Anda di halaman 1dari 36

LAPORAN KASUS

Appendicitis Akut

Disusun Sebagai Bagian dari Persyaratan Menyelesaikan


Program Internship Dokter Indonesia Provinsi Nusa Tenggara Barat

Disusun Oleh:
dr. Ida Ayu Paramitha Atmaja

Pembimbing:
dr. Kurniawan Eko, Sp. B

DALAM RANGKA MENGIKUTI PROGRAM INTERNSHIP DOKTER


INDONESIA
DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
DINAS KESEHATAN KOTA MATARAM
RUMAH SAKIT BHAYANGKARANUSA TENGGARA BARAT
PERIODE MEI 2020-PEBRUARI 2021

1
BERITA ACARA PRESENTASI DISKUSI KASUS

Pada hari ini tanggal November 2020, telah dipresentasikan Laporan Kasus oleh:

Nama peserta : dr. Ida Ayu Paramitha Atmaja


Dengan judul/topik : Appendicitis Akut
Nama pendamping : dr.Mochammad Dilliawan, Sp.PD
Nama pembimbing : dr. Kurniawan Eko, Sp. B
Nama wahana : Rumah Sakit Bhayangkara, Kota Mataram, NTB.

No Nama Peserta Presentasi Tanda Tangan

1 dr. Aulannisa Handayani 1.


2 dr. Ahia Zakira Rosmala 2.
3 dr. Nisa Fathonah 3.
4 dr. Nadiah Restu Meilindha 4.
5 dr. Bayu Kusuma Wardhana 5.
6 dr. Irwani Mandalika 6.
7 dr. Rohmatul Hajiriah Nurhayati 7.

Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya.
Pembimbing Pendamping

(dr. Kurniawan Eko, Sp. B) (dr.Mochammad Dilliawan, SpPD)


Spesialis Bedah IPDA NRP.85122064

2
KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala
nikmat, rahmat, dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan
kasus yang berjudul “Appendicitis Akut” dengan baik dan tepat waktu.
Laporan kasus ini disusun dalam rangka memenuhi tugas program
internship dokter Indonesia. Di samping itu, laporan kasus ini ditujukan untuk
menambah pengetahuan tentang Appendicitis.
Melalui kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada dr.
Kurniawan Eko, Sp. B selaku pembimbing dalam penyusunan laporan kasus ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada rekan–rekan anggota kelompok
internship.
Penulis menyadari bahwa laporan kasus ini masih jauh dari sempurna dan
tidak luput dari kesalahan. Oleh karena itu, penulis sangat berharap adanya
masukan, kritik maupun saran yang membangun. Akhir kata penulis ucapkan
terimakasih yang sebesar–besarnya, semoga tugas ini dapat memberikan
tambahan informasi yang bermanfaat bagi kita semua.

Mataram, November 2020

Penulis

3
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR…………………………………………………..……… 3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang…………………………………………………….……… 5
1.2 Tujuan …………………………………………………………….……… 6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi……… …………………………………………………………. 7
2.2 Fisiologi…………………………………………………………………. 9
2.3 Definisi….…………………………………………………………….......10
2.4 Etiologi …………………………………………………………………...10
2.5 Patofisiologi ………………………………………………………………11
2.6 Manifestasi Klinis…………………………………………………………14
2.7 Pemeriksaan Penunjang…………………………………………………...17
2.8 Alvarado Score……………………………………………………………19
2.9 Diagnosis Banding………………………………………………………..20
2.10 Penatalaksanaan…………………………………………………………21
2.11 Komplikasi………………………………………………………………25
2.12 Prognosis ………………………………………………………………..25
BAB III
LAPORAN KASUS……………………………………………………………26
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS …………………………………………………….32
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan ………………………………….…………………………...34
5.2 Saran ……………………………………………………………………..34
BAB VI
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………35

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Appendiks disebut juga umbai cacing. Istilah usus buntu yang dikenal di
masyarakat awam adalah kurang tepat karena usus buntu yang sebenarnya adalah
sekum. Organ yang tidak diketahui fungsinya ini sering menimbulkan masalah
kesehatan. Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
menghindari komplikasi yang umumnya berbahaya.
Appendicitis merupakan peradangan dari appendiks vermiformis, yang lebih
dikenal dengan sebutan infeksi usus buntu dan ini merupakan penyakit yang
sering dijumpai. Meskipun sebagian besar pasien dengan appendicitis akut dapat
dengan mudah didiagnosis tetapi tanda dan gejalanya cukup bervariasi, sehingga
diagnosis secara klinis dapat menjadi sulit ditegakkan, untuk itu dokter harus
mempunyai pengetahuan yang baik untuk mengenal appendicitis. Pada
appendicitis tidak mungkin dapat ditemukan satu gejala klinis yang tidak dapat
ditentukan oleh satu tes khusus untuk mendiagnosanya secara tepat. Pada
beberapa kasus appendicitis dapat sembuh tanpa pengobatan, tapi banyak juga
yang memerlukan laparotomi. Appendicitis akut dapat menyebabkan kematian
karena peritonitis dan syok.
Appendicitis merupakan penyebab tersering dari nyeri abdomen yang
progresif dan menetap pada semua golongan umur, kegagalan menegakkan
diagnosa dan keterlambatan penatalaksanaannya akan menyebabkan peningkatan
morbiditas dan mortalitas.
Pada masyarakat dengan kebiasaan diet tinggi serat, appendicitis jarang
terjadi, dikarenakan serat akan menurunkan viskositas feses, mempersingkat
waktu transit feses dan menghambat pembentukan fekalit. Fekalit dapat
menyebabkan obstruksi pada lumen appendiks. Kejadian appendicitis dapat
berkurang karena kebiasaan diet tinggi serat dan kebiasaan menggunakan toilet

5
jongkok bila dibandingkan dengan toilet duduk.1

1.2. Tujuan
Tujuan dari laporan kasus ini antara lain:
o Sebagai bahan pembelajaran untuk lebih mengetahui tentang Appendicitis
dan cara penanganannya di fasilitas kesehatan.
o Sebagai salah satu persyaratan pemenuhan tugas sebagai internship di
Rumah Sakit Bhayangkara Mataram.

6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI 2,3


Appendiks merupakan suatu organ limfoid seperti tonsil, payer patch
membentuk produk immunoglobulin, berbentuk tabung, panjangnya kira-kira
10 cm (kisaran 3-15 cm) dengan diameter 0,5-1 cm, dan berpangkal di
caecum. Lumennya sempit di bagian proksimal dan melebar di bagian distal.
Appendiks terletak di kuadran kanan bawah abdomen, tepatnya di
ileocaecum dan merupakan pertemuan ketiga taenia coli (taenia libera, taenia
colica, dan taenia omentum). Dari topografi anatomi, letak pangkal appendiks
berada pada titik McBurney, yaitu titik pada garis antara umbilicus dan SIAS
kanan yang berjarak 1/3 dari SIAS kanan.
Appendix vermiformis disangga oleh mesoapendiks (mesenteriolum)
yang bergabung dengan mesenterium usus halus pada daerah ileum terminale.
Mesenteriolum berisi a.apendikularis (cabang a.ileocolica). Orificiumnya
terletak 2,5 cm dari katup ileocecal. Mesoapendiknya merupakan jaringan
lemak yang mempunyai pembuluh appendiceal dan terkadang juga memiliki
limfonodi kecil.
Struktur appendiks mirip dengan usus mempunyai 4 lapisan yaitu
mukosa, submukosa, muskularis eksterna/propria (otot longitudinal dan
sirkuler) dan serosa. Appendiks mungkin tidak terlihat karena adanya
membran Jackson yang merupakan lapisan peritoneum yang menyebar dari
bagian lateral abdomen ke ileum terminal, menutup caecum dan appendiks.
Lapisan submukosa terdiri dari jaringan ikat kendor dan jaringan elastik
membentuk jaringan saraf, pembuluh darah dan lymphe. Antara mukosa dan
submukosa terdapat lympho nodes. Mukosa terdiri dari satu lapis collumnar
epithelium dan terdiri dari kantong yang disebut crypta lieberkuhn. Dinding

7
dalam sama dan berhubungan dengan caecum (inner circular layer). Dinding
luar (outer longitudinal muscle) dilapisi oleh pertemuan ketiga taenia colli
pada pertemuan caecum dan appendiks. Taenia anterior digunakan sebagai
pegangan untuk mencari appendiks.
Appendiks pertama kali tampak saat perkembangan embriologi
minggu ke-8 yaitu bagian ujung dari protuberans caecum. Pada saat antenatal
dan postnatal, pertumbuhan dari caecum yang berlebih akan menjadi
appendiks, yang akan berpindah dari medial menuju katup ileosekal.
Pada bayi, appendiks berbentuk kerucut , lebar pada pangkalnya dan
menyempit ke arah ujungnya. Keadaan ini mungkin menjadi sebab rendahnya
insiden appendicitis pada usia itu.
Pada 65% kasus, appendiks terletak intraperitoneal. Kedudukan itu
memungkinkan appendiks bergerak dan ruang geraknya bergantung pada
panjang mesoappendiks penggantungnya. Pada kasus selebihnya, appendiks
terletak retroperitoneal, yaitu di belakang caecum, di belakang
kolonasendens, atau di tepi lateral kolon asendens. Gejala klinis appendicitis
ditentukan oleh letak appendiks.

Jenis-jenis Posisi Appendiks : 4


1. Promontorik : ujung appendiks menunjuk ke arah promontorium
sacri.
2. Retrocolic : appendiks berada di belakang kolon ascenden dan
biasanya retroperitoneal.
3. Antecaecal : appendiks berada di depan caecum.
4. Paracaecal : appendiks terletak horizontal di belakang caecum.
5. Pelvic Descenden : appendiks menggantung ke arah pelvis minor.
6. Retrocaecal : intraperitonal atau retroperitoneal; appendiks berputar
ke atas ke belakang caecum.

Persarafan parasimpatis berasal dari cabang n.vagus yang mengikuti


a.mesenterika superior dan a.appendikularis, sedangkan persarafan simpatis

8
berasal dari n.torakalis X. Oleh karena itu, nyeri visceral pada appendicitis
bermula di sekitar umbilikus. Pendarahan appendiks berasal dari a.
appendikularis yang merupakan arteri tanpa kolateral. Jika arteri ini
tersumbat, misalnya karena trombosis pada infeksi, appendiks akan
mengalami gangren.2
Secara histologis, appendiks mempunyai basis struktur yang sama
seperti usus besar. Glandula mukosanya terpisahkan dari vaskular submukosa
oleh mukosa maskularis. Bagian luar dari submukosa adalah dinding otot
yang utama. Appendiks terbungkus oleh tunika serosa yang terdiri atas
vaskularisasi pembuluh darah besar dan bergabung menjadi satu di
mesoapendiks. Jika appendiks terletak di retroperitoneal, maka appendiks
tidak terbungkus oleh tunika serosa.4

Histologis : 4
- Tunika Mukosa : memiliki kriptus tetapi tidak memiliki villus.
- Tunika Submukosa : banyak folikel lymphoid.
- Tunika Muskularis : stratum circulare sebelah dalam dan stratum
longitudinale (gabungan tiga taenia coli) sebelah
luar.
- Tunika Serosa : bila letaknya intraperitoneal asalnya dari
peritoneum viscerale.
 

9
Gambar 1 : Anatomi Appendiks
2.2 FISIOLOGI 2,3
Appendiks menghasilkan lendir 1-2 ml per hari. Lendir di muara
appendiks tampaknya berperan pada patogenesis appendicitis. Imunoglobulin
sekretoar yang dihasilkan oleh GALT (Gut Associated Lymphoid Tissue) yang
terdapat di sepanjang saluran cerna termasuk appendiks, ialah IgA.
Imunoglobulin ini sangat efektif sebagai pelindung terhadap infeksi. Namun
demikian, pengangkatan appendiks tidak mempengaruhi sistem imun tubuh
karena jumlah jaringan limfe disini kecil sekali jika dibandingkan dengan
jumlahnya di saluran cerna dan di seluruh tubuh.
Jaringan lymphoid pertama kali muncul pada appendiks sekitar 2
minggu setelah lahir. Jumlahnya meningkat selama pubertas, dan menetap
saat dewasa dan kemudian berkurang mengikuti umur. Setelah usia 60 tahun,
tidak ada jaringan lymphoid lagi di appendiks dan terjadi penghancuran
lumen appendiks komplit.

2.3 DEFINISI 2
Appendicitis merupakan peradangan pada appendix vermiformis.
Peradangan akut appendiks memerlukan tindakan bedah segera untuk
mencegah komplikasi yang umumnya berbahaya.

2.4 ETIOLOGI
Obstruksi lumen merupakan penyebab utama appendicitis. Fekalit
merupakan penyebab tersering dari obstruksi appendiks. Penyebab lainnya
adalah hipertrofi jaringan limfoid, sisa barium dari pemeriksaan Roentgen,
diet rendah serat, dan cacing usus termasuk ascaris. Trauma tumpul atau
trauma karena colonoscopy dapat mencetuskan inflamasi pada appendiks.
Frekuensi obstruksi meningkat dengan memberatnya proses inflamasi.
Fekalit ditemukan pada 40% dari kasus appendicitis akut, sekitar 65%
merupakan appendicitis gangrenous tanpa ruptur dan sekitar 90% kasus
appendicitis gangrenous dengan ruptur.

10
Penyebab lain yang diduga dapat menyebabkan appendicitis adalah
erosi mukosa appendiks karena parasit seperti E. histolytica. Penelitian
epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan
pengaruh konstipasi terhadap timbulnya appendicitis. Konstipasi akan
meningkatkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan
fungsional appendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon
biasa. Semuanya akan mempermudah terjadinya appendisits akut.3

2.5 PATOFISIOLOGI
Appendicitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen appendiks
oleh hiperplasia folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis
akibat peradangan sebelumnya, atau neoplasma.
Obstruksi lumen yang tertutup disebabkan oleh hambatan pada bagian
proksimalnya dan berlanjut pada peningkatan sekresi normal dari mukosa
appendiks yang distensi. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang
diproduksi mukosa mengalami bendungan.
Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
appendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan
tekanan intralumen. Kapasitas lumen appendiks normal hanya sekitar 0,1 ml.
Jika sekresi sekitar 0,5 ml dapat meningkatkan tekanan intralumen sekitar 60
cmH2O. Manusia merupakan salah satu dari sedikit yang dapat
mengkompensasi peningkatan sekresi yang cukup tinggi sehingga menjadi
gangren atau terjadi perforasi.2
Tekanan yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks
mengalami hipoksia, menghambat aliran limfe, terjadi ulserasi mukosa dan
invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan appendiks bertambah
(edema) dan semakin iskemik karena terjadi trombosis pembuluh darah
intramural (dinding appendiks). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut
fokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium. Gangren dan perforasi khas dapat
terjadi dalam 24-36 jam, tapi waktu tersebut dapat berbeda-beda setiap pasien

11
karena ditentukan banyak faktor. 2,3
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat. Hal
tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri
akan menembus dinding. Peradangan timbul meluas dan mengenai
peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah.
Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.2
Bila kemudian arteri terganggu akan terjadi infark dinding appendiks
yang diikuti dengan gangren. Stadium ini disebut dengan appendicitis
gangrenosa. Bila dinding yang telah rapuh itu pecah, akan terjadi appendicitis
perforasi.
Bila semua proses di atas berjalan lambat, omentum dan usus yang
berdekatan akan bergerak ke arah appendiks hingga timbul suatu massa lokal
yang disebut infiltrate appendicularis. Peradangan appendiks tersebut dapat
menjadi abses atau menghilang.
Infiltrat appendikularis merupakan tahap patologi appendicitis yang
dimulai di mukosa dan melibatkan seluruh lapisan dinding appendiks dalam
waktu 24-48 jam pertama, ini merupakan usaha pertahanan tubuh dengan
membatasi proses radang dengan menutup appendiks dengan omentum, usus
halus, atau adneksa sehingga terbentuk massa periappendikular. Di dalamnya
dapat terjadi nekrosis jaringan berupa abses yang dapat mengalami perforasi.
Jika tidak terbentuk abses, appendicitis akan sembuh dan massa
periappendikular akan menjadi tenang untuk selanjutnya akan mengurai diri
secara lambat.

Dalam pathogenesis appendicitis akut urutan kejadiannya adalah : 5


1. Obstruksi lumen menyebabkan sekresi mukus dan cairan yang
menyebabkan peningkatan tekanan intraluminal.
2. Ketika tekanan intraluminal meningkat, tekanan dalam mukosa
venula dan limfatik meningkat, aliran darah dan limfe terhambat
karena tekanan meningkat pada dinding appendiceal.

12
3. Ketika tekanan kapiler meningkat, terjadi iskemia mukosa
inflamasi dan ulserasi kemudian bakteri tumbuh pesat di dalam
lumen dan bakteri menyerang mukosa dan submukosa sehingga
terjadi inflamasi transmural, edema, vascular stasis, dan nekrosis
dari muscular. Perforasi mungkin dapat terjadi.

Pada perjalanan penyakitnya, penyakit appendicitis akut dapat berubah


menjadi : 5
1. Phlegmon 2-3 hari perforasi, 3-5 hari peritonitis difusa sepsis.
Phlegmon ialah proses penahanan dalam jaringan ikat longgar.
Pada orang dewasa, terjadi karena keterlambatan dalam
menegakkan diagnosa, sedangkan pada anak kecil disebabkan
appendiks kecil dan kurang komunikatif.
2. Mikroperforasi massa / infiltrate periappendiks.
Mikroperforasi adalah suatu peradangan oleh omentum dan
jaringan sekitarnya. Tubuh melokalisir perforasi oleh karena daya
tahan tubuh meningkat (dengan pemberian antibiotik).
Jika peradangan tidak sempurna, dapat terjadi penyebaran pus
dari ruangan omentum.

Pada anak-anak, karena omentum lebih pendek dan apendiks lebih


panjang, dinding appendiks lebih tipis. Keadaan tersebut ditambah dengan
daya tahan tubuh yang masih kurang memudahkan terjadinya perforasi.
Sedangkan pada orang tua perforasi mudah terjadi karena telah ada gangguan
pembuluh darah.3
Kecepatan rentetan peristiwa tersebut tergantung pada virulensi
mikroorganisme, daya tahan tubuh, fibrosis pada dinding appendiks,
omentum, usus yang lain, peritoneum parietale dan juga organ lain seperti
vesika urinaria, uterus tuba, mencoba membatasi dan melokalisir proses
peradangan ini. Bila proses melokalisir ini belum selesai dan sudah terjadi
perforasi maka akan timbul peritonitis. Walaupun proses melokalisir sudah

13
selesai tetapi masih belum cukup kuat menahan tahanan atau tegangan dalam
cavum abdominalis, oleh karena itu penderita harus benar-benar istirahat.2
Appendiks yang pernah meradang tidak akan sembuh sempurna, tetapi
akan membentuk  jaringan parut yang menyebabkan perlengketan dengan
jaringan sekitarnya. Perlengketan ini dapat menimbulkan keluhan berulang di
perut kanan bawah. Pada suatu ketika organ ini dapat meradang akut lagi dan
dinyatakan mengalami eksaserbasi akut.3

2.6 MANIFESTASI KLINIS

a. Gejala Klinis
Appendicitis infiltrat didahului oleh keluhan appendisitis akut yang
kemudian disertai adanya massa periapendikular. Gejala appendisitis akut
umumnya timbul kurang dari 36 jam, dimulai dengan nyeri perut yang
didahului anoreksia. Gejala klasik appendicitis akut biasanya bermula dari
nyeri di daerah umbilikus atau periumbilikus. Nyeri menetap, kadang
disertai kram yang hilang-timbul. Dalam 2-12 jam nyeri beralih ke
kuadran kanan, yang akan menetap dan diperberat bila berjalan atau batuk.
Pada permulaan timbulnya penyakit belum ada keluhan abdomen yang
menetap. Namun dalam beberapa jam nyeri abdomen kanan bawah akan
semakin progresif.2
Terdapat juga keluhan malaise, dan demam yang tidak terlalu
tinggi. Suhu tubuh biasanya naik hingga 38oC, tetapi pada keadaan
perforasi suhu tubuh meningkat hingga >39oC. Biasanya juga terdapat
konstipasi tetapi kadang-kadang terjadi diare, mual dan muntah. Sebagian
besar pasien mengalami obstipasi pada awal nyeri perut dan banyak pasien
yang merasa nyeri berkurang setelah buang air besar. Diare timbul pada
beberapa pasien terutama anak-anak.2
Pada 75% pasien dijumpai muntah yang umumnya hanya terjadi

14
satu atau dua kali saja. Muntah disebabkan oleh stimulasi saraf dan ileus.
Umumnya urutan munculnya gejala appendisitis adalah anoreksia, diikuti
nyeri perut dan muntah. Bila muntah mendahului nyeri perut, maka
diagnosis appendisitis diragukan. Muntah yang timbul sebelum nyeri perut
mengarah pada diagnosis gastroenteritis. 2
Appendicitis akut sering tampil dengan gejala khas yang didasari
oleh radang mendadak appendiks yang memberikan tanda setempat,
disertai maupun tidak disertai rangsang peritoneum lokal. Umumnya nafsu
makan menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke kanan
bawah ke titik McBurney. Disini nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih
jelas letaknya sehingga merupakan somatik setempat. Kadang tidak ada
nyeri epigastrium tetapi terdapat konstipasi sehingga penderita merasa
memerlukan obat pencahar. Tindakan itu dianggap berbahaya karena bisa
mempermudah terjadinya perforasi. Bila terdapat perangsangan
peritoneum biasanya pasien mengeluh sakit perut bila berjalan atau batuk.2
Bila letak appendiks retrosekal di luar rongga perut, karena
letaknya terlindung sekum maka tanda nyeri perut kanan bawah tidak
begitu jelas dan tidak ada rangsangan peritoneal. Rasa nyeri lebih ke arah
perut sisi kanan atau nyeri timbul pada saat berjalan, karena kontraksi otot
psoas mayor yang menegang dari dorsal.3
Appendiks yang terletak di rongga pelvis, bila meradang, dapat
menimbulkan gejala dan tanda rangsangan sigmoid atau rektum sehingga
peristaltik meningkat, pengosongan rektum akan menjadi lebih cepat dan
berulang-ulang. Jika appendiks tadi menempel ke kandung kemih, dapat
terjadi peningkatan frekuensi kencing, karena rangsangan dindingnya.3
Pada beberapa keadaan, appendicitis agak sulit didiagnosis
sehingga tidak ditangani pada waktunya dan terjadi komplikasi. Gejala
appendicitis akut pada anak tidak spesifik. Gejala awalnya sering hanya
rewel dan tidak mau makan. Anak sering tidak bisa melukiskan rasa
nyerinya dalam beberapa jam kemudian akan timbul muntah-muntah dan
anak akan menjadi lemah dan letargi. Karena gejala yang tidak khas tadi,

15
sering appendicitis diketahui setelah perforasi. Pada bayi, 80-90 %
appendicitis baru diketahui setelah terjadi perforasi.3
Pada orang berusia lanjut gejalanya juga sering samar-samar saja,
tidak jarang terlambat diagnosis. Akibatnya lebih dari separuh penderita
baru dapat didiagnosis setelah perforasi.3
Pada kehamilan, keluhan utama appendicitis adalah nyeri perut,
mual, dan muntah. Yang perlu diperhatikan ialah, pada kehamilan trimester
pertama sering juga terjadi mual dan muntah. Pada kehamilan lanjut,
sekum dengan appendiks terdorong ke kraniolateral sehingga keluhan
tidak dirasakan di perut kanan bawah tetapi lebih ke regio lumbal kanan.3

b. Tanda Klinis
Appendiks umumnya terletak di sekitar McBurney, namun perlu
diingat bahwa letak anatomis appendiks sebenarnya dapat pada semua
titik, 360o mengelilingi pangkal caecum. Appendisitis letak retrocaecal
dapat diketahui dari adanya nyeri di antara costa 12 dan spina iliaca
posterior superior. Appendicitis letak pelvis dapat menyebabkan nyeri
rektal.2
Secara teori, peradangan akut appendiks dapat dicurigai dengan
adanya nyeri pada pemeriksaan rektum (rectal toucher). Namun
pemeriksaan ini tidak spesifik untuk appendicitis jika tanda-tanda
appendicitis lain telah positif.

Secara klinis, dikenal beberapa manuver diagnostik : 2,3,5


 Rovsing’s Sign
Penekanan pada abdomen kuadran kiri bawah akan menimbulkan
nyeri di abdomen kuadran kanan bawah. Hal ini disebabkan oleh
karena iritasi dari peritoneum. Disebut juga nyeri tekan kontralateral.
Sering positif pada appendicitis namun tidak spesifik.

16
 Blumberg Sign
Manuver dikatakan positif apabila penderita merasakan nyeri di
kuadran kanan bawah saat pemeriksa menekan di abdomen kuadran
kiri bawah lalu melepaskannya. Disebut juga nyeri lepas kontralateral.

 Psoas Sign
Pasien berbaring pada sisi kiri, tangan pemeriksa memegang lutut
pasien dan tangan kiri menstabilkan pinggulnya. Kemudian tungkai
kanan pasien digerakkan ke arah anteroposterior. Nyeri pada manuver
ini menunjukkan appendiks mengalami peradangan kontak dengan
otot psoas yang meregang saat dilakukan manuver.


Obturator Test
Pasien

terlentang, tangan kanan pemeriksa berpegangan pada telapak kaki


kanan pasien sedangkan tangan kiri di sendi lututnya. Kemudian
pemeriksa memposisikan sendi lutut pasien dalam posisi fleksi dan
articulatio coxae dalam posisi endorotasi kemudian eksorotasi. Tes ini
positif bila pasien merasakan nyeri di hipogastrium saat eksorotasi.
Nyeri pada manuver ini
menunjukkan
adanya perforasi

17
apendiks, abses lokal, iritasi m.obturatorius oleh appendiks dengan
letak retrocaecal, atau adanya hernia obturatoria.

2.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG


a. Laboratorium
Leukositosis ringan berkisar antara 10.000-18.000/mm2, biasanya
didapatkan pada keadaan akut. Appendicitis tanpa komplikasi dan sering
disertai predominan polimorfonuklear sedang. Jika hitung jenis sel darah
putih normal tidak ditemukan shift to the left, diagnosis appendicitis akut
harus dipertimbangkan. Jarang hitung jenis sel darah putih lebih dari
18.000/mm2 pada appendicitis tanpa komplikasi. Hitung jenis sel darah
putih di atas jumlah tersebut meningkatkan kemungkinan terjadinya
perforasi appendiks dengan atau tanpa abses. Pada appendicitis infiltrat,
LED akan ditemukan meningkat.
CRP (C-Reactive Protein) adalah suatu reaktan fase akut yang
disintesis oleh hati sebagai respon terhadap infeksi bakteri. Jumlah dalam
serum mulai meningkat antara 6-12 jam inflamasi jaringan.
Kombinasi 3 tes yaitu adanya peningkatan CRP > 8 mcg/mL,
hitung leukosit > 11.000, dan persentase neutrofil > 75% memiliki
sensitivitas 86% dan spesifitas 90.7%.
Pemeriksaan urine bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
infeksi dari saluran kemih. Walaupun dapat ditemukan beberapa leukosit
atau eritrosit dari iritasi urethra atau vesica urinaria seperti yang
diakibatkan oleh inflamasi appendiks. Namun pada appendicitis akut

18
dalam sample urine catheter tidak akan ditemukan bakteriuria.2,3

b. Pemeriksaan Radiologi
Foto polos abdomen jarang membantu penegakan diagnosis
appendicitis akut, namun bermanfaat untuk menyingkirkan diagnosis
banding. Adanya fecalith jarang terlihat pada foto polos, tapi bila
ditemukan sangat mendukung diagnosis.
Ultrasonografi cukup bermanfaat dalam menegakkan diagnosis
appendicitis. USG dilakukan khususnya untuk melihat keadaan kuadran
kanan bawah atau nyeri pada pelvis pada pasien anak atau wanita. Adanya
peradangan pada appendiks menyebabkan ukuran appendiks lebih dari
normalnya (diameter 6 mm). Kondisi penyakit lain pada kuadran kanan
bawah seperti inflammatory bowel disease, diverticulitis cecal,
divertikulum Meckel’s, endometriosis dan pelvic inflammatory disease
(PID) dapat menyebabkan positif palsu pada hasil USG.
Meskipun CT scan telah dilaporkan sama atau lebih akurat daripada
USG, namun jauh lebih mahal. Karena alasan biaya dan efek radiasinya,
CT scan diperiksa terutama saat dicurigai adanya abses appendiks untuk
melakukan percutaneous drainage secara tepat.

CT scan dengan inflamasi apendiks, tampak fekalit (tanda panah)


Diagnosis berdasarkan pemeriksaan barium enema tergantung pada

19
penemuan tidak spesifik akibat dari massa ekstrinsik pada caecum dan
appendiks yang kosong dan dihubungkan dengan ketepatan yang berkisar
antara 48-50%.4

2.8 ALVARADO SCORE 3


Appendicitis point pain 2
Leukositosis (> 10.000/ul) 2
Vomitus 1
Anorexia 1
Rebound tenderness phenomenon 1
Abdominal migrate pain 1
Degree of celcius (> 37.5 oC) 1
Observation of hemogram (> 72%) 1+
Total point 10
 Dinyatakan appendicitis akut apabila nilai > 7 poin.
 Penanganan berdasarkan Alvarado Score :
1–4 Dipertimbangkan appendisitis akut, diperlukan observasi.
5–6 Possible appendicitis, tidak perlu operasi. Terapi antibiotik.
7 – 10 Appendisitis akut, perlu operasi dini.
2.9 DIAGNOSIS BANDING 2,3,5

1. Gastroenteritis
Pada gastroenteritis, mual dan muntah serta diare mendahului rasa sakit.
Sakit perut dirasa lebih ringan dan tidak tegas. Hiperperistaltik sering
ditemukan. Demam dan leukositosis kurang menonjol.

2. Diverticulitis
Meskipun diverticulitis biasanya terletak di perut sebelah kiri, namun tidak
menutup kemungkinan untuk terjadi di perut sebelah kanan. Gejala klinis
sangat mirip dengan appendicitis akut.

20
3. Kolik Traktus Urinarius
Adanya riwayat kolik dari pinggang ke perut menjalar ke inguinal kanan
merupakan gambaran yang khas. Hematuria sering ditemukan. Foto polos
abdomen atau urografi intravena dapat memastikan penyakit tersebut.

4. Peradangan Pelvis
Tuba fallopi kanan dan ovarium terletak dekat dengan appendiks. Radang
kedua organ ini sering bersamaan sehingga disebut salpingo-oovoritis atau
adneksitis. Didapatkan riwayat kontak seksual pada diagnosis penyakit ini.
Suhu biasanya lebih tinggi daripada appendicitis dan nyeri perut bagian
bawah lebih difus. Biasanya disertai dengan keputihan pada wanita. Pada
colok vaginal (vaginal toucher) terasa nyeri bila uterus diayunkan.

5. Kehamilan Ektopik
Riwayat menstruasi terhambat dengan keluhan tidak menentu. Jika terjadi
ruptur tuba atau abortus di luar rahim dengan perdarahan akan timbul nyeri
yang mendadak difus di daerah pelvis dan mungkin akan terjadi syok
hipovolemik. Pada pemeriksaan colok vaginal didapatkan nyeri dan
penonjolan di cavum Douglas, dan pada kuldosentesis akan didapatkan
darah.

6. Demam Dengue
Demam Dengue dapat dimulai dengan sakit perut mirip peritonitis. Di sini
didapatkan hasil tes positif untuk Rumple Leede, trombositopenia, dan
hematokrit yang meningkat.

7. Kista Ovarium Terpuntir


Timbul nyeri mendadak dengan intensitas yang tinggi dan teraba massa
dalam rongga pelvis pada pemeriksaan perut, colok vaginal, atau colok
rektal. Tidak terdapat demam. Pemeriksaan ultrasonografi dapat
menetukan diagnosis.

21
8. Endometriasis Eksterna
Endometrium di luar rahim akan memberikan keluhan nyeri ditempat
endometriosis berada, dan darah menstruasi terkumpul di tempat itu karena
tidak ada jalan keluar.

2.10 PENATALAKSANAAN 2,3,4


Perjalanan patologis penyakit dimulai pada saat appendiks menjadi
dilindungi oleh omentum dan gulungan usus halus di dekatnya. Mula-mula,
massa yang terbentuk tersusun atas campuran membingungkan bangunan-
bangunan ini dan jaringan granulasi dan biasanya dapat segera dirasakan
secara klinis. Jika peradangan pada appendiks tidak dapat mengatasi
rintangan-rintangan sehingga penderita terus mengalami peritonitis umum,
massa tadi menjadi terisi nanah, semula dalam jumlah sedikit, tetapi segera
menjadi abses yang jelas batasnya.
Bilamana penderita ditemui lewat sekitar 48 jam, akan dilakukan
tindakan operasi untuk membuang appendiks yang mungkin gangren dari
dalam massa perlekatan ringan yang longgar dan sangat berbahaya, dan
bilamana karena massa ini telah menjadi lebih terfiksasi dan vascular,
sehingga membuat operasi berbahaya maka harus menunggu pembentukan
abses yang dapat mudah didrainase.
Massa appendiks terjadi bila terjadi appendicitis gangrenosa atau
mikroperforasi ditutupi atau dibungkus oleh omentum dan atau lekuk usus
halus. Pada massa periappendikular yang dindingannya belum sempurna,
dapat terjadi penyebaran pus ke seluruh rongga peritoneum jika perforasi
diikuti peritonitis purulenta generalisata. Oleh karena itu, massa
periappendikular yang masih bebas disarankan segera dioperasi untuk
mencegah penyulit tersebut. Selain itu, operasi lebih mudah. Pada anak,
dipersiapkan untuk operasi dalam waktu 2-3 hari saja. Pasien dewasa
dengan massa periapendikular yang terpancang dengan pendindingan
sempurna, dianjurkan untuk dirawat dahulu dan diberi antibiotik sambil

22
diawasi suhu tubuh, ukuran massa, serta luasnya peritonitis. Bila sudah
tidak ada demam, massa periapendikular hilang, dan leukosit normal,
penderita boleh pulang dan appendectomy elektif dapat dikerjakan 2-3 bulan
kemudian agar perdarahan akibat perlengketan dapat ditekan sekecil
mungkin. Bila terjadi perforasi, akan terbentuk abses appendiks. Hal ini
ditandai dengan kenaikan suhu dan frekuensi nadi, bertambahnya nyeri, dan
teraba pembengkakan massa, serta bertambahnya angka leukosit.
Massa appendiks dengan proses radang yang masih aktif sebaiknya
dilakukan tindakan pembedahan segera setelah pasien dipersiapkan, karena
dikhawatirkan akan terjadi abses appendiks dan peritonitis umum.
Persiapan dan pembedahan harus dilakukan sebaik-baiknya mengingat
penyulit infeksi luka lebih tinggi daripada pembedahan pada appendicitis
sederhana tanpa perforasi.
Pada periappendikular infiltrat, dilarang keras membuka perut,
tindakan bedah apabila dilakukan akan lebih sulit dan perdarahan lebih
banyak, lebih-lebih bila massa appendiks telah terbentuk lebih dari satu
minggu sejak serangan sakit perut. Pembedahan dilakukan segera bila dalam
perawatan terjadi abses dengan atau pun tanpa peritonitis umum.
Terapi sementara untuk 8-12 minggu adalah konservatif saja. Pada
anak kecil, wanita hamil,dan penderita usia lanjut, jika secara konservatif
tidak membaik atau berkembang menjadi abses, dianjurkan operasi
secepatnya.
Bila pada waktu membuka perut terdapat periappendikular infiltrat
maka luka operasi ditutup lagi, appendiks dibiarkan saja. Terapi konservatif
pada periappendikular infiltrat :
1. Total bed rest posisi fawler agar pus terkumpul di cavum douglassi.
2. Diet lunak bubur saring.
3. Antibiotika parenteral dalam dosis tinggi, antibiotik kombinasi
yang aktif terhadap kuman aerob dan anaerob. Baru setelah
keadaan tenang, yaitu sekitar 6-8 minggu kemudian, dilakukan
appendectomy. Kalau sudah terjadi abses, dianjurkan drainase saja

23
dan appendectomy dikerjakan setelah 6-8 minggu kemudian. Jika
ternyata tidak ada keluhan atau gejala apapun, dan pemeriksaan
jasmani dan laboratorium tidak menunjukkan tanda radang atau
abses, dapat dipertimbangkan membatalkan tindakan bedah.

Analgesik diberikan hanya kalau perlu saja. Observasi suhu dan nadi.
Biasanya 48 jam gejala akan mereda. Bila gejala menghebat, tandanya
terjadi perforasi maka harus dipertimbangkan appendectomy. Batas dari
massa hendaknya diberi tanda (demografi) setiap hari. Biasanya pada hari
ke5-7 massa mulai mengecil dan terlokalisir. Bila massa tidak juga
mengecil, tandanya telah terbentuk abses dan massa harus segera dibuka dan
didrainase.
Caranya dengan membuat insisi pada dinding perut sebelah lateral
dimana nyeri tekan adalah maksimum (incisi grid iron). Abses dicapai
secara ekstraperitoneal, bila appendiks mudah diambil, lebih baik diambil
karena appendiks ini akan menjadi sumber infeksi. Bila appendiks sukar
dilepas, maka appendiks dapat dipertahankan karena jika dipaksakan akan
ruptur dan infeksi dapat menyebar. Abses didrainase dengan selang yang
berdiameter besar, dan dikeluarkan lewat samping perut. Pipa drainase
didiamkan selama 72 jam, bila pus sudah kurang dari 100 cc/hari, drain
dapat diputar dan ditarik sedikit demi sedikit sepanjang 1 inci tiap hari.
Antibiotik sistemik dilanjutkan sampai minimal 5 hari post operasi.
Untuk mengecek pengecilan abses tiap hari penderita diperiksa colok dubur.
Penderita periappendikular infiltrat diobservasi selama 6 minggu tentang : 4
 LED
 Jumlah leukosit
 Massa periappendikular infiltrat dianggap tenang apabila :
1. Anamesis : penderita sudah tidak mengeluh sakit atau nyeri
abdomen.
2. Pemeriksaan Fisik :

24
a. Keadaan umum penderita baik, tidak terdapat kenaikan suhu
tubuh (diukur di rektal dan aksiler).
b. Tanda-tanda appendisitis sudah tidak terdapat.
c. Massa sudah mengecil atau menghilang, atau massa tetap ada
tetapi lebih kecil dibanding semula.
3. Laboratorium : LED kurang dari 20, Leukosit normal.

Kebijakan untuk operasi periappendikular infiltrat : 4


 Bila LED telah menurun kurang dari 40.
 Tidak didapatkan leukositosis.
 Tidak didapatkan massa atau pada pemeriksaan berulang massa sudah
tidak mengecil lagi.

Bila LED tetap tinggi, maka perlu diperiksa : 4


 Apakah penderita sudah bed rest total.
 Pemberian makanan penderita.
 Pemakaian antibiotik penderita.
 Kemungkinan adanya sebab lain.

Bila dalam 8-12 minggu masih terdapat tanda-tanda infiltrat atau tidak
ada perbaikan, operasi tetap dilakukan. Bila ada massa periappendikular
yang fixed, ini berarti sudah terjadi abses dan terapi adalah drainase.
 

2.11 KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering ditemukan adalah perforasi, baik
berupa perforasi bebas maupun perforasi pada appendiks yang telah
mengalami pendindingan berupa massa yang terdiri atas kumpulan
appendiks, sekum, dan lekuk usus halus.2

Perforasi dapat menyebabkan timbulnya abses lokal ataupun suatu

25
peritonitis generalisata. Tanda-tanda terjadinya suatu perforasi adalah : 4
 Nyeri lokal pada fossa iliaka kanan berganti menjadi nyeri abdomen
menyeluruh.
 Suhu tubuh naik tinggi sekali.
 Nadi semakin cepat.
 Defance muscular yang menyeluruh.
 Perut distended.
 Bising usus berkurang.

Akibat lebih jauh dari peritonitis generalisata adalah terbentuknya :


1. Pelvic abscess
2. Subphrenic abscess
3. Intra peritoneal abses lokal

Peritonitis merupakan infeksi yang berbahaya karena bakteri masuk ke


rongga abdomen, dapat menyebabkan kegagalan organ dan kematian.

2.12 PROGNOSIS
Dengan diagnosis yang akurat dan tatalaksana pembedahan, dapat
menurunkan tingkat mortalitas dan morbiditas penyakit ini. Keterlambatan
diagnosis akan meningkatkan mortalitas dan morbiditas terutama bila telah
terjadi komplikasi. Serangan berulang juga dapat terjadi bila appendiks
tidak diangkat.2
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 ANAMNESIS

a. Identitas
Nama : Tn. H / Laki – laki
Umur : 63 tahun

26
Pekerjaan :-
Status : Menikah
Alamat : Dusun Sori Mangge
Tanggal lahir : 25/02/1957
Agama : Islam
No.RM : 102021

b. Keluhan Utama
Nyeri perut kanan bawah sejak 3 jam SMRS.

c. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang ke IGD RS Bhayangkara diantar oleh keluarganya
dengan keluhan sejak empat hari SMRS pasien merasakan nyeri perut di
sekitar ulu hati dan sekitar pusar. Disertai mual, tidak ada muntah. Sifat
nyeri tajam seperti ditusuk-tusuk, terkadang terasa mulas dan kram-kram.
Nyeri perut hilang timbul. Tidak disertai demam. Buang air besar, buang
air kecil, buang angin tidak ada keluhan.

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien memiliki riwayat asthma bronchiale. Pasien tidak memiliki
riwayat sakit gastritis sebelumnya.

e. Riwayat Penyakit Keluarga


Keluarga pasien tidak memiliki riwayat serupa. Hipertensi, diabetes
mellitus, asthma bronchiale, alergi obat disangkal.

f. Riwayat Kebiasaan
Pasien memiliki kebiasaan makan pedas dan rendah serat. Minum ± 2
liter air mineral setiap hari.

27
3.2 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Tampak sakit sedang
Kesadaran : Compos mentis
Tanda Vital :
- Tekanan Darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 110 x/menit

- Frekuensi Pernapasan : 20 x/menit

- Suhu : 38.5˚ C

Status Generalis

Pemeriksaan Hasil
Kepala Normocephali, rambut hitam,
Mata Konjungtiva anemis -/-, refleks cahaya langsung +/+,
refleks cahaya tidak langsung +/+, sclera ikterik -/-
Telinga Normotia, liang telinga lapang +/+, membran timpani
intak +/+
Hidung Deformitas -, sekret -, mukosa hiperemis -
Mulut & tenggorokan Bibir tidak kering, oral hygiene cukup, tonsil tenang
T1/T1, hiperemis -
Leher KGB tidak teraba membesar
Toraks Normochest
Jantung S1S2 reguler, murmur -, gallop -
Paru Suara nafas vesikuler, rhonki -/-, wheezing -/-
Abdomen Bentuk simetris, bising usus + normal,
shifting dullnes (-), undulasi (-), nyeri tekan (+), Hepar
tidak teraba membesar, Lien tidak teraba membesar
Ekstremitas Akral hangat +, CRT <2”, oedem -

Status Lokalis Abdomen

Pemeriksaan Hasil
Inspeksi Bentuk simetris, tampak lemas lembut,
massa (-)

28
Auskultasi Bising usus (+) normal
Perkusi Tidak dilakukan karena pasien mengeluh kesakitan
Palpasi Nyeri tekan (+) terutama regio kanan bawah
(Mc Burney sign +). Nyeri lepas regio kanan
bawah (+), Rovsing sign (+), Blumberg sign (+),
defans muscular (-)
Psoas sign Positif
Obturator sign Positif
Rectal toucher Tidak dilakukan

3.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG


Laboratorium pada tanggal 21 September 2020

Pemeriksaan Hasil Nilai Rujukan


HEMATOLOGI
Hb 13.6 12 -15 g/dL
Ht 41.9 35 - 49 %
Leukosit 11.340 4.500-11.500/ul
Trombosit 271.000 150.000-450.000/ul
Eritrosit 5.0 4.0 juta-5.4 juta/ ul
MCV 83.3 80,0-94.0 fl
MCH 27.0 26,0 – 32,0 pg
MCHC 32.5 32.0-36.0 g/Dl
RDW-CV 13.6 11.5-14.5 %

HITUNG JENIS
Eosinofil 1.4 1.0-3.0 %
Basofil 0.1 0.0-2.0 %
Segmen 83.8 50.0-70.0 %
Limfosit 8.9 18.0-42.0 %
Monosit 5.8 2.0-11.0 %
KIMIA DARAH
GDS 91 76 - 180 mg/dl

Xray Thorax AP

29
Interpretasi :
 Cor : Tampak normal
 Pulmo : Tak tampak infiltrate/kelainan
 Kedua sinus phrenicocostalis tajam
 Tulang-tulang tampak baik
 Kesimpulan : Tak tampak kelainan

3.4 DIAGNOSIS KERJA


Appendicitis Akut

3.5 DIAGNOSIS BANDING


- Gastroenteritis
- Infeksi saluran kemih

3.6 PENATALAKSANAAN
Instalasi rawat darurat RS BHAYANGKARA
IVFD Ringer Laktat 20 tetes / menit

30
- Ondancentron 8 mg i.v
- Ranitidine 50 mg i.v
- Ceftriaxone 1 gram i.v
- Konsul dokter spesialis bedah  Appendectomy

Terapi Post Appendectomy


Non Medikamentosa Medikamentosa
- Rawat di ruang biasa - Ceftriaxone 1 x 2 gram i.v
- Posisi head up 30˚ - Ketorolac 2 x 30 mg i.v
- Tirah baring - Omeprazole 2 x 40 mg i.v
- Diet lunak - Tramadol 100 mg drip dalam IVFD
RL 500 mL 14 tetes / menit dalam 12
jam, selama 24 jam

3.6 PROGNOSIS
Ad vitam : Ad bonam
Ad functionam : Ad malam
Ad sanationam : Ad bonam

31
BAB IV
PEMBAHASAN KASUS

Pada anamnesa didapatkan pasien mengeluh nyeri di perut daerah ulu


hati, sekitar pusar, dan perut kanan bawah. Nyeri tersebut merupakan nyeri
visceral yang sifatnya difus, terletak pada mid-line, sekitar umbilikal, tidak dapat
ditunjukkan, bersifat tumpul dan tidak jelas, tidak menetap. Referred pain sesuai
persarafan yang terjadi akibat regangan organ. Nyeri visceral pada appendicitis ini
bermula di sekitar umbilicus sesuai dengan persarafan dari N.Thorakalis X. Nyeri
disebabkan oleh karena obstruksi lumen appendiks yang akan menyebabkan
peningkatan sekresi normal mukus dari mukosa appendiks yang distensi. Makin
lama mucus makin banyak, namun elastisitas dinding appendiks mempunyai
keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan intralumen. Tekanan
yang meningkat tersebut akan menyebabkan appendiks mengalami hipoksia,
menghambat aliran limfe dan invasi bakteri. Infeksi menyebabkan pembengkakan

32
appendiks bertambah (edema). Pada saat inilah terjadi appendicitis akut fokal
yang ditandai oleh nyeri epigastrium.
Pasien juga mengeluhkan nyeri perut kanan bawah yang hilang timbul,
nyeri tersebut merupakan nyeri visceral yang berubah menjadi nyeri somatis.
Nyeri ini disebabkan oleh sekresi mukus yang terus berlanjut, tekanan akan terus
meningkat. Kemudian hal tersebut akan menyebabkan obstruksi vena, edema
bertambah, dan bakteri akan menembus dinding. Peradangan yang timbul akan
meluas dan mengenai peritoneum setempat sehingga menimbulkan nyeri daerah
kanan bawah. Keadaan ini disebut dengan appendicitis supuratif akut.
Keluhan mual dan muntah pasien disebabkan oleh inflamasi dan tekanan
yang berlebihan pada appendiks yang distensi sehingga pusat muntah akan
diaktifkan dari saluran pencernaan melalui aferen nervus vagus.
Nyeri tekan daerah McBurney terjadi karena translokasi bakteri yang
menyebabkan nyeri somatis.
Illiopsoas sign menunjukkan peradangan dari appendiks yang letaknya
dekat dengan otot psoas. Obturator test juga positif karena gerakan rotasi dari
pinggang juga menghasilkan nyeri pada pasien dengan appendiks yang juga
terletak berdekatan dengan otot obturator eksternus.
Leukositosis yang didapatkan dari pemeriksaan darah lengkap
menunjukkan respon tubuh terhadap infeksi.
Penatalaksanaan pada pasien ini dilakukan tindakan pembedahan dini
sesuai Alvarado score dengan total skor 9, yaitu perlu dilakukan operasi dini bila
skor 7-10.

Skor yang
Penilaian Skor Ajuan
Didapat
Gejala -Nyeri beralih 1 1
-Anoreksia 0 1
-Mual / muntah 1 1
Tanda -Nyeri perut kanan bawah 2 2
(Mc Burney point)

33
-Nyeri lepas 1 1
-Kenaikkan temperature 1 1
(> 37.5 oC)
Laboratoriu -Leukositosis (> 10.000/ul) 2 2
m -Neutrofil bergeser ke kiri 1 1
(> 72%)
Total Skor 9 10

Pemberian obat Ceftriaxone yaitu, antibiotik spektrum luas golongan


sefalosporin generasi 3 pada pasien ini untuk mencegah infeksi berat dan
diantaranya memiliki aktivitas melawan bakteri aerob dan anaerob.

BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KESIMPULAN
Appendicitis adalah peradangan pada appendix vermicularis. Appendicitis
merupakan kasus bedah akut abdomen yang paling sering dijumpai. Faktor
predisposisi dan etiologinya bisa bermacam-macam, namun obstruksi lumen
adalah penyebab utamanya.
Gejala klinis meliputi nyeri perut kanan bawah tepatnya di titik McBurney
disertai nyeri epigastrium, dapat pula nyeri di seluruh perut pada fase tertentu.
Dapat dijumpai mual, muntah, anoreksia, dan demam. Dapat dilakukan manuver
Rovsing’s sign, Blumberg sign, Illiopsoas sign, dan Obturator test dalam
membantu penegakan diagnosis.
Pada pasien ini, berdasarkan hasil anamnesa, pemeriksaan fisik, dan

34
pemeriksaan penunjang yang dilakukan maka diagnosisnya adalah appendicitis
akut. Dari hasil pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada pasien ini sudah
cukup terpenuhi. Penatalaksanan pada pasien ini sesuai dengan teori. Kondisi
pasien saat pulang telah dalam keadaan stabil. Prognosis pada pasien ini adalah ad
bonam.

5.2 SARAN
Dengan adanya laporan kasus ini, diharapkan kepada para dokter, dan
tenaga medis lainnya untuk lebih mengetahui serta memahami tentang
Appendicitis Akut, serta tanda gejala juga penatalaksanaannya.

DAFTAR PUSTAKA

1. Masjoer A, Suprohaita, Wardhani WI, Setiowulan W. Appendicitis. Kapita

Selekta Kedokteran. 2000. Jakarta : FK UI.

2. Sjamsuhidajat R, de Jong W. Buku Ajar Ilmu Bedah. 2004. Jakarta: EGC.

p. 865-75.

3. Schwatz, et al. Principles of Surgery 8th Edition Volume 2. Jakarta: EGC.

p. 1383 – 93.

4. Staf Pengajar FKUI. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah. 1995. p. 109 – 12.

35
5. Sugandi . W. Referat Appendicitis. Sub Bagian Bedah Digestif. 2005.

Bandung: FK UNPAD-RSHS.

36

Anda mungkin juga menyukai