Anda di halaman 1dari 31

Laporan Kasus

STRUMA MULTI NODUSA TOXIC

Penyusun:
Dennisa Luthfiyah Fadilah, S. Ked
712021083

Pembimbing:
dr. Rudyanto, Sp.B

DEPARTEMEN ILMU BEDAH


RUMAH SAKIT UMUM DAERAH PALEMBANG BARI
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PALEMBANG
2023
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Judul:
STRUMA MULTI NODUSA TOXIC

Oleh:

Rahma Dhita Fitriani, S.Ked

Dipersiapkan dan disusun oleh:


Dennisa Luthfiyah Fadilah, S. Ked
NIM. 712021083

Telah diterima dan disahkan sebagai salah satu syarat dalam mengikuti
kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) Fakultas Kedokteran Universitas
Muhammadiyah Palembang di Bagian Ilmu Bedah
Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari

Palembang, Agustus 2023


Dosen Pembimbing

PAGE \* MERGEFORMAT iv
dr. Rudyanto, Sp.B

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, Zat Yang Maha Indah dengan segala
keindahan-Nya, Zat Yang Maha Pengasih dengan segala Kasih Sayang-Nya, yang
terlepas dari segala sifat lemah semua makhluk.
Alhamdulillah berkat kekuatan dan pertolongan-Nya penulis dapat
menyelesaikan laporan kasus yang berjudul “Struma Multinodusa Toxic”
sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior
(KKS) Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Palembang di Bagian
Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Palembang BARI.
Pada kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima
kasih kepada :
1. dr. Rudiyanto, Sp. B, selaku pembimbing Kepaniteraan Klinik Senior di
Bagian Ilmu Bedah Rumah Sakit Umum Daerah Palembang Bari yang telah
memberikan masukan, arahan, serta bimbingan selama penyusunan laporan
kasus ini.
2. Orang tua dan saudaraku tercinta yang telah banyak membantu dengan doa
yang tulus dan memberikan bantuan moral maupun spiritual.
3. Rekan-rekan co-assistensi dan bidan bangsal atas bantuan dan kerjasamanya.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan laporan kasus masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang
bersifat membangun sangat kami harapkan.
Semoga Allah SWT memberikan balasan pahala atas segala amal yang telah
diberikan dan semoga referat ini dapat bermanfaat bagi semua dan perkembangan
ilmu pengetahuan kedokteran. Semoga selalu dalam lindungan Allah SWT. Amin.

Palembang, Agustus 2023

PAGE \* MERGEFORMAT iv
Penulis

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL
HALAMAN PENGESAHAN ................................................................ i
KATA PENGANTAR ............................................................................ ii
DAFTAR ISI ........................................................................................... iii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................... 1
1.1 Latar Belakang............................................................................... 1
1.2 Tujuan............................................................................................ 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................. 3
2.1 Anatomi........................................................................................... 3
2.2 Definisi............................................................................................ 4
2.3 Epidemiologi .................................................................................. 6
2.4 Patofisiologi ................................................................................... 7
2.5 Diagnosis......................................................................................... 8
2.6 Penatalaksanaan.............................................................................. 10
2.7 Prognosis......................................................................................... 11
2.8 Komplikasi ..................................................................................... 12

BAB III LAPORAN KASUS................................................................. 13


BAB IV ANALISIS KASUS.................................................................. 21
BAB V KESIMPULAN........................................................................ 26
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................. 27

PAGE \* MERGEFORMAT iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Struma atau yang biasa dikenal dengan nama struma merupakan sebuah
benjolan di bagian leher disebabkan membesarnya kelenjar tiroid dampak kelainan
glandula tiroid bisa dalam bentuk terganggunya peranan atau berubahnya struktur
kelenjar dan morfologinya bisa berupa diffusa maupun nodusa. 1
Sruma terbagi berdasarkan dari perubahan kegiatan fungsional dari kelenjar
tiroid, yang tidak lain adalah struma toksik dan non toksik. Struma multinodusa
biasanya terjadi pada Wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada
kelenjar berupa kombinasi bagian yang biperplasia dan bagian yang berinvokusi. 1
Data Observasi mengenai struma di Indonesia, memperlihatkan prevalensi
total goiter rate (TGR) yang awalnya 9,8% pada tahun 1998 meningkat sebesar 11,1%
pada tahun 2003. Batasan tertinggi nilai TGR oleh WHO adalah 5%, jadi bisa
dianggap jika struma tetap menjadi permasalahan kesehatan warga di Indonesia. Data
penelitian yang dilaksanakan di RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado menemukan
sebanyak 183 penderita struma. Tipe struma yang paling banyak adalah struma
nontoksik nodusa (71,6%). Penderita paling banyak pada umur 45-54 tahun (23,5%),
jenis kelamin perempuan (83,6%), berdomisili di dataran rendah (79,8%), serta model
terapi operatif (42,6%). 2
Dampak struma pada tubuh adalah pembesaran kelenjar tiroid yang dapat
mempengaruhi posisi organ di sekitarnya. Di bagian posterior kelenjar tiroid ada
trakea dan esofagus. Struma dapat mendorong ke dalam sehingga dapat mendorong
tenggorokan, kerongkongan, dan pita suara, sehingga menyebabkan kesulitan
bernapas. Hal ini akan berdampak pada keterbatasan dalam memenuhi oksigen,
nutrisi, cairan, serta elektrolit. Jika inflasi benar-benar muncul, itu akan memiliki
bentuk leher yang besar mungkin atau mungkin tidak asimetris, dan dengan kesulitan
menelan dan kesulitan bernapas.3

1
1.2. Tujuan
Tujuan penulisan laporan kasus ini antara lain:
1. Memahami dan mampu mendiagnosis setiap kasus struma multinodusa toxic secara
tepat.
2. Diharapkan adanya pola pikir kritis setelah dilakukannya diskusi kasus struma
multinodusa toxic.
3. Diharapkan pada semua sarjana kedokteran dapat mengaplikasikan pemahaman yang
didapat mengenai kasus struma multinodusa toxic

1.3.Manfaat
1.3.1. Teoritis
Untuk meningkatkan pengetahuan dan menambah wawasan ilmu tentang kasus struma
multinodusa toxic
1.3.2. Praktis
Sebagai masukan guna lebih meningkatkan mutu pelayanan yang diberikan terutama
dalam memberikan informasi (pendidikan kesehatan) kepada pasien dan keluarganya
tentang kasus struma multinodusa toxic

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi
Kelenjar tiroid terletak di leher, yaitu antara fasia koli media dan

fasia prevertebralis. Di dalam ruang yang sama terdapat trakea, esofagus,

pembuluh darah besar dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan

fascia pretrakealis dan melingkari trakea dua pertiga bahkan sampai tiga

perempat lingkaran. Keempat kelenjar paratiroid umumnya terletak pada

permukaan belakang kelenjar tiroid, tetapi letak dan jumlah kelenjar ini

dapat bervariasi. Arteri karotis komunis, vena jugularis interna dan nervus

vagus terletak bersama dalam suatu sarung tertutup di latero dorsal tiroid.

Nervus rekurens terletak di dorsal tiroid sebelum masuk laring. Nervus

3
frenikus dan trunkus simpatikus tidak masuk ke dalam ruang antara fasia

media dan prevertebralis.4

Vaskularisasi kelenjar tiroid berasal dari empat sumber antara lain

arteri karotis superior kanan dan kiri, cabang arteri karotis eksterna kanan

dan kiri dan kedua arteri tiroidea inferior kanan dan kiri, cabang arteri

brakhialis. Kadang kala dijumpai arteri tiroidea ima, cabang dari trunkus

brakiosefalika. Sistem vena terdiri atas vena tiroidea superior yang

berjalan bersama arteri, vena tiroidea media di sebelah lateral dan vena

tiroidea inferior. Terdapat dua macam saraf yang mensarafi laring dengan

pita suara (plica vocalis) yaitu nervus rekurens dan cabang dari nervus

laringeus superior.4

Kelenjar tiroid menghasilkan hormon tiroid utama, yaitu tiroksin

(T4). Bentuk aktif hormon ini adalah triiodotironin (T3), yang sebagian besar

berasal dari konversi hormon T4 di perifer, dan sebagian kecil angsung

dibentuk ole kelenjar tiroid. Iodida anorganik yang diserap dari saluran cerna

merupakan bahan baku hormon tiroid. Sel kelenjar tiroid secara aktif

melakukan transportasi yodium ke dalam sitoplasmanya. Zat ini dipekatkan

kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga afinitasnya sangat tinggi di jaringan

tiroid. Iodida anorganik teroksidasi menjadi bentuk organiknya dan

selanjutnya menjadi bagian dari tirosin yang terdapat dalam tiroglobulin

sebagai monoiodotirosin (MIT) atau diodotirosin (DIT). Konjugasi DIT

dengan MIT atau dengan DIT yang lain akan menghasilkan T3 atau T4, yang

disimpan di dalam koloid kelenjar tiroid. Sebagian besar T4 dilepaskan ke

sirkulasi, sedangkan sisanya tetap berada di dalam kelenjar dan kemudian


4
mengalami deiodinasi untuk selanjutnya menialani daur ulang. Dalam

sirkulasi, hormon tiroid terikat pada protein, yaitu globulin pengikat tiroid

(thyroid-binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat tiroksin

(thyroxine-binding prealbumine, TBPA).

Ketika kebutuhan akan hormon T3 dan T4 meningkat, sel folikel

kelenjar tiroid melakukan ingesti koloid secara pirositosis. Dengan bantuan

enzim liso-somal, hormon T3 dan T4 dilepas dari tiroglobulin, berdifusi ke

dalam sirkulasi darah, lalu ditranspor dalam bentuk kombinasi kimiawi

dengan protein da-lam plasma. Sekresi hormon tiroid dikendalikan oleh

thyroid stimulating hormone (TSH) yang dihasilkan oleh lobus anterior

kelenjar hipofisis. Kelenjar hipofisis secara langsung dipengaruhi dan diatur

aktivitasnya oleh kadar hormon tiroid dalam sirkulasi yang bertindak sebagai

umpan balik negatif terhadap lobus anterior hipofisis dan terhadap sekresi

thyrotropine releasing hormone (TRH) oleh hipotalamus. Hormon kelenjar

5
tiroid mempunyai pengaruh yang sangat bervariasi terhadap jaringan/organ

tubuh yang pada umumnya berhubungan dengan metabolisme sel.

Pada kelenjar tiroid, juga terdapat sel parafolikuler yang

menghasilkan kalsitonin. Kalsitonin adalah suatu polipeptida yang turut

mengatur metabolisme kalsium, yaitu menurunkan kadar kalsium serum,

melalui pengaruhnya terhadap tulang.

2.2 Struma Multinodusa Toxic


2.2. 1 Definisi
Struma ataupun goiter adalah pembesaran dari kelenjar tiroid, yang
bisa berbentuk diffusa ataupun nodusa. Penyebab yang paling sering
terjadi dari defisiensi hormon tiroid yaitu mengkonsumsi yodium yang tidak
cukup. Struma sendiri dapat dibagi sesuai dengan perubahan aktifitas
kegiatan fungsional dari kelenjar tiroid adalah struma toksik serta non
toksik.2

Struma multinodusa biasanya terjadi pada Wanita berusia lanjut, dan


perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa kombinasi bagian yang
biperplasia dan bagian yang berinvokusi. Pada awalnya, sengaian struma
multinodusa dapat dihambat pertumbuhannya dengan pemberian hormon
tiroksin.

Goiter ataupun struma berasal dari bahasa Latin“ tumidum gutter”


yang artinya yaitu tenggorokan yang membesar. Definisi lain struma adalah
kelenjar tiroid yang membesar dua kali atau lebih dari ukuran normal
struma atau berat nya mencapai sekitar 40 gr ataupun lebih. Pembesaran
kelenjar tiroid bisa diakibatkan oleh bermacam perihal, namun penyebab
yang paling umum merupakan kekurangan zat yodium dalam makanan.5

2.2.2 Epidemiologi

6
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, di seluruh dunia diperkirakan
sekitar 200 juta orang menderita struma dari 800 juta orang yang mengonsumsi
yodium dalam jumlah yang sedikit. Hasil survei tentang struma di Indonesia
masih sangat kurang. Hasil penelitian tentang struma di Indonesia, menunjukkan
preva-lensi total goitre rate (TGR) dari 9,8% di tahun 1998 menjadi 11,1% di
tahun 2003. Batas maksimal angka TGR dari WHO ialah 5%, sehingga dapat
dikatakan bahwa struma masih menjadi masalah kesehatan masyarakat di
Indonesia.

2.2.3 Patofisiologi
Gondok multinodular tidak toksik dan atau adenoma toksik tunggal
dianggap sebagai prekursor gondok multinodular toksik (Penyakit Plummer).
Ketika satu atau beberapa nodul pada gondok multinodular nontoksik
memperoleh otonomi, mereka mengeluarkan hormon tiroid berlebih dan
menurunkan kadar TSH yang menyebabkan berkembangnya gondok multinodular
toksik. Selama transisi dari gondok tidak beracun ke gondok beracun, terjadi
perubahan patofisiologi dan morfologi. Histologi gondok multinodular toksik
menunjukkan nodul yang berbatas tegas dari kelenjar tiroid lainnya. Beberapa
dari nodul ini mungkin panas sedangkan beberapa dari nodul ini mungkin dingin
atau berada di antara keduanya (dingin, hangat, atau normoaktif) dengan sisa
jaringan tiroid non-nodular tertekan sebagian atau seluruhnya. Seperti pada
adenoma toksik, hingga 60% gondok multinodular toksik membawa mutasi
reseptor TSH, hanya sedikit yang mengalami mutasi protein G dan sisanya masih
belum diketahui dan diteliti. Singkatnya, gondok multinodular toksik
mengandung nodul hiperfungsi tunggal atau multipel dengan atau tanpa adenoma
hiperfungsi tunggal atau multipel dengan latar belakang penekanan jaringan non-
nodular.
.
2.2.5 Diagnosis
Anamnesis, pemeriksaan fisik, dan penilaian klinis berperan penting dalam
menentukan diagnosis penyakit tiroid. Pemeriksaan laboratorium terdiri atas
pemeriksaan biokimia untuk menetapkan fungsi kelenjar tiroid, pemeriksaan klinis

7
dan fisik untuk menentukan kelainan morfologi kelenjar tiroid, dan pemeriksaan
sitologi atau histologi untuk menentukan perubahan patologis.

1. Anamnesis
Biasanya penderita struma nodusa tidak mempunyai keluhan karena
tidak mengalami hipo atau hipertiroidisme. Nodul dapat Tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang/berubah menjadi multinodular tanpa perubahan
fungsi. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar
tanpa memberikan gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan
terutama atas alasan kosmetik. Sebagian besar penderita struma dapat hidup
dengan struma tanpa keluhan.

Struma nodusa unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakea


kearah kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi
pernafasan. Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan
pernafasan dengan gejala stridor inspiratoar. Walaupun besar, tidak
menyebabkan gangguan neurologic, muskuloskletal, vascular, atau respirasi,
atau menyebabkan gangguan menelan akibat tekanan atau dorongan. Keluhan
yang sering timbul ialah rasa berat dileher, adanya benjolan yang timbul ialah
rasa berat waktu menelan, dan alasan kosmetik.

2. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik nodul mencakup tujuh kriteria. Nodul diidentifikasi
berdasarkan konsistensinya keras atau lunak, ukurannya, terdapat tidaknya
nyeri, permukaan nodul rata atau berdungkul-dungkul, berjumlah tunggal atau
multipel, memiliki batas yang tegas atau tidak dan keadaan mobilitas nodul.

3. Pemeriksaan Penunjang
1. Pemeriksaan biokimia secara radioimunoesai dapat memberikan gambaran
fungsi tiroid, yaitu dengan mengukur kadar T4, T3, FT4, TBG, dan TSH
dalam plasma. Kadar T4/FT4 serum total tepat mencerminkan fungsi
kelenjar tiroid. Kadar T3 serum total selalu tinggi pada penderita
tirotoksikosis.Penentuan kadar TBG kadangkala diperlukan untuk
menginterpretasi kadar T4, dan sampai tingkat tertentu berlaku untuk

8
kadar T3. Kadar TBG dapat berubah pada kehamilan atau pada
pengobatan dengan estrogen. Pemeriksaan kadar TSH serum merupakan
pemeriksaan penyaring yang peka untuk hipotiroidisme karena kadar ini
meningkat sebelum terjadi penurunan kadar I4.

2. Pemeriksaan radiologi (Rontgen dan USG)


a) Foto rontgen : menentukan sudah adanya atau tidaknya metastasis
pada pasien
b) Ultrasonography (USG) : (1) dengan cepat dapat menentukan
apakah tonjolan tersebut di dalam atau di luar tiroid. (2) dengan
cepat dan akurat dapat membedakan tumor kistik dan tumor solid.
(3) dengan lebih mudah dapat dikenali apakah tonjolan tersebut
tunggal atau lebih dari satu. (4) dapat membantu penilaian respon
pengobatan pada terapi supresif. (5) dapat membantu mencari
keganasan tiroid pada metastasis yang tidak diketahui tumor
primernya. (6) sebagai pemeriksaan penyaring terhadap golongan
resiko tinggi untuk menemukan keganasan tiroid. (7) sebagai
pengarah pada pemeriksaan FNAB

3. Pemeriksaan sidik tiroid


Dasar pemeriksaan ini adalah pengambilan dan pendistribusian
yodium radioaktif dalam kelenjar tiroid. Yang dapat dilihat dari
pemeriksaan ini adalah besar, bentuk, dan letak kelenjar tiroid serta
distribusi dalam kelenjar. Sidik radioaktif/ thyro-scan dengan unsur
radioaktif teknesium (Tc99m) atau yodium-131 (I131) dapat
menunjukkan gambaran fungsional jaringan tiroid dengan melihat
kemampuan ambilan unsur radioaktif di atas. Cara ini berguna untuk
menentukan apakah nodul dalam kelenjar tiroid bersifat hiperfungsi
(nodul panas), hipofungsi (nodul dingin), atau normal (nodul hangat).
Kemungkinan keganasan ternyata lebih besar pada nodul dingin
meskipun karsinoma tiroid dapat juga ditemukan pada nodul hangat tau
bahkan nodul panas, seperti pada anak-anak.

9
4. Pemeriksaan FNAB
Penggunaan pemeriksaan sitologi ini sebagai alat bantu diagnostik,
dapat digunakan untuk menegakkan diagnostik karsinoma tipe papilar,
anaplastik, medular, tiroiditis dan kebanyakan koloid nodul jinak.
Namun demikian, FNAB tidak bisa membedakan adenoma folikular
dan karsinoma folikular, dan nodul koloid yang hiperseluler.

5. Pemeriksaan histopatologi
Merupakan pemeriksaan diagnostik utama. Jaringan diperiksa
setelah dilakukan tindakan lobektomi atau isthmolobektomi.

2.2.6 Penatalaksanaan
Sebagian besar keganasan tiroid tidak memberikan gejala yang
berat kecuali jenis anaplastik yang cepat membesar dalam hitungan
minggu. Sebagian kecil pasien khususnya dengan nodul yang besar
mengeluhkan penekanan pada esofagus dan trakea.

Pada pasien dengan struma toksik, pilihan pengobatannya meliputi


pembedahan, terapi radioiodine, atau obat antitiroid. Pengendalian gejala
dengan beta-blocker juga dianjurkan untuk membantu meringankan
gejala hipertiroidisme serta untuk perlindungan jantung. Jika pasien
menderita struma toksik dengan hipertiroidisme subklinis (T3/T4 normal
dan kadar TSH rendah tanpa gejala hipertiroid), pantau dan lanjutkan
pengobatan jika gejala hipertiroid bergantung pada usia, etiologi, dan
kondisi komorbid klinis.

1. Obat anti tiroid : tionamida memang menurunkan produksi hormon


tiroid tetapi penghentian biasanya menyebabkan kekambuhan
hipertiroidisme. Obat antitiroid juga dapat digunakan dengan beta-
blocker seperti propranolol atau atenolol. Dosis awal methimazole 5
mg hingga 60 mg setiap hari. Propylthiouracil 50 mg hingga 600
mg setiap hari. TSH dan T4 bebas harus diukur setiap satu sampai
enam minggu dan dosis thionamide dapat dikurangi dengan tujuan
untuk mempertahankan eutiroidisme. Setelah eutiroidisme tercapai,

10
tes fungsi tiroid dapat dilakukan setiap 3-6 bulan.
2. Pembedahan merupakan pilihan pengobatan definitif dan
indikasinya mencakup penyakit struma yang bersifat obstruktif atau
besar, keganasan, hiperparatiroidisme primer yang terjadi
bersamaan, atau kebutuhan akan koreksi hipertiroidisme segera atau
definitif. Pasien harus diobati dengan obat antitiroid seperti
methimazole untuk mencapai eutiroidisme sebelum operasi.
Methimazole harus dihentikan segera setelah operasi. Beta-blocker
juga harus dihentikan secara perlahan setelah operasi. Fungsi saraf
laring dan kalsium harus dinilai sebelum dan sesudah operasi.
Setelah tiroidektomi total, penggantian hormon tiroid harus dimulai.
Pada mereka yang menjalani hemitiroidektomi, TSH dan T4 bebas
harus diperiksa 4-6 minggu pasca operasi dan penggantian hormon
tiroid harus dimulai jika diperlukan.
3. Dosis yodium radioaktif didasarkan pada ukuran nodul tiroid,
ukuran kelenjar tiroid, tes fungsi tiroid, dan serapan yodium
radioaktif pada pemindaian tiroid. Tionamida, yang sebaiknya
berupa methimazol, harus dihentikan lima hari sebelum menerima
radioiodine. Terapi ini dapat dimulai kembali tiga hingga tujuh hari
setelah radioiodine dan dapat dihentikan ketika terapi radioiodine
telah menunjukkan hasil yang dapat memakan waktu hingga enam
bulan.

2.2.7 Prognosis
Struma memiliki prognosis yang baik. Jika tiroid terus membesar, hal ini
dapat menekan struktur di sekitarnya dan dapat menyebabkan kesulitan bernapas,
kesulitan menelan, dan suara serak. Penting untuk membedakan penyebab
pembesaran tiroid yang jinak dan ganas

2.2.8 Komplikasi
Sekitar 5% struma nodusa mengalami degenerasi maligna. Berbagai tanda
keganasan dapat dievaluasi meliputi perubahan bentuk, pertumbuhan lebih cepat, dan
11
tanda infiltrasi pada kulit dan jaringan sekitar, serta fiksasi dengan jaringan sekitar.
Dapat terjadi penekanan atau infitrasi ke nervus rekurens (perubahan suara), trakea
(dispnea), atau esofagus (disfagia).

12
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identifikasi
Nama : Ny.J
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : Palembang, 03 Agustus 1976 (46 Tahun)
Pekerjaan : Ibu rumah tangga
Pendidikan Terakhir : SMP
Alamat : lr. Terusan 1 5 ulu kec. Sebrang Ulu II
Agama : Islam
Tanggal Masuk Rumah Sakit : 21 Agustus 2023
Tanggal pemeriksaan : 22 Agustus 2023
No. RM : 57.78.29
DPJP : dr. Rudyanto, Sp.B
Ruangan : Bangsal Bedah Perempuan Kelas III

3.2 Auto anamnesis (Selasa, 22 Agustus 2023)


a. Keluhan Utama
Benjolan pada leher sejak ± 1 tahun yang lalu

b. Riwayat Perjalanan Penyakit


Pasien datang ke poliklinik Bedah RSUD Palembang Bari dengan
keluhan terdapat benjolan pada leher sejak ±1 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan terdapat 2 buah benjolan pada lehernya, ±1 bulan SMRS benjolan
di rasakan tidak nyaman pada saat menelan dan leher terasa tertarik. Benjolan
tidak terasa nyeri. Pasien sering merasa lapar namun berat badan menurun.
keluhan juga di seratai badan mudah merasa Lelah, jantung berdebar debar,
dan gemetar pada ujung jari tangan. Keluhan suara berubah tidak ada, keluhan
keringat berlebih tidak ada dan demam tidak ada.

13
Pasien mengatakan tidak ada benjolan lain selain di leher, pasien tidak
merasakan adanya benjolan pada ketiak, perut, dan lipat paha baik besar
maupun kecil. BAB dan BAK seperti biasa, siklus menstruasi normal
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak memiliki Riwayat
tinggal di daerah dataran tinggi. Pasien pernah terdiagnosis sakit tiroid pada
tahun 2011 dan pasien minum obat PTU, pasien mengatakan berenti minum
obat di tahun 2012, pada tahun 2022 pasien mengatakan keluhan badan lemas,
jantung berdebar debar dan tangan gemetar semakin memberat. Pasien berobat
Kembali dan di berikan obat Thimazol, pasien mengaku tidak rutin
mengkonsumsi obat tersebut.

c. Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat Penyakit Hipertiroid (+)
- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit TB Paru disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat penyakit ginjal sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat asma sebelumnya disangkal

d. Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit diabetes melitus disangkal
- Riwayat penyakit TB Paru disangkal
- Riwayat alergi disangkal
- Riwayat penyakit ginjal sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit jantung sebelumnya disangkal
- Riwayat asma sebelumnya disangkal

14
3.3 Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum
Keadaan umum : Tampak Sakit Ringan
Kesadaran : Compos Mentis (E4V5M6)
Keadaan Gizi : Normoweight
Tekanan Darah : 130/80 mmHg
Nadi
- Frekuensi : 82 x/menit
- Irama : reguler
- Isi : cukup
- Tegangan : cukup
- Kualitas : baik
Pernapasan
- Frekuensi : 16 x/menit
- Irama : reguler
- Tipe : thorako-abdominal
Temperatur : 36,3 oC
VAS :0
Status Generalisata
Kepala : Normocephali.
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), mata cekung
(-/-), pupil isokor, refleks cahaya (+/+)
Telinga : Simetris, sekret (-), otorrhea (-), nyeri mastoid (-)
Hidung : Simetris, napas cuping hidung (-), lendir (-)
Tenggorokan : Dalam batas normal, Tonsil T1-T1.
Mulut : Bibir pucat (-), sianosis (-), mukosa kering (-)
Leher : Status lokalis
Jantung
Inspeksi : Iktus cordis tak tampak.
Palpasi : Pulsasi ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : Pekak, Batas jantung dalam batas normal.
Auskultasi : Bunyi jantung I-II (+) normal, murmur (-), gallop (-)

15
Thoraks
Inspeksi : Bentuk dada normal, simetris bilateral, retraksi (-/-).
Palpasi : Nyeri tekan (-), vocal fremitus kanan sama dengan kiri.
Perkusi : Sonor (+/+) pada kedua lapangan paru.
Auskultasi : Vesikuler (+/+) normal, Rhonki (-/-), Wheezing (-/-).
Abdomen
Inspeksi : Tampak datar, tidak terlihat ada massa.
Auskultasi : Bising usus (+) menurun
Palpasi : Nyeri tekan epigastrium (-), hepar dan lien tidak teraba,
defans muscular (-).
Perkusi : Timpani seluruh abdomen.

Genitalia : Dalam batas normal


Ekstremitas : Dalam batas normal

Status Lokalis
Regio coli amterior
Inspeksi : Terdapat benjolan pada region colli anterior, benjolan ikut
bergerak saat menelan, warna benjolan sama dengan warna
kulit sekitar, puncta (-) venektasi (-), distensi vena jugularis (-)
Palpasi : Teraba benjolan pada region colli anterior, ukuran 3 x 5 cm,
kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika menelan,
berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas benjolan
sama dengan daerah sekitarnya, nyeri tekan (-), pembesaran
KGB (-)
Auskultasi : Bruit tiroid (-)

Regio coli lateral dextra


Inspeksi : Terdapat benjolan pada region colli Lateral Dextra, benjolan
ikut bergerak saat menelan, warna benjolan sama dengan
warna kulit sekitar, puncta(-) venektasi (-), distensi vena
jugularis (-)

16
Palpasi : Teraba benjolan pada region colli lateral, ukuran 2 x 3 cm,
kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika menelan,
berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas benjolan
sama dengan daerah sekitarnya, nyeri tekan (-), pembesaran
KGB (-)

Auskultasi : Bruit tiroid (-)


3.1 Pemeriksaan Penunjang
Laboratorium
Jenis Pemeriksaan Hasil Rujukan
HEMATOLOGI
Hemoglobin 13,1 14 - 16 g/dL
Leukosit 6.8 5 - 10 x 103/µL
Trombosit 231.000 150,000 - 400,000 /µL
HEMOSTASIS
Masa perdarahan (BT) 3 1 - 6 menit
Masa pembekuan (CT) 9 10 - 15 menit
KIMIA KLINIK
Ureum 16 (L) 20 - 40 mg/dl
Creatinine 0,5 (L) 0,9 - 1,3 mg/dl
Gula darah sewaktu 97 <180 mg/dl
ELEKTROLIT
Natrium 146 135 - 155 mmol/L
Kalium 3.7 3,5 - 5,5 mmol/L

17
Kalsium 8.6 8.1-10.4 mg/dl

Pemeriksaan Thorax AP

• Cor CTR <50%


• Corakan bronkrovaskuler normal
• Tak tampak infiltrat pada pulmo
• Diafragma kanan dan kiri licin
• Sinus kostofrenikus kanan dan kiri lancip
• Tulang-tulang intak
• Soft tissue baik
Kesan :
• Radiologis tak tampak kelainan

3.2 Diagnosis
Struma multinodusa toxic

3.3 Tatalaksana

18
 Pre-Operatif (21/08/2023)
- IVFD RL 500 ml 20 gtt/menit
- Candesartan 1x8mg
- Amlodipine 1x5mg
- Puasakan selama 6 jam untuk persiapan operasi
- Rencana Operasi, selasa 22 Juli 2023

3.4 Prognosis
Quo ad Vitam : Bonam
Quo ad Functionam : Dubia ad Bonam
Quo ad Sanationam : Bonam

3.5 Follow Up
Waktu dan Hasil follow up
tanggal
21-08-2023 S/ Tidak ada keluhan
Pukul 06.00
WIB
O/ KU : Tampak sakit ringan
Keasadaran : Compos Mentis
GCS : E5M6V4
TD : 120/80 mmHg
HR : 80 x/menit
RR : 20 x/menit
T : 36,5 oC

Pemeriksaan Fisik:
Regio coli amterior
Inspeksi: Terdapat benjolan pada region colli anterior,
benjolan ikut bergerak saat menelan, warna benjolan sama
dengan warna kulit sekitar, puncta (-) venektasi (-), distensi
vena jugularis (-)
Palpasi : Teraba benjolan pada region colli anterior, ukuran
3 x 5 cm, kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika
menelan, berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas
benjolan sama dengan daerah sekitarnya, nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-)

19
Auskultasi : Bruit tiroid (-)

Regio coli lateral dextra


Inspeksi : Terdapat benjolan pada region colli Lateral
Dextra, benjolan ikut bergerak saat menelan, warna
benjolan sama dengan warna kulit sekitar
Palpasi : Teraba benjolan pada region colli lateral, ukuran 2
x 3 cm, kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika
menelan, berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas
benjolan sama dengan daerah sekitarnya, nyeri tekan (-),
pembesaran KGB (-)
Auskultasi : Bruit tiroid (-)
A/ Struma multinodusa toksik
P/ IVFD RL gtt xx/m

20
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien datang ke poliklinik Bedah RSUD Palembang Bari dengan


keluhan terdapat benjolan pada leher sejak ±1 tahun yang lalu. Pasien
mengatakan terdapat 2 buah benjolan pada lehernya, ±1 bulan SMRS benjolan
di rasakan tidak nyaman pada saat menelan dan leher terasa tertarik. Benjolan
tidak terasa nyeri. Pasien sering merasa lapar namun berat badan menurun.
keluhan juga di seratai badan mudah merasa Lelah, jantung berdebar debar,
dan gemetar pada ujung jari tangan. Keluhan suara berubah tidak ada, keluhan
keringat berlebih tidak ada dan demam tidak ada.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga, tidak memiliki Riwayat
tinggal di daerah dataran tinggi. Pasien pernah terdiagnosis sakit tiroid pada
tahun 2011 dan pasien minum obat PTU, pasien mengatakan berenti minum
obat di tahun 2012, pada tahun 2022 pasien mengatakan keluhan badan lemas,
jantung berdebar debar dan tangan gemetar semakin memberat. Pasien berobat
Kembali dan di berikan obat Thimazol, pasien mengaku tidak rutin
mengkonsumsi obat tersebut.
Dari pemeriksaan fisik didapatkan tanda vital tekanan darah 130/80
mmHg, nadi 88x/menit, frekuensi nafas 20x/menit, suhu 36,3 0C. Pada
pemeriksaan fisik didapatkan pada regio coli Teraba benjolan pada region
colli anterior, ukuran 3 x 5 cm, kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika
menelan, berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas benjolan sama
dengan daerah sekitarnya dan pada regio coli dextra, benjolan pada region
colli lateral, ukuran 2 x 3 cm, kosistensi kenyal, mobile, ikut bergerak ketika
menelan, berbatas tegas, permukaan rata, suhu kulit diatas benjolan sama.
Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium
dan diagnosis pasien yaitu struma multinodusa toxic.

21
Struma ataupun goiter adalah pembesaran dari kelenjar tiroid, yang bisa
berbentuk diffusa ataupun nodusa. Penyebab yang paling sering terjadi dari
defisiensi hormon tiroid yaitu mengkonsumsi yodium yang tidak cukup. Struma
sendiri dapat dibagi sesuai dengan perubahan aktifitas kegiatan fungsional dari
kelenjar tiroid adalah struma toksik serta non toksik.
Pasien mengatakan terdapat 2 buah benjolan pada lehernya, ±1 bulan
SMRS benjolan di rasakan tidak nyaman pada saat menelan dan leher terasa
tertarik. Sesuai teori pasien mengalami struma multinodusa biasanya terjadi pada
Wanita berusia lanjut, dan perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa
kombinasi bagian yang biperplasia dan bagian yang berinvokusi. Pada awalnya,
sengaian struma multinodusa dapat dihambat pertumbuhannya dengan pemberian
hormon tiroksin.
Biasanya penderita struma nodusa tidak mempunyai keluhan karena tidak
mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Nodul dapat Tunggal, tetapi kebanyakan
berkembang/berubah menjadi multinodular tanpa perubahan fungsi. Karena
pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar tanpa memberikan
gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan terutama atas alasan
kosmetik. Sebagian besar penderita struma dapat hidup dengan struma tanpa
keluhan.

Struma nodusa unilateral dapat menyebabkan pendorongan trakea kearah


kontralateral tanpa menimbulkan gangguan akibat obstruksi pernafasan.
Penyempitan yang hebat dapat menyebabkan gangguan pernafasan dengan gejala
stridor inspiratoar. Walaupun besar, tidak menyebabkan gangguan neurologic,
muskuloskletal, vascular, atau respirasi, atau menyebabkan gangguan menelan
akibat tekanan atau dorongan.

Pasien sering merasa lapar namun berat badan menurun. keluhan juga di
seratai badan mudah merasa lelah, jantung berdebar debar, dan gemetar pada
ujung jari tangan. Berdasarkan teori gejala dan tanda merupakan manifestasi klinis
peningkatan metabolism disemua sistem tubuh dan organ yang mungkin secara
klinis terlihat jelas. Peningkatan metabolism menyebabkan meningkatnya
kebutuhan kalori sehingga berat badan menurun drastis bila asupan kalori tidak

22
tercukupi. Peningkatan metabolism pada sistem kardiovaskular terlihat dalam
bentuk peningkatan srikulasi darah, antara lain meningkatnya curah jantungyang
tejadi saat istirahat sehingga penderita mengalami palputasi dan takikardi. Beban
miokard dan rangsangan saraf otonom dapat mengacaukan irama jantung, berupa
ekstrasistol, fibrilasi atrium, dan fibrilasi ventrikel.
Pasien pernah terdiagnosis sakit tiroid pada tahun 2011 dan pasien minum
obat PTU, pasien mengatakan berenti minum obat di tahun 2012, pada tahun 2022
pasien mengatakan keluhan badan lemas, jantung berdebar debar dan tangan
gemetar semakin memberat. Pasien berobat Kembali dan di berikan obat
Thimazol, pasien mengaku tidak rutin mengkonsumsi obat tersebut.
Pembedahan merupakan pilihan pengobatan definitif dan indikasinya
mencakup penyakit struma yang bersifat obstruktif atau besar, keganasan,
hiperparatiroidisme primer yang terjadi bersamaan, atau kebutuhan akan koreksi
hipertiroidisme segera atau definitif. Pasien harus diobati dengan obat antitiroid
seperti methimazole untuk mencapai eutiroidisme sebelum operasi. Methimazole
harus dihentikan segera setelah operasi. Beta-blocker juga harus dihentikan secara
perlahan setelah operasi. Fungsi saraf laring dan kalsium harus dinilai sebelum
dan sesudah operasi. Setelah tiroidektomi total, penggantian hormon tiroid harus
dimulai. Pada mereka yang menjalani hemitiroidektomi, TSH dan T4 bebas harus
diperiksa 4-6 minggu pasca operasi dan penggantian hormon tiroid harus dimulai
jika diperlukan
Penatalaksanaan yang dilakukan sebelum dilakukan tindakan, dilakukan
pemeriksaan keadaan pasien secara umum, penjelasan mengenai tindakan operasi
yang akan dilakukan beserta risiko dan efek samping, penandatanganan inform
consent.

Pada kasus ini pasien tidak dilakukan pembedahan, sebelum dilakukannya


operasi pasien mengalami hipertensi sebelum dilakukan tindakan operatif. Pasien
diobservasi dengan tekanan darah 160/100mmhg. Hipertensi preoperatif dapat
disebabkan karena riwayat hipertensi sebelumnya atau karena induksi anestesi.
Pasien dengan riwayat hipertensi sebelumnya, walau terkontrol, akan lebih
berisiko untuk mengalami hipertensi perioperatif akibat induksi anestesi. Tekanan
darah tinggi ketika operasi akan menyebabkan perdarahan yang sangat banyak

23
dan sulit untuk dikendalikan, sehingga akan menyebabkan syok hipovolemik.
Dampak lainnya yaitu menyebabkan tekanan pembuluh darah di sekitar luka
operasi cukup tinggi sehingga luka sukar untuk sembuh. Kondisi ini sangat
membahayakan pasien, sehingga menyebabkan ditundanya suatu operasi.
Kecemasan dapat diekspresikan melalui respons fisiologis, yaitu tubuh
memberi respons dengan mengaktifkan sistem saraf otonom (simpatis maupun
parasimpatis). Sistem saraf simpatis akan mengaktifasi respons tubuh, sedangkan
sistem saraf parasimpatis akan meminimalkan respons tubuh. Reaksi tubuh
terhadap kecemasan adalah “fight or flight” (reaksi fisik tubuh terhadap ancaman
dari luar), bila korteks otak menerima rangsang akan dikirim melalui saraf
simpatis ke kelenjar adrenal yang akan melepaskan hormon epinefrin (adrenalin)
yang merangsang jantung dan pembuluh darah sehingga efeknya adalah nafas
menjadi lebih dalam, nadi meningkat, dan tekanan darah meningkat atau
hipertensi
Pada kasus ini tatalaksana medikamentosa yang diberikan adalah RL gtt
20x/m, candesartan 1x8mg dan Amlodipine 1x5mg. Amlodipine adalah sebagai
obat antihipertensi golongan penyekat kanal kalsium. Amlodipine memiliki
selektivitas yang baik pada pembuluh darah perifer dan dikaitkan dengan insiden
depresi miokard dan kelainan konduksi jantung yang lebih rendah dibandingkan
obat lain dalam golongan yang sama. Amlodipine juga memiliki sifat antioksidan
dan kemampuan untuk meningkatkan produksi oksida nitrat (NO) yang
merupakan vasodilator.
Candesartan bekerja sebagai agen antihipertensi dengan mengikat reseptor
angiotensin II tipe 1 (AT1) di berbagai jaringan, sehingga angiotensin II tidak
dapat mengikat AT1. Hal ini dapat mengurangi vasokonstriksi dan reabsorbsi
air/garam akibat aktivitas angiotensin II, sehingga dapat menurunkan tekanan
darah. Angiotensin II merupakan hormon vasoaktif utama dalam renin-
angiotensin-aldosterone system (RAAS) yang memegang peran penting dalam
patofisiologi hipertensi, gagal jantung, dan gangguan kardiovaskular lainnya.
Angiotensin II dapat menyebabkan vasokonstriksi dan menstimulasi aldosteron
yang dimediasi oleh reseptor AT1, di mana vasokonstriksi bersama sekresi

24
aldosteron yang meningkatkan reabsorbsi air/garam ini dapat meningkatkan
tekanan darah.

BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan:


1. Pada pasien pembedahan merupakan pilihan pengobatan definitif dan
indikasinya mencakup penyakit struma yang bersifat obstruktif atau besar,
keganasan, hiperparatiroidisme primer yang terjadi bersamaan, atau
kebutuhan akan koreksi hipertiroidisme segera atau definitif.
2. Biasanya penderita struma nodusa tidak mempunyai keluhan karena tidak
mengalami hipo- atau hipertiroidisme. Nodul dapat Tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang/berubah menjadi multinodular tanpa perubahan
fungsi. Karena pertumbuhan terjadi secara perlahan, struma dapat membesar
tanpa memberikan gejala selain adanya benjolan di leher, yang dikeluhkan
terutama atas alasan kosmetik.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Bagus, M., Bharata, S., Suparna, K., Bagus, I. G., & Triarta, G. (2023).
Gambaran Kejadian Struma di RSU Negara Tahun 2019-2020. 12(4),
103–106.

2. Tahulending Z, Pontoh V, Lengkong A. Gambaran kejadian Struma di


RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado Periode Juni 2015 – Juni 2018. e-
CliniC. 2018;6(2).
3. Assagaf, S. M., Lumintang, N., & Lampus, H. (2015). Gambaran Eutiroid
Pada Pasien Struma Multinodusa Non-Toksik Di Bagian Bedah Rsup Prof.
Dr. R.D. Kandou Manado Periode Juli 2012 – Juli 2014. E-CliniC, 3(3),
1–5. https://doi.org/10.35790/ecl.3.3.2015.9422
4. Sjamsuhidajat R, De Jong W, Editors. Buku Ajar Ilmu Bedah
Sjamsuhidajat-De Jong. Sistem Organ dan Tindak Bedahnya (1). 4th ed.
Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2017.
5. Diyani, N. (2019). GAMBARAN PADA KASUS PERIOPERATIF SNNT
(STRUMA NODULAR NON TOXIC) TERHADAP Ny.R DI RUANG
BEDAH RSD MAYJEND HM RYACUDU KOTABUMI LAMPUNG
UTARA TANGGAL 14-17 MEI 2019.

6. Ahmet S. Can; Anis Rehman. Goiter. Treasure Island (FL): StatPearls


Publishing; 2023 Jan-.
7. MIMS Indonesia. Candesartan Cilexetil. 2022.
http://www.mims.com/indonesia/drug/info/candesartan/

26
27

Anda mungkin juga menyukai