endoloop pada apendiks. D.

Penampakan setelah apendektomi selesai dilakukan (Townsend et al., 2017).

Teknik apendektomi dengan laparoskopi memiliki beberapa keuntungan dan

kerugian apabila dibandingkan dengan teknik apendektomi terbuka. Apendektomi

dengan laparoskopi membutuhkan durasi operasi yang lebih lama dan biaya operasi

yang lebih mahal apabila dibandingkan dengan

30
apendektomi terbuka. Namun disamping itu, apendektomi dengan teknik laparoskopi

menimbulkan efek nyeri post-operatif yang lebih rendah, durasi rawat inap di rumah

sakit yang lebih singkat, lebih baik dari sisi kosmetik serta pasien dapat lebih cepat

kembali melakukan aktivitas sehari-hari. Berdasarkan beberapa meta analisis yang

ada, apendektomi terbuka memerlukan durasi operasi 7.6 hingga 18.3 menit lebih

singkat dibandingkan dengan teknik laparoskopi. Selain itu, teknik laparoskopi dapat

menurunkan durasi rawat inap di rumah sakit selama 0.6 hinnga 1.13 hari

dibandingkan dengan apendektomi terbuka (Di Saverio et al., 2020).

Tatalaksana operatif pada kasus apendisitis dengan komplikasi perforasi memiliki

prinsip tatalaksana operatif yang sama dengan apendisitis akut tanpa komplikasi.

Namun pada kasus perforasi, pasien memerlukan tindakan resusitasi yang lebih

agresif sebelum bisa menerima terapi operatif di ruang pembedahan. Tindakan

operatif untuk menangani apendisitis dengan perforasi merupakan tantangan bagi

sebagian besar operator dikarenakan dibutuhkannya manuver yang lebih hati-hati

untuk menangani apendiks yang rapuh dan jaringan periapendiks yang meradang

untuk menghindari terjadinya cedera pada jaringan (Townsend et al., 2017).

Interval apendektomi merupakan prosedur apendektomi yang dilakukan beberapa

saat setelah tatalaksana awal dilakukan. Interval apendektomi biasanya dilakukan

apabila kondisi pasien dinilai kurang baik untuk dilakukan operasi atau sudah terjadi

komplikasi yang dapat meningkatkan risiko terjadinya morbiditas dan mortalitas

selama proses operasi. Tindakan interval apendektomi pada pasien dengan massa

apendiks adalah sebagai berikut (Craig et al., 2018):

31
 Pada pasien dengan phlegmon atau abses yang kecil dapat dilakukan interval

apendektomi 4-6 minggu setelah pemberian terapi antibiotik secara intravena.

 Pada pasien dengan abses yang lebih besar dengan batas yang tegas, perlu

dilakukan drainase secara perkutaneus dengan pemberian antibiotik intra vena.

Pasien kemudian dapat dipulangkan dengan kondisi masi terpasang kateter.

Interval apendektomi dapat dilakukan setelah fistula pada tubuh pasien telah

menutup.

2.11 Prognosis

Tingkat mortalitas dan morbiditas yang disebabkan oleh apendisitis akut

bergantung pada kondisi klinis setiap penderita dan komplikasi yang terjadi.

Prognosis semakin membaik dengan semakin cepatnya penegakan diagnosis, waktu

admisi, dan pemberian terapi antibiotic maupun operatif. Pada pasien yang telah

mengalami komplikasi seperti perforasi, abses hingga peritonitis memperburuk

prognosis dan meningkatkan waktu perawatan untuk mencapai kesembuhan (Snyder,

2018).

Apendektomi merupakan tindakan yang relatif aman dengan tingkat mortalitas

yang sangat rendah, yaitu dibawah 1% (Kasper et al., 2018). Tingkat mortalitas dari

apendisitis tanpa komplikasi berkisar antara 0.1-0.5% dimana secara keseluruhan

risiko mortalitas diakibatkan oleh penggunaan anestesi general. Pada kasus

apendisitis dengan komplikasi, tingkat mortalitas dapat meningkat pesat, berkisar

dari 3% hingga 15% pada geriatri (Craig et al., 2018).

Terdapat beberapa faktor independen yang dapat dijadikan faktor prediktif

terjadinya komplikasi dari apendisitis pada anak-anak, yaitu (Craig et al., 2018):

32
 Usia dibawah 5 tahun

 Durasi gejala lebih dari 24 jam

 Hiponatremia

 Leukositosis

2.12 Komplikasi

Apabila tidak segera ditangani, apendisitis dapat menyebabkan berbagai

komplikasi, seperti obstruksi usus dan perforasi dari apendiks. Perforasi dari

apendiks dapat membentuk phlegmon (jaringan inflamasi yang membentuk massa

dengan batas tidak), intraabdominal abses, sepsis, dan peritonitis. Sekitar 20% pasien

dengan perforasi apendiks mengalami komplikasi intraabdominal abses (Perez dan

Allen, 2018). Perforasi apendiks juga dapat menyebabkan peritonitis akibat infeksi

dari organisme pada cairan usus pada rongga peritoneal (Kasper et al., 2018).

Tingkat kejadian perforasi apendiks bervariasi mulai 16% hingga 40%, dimana

frekuensi terbanyak terdapat pada golongan usia muda (40-57%) dan pada golongan

pasien dengan usia diatas

50 tahun (55-70%), dimana pada rentan usia tersebut sering terjadi misdiagnosis dan

keterlambatan dari penegakan diagnosis (Craig et al., 2018).

Komplikasi juga dapat terjadi pada setelah tindakan apendektomi, dengan rincian

sebagai berikut:

 Infeksi luka operasi (18.6%)

 Terbukanya kembali jahitan luka (15.2%)

 Abses pelvis (13.5%)

 Pireksia postoperatif (8.5%)

 Infeksi dada/pneumonia (3.3%) (Balogun et al., 2019)

33
Peritonitis sekunder dapat terjadi akibat komplikasi dari apendisitis. Peritonitis

dapat terjadi setelah organisme yang bersifat infektif mengkontaminasi kavum

peritoneal setelah terjadi tumpahnya cairan di dalam usus akibat lubang pada usus

seperti pada kasus trauma, tindakan invasif, dan pada kasus ini adalah perforasi

apendiks. Manifestasi klinis dari peritonitis adalah nyeri abdomen akut dan berat

disertai dengan demam. Nyeri abdomen disertai dengan defans muskular yang difus

sebagai bukti terjadinya iritasi dari peritoneum parietal. Pada kasus peritonitis,

pasien biasanya datang dengan kondisi takikardia, hipotensi, dan suara bising usus

biasanya tidak terdengar atau hipoaktif. Pemeriksaan laboratorium menunjukkan

leukositosis dan mungkin terjadi asidosis metabolik berat. Pemeriksaan pencitraan

dapat menunjukkan gambaran dilatasi usus, edema, dan udara bebas pada kavum

peritoneum. Mortalitas dari apendisitis ini <10% pada pasien dengan kondisi yang

relatif sehat, sementara pada pasien dengan komplikasi, usia tua, dan

imunokompromais dapat mencapai lebih dari 40%. Tatalaksana dari peritonitis

meliputi resusitasi cairan dan stabilisasi sirkulasi, koreksi elektrolit, terapi antibiotik

dan terapi operatif untuk menangani penyebab dari peritonitis (Kasper et al., 2018).

34
BAB III

LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Ny. NLDS
Jenis kelamin : Perempuan
Umur : 27 tahun
Alamat : Sumita
Agama : Hindu
Suku : Bali
Status : belum menikah
Tanggal pemeriksaan : 24 Desember 2022

3.2 Keluhan Utama

Nyeri perut

3.3 Autoanamnesis dan Heteroanamnesis

Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSUD Sanjiwani Gianyar diantar oleh keluarga pasien

dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak tadi pagi setelah bangun tidur.

Mual (+), muntah (+) 2x sejak pagi, disertai demam, pasien belum BAB sejak 2

hari yll, BAK lancar. Karena mual dan muntah membuat nafsu makan pasien

berkurang. Riwayat menstruasi regular, Riwayat keputihan gatal/berbau -

Riwayat Pengobatan

Parasetamol

Riwayat Penyakit Sebelumnya

Riwayat sakit jantung, asma , ginjal dan alergi obat disangkal

3.4 Pemeriksaan Fisik


35
Keadaan umum : tampak lemas

Kesadaran : compos mentis (GCS 456)

Tekanan darah : 110/70 mmHg

Nadi : 110 x/menit

Nafas : 20 x/menit

Saturasi : 100% on room air

Suhu : 37.1ºC

Status Generalis

Kepala : bulat, simetris

Mata : konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)

Telinga : sekret tidak ada, nyeri tekan dan ketok mastoid tidak ada

Hidung : tidak ditemukan kelainan

Tenggorok : faring tidak hiperemis, tonsil T1-T1 tidak hiperemis

Leher : KGB tidak ditemukan pembesaran

Thoraks : Cor: S1/S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Pulmo : vesikuler +/+, rhonki -/-, wheezing -/-

Abdomen : distensi (-), bising usus normal, nyeri tekan (+) epigastric dan mc

burney, rovsing sign+, psoas sign+ hepar dan lien tidak teraba

Genital/anus : tidak dilakukan pemeriksaan

+ +
Ekstremitas : akral hangat
+ +

- -
- - Edema

36
Score Alvarado (Mantrels) : 9

3.5 Pemeriksaan Penunjang

Hasil laboratorium pasien (24/12/2022)

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Trombosit 255 150-450

Neutrofil 75.5% 47-80%

Monosit 4.4% 2-11%

Limfosit 18.9% 13-40%

Eosinofil 1.0% 0.5-5%

Basofil 0.2% 0-2%

Leukosit 15.96 4-10

Hb 11.9 11-16

Hematokrit 33.9% 37-48

Eritrosit 4.65 3.5-5.5

Waktu perdarahan 2.3 2-6


(BT)

Waktu pembekuan 8.0 6-15


(CT)

Sars-Cov 2 antigen Negatif Negatif


test

Ureum 19.8 15-43

Kreatinin 0.36 0.51-0.95

SGPT 12 <31

SGOT 19 <31

Natrium 137 135-147

Kalium 4.8 3.5-5

Chlorida 102 95-108


37
Glukosa sewaktu 101 80-120

Urine Lengkap

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan

Sedimen urine

Hasil Tes Kehamilan Negatif

Warna Kuning Kuning

Urobilinogen Normal Normal

Reduksi Negatif Negatif

Ph/reaksi 5.5 6-6.5

Oval fat bodies Negatif Negatif

Nitrit Negatif Negatif

Leukosit 0-3 (Negatif) 0-5

Keton Negatif Negatif

Jamur Negatif Negatif

Eritrosit Banyak <2

Epitel + + sedikit

Ca osalat Negatif Negatif

Bilirubine Negatif Negatif

Berat jenis 1.025 1.003-1.030

Bakteri Negatif Negatif

As. urat Negatif Negatif

Albumin Negatif Negatif

38
Hasil Radiologi Pasien
Foto Thorak AP

3.6 Diagnosis Kerja

39
Susp. Apendisitis Akut (Pro Operasi)

3.7 Penatalaksanaan

Non farmakologis :

− KIE mengenai kondisi pasien, hasil penunjang, dan rencana konsul spesialis

bedah

− KIE mengenai kemungkinan tindakan yang akan

dilakukan (rencana operasi)

− KIE mengenai puasa pasien sebelum operasi

Farmakologis :

Oleh dokter IGD:

− IVFD Nacl 0.9% 20 tpm

− Inj. Ranitidine 1 amp

− Inj. Ondansentron 1 amp

Hasil konsul spesialis bedah

− IVFD Futrolit 20 tpm

− Parasetamol 3x1 flash

− Inj. Ceftriaxone 1x2 gram (Pre Operasi)

Konsul Anestesi rencana operasi

BAB IV

40
PEMBAHASAN

Pasien perempuan usia 27 tahun datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah

sejak tadi pagi setelah bangun tidur. Mual (+), muntah (+) 2x sejak pagi, disertai demam,

pasien belum BAB sejak 2 hari yll, BAK lancar. Karena mual dan muntah membuat nafsu

makan pasien berkurang. Dari hasil pemeriksaan tanda-tanda vital didapatkan suhu subfebris

(37.1oC) dan pada pemeriksaan fisik didapatkan , nyeri tekan + pada daerah mc burney,

rovsing sign+, psoas sign+. Adanya kondisi pasien seperti ini mengarah ke diagnosis kerja susp.

apendisitis akut selanjutnya dilakukan scoring Alvarado untuk menentukan tindakan

selanjutnya. Pada pasien juga dilakukan pemeriksaan darah lengkap dan urine lengkap, dari

darah lengkap didapatkan hasil peningkatan leukosit (15.960) dan neutrophil (75.5%) yang

menandakan kondisi akut shift to the left, pemeriksaan urine lengkap dilakukan untuk

menyingkirkan diagnosis infeksi saluran kemih yang biasanya memiliki gejala hampir mirip.

Adapun penghitungan Alvarado score/MANTRELS pada pasien ini didapatkan hasil 9,

karena pada pasien tidak ada migrasi nyeri dari umbilicus ke kanan bawah.

41
Rencana tindakan operasi yang dilakukan pada pasien ini sudah sesuai dengan teori

dimana score Alvarado 9 merupakan indikasi dilakukan tindakan apendiktomi.

Pada pasien ini tidak perlu dilakukan pemeriksaan penunjang lainnya seperti USG
atau imaging lainnya (CT-Scan), karena score Alvarado pasien sudah 9. Tindakan tersebut baru
akan dilakukan jika score Alvarado dibawah <7 atau secara klinis meragukan. Untuk mengetahui
diagnosis pasti apendisitis perlu dilakukan pemeriksaan Histopatologi post op. apendiktomi.
Untuk terapi pre operasi pada pasien hanya bersifat simptomatis saja, pada pasien ini
diberikan ranitidine dan ondansentron untuk mengatasi keluhan mual, muntah, dan lambung
pasien, sementara anti nyeri yang diberikan pada pasien ini adalah parasetamol infus dan pasien
juga diberikan ceftriaxone 1x2 gram sebagai antibiotik profilaksis pre-operasi.

BAB V

KESIMPULAN
42
Apendisitis akut adalah peradangan dari apendiks vermiformis dan merupakan penyebab

akut abdomen yang paling sering dan merupakan kedaruratan bedah. Biasanya timbul dengan

tanda dan gejala klinis yang mendadak. Apendisitis dapat terjadi pada semua usia, tetapi lebih

sering dialami oleh remaja dan dewasa muda. Kasus apendisitis akut memerlukan penanganan

yang tepat serta penegakan diagnosis yang cepat. Keterlambatan diagnosis akan berdampak pada

komplikasi yang akan terjadi, seperti gangrenosa, perforasi bahkan dapat terjadi peritonitis

generalisata. Pada pasien ini sudah dilakukan penanganan dan penegakan diagnosis kerja yang

sesuai.

Penentuan penanganan lanjut pada pasien ini dilakukan berdasarkan score Alvarado,

score yang didapat adalah 9 dan merupakan indikasi untuk dilakukan pembedahan tanpa

pemeriksaan imaging/USG terlebih dahulu. Diagnosis pasti akan tegak setelah dilakukan

pemeriksaan histopatologi post apendiktomi.

DAFTAR PUSTAKA

Agabegi, Steven dan Elizabeth Agabegi. 2020. Step Up to Medicine 5th Edition.
43
China: Wolterz Kluwer

Alfred, Nathans A., Hyman Mereinstein, dan Samuel S. Brown. Lymphoid Hyperplasia

of the Appendix. Pediatrics 1953. Vol.12:516

Altun, Eren, Veli Avci, Meltem Azatçam. Parasitic infestation in apendisitis. A

retrospective analysis of 660 patients and brief literature review. Saudi Med J

.2017. Vol. 38 (3)

Balogun, O.S., Osinowo, A., Afolayan, M., Olajide, T., Lawal, A. and Adesanya, A.,

2019. Acute perforated apendisitis in adults: Management and complications in

Lagos, Nigeria. Annals of African medicine, 18(1), p.36.

Barlow, Andrew, Mitchel Muhleman, Jerzy Gielecki, Petru Matusz, R. Shane Tubbs, dan

Marios Loukas. The Vermiform Appendix: A Review. Clinical Anatomy. 2013.

26:833–842

Becker, P., Fichtner-Feigl, S. and Schilling, D., 2018. Clinical management of

apendisitis. Visceral medicine, 34(6), pp.453-458.

Bromberg, R. and Goldman, R.D., 2007. Does analgesia mask diagnosis of apendisitis

among children?. Canadian family physician, 53(1), p.39.

Brunicardi, F.C., Andersen, D.L., Billiar, T.R., Dunn, D.L., Hunter, J.G., Kao, L.S.,

Matthews, J.B., Pollock, R.E., 2019. Schwartz’s Principles of Surgery, 11th edn.

McGraw-Hill Education, New York.

Craig, S., Inceu, L. and Taylor, C., 2018. Apendisitis. Medscape, 17, p.773895.

44
Di Saverio, S., Podda, M., De Simone, B., Ceresoli, M., Augustin, G., Gori, A.,

Boermeester, M., Sartelli, M., Coccolini, F., Tarasconi, A. and de’ Angelis, N.,

2020. Diagnosis and treatment of acute apendisitis: 2020 update of the WSES

Jerusalem guidelines. World journal of emergency surgery, 15, pp.1- 42.

Engin, Omer, Mehmet Yildirim, Savas Yakan, dan Gulnihal Ay Coskun. Can fruit seeds

and undigested plant residuals cause acute apendisitis. Asian Pac J Trop Biomed.

2011: 1(2): 99–101

Girard-Madouxa, Mathilde J.H., Mercedes Gomez de Agüerob, Stephanie C. Ganal-

Vonarburgb, Catherine Mooserb, Gabrielle T. Belzc, Andrew J. Macpherson. The

immunological functions of the Appendix: An example of redundancy?. Seminars

in Immunology.2018. Vol 36: 31–44

Gorter, R.R., Eker, H.H., Gorter-Stam, M.A.W. et al. 2016. Diagnosis and management

of acute apendisitis. EAES consensus development conference 2015. Surg

Endosc 30, 4668–4690. https://doi.org/10.1007/s00464-016-5245-7

Hirsch, T. M. 2017. Acute apendisitis. Journal of the American Academy of Physician

Assistants, 30(6), 46–47.

doi:10.1097/01.jaa.0000516357.34621.aa

Humes DJ, Simpson J. Acute apendisitis. BMJ. 2006;333(7567):530–534.

doi:10.1136/bmj.38940.664363.AE

Ishikawa, H. (2003). Diagnosis and Treatment of Acute Apendisitis.

Jameson, J., Fauci, A.S., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Loscalzo, J., 2018.

Harrison's Principles of Internal Medicine, 20th edn. McGraw-Hill Education,

New York.

45
Jones MW, Lopez RA, Deppen JG. 2020. Apendisitis. [Updated 2020 Apr 28]. In:

StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2020 Jan-.

Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK493193/

Kang, K., Kim, W.J., Kim, K., Jo, Y.H., Rhee, J.E., Lee, J.H., Kim, Y.J., Lee, J.,

Kang, S.B., Kim, D.W. and Lee, K.H., 2015. Effect of pain control in suspected

acute apendisitis on the diagnostic accuracy of surgical residents. Canadian

Journal of Emergency Medicine, 17(1), pp.54-61.

Karatepe, O., G. Adas, M. Tukenmez, M. Battal, M. Altiok, S. Karahan. Parasitic

infestation as cause of acute apendisitis. G Chir . 2009. Vol. 30-n.10 - pp. 426-

428

Kasper, D.L., Fauci, A.S., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, J.L. and Loscalzo, J.,

2018. Harrison's Principles of Internal Medicine, (Vol. 1 & Vol. 2). McGraw

Hill Professional.

Kyle, J.A., Bradley, A.C., Hutson, M.S. 2019. Acute Apendisitis in Adults.

Lee, J.A. The influence of sex and age on apendisitis in children and young adults.

Gut. 1962, 3: 80

Lin, K., Lai, K.R., Yang, N. et al. Epidemiology and socioeconomic features of

apendisitis in Taiwan: a 12-year population-based study. World J Emerg Surg 10,

42 (2015). https://doi.org/10.1186/s13017-015-0036-3

Longo, Dan L., Anthony S. Fauci. 2013. Harrison's Gastroenterology and Hepatology

2nd Edition. US: Mc Graw Hill

Ohle, R., O'Reilly, F., O'Brien, K.K. et al. 2011. The Alvarado score for predicting acute

apendisitis: a systematic review. BMC Med 9, 139. https://doi.org/10.1186/1741-

7015-9-139

46
Perez, K.S. and Allen, S.R., 2018. Complicated apendisitis and considerations for interval

appendectomy. Journal of the American Academy of PAs, 31(9), pp.35-41.

Roberts, J P. Quantitative bacterial flora of acute apendisitis. Arch Dis Child. 1988 May;

63(5): 536–540.

Saluja, S., Sun, T., Mao, J., Steigman, S.A., Oh, P.S., Yeo, H.L., Sedrakyan, A. and

Merianos, D.J., 2018. Early versus late surgical management of complicated

appendicitis in children: a statewide database analysis with one-year follow-up.

Journal of pediatric surgery, 53(7), pp.1339-1344.

Snyder, M.J., Guthrie, M., Cagle, S. 2018. Acute Apendisitis: Efficient Diagnosis and

Management. American Academy of Family Physician, 98(1):25-33.

www.aafp.org/afp

Tavakkoli, Ali., and Szasz, Peter. 2020. Acute Apendisitis: Epidemiology. BMJ Best

Practice. ISSN 2515-9615

47

Anda mungkin juga menyukai