Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

APENDISITIS AKUT

Disusun oleh:

dr Claudia Jasmine

Konsulen Pembimbing:

dr. Rio Alfin Maulana, Sp.B

Dokter Pemdamping:

dr Amelia Santi

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PETALA BUMI

PEKANBARU

2021
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis haturkan kepada Tuhan YME karena atas rahmat dan
berkat-Nya laporan kasus yang berjudul “Apendisitis Akut” ini dapat diselesaikan tepat
waktu. Referat ini dibuat untuk memenuhi salah satu syarat menyelesaikan Program
Internship Dokter Indonesia, Kementrian Kesehatan Republik Indonesia, di Rumah
Sakit Umum Daerah Petala Bumi, Pekanbaru, Riau.
Pada kesempatan ini penulis menyampaikan terimakasih kepada dr. Rio Alfin
Maulana, Sp.B selaku konsulen pembimbing yang telah memberikan bimbingan
selama penulisan dan penyusunan laporan kasus ini, serta dokter pendamping, dr
Amelia Santi, yang telah membimbing penulis selama mengikuti program internship ini.
Penulis menyadari masih banyak kekurangan dalam penulisan laporan kasus ini.
Oleh karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
penulisan yang lebih baik di masa yang akan datang.

Palembang, September 2021

Penulis

1
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL...............................................................................................i
KATA PENGANTAR............................................................................................ii
DAFTAR ISI..........................................................................................................iii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................................v
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................9
2.1 Anatomi................................................................................................9
2.2 Apendisitis Akut.................................................................................12
2.2.1 Definisi ....................................................................................12
2.2.2 Epidemiologi............................................................................12
2.2.3 Etiologi ....................................................................................12
2.2.4 Patofisiologi ............................................................................12
2.2.5 Manifestasi Klinis ...................................................................12
2.2.6 Pemeriksaan Fisik ...................................................................12
2.2.7 Pemeriksaan Penunjang ..........................................................12
2.2.8 Diagnosis Banding ..................................................................12
2.2.9 Tatalaksana ..............................................................................12
2.2.10 Komplikasi ...........................................................................12
BAB III STATUS PASIEN....................................................................................3
BAB IV PEMBAHASAN ...................................................................................20
BAB V KESIMPULAN .......................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA ..........................................................................................22

2
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Apendisitis adalah salah satu kegawatdaruratan abdominal yang paling
umum disebabkan oleh hiperplasia jaringan limfoit, fekalit, tumor ataupun cacing
askaris.1 Menurut WHO (World Health Organization), insidensi apendisitis di Asia
pada tahun 2004 adalah 4,8% penduduk dari total populasi. Setiap tahun apendisitis
menyerang 10 juta penduduk Indonesia. Morbiditas apendisitis di Indonesia
mencapai 95 per 1000 penduduk dan merupakan yang tertinggi diantara negara-
negara ASEAN. Apendisitis menempati urutan keempat penyakit terbanyak di
Indonesia setelah dispepsia, gastritis dan duodenitis, dan penyakit sistem cerna
lain.2
Ditinjau berdasarkan jenis kelamin, kasus apendisitis terjadi 8,6% pada
laki-laki sedangkan 6,7% kasus apendisitis terjadi pada perempuan dengan insiden
tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun.3 Apendisitis dapat ditemukan pada
semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang dilaporkan.4
Salah satu upaya mengurangi angka kesakitan dan angka kematian dengan
meningkat kualitas dan kuantitas pelayanan medis yaitu dengan menegakkan
diagnosis yang tepat. Penegakan diagnosis apendisitis akut didasarkan pada
anamnesis dan pemeriksaan fisik serta pemeriksaan penunjang. Terdapat sistem
penilaian yang membantu dalam mendiagnosis apendisitis akut yaitu skor Alvarado
yang terdiri atas 3 gejala, 3 tanda dan 2 hasil laboratorium.5
Pada apendisitis akut yang tidak ditatalaksana segera dapat menimbulkan
komplikasi berbahaya seperti perforasi apendiks yang dapat berkembang menjadi peritonitis
maupun abses. Pada studi yang dilakukan pada tahun 2013, dari 683.590 penderita
apendisitis, 30,3% mengalami perforasi.6
Dalam standar kompetensi Kedokteran Indonesia, kompetensi apendisitis
akut adalah 3B. Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan memberikan
terapi pendahuluan pada keadaan gawat darurat demi menyelamatkan nyawa atau
mencegah keparahan dan/atau kecacatan pada pasien. Lulusan dokter mampu
menentukan rujukan yang paling tepat bagi penanganan pasien selanjutnya.
Lulusan dokter juga mampu menindaklanjuti sesudah kembali dari rujukan.

3
Diharapkan melalui laporan kasus ini, dokter umum bisa mendapatkan
pengetahuan yang lebih banyak mengenai apendisitis akut sehingga mampu
menegakkan diagnosis serta menentukan langkah selanjutnya dalam penanganan
pasien dengan apendisitis.

1.2 Rumusan masalah


Rumusan masalah yang dibahas dalam laporan ini adalah
1. Bagaimana penegakan diagnosis pada appendisitis akut berdasarkan
anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang?
2. Bagaimana penatalaksanaan pasien dengan appendisitis akut?
1.3 Tujuan
Laporan kasus ini disusun untuk membantu penulis mengetahui dan
memahami tentang:
1. Penegakan diagnosis pada appendisitis akut berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang
2. Penatalaksanaan pasien dengan appendisitis akut
1.4 Manfaat
Laporan kasus ini dapat digunakan sebagai rangkuman pengetahuan dari
beberapa referensi mengenai appendisitis akut yang diharapkan dapat
mempermudah penulis memahami tentang appendisitis akut baik mengenai
definisi, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis maupun penatalaksanaannya.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi

Gambar 1. Anatomi Apendiks Vermiformis

Apendiks vermiformis atau yang sering disebut apendiks pada manusia


merupakan suatu struktur tubular yang rudimenter. Apendiks berkembang dari
posteromedial sekum dengan panjang bervariasi antara 6-10 cm dengan diameter
sekitar 0,5-0,8 cm. Posisi apendiks dalam rongga abdomen juga bervariasi, tersering
berada di posterior dari sekum atau kolon asendens. Hampir seluruh permukaan
apendiks dikelilingi oleh peritoneum dan mesoapendiks yang merupakan lipatan
periosteum berjalan kpntinu sepanjang apendiks.7
Vaskularisasi apendiks berjalan sepanjang mesoapendiks kecuali bagian ujung
apendiks dimana tidak terdapat mesoapendiks. Arteri apendikular, derivat cabang
inferior dari arteri iliocoli yang merupakan cabang trunkus mesenterika superior.
Selain arteri apendikular yang memperdarahi hamper seluruh apendiks, juga terdapat
kontribusi arteri asesorius. Untuk aliran balik, vena apendiseal cabang dari vena
ileocolic berjalan ke vena mesenterika superior dan masuk ke sirkulasi portal.
Innervasi dari appendix berasal dari simpatik elemen disumbangkan oleh pleksus
mesenterika superior (T10-L1) dan aferen dari unsur parasimpatis via nervus vagus.7
Lumen apendiks tersusun atas empat lapisan, yakni mukosa, submucosa,
muskularis eksterna dan lapisan serosa. Mukosa apendiks terdiri atas sel epitel selapis.

5
Pada epitel ini terdapat sel-sel absorbtif, sel goblet, sel neuro endokrin dan sel Paneth.
Lapisan submucosa memisahkan mukosa dengan muskularis eksterna. Lapisan ini
tersusun longgar oleh jaringan serat kolagen dan elastin serta fibroblast. Lapisan ini
juga mengandung sel migratori seperti makrofag, sel limfoid, sel plasma dan sel mast.
Lapisan otot polos yang tebal berada diantara submucosa dan serosa. Lapisan ini
terpisah menjadi 2 bagian, yakni lapisan sirkular didalam dan longitudinal diluar.
Lapisan terluar apendiks adalah lapisan serosa. Lapisan serosa merupakan selapis sel-
sel mesotelial kuboidal, yang terdapat pada lapisan tipis jaringan fibrosa.7
Suplai arterial untuk caecum dan appendix vermiformis berasal dari:
• arteria caecalis anterior dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica
superior).
• arteria caecalis posterior dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica
superior), dan
• arteria appendicularis dari arteria ileocolica (dari arteria mesenterica
superior).7

Gambar 2. Vaskularisasi Caecum dan Apendiks

Proyeksi permukaan basis appendix vermiformis terletak pada pertemuan


antara 1/3 lateral dan 1/3 tengah garis dari SIAS sampai umbilicus (titik McBurney).
Pasien dengan masalah appendix vermiformis dapat menjelaskan adanya rasa nyeri
pada daerah dekat lokasi ini.8

6
Gambar 3. Proyeksi ApendiksVermiformis

Dasar Appendix vermiformis berproyeksi ke titik Mcburney (transisi antara


sepertiga lateral dan dua pertiga medial pada garis yang menghubungkan Umbilicus
dengan Spina iliaca anterior superior). Lokasi ujung Appendix lebih bervariasi dan
berproyeksi ke titik LANZ (transisi antara sepertiga kanan dan dua pertiga kiri pada
garis yang menghubungkan kedua Spina iliacae anteriores superiores.8

Gambar 4. Histologi Apendiks Vermiformis


Apendiks menghasilkan lendir sebanyak 1-2 ml perhari. Normalnya lendir itu
dicurahkan ke dalam lumen dan selanjutnya mengalir ke sekum. Hambatan aliran
lendir di muara apendiks berperan pada patogenesis apendisitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut associated lymphoid tissue) yang terdapat

7
sepanjang saluran cerna termasuk apendiks adalah IgA. Imunoglobulin ini sangat
efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun demikian, pengangkatan apendiks
tidak mempengaruhi sistem imun tubuh karena jaringan limfe di sini sedikit sekali
jika dibandingkan dengan jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh. Fungsi
appendix terkait dengan peran jaringan limfoid dalam proses imunologis (mucosa-
associated lymphoid tissue).9

2.2 Appendisitis Akut


2.2.1 Definisi
Apendisitis merupakan peradangan pada apendiks vermiformis akibat adanya
obstruksi lumen apendiks oleh fekalit, limfoid hiperplasia, parasit, sisa makanan yang
tidak tercerna atau benda asing .10
2.2.2 Epidemiologi
Insiden apendisitis akut di negara maju lebih tinggi daripada negara
berkembang. Sekitar 6-9% populasi di dunia menderita apendisitis dalam hidupnya.
Survei menunjukkan bahwa sekitar 10% orang di Amerika Serikat menderita
apendisitis dalam suatu saat.11 Berdasarkan jenis kelamin, kasus apendisitis terjadi
8,6% pada laki-laki sedangkan 6,7% kasus apendisitis terjadi pada perempuan
dengan insiden tertinggi pada kelompok usia 20-30 tahun.3 Apendisitis dapat
ditemukan pada semua umur, hanya pada anak kurang dari satu tahun jarang
dilaporkan.4
Menurut WHO (World Health Organization), insidensi apendisitisd i Asia pada
tahun 2004 adalah 4, 8% penduduk dari total populasi. Apendisitis merupakan penyakit
urutan keempat terbanyak di Indonesia pada tahun 2006. Jumlah pasien rawat inap
karena penyakit apendiks pada tahun tersebut 28.949 pasien. Pada rawat jalan, kasus
penyakit apendiks menduduki urutan kelima (34.386 pasien rawat jalan). Kasus
apendisitis di Jawa Tengah tahun 2009 dilaporkan sebanyak 5.980 dan diantaranya
menyebabkan kematian. Jumlah penderita apendisitis tertinggi ada di Kota Semarang,
yakni 970 orang.12
2.2.3 Etiologi
Penyebab tersering terjadinya apendisitis adalah obstruksi lumen apendiks.
Faktor yang menyebabkan obstruksi lumen apendiks:13
- fekalit
- makanan

8
- mucus
- parasite
- tumor
- benda asing
- hiperplasia limfoid

Mukus ataupun feses yang mengeras (fecalith) dapat menutup lumen


penghubung apendiks dan caecum. Jaringan limfoid pada apendiks dapat
membengkak dan menutup apendiks. Hiperplasia limfoid primer ataupun sekunder
karena infeksi saluran pernapasan atas, mononucleosis, gastroenteritis, penyakit
Crohn, ataupun infeksi parasit seperti cacing Oxyuris vermikularis, Schistosoma,
Strongyloides. Terjadinya obstruksi ini juga dapat terjadi karena benda asing seperti
permen karet, kayu, dental amalgam, batu, sisa makanan, barium, metastatis tumor.
Walaupun tumor primer bisa terjadi seperti carcinoid, adenocarcinoma, sarcoma
Kaposi, limfoma Burkitt.13

Obstruksi tersebut kemudian menyebabkan gangguan resistensi mukosa


apendiks terhadao invasi mikroorganisme dan meningkatkan tekanan intralumen.
Ketika tekanan intralumen meningkat, tekanan luminal meningkatkan tekanan perfusi
kapiler. Drainase limfe dan vena terganggu sehingga terjadi iskemia. Bakteri luminal
dapat menginvasi dinding apendiks menyebabkan infalamasi. Inflamasi ini dapat
meluas ke lapisan serosa, peritoneum parietal dan organ lain yang berdekatan.
Peningkatan tekanan tersebut menyebabkan adanya kontinuitas aliran sekresi cairan
dan mukus dari mukosa dan stagnasi dari material tersebut. Konsekuensinya, terjadi
iskemia dinding apendiks, yang menyebabkan hilangnya keutuhan epitel dan invasi
bakteri ke dinding apendiks. Bakteri intestinal yang ada di dalam apendiks
bermultiplikasi, hal ini menyebabkan rekruitmen dari leukosit, pembentukan pus dan
tekanan intraluminal yang tinggi. Dalam 24-36 jam, kondisi ini dapat semakin parah
karena trombosis dari arteri maupun vena apendiks menyebabkan perforasi.13

2.2.4 Patofisiologi
Obstruksi umumnya menyebabkan peningkatan intraluminal tekanan dan nyeri
visceral yang dirujuk ke periumbilikalis region. Dinyatakan bahwa hal ini
menyebabkan gangguan drainase vena, iskemia mukosa yang menyebabkan
translokasi bakteri, dan infeksi gangren dan infeksi intraperitoneal. Lumen distal yang

9
obstruksi mulai terisi dengan lendir dan menjadi obstruksi loop tertutup (closed loop
obstruction). Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa apendiks
yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mucus yang diproduksi mukosa
mengalami bendungan. Makin lama mucus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding appendiks mempunyai keterbatasan. Hal ini menyebabkan distensi dan
peningkatan tekanan intraluminal dan intramural.13
Dengan berkembangnya kondisi ini, bakteri yang ada dalam apendiks
berkembang biak dengan cepat. Distensi dari lumen apendiks menyebabkan anoreksia
refleks, mual dan muntah, dan nyeri viseral. Sebagai tekanan lumen melebihi tekanan
vena, venula kecil dan kapiler menjadi trombosis, tetapi arteriol tetap terbuka, yang
menyebabkan pembengkakan dan kongesti appendiks. Proses inflamasi melibatkan
serosa usus buntu, karenanya parietal peritoneum di wilayah tersebut, yang
menyebabkan nyeri klasik kanan bawah kuadran (RLQ). Setelah arteriol kecil
mengalami trombosis, area di perbatasan antimesenterik menjadi iskemik, infark dan
perforasi terjadi. Bakteri translokasi melalui dinding yang mengalami iskemia, dan
terbentuk nanah di dalam dan sekitar appendiks. Perforasi biasanya terlihat di luar
batas obstruksi.13
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan menembus
dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga
menimbulkan nyeri didaerah kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan apendisitis
supuratif akut.6 Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks
yang diikuti dengan gangrene. Stadium ini disebut dengan apendisitis gangrenosa.
Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi apendisitis perforasi.10
Bila semua proses diatas berjalan lambat, omentum dan usus yang berdekatan
akan bergerak kearah apendiks hingga timbul suatu massa local yang disebut infiltrate
apendikularis. Peradangan apendiks tersebut dapat menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat apendikularis merupakan tahap patologi apendisitis yang dimulai
dimukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding apendiks dalam waktu 24 - 48 jam
pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan membatasi proses radang
dengan menutup apendiks dengan omentum, usus halus, atau adneksa sehingga
terbentuk massa periapendikular. Didalamnya dapat terjadi nekrosis jaringan berupa
abses yang dapat mengalami perforasi. Jika tidak terbentuk abses, apendisitis akan

10
sembuh dan massa periapendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan
mengurai diri secara lambat.10

2.2.5 Manifestasi Klinis


Penegakan diagnosis apendisitis akut didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. Terdapat sistem penilaian yang membantu dalam
mendiagnosis apendisitis akut yaitu skor Alvarado yang terdiri atas 3 gejala, 3
tanda dan 2 hasil laboratorium.5

Gambar 5. Penilaian Alvarado Score


Gejala klasik apendisitis akut biasanya bermula dari nyeri di daerah umbilikus
atau periumbilikus yang berhubungan dengan muntah. Dalam 2 - 12 jam nyeri beralih
kekuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Terdapat juga keluhan anoreksia, malaise, dan demam yang tidak terlalu tinggi.
Biasanya juga terdapat konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan
muntah. Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan semakin
progresif.10

2.2.6 Pemeriksaan Fisik


Demam biasanya ringan dengan suhu sekitar 37,5oC-38,5 oC. Bila suhu lebih
tinggi, mungkin sudah terjadi perforasi. Pada inspeksi perut tidak ditemukan
gambaran spesifik. Kembung sering terlihat pada penderita dengan komplikasi

11
perforasi. Penonjolan perut kanan bawah bisa dilihat pada massa atau abses
periapendikular.1
Sebagian besar pasien hanya berbaring karena peritonitis parietal, pasien
umumnya teraba hangat, demam ringan dan nyeri tekan lokal. Titik Mcburney yaitu
pada sepertiga jarak antara SIAS ke umbilicus merupakan titik utama nyeri tekan pada
pasien dengan anatomi appendiks yang normal. Beberapa gejala fisik yang dapat
membantu membedakan lokasi appendiks: Rovsing’s sign, nyeri pada RLQ setelah
dilakukan penekanan pada LLQ.3
Pada palpasi didapatkan nyeri yang terbatas pada regio iliaka kanan, bisa
disertai nyeri lepas. Pada periapendikular infiltrat biasanya teraba massa pada RLQ.
Defans muskuler menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Nyeri tekan
perut kanan bawah ini merupakan kunci diagnosis. Pada penekanan perut kiri bawah
akan dirasakan nyeri di perut kanan bawah yang disebut tanda Rovsing. Pada
apendisitis retrosekal atau retroileal diperlukan palpasi dalam untuk menentukan
adanya rasa nyeri. Tanda Psoas atau tanda Obraztsova atau tes psoas Cope memiliki
sensitivitas yang sangat rendah (16%) tetapi spesifisitas yang baik (96%) dan dapat
ditemukan pada apendiks retrocecal dan panggul. Diperiksa dengan pasien dalam
posisi terlentang, meminta pasien untuk mengangkat paha kanan terhadap pemeriksa
ditempatkan tepat di atas lutut. Atau, dengan pasien di posisi dekubitus lateral kiri,
pemeriksa meregangkan kaki kanan pasien di pinggul. Peningkatan rasa sakit dengan
keduanya manuver merupakan tanda positif.7 Tanda obturator mirip dengan tanda
psoas. Ini ditimbulkan dengan secara pasif fleksi pinggul kanan dan lutut dan putar
kaki secara internal di pinggul, regangkan otot obturator. sakit perut adalah tanda
positif, menunjukkan iritasi pada otot obturator.14

2.2.7 Pemeriksaan Penunjang


Pasien appendisitis biasanya dengan leukositosis (>10.000 sel/mm 3). CRP,
bilirubin, IL-6 dan procalcitonin dapat membantu menegakkan diagnosis, lebih
spesifik untuk menilai appendisitis perforasi yaitu dengan menilai leukositosis
(>17.000 sel/mm3). Leukosit dan CRP merupakan dua komponen pemeriksaan yang
lebih diutamakan pada pemeriksaan laboratorium pasien appendisitis, pemeriksaan
kehamilan juga diperlukan pada wanita usia subur, dan urinalisis juga dapat diperiksa
untuk menyingkirkan nefrolithiasis dan pyelonefritis. Shift to the left pada
pemeriksaan leukosit PMN ditemukan pada 95% kasus.3

12
Ultrasonografi digunakan untuk mengidentifikasi diameter anteroposterior
appendiks. Apendiks dengan diameter <5 mm umumnya menyingkirkan perkiraan
apendisitis. Fitur pada USG yang menunjukkan appendisitis yaitu diameter lebih
besar dari 6 mm, sakit dengan penekanan, adanya appendicolith, peningkatan
echogenisitas lemak, dan cairan periappendiceal. Ultrasonografi lebih murah dan
lebih banyak tersedia daripada CT scan, dan tidak memaparkan pasien dengan
ionizing radiation, tetapi tergantung pada operator dari USG tersebut dan memiliki
utilitas atau kegunaan yang terbatas pada pasien obesitas. Selain itu, kompresi
biasanya akan menimbulkan nyeri pada pasien dengan perionitis.3

2.2.8 Diagnosis Banding


Diagnosis banding apendisitis akut pada dasarnya adalah segala diagnosis
yang berkaitan dengan nyeri abdomen akut. Apendisitis akut juga sering
dibandingkan dengan tumor cekum, gastroenteritis akut, lymfoma maligna intra
abdomen, adenitis mesenterika akut, cecal divertikulitis, divertikulitis Meckel, ileitis
akut, penyakit Crohn, infeksi saluran kemih dan kelainan ginekologi seperti KET,
adneksitis ataupun kista ovarium terpuntir.

2.2.9 Tatalaksana

Apendektomi merupakan terapi definitive pada apendisistis akut.. Antibiotik


biasanya diberikan segera setelah diagnosis tegak. Apendektomi harus dilengkapi
dengan pemberian antibiotik IV. Pilih antibiotik yang baik untuk bakteri gram negatif
anaerob dan enterobakter, yang banyak digunakan adalah sefalosporin generasi
ketiga. Pemberian antibiotik terutama pada apendisitis perforasi dan diteruskan hingga
suhu tubuh dan hitung jenisnya sudah kembali normal. Pemberian antibiotik ini dapat
menurunkan angka kematian. Pada pasien dengan inflamasi dan infeksi ringan dan
terlokalisasi pada daerah yang kecil hanya dilakukan observasi. Apendisitis ini
disebut apendisitis terbatas dan dapat ditatalaksana dengan antibiotik saja.3

Manajemen appendisitis dengan massa yang menunjukkan phlegmon atau


abses bisa lebih sulit. Pasien seperti itu paling baik ditatalaksana dengan pengobatan
broadspectrum antibiotik, yaitu antibiotik gram negatif, antibiotik gram positif, dan
antibiotik bakteri anaerob. Drainase jika ada abses berdiameter > 3 cm, dan cairan

13
parenteral dan bowel rest jika merespons manajemen konservatif. Apendiks kemudian
dapat lebih aman diangkat 6-12 minggu kemudian ketika peradangan berkurang.
Apabila nyeri terlokalisir pada RLQ dan tidak ada tanda-tanda peritonitis generalis
maka pasien ditatalaksana dengan antibiotik spektrum luas dan dilihat perkembangan
klinisnya, jika tidak ada perbaikan maka diindikasikan untuk operasi. 4 Interval
appendectomy dapat dilakukan pada 6-8 minggu setelah fase inflammatory.1

Insisi sepanjang 2-3 inci dibuat pada kulit dan lapisan dinding perut diatas area
apendiks yaitu pada kuadran kanan bawah abdomen. Setelah insisi dibuat ahli bedah
akan melihat daerah sekitar apendiks, apakah ada masalah lain selain apendisitis, jika
tidak ada, apendiks akan diangkat. Pengangkatan apendiks dilakukan dengan
melepaskan apendiks dari perlekatannya dengan mesenterium abdomen dan kolon,
menggunting apendiks dari kolon, dan menjahit lubang pada kolon tempat apendiks
sebelumnya. Jika ada abses, pus akan didrainase. Insisi tersebut lalu dijahit dan
ditutup.10

Teknik terbaru dengan laparoskopi. Laparoskopi adalah prosedur pembedahan


dengan fiberoptik yang dimasukkan ke dalam abdomen melalui insisi kecil yang
dibuat pada dinding abdomen. Dengan laparoskopi kita bisa melihat langsung
apendiks, organ abdomen dan pelvis yang lain. Jika apendisitis ditemukan, apendiks
dapat langsung diangkat melalui insisi kecil tersebut. Laparoskopi dilakukan dengan
anestesi general. Keuntungannya setelah operasi, nyerinya akan lebih sedikit karena
insisinya lebih kecil serta pasien bisa kembali beraktivitas lebih cepat. Keuntungan
lain adalah dengan laparoskopi ini ahli bedah dapat melihat abdomen terlebih dahulu
jika diagnosis apendisitis diragukan. Sebagai contoh, pada wanita yang menstruasi
dengan rupture kista ovarium yang gejalanya mirip apendisitis.10

Jika apendiks tidak ruptur, pasien dapat pulang dalam 1-2 hari, jika terdapat
perforasi, ia dapat tinggal selama 4-7 hari, terutama jika terjadi peritonitis. Antibiotik
intravena dapat diberikan untuk mengobati infeksi dan membantu penyembuhan
abses. Jika saat pembedahan, dokter menemukan apendiks yang terlihat normal, dan
tidak ada penyebab lain dari masalah pasien, lebih baik mengangkat apendiks yang
terlihat normal tersebut daripada melewatkan apendisitis yang awal atau kasus
apendisitis yang ringan.10

14
2.2.10 Komplikasi
Komplikasi yang paling membahayakan adalah perforasi, baik berupa
perforasi bebas maupun perforasi pada apendiks yang telah mengalami pendindingan
sehingga berupa massa yang terdiri atas kumpulan apendiks, sekum, lekuk usus halus.
Pada Periapendikular Infiltrat dengan pembentukan dinding yang belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi diikuti oleh
peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa periapendikuler yang masih
bebas (mobile) sebaiknya segera dioperasi untuk mencegah penyulit tersebut.
Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk kerongga
abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian. 10

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Asti Sirait
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 32 tahun
Alamat : Jl. Proyek Baru, Kec Limapuluh
Pendidikan : SMA
Agama : Kristen
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Tanggal Periksa : 27 Agustus 2021
3.2 Anamnesis
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis dan alloanamnesa pada pasien dan
keluarga pasien di RSUD Petala Bumi
a. Keluhan utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari SMRS
a. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSUD Petala Bumi dibawa oleh keluarga pasien
dengan keluhan nyeri perut kanan bawah sejak 1 hari sebelum masuk rumah
sakit. Nyeri perut dirasakan seperti melilit dan terasa hilang timbul. Awalnya
pasien mengeluh nyeri yang dirasakan disekitar pusar kemudian meminum
obat maag namun keluhan tidak membaik. Mual (+) muntah (+) 1 kali, isi
makanan yang dimakan. Pasien juga mengeluh muntah setiap makan maupun
minum. Napsu makan (-) Demam (-) Batuk (-) Pilek (-) Hilang penciuman dan
indera perasa (-) Pasien juga mengeluh sulit BAB sejak 2 hari yang lalu. BAK
tidak ada keluhan.

16
a. Riwayat Pengobatan
+ 10 jam SMRS pasien berobat ke IGD RSUD Petala Bumi dengan
keluhan yang sama dan diberikan obat paracetamol 3x500mg, injeksi
omeprazole 1 amp dan injeksi ondansetron 1 amp. Keluhan nyeri sedikit
berkurang, pasien belum mau dirawat dan meminta rawat jalan.
a. Riwayat Penyakit Dahulu

• Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (+) 10 jam SMRS

• Riwayat keputihan disangkal

• Riwayat Asma (+) sejak 5 tahun yang lalu


a. Riwayat Penyakit Keluarga

• Riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal


a. Riwayat Kebiasaan

• Riwayat makan makanan rendah serat (+)


• Riwayat merokok (-)
• Riwayat olahraga (-)
a. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal dirumah bersama suaminya dengan status ekonomi
menengah keatas.
3.3 Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis, E4V5M6
Tekanan darah : 119/75 mmHg
Nadi : 76x/menit
Respiratory rate : 18x/menit
Suhu : 36,7 C

Kepala : normosefali
Mata : konjungtiva anemis (-/-) sklera ikterik (-/-)
Hidung : deviasi septum (-) sekret (-) epistaksis (-)
Mulut : bibir pucat (-) bibir kering (-) oral ulcer (-)
Leher : JVP tidak meningkat, pembesaran KGB (-)
Thorax

17
Pulmo : I : simetris, retraksi (-)
P : stem fremitus kiri = kanan
P : sonor
A : vesikuler (+/+) wheezing (-/-) ronkhi (-/-)
Cor : ictus cordis tidak terlihat dan tidak teraba, BJ I&II regular normal
Abdomen : I : datar
P: lemas, nyeri tekan perut kanan bawah (+) Psoas sign (+) Mc
burney (+) Obturator sign (+) Rovsing sign (-)
Ekstremitas : akral hangat, sianosis (-) CRT < 2 detik
3.4 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium (26/08/2021)
ITEM PEMERIKSAAN HASIL NILAI NORMAL SATUAN
Hematologi lengkap
Jumlah sel darah
Hb 13,9 12-14 g/dl
Hematokrit 41 37-43 %
Leukosit 14.460 4000-11000 /mm
Trombosit 312.000 150-400 ribu /mm
Eritrosit 4,50 4,5-5,5 juta /mm

Index
MCV 91 82-92 fl
MCH 30 28-32 pg
MCHC 33 32-36 %

Diff count
Basofil 0 0-1 %
Eosinophil 2 1-3 %
Neotrofil 74 50-70 %
Limfosit 17 20-40 %
Monosit 7 2-8 %

Antigen SARS COV-2 Negatif

18
Elektrolit
Natrium 141 135-148 mmol/L
Kalium 3,7 3,5-5,0 mmol/L
Klorida 106 98-107 mmol/L

Urinalisa
Parameter Hasil Nilai normal Satuan
Warna Kuning keruh Kuning jernih
Berat jenis 1.030 1.003-1.030
pH 5 4,5-8,0
Protein Negatif Negatif
Reduksi Negatif Negatif
Bilirubin Negatif Negatif
Urobilinogen Normal Normal
Nitrit Positif Negatif
Keton Negatif Negatif
Sedimen
Eritrosit 1-2 0-1 /lpb
Leukosit 10-15 0-5 /lpb
Bakteri Positif Negatif
Silinder Negatif Negatif

Foto thorax
Kesan : Tidak tampak pneumonia, Jantung normal
3.5 Resume
3.6 Diagnosis
Appendisitis Akut
3.7 Diagnosis Banding
• Appendisitis Akut
• Caecal Karsinoma
3.8 Tatalaksana

19
- Edukasi terhadap pasien bahwa tatalaksana appendisitis akut adalah dengan tindakan
operatif
- Edukasi terapi farmakologis hanya bersifat simptomatik

Terapi selama rawat inap di rumah sakit:


- IVFD RL gtt xx/menit
- Inj Ceftriazon 2x1
- Inj Ketorolac 3x1 amp
- Inj Omeprazol 2x1
3.9 Prognosis
Quo ad vitam : dubia ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

20
FOLLOW UP
27 Agustus 2021 28 Agustus 2021
S Nyeri perut kanan bawah (+) mual (+) Nyeri perut kanan bawah (+)
O Kesadaran : Compos mentis Kesadaran : Compos mentis
GCS E4V5M6 GCS E4V5M6
TD: 120/70 mmHg TD: 111/70 mmHg
N: 79x/menit N: 92x/menit
RR: 20x/menit RR: 20x/menit
T: 36,7 C T: 36,5 C
Status lokalis regio abdomen: Status lokalis regio abdomen:
Inspeksi : datar Inspeksi : datar
Auskultasi : BU (+) Auskultasi : BU (+)
Palpasi : lemas, nyeri tekan perut kanan Palpasi : lemas, nyeri tekan perut kanan
bawah (+) mc burney (+) psoas sign (+) bawah (+) mc burney (+) psoas sign (+)
obturator sign (+) obturator sign (+)
Perkusi : timpani Perkusi : timpani
A Appendisitis akut Appendisitis akut
P - IVFD RL 20 tpm - IVFD RL 20 tpm
- Antibiotik broad spectrum - Antibiotik broad spectrum
- Injeksi antinyeri

29 Agustus 2021 30 Agustus 2021


S Nyeri luka bekas operasi (+) Nyeri luka bekas operasi (+) napsu makan
Lemas (+) (+) mual (-)
O Kesadaran : Compos mentis Kesadaran : Compos mentis
GCS E4V5M6 GCS E4V5M6
TD: 120/70 mmHg TD: 120/70 mmHg
N: 79x/menit N: 79x/menit
RR: 20x/menit RR: 20x/menit

21
T: 36,7 C T: 36,7 C
Status lokalis regio abdomen: Status lokalis regio abdomen:
Inspeksi : tampak luka bekas operasi Inspeksi : tampak luka bekas operasi
dilapisi perban (+) perdarahan aktif (-) dilapisi perban (+) perdarahan aktif (-)
A Post appendektomi Post appendektomi
P - IVFD RL 20tpm - IVFD RL 20tpm
- Inj Ceftriaxon 2x1 gr - Inj Ceftriaxon 2x1 gr
- Infus metronidazole 3x500mg - Infus metronidazole 3x500mg
- Inj ketorolac 2x1 amp - Inj ketorolac 2x1 amp
- Inj metoclopramide 3x1 amp - Inj metoclopramide 3x1 amp
- Laxadin 2x1

31 Agustus 2021
S Nyeri diluka bekas operasi (+)
berkurang
O Kesadaran : Compos mentis
GCS E4V5M6
TD: 120/70 mmHg
N: 79x/menit
RR: 20x/menit
T: 36,7 C
Status lokalis regio abdomen:
Inspeksi : tampak luka bekas operasi
dilapisi perban (+) perdarahan aktif (-)
A Post appendektomi
P - Pasien boleh pulang
- Ceftriaxone 2x500mg
- Asam mefenamat 3x500mg
- Lansoprazol 1x30mg

22
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada pasien ini ditegakkan diagnosis Appendisitis Akut, berdasarkan:


Anamnesis : pasien datang dengan keluhan nyeri perut kanan bawah yang berlangsung
sejak 1 hari SMRS. Keluhan ini diawali dengan nyeri pada daerah pusar, yang kemudian
berpindah ke perut kanan bawah setelah hampir 10 jam. Keluhan ini sesuai dengan salah satu
kriteria Mantrels Score pada penegakan diagnosis appendisitis yaitu tenderness of right
lower quadrant dan migration of pain. Nyeri perut dirasakan seperti melilit dan hilang
timbul. Pasien juga mengeluh mual (+) muntah (+) 1 kali, isi makanan yang dimakan.
Keluhan ini juga memenuhi kriteria Mantrel. Pasien mengeluh tidak napsu makan dan
muntah setiap makan maupun minum, sehingga memenuhi kriteria anoreksia. Tidak
ditemukan demam pada pasien ini. Keluhan lain seperti batuk, pilek, hilang penciuman dan
indera perasa disangkal untuk menyingkirkan kemungkinan diagnosis Covid 19 di era
pandemi. Pasien mengeluh sulit buang air besar sejak 2 hari yang lalu, hal ini dapat menjadi
factor risiko bahwa sumbatan fekalit yang memicu inflamasi lumen apendiks. BAK tidak ada
keluhan untuk menyingkirkan kemungkinan infeksi lain seperti ISK.
+ 10 jam SMRS pasien berobat ke IGD RSUD Petala Bumi dengan keluhan yang
sama dan diberikan obat paracetamol 3x500mg, injeksi omeprazole 1 amp dan injeksi
ondansetron 1 amp. Keluhan nyeri sedikit berkurang, pasien belum mau dirawat dan meminta
rawat jalan. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya (+) 10 jam SMRS. Riwayat keputihan
disangkal, hal ini dapat digunakan untuk menyingkirkan kemungkinan PID yang
menyebabkan nyeri perut kanan bawah. Pasien mengaku memiliki Riwayat Asma (+) sejak 5
tahun yang lalu. Riwayat penyakit serupa dalam keluarga disangkal. Pada Riwayat kebiasaan
didapatkan riwayat makan makanan rendah serat pada pasien yang dapat dikaitkan dengan
keluhan sulit BAB.
Pemeriksaan fisik: Pasien tampak sakit sedang, dengan kesadaran compos mentis.
Tanda vital dalam batas normal yaitu TD 119/75 mmHg, nadi 76x/menit, RR 18x/menit dan
suhu 36,7 C. Pemeriksaan status generalis dalam batas normal. Pada pemeriksaan regio
abdomen didapatkan abdomen datar, lemas, nyeri tekan perut kanan bawah, nyeri lepas

23
tekan (+), hal ini sesuai dengan kriteria Mantrel yaitu rebound pain. Saat dilakukan palpasi
pada perut kiri bawah, pasien tidak mengeluh nyeri terasa pada perut kanan bawah, yang
menunjukkan Rovsing sign (-). Saat dilakukan fleksi panggul kemudian dilakukan rotasi
internal pada panggul, pasien mengeluh nyeri sehingga obturator sign (+). Pada posisi
miring ke kiri saat dilakukan ekstensi panggul kanan, pasien merasa nyeri yang menunjukkan
psoas sign (+).
Pemeriksaan penunjang: Hasil laboratorium menunjukkan leukositosis dengan
leukosit 14.460/mm dan differential count PMN shift to the left (neutrophil 74%). Hal ini
sesuai dengan teori yaitu pasien appendisitis biasanya dengan leukositosis (>10.000 sel/mm 3)
dan shift to the left pada pemeriksaan leukosit PMN ditemukan pada 95% kasus appendisitis
akut. Penunjang lain seperti USG dengan gambaran sausage sign tidak dilakukan pada kasus
ini.
Berdasarkan hasil perhitungan Mantrels score didapatkan hasil 9 sehingga pasien
memenuhi kriteria diagnosis Appendisitis. Tatalaksana pada pasien ini adalah dengan
pemberian antinyeri, seperti injeksi ketorolac maupun paracetamol dan antibiotik untuk
mengatasi infeksi berupa injeksi ceftriaxone. Sementara untuk terapi definitive pada pasien
ini dilakukan Tindakan appendektomi.

24
BAB V
PENUTUP

Apendisitis adalah peradangan pada apendiks vermiformis yang


merupakan penyebab paling sering inflamasi abdomen, yang bila terlambat
didiagnosis dapat menyebabkan komplikasi. Apendisitis merupakan salah satu
kasus kegawatdaruratan abdomen yang paling sering terjadi di Instalasi Gawat
Darurat.
Anamnesis baik secara alloanamnesis maupun autoanamnesis menjadi dasar
utama dalam menegakkan diagnosis apendisitis ini. Pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang dilakukan untuk mendukung penegakan diagnosis. Pada
kasus ini telah ditegakan diagnosis apendisitis akut dan tatalaksana dilakukan sesuai
dengan evidence based medicine. Prognosis pada pasien ini baik.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Sjamsuhidayat, R Wim de Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 3. ECG: Jakarta.
Indonesia. Hal 688
2. Braunwald E. Heart Failure and Cor Pulmonale. In: Kasper DL, Braunwald E,Fauci
AS, Hauser SL, Longo DL, Jameson JL, Editors. 2015.Harrison’s Principle of Internal
Medicine. 19th Edition. New York: McGraw Hill;
3. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 2019. Principles of Surgery eleventh edition. Mc-
Graw Hilla Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
4. Thomas, Gloria A.,et. Al. Angka kejadian apendisitis di RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado periode Oktober 2012 – September 2015. Jurnal e-Clinic (eCl),
Volume 4, Nomor 1, Januari-Juni 2016.
5. Omari, dkk. 2013. Risk Factor for Perforation. World Journal od Emergency Surgery
9(6)
6. Papandria, dkk. 2013. Risk of Perforation Increase with Delay in Recognition and
Surgery for Acute Appendicitis. HHS Public. 184(2), 723-729
7. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 2019. Principles of Surgery eleventh edition. Mc-
Graw Hilla Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
8. Paulsen F. & J. Waschke. 2013. Sobotta Atlas Anatomi Manusia : Anatomi Umum
dan Muskuloskeletal. Penerjemah : Brahm U. Penerbit. Jakarta : EGC
9. Sjamsuhidajat, R., Jong, W.D., editor., “Usus Halus, Apendiks, Kolon, Dan
Anorektum”, dalam Buku Ajar Ilmu Bedah, Edisi 2. EGC, Jakarta, 2005,hlm.639-646.
10. Mansjoer,A., dkk. 2000. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid Kedua.
Penerbit MediaAesculapius Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.

11. Robbins. 2007. Buku Ajar Patologi. EGC. Jakarta. Indonesia. Hal.660-661

26
12. Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2008. Profil Kesehatan Indonesia 2007.
Indonesia: Depkes Republik Indonesia.
13. Schwartz, Spencer, S., Fisher, D.G., 2019. Principles of Surgery eleventh edition. Mc-
Graw Hilla Division of The McGraw-Hill Companies. Enigma an Enigma Electronic
Publication.
14. Alvarado, Alfredo.2018. Clinical approach in the diagnosis of acute appendisitis.

Apendiks memiliki dinding otot yang berfungsi mengeluarkan lender dari


sekum. Jika terdapat sumbatan pembukaan lumen apendiks ini seperti sumbatan
fekalit maka akan terjadi penumpukan lender yang dapat menyebabkan edema
dinding apendiks dan distensi organ lain. Saat terjadi akumulasi lender ini, pembuluh
darah apendiks akan tertutup dan dapat menyebabkan nekrosis. Disaat bersamaan
flora normal usus akan menyebar dan menyebabkan peradangan.

27

Anda mungkin juga menyukai