STATUS EPILEPTIKUS
Oleh:
dr. Ninda Afrini
Dokter Pembimbing:
dr. M Isra Ikhwana, Sp. N
Dokter Pendamping:
dr. Zulkarnaini ZA
Disusun oleh:
dr. Ninda Afrini
Laporan Kasus (yang dipresentasikan)
Dibuat untuk memenuhi salah satu tugas internship
Pembimbing Pendamping
i
PRESENTASI LAPORAN KASUS DALAM FORUM ILMIAH
RUMAH SAKIT
Kinerja A/B/C
Pembimbing Pendamping
ii
iii
ABSENSI KEHADIRAN PRESENTASI LAPORAN KHASUS
10
11
12
13
14
15
16
17
iv
18
19
20
Pembimbing Pendamping
v
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas berkat, rahmat dan
hidayah-Nya, tugas presentasi laporan kasus telah dapat diselesaikan. Selanjutnya shalawat
beserta salam penulis haturkan kepangkuan Nabi Muhammad SAW yang telah
membimbing umat manusia dari alam kegelapan ke alam yang penuh dengan ilmu
pengetahuan.
Adapun judul tugas ini adalah “Status Epileptikus” Tugas ini diajukan sebagai
salah satu tugas dalam menjalani Program Dokter Intersip Indonesia di RSUD Teuku
Umar. Penulis mengucapkan terima kasih kepada pembimbing yaitu dr. M Isra Ikhwana,
Sp. N yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan arahan dan bimbingan dalam
menyelesaikan tugas ini. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada dokter
pendamping RSUD Teuku Umar dr. Zulkarnaini ZA yang telah memberikan masukan
dan arahan dalam penyelesaian laporan kasus ini.
Dengan kerendahan hati, penulis menyadari bahwa tugas ini masih jauh dari
kesempurnaan.Penulis tetap terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun agar
tercapai hasil yang lebih baik kelak. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat
bermammfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan umumnya dan profesi kedokteran
khususnya. Semoga ALLAH SWT selalu Memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya basgi
kita semua.
vi
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL....................................................................................... i
LEMBAR PENILAIAN................................................................................. ii
LEMBAR PENGESAHAN............................................................................ iii
ABSENSI......................................................................................................... iv
KATA PENGANTAR.................................................................................... v
DAFTAR ISI................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................ 1
vii
BAB IV PEMBAHASAN ............................................................................ 31
4.1 Analisa Kasus ............................................................................ 31
BAB V KESIMPULAN................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 33
viii
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang1,3,7,10
Kejang merupakan gejala yang timbul dari efek langsung atau tidak langsung
dari penyakit sistem saraf pusat ( SSP ). Obat – obat yang digunakan untuk terapi
berbagai penyakit vaskuler yang dapat mempengaruhi ambang kejang dan
menyebabkan kejang, selain itu penyakit dapat pula mendasari angka kejadian kejang
pada pasien stress.
Kegawatan merupakan suatu keadaan dimana seseorang berada dalam keadaan
kritis dan apabila tidak dilakukan suatu usaha atau tindakan akan menyebabkan
kematian. Salah satu kegawat daruratan di bidang neurologi adalah status epileptikus.
Walaupun di Indonesia belum merupakan problem kesehatan masyarakat yang besar.
International League Against Epilepsy merupakan sebuah organisasi kesehatan
internasional yang berfokus pada bidang epilepsi dan memiliki sejarah yang panjang
dan kontribusi yang besar dalam Kemajuan pengetahuan, dorongan penelitian, promosi
pencegahan, diagnosis, pengobatan, dan advokasi terkait dengan penyakit dan penderita
epilepsi. Oleh karena itu klasifikasi menurut ILAE dapat menjadi pedoman yang tepat
dalam menentukan diagnosis.
1
Status epileptikus ditegakkan apabila kejang yang terjadi bersifat kontinyu,
berulang dan disertai gangguan kesadaran dengan durasi kejang yang berlangsung lebih
dari 30 menit. Status epileptikus merupakan kejang yang paling serius karena terjadi
terus menerus tanpa berhenti dimana terdapat kontraksi otot yang sangat kuat, kesulitan
bernapas dan muatan listrik di dalam otaknya menyebar luas sehingga apabila status
epileptikus tidak dapat ditangani segera, maka besar kemungkinan dapat terjadi
kerusakan jaringan otak yang permanen dan dapat menyebabkan kematian.
Oleh karena itu, gejala ini harus dapat dikenali dan ditanggulangi secepat
mungkin. Rata-rata 15% penderita meninggal, walaupun pengobatan dilakukan secara
tepat. Lebih kurang 60-80% penderita yang bebas dari kejang setelah lebih dari 1 jam
akan menderita cacat neurologis atau berlanjut menjadi penderita epilepsi.
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi2,10
Status epileptikus adalah kondisi kejang berkepanjangan mewakili keadaan
darurat medis dan neurologis utama. International League Against Epilepsy
mendefinisikan status epileptikus sebagai aktivitas kejang yang berlangsung terus
menerus selama 30 menit atau lebih. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa jika
seseorang mengalami kejang persisten atau seseorang yang tidak sadar kembali
selama lima menit atau lebih, harus dipertimbangkan sebagai status epileptikus.
3
akson terminal dan juga direabsorbsi untuk daur ulang. Neurotransmiter merupakan
cara komunikasi amntar neuron. Setiap neuron melepaskan satu transmitter. Zat – zat
kimia ini menyebabkan perubahan permeabilitas sel neuron, sehingga neuron menjadi
lebih kurang dapat menyalurkan impuls. Diketahui atau diduga terdapat sekitar tiga
puluh macam neurotransmitter, diantaranya adalah Norephinephrin, Acetylcholin,
Dopamin, Serotonin, Asam Gama-Aminobutirat (GABA) dan Glisin.
Komponen listrik dari transmisi saraf menangani transmisi impuls du
sepanjang neuron. Permeabilitas membran sel neuron terhadap ion natrium dan kalium
bervariasi dan dipengaruhi oleh perobahan kimia serta listrik dalam neuron tersebut
( terutama neurotransmitter dan stimulus organ receptor ).
4
Gambar 2. Struktur neuron motorik.
5
neuromuscular junction, terjadi depolarisasi dari membran saraf, menyebabkan
dilepaskan Acethylcholin, kemudian akan terikat pada motor end plate
membrane, menyebabkan terjadinya pelepasan ion kalsium yang menyebabkan
terjadinya ikatan Actin – Myosin yang akhirnya menyebabkan kontraksi otot.
Oleh karena itu potensial aksi menyebar dari tengah serabut ke arah kedua
ujungnya, sehingga kontraksi hampir bersamaan terjadi di seluruh sarkomer
otot.
2.3 Epidemiologi2,3,11
Status epileptikus merupakan suatu masalah yang umum terjadi dengan angka
kejadian kira-kira 60.000 – 160.000 kasus dari status epileptikus tonik-klonik umum
yang terjadi di Amerika Serikat setiap tahunnya. Pada sepertiga kasus, status
epileptikus merupakan gejala yang timbul pada pasien yang mengalami epilepsi
berulang. Sepertiga kasus terjadi pada pasien yang didiagnosa epilepsi, biasanya
karena ketidakteraturan dalam memakan obat antikonvulsan.
Mortalitas yang berhubungan dengan aktivitas kejang sekitar 1-2 persen, tetapi
mortalitas yang berhubungan dengan penyakit yang menyebabkan status epileptikus
kira-kira 10 persen. Pada kejadian tahunan menunjukkan suatu distribusi bimodal
dengan puncak pada neonatus, anak-anak dan usia tua.
Dari data epidemiologi menunjukkan bahwa etiologi dari Status Epileptikus
dapat dikategorikan pada proses akut dan kronik. Pada usia tua Status Epileptikus
kebanyakan sekunder karena adanya penyakit serebrovaskuler, disfungsi jantung,
dementia. Pada Negara miskin, epilepsy merupakan kejadian yang tak tertangani dan
merupakan angka kejadian yang paling tinggi.
2.4 Etiologi1,4,6,7
A. Idiopatik epilepsi :
Biasanya berupa epilepsi dengan serangan kejang umum, penyebabnya
tidak diketahui. Pasien dengan idiopatik epilepsi mempunyai inteligensi normal dan
hasil pemeriksaan juga normal dan umumnya predisposisi genetik.
B. Kriptogenik epilepsi :
Dianggap simptomatik tapi penyebabnya belum diketahui. Kebanyakan
lokasi yang berhubungan dengan epilepsi tanpa disertai lesi yang mendasari atau
6
lesi di otak tidak diketahui. Termasuk disini adalah sindroma West, Sindroma
Lennox Gastaut dan epilepsi mioklonik. Gambaran klinis berupa ensefalopati difus.
C. Simptomatik epilepsi :
Pada simptomatik terdapat lesi struktural di otak yang mendasari contohnya
oleh karena sekunder dari trauma kepala, infeksi susunan saraf pusat, kelainan
kongenital, proses desak ruang di otak, gangguan pembuluh darah diotak, toksik
(alkohol, obat), gangguan metabolic dan kelainan neurodegeneratif.
2.5 Klarifikasi6,8,10,12
Klasifikasi status epileptikus penting untuk penanganan yang tepat, karena
penanganan yang efektif tergantung pada tipe dari status epileptikus. Pada umumnya
status epileptikus dikarakteristikkan menurut lokasi awal bangkitan – area tertentu dari
korteks (Partial onset) atau dari kedua hemisfer otak (Generalized onset)- kategori
utama lainnya bergantung pada pengamatan klinis yaitu, apakah konvulsi atau non-
konvulsi. Tahun 1981 International League Against Epilepsy (ILAE) membuat suatu
klasifikasiinte rnasional mengenai kejang dan epilepsi yang membagi kejang menjadi
2 golongan utama : serangan parsial (partial onset seizures) dan serangan umum
(generalized-onset seizures). Serangan parsial dimulai pada satu area fokal di korteks
serebri, sedangkan serangan umum dimulai secara simultan di kedua hemisfer.
Serangan lain yang sulit digolongkan dalam satu kelompok dimasukkan dalam
golongan tak terklasifikasikan (unclassified). ILAE kemudian membuat klasifikasi
yang diperbarui menggunakan diagnosis multiaksial pada tahun 1989, kemudian
disempurnakan lagi pada tahun 2001, namun klasifikasi tahun 1981 tetap masih sering
digunakan.
Serangan parsial (fokal) Serangan parsial sederhana (dengan
gejala motorik, sensorik, otonom, atau
psikis)
Serangan parsial kompleks
Serangan parsial dengan generalisasi
sekunder
Serangan umum Absens (petit mal)
Tonik-klonik (Grand mal)
Tonik
7
Atonik
Mioklonik
Serangan Epilepsi tak
teklasifikasikan
Tabel 1. Klasifikasi ILAE 1981. ( Nia karnia 2007 )
2.6 Patofisiologi1,3,8
Kejang dipicu oleh perangsangan sebagian besar neuron secara berlebihan,
spontan, dan sinkron sehingga mengakibatkan aktivasi fungsi motorik (kejang),
sensorik, otonom atau fungsi kompleks (kognitif, emosional) secara lokal atau umum.
Mekanisme terjadinya kejang ada beberapa teori:
a) Gangguan pembentukan ATP dengan akibat kegagalan pompa Na-K, misalnya
pada hipoksemia, iskemia, dan hipoglikemia. Sedangkan pada kejang sendiri
dapat terjadi pengurangan ATP dan terjadi hipoksemia.
b) Perubahan permeabilitas membran sel syaraf, misalnya hipokalsemia dan
hipomagnesemia.
c) Perubahan relatif neurotransmiter yang bersifat eksitasi dibandingkan dengan
neurotransmiter inhibisi dapat menyebabkan depolarisasi yang berlebihan.
Misalnya ketidakseimbangan antara GABA atau glutamat akan menimbulkan
kejang.
8
dengan serial kejang tonik-klonik umum tanpa pemulihan kesadaran diantara
serangan dan peningkatan frekuensi.
Setiap kejang berlangsung dua sampai tiga menit, dengan fase tonik
yang melibatkan otot-otot aksial dan pergerakan pernafasan yang terputus-
putus. Pasien menjadi sianosis selama fase ini, diikuti oleh hyperpnea retensi
CO2. Adanya takikardi dan peningkatan tekanan darah, hyperpireksia
mungkin berkembang. Hiperglikemia dan peningkatan laktat serum terjadi
yang mengakibatkan penurunan pH serum dan asidosis respiratorik dan
metabolik. Aktivitas kejang sampai lima kali pada jam pertama pada kasus
yang tidak tertangani.
9
ensefalopati kronik dan merupakan gambaran dari Lenox-Gestaut
Syndrome.
10
aktivitas puncak 3 Hz monotonus (monotonous 3 Hz spike) pada semua
tempat. Respon terhadap status epileptikus Benzodiazepin intravena
didapati.
11
1. Status Somatomotorik
Kejang diawali dengan kedutan mioklonik dari sudut mulut,
ibu jari dan jari-jari pada satu tangan atau melibatkan jari-jari kaki
dan kaki pada satu sisi dan berkembang menjadi jacksonian march
pada satu sisi dari tubuh. Kejang mungkin menetap secara unilateral
dan kesadaran tidak terganggu. Pada EEG sering tetapi tidak selalu
menunjukkan periodic lateralized epileptiform discharges pada
hemisfer yang berlawanan (PLED), dimana sering berhubungan
dengan proses destruktif yang pokok dalam otak. Variasi dari status
somatomotorik ditandai dengan adanya afasia yang intermitten atau
gangguan berbahasa (status afasik).
2. Status Somatosensorik
Jarang ditemui tetapi menyerupai status somatomotorik
dengan gejala sensorik unilateral yang berkepanjangan atau suatu
sensory jacksonian march.
12
Gambar 8. Manifestasi Status Epilepsi Parsial Kompleks
2.8 Diagnosis1,3,7,8,9
A. Anamnesis
Epilepsi adalah sebuah penyakit yang sangat sulit untuk didiagnosa, dan
kesalahan-kesalahan dalam mendiagnosis seringkali terjadi. Ketepatan diagnosis
pada pasien dengan epilepsi bergantung terutama pada penegakan terhadap
gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi.
Hal ini mengarahkan pada diagnosis gangguan kesadaran. Seseorang harus
menelusuri secara teliti tentang bagaimana perasaan pasien sebelum gangguan,
selama (apabila pasien sadar) dan setelah serangan, dan juga memperoleh
penjelasan yang jelas tentang apa yang dilakukan pasien setiap tahap kejang dari
seorang saksi. Seseorang tidak dapat langsung menegakkan diagnosa hanya dengan
gejala klinis yang ada melalui penilaian serangan.
Pemeriksaan, seperti EEG, sebaiknya digunakan untuk menunjang
perkiraan diagnostik yang didasarkan pada informasi klinis. Diagnostik secara tepat
selalu jauh lebih sulit dilakukan pada pasien yang mengalami kehilangan kesadaran
tanpa adanya saksi mata.
Adapun beberapa pertanyaan adalah sebagai berikut:
1. Kapan pasien mengalami serangan kejang yang pertama kali selama ini?
Usia serangan dapat memberi gambaran klasifikasi dan penyebab kejang.
Serangan kejang yang dimulai pada neonatus biasanya penyebab sekunder
13
gangguan pada masa perinatal, kelainan metabolik dan malformasi
kongenital. Serangan kejang umum cenderung muncul pada usia anak-anak
dan remaja. Pada usia sekitar 70 tahunan muncul serangan kejang biasanya
ada kemungkinan mempunyai kelainan patologis di otak seperti stroke atau
tumor otak dsb.
2. Apakah pasien mengalami semacam peringatan atau perasaan tidak enak
pada waktu serangan atau sebelum serangan kejang terjadi? Gejala
peringatan yang dirasakan pasien menjelang serangan kejang muncul
disebut dengan “aura” dimana suatu “aura” itu bila muncul sebelum
serangan kejang parsial sederhana berarti ada fokus di otak. Sebagian “
aura” dapat membantu dimana letak lokasi serangan kejang di otak. Pasien
dengan epilepsi lobus temporalis dilaporkan adanya “déjà vu” dan atau ada
sensasi yang tidak enak di lambung, gringgingen yang mungkin merupakan
epilepsi lobus parietalis. Dan gangguan penglihatan sementara mungkin
dialami oleh pasien dengan epilepsi lobus oksipitalis. Pada serangan kejang
umum bisa tidak didahului dengan “aura” hal ini disebabkan terdapat
gangguan pada kedua hemisfer , tetapi jika “aura” dilaporkan oleh pasien
sebelum serangan kejang umum, sebaiknya dicari sumber fokus yang
patologis.
3. Apa yang terjadi selama serangan kejang berlangsung? Bila pasien bukan
dengan serangan kejang sederhana yang kesadaran masih baik tentu pasien
tidak dapat menjawab pertanyaan ini, oleh karena itu wawancara dilakukan
dengan saksi mata yang mengetahui serangan kejang berlangsung. Apakah
ada deviasi mata dan kepala kesatu sisi? Apakah pada awal serangan kejang
terdapat gejala aktivitas motorik yang dimulai dari satu sisi tubuh? Apakah
pasien dapat berbicara selama serangan kejang berlangsung? Apakah mata
berkedip berlebihan pada serangan kejang terjadi? Apakah ada gerakan
“automatism” pada satu sisi ? Apakah ada sikap tertentu pada anggota gerak
tubuh? Apakah lidah tergigit? Apakah pasien mengompol ? Serangan
kejang yang berasal dari lobus frontalis mungkin dapat menyebabkan
kepala dan mata deviasi kearah kontralateral lesi. Serangan kejang yang
berasal dari lobus temporalis sering tampak gerakan mengecapkan bibir dan
atau gerakan mengunyah. Pada serangan kejang dari lobus oksipitalis dapat
menimbulkan gerakan mata berkedip yang berlebihan dan gangguan
14
penglihatan. Lidah tergigit dan inkontinens urin kebanyakan dijumpai
dengan serangan kejang umum meskipun dapat dijumpai pada serangan
kejang parsial kompleks.
4. Apakah yang terjadi segera sesudah serangan kejang berlangsung? Periode
sesudah serangan kejang berlangsung adalah dikenal dengan istilah “post
ictal period ” Sesudah mengalami serangan kejang umum tonik klonik
pasien lalu tertidur. Periode disorientasi dan kesadaran yang menurun
terhadap sekelilingnya biasanya sesudah mengalami serangan kejang parsial
kompleks. Hemiparese atau hemiplegi sesudah serangan kejang disebut
“Todd’s Paralysis“ yang menggambarkan adanya fokus patologis di otak.
Afasia dengan tidak disertai gangguan kesadaran menggambarkan
gangguan berbahasa di hemisfer dominan. Pada “Absens“ khas tidak ada
gangguan disorientasi setelah serangan kejang.
5. Kapan kejang berlangsung selama siklus 24 jam sehari? Serangan kejang
tonik klonik dan mioklonik banyak dijumpai biasanya pada waktu terjaga
dan pagi hari. Serangan kejang lobus temporalis dapat terjadi setiap waktu,
sedangkan serangan kejang lobus frontalis biasanya muncul pada waktu
malam hari.
6. Apakah ada faktor pencetus ? Serangan kejang dapat dicetuskan oleh karena
kurang tidur, cahaya yang berkedip,menstruasi, faktor makan dan minum
yang tidak teratur, konsumsi alkohol, ketidakpatuhan minum obat, stress
emosional, panas, kelelahan fisik dan mental, suara suara tertentu, “drug
abuse”, “ reading & eating epilepsy”. Dengan mengetahui faktor pencetus
ini dalam konseling dengan pasien maupun keluarganya dapat membantu
dalam mencegah serangan kejang.
7. Bagaimana frekwensi serangan kejang ? Informasi ini dapat membantu
untuk mengetahui bagaimana respon pengobatan bila sudah mendapat obat-
obat anti kejang.
8. Apakah ada periode bebas kejang sejak awal serangan kejang ? Pertanyaan
ini mencoba untuk mencari apakah sebelumnya pasien sudah mendapat obat
anti kejang atau belum dan dapat menentukan apakah obat tersebut yang
sedang digunakan spesifik bermanfaat ?
15
9. Apakah ada jenis serangan kejang lebih dari satu macam? Dengan
menanyakan tentang berbagai jenis serangan kejang dan menggambarkan
setiap jenis serangan kejang secara lengkap.
10. Apakah pasien mengalami luka ditubuh sehubungan dengan serangan
kejang? Pertanyaan ini penting mengingat pasien yang mengalami luka
ditubuh akibat serangan kejang ada yang diawali dengan “aura“ tetapi tidak
ada cukup waktu untuk mencegah supaya tidak menimbulkan luka ditubuh
akibat serangan kejang atau mungkin ada “aura“ , sehingga dalam hal ini
informasi tersebut dapat dipersiapkan upaya upaya untuk mengurangi
bahaya terjadinya luka.
11. Apakah sebelumnya pasien pernah datang ke unit gawat darurat? Dengan
mengetahui gambaran pasien yang pernah datang ke unit gawat darurat
dapat mengidentifikasi derajat beratnya serangan kejang itu terjadi yang
mungkin disebabkan oleh karena kurangnya perawatan pasien,
ketidakpatuhan minum obat, ada perubahan minum obat dan penyakit lain
yang menyertai.
Di luar dari temuan akurat yang berkaitan dengan serangan, terdapat banyak
informasi lebih lanjut yang perlu ditelusuri melalui anamnesis dan pemeriksaan.
Jika serangan tersebut diduga akan berlanjut sebagai epilepsi, penelusuran harus
disusun sesuai dengan penyebab epilepsi.
Epilepsi umum primer-tonik-klonik umum primer, bangkitan absen dan
mioklonik, dengan atau tanpa fotosensitivitas-memiliki kaitan dengan keluarga,
sehingga bertanya mungkin akan mengungkap anggota keluarga lainnya yang juga
menderita serangan epilepsi. Epilepsi fokal bentuk apapun memperlihatkan adanya
patologi intrakranial. Patologi paling umum yang dimaksud adalah pembentukan
jaringan ikat pada satu daerah yang merupakan kelanjutan dari beberapa proses
perjalanan penyakit aktif sebelumnya, meskipun kadang-kadang serangan epilepsi
mungkin terjadi ketika terdapat proses patologi yang masih berlangsung di fase
aktif.
- Setelah trauma otak saat melahirkan;
- Setelah trauma pada otak dan kepala;
- Selama atau setelah meningitis, ensefalitis, atau abses otak;
16
- Pada saat atau sisa dari infark serebri, perdarahan serebral, atau
perdarahan sub arachnoid;
- Hasil dari trauma bedah yang tak terhindarkan.
Kadang-kadang epilepsi dicetuskan oleh gangguan biokimia di otak seperti:
- Selama putus konsumsi obat dan alkohol;
- Selama koma hepatik, uremik, dan hipoglikemik;
- Sementara mengonsumsi obat penenang atau antidepresan.Yang juga perlu
dipikirkan adalah kemungkunan epilepsi yang dicetuskan oleh tumor otak.
17
area otak yang terbatas. Adanya nystagmus , diplopia atau ataksia mungkin oleh
karena efek toksis dari obat anti epilepsi seperti karbamasepin,fenitoin, lamotrigin.
Dilatasi pupil mungkin terjadi pada waktu serangan kejang terjadi ”Dysmorphism“
dan gangguan belajar mungkin ada kelainan kromosom dan gambaran progresif
seperti demensia, mioklonus yang makin memberat dapat diperkirakan adanya
kelainan neurodegeneratif. Unilateral automatism bisa menunjukkan adanya
kelainan fokus di lobus temporalis ipsilateral sedangkan adanya distonia bisa
menggambarkan kelainan fokus kontralateral dilobus temporalis.
C. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan EEG umumnya membantu dalam mengklasifikasikan tipe
epilepsi seseorang. Pasien jarang mengalami kejang selama pemriksaan EEG rutin.
Namun kejang tetap dapat memberikan konfirmasi tentang kehadiran aktifitas
listrik yang abnormal, informasi tentang tipe gangguan kejang, dan lokasi spesifik
kejang fokal. Pada pemeriksaan EEG rutin, tidur dan bangun, hanya terdapat 50%
dari seluruh pasien epilepsi yang akan terdeteksi dengan hasil yang abnormal.
EEG sebenarnya bukan merupakan tes untuk menegakkan diagnosa epilepsi
secara langsung. EEG hanya membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu
pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal. Tetapi yang harus diingat :
- 10% populasi normal menunjukkan gambaran EEG abnormal yang
ringan dan non spesifik seperti gelombang lambat di salah satu atau
kedua lobus temporal-menurut sumber lain terdapat 2% populasi yang
tidak pernah mengeluh kejang memberikan gambaran abnormal pada
EEG;
- 30% pasien dengan epilepsi akan memiliki gambaran EEG yang normal
pada masa interval kejang-berkurang menjadi 20% jika EEG dimasukkan
pada periode tidur.
Dengan kata lain, EEG dapat memberikan hasil yang berupa positif palsu
maupun negatif palsu, dan diperlukan kehati-hatian dalam menginterpretasinya.
Perekaman EEG yang dilanjutkan pada pasien dengan aktifitas yang sangat berat
dapat sangat membantu dalam penegakan diagnosis dengan kasus yang sangat sulit
dengan serangan yang sering, karena memperlihatkan gambaran selama serangan
kejang terjadi. Namun dengan metode ini pun masih terdapat kemungkinan negatif
18
palsu, dengan 10% kejang fokal yang timbul di dalam sebuah lipatan korteks
serebri dan yang gagal memberikan gambaran abnormal pada pemeriksaan EEG.
Pencitraan otak, lebih sering digunakan MRI daripada CT Scan, adalah
bagian yang penting dari penilaian epilepsi tipe fokal, dan di beberapa kasus
epilepsi tipe yang tidak menentu. Mungkin tidak begitu penting pada pasien kejang
umum yang telah dikonfirmasi dengan EEG. Pemeriksaan lainnya seperti glukosa,
kalsium, dan ECG jarang memberikan informasi yang dibutuhkan.
Sulitnya menegakkan diagnosis epilepsi dengan bantuan pemeriksaan di
atas, memaksa seorang pemeriksa harus meneliti gejala klinis secara seksama untuk
menegakkan diagnosa dengan tetap memperhatikan hasil dari pemeriksaan EEG.
2.9 Tatalaksana2,6,8,11,12,14
Status epileptikus merupakan gawat darurat neurologic. Harus ditindaki secepat
mungkin untuk menghindarkan kematian atau cedera saraf permanen. Biasanya
dilakukan dua tahap tindakan:
Stabilitas Penderita
Tahap ini meliputi usaha mempertahankan dan memperbaiki fungsi vital yang
mungkin terganggu. Prioritas pertama adalah memastikan jalan napas yang adekuat
dengan cara pemberian oksigen melalui nasal canul atau mask ventilasi. Tekanan darah
juga perlu diperhatikan, hipotensi merupakan efek samping yang umum dari obat yang
digunakan untuk mengontrol kejang. Darah diambil untuk pemeriksaan darah lengkap,
gula darah, elektrolit, ureum, kreatinin. Harus diperiksa gas-gas darah arteri untuk
melacak adanya asidosis metabolic dan kemampuan oksigenasi darah. Asidosis di
koreksi dengan bikarbonat intravena. Segera diberi 50 ml glukosa 50% glukosa iv,
diikuti pemberian tiamin 100 mg im.
19
Gambar 9. Penanganan status epileptikus
Menghentikan Kejang
a. Status Epileptikus Konvulsif.
Waktu Penatalaksanaan
0-5 menit - Stabilitas pasien
- Catat durasi bangkitan, monnitor tanda vital, O2,
pertahankan perfusi oksigen
- Mulai EKG monitoring
- Pasang jalur IV
- Periksa GDS
- Melakukan pemeriksaan lab darah
20
- Fenobarbital IV 15 mg/ kgBB dosis dosis tunggal
- Diazepam rektal 0 2 0 5 mg/ kgBB max 20 mg/
dosis dosis tunggal
- Intranasal midazolam atau buccal midazolam
21
Atipikal Metilfenidat, Steroid Oral
SE Tonik Lamotrigine Metilfenidat, Steroid
Oral
SE Non- Fenitoin IV Anastesi dengan tiopenton,
konvulsif
atau Penobarbital,Propofol atau Midazolam
pada
pasien Fenobarbital
koma
Tabel 3. Penanganan Status Epileptikus Non Konvulsif
22
2.10 Prognosis11
Prognosis luaran pasien SE dapat diprediksi dengan menggunakan sistem
skoring Status Epilepticus Severity Score (STEES).
Gambaran Klinis STESS
Kesadaran Sadar atau 0
somnolen/confused
Sopor atau koma 1
Tipe kebangkitan Parsial sederhana, parsial 0
terparah (bila ada kompleks, lena,
beberapa bentuk myoklonik
bangkitan) Konvulsivus umum 1
SENK disertai koma 2
Usia <65 tahun 0
>65 tahun 2
Riwayat kebangkitan Iya 0
sebelumnya Tidak atau tidak diketahui 1
Total 0-6
Tabel 5. Status Epilepticus Severity Score (STESS).
Interpretasi score STESS:
1. Skor 0-2 pronogsis baik, dan
2. Skor 3-6 pronogsis buruk
23
BAB III
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Yanti
Jenis kelamin : Perempuan
Usia : 35 tahun
Alamat : Sampoinet
Pekerjaan : IRT
Agama : Islam
No. MR : 03 07 38
TMRS : 17 Mei 2022
Tanggal Pemeriksaan : 17 Mei 2022
3.2 Anamnesis
1. Keluhan Utama : Penurunan kesadaran
2. Keluhan Tambahan : Kejang
3. Riwayat penyakit sekarang :
Pasien datang dengan keluhan penurunan kesadaran yang dialami sejak 2
jam SRMS, disertai dengan kejang seluruh badan terus menerus, setelah kejang
sempat tidak sadar selama 1 jam. Mengorok (-). Menurut keluarga pasien tadi
malam sempat kejang 1 kali dan langsung sadar, muntah (+). Demam (-) batuk (-)
sesak nafas (-). Pasien ada riwayat dengan keluhan yang sama tahun yang lalu
dirawat di ZA,
4. Riwayat penyakit dahulu :
- Kejang (+) pernah dirawat di RSUZA 6 tahun yang lalu selama 1 bulan
5. Riwayat Keluarga :Tidakadakeluargamengeluhkankeluhan yang sama
6. Riwayat Pengobatan : Tidak ada
7. Riwayat Kebiasaan dan Sosial :
Pasien sehari-harinya adalah seorang Ibu rumah tangga.
24
3.3 Pemeriksaan Fisik
A. Status Present
1. Keadaan umum : Sakit sedang
2. Kesadaran : Sopor (E1M4V1)
3. Pengukuran Tanda vital
Tekanan Darah : 110/84 mmHg
Nadi : 83 kali/menit, reguler
Respirasi : 20 kali/menit
Suhu : 36.8 ° C
B. Status Generalis
1. Kulit : Warna : Sawo matang (tidak ada petekie)
Sianosis : tidak ada
Turgor : normal
Kelembaban : cukup
Pucat : tidak ada
Lain-lain : tidak ada
2. Kepala : Bentuk : normosefali
Rambut : Warna : hitam
Mata : Bentuk : Eksoftalmus (-/-)
Palpebra : edem (-/-)
Alis & bulu mata : tidak mudah dicabut
Konjungtiva : pucat (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : Diameter : isokor, normal
Reflek cahaya : (+/+)
Kornea : jernih/jernih
Telinga : Bentuk : simetris
Sekret : tidak ada
Serumen : tidak ada
Nyeri : tidak ada
Hidung : Bentuk : simetris
Pernafasan : cuping hidung (-)
Epistaksis : tidak ada
Sekret : tidak ada
25
Mulut : Bentuk : simetris
Bibir : mukosa bibir basah
Gusi : pembengkakan tidak ada, berdarah tidak ada
Gigi-geligi : normal
Lidah : Bentuk : normal
Pucat/tidak : tidak pucat
Tremor/tidak : tidak tremor
Kotor/tidak : tidak kotor
Warna : kemerahan
Faring : Hiperemi : tidak ada
Edema : tidak ada
Tonsil : Warna : kemerahan
Pembesaran : tidak ada
Abses/tidak : tidak ada
Membran/pseudomembran : (-)
3. Leher :
Vena Jugularis, Pulsasi : R+2 cmH2O
Pembesaran kelenjar : pembesaran KGB (-)
Pembesaran Tiroid (-)
4. Toraks :
1. Dinding dada/paru :
Inspeksi : Bentuk : simetris
Retraksi : tidak ada
Palpasi : stem fremitus kanan dan kiri normal
Perkusi : sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi :
Suara Napas Dasar :Vesikuler (+/+)
Suara Napas Tambahan : Rhonki (-/-), Wheezing (-/-)
2. Jantung :
Inspeksi : Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi : Iktus kordis tidak teraba
Perkusi :
Batas Atas : ICS II linea parasternal sinistra
Batas Kanan : ICS V linea parasternal dekstra
26
Batas Kiri : ICS VI 2 jari lateral linea axilla anterior sinistra
Auskultasi : BJ 1 > BJ 2, bising (-)
5. Abdomen :
Inspeksi:Bentuk : datar, simetris, benjolan (-)
Palpasi :Hati : tidak teraba
Lien : tidak teraba
Ginjal : tidak teraba
Massa : tidak ada
Perkusi :Timpani/pekak : timpani
Asites : Tidak ada
Auskultasi :Bising usus (+) normal
6. Ekstremitas :
Akral hangat
Sianosis (-)
Edema (-)
7. Refleks : Refleks fisiologis: Patella (+/+)
Bisep (+/+)
Refleks patologis : Babinsky (-/-)
8. Pemeriksaan rangsang meningeal :
Kaku kuduk : (-)
27
Lemak
Kolesterol Total 202 <220mg/dl
Kolesterol HDL 61 >45mg/dl
Trigliserida 64 40-140mg/
dl
MetabolismeKarbohidrat
Glukosa Darah (Sewaktu) 202 <200mg/dl
Ginjal
Uream 37 15-45mg/dl
3.5 Diagnosis
Status Epileptikus
3.6 Tatalaksana
1. Farmakologi
O2 4lpm nk
IVFD Nacl 0.9% 10 tpm s/s Dextros 5%
Inj. Ceftriaxone Igr/ 12 jam
Inj. Diazepam ½amp (extra) – Bila masih kejang inj Diazeapam 1amp + Nacl
0,9% 2cc bolus pelan1
Drip paracetamol 1gr/ 12 jam
Fenitoin 3x10mg (via NGT)
Depacote syr 3xc1
Asam folat 3x1
2. Planing
Rawat HCU
Pasang NGT dan Kateter
Pantau kejang
Pantau jalan nafas, bila SPO2 < 60 lapor
Pantau KGD/12 jam
28
3.7 Prognosis
Quo Ad Vitam : Bonam
Quo Ad Fungsionam: Dubia ad malam
3.8 Follow Up
Hari/Tgl Subjektif Objektif Assesment Terapi
Jumat Kejang (+)> Samnolen GCS Status Depacote syr
18 Mei 10x E2 M5 V2= Epileptikus 3x5 cc
2022 Durasi <30 D 9TD: selanjutnya
Jarak 2 menit 110/80mmHg 3x10 cc
T: 36,50C, HR : Diazepam
90x/I, RR: 22x/i 2x1 amp
Kaku kuduk (-) Drip fenitoin
Reflex 100mg kec
patologis (-) 5cc/jam
- Inj lanjut
Sabtu Kejang (+)> GCS E3 M5 Depacote syr
19 Mei 3x V2= 10TD: 3x5 cc
2022 Durasi <20 D 120/80mmHg selanjutnya
Jarak 3 jam T: 36,50C, HR : 3x10 cc
97x/I, RR: 20x/i Diazepam
Kaku kuduk (-) 2x1 amp
Reflex Drip fenitoin
patologis (-) 100mg kec
5cc/jam
- Inj lanjut
Minggu Kejang (+)> GCS E3 M5 Depacote syr
20 Mei 2x V2= 10TD: 3x5 cc
2022 Durasi <20 D 120/80mmHg selanjutnya
Jarak 3 jam T: 36,50C, HR : 3x10 cc
97x/I, RR: 20x/i Diazepam
Kaku kuduk (-) 2x1 amp
Reflex Drip fenitoin
29
patologis (-) 100mg kec
5cc/jam
- Inj lanjut
Senin Kejang (-) GCS E3 M5 PAPS
21 Mei V3= 11TD:
2022 120/85mmHg
T: 36,50C, HR :
97x/I, RR: 20x/i
Kaku kuduk (-)
Reflex
patologis (-)
30
BAB IV
PEMBAHASAN
31
BAB V
KESIMPULAN
Epilepsi merupakan kumpulan berbagai gejala dan tanda klinis, ditandai oleh
bangkitan (seizure) berulang akibat gangguan fungsi otak secara intermitten yang
diakibatkan oleh terjadinya lepas muatan listrik abnormal dan berlebihan di neuron –
neuron secara paroksismal.
Ketepatan diagnosis pada pasien dengan status epilepsi bergantung terutama pada
penegakan terhadap gambaran yang jelas baik dari pasien maupun dari saksi. Untuk
mempermudah anamnesis, berikut perlu dintanyakan kepada pasien maupun saksi Family
history, Past history ,Systemic history, Alcoholic history, Drug history dan Focal
neurological symptoms and signs.
EEG merupakan tes untuk membantu dalam penegakan diagnosa dan membantu
pembedaan antara kejang umum dan kejang fokal.
32
DAFTAR PUSTAKA
33
15. Price, A. Silvia; Wilson, M. Lorraine, Patofisiologi, Konsep Klinis Proses-proses
Penyakit, 901 – 929, 1021 – 1022, EGC, Jakarta, 1995.
34