Anda di halaman 1dari 40

LAPORAN KASUS INTERNSHIP

SNAKE BITE

Disusun Oleh:
dr. Cut Ela Yani

Dokter Pembimbing;
dr. Muhammad Saidi Sp.B

Dokter Pendamping;
dr. Zulkarnaini ZA

PROGRAM INTERNSHIP DOKTER INDONESIA


KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
RSUD TEUKU UMAR
ACEH JAYA
2022
HALAMAN PENGESAHAN
LAPORAN KASUS SNAKE BITE

Disusun oleh;
dr. Cut Ela Yani
Laporan Kasus (Yang Dipresentasikan)
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas internship

RSUD TEUKU UMAR

Kabupaten Aceh Jaya

Pembimbing Pendamping

dr. Muhammad Saidi Sp.B dr. Zulkarnaini ZA

ii
PRESENTASI LAPORAN KASUS DALAM FORUM ILMIAH
RUMAH SAKIT

Judul : Snake Bite


Presentator : dr. Cut Ela Yani
Tanggal/Tempat : / AULA RSUD Teuku Umar
Waktu :
Jumlah yang hadir : …………….. Orang
a. Koordinasi Wahana/Direktur RS
b. Komite Medis
c. Dokter Spesialis
d. Dokter Umum
e. Tenaga Kesehatan Lainnya
f. Peserta PIDI

Kineja A/B/C

Pembimbing Pendamping

dr. Muhammad Saidi Sp.B dr. Zulkarnaini ZA

iii
ABSENSI KEHADIRAN PRESENTASI LAPORAN KHASUS

Hari/ Tanggal :

Tempat : Aula RSUD Teuku Umar

Judul : Snake Bite

Presentator : dr. Cut Ela Yani

NO NAMA TANDA TANGAN

10

11

12

13

14

15

iv
16

17

18

19

20

Calang, Agustus 2022

Pembimbing
Pendamping

dr. Muhammad Saidi Sp.B


dr.Zulkarnaini ZA

v
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat,
rahmat dan hidayah-Nya, tugas presentasi laporan kasus telah dapat diselesaikan.
Selanjutnya shalawat beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi
Muhammad SAW yang telah membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke
alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Adapun judul tugas ini adalah “Snake Bite” Tugas ini diajukan sebagai
salah satu tugas dalam menjalani Program Dokter Intersip Indonesia di RSUD
Teuku Umar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr.
Muhammad Saidi Sp.B yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan
arahan dan bimbingan dalam menyelesaikan tugas ini. Penulis juga mengucapkan
terima kasih kepada dokter pendamping RSUD Teuku Umar dr. Zulkarnaini ZA
yang telah memberikan masukan dan arahan dalam penyelesaian laporan kasus
ini.

Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh
dari kesempurnaan.Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang
membangun agar tercapai hasil yang lebih baik kelak. Harapan penulis semoga
laporan kasus ini dapat bermammfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
umumnya dan profesi kedokteran khususnya. Semoga ALLAH SWT selalu
Memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya basgi kita semua.

vi
Aceh Jaya, 20 Juli 2022

dr.Cut Ela Yani

DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ ii
LEMBAR PENILAIAN................................................................................. iii
ABSENSI......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR.................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... vi

BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang..................................................................... 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1. Tinjauan Teoritis.................................................................. 3
A. Definisi............................................................................ 3
B. Epidemiologi .................................................................. 3
C. Etiologi............................................................................ 3
D. Bisa Ular.......................................................................... 6
E. Klasifikasi........................................................................ 8
F. Patofisiologi..................................................................... 9
2.2. Tinjauan Teoritis.................................................................. 10
A. Menifestasi Klinis............................................................ 10
B. Diagnosis......................................................................... 12
C. Penatalaksanaan............................................................... 16

BAB III LAPORAN KASUS


3.1. Identitas Pasien..................................................................... 22
3.2. Anemnesis............................................................................ 22
A. Keluhan Utama................................................................ 22
B. Keluhan Tambahan.......................................................... 22

vii
C. Riwayat Penyakit Sekarang............................................. 22
D. Riwayat Penyakit Dahulu................................................ 22
E. Riwayat Penyakit Keluarga............................................. 22
F. Riwayat Penggunaan Obat............................................... 23
3.3. Pemeriksaan Fisik................................................................. 23
A. Vital Sign......................................................................... 23
B. Pemeriksaan Fisik............................................................ 23
3.4. Pemeriksaan Penunjang........................................................ 26
3.5. Diagnosis Kerja.................................................................... 27
3.6. Tatalaksana........................................................................... 27
3.7. Follow-Up............................................................................ 27
3.8. Prognosis.............................................................................. 28

BAB IV PEMBAHASAN........................................................................... 29

BAB V KESIMPULAN............................................................................ 30

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 31

viii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyakit akibat gigital ular ataupun “snake bite” merupakan kejadian


yang cukup sering ditemukan pada lingkungan tertentu dan juga biasanya
berhubungan dengan pekerjaan tertentu, terutama pada area pedesaan di
negara berkembang. Gigitan ular merupakan salah satu masalah kesehatan
yang sering terjadi di negara tropis dan subtropis. Pada tahun 2009, WHO
memasukkan gigitan ular ke dalam daftar neglected tropical disease dan
sampai sekarang tetaplah sebagai masalah kesehatan masyarakat global.
Mayoritas penduduk Indonesia bekerja pada bidang pertanian dianggap
sebagai populasi berisiko tinggi untuk terkena gigitan ular. Di Indonesia
tidak ada laporan epidemiologi nasional yang tersedia disebabkan oleh
sistem pelaporan yang kurang akurat. Data epidemiologi kasus gigitan ular
hanya dari laporan rumah sakit. Hanya ada 42 kasus gigitan ular yang
diobati pada antara tahun 2004 dan 2009. Wanita lebih jarang digigit ular
dibandingkan pria, kecuali pekerjaan didominasi wanita. Anak-anak dan
dewasa muda merupakan puncak usia yang sering digigit ular.1,2,3
Gigitan ular dapat menyebabkan kerusakan pada jaringan lokal,
nekrosis sel perdarahan dalam, hilangnya fungsi otot, pembengkakan,
tekanan darah menurun, kerusakan pada kornea, iritasi dan bengkak pada
daerah uvea, dan pecahnya sel darah merah. Dalam penanganan gigitan ular
diperlukan tatalaksana yang cepat dan dipastikan penyebab gigitan apakah
disebabkan ular berbisa. Identifikasi jenis gigitan dan juga gejala akibat
gigitan berguna dalam penegakan diagnosis maupun terapi untuk
menghindari kecacatan dan keadaan yang mengancam jiwa.3,4
Dalam memeriksa pasien tergigit ular, pemeriksa harus menemukan
bekas tanda gigitan ular. Penemuan bekas gigitan ular harus digambarkan
selama pasien dilakukan pemeriksaan. Untuk luka pada ekstrimitas harus
dinilai luas dari luka gigitan ular dan juga diameter inflamasi yang
diakibatkan oleh gigitan ular tersebut. Pemeriksaan ini harus diulang selama
2 hingga 4 jam untuk menilai secara kuantitatif dan perubahan yang terjadi

1
2

akibat gigitan ular. Prosedur ini sangat bermanfaat selama 12-24 jam untuk
dapat menilai kerusakan jaringan local dan pemberian antivenom.5 Prinsip
penanganan gigitan ular meliputi tatalaksana kausatif, tatalaksana suportif
dan pemcegahan komplikasi. Tatalaksana kausatif berupa pemberian dari
anti bisa ular. Tatalaksana suportif yakni mempertahankan fungsi
kardioresiprasi berupa bantuan patensi jalan nafas, terapi nafas artifisial, dan
menjaga stabilitas hemodinamik. Pencegahan komplikasi utamnya
mencegah terjadinya kejadian tetanus dan infeksi.1,5,6 Dari berbagai
pernyataan di atas, maka penulis tertarik untuk menulis laporan kasus yang
berjudul Snake Bite di RSUD Teuku Umar, Aceh Jaya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tinjauan Teoritis

A. Definisi
Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa ataupun tidak berbisa. Akibat dari gigitan ular tersebut dapat
menyebabkan kondisi medis yang bervariasi, yaitu:1,2,6
1. Kerusakan jaringan secara umum, akibat dari taring ular.
2. Perdarahan serius bila melukai pembuluh darah besar.
3. Infeksi akibat bakteri sekunder atau patogen lainnya dan peradangan.
4. Pada gigitan ular berbisa, gigitan dapat menyebabkan envenomisasi.

B. Epidemiologi
Pria lebih sering digigit dibandingkan perempuan, kecuali tempat
kerja yang lebih didominasi oleh perempuan. Usia umumnya untuk gigitan
adalah anak-anak dan dewasa muda. Ada beberapa bukti bahwa beberapa
kasus kematian pada pada anak-anak dan orang tua. Pada wanita hamil,
gigitan ular membawa risiko untuk ibu dan janin, seperti perdarahan dan
aborsi. Kebanyakan gigitan ular terjadi pada kaki dan pergelangan kaki pada
pekerja pertanian. Pada negara-negara Regional SEA, risiko dari gigitan ular
ini sangat terkait dengan pekerjaan: pertanian (padi), bekerja perkebunan
(karet, kopi), menggiring, berburu, pemancing dan pertanian, penangkapan
dan penanganan ular untuk makanan (restoran ular), menampilkan dan
tampil dengan ular, kulit manufaktur (terutama ular laut), dan juga
pembuatan tradisional obat (Cina).1,2,7

C. Etiologi
Tidak semua spesies ular memiliki bisa sehingga pada kasus gigitan
ular perlu dibedakan atas gigitan ular berbisa atau gigitan ular tidak berbisa.
Ular berbisa yang bermakna medis memiliki sepasang gigi yang melebar,
yaitu taring, pada bagian depan dari rahang atasnya. Taring-taring ini
mengandung saluran bisa (seperti jarum hipodermik) atau alur, dimana bisa

3
4

dapat dimasukkan jauh menuju dalam jaringan dari korban. Selain melalui
taring, bisa dapat juga disemburkan seperti pada ular kobra yang meludah
dapat memeras bisanya keluar dari ujung taringnya dan membentuk
semprotan yang diarahkan pada mata korban. Efek toksik bisa ular pada saat
menggigit mangsanya tergantung pada jenis spesies, ukuranular, jenis
kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan (apakah hanya satu atau kedua
taring menusuk kulit), serta banyaknya serangan yang terjadi.2
Dari ribuan jenis ular yang diketahui hanya sedikit yang berbisa, dan
dari golongan ini hanya beberapa yang berbahaya bagi manusia. Di seluruh
dunia dikenal lebih dari 2000 spesies ular, namun jenis yang berbisa hanya
sekitar 250 spesies.2,4 Di Asia Tenggara, terdapat 3 famili ular berbisa
yaitu:1,6,8
1. Elapidae: memiliki taring yang relatif pendek pada bagian depan.
Contoh yang termasuk famili ini adalah kobra. Elapidae berbentuk relatif
panjang, tipis dan memiliki warna yang relative sama dengan sisik lebar
dan halus pada bagian dorsal kepala. Beberapa dari spesies kobra dapat
mengeluarkan taringnya dari jarak 1 meter atau lebih ke arah yang
dianggap berbahaya.

Gambar 3.1 Famili Elapidae


2. Vipiridae: memiliki taring yang panjang yang secara normal terlipat
pada rahang atas, namun dapat muncul ketika ular akan menyerang.
Viperidae memiliki tubuh pendek, namun tebal dengan sisik kecil dan
kasar di bagian dorsal kepala yang membentuk pola warna pada seluruh
bagian dari dorsal tubuh.
5

Gambar 3.2 Famili Vipiridae


3. Colubridae: dua spesies yang penting yang telah teridentifikasi
merupakan Rhabdophis subminiatus dan R. Tigrinus. Sesuai deskripsi
dan istilah lokal yang sering digunakan, maka ular yang menggigit pasien
termasuk dalam viperidae dengan nama ilmiah Trimeresurus albolabris.

Gambar 3.3 Famili Colubridae


Tabel 3.1 Perbedaan Ular Berbisa dan Ular Tidak Berbisa
Tidak berbisa Berbisa

Bentuk Kepala Bulat Elips, segitiga


Gigi Taring Gigi Kecil 2 gigi taring besar
Bekas Gigitan Lengkung seperti U Terdiri dari 2 titik
Warna Warna-warni Gelap
Besar ular Sangat bervariasi Sedang
Pupil ular bulat Elips
Ekor ular Bersisik ganda Bentuk sisik tunggal
Agresifitas Mematuk berulang dan Mematuk 1 atau 2 kali
membelit sampai tidak  berdaya
6

D. Bisa Ular
Bisa adalah zat atau substansi yang berfungsi untuk melumpuhkan
mangsa dan sekaligus juga berperan pada sistem pertahanan diri. Bisa
tersebut merupakan ludah termodifikasi, yang dihasilkan oleh kelenjar
khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan suatu modifikasi
kelenjar ludah parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi kepala di
belakang mata. Bisa ular tidak hanya terdiri atas satu substansi tunggal,
tetapi merupakan campuran kompleks, terutama protein, yang memiliki
aktivitas enzimatik. Bisa ular mengandung lebih dari 20 unsur penyusun,
sebagian besar adalah protein, termasuk enzim dan racun polipeptida.
Berikut beberapa unsur bisa ular yang memiliki efek klinis:5
1. Enzim prokoagulan; viperidae dapat menstimulasi pembekuan darah
namun dapat pula menyebabkan darah tidak lagi dapat berkoagulasi. Bisa
dari ular Russel mengandung beberapa prokoagulan yang berbeda dan
mengaktivasi langkah berbeda dari kaskade pembekuan darah. Akibatnya
terbentuknya fibrin di aliran darah. Sebagian besar dapat dipecah secara
langsung oleh sistem fibrinolitik tubuh. Segera, dan juga terkadang
antara 30 menit setelah gigitan, tingkat faktor pembekuan darah menjadi
sangat rendah (koagulopati konsumtif) sehingga darah tidak dapat
membeku.
2. Haemorrhagins (zinc metalloproteinase) dapat merusak stuktur endotel
yang meliputi pembuluh darah dan menyebabkan perdarahan sistemik
spontan (spontaneous systemic haemorrhage).
3. Racun sitolitik atau nekrotik – mencerna hidrolase (enzim proteolitik dan
fosfolipase A) racun polipentida dan faktor lainnya yang meningkatkan
permeabilitas membran sel dan menyebabkan pembengkakan setempat.
Racun ini juga dapat menghancurkan membran sel dan jaringan.
4. Phospholipase A2 haemolitik and myolitik – memerankan perana penting
pada hemolisis sekunder untuk efek eritrolisis pada membrane sel darah
merah dan menyebabkan nekrosis otot.
7

5. Phospolipase A2 Neurotoxin pre-sinaptik (elapidae dan juga Viperidae) –


merupakan phospholipases A2 yang merusak ujung syaraf, pada awalnya
melepaskan transmiter asetilkolin lalu meningkatkan pelepasannya.
6. Post-synaptic neurotoxins (Elapidae); polipeptida ini akan bersaing
dengan asetilkolin untuk mendapatkan reseptor pada neuromuscular
junction dan menyebabkan paralisis yang mirip seperti paralisis
kuraonium. Bisa ular terdiri dari beberapa polipeptida yaitu fosfolipase
A, hialuronidase, ATP-ase, 5 nukleotidase, kolin esterase, protease,
fosfomonoesterase, RNA-ase, DNA-ase. Enzim ini menyebabkan
destruksi jaringan lokal, bersifat toksik terhadap saraf, menyebabkan
hemolisis atau pelepasan histamin sehingga timbul reaksi anafilaksis.
Hialuronidase merusak bahan dasar sel sehingga memudahkan
penyebaran racun.6
Berdasarkan patofisiologis yang dapat terjadi pada tubuh korban, efek
bisa ular/ sifat bisa ular dapat dibedakan menjadi:
- Bisa hemotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi jantung dan juga sistem
pembuluh darah. Bisa ular yang bersifat racun terhadap darah, yaitu bisa
ular yang menyerang dan merusak (menghancurkan) sel-sel darah merah
dengan jalan menghancurkan stroma lecethine (dinding sel darah merah),
sehinggga sel darah merah menjadi hancur dan larut (hemolysis) dan
keluar menembus pembuluh darah, mengakibatkan timbulnya perdarahan
pada selaput mukosa (lendir) pada mulut, hidung, tenggorokan, dan lain-
lain.
- Bisa neurotoksik, yaitu bisa yang mempengaruhi sistem saraf dan otak.
Yaitu bisa ular yang merusak dan melumpuhkan jaringan-jaringan sel
saraf sekitar luka gigitan yang menyebabkan jaringan-jaringan sel saraf
tersebut mati dengan tanda kulit sekitar luka tampak kebiruan dan hitam
(nekrotik). Penyebaran dan peracunan selanjutnya mempengaruhi
susunan saraf pusat dengan jalan melumpuhkan susunan saraf pusat,
seperti saraf pernapasan dan jantung. Penyebaran bisa ular ke seluruh
tubuh melalui pembuluh limfe.
- Bisa sitotoksik, yaitu bisa yang hanya bekerja pada lokasi gigitan.
8

Bisa ular diproduksi dan disimpan dalam sepasang kelenjar yang


berada di bawah mata. Bisa dikeluarkan dari taring berongga yang terletak
pada rahang atasnya. Taring ular dapat tumbuh hingga 20 mm pada
rattlesnake besar. Dosis bisa ular tiap gigitan bergantung pada waktu yang
terlewati sejak gigitan pertama, derajat ancaman yang diterima ular, serta
ukuran mangsanya. Lubang hidung merespon terhadap emisi panas dari
mangsa, yang dapat memungkinkan ular untuk mengubah jumlah bisa yang
dikeluarkan.

Bisa biasanya berupa cairan. Protein enzimatik pada bisa menyalurkan


bahan-bahan penghancurnya. Protease, kolagenase, dan arginin ester
hidrolase telah diidentifikasi pada bisa pit viper.7

E. Klasifikasi
Derajat berat kasus gigitan ular berbisa umumnya dibagi dalam empat
skala, yaitu derajat 1 (minor); tidak ada gejala, derajat 2 (moderate); gejala
lokal, derajat 3(severe); gejala berkembang pada daerah regional, derajat 4
(major); sistemik. Tabel 1 ini adalah tabel skor dari derajat beratnya kasus
gigitan ular berbisa dari famili Crotalidae dan famili Elapidae. Pada
umumnya gejala yang ditimbulkan oleh bias ular terjadi dalam 2-6 jam
setelah gigitan. Infark serebri sering terjadi karena gigitan ular dari family
Crotalidae/ Viperidae, terjadi dalam waktu 7 jam sampai 1 minggu setelah
gigitan. Lalloo DG dkk, pada tahun 1992 melaporkan bahwa gejala klinis
timbul mulai 15 menit sampai 6 jam (dengan median 1 jam) setelah
gigitan.1,8,9
9

F. Patofisiologi
Bisa ular terdiri dari campuran beberapa unsur polipeptida, enzim dan
protein. Jumlah bisa, efek letal dan komposisinya bervariasi tergantung dari
spesies dan usia ular. Bisa ular bersifat stabil serta resisten terhadap
perubahan temperatur. Secara mikroskop electron dapat terlihat bahwa bisa
ular merupakan protein yang dapat menimbulkan kerusakan pada sel-sel
endotel dari dinding pembuluh darah, sehingga menyebabkan kerusakan
membran plasma. Komponen peptida bias ular dapat berikatan dengan
reseptor-reseptor yang ada pada tubuh korban. Bradikinin, serotonin dan
histamin adalah sebagian hasil reaksi yang terjadi akibat bisa ular. Enzim
yang terdapat pada bisa ular misalnya Larginine esterase menyebabkan
pelepasan bradikinin sehingga menimbulkan rasa nyeri, hipotensi, mual dan
muntah serta seringkali menimbulkan keluarnya keringat yang banyak
setelah terjadi gigitan.1,5,8
Enzim protease akan menimbulkan berbagai variasi dari nekrosis
jaringan. Phospholipase A menyebabkan terjadi hidrolisis dari membran sel
10

darah merah. Hyaluronidase dapat menyebabkan kerusakan jaringan ikat.


Amino acid esterase menyebabkan terjadi KID. Pada kasus yang berat bisa
ular dapat menyebabkan kerusakan permanen, gangguan pada fungsi bahkan
dapat terjadi amputasi pada ekstremitas. Bisa ular dari famili Crotalidae atau
Viperidae bersifat sitolitik yang menyebabkan nekrosis jaringan, kebocoran
vaskular dan terjadi koagulopati. Komponen dari bias ular jenis ini
mempunyai dampak hampir pada semua sistem organ. Bisa ular dari famili
Elapidae dan Hydrophidae terutama bersifat sangat neurotoksik, dan
mempunyai dampak kurare yang memblok neurotransmiter pada
neuromuscular junction. Aliran dari bisa ular dalam tubuh, tergantung
dalamnya taring ular tersebut masuk ke dalam jaringan tubuh.1,5,8

2.2. Tinjauan Klinis

A. Manifestasi Klinis
Racun merupakan zat ataupun senyawa yang masuk ke dalam tubuh
dengan berbagai cara yang menghambat respon pada sistem biologi dan
menyebabkan gangguan kesehatan, penyakit, bahkan sampai kematian. Di
sekeliling kita ada racun alam yang terdapat pada beberapa tumbuhan dan
hewan. Salah satunya adalah gigitan ular berbisa yang sering terjadi di
daerah tropis dan subtropis. Bisa adalah suatu zat atau substansi yang
berfungsi melumpuhkan mangsa dan sekaligus berperan pada sistem
pertahanan diri. Bisa tersebut merupakan ludah yang termodifikasi, yang
dihasilkan kelenjar khusus. Kelenjar yang mengeluarkan bisa merupakan
suatu modifikasi kelenjar parotid yang terletak di setiap bagian bawah sisi
kepala di belakang mata. Bisa Ular tidak hanya terdiri atas satu substansi
tunggal, tetapi merupakan suatu campuran kompleks, terutama protein, yang
memiliki aktivitas enzimatik.1,7,8
Efek toksik bisa ular saat menggigit tergantung spesies, ukuran ular,
jenis kelamin, usia, dan efisiensi mekanik gigitan: apakah hanya satu atau
kedua taring menusuk kulit, serta banyaknya serangan yang terjadi. Saat
menggigit, jumlah bisa ular yang masuk pada tubuh tergantung jenis ular,
efisiensi secara mekanis, penetrasi taring pada kulit dan juga frekuensi
gigitan. Inefisiensi mekanik dan ketidakmampuan ular mengontrol
11

pengeluaran bisa membuat gigitan ular berbisa tidak selalu mengeluarkan


racun yang berefek klinis.1,7,8
Sekitar 50% Gigitan Malayan Pit Viper dan Russel’s Pit Viper, 30%
gigitan kobra dan 5-10% gigitan viper tidak menghasilkan gejala. Ular tidak
akan pernah menghabiskan cadangan bisa, bahkan walaupun pada serangan
berulang dan ular menjadi relatif kurang berbisa setelah memakan mangsa.
Ular berukuran besar cenderung mengeluarkan bisa yang lebih banyak pada
setiap gigitan, namun ular berukuran kecil kemungkinan banyak
mengandung komponen berbahaya pada bias yang mampu mempengaruhi
hemostasis.1,7,8
Orang yang tergigit ular dapat mengalami gejala hebat bahkan ketika
bisa ular tidak masuk tubuh. Orang yang terlalu cemas mengalami rasa
ekstremitas seperti tertusuk, kaku pada tangan dan juga kaki serta gangguan
keseimbangan. Beberapa kasus lain dapat menimbulkan syok vasovagal dan
kolaps dengan detak jantung melambat. Penderita juga dapat mengalami
agitasi, sensitif, peningkatan tekanan darah dan denyut nadi, gemetar dan
berkeringat. Tanda dan gejala lain dapat berupa efek terapi awal yang
diberikan. Tornikuet pada pertolongan darurat dapat menyebabkan nyeri,
bengkak dan kongesti. Nyeri akibat penetrasi gigi pada permukaan kulit
dapat meningkat dengan deskripsi berdenyut atau menusuk. Pembengkakan
dapat secara bertahap meluas ke arah proksimal.1,7,8
Pembesaran limfonodi regional dan limfadenopati dapat dirasakan,
namun pada beberapa jenis ular, rasa nyeri mungkin tidak ada sehingga
menyebabkan pembengkakan local yang terabaikan. Tanda dan gejala yang
terjadi dapat bersifat lokal atau umum. Gejala lokal antara lain bekas
gigitan, nyeri lokal, perdarahan lokal, bengkak, kebiruan, abses, dan
nekrosis. Gejala umum yang dapat timbul adalah mual, muntah, syok,
pingsan, malaise, nyeri perut, hipotensi dan aritmia jantung.1,7,8

B. Diagnosis
Diagnosis definitif gigitan ular berbisa ditegakkan melalui identifikasi
ular yang menggigit dan juga adanya gejala klinis. Ular yang menggigit
12

sebaiknya dibawa dalam keadaan hidup atau mati, baik sebagian ataupun
seluruh tubuh ular. Perlu juga dibedakan apakah gigitan berasal dari ular
yang tidak berbisa atau binatang lainnya, dari pemeriksaan fisik pada luka
gigitan yang ditinggalkan. Bila tidak dapat mengidentifikasi ular yang
menggigit, manifetasi klinis menjadi hal yang utama dalam menegakkan
diagnosis.1,9,10
Anamnesis yang tepat seputar gigitan ular serta progresifitas gejala
dan tanda baik lokal dan sistemik merupakan hal yang sangat penting.1,9,10
Empat pertanyaan awal yang bermanfaat:1,9,10
1. Pada bagian tubuh mana anda terkena gigitan ular? Dokter dapat melihat
secara cepat bukti bahwa pasien telah digigit ular (misalnya, adanya
bekas taring) serta asal dan perluasan tanda envenomasi lokal.
2. Kapan dan pada saat apa anda terkena gigitan ular?; Perkiraan tingkat
keparahan envenomasi bergantung pada berapa lama waktu berlalu sejak
pasien terkena gigitan ular. Apabila pasien tiba di rumah sakit segera
setelah terkena gigitan ular, bisa didapatkan sebagian kecil tanda dan
juga gejala walaupun sejumlah besar bisa ular telah diinjeksikan. Apabila
pasien digigit ular saat sedang tidur, kemungkinan ular yang menggigit
adalah Kraits (ular berbisa), bila di daerah persawahan, kemungkinan
oleh ular kobra atau russel viper (ular berbisa), bila terjadi saat memetik
buah, pit viper hijau (ular berbisa), bila terjadi saat berenang atau saat
menyebrang sungai, kobra (air tawar), ular laut (laut atau air payau).
3. Perlakuan terhadap ular yang telah menggigit anda?; Ular yang telah
menggigit pasien seringkali langsung dibunuh dan dijauhkan dari pasien.
Apabila ular yang telah menggigit berhasil ditemukan, sebaiknya ular
tersebut dibawa bersama pasien saat ke rumah sakit, untuk memudahkan
identifikasi apakah ular tersebut berbisa atau tidak. Apabila spesies
terbukti tidak berbahaya (atau bukan ular sama sekali) pasien dapat
segera ditenangkan dan dipulangkan dari rumah sakit.
4. Apa yang anda rasakan saat ini?; Pertanyaan ini dapat membawa dokter
pada analisis sistem tubuh yang terlibat. Gejala gigitan ular yang biasa
terjadi di awal adalah muntah. Pasien yang mengalami trombositopenia
13

atau mengalami gangguan pembekuan darah akan mengalami perdarahan


dari luka yang telah terjdi lama. Pasien sebaiknya ditanyakan produksi
urin serta warna urin sejak terkena gigitan ular. Pasien yang
mengeluhkan kantuk, kelopak mata serasa terjatuh, pandangan kabur atau
ganda, kemungkinan menandakan telah beredarnya neurotoksin.
Pemeriksaan Tanda Vital harus selalu dilakukan. Kemudian dicari
tanda bekas gigitan oleh ular berbisa. Tidak semua ular berbisa pada waktu
menggigit menginjeksikan bisa pada korbannya. Orang yang digigit ular,
meskipun tidak ada bisa yang diinjeksikan ke tubuhnya dapat menjadi
panik, nafas menjadi cepat, tangan dan kaki menjadi kaku, dan kepala
menjadi pening. Gejala dan tanda-tanda gigitan ular akan bervariasi sesuai
spesies ular yang menggigit dan banyaknya bisa yang diinjeksikan pada
korban. Gejala dan tanda-tanda tersebut antara lain adalah tanda gigitan
taring (fang marks), nyeri lokal, pendarahan lokal, memar, pembengkakan
kelenjar getah bening, radang, melepuh, infeksi lokal, dan nekrosis jaringan
(terutama akibat gigitan ular dari famili Viperidae). Tanda dan Gejala Lokal
pada daerah gigitan: 1,9,10
- Tanda gigitan taring (fang marks)
- Nyeri lokal
- Perdarahan lokal
- Kemerahan
- Limfangitis
- Pembesaran kelenjar limfe
- Inflamasi (bengkak, merah, panas)
- Melepuh
- Infeksi lokal, terbentuk abses
- Nekrosis
14

Tanda dan gejala sistemik:1,9,10


- Umum (general); Mual, muntah, nyeri perut, lemah, mengantuk, lemas.
- Kardiovaskuler (viperidae); Gangguan penglihatan, pusing, pingsan,
syok, hipotensi, aritmia jantung, edema paru, edema konjunctiva
(chemosis)
- Perdarahan dan gangguan pembekuan darah (Viperidae); Perdarahan
yang berasal dari luka yang baru saja terjadi (termasuk perdarahan yang
terus-menerus dari bekas gigitan (fang marks) dan luka yang telah
menyembuh sebagian (oldrus-mene partly-healed wounds), perdarahan
sistemik spontan – dari gusi, epistaksis, perdarahan intrakranial
(meningism, berasal dari perdarahan subdura, dengan tanda lateralisasi
dan/ koma oleh perdarahan cerebral), hemoptisis, perdarahan perrektal
(melena), hematuria, perdarahan pervaginam, perdarahan antepartum
pada wanita hamil, perdarahan mukosa (misalnya konjunctiva), kulit
(petekie, purpura, ekimosis), serta perdarahan retina.
15

- Neurologis (Elapidae, Russel viper); mengantuk, parestesia, abnormalitas


pengecapan dan pembauan, ptosis, oftalmoplegia eksternal, paralisis otot
wajah dan otot lainnya yang dipersarafi nervus kranialis, suara sengau
atau afonia, regurgitasi cairan melaui hidung, kesulitan untuk menelan
sekret, paralisis otot pernafasan dan flasid generalisata.
- Destruksi otot Skeletal ( sea snake, beberapa spesies kraits, Bungarus
niger and B. candidus, western Russell’s viper Daboia russelii); Nyeri
seluruh tubuh, kaku dan nyeri pada otot, trismus, myoglobinuria,
hiperkalemia, henti jantung, gagal ginjal akut.
- Sistem Perkemihan; nyeri punggung bawah, hematuria, hemoglobinuria,
myoglobinuria, oligouria/anuria, tanda dan juga gejala uremia
( pernapasan asidosis, hiccups, mual, nyeri pleura, dan lain-lain)
- Gejala endokrin; insufisiensi hipofisis/kelenjar adrenal yang disebabkan
infark hipofisis anterior. Pada fase akut : syok, hipoglikemia. Fase kronik
16

(beberapa bulan-tahun setelah gigitan) : kelemahan, kehilangan rambut


seksual sekunder, kehilangan libido, amenorea, atrofi testis,
hipotiroidism

C. Penatalaksanaan
Terapi yang dilakukan terbagi menjadi tata laksana di tempat gigitan
dan di rumah sakit. Tata laksana di tempat gigitan termasuk mengurangi
atau mencegah penyebaran racun dengan cara menekan tempat gigitan dan
prosedur imobilisasi ekstremitas. Selain itu diusahakan transportasi yang
cepat untuk membawa pasien ke rumah sakit terdekat, pasien tidak
diberikan makan atau minum. Saat ini eksisi dan penghisapan bisa tidak
dianjurkan bila dalam 45 menit pasien dapat sampai di rumah sakit.1,9,10
Di rumah sakit diagnosis harus ditegakkan dan segera pasien dipasang
dua jalur intravena untuk memasukkan cairan infus dan juga jalur yang lain
disiapkan untuk keadaan darurat. Segera kemudian dilakukan pemeriksaan
laboratorium seperti darah perifer lengkap, PT, APTT, fibrinogen, elektrolit,
urinalisis dan kadar ureum serta kreatinin darah. Pasien diberikan suntikan
17

toksoid tetanus dan dipertimbangkan pemberian serum anti bisa ular


(SABU). Pengukuran pada tempat gigitan perlu dinilai untuk mengetahui
progresivitasnya. Kadang perlu dilakukan eksisi dan penghisapan bisa pada
saat luka dibersihkan. Saat ini masih diperdebatkan tentang tindakan operasi
(fasciotomy) pada pasien gigitan ular yang berbisa. Fasciotomy dilakukan
bila ada edem yang makin luas dan juga terjadi compartment syndrome
(keadaan iskemik berat pada tungkai yang mengalami revaskularisasi dan
juga menimbulkan edem, disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler dan
keadaan hiperemia).1,9,10
Pada semua kasus gigitan ular, perlu diberikan antibiotik spectrum
luas dan kortikosteroid, meskipun pemberian dari kortikosteroid masih
diperdebatkan. Di Amerika hanya terdapat 3 anti bisa yang diproduksi dan
disetujui oleh FDA, yaitu antivenim polyvalen crotalidae, antivenon untuk
coral snake (Elapidae) dan juga antivenon untuk black widow spider.
Semua anti bisa ular adalah derivat serum binatang, tersering berasal dari
serum kuda, berupa imunoglobulin yang mengikat secara langsung dan
menetralkan protein dari bisa. Produk hewan ini bila terpapar pada pasien
dalam jumlah besar dapat menyebabkan reaksi hipersensitifitas tipe cepat
dan tipe III. Reaksi akut berupa reaksi anafilaktik dapat terjadi pada 20-
25% pasien, bahkan dapat terjadi kematian karena hipotensi dan
bronkospasme. Reaksi lambat dapat terjadi pada 50-75% pasien dengan
gejala serum sickness seperti demam, ruam yang difus, urtikaria, artralgia,
hematuria dan dapat bertahan dalam beberapa hari.1,9,10
Reaksi yang paling sering terjadi adalah urtikaria, namun efek
samping yang serius jarang terjadi. Pemberian anti bisa ular harus dilakukan
di rumah sakit yang tersedia alat-alat resusitasi. Penggunaan adrenalin,
steroid dan antihistamin dapat mengurangi reaksi yang terjadi akibat anti
bisa antara 12,5-30%. Profilaksis yang hanya menggunakan prometazine
tidak dapat mencegah reaksi yang cepat. Anak-anak lebih sering
memerlukan jumlah data anti bisa yang banyak oleh karena kecilnya rasio
antara volume tubuh dan bias ular yang terdistribusi. Antibiotik diberikan
secara rutin, karena dapat terjadi infeksi pada tempat gigitan. Pemberian
18

antibiotik masih kontroversi, namun Blaylock tahun 1999 dari penelitiannya


mendapatkan 18 diantara 20 pasien mempunyai biakan darah positif
bakteria gram negatif aerob,1,9,10
Hal-hal yang harus dilakukan di RS antara lain:1,9,10
1. Lakukan pemeriksaan klinis secara cepat dan resusitasi termasuk ABC
(airway, breathing, circulation), penilaian kesadaran, dan monitoring
tanda vital
2. Buat akses intravena, beri oksigen dan resusitasi lain jika diperlukan
3. Lakukan anamnesa yang meliputi bagian tubuh mana yang tergigit,
waktu terjadinya gigitan dan jenis ular
4. Lakukan pemeriksaan fisik :
- Bagian yang digigit untuk mencari bekas gigitan (fang marks), walaupun
terkadang bekas tersebut tidak tampak, bengkak ataupun nekrosis
- Palpasi arteri di distal lesi (untuk mengetahui ada tidaknya kompartemen
sindrom)
- Cari tanda perdarahan (gusi berdarah, perdarahan konjungtiva,
perdarahan di tempat gigitan)
- Cari tanda dari neurotoksisitas seperti ptosis, oftalmoplegi, paralisis
bulbar, hingga paralisis dari otot-otot pernapasan
- Khusus untuk ular laut terdapat tanda rigiditas pada otot
- Pemeriksaan urin untuk mioglobinuri
5. Lakukan pemeriksaan darah yang meliputi pemeriksaan darah rutin, tes
fungsi ginjal, PPT/PTTK, tes golongan darah dan cross match
6. Anamnesa ulang mengenai riwayat imunisasi, beri anti tetanus toksoid
jika merupakan indikasi
7. Rawat inap paling tidak selama 24 jam (kecuali jika ular yang menggigit
adalah jenis ular yang tidak berbisa)
Satu satunya terapi spesifik terhadap bisa ular adalah dengan anti
venom. Pemberian seawal mungkin akan memberikan hasil yang lebih baik.
Terapi ini dapat diberikan jika tanda tanda penyebaran bisa secara sistemik
ada. Untuk efek lokal, anti venom biasanya tidak efektif jika diberikan lebih
dari 1 jam. Indikasi pemberian anti venom antara lain:
19

- Abnormalitas hemostatik, misalnya perdarahan sistemik spontan dan


trombositopeni (<100000)
- Neurotoksisitas
- Gangguang kardiovaskuler (hipotensi atau syok)
- Rhabdomiolisis generalisata (rasa nyeri pada otot)
- Gagal ginjal akut
- Efek lokal yang signifikan, seperti misalnya pembengkakan lokal lebih
dari setengah besar ekstremitas yang terkena, nekrosis atau hematom
yang luas, atau bengkak yang membesar dengan cepat
- Temuan lab seperti anemia, trombositopeni, leukositosis, peningkatan
enzim hepar, hiperkalemia, dan mioglobinuri
Indikasi SABU adalah adanya gejala venerasi sistemik dan edema
hebat pada bagian luka. Pedoman terapi SABU mengacu pada Schwartz dan
Way:
- Derajat 0 dan I tidak diperlukan SABU, dilakukan evaluasi dalam 12
jam, jika derajat meningkat maka diberikan SABU
- Derajat II: 3-4 vial SABU
- Derajat III: 5-15 vial SABU
- Derajat IV: berikan penambahan 6-8 vial SABU
Pedoman terapi SABU menurut Schwartz dan Way:

Derajat Venerasi Luka gigit Nyeri Ukuran zona edema/ Gejala sistemik
eritemato kulit (cm)

0 0 + +/- < 3 cm/ 12 > 0

I +/- + + 3 – 12 cm/ 12 jam 0

II + + +++ >12-25 cm/ 12 jam Neurotoksik, mual,


pusing, syok

III ++ + +++ >25 cm/ 12 jam ++


Syok, petekia, ekimosis

IV +++ + +++ < ekstremitas ++


Gangguan faal ginjal,
koma, perdarahan
20

Kesalahan dalam penatalaksanaan gigitan ular;


1. Memberikan anti venom pada semua kasus gigitan ular; tidak semua
gigitan ular membutuhkan anti venom, kira-kira 30% dari gigitan ular
kobra, dan 50% karena ular tanah tidak memerlukan anti venom. Selain
mahal, anti venom dapat menyebabkan reaksi anafilaktik yang serius
pada pasien. Sebaiknya anti venom hanya diberikan pada pasien dimana
manfaatnya lebih besar dari pada resikonya
2. Menunda memberikan anti venom; anti bisa ular harus diberikan
sesegera mungkin, bahkan pada pusat pelayanan kesehatan tingkat
pertama sebelum dirujuk ke fasilitas kesehatan yang lebih lengkap
3. Pemberian anti venom polivalen pada semua jenis gigitan ular; anti bisa
ular yang polivalen tidak dapat mencakup semua jenis ular. Selalu
perhatikan label dari pabrik saat hendak menggunakan
4. Pemberian dosis yang lebih kecil pada anak-anak; dosis berdasarkan
jumlah racun yang masuk, bukan berdasarkan berat badan
5. Pemberian terapi pendahuluan dengan kortikosteroid atau antihistamin;
Terapi ini diberikan pada meraka yang mendapat terapi anti bisa ular,
karena gigitan ular tidak menyebabkan reaksi alergi.
21

Gambar 3.4 Diagram Penanganan Gigitan Ular


BAB III
LAPORAN KASUS

3.1. Identitas Pasien

Nama : Nila Agustina


Tanggal Lahir : 41 Tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Rekam Medis : 0-26-63-3
Pekerjaan : IRT
Masuk RS : 18 05 2022
Pemeriksaan : 18 05 2022

3.2. Anamnesis

A. Keluhan Utama
Bengkak pada bekas gigitan ular

B. Keluhan Tambahan
Nyeri dan badan terasa lemas

C. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien datang diantar keluarga dengan keluhan bengkak pada ibu jari
kaki kiri sejak 30 menit SMRS setelah digigit oleh ular. Pasien juga
mengeluhkan nyeri hebat pada ibu jari kaki kiri menyebar sampai ke betis
kiri. Tampak bekas gigitan pada sekitar gigitan.Pasien tidak mengetahui ular
yang menggigit pasien. Mual dan juga muntah di sangkal,gatal-gatal(-)
sesak napas (-) pusing(-) BAB dan BAK dalam batas normal

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Pasien belum pernah mengalami keluhan ini sebelumnya dan juga
penyakit lainnya seperti darah tinggi, diabetes disangkal oleh pasien.

E. Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan sama dengan
pasien. Keluarga tidak memiliki riwayat penyakit menular atau keturunan
lainnya.

22
23

F. Riwayat Penggunaan Obat


Pasien belum pernah mengkonsumsi obat apapun untuk keluhan yang
saat ini diderita oleh pasien.

3.3. Pemeriksaan Fisik

A. Vital Sign
Kesadaran : Compos Mentis
TD : 110/90 mmHg
Nadi : 86 kali/menit
Frekuensi Nafas : 22 kali/menit
Suhu Tubuh : 36.50 C
SpO2 : 98% tanpa O2
B. Pemeriksaan Fisik
Kulit
Warna : Sawo matang
Turgor : Baik
Ikterus : (-)
Anemia : (-)
Sianosis : (-)
Oedema : (-)
Kepala
Bentuk : Normocepali
Rambut : Hitam, sukar dicabut
Mata : Reflek cahaya (+/+), sklera ikterik (-/-), konjungtiva
palpebra inferior pucat (-/-), RCL (+/+), RCTL (+/+)
Telinga : Sekret (-/-), perdarahan (-/-)
Hidung : Sekret (-/-), perdarahan (-/-), NCH (-/-)
Mulut
Bibir : Pucat (-), dianosis (-), kering (-)
Gigi Geligi : Karies (-)
Lidah : Papil atrofi (-), Beslag (-), Tremor (-), Kotor (-)
Mukosa : Kering (-)
24

Tenggorokan : T1/T1
Faring : Hiperemis (-)
Leher
Bentuk : Kesan simetris
KGB : Kesan simetris, Pembesaran (-)
Malar Rush : Tidak ditemukan
Discoid Rush : Tidak ditemukan
Axilla : Pembesaran KGB (-)
Thorax
Thorax Anterior
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe Pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
Auskultasi :
Suara Pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara Tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Thoraks Posterior
Inspeksi
Bentuk dan Gerak : Normochest, pergerakan simetris
Tipe pernafasan : Abdominal Thoracal
Retraksi : (-)
25

Perkusi
Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Sonor Sonor
Lap. Paru tengah Sonor Sonor
Lap. Paru bawah Sonor Sonor

Auskultasi
Suara pokok Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru tengah Vesikuler Vesikuler
Lap. Paru bawah Vesikuler Vesikuler
Suara tambahan Paru kanan Paru kiri
Lap. Paru atas Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru tengah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)
Lap. Paru bawah Rh (-), Wh (-) Rh (-), Wh (-)

Jantung
Auskultasi : BJ I > BJ II, reguler, bising (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Kesan simetris, distensi (-)
Palpasi : Soepel (+), nyeri (-) epigastrium
Perkusi : Tympani (-), asites (-)
Auskultasi : Peristaltik usus kesan normal
Ekstremitas : CRT > 2 Detik, Venerasi dan Eritem ar Pedis S
Ekstremitas Superior Inferior
Kanan Kiri Kanan Kiri
Sianotik - - - -
Edema - - - +
Ikterik - - - -
Gerakan Aktif Aktif Aktif Aktif
Tonus otot N N N N
Sensibilitas N N N N
26

3.4. Pemeriksaan Penunjang

Laboratorium darah rutin


18/05/2022
HEMATOLOGI
Pemeriksaan Hasil Nilai Normal
Hemoglobin 12.4 g/dL 12-17
Eritrosit 4.44 x 106/mm3 4-6
Leukosit 12.9 x 103/mm3 5-10
Trombosit 295 x 103/mm3 150-450
MCV 84.2 80-96
MCH 27.9 28-33
MCHC 33.2 33-36
GDS 102 mg/dl
27

3.5. Diagnosis Kerja

- Snake Bite

3.6. Tatalaksana

‐ O2 Nasal Canul 4 Lpm


‐ Nacl 0.9% + 1 Vial SABU  28 gtt/menit
‐ Inj. Ceftriaksone 1 gr/12 Jam
‐ Inj. Dexketoprofen 1 amp/8 Jam
‐ Inj. Ranitidin 1 amp/12 Jam
‐ Inj, Dypenhidramin 1 amp (Ekstra)
‐ Inj. Dexametasone 1 amp (Ekstra)
‐ Inj. ATS 1 Unit Ekstra

3.7. Follow-Up

Tanggal Evaluasi P
19/05/2022 S/ Nyeri di kaki kiri - O2 Nasal Canul 4 Lpm
- Nacl 0.9% + 1 Vial SABU
O/  28 gtt/menit
TD: 130/80 - Inj. Ceftriaksone 1 gr/12
N: 92 x/i Jam
RR: 22 x/i - Inj. Dexketoprofen 1 amp/8
T: 36,5 Jam
- Inj. Ranitidin 1 amp/12
A/ Snake Bite Jam

20/03/2022 S/ Nyeri berkurang, lemas - O2 Nasal Canul 4 Lpm


(+) - Nacl 0.9% + 1 Vial SABU
 28 gtt/menit
O/ - Inj. Ceftriaksone 1 gr/12
TD: 110/70 Jam
N: 82 x/i - Inj. Dexketoprofen 1 amp/8
RR: 18 x/I Jam
T: 36,5 - Inj. Ranitidin 1 amp/12
Jam
A/ Snake Bite
28

3.8. Prognosis

Quo et Vitam : Dubia ad Bonam


Quo et Functional : Dubia ad Bonam
Quo et Sanactionam : Dubia ad Bonam
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pembahasan

Penegakan diagnosis pasien ini didasarkan pada anamnesis dan


pemeriksaan fisik. Untuk penegakan diagnosis kasus ini cukup berdasarkan
klinis. Pemeriksaan laboratorium dapat dilakukan untuk melihat komplikasi
yang dapat terjadi. Pasien didiagnosis dengan snake bite. Dari anamnesa
didapatkan data pasien perempuan usia 41 tahun datang dengan keluhan
bengkak pada ibu jari kaki sejak 30 menit SMRS setelah digigit oleh ular.
Pasien juga mengeluhkan nyeri hebat di ibu jari kaki kiri menyebar sampai
ke betis kiri. Tampak bekas gigitan dan bengkak pada sekitar gigitan,pasien
tidak mengetahui ular yang menggigit pasien.mualdan juga muntah di
sangkal,gatal-gatal(-)sesak nafas (-)pusing(-)BAB dan BAK dalam batas
normal.
Pada pemeriksaan fisik pasien didapatkan tekanan darah 110/90

mmHg, nadi 86 x/menit, laju pernapasan 22 x/menit, suhu 36,50 C, dan


SpO2 98 % FA. Pada region pedis sinistra tampak venerasi dan eritema
serta bercarak darah. Bekas gigitan ular tampak jelas. Hal ini sesuai dengan
manifestasi klinis pada gigitan ular berbisa, yaitu tanda gigitan taring (fang
marks), nyeri lokal dan inflamasi. Pada pasien ini tatalaksana yang
diberikan adalah imobilisasi dengan spalk wound toilet, O2 Nasal Canul 4
Lpm, Nacl 0.9% + 1 Vial SABU  28 gtt/menit, Inj. Ceftriaksone 1 gr/12
Jam, Inj. Dexketoprofen 1 am/8 Jam, Inj. Ranitidin 1 am/12 Jam, Inj,
Dypenhidramin 1 amp (Ekstra), Inj. Dexametasone 1 amp (Ekstra), Inj. ATS
1 Unit Ekstra, kemudian dikonsulkan ke dokter spesialis bedah. Pada pasien
ini tatalaksana yang diberikan sudah sesuai dengan teori.
Pada pasien juga dilakukan edukasi yaitu menjelaskan kepada pasien
tentang penyakit yang diderita, rencana pemeriksaan dan juga rencana terapi
yang akan dilakukan, tindakan yang akan dilakukan terhadap pasien dan
komplikasi yang dapat terjadi jika tidak dilakukan penanganan dengan
segera dan dengan baik.

29
BAB V
KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Gigitan ular adalah cedera yang disebabkan oleh gigitan dari ular baik
ular berbisa atau tidak berbisa. Gigitan ular dapat menjadi keadaan yang
mengancam jiwa jika tidak ditangani dengan benar. Korban dapat
mengalami reaksi yang ekstrim terhadap racun (bisa ular) dan hanya dalam
hitungan menit saja, dapat menyebabkan kematian. Diagnosis gigitan ular
dapat ditegakkan dari anamnesis dan juga pemeriksaan fisik. Akan tetapi
tetap dibutuhkan pemeriksaan penunjang seperti pemeriksaan laboratorium
untuk mengetahui komplikasi lain yang terjadi akibat gigitan ular.
Pemberian serum anti bisa ular harus diberikan dengan cepat dan tepat.
Pengobatan serum anti bisa ular merupakan terapi yang paling efektif untuk
kasus gigitan ular berbisa karena penggunaan serum anti bisa ular mampu
menurunkan tingkat mortalitas korban gigitan ular.

30
DAFTAR PUSTAKA

31
1. Warrel, David A. Guidelines for the management of snake bites.
WHO Regional Office for South East Asia; 2010.
2. Holve S. Envenomation. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson
HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-16.
Philadelphia : WB Saunders company,2000. h. 2174-8
3. Gold BS, Dart RC, Barish RA. Bites of venomous snakes.N Engl J
Med, 2002; 347:347-56.
4. Malik GM. Snake bites in adults from the Asia region of Southern
Saudi Arabia. Am J Trop Med Hyg 1995; 52:314-7.
5. Numeric P, Moravie V, Didier M, Chatot0Henry D, Cirille S, Bucher
B, dkk. Multiple cerebral infarctions following a snikebite by bothrops
caribbaeaus. Am J Trop Med Hyg 2002; 67:287-8.
6. Sudoyo, A.W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2006.
7. Daley.B.J. Snakebite. Department of Surgery, Division of Trauma and
Critical Care.USA: University of Tennessee School of Medicine;
2006.
8. Seneviratne U, Dissanayaka S. Neurological manifestation of snake
bite in Sri Lanka. Journal of Postgraduate Medicine 2002; 48:275-9.
9. Depkes. Penatalaksanaan gigitan ular berbisa. Dalam SIKer, Dirjen
POM Pedoman pelaksanaan keracunan untuk rumah sakit. Jakarta:
Depkes RI; 2001.
10. WHO. Guidelines for The Clinical Management of Snake Bite in The
South East Asia Region; 2008.

32

Anda mungkin juga menyukai