Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN KASUS

PTERIGIUM

Oleh :

Oleh:
Made Wahyu Krisnan Drwi (1902611100)
Putu Eksa Bidja Yudha Putri (1902611108)

Pembimbing :

dr. Ariesanti Tri Handayani, Sp.M (K)

DALAM RANGKA MENJALANI KEPANITERAAN KLINIK MADYA


DI LAB/KSM ILMU KESEHATAN MATA
RSUP SANGLAH DENPASAR
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa karena
atas karuniaNya, laporan kasus yang berjudul “Pterigium” ini dapat diselesaikan
tepat pada waktunya. Laporan kasus ini disusun dalam rangka mengikuti
Kepaniteraan Klinik Madya di Bagian/KSM Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/
RSUP Sanglah Denpasar yang dilaksanakan tanggal 8 November Mei 2019.
Dalam penyusunan laporan kasus ini, penulis banyak memperoleh
bimbingan, petunjuk serta bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Melalui
kesempatan ini, penulis menyampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada yang terhormat :
1. dr. I Made Agus Kusumadjaja, Sp.M (K) selaku Kepala Departemen/ SMF
Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar,
2. dr . Ariesanti Tri Handayani Sp,A (K) selaku Koordinator Pendidikan
Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Mata FK UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar,
dan selaku dokter spesialis mata di Bagian/ SMF Ilmu Kesehatan Mata FK
UNUD/ RSUP Sanglah Denpasar yang membimbing dan memberikan
masukan dalam penyusunan lapor-an ini,
3. Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu atas dukungan dan
bantuan yang telah diberikan dalam penyelesaian laporan ini.
Penulis menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu,
kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan. Semoga
laporan ini dapat memberikan sumbangan ilmiah dalam masalah kesehatan dan
memberi manfaat bagi masyarakat.

Denpasar,5 November 2019

Penulis

DAFTAR ISI

ii
HALAMAN JUDUL.............................................................................................i
KATA PENGANTAR ...........................................................................................ii
DAFTAR ISI .........................................................................................................iii
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................2
2.1 Definisi Pterigium...............................................................................2
2.2 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva....................................................2
2.2.1 Anatomi Konjungtiva..................................................................2
2.2.2 Fisiologi Konjungtiva…………………………………………. 3
2.3 Epidemiologi.......................................................................................4
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko...................................................................5
2.5 Patofisiologi.........................................................................................7
2.6 Klasifikasi............................................................................................8
2.7 Diagnosis.............................................................................................9
2.8 Penatalaksanaan...................................................................................13
2.9. Komplikasi dan Prognosis...................................................................15
BAB III LAPORAN KASUS ...........................................................................17
BAB IV PEMBAHASAN .................................................................................22
BAB V KESIMPULAN ..................................................................................26
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................27

iii
BAB I
PENDAHULUAN

Pterigium merupakan pertumbuhan jaringan fibrovaskular patologis yang


berasal dari penebalan dan lipatan konjungtiva bulbi yang bersifat degeneratif dan
invasif. Pterigium tampak seperti daging berbentuk segitiga yang kaya akan
pembuluh darah, puncaknya terletak di kornea dan dasarnya di bagian perifer.1,2
Etiologi dari pterigium sampai saat ini belum diketahui secara pasti. Faktor risiko
yang berpengaruh terhadap kejadian pterigium, antara lain terpapar radiasi sinar
ultraviolet (UV) matahari, iritasi kronik dari bahan-bahan tertentu (zat alergen,
kimia, dan pengiritasi lainnya), serta faktor herediter.3 Permasalahan pterigium
paling sering ditemukan di negara beriklim tropis, termasuk Indonesia. 4 Data
epidemiologi, dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan menunjukkan, prevalensi pterigium di Indonesia yang mengenai ke dua
mata adalah sebesar 3,2% dan 1,7% pada satu mata. Prevalensi pterigium di
Indonesia tertinggi dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah
di DKI Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium di Bali pada ke dua mata adalah 4,4%
sedangkan pterigium pada satu mata sebesar 2,2%.5
Kasus pterigium masih menjadi masalah kesehatan yang perlu mendapat
perhatian karena telah dilaporkan berkaitan dengan kejadian astigmatisme dan
dapat menurunkan tajam penglihatan.6 Pterigium tingkat lanjut juga akan
mengakibatkan kekeruhan kornea yang berujung pada gangguan penglihatan yang
mampu menyebabkan kebutaan. Pterigium juga memiliki peluang dan kejadian
yang tinggi untuk berkembang menjadi rekuren. Studi di RS Cipto
Mangunkusumo yang melaporkan bahwa recurrence rate pada pasien berusia
kurang dari 40 tahun adalah 65% dan pada pasien berusia lebih dari 40 tahun
adalah 12,5%.7 Penegakan diagnosis secara dini dan tepat serta terapi yang
adekuat sangat diperlukan agar tidak menimbulkan komplikasi. Penulis
mengangkat laporan kasus ini sesuai dengan SKDI yang harus dimiliki seorang
dokter umum agar mampu mengenali, menegakkan diagnosis serta memberi terapi
awal pada penyakit ini.

1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Pterigium


Pterigium berasal dari bahasa Yunani yaitu “Pteron” yang artinya sayap
(wing). Pterigium adalah suatu pertumbuhan dari epitel konjungtiva bulbi dan
jaringan ikat subkonjungtiva yang bersifat degeneratif dan invasif yang terdapat
dicelah kelopak mata bagian medial atau nasal berbentuk segitiga di mana
apexnya mengarah kebagian tengah dari kornea dan basisnya menghadap lipatan
semilunar pada kantus.1,8 Pterigium ini lebih sering tumbuh di bagian nasal
dibandingkan di bagian temporal. Pterigium dapat mengenai kedua mata dengan
derajat pertumbuhannya yang berbeda. Kombinasi pterigum pada kedua mata
lebih sering ditemukan di bagian nasal-nasal daripada temporal-temporal.9
Pterigium dapat menutupi seluruh kornea atau bola mata.1

2.2 Anatomi dan Fisiologi Konjungtiva


2.2.1 Anatomi
Konjungtiva merupakan membran yang menutupi sklera dan kelopak mata
bagian belakang. Konjungtiva terdiri atas tiga bagian, yaitu konjungtiva tarsal
yang menutupi tarsus, konjungtiva tarsal sukar digerakkan dari tarsus.
Konjungtiva bulbi menutupi sklera dan mudah digerakkan dari sklera di
bawahnya. Konjungtiva forniks yang merupakan tempat peralihan konjungtiva
tarsal dengan konjungtiva bulbi.10,14
Konjungtiva bulbi dan forniks berhubungan sangat longgar dengan jaringan
di bawahnya sehingga bola mata mudah bergerak. Konjungtiva bulbi superior
paling sering mengalami infeksi dan menyebar ke bawahnya. Konjungtiva yang
mengalami pertumbuhan jaringan fibrovaskular pada pterigium adalah
konjungtiva bulbi.10,14

2
Gambar 1. Penampang Sagital Konjungtiva13
Aliran darah konjungtiva berasal dari arteri siliaris anterior dan arteri
palpebralis. Kedua arteri ini beranastomosis bebas dan bersama dengan banyak
vena konjungtiva yang umumnya mengikuti pola arterinya membentuk jaring-
jaring vaskular konjungtiva yang banyak sekali. Pembuluh limfa konjungtiva
tersusun dalam lapisan superfisial dan lapisan profundus dan bersambung dengan
pembuluh limfa palpebra hingga membentuk pleksus limfatikus yang banyak.
Konjungtiva menerima persarafan dari percabangan pertama (oftalmik) nervus
trigeminus. Saraf ini relatif sedikit mempunyai serat nyeri.10,14
2.2.2 Fisiologi Konjungtiva
Fungsi dari konjungtiva adalah memproduksi air mata, menyediakan
kebutuhan oksigen ke kornea ketika mata sedang terbuka dan melindungi mata
dengan mekanisme pertahanan nonspesifik yang berupa barrier epitel, aktifitas
lakrimasi, dan menyuplai darah. Pertahanan spesifik yang terdapat di konjungtiva
berupa mekanisme imunologis seperti sel mast, leukosit, adanya jaringan limfoid
pada mukosa tersebut dan antibodi dalam bentuk IgA. 10,14
Lapisan epitel konjungtiva terdiri dari dua hingga lima lapisan sel epitel
silinder bertingkat, superfisial dan basal. Lapisan epitel konjungtiva di dekat
limbus, di atas karunkula, dan di dekat persambungan mukokutan pada tepi
10,14
kelopak mata terdiri dari sel-sel epitel skuamosa. Sel-sel epitel superfisial
mengandung sel-sel goblet bulat atau oval yang mensekresi mukus. Mukus
mendorong inti sel goblet ke tepi dan diperlukan untuk dispersi lapisan air mata

3
secara merata diseluruh prekornea. Sel-sel epitel basal berwarna lebih pekat
daripada sel-sel superfisial dan di dekat limbus dapat mengandung pigmen. 10,14
Stroma konjungtiva dibagi menjadi satu lapisan adenoid (superfisial) dan
satu lapisan fibrosa (profundus). Lapisan adenoid mengandung jaringan limfoid
dan di beberapa tempat dapat mengandung struktur semacam folikel tanpa
sentrum germinativum. Lapisan adenoid tidak berkembang sampai setelah bayi
berumur 2 atau 3 bulan. Lapisan fibrosa tersusun longgar pada bola mata. Secara
garis besar, kelenjar pada konjungtiva dibagi menjadi dua yaitu: 10,14
1. Penghasil musin
a. Sel goblet terletak dibawah epitel dan paling banyak ditemukan pada
daerah inferonasal.
b. Crypts of Henle terletak sepanjang sepertiga atas dari konjungtiva
tarsalis superior dan sepanjang sepertiga bawah dari konjungtiva
tarsalis inferior.
c. Kelenjar Manz mengelilingi daerah limbus.
2. Kelenjar asesoris lakrimalis.
Kelenjar asesoris ini termasuk kelenjar krause dan kelenjar wolfring.
Kedua kelenjar ini terletak dalam di bawah substansi propria. Kelenjar air
mata asesori (kelenjar krause dan kolfring), yang struktur dan fungsinya
mirip kelenjar lakrimal, terletak di dalam stroma. Kelenjar krause sebagian
besar berada di forniks atas, dan sebagian kecil ada di forniks bawah.
Kelenjar wolfring terletak ditepi atas tarsus atas. Sakus konjungtiva tidak
pernah bebas dari mikroorganisme namun karena suhunya yang cukup
rendah, evaporasi dari cairan lakrimal dan suplai darah yang rendah
menyebabkan bakteri kurang mampu berkembang biak. Air mata bukan
merupakan medium yang baik untuk pertumbuhan bakteri. 10,14

2.3 Epidemiologi
Kasus pterigium yang tersebar di seluruh dunia sangat bervariasi, tergantung
pada lokasi geografisnya, tetapi lebih banyak di daerah iklim panas dan kering.
Faktor yang sering mempengaruhi adalah daerah dekat ekuator. Prevalensi juga
tinggi pada daerah berdebu dan kering. Kasus pterigium di beberapa daerah, juga
sangat bervariasi tergantung pada lokasi geografisnya. Daratan Amerika serikat,

4
misalnya prevalensinya berkisar kurang dari 2% untuk daerah di atas 40o lintang
utara sampai 5-15% untuk daerah garis lintang 28-36o. Terdapat hubungan antara
peningkatan prevalensi dan daerah yang terkena paparan ultraviolet lebih tinggi
di bawah garis lintang. Data geografis menyimpulkan penurunan angka kejadian
di lintang atas dan peningkatan relatif angka kejadian di lintang bawah. 11,12
Prevalensi di Asia sendiri dilaporkan lebih tinggi. Prevalensi di Cina pada
populasi orang Mongolia kelompok usia tua sebesar 17,9%, di Myanmar angka
prevalensi pada usia di atas 40 tahun sebanyak 19,6%, dan di Singapura sebanyak
7%.6
Indonesia sendiri yang melintas di bawah garis khatuliswa, kasus-kasus
pterigium cukup sering didapati. Faktor risikonya berupa paparan sinar matahari
(UVA & UVB), dan bisa dipengaruhi juga oleh paparan alergen, iritasi berulang
(misal karena debu atau kekeringan). Data dari Badan Penelitian dan
Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan Republik Indonesia tahun
2007, menunjukkan prevalensi pterigium di Indonesia yang mengenai ke dua mata
adalah sebesar 3,2% dan 1,7% pada satu mata. Prevalensi pterigium di Indonesia
tertinggi dijumpai di daerah Sumatera Barat (9,4%) dan yang terendah di DKI
Jakarta (0,4%). Prevalensi pterigium di Bali pada ke dua mata adalah 4,4%
sedangkan pterigium pada satu mata sebesar 2,2%.5 Insiden tertinggi pterigium
terjadi pada pasien dengan rentang umur 20 – 49 tahun. Pasien dibawah umur 15
tahun jarang terjadi pterigium. Rekuren lebih sering terjadi pada pasien yang usia
muda dibandingkan dengan pasien usia tua. Laki-laki lebih berisiko 2 kali
daripada perempuan.11,12
2.4 Etiologi dan Faktor Risiko
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Kejadian pterigium yang
lebih sering terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas,
menunjukkan pterigium timbul sebagai respon terhadap faktor-faktor lingkungan
seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering, inflamasi, daerah
angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan lokal dari kornea
dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh karena kelainan tear
film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru merupakan salah satu teori.

5
Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim kering mendukung teori
ini.16,17
Etiologi atau penyebab pterigium menuai banyak perdebatan. Disebutkan
bahwa radiasi sinar UV-B sebagai salah satu penyebabnya. Sinar UV-B
merupakan sinar yang dapat menyebabkan mutasi pada gen suppressor tumor p53
pada sel-sel benih embrional di basal limbus kornea. Apoptosis (program
kematian sel) yang tidak ada menyebabkan, perubahan pertumbuhan faktor Beta
akan menjadi berlebihan dan menyebabkan pengaturan berlebihan pula pada
sistem kolagenase, migrasi seluler dan angiogenesis. Perubahan patologis tersebut
termasuk juga degenerasi elastoid kolagen dan timbulnya jaringan fibrovesikular,
seringkali disertai dengan inflamasi. Lapisan epitel dapat saja normal, menebal
atau menipis dan biasanya menunjukkan displasia. Teori lainnya menyebutkan
bahwa pterigium memiliki bentuk yang menyerupai tumor. Karakteristik ini
disebabkan karena adanya kekambuhan setelah dilakukannya reseksi dan jenis
terapi yang diikuti selanjutnya (radiasi, antimetabolit). Gen p53 yang merupakan
penanda neoplasia dan apoptosis ditemukan pada pterigium. Peningkatan ini
merupakan kelainan pertumbuhan yang mengacu pada proliferasi sel yang tidak
terkontrol daripada kelainan degeneratif.17,19
Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter.12,17
1. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi risiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.12,17
2. Faktor Herediter
Penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga dengan
pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.12,17

3. Faktor lain

6
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma
kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.12,18
2.5 Patofisiologi
Terjadinya pterigium sangat berhubungan erat dengan paparan sinar
matahari, walaupun dapat pula disebabkan oleh udara yang kering, inflamasi, dan
paparan terhadap angin dan debu atau iritan yang lain. UV-B merupakan faktor
mutagenik bagi tumor supressor gene p53 yang terdapat pada stem sel basal di
limbus. Ekspresi berlebihan sitokin seperti TGF-β dan VEGF (vascular
endothelial growth factor) menyebabkan regulasi kolagenase, migrasi sel, dan
angiogenesis. Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor gene pada
limbal basal stem cell. Apoptosis tidak ada, transforming growth factor-beta
overproduksi dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan
angiogenesis, akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan
subepitelial fibrovaskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan
proliferasi jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya
menembus kornea terdapat pada lapisan membran bowman oleh pertumbuhan
jaringan fibrovaskular, sering dengan inflamasi ringan. Epitel dapat normal, tebal
atau tipis dan kadang terjadi displasia.17,18
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Keadaan
defisiensi limbal stem cell, terjadi konjungtivalisasi pada permukaan kornea.
Gejala dari defisiensi limbal adalah pertumbuhan konjungtiva ke kornea,
vaskularisasi, inflamasi kronis, kerusakan membrane basement dan pertumbuhan
jaringan fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan oleh karena itu
banyak penelitian yang menunjukkan bahwa pterigium merupakan manifestasi
dari defisiensi atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Pterigium
ditandai dengan degenerasi elastotik dari kolagen serta proliferasi fibrovaskuler
yang ditutupi oleh epitel. Pemeriksaan histopatologi daerah kolagen abnormal
yang mengalami degenerasi elastolik ditemukan basofilia dengan menggunakan

7
pewarnaan hematoxylin dan eosin. Pemusnahan lapisan Bowman oleh jaringan
fibrovaskular sangat khas. Epitel diatasnya biasanya normal, tetapi mungkin
acanthotic, hiperkeratotik, atau bahkan displastik dan sering menunjukkan area
hiperplasia dari sel goblet. 10,11,17,18
Pemeriksaan histopatologi dengan menggunakan mikroskop elektron
menunjukkan proliferasi fibrotik yang menyimpang di bawah epitel pterigium,
dengan epitel meluas ke stroma. Pemisahan sel-sel epitel pterigium menunjukkan
epitel dikelilingi sel-sel fibroblas yang aktif, karakteristik dari E-cadherin,
penumpukan β-catenin di intranuklear dan limphoid factor-1 meningkat pada
epitel pterigium. Sel epitel meluas ke stroma pada α-SMA/ vimentin dan
cytokeratin 14. Kesimpulannya bahwa epitel mesencymal transition terlibat dalam
patogenesis pterigium. β-catenin meningkat pada pterigium dan PFC (pterigial
fibroblast) dibandingkan pada konjungtiva normal. β-catenin berperan penting
dalam patogenesis pterigium. 17,18

2.6 Klasifikasi
Pterigium dapat dibagi ke dalam beberapa klasifikasi berdasarkan tipe,
stadium, progresifitasnya dan berdasarkan terlihatnya pembuluh darah episklera,
yaitu:
1. Berdasarkan tipenya pterigium dibagi atas 3 :
- Tipe I
Pterigium kecil, dimana lesi hanya terbatas pada limbus atau
menginvasi kornea pada tepinya saja. Lesi meluas < 2 mm dari
kornea. Stocker’s line atau deposit besi dapat dijumpai pada epitel
kornea dan kepala pterigium. Lesi sering asimptomatis, meskipun
sering mengalami inflamasi ringan. Pasien yang memakai lensa kontak
dapat mengalami keluhan lebih cepat.
- Tipe II
Pterigium tipe primer advanced atau ptrerigium rekuren tanpa
keterlibatan zona optik. Tubuh pterigium sering nampak kapiler-kapiler
yang membesar. Lesi menutupi kornea sampai 4 mm, dapat primer atau
rekuren setelah operasi, berpengaruh dengan tear film dan
menimbulkan astigmat.

8
- Tipe III
Pterigium primer atau rekuren dengan keterlibatan zona optik. Bentuk
pterigium ini merupakan yang paling berat. Keterlibatan zona optik
membedakan tipe ini dengan yang lain. Lesi mengenai kornea > 4 mm
dan mengganggu aksis visual. Lesi yang luas khususnya pada kasus
rekuren dapat berhubungan dengan fibrosis subkonjungtiva yang
meluas ke forniks dan biasanya menyebabkan gangguan pergerakan
bola mata serta kebutaan.
2. Berdasarkan stadium pterigium dibagi ke dalam 4 stadium yaitu:
 Stadium I : jika pterigium hanya terbatas pada limbus kornea
 Stadium II : jika pterigium sudah melewati limbus dan belum
mencapai pupil, tidak lebih dari 2 mm melewati
kornea.
 Stadium III : jika pterigium sudah melebihi stadium II tetapi
tidak melebihi pinggiran pupil mata dalam
keadaan cahaya normal (diameter pupil sekitar 3-
4 mm).
 Stadium IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati
pupil sehingga mengganggu penglihatan.

Gambar 3.
Stadium Pterigium : (A)Stadium 2,( B)Stadium 3, (C)Stadium 44

9
2.7 Diagnosis
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Identitas selain sebagai
data administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu
untuk mengetahui faktor risiko pterigium. Pterigium lebih sering pada
kelompok usia 20-30 tahun tapi pada usia tua juga dapat terjadi. Pterigium
sering dijumpai pada laki-laki yang bekerja di luar rumah, bisa terkena pada
mata bilateral atau unilateral, di konjungtiva bagian nasal atau temporal.
Riwayat pekerjaan dan aktivitas juga sangat perlu ditanyakan untuk
mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar matahari dan debu.12
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pterigium
pada kasus berat dapat menimbulkan diplopia. Penderita dapat mengeluhkan
adanya sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan
atau alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, dan
ada yang mengganjal di mata.10,12

2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan pada pasien pterigium dapat normal atau menurun.
Pterigium muncul sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang
meluas ke kornea pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat
dijumpai pada bagian epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stoker’s
line). Pterigium kira-kira 90% terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium
dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika
pterigium mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada
tahap regresif.10,12,17
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex, dan cap. Bagian
segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah limbus
disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang disebut cap.

10
Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan membentuk batas
pinggir pterigium. 10,12,17
Penegakan diagnosis pterigium, perlu ditentukan derajat atau klasifikasi
pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi menjadi beberapa kelompok
yaitu:18
a. Berdasarkan Perjalanan Penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan Luas Pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari
2 mm melewati kornea
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi
pinggir pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil
dalam keadaan normal sekitar 3-4 mm)
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan

Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan


pseudopterigium.

Tabel 1. Diagnosis Banding Pterigium10,13

Pembeda Pterigium Pinguekula Pseudopterigium

11
Definisi Jaringan Benjolan Perlengketan
fibrovaskular pada konjungtiba bulbi
konjungtiva konjungtiva dengan kornea yang
bulbi berbentuk bulbi cacat
segitiga
Warna Putih Putih-kuning Putih kekuningan
kekuningan keabu-abuan
Letak Celah kelopak Celah Pada daerah
bagian nasal kelopak mata konjungtiva yang
atau temporal terutama terdekat dengan
yang meluas ke bagian nasal proses kornea
arah kornea sebelumnya
6♂:♀ ♂>♀ ♂=♀ ♂=♀
Progresif Sedang Tidak Tidak
Reaksi Tidak ada Tidak ada Ada
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh Lebih menonjol Menonjol Normal
darah
konjungtiva
Sonde Tidak dapat Tidak dapat Dapat diselipkan di
diselipkan diselipkan bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak Ada pulau- Tidak ada Tidak ada (tidak ada
pulau Funchs head, cap, body)
(bercak kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi Perlengketan
dan degenerasi hialin
hialin dalam jaringan
stromanya submukosa
konjungtiva

2.8 Penatalaksanaan
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterigium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Pterigium yang meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes
mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,

12
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Penanganaan pterigium
dengan tanda radang dapat diberi air mata buatan bila perlu dapat diberikan
steroid. Air mata buatan dalam bentuk salep dapat diberikan bila terdapat delen
(lekukan kornea). Pemberian vasokonstriktor memerlukan kontrol dalam 2
minggu dan bila telah terdapat perbaikan pengobatan dihentikan.10
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata. Eksisi pterigium bertujuan untuk mencapai keadaan normal yaitu
gambaran permukaan bola mata yang licin. Teknik bedah yang sering digunakan
untuk mengangkat pterigium adalah dengan menggunakan pisau yang datar untuk
mendiseksi pterigium ke arah limbus. Memisahkan pterigium ke arah bawah pada
limbus lebih disukai, namun tidak perlu memisahkan jaringan tenon secara
berlebihan di daerah medial, karena kadang-kadang dapat timbul perdarahan oleh
karena trauma tidak disengaja di daerah jaringan otot. Kauter sering digunakan
untuk mengontrol perdarahan, setelah proses eksisi.16,18
Data menunjukkan lebih dari setengah pasien yang dioperasi pterigium
dengan teknik simple surgical removal akan mengalami rekuren. Suatu teknik
yang dapat menurunkan tingkat rekurensi hingga 5% adalah conjunctival
autograft (Gambar 4). Dimana pterigium yang dibuang digantikan dengan
konjungtiva normal yang belum terpapar sinar UV (misalnya konjungtiva yang
secara normal berada di belakang kelopak mata atas). Konjungtiva normal ini
biasanya akan sembuh normal dan tidak memiliki kecenderungan unuk
menyebabkan pterigium rekuren.20

Indikasi Operasi Pterigium16


1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan silau karena astigmatisme
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.

Teknik Pembedahan
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovaskular dari limbus ke kornea. Teknik

13
bedah yang beragam telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara
universal karena tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang
digunakan, eksisi pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Dokter mata
lebih banyak yang memilih untuk memisahkan ujung pterigium dari kornea yang
mendasarinya. Keuntungan termasuk epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut
yang minimal dan halus dari permukaan kornea.10
1. Teknik Bare Sclera
Teknik ini melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, sementara
memungkinkan sklera untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara
24 persen dan 89 persen, telah didokumentasikan dalam berbagai laporan.10
2. Teknik Autograft Konjungtiva
Teknik ini memiliki tingkat kekambuhan dilaporkan serendah 2 persen dan
setinggi 40 persen pada beberapa studi prospektif. Prosedur ini melibatkan
pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva bulbar superotemporal,
dan dijahit di atas sclera yang telah di eksisi pterigium tersebut. Komplikasi
jarang terjadi, dan untuk hasil yang optimal ditekankan pentingnya
pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's dari graft konjungtiva
dan penerima, manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft
tersebut. LawrenceW, Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan
menggunakan sayatan besar untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan
angka kekambuhan sangat rendah dengan teknik ini.10

Gambar 5. Prosedur Conjunctiva Autograft; (a).Pterigium,


(b).Pterigium removed, (c).Leaving bare area, (d).Graft outlined,
(e).Graft sutured into place7

2.9 Komplikasi dan Prognosis

14
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti astigmatisme, scar
(jaringan parut) pada konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral
berkurang, scar pada rektus medial dapat menyebabkan diplopia. Komplikasi post
eksisi pterigium, yaitu: 20,21
1. Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,
dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment
2. Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren
pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.
3. Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan
epitel di atas pterigium.
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi adalah baik. Rasa tidak
nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi, kebanyakan pasien
setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien dengan rekuren
pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan autograft atau
transplantasi membran amnion.20

15
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien

Nama : NNS
Jenis Kelamin : Perempuan
Tempat, Tanggal Lahir : Badung, 15 Desember 1959
Umur : 59 tahun
Alamat : Kerobokan Kelod ,Badung
Agama : Hindu
Kebangsaan : WNI
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Pendidikan : SD
Status Perkawinan : Nikah
No Rekam Medik : 19049399
Tanggal Pemeriksaan : 5 November 2019 Pukul 10.00 WITA

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama : Mata kiri terasa seperti ada yang mengganjal
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke poliklinik Mata RSUP Sanglah pada tanggal 5 November
2019 pukul 10.00 WITA dengan keluhan mata kiri terasa seperti ada yang
mengganjal seperti tumbuh daging sejak 6 bulan yang lalu. Awalnya mata kiri
pasien hanya merah dan berair namun lama-kelamaan pasien mengeluhkan mata
kiri semakin menggajal dan daging tumbuh semakin membesar.Keluhan silau
yang dirasakan pasien memburuk saat terkena sinar matahari, dan sinar lampu

Riwayat Penyakit Dahulu, Alergi, dan Pengobatan


Pasien mengatakan belum pernah mengeluhkan gejala yang sama. Pasien
sebelumnya pernah berobat sekitar 1 bulan lalu di Rumah Sakit Bali Medika dan
diberikan obat tetes mata dan pasien tidak memiliki riwayat operasi mata dan
pasien tidak memiliki riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi dan diabetes
mellitus

Riwayat Penyakit Keluarga

16
Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit
mata pada keluarga disangkal. Riwayat penyakit sistemik seperti hipertensi dan
diabetes mellitus di keluarga disangkal oleh pasien.

Riwayat Sosial
Pasien merupakan seorang pedagang sayur dirumah,Pasien mengatakan
saat bekerja matanya sering terpapar oleh sinar matahari, angin, dan debu. Pasien
juga mengatakan sering mengucek matanya bila terasa gatal dan pasien tidak
memiliki riwayat mengkonsumsi alkohol ,tidak merokok.

3.3 Pemeriksaan Fisik


Pemeriksaan Fisik Umum
Status Present
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Tekanan Darah : 110/70mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,5 °C

Pemeriksaan Fisik Khusus


Status Ophthalmology
OD OS
6/15 ph 6/7,5 Visus 6/15 ph 6/7,5
Posisi: Orthophoria
Normal Palpebra Normal
Jaringan fibrovaskular
Tenang Konjungtiva
(+) nasal
Jernih Kornea Jernih
Dalam Bilik mata depan Dalam
Bulat, regular Iris Bulat, regular
RP (+) Pupil RP (+)
Keruh Lensa Keruh
Jernih Vitreous Jernih
Refleks fundus (+) Funduskopi Refleks fundus (+)
Tekanan Intraokuler
N/P N/P

Baik ke segala arah Baik ke segala arah

Gerakan Bola Mata

17
+ + +
+ + +
Lapang Pandang
+ + +

+ + +
+ + +
+ + +

Gambar 1. OD Gambar 2. OS

3.4 Usulan Pemeriksaan Penunjang


Slit lamp
3.5 Diagnosis Banding

OS Psudopterigium
OS Pinguekula
ODS Kelainan Refraksi

3.6 Diagnosis Klinis


OS Pterigium Grade IV
ODS Katarak Senilis Imatur

3.7 Penatalaksanaan
a. Terapi non-farmakologi
 Memakai kacamata pelindung untuk menghindari paparan iritan.
 Menjaga kebersihan mata
 Kaca mata dengan koreksi terbaik

18
b. Terapi famakologi
- Artificial tears ed 6x1 ODS
c. Tindakan pembedahan
- Pro pterygoplasty
d. Monitoring
Kontrol ke poliklinik RSUP Sanglah 1 minggu setelah pemeriksaan.

3.8 Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE)


1. Menjelaskan kondisi pasien
2. Menyarankan menggunakan kaca mata untuk melindungi dari paparan
debu dan sinar UV terutama saat bekerja dan beraktivitas di luar ruangan
3. Hindari mengucek mata dan mencuci tangan dengan bersih
4. Menjelaskan indikasi tindakan pembedahan.
5. Kontrol jika ada keluhan gangguan penglihatan

3.9 Prognosis
Ad vitam : ad bonam.
Ad fungsionam : ad bonam.
Ad sanationam : ad boma.

19
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Penegakan Diagnosis Pterigium


Berdasarkan anamnesis didapatkan bahwa pasien mengeluh mata kiri
terasa seperti ada yang mengganjal sejak 6 bulan sebelum pemeriksaan. Keluhan
ini dikatakan menyebabkan pasien merasa kurang nyaman dan sedikit
mengganggu aktivitas pasien. Riwayat pemakaian obat tetes mata untuk
meperingan gejala Keluhan lain yang dirasakan pasien yaitu mata merah, dan
berair. Riwayat kotoran dan trauma pada mata disangkal.
Pasien mengatakan tidak pernah mengalami keluhan serupa sebelumnya.
Riwayat penyakit mata lain sebelumnya disangkal oleh pasien. Pasien
menyangkal memiliki riwayat operasi mata sebelumnya, dan tidak pernah
memiliki riwayat penggunaan kacamata. Riwayat penyakit sistemik seperti
hipertensi dan diabetes melitus disangkal oleh pasien.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan status generalis dan status present
pasien dalam batas normal. Sedangkan dari pemeriksaan opthalmologi didapatkan
visus mata kanan yaitu 6/6 dan visus mata kiri yaitu 6/6. Dari pemeriksaan
segmen anterior, pada konjungtiva mata kiri didapatkan kelainan berupa jaringan
fibrovaskular (+)nasal. Pada konjungtiva mata kanan tenang. Sudut bilik mata
depan dalam pada kedua mata. Lensa pada kedua mata jernih. Pada pemeriksaan
funduskopi didapatkan hasil pada mata kanan dan kiri: Refleks Fundus (+).
Tekanan intra okuler mata kiri dan kanan masih normal.
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik dapat ditarik kesimpulan
bahwa pasien memiliki keluhan mata perih, merah, berair dan ada rasa
mengganjal pada mata kiri dan dari hasil pemeriksaan juga didapatkan bahwa
pada konjungtiva mata kiri terdapat jaringan fibrovaskular berbentuk segitiga.
Dapat ditegakkan diagnosis bahwa pasien ini mengalami pterigium grade IV
Hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik pada pasien ini sesuai dengan teori
dimana berdasarkan teori disebutkan bahwa pasien-pasien dengan pterigium
umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan berupa mata tampak
merah dan sering berair. Biasanya penderita mengeluhkan adanya sesuatu yang

20
tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau alasan kosmetik.
Keluhan subjektif dapat berupa rasa perih, gatal, ada yang mengganjal. Tajam
penglihatan dapat normal atau menurun. Pterigium muncul sebagai lipatan
berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea pada daerah fisura
interpalpebralis. Kira-kira 90% pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan
pterigium dapat sampai medial dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis,
menyebabkan penglihatan kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium
mencapai pupil atau menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium yang dialami pasien tumbuh sesuai area predileksinya yaitu
pada konjungtiva bulbi bagian nasal menuju ke arah limbus. Pasien juga
mengalami keluhan mata merah dan perih yang berulang dan membuat pasien
tidak nyaman. Ini menunjukkan bahwa pterigium yang dialami pasien meradang
yang mana dari hasil anamnesis peradangan dicetuskan oleh pajanan debu. Tajam
penglihatan pada pasien ini masih dalam batas normal. Pasien didiagnosis dengan
pterigium grade 4

4.2 Faktor Risiko Pterigium


Berdasarkan anamnesis didapatkan riwayat bahwa pasien bekerja sebagai
pedagang sayur, selama pasien bekerja berjualan sayur dikatakan sering terpapar
oleh angin dan debu selama perjalanan. Pasien tidak melindungi matanya dengan
kacamata. Keluhan ini dikatakan menyebabkan pasien merasa kurang nyaman dan
sedikit mengganggu aktivitas pasien. Sesuai dengan teori yang menyebutkan
bahwa beberapa faktor risiko terbentuknya pterigium antara lain: radiasi UV
matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, faktor usia, lingkungan
tempat tinggal dan faktor herediter. Pada pasien, faktor risiko yang ditemukan
yaitu usia dan faktor iritasi kronis dari bahan tertentu di udara.
Selain itu, pasien yang setiap hari kerja terpapar oleh angin dan debu jalan
tanpa menggunakan kacamata sebagai pelindung.. Dimana berdasarkan teori
dikatakan bahwa iritasi kronis yang berasal dari udara seperti paparan debu,
kelembapan udara yang rendah, dan dry eye menyebabkan tumbuhnya pterigium.

21
4.3 Penatalaksanaan Pterigium
Pasien mengalami pterigium derajat 4, dimana penanganan pterigium yang
diberikan kepada pasien ini berupa pemberian tetes mata artificial tears. Selain itu
pada pasien juga direncanakan dilakukan tindakan pembedahan karena pasien
merasa keluhannya sangat mengganggu aktivitasnya. Pasien diminta untuk tetap
kontrol kembali. Hal ini sesuai dengan teori dimana prinsip penanganan pterigium
dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-obatan jika pterigium masih derajat
1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan pada pterigium yang melebihi
derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan pada pterigium derajat 1 atau 2
yang telah mengalami gangguan penglihatan atau dirasa sangat mengganggu
aktivitas pasien sehari-hari. Bila terdapat tanda radang dapat diberikan air mata
buatan dan lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari, debu dan
udara kering dengan kacamata pelindung.
Pasien sudah mengeluhkan adanya pterigium sejak lama, dan beberapa kali
memberi keluhan berupa mata merah, perih, dan berair yang berulang-ulang. Oleh
karena itu sesuai dengan teori pada pasien diberikan obat-obatan untuk
mengurangi keluhan yaitu pemberian artificial tears untuk mengurangi radangnya
yang selanjutnya direncanakan tindakan pembedahan karena dirasa mengganggu
aktivitas pasien. Selain itu pasien juga diminta untuk menggunakan kacamata
pelindung dan kontrol kembali untuk melihat progresivitas penyakitnya.

4.4 Prognosis Pterigium


Berdasarkan literatur prognosis setelah eksisi pterigium adalah baik. Dengan
pemberian air mata buatan dikatakan keluhan akan berkurang. Pterigium dapat
membesar menjadi derajat yang lebih tinggi dan menyebabkan gangguan
penglihatan, sehingga pada kasus ini pasien diminta untuk kontrol kembali.

22
BAB V
SIMPULAN

Pterigium merupakan suatu pertumbuhan fibrovaskular konjungtiva yang


bersifat degeneratif dan invasive, Pasien perempuan berusia 59 tahun ini
mengeluh mengalami seperti ada yang mengganjal, merah, dan berair pada mata
kiri sejak 6 bulan yang lalu. Visus mata kanan yaitu 6/15, ph 6/7,5 dan visus mata
kiri yaitu 6/15, ph 6/7,5. Dari pemeriksaan segmen anterior ditemukan jaringan
fibrovaskular pada mata kiri dan pemeriksaan lain dalam batas normal.Pasien
didiagnosis dengan OS pterigium grade IV. Resep kacamata dengan koreksi
terbaik setelah operasi pterygoplasty.

23
DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas S, Yulianti SR. Ilmu penyakit mata Edisi ke-5. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI. 2014.
2. Tan DTH, 2002. Pterigium. Holland EJ, Mannis MJ. Ocular Surface
Disease. New York, USA. Springer-Verlag New York, Inc. 65–85
3. Riordan EP, Whitcher JP. Oftalmologi umum. Edisi ke-17. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC. 2010.
4. Pinem TAN. 2015. Laki-laki 38 Tahun dengan Pterigium Temporalis Grade
3 OS. Jurnal Medula Unila. 2015; 4(2): 165-170
5. Erry, Mulyani UA, Susilowati D. Distribusi dan Karakteristik Pterigium di
Indonesia. Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 2011;14(1): 84–89
6. Gazzard G, Saw SM, Farook M, et al. Pterygium in Indonesia: prevalence,
severity and risk factors. The British Journal of Ophthalmology.
2002;86(12): 1341-1346.
7. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. Pemeriksaan dasar mata. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI. 2011.

8. Hollwich Fritz,1992. Ophthalmology: Pterygium.Second edition, Georg


Thieme Verlag. 60–61.
9. Tan Donald, 2004. Strategies for Successful Pterygium Surgery. Current
Concept in Ophthalmology, Jakarta: January 2004,1–32.
10. Ardalan A, Ravi S, and David L. Management of Pterigium. Opthalmic
Pearls.2010;10(4):140-142
11. Caldwell M. Pterigium. [internet]. 2011 [diakses pada tanggal 27 Mei 2019].
Tersedia dari :www.eyewiki.aao.org/Pterigium
12. Riordan P, Witcher JP. Vaughan & Asbury’s Oftalmologi Umum. ed 17.
Jakarta:EGC;2010. h 119.
13. Ilyas S. Yulianti SR. Ilmu Penyakit Mata. ed 6. Jakarta:Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia;2006.h 2-7,117.
14. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan;1984.h14-16.

24
15. Laszuarni. Prevalensi Pterigium di Kabupaten Langkat. Tesis Dokter
Spesialis Mata. Departemen Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara; 2009.
16. Jerome PF. Pterigium [internet]. 2011 [diakses pada tanggal 27 Mei 2019].
Tersedia dari: http://emedicine.medscape.com/article/1192527-overview
17. Anonymus. Anatomi Konjungtiva. [internet] 2009. [ diakses pada tanggal 27
Mei 2019]. Tersedia dari : http://PPM.pdf.com/info-pterigium-anatomi
18. Anonymus. Pterigium. [internet] 2009. [diakses pada tanggal 27 Mei 2019]
Tersedia dari :http://www.dokter-online.org/index.php.htm .
19. Cason, John B., .Amniotic Membrane Transplantation. [internet] 2007.
[diakses pada tanggal 27 Mei 2019]. Tersedia
dari:http://eyewiki.aao.org/Amniotic_Membrane_Transplant
20. Lang, Gerhad K. Ophtalmology A Pocket Textbook Atlas. New York :
Thieme Stutgart;2000.h125

25

Anda mungkin juga menyukai