Oleh:
dr. Endya Maharani Putriatika
Pembimbing
dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD
2023
i
BERITA ACARA PRESENTASI PORTOFOLIO
Pada hari ini tanggal 21/12/2023 di Wahana RSUD dr. Soehadi Prijonegoro telah dilakukan
presentasi kasus oleh:
Nama :
Kasus : Dengue Hemorrhagic Fever
Topik : Anak
Nama DPJP : dr. Widya Permatasari, Sp.A, M.Kes
Nama Pendamping : dr. Nurul Aini, M.Sc, Sp.PD
Nama Wahana : RSUD dr Soehadi Prijonegoro
Nama Peserta Tanda tangan
No
1 1.
2 2.
3 3.
4 4.
5 5.
6 6.
7 7.
8 8.
Berita acara ini ditulis dan disampaikan sesuai dengan yang sesungguhnya
Mengetahui,
Dokter Internsip Dokter Pendamping
ii
LEMBAR PENGESAHAN LAPORAN KASUS
Oleh:
Nama : dr. Endya Maharani Putriatika
Wahana : RSUD dr Soehadi Prijonegoro Sragen
Periode : Agustus 2023 – Februari 2024
iii
DAFTAR ISI
iv
2.9.6. Terapi Medikamentosa....................................................................................14
2.10. Komplikasi............................................................................................................15
2.11. Gangguan Elektrolit.........................................................................................15
2.11.1. Demam...........................................................................................................17
2.11.2. Edema/Overhidrasi......................................................................................17
2.11.3. Asidosis Metabolik........................................................................................17
2.11.4. Ileus Paralitik................................................................................................17
2.11.5. Kejang............................................................................................................17
2.12. Pencegahan...........................................................................................................18
2.13. Prognosis...............................................................................................................18
BAB III LAPORAN KASUS...................................................................................................19
BAB IV PEMBAHASAN........................................................................................................39
BAB V KESIMPULAN...........................................................................................................42
DAFTAR PUSTAKA...........................................................................................................43
v
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
DHF (Dengue Haemoragic Fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue
yang tergolong Arthropod-Borne Virus, genus Flavivirus, dan family Flaviviridae. DHF
ditularkan melalui gigitan nyamuk dari genus Aedes, terutama Aedes aegypti. Penyakit
DHF dapat muncul sepanjang tahun dan dapat menyerang seluruh kelompok umur.
Munculnya penyakit ini berkaitan dengan kondisi lingkungan dan perilaku masyarakat.
Menurut data WHO (2014) Penyakit demam berdarah dengue pertama kali dilaporkan
di Asia Tenggara pada tahun 1954 yaitu di Filipina, selanjutnya menyebar keberbagai
negara. Sebelum tahun 1970, hanya 9 negara yang mengalami wabah DHF, namun
sekarang DHF menjadi penyakit endemik pada lebih dari 100 negara, diantaranya adalah
Afrika, Amerika, Mediterania Timur, Asia Tenggara dan Pasifik Barat memiliki angka
tertinggi terjadinya kasus DHF.
Infeksi dengue dapat disebabkan oleh salah satu dari keempat serotipe virus yang
dikenal (DEN-1,DEN-2,DEN-3 dan DEN-4) yang ditularkan melalui nyamuk terutama
Aedes egypti dan Aedes albopictus yang ditemukan di daerah tropis dan subtropis di
antaranya kepulauan Indonesia hingga bagian utara Australia (Vyas, 2013). Pada banyak
daerah tropisdan subtropis, penyakit DBD adala endemik yang muncul sepanjang tahun,
terutama saat musim hujan ketika kondisi optimal untuk nyamuk berkembang biak.
vi
Biasanya sejumlah besar tidak akan terinfeksi dalam waktu yang singkat (wabah) (CDC,
2010).
Infeksi salah satu serotipe akan memicu imunitas protektif terhadap serotipe tersebut
tetapi tidak terhadap serotipe yang lain, sehingga infeksi kedua akan memberikan dampak
yang lebih buruk. Hal ini dikenal sebagai fenomena yang disebut antibody dependent
enhancement (ADE), dimana antibodi akibat serotipe pertama memperberat infeksi
serotipe kedua (Vyas, 2013).
Saat ini angka kejadian DHF di rumah sakit semakin meningkat, tidak hanya pada
kasus anak, tetapi pada remaja dan juga dewasa. Oleh karena itu, diharapkan dokter
memiliki kompetensi dan pengetahuan yang cukup dalam memberikan tatalaksana pada
pasien dengan DHF di rumah sakit. Maka, penulis termotivasi untuk menyusun laporan
kasus yang berjudul “Dengue Hemorrhagic Fever.”
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah yang ditentukan antara
lain:
1. Apa definisi dari Dengue Hemorrhagic Fever?
2. Apa saja etiologi dan klasifikasi dari Dengue Hemorrhagic Fever?
3. Bagaimana patofisiologi dan manifestasi klinis Dengue Hemorrhagic Fever?
4. Bagaimana melakukan diagnosis Dengue Hemorrhagic Fever ?
5. Bagaimana penatalaksanaan pada Dengue Hemorrhagic Fever ?
6. Bagaimana prognosis dari Dengue Hemorrhagic Fever?
C. Manfaat
Diharapkan laporan kasus ini dapat memperluas pengetahuan dokter internsip
dan pembaca terkait Dengue Hemorrhagic Fever. Tujuan pustaka ini diharapkan
dapat menambah informasi mengenai definisi, epidemiologi, etiologi, patofisiologi,
klasifikasi, manifestasi klinis, anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan
penunjang, dan tatalaksana terapi pada kasus Dengue Hemorrhagic Fever.
vii
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi
Demam dengue atau Dengue Fever (DF) dan Demam Berdarah Dengue (DBD)
atau Dengue Haemorrhagic Fever (DHF) adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh
virus dengue yang disebarkan oleh nyamuk aedes aegypti dengan manifestasi klinis
demam, nyeri otot atau nyeri sendi yang disertai leukopenia, ruam, limfadenopati,
trombositopenia, dan diatesis hemoragik. Pada DBD terjadi perembesan plasma yang
ditandai oleh hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit) atau penumpukan cairan di
rongga tubuh. Sindrom renjatan dengue (dengue shock syndrome) adalah demam berdarah
dengue yang ditandai oleh renjatan/syok (Suhendro et al, 2010).
2.2. Epidemiologi
Demam berdarah dengue (DBD) merupakan penyakit arbovirus dari keluarga
flavivirus yang memiliki empat serotype berbeda (DEN-1, -2, -3, and -4) yang ditularkan
melalui gigitan nyamuk betina Aedes aegypti dan Aedes albopictus. DBD menjadi
perhatian di seluruh dunia terutama di Asia dikarenakan sebagai penyebab utama kesakitan
dan kematian anak (Kaushik, 2010). Diperkirakan lebih dari 50 juta kasus infeksi virus
Dengue terjadi tiap tahunnya dengan jumlah rawat inap sebesar 500.000 dan angka
kematian lebih dari 20.000 jiwa di dunia. Tahun 2006 di Indonesia didapatkan laporan
kasus Dengue sebesar 106.425 orang dengan tingkat kematian 1,06% (Rizal, 2011).
Demam berdarah dengue (DBD) telah terjadi di lebih dari 100 negara dan
mengancam kesehatan lebih dari 2,5 miliar orang di perkotaan, pinggiran perkotaan dan
daerah pedesaan serta di daerah tropis dan subtropis. Sejak tahun 1968 hingga tahun 2009,
World Health Organization (WHO) mencatat bahwa negara Indonesia sebagai negara
dengan kasus DBD tertinggi di Asia Tenggara. Penyakit DBD di Indonesia pertama kali
ditemukan di Kota Surabaya pada tahun 1968 di mana sebanyak 58 orang terinfeksi dan 24
orang di antaranya meninggal dunia (Angka Kematian (AK): 41,3%). Dan sejak saat itu,
penyakit ini menyebar luas ke seluruh Indonesia (Zumaroh, 2015).
Demam Berdarah Dengue sampai saat ini merupakan problem kesehatan di negara
tropis termasuk di Indonesia. DBD dapat terjadi melalui infeksi primer dengue, lebih
sering melalui infeksi sekunder. Peningkatan infeksi sekunder ini disebabkan adanya
antibody-dependent enhancement, yaitu antibodi serotipe pertama meningkat dengan
1
adanya infeksi serotipe kedua. Demam Berdarah Dengue dapat mengancam jiwa terutama
anak-anak di bawah 16 tahun di daerah endemik dengue flavivirus (Lardo, 2013).
Insiden rata-rata kasus DBD berdasarkan daerah provinsi pada tahun 2015, 3
provisi tertinggi adalah provinsi Bali, yaitu 208,7 per 100.000 penduduk, provinsi
Kalimantan Timur yaitu 183,12 per 100.000, dan provinsi Kalimantan Tenggara dengan IR
sebesar 120,08 per 100.000. sedangkan 3 dengan insiden rate terendah adalah Provinsi
Nusa Tenggara Timur adalah 0,68 per 100.000 penduduk, provinsi Maluku sebesar 4,63
per 100.000 penduduk dan provinsi Papua Barat Insiden Rate (IR) sebesar 7,57 per
100.000 penduduk. Insiden rate DBD berdasarkan provinsi selengkapnya dapat dilihat
pada Gambar 1 (Kemenkes 2016).
Gambar 1. Insiden Rate (IR) DBD per 100.000 Penduduk Indonesia Tahun 2016
2.3. Etiologi
Demam dengue dan demam berdarah dengue disebabkan oleh virus dengue, yang
termasuk dalam genus Flavivirus, keluarga Flaviviridae. Flavivirus merupakan virus
2
dengan diameter 30 nm terdiri dari asam ribonukleat rantai tunggal. Terdapat 4 serotipe
virus yaitu DEN- l, DEN-2, DEN-3 dan DEN-4 yang semuanya dapat menyebabkan
demam dengue atau demam berdarah dengue. Keempat serotype ditemukan di Indonesia
dengan DEN-3 merupakan serotype terbanyak. Terdapat reaksi silang antara serotipe
dengue dengan Flavivirus lain seperti Yellow fever, Japanese encehphalitis dan West Nile
virus (Suhendro et al, 2010).
Dalam laboratorium virus dengue dapat bereplikasi pada hewan mamalia seperti
tikus, kelinci, kelinci, anjing, kelelawar dan primate. Survei epidemilogi pada hewan
ternak didapatkan antibodi terhadap virus dengue pada hewan kuda, sapi dan babi.
Penelitian pada artropoda menunjukkan virus dengue dapat bereplikasi pada nyamuk genus
Aedes (Stegomyia) dan Toxorhynchites (Gubler, 2009).
2.4. Klasifikasi
Klasifikasi dan derajat demam dengue berdasatkan WHO tahun 2011.
3
Gambar 2. Derajat demam dengue
Derajat 1: demam diikuti gejala tidak khas. Satu-satunya tanda perdarahan adalah tes
torniquet positif atau mudah memar.
Derajat 2: gejala derajat 1 ditambah dengan perdarahan spontan. Perdarahan bisa terjadi di
kulit atau di tempat lain.
Derajat 3: terjadi kegagalan sirkulasi yang ditandai dengan denyut nadi yang cepat dan lemah,
hipotensi, suhu tubuh yang rendah, kulit lembab dan penderita gelisah.
Derajat 4: terjadi syok berat dengan nadi yang tidak teraba dan tekanan darah yang tidak
dapat diperiksa.
2.5. Patofisiologi
Fenomena patofisiologi utama menentukan berat penyakit dan membedakan
demam berdarah dengue dengan dengue klasik ialah tingginya permeabilitas dinding
pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopenia.
Meningginya nilai hematokrit pada penderita dengan renjatan menimbulkan dugaan bahwa
renjatan terjadi sebagai akibat kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler melalui kapiler
yang rusak dengan mengakibatkan menurunnya volume plasma dan meningginya nilai
hematokrit (Sukohar, 2014).
4
Mekanisme sebenarnya tentang patofisiologi dan patogenesis demam berdarah
dengue hingga kini belum diketahui secara pasti, tetapi sebagian besar menganut "the
secondary heterologous infection hypothesis" yang mengatakan bahwa DBD dapat terjadi
apabila seseorang setelah infeksi dengue pertama mendapat infeksi berulang dengan tipe
virus dengue yang berlainan dalam jangka waktu yang tertentu yang diperkirakan antara 6
bulan sampai 5 tahun. Patogenesis terjadinya renjatan berdasarkan hipotese infeksi
sekunder dicoba dirumuskan oleh Suvatte dan dapat dilihat pada gambar 4 (Suhendro et al,
2010).
Akibat infeksi kedua oleh tipe virus dengue yang berlainan pada seorang penderita
dengan kadar antibodi anti dengue yang rendah, respons antibodi anamnestik yang akan
terjardi dalam beberapa hari mengakibatkan proliferasi dan transformasi limfosit imun
dengan menghasilkan antibodi IgG anti dengue titer tinggi. Replikasi virus dengue terjadi
dengan akibat terdapatnya virus dalam jumlah yang banyak. Hal-hal ini semuanya akan
mengakibatkan terbentuknya kompleks antigen antibodi yang selanjutnya akan
mengaktivasi sistem komplemen. Pelepasan C3a dan C5a akibat antivasi C3 dan C5
menyebabkan meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah dan merembesnya
plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Pada penderita renjatan berat, volume
plasma dapat berkurang sampai lebih dari pada 30% dan berlangsung selama 24- 48 jam.
Renjatan yang tidak ditanggulangi secara adekuat akan menimbulkan anoksia jaringan,
asidosis metabolik dan kematian (Sitepu et al, 2012).
Pada hati, akan terjadi replikasi dalam hepatosit dan sel Kuppfer. Terjadi nekrosis
dan atau apoptosis yang menurunkan fungsi hati, melepaskan produk toksik ke dalam
darah, meningkatkan fungsi koagulasi, meningkatkan konsumsi trombosit, aktivasi sistem
fibrinolitik, dan menyebabkan gangguan koagulasi. Pada makrofag di jaringan, terjadi
apoptosis sehingga mediator larut (soluble) akan meningkatkan TNF α, INF γ, IL-1, IL-2,
IL-6, IL-8, IL-10, IL-13, IL-18, TGF β, C3a, C4b, C5a, MCP-1, CCL-2, VEGF, dan NO,
berakibat ketidakseimbangan profi l terhadap sitokin dan mediator lain sehingga terjadi
gangguan endotel dan koagulasi. Pada sumsum tulang, terjadi replikasi dalam sel stroma
sehingga terjadi supresi hemopoietik yang berkembang ke arah gangguan koagulasi
(Martina et al, 2009).
Sebab lain dari kematian pada DBD ialah perdarahan saluran pencernaran hebat
yang biasanya timbul setelah renjatan berlangsung lama dan tidak dapat diatasi.
Trombositopenia merupakan kelainan hematologis yang ditemukan pada sebagian besar
5
penderita DBD. Nilai trombosit mulai menurun pada masa demam dan mencapai nilai
terendah pada masa renjatan. Jumlah tromosit secara cepat meningkat pada masa
konvalesen dan nilai normal biasanya tercapai sampai hari ke 10 sejak permulaan penyakit.
Berapa faktor koagulasi menurun termasuk faktor II, V, VII, IX, 0X dan fibrinogen. Faktor
XII juga dilaporkan menurun. Perubahan faktor koagulasi disebabkan diantaranya oleh
kerusakan hepar yang fungsinya memang terbukti terganggu, juga oleh aktifasi sistem
koagulasi (Rahayu, 2013).
6
syok hipovolemik), efusi serosa (pleura dan asites) dan disfungsi organ, seperti gagal
hati, ensefalitis, miokarditis dan gangguan pembekuan darah. Leukopenia progresif
dan penurunan jumlah platelet mendadak mendahului kebocoran plasma, dan
peningkatan hematokrit progresif mencerminkan besarnya volume yang hilang ke
kompartemen ekstravaskular. Namun, perlu dicatat bahwa disfungsi organ berat
mungkin ada, termasuk hepatitis, ensefalitis, miokarditis dan pendarahan klinis yang
signifikan, tanpa tanda klinis kebocoran plasma. Fase kritis, yang terbukti pada 10-
15% kasus demam berdarah, mengungkapkan perkembangan penyakit berat. Durasi
fase ini adalah 1-3 hari (Carlos, 2011).
Fase Pemulihan
Fase ini ditandai dengan peningkatan fungsi endotel secara progresif dengan resorpsi
fluida bertahap dari ruang ekstravaskular, stabilisasi hematokrit dan pemulihan platelet
progresif. Ruam bisa terjadi bersamaan dengan pruritus dan bradikardia. Selama fase
ini, karena pemulihan fungsi endotel secara progresif, pemberian cairan (dan akhirnya
diuretik) harus diresepkan dengan hati-hati untuk mencegah kelebihan volume, gagal
jantung kongestif dan pelepasan gagal napas dan efusi serous. Durasi fase ini adalah 1-
3 hari (Carlos, 2011).
2.7. Diagnosis
Berdasarkan WHO (2011) terdapat gejala dan tanda dari masing masing jenis demam
dengue antara lain :
Dengue Fever
2.8. Tatalaksana
Terdapat empat pilar penting dalam tatalaksana diare yaitu rehidrasi, dukungan
nutrisi, pemberian obat sesuai indikasi dan edukasi pada orang tua. Tujuan pengobatan
meliputi mencegah dehidrasi dan mengatasi dehidrasi yang telah ada, antibiotika selektif,
Mencegah kekurangan nutrisi dengan memberikan makanan selama dan setelah diare,
7
mengurangi lama dan beratnya diare serta berulangnya episode diare, dengan memberikan
suplemen zinc, dan edukasi.8 Tujuan pengobatan dapat dicapai dengan cara mengikuti
rencana terapi yang sesuai.10
8
cairan intravena ( 5 ml/kgBB/jam), apbila anak dapat minum dengan baik biasanya
dalam 3-4 jam ( untuk bayi ) atau 1-2 jam (untuk anak yang lebih besar ). Untuk
rehidrasi parenteral digunakan cairan Ringer Laktat dengan dosis 100ml/kgBB.
Cara pemberiannya untuk <1tahun 1 jam pertama 30cc/kgBB, dilanjutkan 5 jam
berikutnya 70 cc/kgBB. Di atas 1 tahun ½ jam pertama 30cc/kgBB dilanjutkan 2 ½
jam berikutnya 70 cc/kgBB.
Lakukan evaluasi tiap jam. Bila hidrasi tidak membaik, tetesan IV dapat
dipercepat. Setelah 6 jam pada bayi atau 3 jam pada anak lebih besar, lakukan
evaluasi, pilih pengobatan selanjutnya yaitu : pengobatan diare dengan dehidrasi
ringan-sedang atau pengobatan diare tanpa dehidrasi.
9
disebabkan oleh infeksi bakteri, diberikan antibiotika sesuai dengan bakteri
penyebab.
Ceftriaxone 50-100
mg/kgBB
10
B. Obat Antidiare
Obat-obat ini meskipun sering digunakan tidak mempunyai keuntungan
praktis dan tidak diindikasikan untuk mengobati diare akut pada anak, beberapa di
antaranya:
Adsorben, Contoh: kaolin, attapulgite. Obat-oat ini dipromosikan untuk
mengikat dan menginaktivasi toksin bakteri atau bahan lain yang menyebabkan
diare serta dikatakan mempunyai kemampuan melindungi mukosa usus.
Antimotilitas, Contoh: loperamide hydrochloride. Obat ini dapat mengurangi
frekuensi diare pada orang dewasa akan tetapi tidak mengurangi volume tinja
pada anak.
b. Prebiotik
Prebiotik bukan merupakan mikroorganisme, tetapi bahan makanan,
umumnya kompleks karbohidrat, yang bila dikonsumsi dapat merangsang
pertumbuhan flora intestinal yng menguntungkan kesehatan. Oligosakarida di ASI
merupakan prototipe prebiotik karena dapat merangsang Lactobacilli dan
Bifidobacteria di kolon bayi yang minum ASI.
2.9. Komplikasi
2.10. Gangguan Elektrolit
A. Hipernatremia
Penderita diare dengan natrium plasma>150 mmol/L memerlukan pemantauan
berkala yang ketat. Tujuannya adalah menurunkan kadar natrium secara perlahan-lahan.
Penurunan kadar natrium plasma yang cepat sangat berbahaya oleh karena dapat
menimbulkan edema otak. Rehidrasi oral atau nasogastrik menggunakan oralit adalah cara
11
terbaik dan paling aman. Koreksi dengan rehidrasi intravena dapat dilakukan
menggunakan cairan 0,45% saline-5% dextrose selama 8 jam. Hitung kebutuhan cairan
menggunakan berat badan tanpa koreksi. Periksa kadar natrium plasma setelah 8 jam. Bila
normal lanjutkan dengan rumatan, bila sebaliknya lanjutkan 8 jam lagi dan periksa kembali
natrium plasma setelah 8 jam. Untuk rumatan gunakan 0,18% saline-5% dekstrose,
perhitungkan untuk 24 jam. Tambahkan 10 mmol KCl pada setiap 500 ml cairan infuse
setelah pasien dapat kencing. Selanjutnya pemberian diet normal dapat mulai diberikan.
lanjutkan pemberian oralit 10ml/kgBB/setiap BAB, sampai diare berhenti. 1,3
B. Hiponatremia
Anak dengan diare yang hanya minum air putih atau cairan yang hanya
mengandung sedikit garam, dapat terjadai hiponatremia ( Na<130 mmol/L).
Hiponatremia sering terjadi pada anak dengan Shigellosis dan pada anak malnutrisi berat
dengan odema. Oralit aman dan efekstif untuk terapi dari hamper semua anak dengan
hiponatremi. Bila tidak berhasil, koreksi Na dilakukan bersamaan dengan koreksi cairan
rehidrasi yaitu memakai ringer laktat atau normal saline. Kadar Na koreksi (mEq/L) =
125 - kadar Na serum yang diperiksa dikalikan 0,6 dan dikalikan berat badan. Separuh
diberikan dalam 8 jam, sisanya diberikan dalam 16 jam. Peningkatan serum Na tidak
boleh melebihi 2 mEq/L/jam.1
C. Hiperkalemia
Disebut hiperkalemia jika K>5 mEq/L, koreksi dilakukan dengan pemberian
kalsium glukonas 10% 0,5-1 ml/kgBB i.v pelan-pelan dalam 5-10 menit dengan monitor
detak jantung.1
D. Hipokalemia
Dikatakan hipokalemia bila K<3,5 mEq/L, koreksi dilakukan menurut kadar K:
jika kalium 2,5-3,5 mEq/L diberikan peroral 75 mcg/kgBB/hr dibagi 3 dosis. Bila <2,5
mEq/L maka diberikan secara intravena drip (tidak boleh bolus) diberikan dalam 4 jam.
Dosisnya: (3,5 - kadar K terukur x BB x 0,4 + 2 mEq/kgBB/24 jam) diberikan dalam 4
jam lemudian 20 jam berikutnya adalah (3,5-kadar K terukur x BB x 0,4 + 1/6 x 2 mEq x
BB). Hipokalemia dapat menyebakan kelemahan otot, paralitik usus, gangguan fungsi
ginjal dan aritmia jantung. Hipokalemia dapat dicegah dan kekurangan kalium dapat
dikoreksi dengan menggunakan makanan yang kaya kalium selama diare dan sesudah
diare berhenti.1
12
2.10.1. Demam
Demam sering terjadi pada infeksi Shigella dysentriae dan rotavirus. Pada
umumnya demam akan timbul jika penyebab diare mengadakan invasi ke dalam sel epitel
usus. Demam juga dapat terjadi karena dehidrasi. Demam yang timbul akibat dehidrasi
pada umunya tidak tinggi dan akan menurun setelah mendapat hidrasi yang cukup. Demam
yang tinggi mungkin diikuti kejang demam. Pengobatan yang diberikan berupa kompres
dan/atau antipiretika dan antibiotika jika ada infeksi.3
2.10.2. Edema/Overhidrasi
Terjadi bila penderita mendapat cairan terlalu banyak. Tanda dan gejala yang
tampak biasnya edema kelopak mata, kejang-kejang dapat terjadi bila ada edema otak.
Edema paru-paru dapat terjadi pada penderita dehidrasi berat yang diberi larutan garam
faali. Pengobatan dengan pemberian cairan intravena dan atau oral dihentikan,
kortikosteroid jika kejang.3
2.10.5. Kejang
Kejang dapat terjadi akibat hipoglikemia karena anak dipuasakan terlalu lama. Bila
penderita dalam keadaan koma, glukosa 20% harus diberikan iv, dengan dosis 2,5
mg/kgBB, diberikan dalam waktu 5 menit. Jika koma tersebut disebabkan oleh
hipoglikemia dengan pemberian glukosa intravena, kesadaran akan cepat pulih kembali.
13
2.11. Pencegahan
Patogen penyebab diare umumnya disebarkan secara fekal-oral. Pemutusan
penyebaran kuman penyebab diare perlu difokuskan pada cara penyebaran ini. Upaya
pencegahan diare yang terbukti efektif meliputi pemberian ASI yang benar, memperbaiki
penyiapan dan penyimpanan makanan pendamping ASI, menggunakan air bersih yang
cukup, membudayakan kebiasaan mencuci tangan dengan sabun sehabis buang air besar
dan sebelum makan, penggunaan jamban yang bersih dan higienis oleh seluruh anggota
keluarga, serta membuang tinja bayi yang benar. Selain itu, diperlukan upaya-upaya untuk
memperbaiki daya tahan tubuh pejamu. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan daya tahan tubuh anak dan dapat juga mengurangi resiko diare antara lain
memberi ASI paling tidak sampai usia 2 tahun, Meningkatkan nilai gizi makanan
pendamping ASI dan memberi makan dalam jumlah yang cukup untuk memperbaiki status
gizi anak, dan imunisasi campak.
Pada balita 1-7% kejadian diare berhubungan dengan campak, dan diare yang
etrjadi umunya lebih berat dan lebih lama (susah diobati, cenderung menjadi kronis)
karena adanya kelainan pada epitel usus. Diperkirakan imunisasi campak yang mencakup
45-90% bayi berumur 9-11 bulan dapat mencegah 40-60% kasus campak, 0,6-3,8%
kejadian diare dan 6-25% kematian karena diare pada balita.1,3
Selain imunisasi campak, dapat juga diberikan vaksin rotavirus apabila tersedia. Di
dunia telah beredar 2 vaksin rotavirus oral yang diberikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3
kali pemberiian dengan interval 4-6 minggu. 1,8,16,17,18
2.12. Prognosis
Bila kita menatalaksana diare sesuai dengan 4 pilar diare, sebagian besar (90%)
kasus diare pada anak akan sembuh dalam waktu kurang dari 7 hari, sebagian kecil (5%)
akan melanjut dan sembuh dalam kurang dari 7 hari, sebagian kecil (5%) akan menjadi
diare persisten.8
14
BAB III LAPORAN KASUS
A. IDENTIFIKASI
Nama : An. UUK
Agama : Islam
B. ANAMNESA
(alloanamnesis dengan ayah penderita, 22 November 2023, pukul 11.30 WIB)
Pasien diantar oleh orang tua datang dengan keluhan BAB cair sejak 2 hari SMRS.
BAB cair > 10 kali, BAB cair sedikit-sedikit dan berbusa, BAB berlendir dan berdarah
disangkal, jumlah setiap kali buang air besar ¼- ½ gelas aqua, konsistensi cair,
berwarna kekuningan, bau asam, menyemprot, disertai dengan adanya ampas. Ibu
pasien mengatakan anak kembung. Keluhan disertai demam sejak 1 minggu yang lalu.
Demam terjadi terus menerus, naik turun dan tidak membaik dengan pemberian
parasetamol. Kejang disangkal. Mual-Muntah disangkal. Tidak ada keluhan batuk dan
pilek. Sebelumnya perut pasien sudah dipijat sebanyak 1x. Nafsu makan pasien baik,
namun pasien terlihat lebih rewel dan gelisah dari biasanya minum lebih kuat dan lebih
sering dari biasanya. Saat menangis masih mengeluarkan air mata. namun BAK
terakhir jam 7 pagi. Pasien masih minum ASI. Keluhan gatal disangkal.
15
Riwayat Penyakit Dahulu
Pedigree
Keterangan:
Partus : Spontan
Riwayat Makan
ASI : 0 – 6 bulan
Kesan : Cukup
Kualitas : Baik
Riwayat Perkembangan
Tengkurap : 3 bulan
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI DASAR
BCG √
CAMPAK √
Kesan : Imunisasi dasar lengkap sesuai umur. Imunisasi ulangan belum dilakukan
17
C. PEMERIKSAAN FISIK
Tanggal pemeriksaan: 22 November 2023
Keadaan Umum
Pernapasan : 38 x/menit
Suhu : 38,9 °c
Tinggi Badan : 69 cm
Status Gizi :
BB/U : +3,1 SD
PB/U :+0.64 SD
BB/PB : +3.57 SD
IMT/U :+3.45 SD
Kesan : Obesitas
18
19
Keadaan Spesifik
Kepala
Bentuk : Normosefali, simetris, dismorfik (-)
Thorak
Paru-paru
20
Inspeksi : Statis, dinamis simetris, retraksi -/-
Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).
Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
Jantung
Pemeriksaan Neurologis
Fungsi motorik
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Lengan Lengan
Kanan Kiri Kanan Kiri
Kekuatan +5 +5 +5 +5
Klonus - -
Reflek patologis - - - -
21
Fungsi nervi craniales : Dalam batas normal
GRM : Kaku kuduk tidak ada
D. PEMERIKSAAN LABORATORIUM
Hematologi (29 November 2023)
Golongan Darah : B
Elektrolit
pH : 7.92 (7.35-7.45)
Kimia Klinik
Urin
Makroskopis
Kejernihan : Jernih
22
Kimia Urin
pH : 7.0
Gukosa : Negatif
Bilirubin : Negatif
Keton : Negatif
Nitrit : Negatif
Blood : Negatif
Mikroskopis Urin
Eritrosit : 0-1/LPB
Leukosit : 2-3/LPB
Epitel : +1/LPK
Silinder : Negatif
Immunoserologi
Widal : Negatif
E. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Thorax PA (25 November 2023)
Corakan bronkovaskuler normal
Kedua sinus costrofrenikus lancip
Kedua diafragma licin
23
Cor CTR < 0.56
Sistema tulang yang tervisualisasi intact
Kesan : Pulmo dan besar cor normal
F. DAFTAR MASALAH
Diare Cair Akut
Febris H+6
Diaper Rash Dermatitis
Obesitas
D. ASSESSMENT
Diare cair akut
Febris H+6
D. PENATALAKSANAAN
IVFD RL 75 cc/kgBb/4 jam
Inj. Ceftazidine 200 mg/12 jam
Inj. Ranitidin 10 mg/12 jam
Inj. Amikasin 60 mg/24 jam
LactoBio 3x1/2 sach
Zink Syr 2x1/2 cth
Inj. Norages 125 mg/12 jam
PCT Syr 3,5 cc tiap 4 jam prn suhu > 37
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
E. RENCANA PEMERIKSAAN
Pemeriksaan feses rutin dan kultur feses
F. EDUKASI
Menjelaskan mengenai penyakit dan mengenai penanganannya.
Menjelaskan proses penyembuhan dan pencegahan dari penyakit.
Menjelaskan prognosis terkait penyakit
24
Edukasi PHBS
D. PROGNOSIS
Quo ad vitam : dubia ad bonam
25
E. FOLLOW UP
Tanggal Keterangan
P:
Hidrokortison salep
A:
Febris H+7
P:
26
LactoB 3x1/2 cth
Hidrokortison salep
A:
Febris H+8
Dermatitis
P:
Hidrokortison salep
27
Masih demam(+)
A:
Febris H+9
SIRS
P:
Hidrokortison salep
A:
Febris H+10
28
Diaper Rash Dermatitis
SIRS
P:
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
A:
Febris H+11
SIRS
P:
Hidrokortison salep
29
Inj. Norages 100 mg, ekstra 125 mg
A:
Febris H+11
SIRS
P:
A:
30
Diare Cair Akut
Febris H+12
SIRS
P:
A:
Febris H+13
SIRS
P:
31
Zink Syr 2x1/2 cth
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
A:
Febris H+14
SIRS
P:
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
A:
32
Febris H+14
SIRS
P:
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
A:
Febris H+15
SIRS
P:
33
Inj. Norages 125 mg/12 jam
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
A:
P:
Gentamisin salep ue
Hidrokortison salep ue
BLPL :
Obat pulang:
BAB IV PEMBAHASAN
34
Pasien An. UUK, laki-laki berusia 6 bulan dan 18 hari, datang ke rumah sakit pada
22 November 2023 dengan keluhan utama berupa BAB cair lebih dari 10 kali dalam 2 hari
terakhir sebelum masuk rumah sakit (SMRS), serta demam yang sudah berlangsung
selama 1 minggu. Berdasarkan anamnesa yang dilakukan bersama ayahnya, pasien
memiliki riwayat BAB cair dengan konsistensi yang menyemprot, berwarna kekuningan,
dan bau asam. Selain itu, pasien juga mengalami kembung dan tampak lebih rewel serta
gelisah dari biasanya. Tidak terdapat riwayat penyakit serupa sebelumnya, trauma, alergi
susu, makanan, dan obat, maupun asma, baik pada pasien maupun dalam keluarga.
Kasus ini dimulai dengan keluhan utama diare cair dan demam. Diare pada anak
dapat dikaitkan dengan berbagai penyebab, termasuk infeksi gastrointestinal. Diare akut,
yang berlangsung kurang dari 14 hari, sering kali bersifat infeksius. Frekuensi BAB yang
tinggi dan konsistensi cair mengindikasikan kemungkinan infeksi. Kehadiran demam dapat
menunjukkan respons imun tubuh terhadap infeksi tersebut. Aspek penting lainnya adalah
tidak adanya riwayat alergi atau penyakit kronis, yang mengarahkan diagnosis lebih
kepada penyebab akut daripada kronis.
Pasien lahir cukup bulan dengan berat badan lahir 4500 gram dan panjang badan 51
cm, serta langsung menangis pasca kelahiran. Ia telah menerima imunisasi dasar sesuai
usia, termasuk BCG, DPT, Hepatitis B, Hib, Polio, dan Campak. Selama 6 bulan pertama,
pasien hanya mengonsumsi ASI dan belum memulai MPASI. Perkembangan motorik
kasar dan motorik halus pasien dalam batas normal.
Riwayat kehamilan cukup bulan dan kelahiran spontan menunjukkan awal
kehidupan yang normal, tetapi berat badan lahir yang tinggi (4500 gram) menarik
perhatian ke kemungkinan faktor risiko untuk obesitas anak. Status imunisasi lengkap
sesuai usia adalah faktor protektif penting, mengurangi kemungkinan penyakit tertentu
sebagai penyebab diare.
Pada pemeriksaan fisik tanggal 22 November 2023, pasien terlihat dalam keadaan
umum yang baik dengan kesadaran kompos mentis. Namun, terdapat indikasi obesitas
dengan berat badan 10.7 kg dan tinggi badan 69 cm. Pemeriksaan paru-paru dan jantung
dalam batas normal. Pada pemeriksaan abdomen, terdapat peningkatan bising usus dan
lambatnya kembali cubitan kulit perut, namun tidak terdapat nyeri tekan.
Temuan pemeriksaan fisik seperti kesadaran kompos mentis dan status gizi yang
menunjukkan obesitas, bersama dengan hasil pemeriksaan neurologis normal, memberikan
gambaran umum kesehatan yang baik meskipun ada penyakit akut.
35
Hasil pemeriksaan laboratorium menunjukkan hemoglobin 11,5 g/dl, hematokrit 32
vol%, dan jumlah leukosit 6.200/mm3, yang semuanya berada dalam rentang normal.
Elektrolit dan kimia klinik menunjukkan kalsium dan natrium dalam batas normal, tetapi
terdapat peningkatan kadar glukosa darah sebesar 125 mg/dl. Pemeriksaan urin secara
makroskopis menunjukkan warna kuning muda dan kejernihan, dengan hasil negatif pada
protein urin, urobilinogen, glukosa, bilirubin, keton, nitrit, dan darah. Pada pemeriksaan
immunoserologi, hasil widal, dengue IgG IgM, dan ICT malaria semuanya negatif.
36
juga diberikan antimikroba/antibiotik karena secara klinis diindikasikan terjadi diare yang
disebabkan oleh infeksi. Parasetamol diberikan untuk mengurangi demam tinggi di atas
38,5°C. Suplementasi zinc juga diberikan untuk mengurangi durasi dan keparahan diare,
serta mencegah kekambuhan diare dalam 2-3 bulan ke depan.
Prognosis pasien ini dianggap dubia namun cenderung baik. Dalam kasus diare,
prognosis tergantung pada tingkat keparahan penyakit dan penerapan diagnosis serta
pengobatan yang tepat sejak awal. Dengan pengelolaan diare yang sesuai meliputi empat
pilar utama dalam penanganan diare, mayoritas kasus diare pada anak biasanya akan pulih
dalam waktu kurang dari 7 hari.
BAB V KESIMPULAN
An. UUK, laki-laki berusia 6 bulan dan 18 hari yang datang dengan keluhan utama
diare cair dan demam, mengindikasikan penanganan klinis sebuah kasus gastroenteritis
akut. Pasien lahir cukup bulan dengan riwayat imunisasi lengkap, dan tanpa riwayat
penyakit berarti sebelumnya, menunjukkan awal kehidupan yang sehat. Pemeriksaan fisik
37
mengungkapkan kondisi umum yang baik dengan indikasi obesitas. Hasil laboratorium
tidak menunjukkan kelainan signifikan, kecuali peningkatan glukosa darah yang mungkin
menandakan stres metabolik. Penatalaksanaan pasien meliputi terapi rehidrasi, antibiotik,
dan obat simptomatik, sesuai dengan standar perawatan medis untuk kondisi serupa.
Edukasi kepada keluarga pasien tentang penyakit, penanganan, pemulihan, dan
pencegahan juga diberikan, menunjukkan pendekatan holistik dalam perawatan kesehatan.
Prognosis kasus ini secara umum positif dengan perawatan yang tepat dan respons yang
baik terhadap terapi.
DAFTAR PUSTAKA
38
2. Shrestha SK, Shrestha J, Mason CJ, Sornsakrin S, Dhakhwa JR, Shrestha BR,
Sakha B, Rana JC, Srijan A, Serichantalergs O, Sethabutr O, Demons S, Bodhidatta
L. Etiology of Acute Diarrheal Disease and Antimicrobial Susceptibility Pattern in
Children Younger Than 5 Years Old in Nepal. Am J Trop Med Hyg. 2022 Dec
5;108(1):174-180. doi: 10.4269/ajtmh.21-1219. PMID: 36509064; PMCID:
PMC9833095.
3. Huang R, Xing HY, Liu HJ, Chen ZF, Tang BB. Efficacy of probiotics in the
treatment of acute diarrhea in children: a systematic review and meta-analysis of
clinical trials. Transl Pediatr. 2021 Dec;10(12):3248-3260. doi: 10.21037/tp-21-
511. PMID: 35070839; PMCID: PMC8753473.
4. Florez ID, Niño-Serna LF, Beltrán-Arroyave CP. Acute Infectious Diarrhea and
Gastroenteritis in Children. Curr Infect Dis Rep. 2020 Jan 28;22(2):4. doi:
10.1007/s11908-020-0713-6. PMID: 31993758.
5. Rivera-Dominguez G, Ward R. Pediatric Gastroenteritis. [Updated 2023 Apr 3]. In:
StatPearls [Internet]. Treasure Island (FL): StatPearls Publishing; 2023 Jan-.
Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK499939/
6. Delelegn MW, Endalamaw A, Belay GM. Determinants of Acute Diarrhea Among
Children Under-Five in Northeast Ethiopia: Unmatched Case-Control Study.
Pediatric Health Med Ther. 2020 Sep 7;11:323-333. doi: 10.2147/PHMT.S256309.
PMID: 32982540; PMCID: PMC7490045.
7. Mogharab V, Rajput S. Factors associated with diarrhea in children under 12 years
of age referred to Ostad Motahari hospital of Jahrom in 2020. J Family Med Prim
Care. 2022 Oct;11(10):6170-6176. doi: 10.4103/jfmpc.jfmpc_342_22. Epub 2022
Oct 31. PMID: 36618212; PMCID: PMC9810889.
8. Van Chuc D, Linh DP, Linh DV, Van Linh P. Clinical Epidemiology Features and
Risk Factors for Acute Diarrhea Caused by Rotavirus A in Vietnamese Children.
Int J Pediatr. 2023 Jun 27;2023:4628858. doi: 10.1155/2023/4628858. PMID:
37408591; PMCID: PMC10319457.
39