RADIOLOGI FORENSIK
Diajukan untuk Memenuhi Tugas dan Melengkapi Syarat Ujian Kepaniteraan Klinik
Senior Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal Fakultas Kedokteran Universitas
Diponegoro
Disusun oleh:
Ni Putu Risa Egryani 22010116220359
Residen Pembimbing:
Penguji :
Disahkan oleh,
ii
KATA PENGANTAR
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena
berkat rahmat dan hidayahNya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul
Radiologi Forensik
Referat ini disusun guna memenuhi tugas kepaniteraan klinik senior di bagian
Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolegal.
Pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:
1. dr. Julia Ike Haryanto, Sp.KF selaku penguji yang telah bersedia meluangka n
waktu dan membimbing penyusun.
2. dr.Dadan Rusmanjaya selaku pembimbing yang telah memberikan masukan-
masukan, petunjuk, serta kritik yang membangun dalam penyusunan kasus
ini
3. Seluruh keluarga atas bantuan dukungan penuh dan doanya
4. Teman-teman dokter muda stase Ilmu Kedokteran Forensik dan Medikolega l.
yang telah memberikan bantuan baik material maupun spiritual kepada
penulis dalam menyusun laporan kasus ini
Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam laporan kasus ini,
maka penulis sangat mengharapkan kritik yang membangun serta saran dari semua
pihak. Semoga referat ini dapat bermanfaat bagi berbagai pihak yang
membutuhkan.
Penyusun
iii
DAFTAR ISI
iv
2.4.1.1 Radiologi Forensik pada Luka Tembak .................................... 39
2.4.1.2 Radiologi Forensik pada Kekerasan terhadap Anak................. 44
2.4.2 Teknologi Radiologi Forensik .............................................................. 46
2.4.2.1 Pencitraan Pada Fasilitas Praktisi Kesehatan........................... 46
2.4.2.2 Perlindungan ALat Bukti dan Perlindungan Diri..................... 47
2.4.2.3 Strategi Pencitraan dan Cara Pemeriksaan ............................... 50
2.4.2.4 Radiografi Gigi......................................................................... 53
2.4.2.5 Alat Pencitraan Intra Oral........................................................ 54
2.4.2.4 Proteksi Radiasi........................................................................ 54
2.4.2.4 Teknik Pencitraan dan Dokumentasi........................................ 56
BAB III SIMPULAN DAN SARAN .................................................................. 58
3.1 Simpulan......................................................................................................... 58
3.2 Saran .............................................................................................................. 58
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 60
v
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Ruang Lingkup Radiologi Forensik....................................................... 9
Tabel 2. Perbandingan antara radiologi klinis dan forensik ................................. 32
vi
DAFTAR GAMBAR
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
Kasus forensik pertama yang menggunakan modalitas radiologi CT-scan
adalah CT forensik yang dilakukan pada tahun 1997 pada kasus luka tembak kepala.
Pada tahun 2000, proyek otopsi virtual (virtual otopsi) yang dimulai di Institue of
Legal Medicine, Universitas Berne, Switzerland merupakan proyek pertama yang
ditujukan untuk memperkenalkan metode rutin pencitraan pada ruang lingkup
forensik patologi. Otopsi virtual ini kemudian menjadi prinsip dasar patologi
forensik modern pada institusi forensik besar di seluruh dunia.4,5,6
Penelitian terkini menunjukkan bahwa kedudukan otopsi virtual lebih
superior dibandingkan otopsi konvensional dalam hal mendeteksi emboli udara atau
akumulasi gas, menggambarkan fraktur dan mendeteksi letak peluru atau bendang
asing. Namun, otopsi konvensional masih menjadi acuan standar dalam segala hal
yang berhubungan dengan investigasi morfologi forensik meskipun tingkat otopsi
kini sudah menurun. Pada beberapa kasus, pihak hukum justru meminta pencitraan
postmortem untuk dokumentasi luka dan mengklarifikasi sebab dan cara kematian
dibandingkan meminta otopsi. Selain itu, terdapat beberapa negara dengan
kelompok etnis atau religi tertentu yang menolak otopsi dengan alasan apapun
sehingga otopsi virtual menjadi alternatif yang dipilih. Sesungguhnya, di Indonesia
sudah dilakukan di beberapa Rumah Sakit di seperti RS POLRI Kramat Jati,
Jakarta, bahkan terdapat ruangan khusus CT scan di dalam Instalansi Forensik
rumah sakit tersebut, namun penerapan otopsi virtual ini sendiri masih menjadi
kontroversi, memang, dengan adat ketimuran, masyarakat yang religius
memandang otopsi virtual sebagai angin segar untuk mengatasi permasalaha n
penolakan otopsi konvensional tetapi harus diingat banyak hal yang harus
dipertimbangkan, dimulai dari biaya yang akan sangat mahal dan alat-alat tersebut
tidak tersedia pada setiap rumah sakit di Indonesia. Selain itu belum ada cukupnya
data yang membuktikan otopsi virtual lebih unggul dari otopsi konvensional karena
tidak mungkin dapat melihat dengan jelas kelainan patologi yang ada dengan otopsi
virtual, tidak dapat memberikan data status infeksi, tidak dapat membedakan antara
luka antemortem dengan luka postmortem, sulit membedakan artefak postmortem,
sulit membedakan perubahan warna organ, jaringan kecil mungkin saja
terlewatkan, terlebih lagi tidak dapat mendeteksi kematian akibat keracunan dan
2
hal-hal yang berhubungan dengan penyalahgunaan obat, namun akan sangat
berguna sebagai tes skrining saja.2
1.2 Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dari referat ini adalah
1. Apa yang dimaksud dengan radiologi forensik?
2. Bagaimana penerapan radiologi forensik?
3. Apa saja teknik yang digunakan pada radiologi forensik?
1.3 Tujuan
Tujuan dari referat ini adalah
1. Untuk mengetahui pengertian radiologi forensik
2. Untuk mengetahui penerapan radiologi forensik
3. Untuk mengetahui teknik yang digunakan pada radiologi forensik
1.4 Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari referat ini adalah
1. Menambah informasi mengenai radiologi forensik
2. Menambah informasi mengenai penerapan radiologi forensik pada kasus-
kasus yang berkaitan dengan kepentingan peradilan
Memberikan gambaran temuan-temuan radiologi yang bisa membantu
mencari sebab kematian terutama untuk hal-hal yang tidak dapat
diidentifikasi pada otopsi
3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
4
Dalam penerapannya, bidang forensik telah menggabungka n
beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi forensik,ya ng
meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah meningga l;
toksikologi forensik; forensic biologi molekuler ; dan psikiatri forensik.
Namun, ada sebuah terobosan baru di dunia forensik yaitu pencitraan
postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi forensik. Pencitraan
postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari subspesialis forensik
patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan
radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing-masing ahli
patologi forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam
mengungkap suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran
forensik maupun radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik.
Bidang radiologi forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretas i,
dan expertise serta prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan
pengadilan dan / atau hukum. Sampai beberapa dekade yang lalu,
radiologi bisa didefinisikan seperti cabang ilmu kedokteran khusus yang
menggunakan energi pancaran pengion dalam diagnosis dan pengobatan
penyakitnya. Modalitas yang bisa digunakan antara lain mulai dari X-ray,
USG, MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi intervensi. 1,2,3
5
2.1.2 Sejarah Radiologi Forensik
Kemampuan untuk menghasilkan gambar dengan menggunaka n
radiasi X adalah penemuan yang secara kebetulan ditemukan oleh Wilhe lm
Rntgen pada tahun 1895. Dia menggambarkan temuannya dan
menggunakan istilah 'sinar-x' karena pada saat itu dia tidak mengerti apa itu
'sinar', dan 'x' adalah simbol untuk yang tidak diketahui. Temuannya telah
digambarkan memiliki dampak lebih besar pada pengobatan daripada yang
lainnya dalam sejarah.7
Penggunaan sinar-x untuk forensik diuji pertama kali oleh mereka
membantu menguak kasus pembunuh percobaan oleh terpidana dari
Amerika yang disebutkan dalam New York Sun pada tanggal 6 Januari 1895
dilaporkan secara keliru tapi secara profetis bahwa, "Rontgen sudah
menggunakan penemuannya untuk memotret tungkai dan peluru yang rusak
dalam tubuh manusia. Baru beberapa minggu kemudian teknik ini pertama
kali digunakan di Inggris. Pada akhirnya , Juni 1896 kasus forensik pertama
yang diterbitkan pada jurnal khusus radiologi oleh Sidney Rawlen dalam
Archives of Clinical Skiagraphy adalah pencitraan peluru pistol yang
dengan mudah terlihat berdekatan dengan tulang metacarpal III. 1
6
Sedangkan, kasus forensik pertama yang menggunakan modalitas radiologi
CT adalah CT forensik yang dilakukan pada tahun 1997 pada kasus luka tembak
kepala. Pada tahun 2000, proyek otopsi virtual (virtual otopsi) yang dimulai di
Institue of Legal Medicine, Universitas Berne, Switzerland merupakan proyek
pertama yang ditujukan untuk memperkenalkan metode rutin pencitraan pada ruang
lingkup forensik patologi. Otopsi virtual ini kemudian menjadi prinsip dasar
patologi forensik modern pada institusi forensik besar di seluruh dunia. 4,5,6
Radiologi forensik banyak digunakan dalam identifikasi, estimasi umur dan
penetapan penyebab kematian. Apakah itu kasus tunggal atau kematian massal, foto
polos, gigi dan fluoroscopy semuanya telah digunakan untuk membantu proses ini.
Perbandingan radiografi ante dan post mortem adalah salah satu cara identifikas i
yang paling akurat. Selain itu, pencitraan juga dapat menemukan benda asing yang
dapat membantu identifikasi seseorang atau menjadi ancaman potensial bagi tim
patologi. Penggunaan radiologi forensik lainnya mencakup pemuatan barang dan
bea cukai, penyelundupan narkoba dan penipuan seni. 1,7
7
didemonstrasikan dengan media kontras yang disuntikkan, begitu juga avulsi.
Fraktur jaringan lunak laryngeal yang terjadi akibat gantung juga dapat
terlihat dengan radiology dan adanya kontraksi jaringan lunak masif sebagai
akibat dari pemukulan. Penyebab lainnya yang memiliki implikasi radiologis
adalah termasuk keracunan dan tenggelam. Namun, tidak dapat bergantung
pada tampilan radiologis dada untuk membedakannya antara tenggelam air
asin dan air tawar). Radiografi adalah metode terbaik dan paling awal untuk
menunjukkan emboli udara ke jantung, otak, atau vaskular. Sama halnya
dengan yang terjadi pada ahli bedah yang mendapat tuntunan adanya kelainan
pada tubuh manusia dari pencitraan radiologi sebelum memulai prosedur
pembedahan, seperti adanya pneumotoraks, pneumopericard ium,
pneumomediastinum,dan lain-lain. 1
8
Gambar 2. A : fraktur os hyoid (panah) akibat strangulasi. B : fraktur
cornu superior kartilago tiroid akibat strangulasi.
9
diberi label yang memuat identitas mayat, dilak dengan
diberi cap jabatan yang dilekatkan pada ibu jari kaki atau
bagian lain badan mayat.
b. Permintaan sebagai Saksi Ahli
KUHAP Pasal 179 (1)
Setiap orang yang diminta pendapatnya sebagai ahli
kedokteran kehakiman atau dokter atau ahli lainnya wajib
memberikan keterangan ahli demi keadilan7
KUHP Pasal 244
Barangsiapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa
menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi
kewajiban berdasarkan undang-undang yang harus
dipenuhinya, diancam dalam perkara pidana dengan penjara
paling lama Sembilan Bulan8
2.2. Identifikasi
2.2.1 Identifikasi Kematian
10
berat pencarian terus-menerus untuk orang yang hilang itu;
mereka ditolak penutupan yang bisa datang dengan
berkabung. Upacara keagamaan dan adat istiadat sosial
tentang orang mati menjadi saksi atas kebutuhan orang-
orang yang hidup untuk membuat orang mati beristira hat
dengan tenang. Tanpa identifikasi yang tepat ini tidak
mungkin dilakukan. Sebagai konsekuensi dari masalah
emosional yang intens ini, hanya sedikit kegiatan yang
memuaskan profesional medis karena pentingnya
identifikasi tubuh yang semula tidak dikenal. 1
11
keadilan, orang-orang tercinta dari orang yang meningga l
juga menolak penutupan kasus.1
2.2.1.2. Metode
12
pemeriksa dengan analisis pola, semakin besar kemungk ina n
identifikasi positif dan reliabel dapat dilakukan. Kedua, proses
identifikasi membutuhkan pendekatan tim. Bahkan dalam kasus
di mana pemeriksaan visual tubuh adalah metodenya, petugas
penegak hukum paling sering memberi tahu keluarga atau teman
tentang kematian seseorang yang harus diidentifikasi dan
pemeriksa medis akan menyaksikan pengamatan tersebut dan
mengkonfirmasi identitasnya. Dalam kasus kompleks yang
membutuhkan berbagai profesional mulai dari pemeriksa sidik
jari hingga antropolog hingga ahli radiologi, tim bisa sangat
besar. Semua anggota tim harus ingat bahwa pemeriksa medis
tersebut memastikan kematian yang menjadi tanggung jawab
utama untuk memastikan identitas tubuh dan, oleh karena itu,
pemimpin tim secara de facto. Sebagian besar kematian terjadi
di masyarakat di mana orang yang meninggal tinggal dan dalam
banyak kasus anggota keluarga dan teman baik yang hadir saat
meninggal atau, dalam kasus kematian di rumah sakit atau panti
jompo, telah mengunjungi korban baru-baru ini. Dalam kasus
seperti itu, petugas kesehatan memberi tahu keluarga terdekat
tentang kematian dan, dalam banyak hal, persiapkan tubuh untuk
dilihat oleh orang yang dicintai. Sebagian besar kasus tersebut,
kecuali kasus medicolegal, dilepaskan langsung ke rumah duka
dan sertifikat kematian selesai berdasarkan pemeriksaan visual
dan / atau riwayat yang diberikan oleh perawat. Dalam kasus
korban yang mudah dikenali ini meninggal di rumah, di rumah
sakit atau di lokasi di komunitas tempat mereka tinggal, namun
kematiannya berada di bawah yurisdiksi pemeriksa atau
pemeriksa medis di mana kematian terjadi, metode identifikas i
akan bergantung pada sumber daya dan filosofi wewenang
medicolegal. Di komunitas kecil di mana kebanyakan orang
dikenal dalam kehidupan dan mudah dikenali dalam kematian,
13
pita identifikasi rumah sakit dan / atau laporan polisi mungk in
cukup memadai. Di pusat-pusat perkotaan yang besar dimana
orang-orang yang hidup dan yang meninggal sering tidak
dikenal bahkan ke tetangga sebelah, pihak berwenang mungk in
memerlukan identifikasi visual tubuh atau citra tubuh pada video
atau foto oleh seseorang yang mengetahui korban dalam
kehidupan. Satu peringatan untuk menerima identifikasi rumah
sakit harus disebutkan: korban yang meninggal saat transit, atau
di gawat darurat rumah sakit, atau di rumah sakit, harus
diidentifikasi dengan benar oleh saudara atau teman dan bukan
oleh dokumen di dalam atau di sekitar tubuh mereka di tempat
kejadian. dan diangkut dengan mereka ke rumah sakit.
Dokumen-dokumen ini dapat dengan mudah dipalsukan,
dipinjam, atau dicuri Bila tubuh telah membusuk atau telah
dimutilasi oleh api atau kekuatan berlebihan yang menghala ngi
identifikasi visual dari jenazah, para peneliti mengetahui sejak
awal bahwa metode ilmiah harus digunakan dan harus mulai
mengumpulkan gigi dan catatan medis, radiografi ante-mortem,
sidik jari, dll untuk memperlancar prosesnya. 1 Secara umum,
kondisi tubuh, apakah orang yang diduga meninggal diketahui
di masyarakat di mana kematian terjadi, jumlah korban, dan
kemampuan para profesional medikolegal akan mendikte
metode yang digunakan. Praktisnya, ada dua metode yang
digunakan yaitu: (1) metode yang tidak dapat diandalkan
sepenuhnya, melibatkan peninjauan visual terhadap sisa-sisa,
foto-foto sisa-sisa, rincian seperti tato pada jenazah, atau efek
pribadi yang ditemukan pada korban atau ditentang korban oleh
keluarga atau teman dari orang yang dicurigai meninggal; (2)
metode yang paling andal melibatkan dokumentasi pada atau di
dalam tubuh karakteristik anatomis tertentu seperti sidik jari,
restorasi gigi, fitur sembuh, jahitan bedah, dll. Yang dapat
14
dibandingkan dengan dokumentasi serupa, yaitu sidik jari, foto,
radiografi, atau catatan gigi yang disiapkan sebelum kematian.
Kondisi tubuh, usia dan riwayat korban, dan sumber daya pihak
berwenang menetapkan parameter yang ketat mengenai apa
yang bisa dilakukan untuk membuat identifikasi orang mati yang
positif dan dapat direproduksi. Peringatannya adalah beberapa
orang tidak dapat diidentifikasi secara positif.1,9,10
15
mengunjungi korban baru-baru ini. Dalam kasus seperti itu,
petugas kesehatan memberi tahu keluarga terdekat tentang
kematian dan, dalam banyak hal, persiapkan tubuh untuk dilihat
oleh orang yang dicintai. Sebagian besar kasus tersebut, kecuali
kasus medikolegal, dilepaskan langsung ke rumah duka dan
pemberian sertifikat kematian berdasarkan pemeriksaan visual
dan/atau riwayat yang diberikan oleh perawat. Dalam kasus
korban yang mudah dikenali ini meninggal di rumah, di rumah
sakit atau di lokasi di komunitas tempat mereka tinggal, namun
kematiannya berada di bawah yurisdiksi pemeriksa atau
pemeriksa medis di mana kematian terjadi, metode identifikas i
akan bergantung pada sumber daya dan filosofi wewenang
medikolegal. Di komunitas kecil di mana kebanyakan orang
dikenal dalam kehidupan dan mudah dikenali dalam kematian,
pita identifikasi rumah sakit dan/atau laporan polisi mungk in
cukup memadai. Di pusat-pusat perkotaan yang besar dimana
orang-orang yang hidup dan meninggal sering tidak dikenal
bahkan ke tetangga sebelah, pihak berwenang mungk in
memerlukan identifikasi visual tubuh atau citra tubuh pada video
atau foto oleh seseorang yang mengetahui korban dalam
kehidupan.1
16
identifikasi visual dari jenazah, para peneliti mengetahui sejak
awal bahwa metode ilmiah harus digunakan dan harus mulai
mengumpulkan gigi dan catatan medis, radiografi ante-mortem,
sidik jari, dll untuk memperlancar prosesnya. 1
Bukanlah hal yang aneh bagi bagian atau tulang hewan untuk
dibawa ke perhatian petugas penegak hukum atau penyidik
forensik. Biasanya, ilmuwan forensik yang terlatih dengan mudah
dapat menentukan sifat spesimen non-manusia. Terkadang, sifat
sebenarnya dari item tersebut mungkin dikaburkan oleh
kondisinya. Telur beruang, dengan cakar dan phalanges termina l
disobek untuk souvenir, dan dengan kulit dan bulu yang
dikeluarkan oleh pisau yang menguliti atau dengan dekomposisi,
bisa sangat mirip dengan tangan manusia dengan pemburu awam
atau pejalan kaki yang menemukannya. Radiograf dengan cepat
menunjukkan perbedaannya .13,14
Gambar 4. A : tampak lateral dari lutut babi yang masih immature. Bandingka n
dengan B : Lutut manusia remaja/masih immature.
18
Gambar 5. Radiografi kerangka manusia tetap ditemukan dari lahan basah pesisir.
Ujung sebagian besar tulang hancur atau hilang.
Jika hanya fragmen poros atau diaphysis tulang yang tersisa,
roentgenography bisa sangat membantu. Bony ridges, proses, dan excrescences
yang terkait dengan organ otot dan sisipan akan berbeda pada hewan berkaki empat.
Chilvarquer dkk. menunjukkan perbedaan dalam penampilan roentgenographic dari
manuskrip tulang manusia vs hewan.1 Pola spongiosa manusia dan kanal meduler
jarang terjadi, dengan "ruang" bulat atau ovoid antara trabekula primer kasar dan
trabekula sekunder yang lebih halus. Zona transisi antara korteks padat dan medula
kurang rapat bisa lebarnya 1 sampai 3 mm. (Penyakit atau penuaan yang
menyebabkan steoporosis mempertajam transisi, kondisi yang memproduks i
Hewan atau manusia?13,14
Bukan hal yang aneh bagi bagian atau tulang hewan untuk dibawa ke
perhatian petugas penegak hukum atau penyidik forensik. Biasanya, ilmuwa n
forensik yang terlatih dengan mudah dapat menentukan sifat spesimen non-
manusia. Terkadang, sifat sebenarnya dari item tersebut mungkin dikaburkan oleh
kondisinya. Tangan beruang, dengan cakar dan phalanges terminal disobek untuk
souvenir, dan dengan kulit dan bulu yang sudah dihilangkan oleh pisau atau dengan
dekomposisi, bisa sangat mirip dengan tangan manusia dengan pemburu awam atau
pejalan kaki yang menemukannya. Radiografi dengan cepat menunjukka n
perbedaannya.1
19
2.2.3. Determinasi Usia
20
(dengan pengerasan perichondral) metafisis atau ujung batang yang tumbuh; D:
penampilan (2) pusat pengerasan sekunder atau epifisis, diaphysis dan metaphyses
terus berkembang dan dewasa; E: perbedaan antara korteks dan medula sudah
mapan, perkembangan epiphyseal berlanjut dengan pertumbuhan yang terjadi
pada (3) lempeng kartilagular atau epifisis; F: pelat epiphyseal (4) ditutup oleh
pengerasan, pertumbuhan telah berhenti; tulang telah dimodelkan ke bentuk dan
bentuknya yang dewasa dengan korteks yang terdefinisi dengan baik (c) dan kanal
meduler (m). (Brogdon, 1998. Chapter 5)
Untuk penentuan usia yang tepat dalam studi korban massal dan memila h-
milah jenazah anak-anak, kita cenderung sangat bergantung pada standar
perkembangan lutut, pergelangan kaki, dan terutama, tangan dan pergelanga n
tangan 16-28 (Gambar 5-12, 5-13 , 5-14) (Tabel 5-2). Standar ini harus digunakan
dengan pemesanan, terutama pada gadis kulit hitam dan Hispanik dan anak laki-
laki Asia dan Hispanik pada masa kanak-kanak dan remaja ketika usia tulang
mereka dapat melebihi usia kronologisnya dengan usia antara 9 sampai 11 1/2
21
bulan.11 Harus ditunjukkan, untuk subadults, estimasi usia gigi, bila
memungkinkan, adalah perkiraan usia kronologis yang lebih dapat diandalkan
daripada evaluasi usia tulang.29
22
Dari sekitar usia 25 sampai 50, antropolog sangat bergantung pada
penampilan luar dari jahitan tengkorak dan simfisis pubis, dan kriteria ini tidak
memberikan kemudahan untuk evaluasi radiologis.
23
McCormick18 telah menggambarkan pola tertentu dari pengerasan tulang rawan
kosta (yang mereka sebut Tipe A) khusus untuk wanita usia lanjut. Pengerasan tipe
A biasanya tidak muncul lebih awal dari pertengahan tahun 50an dan berkembang
dengan baik dan relatif padat hanya setelah usia 65 tahun. 24
Secara umum, kerangka laki-laki lebih kuat dan lebih berat, dengan ikatan
yang lebih menonjol untuk otot dan tendon. Dengan penuaan, ada kecenderungan
perubahan degeneratif dan hiperostotik pada kerangka laki-laki. Panjang tulang
jantan sekitar 110% panjang tulang panjang wanita. Kepala femoralis laki-laki lebih
besar di semua dimensi. Semua temuan umum ini sangat membantu namun tidak
pasti dalam membangun jenis kelamin manusia yang tidak dikenal. Ada beberapa
komponen kerangka, dan kedua temuan skeletal dan ekstraskeletal, yang lebih
berguna dalam menentukan jenis kelamin. 13
1. Pelvis
Tulang panggul sering bertahan terhadap serangan faktor yang mengura ngi
atau menghancurkan kegunaan dari bagian tubuh lainnya. Ini sangat beruntung
karena panggul menawarkan ciri diferensiasi seksual yang paling pasti. 21,22
24
Gambar 8 . A: male pelvis. B: female pelvis. Differential characteristics are
emphasized with bold lines and arrows. (Brogdon, 1998. Chapter 5)
Gambar 9. A: male pelvis and B: female pelvis, victims of the Air India disaster.
Note the differences in configuration and, especially, the preauricular sulcus
(arrows) in the female. (Brogdon, 1998. Chapter 5)
25
2. Tulang tengkorak dan Mandibula
Gambar 10. A: male and B: female characteristics in the skull. Differential areas
are emphasized by bold lines. (Brogdon, 1998. Chapter 5)
26
3. Sternum
Nilai prediktif gender dari panjang sternal tidak sering digunakan secara
radiografi karena memerlukan radiografi lintas meja pada dada dengan penggaris
sebagian radiopak di tempat. Dengan persiapan "piring dada", pengukuran langsung
dapat diperoleh. Gabungan panjang manubrium dan gladiol 17,3 cm hanya
mencakup jantan; Panjang manubrium gabungan dan glandulous kurang dari 12,1
cm hanya mencakup betina. Panjang sternal 14,3 sampai 15,7 cm tidak pasti. 30
Pola mineralisasi kartilago kosta sebagai temuan khas antara jenis kelamin
pertama kali dilaporkan oleh Sanders. 30 Dia mencatat bahwa pola khas pria adalah
adanya pembesaran paralel kontinyu batas atas dan bawah tulang rawan saat meluas
dari ujung tulang rusuk. Pola wanita yang khas adalah mineralisasi mirip lidah atau
segitiga yang membentang dari ujung tulang rusuk ke dalam centrum tulang rawan.
Pola yang tidak biasa, yang lebih umum pada wanita, adalah dua jalur paralel yang
membentang dari pusat tulang rusuk dan masuk ke tulang rawan yang berdekatan.
Perangkap adalah bahwa pola laki-laki cenderung pertama kali muncul pada
gambar inferior tulang rawan kosta dan mungkin salah untuk "lidah" wanita yang
selalu menjadi pusat tulang rawan. Akhirnya, pola pengumpulan mineral bulat
pusat pada tulang rawan kosta, terkadang dengan pusat yang lebih tajam, diyakini
khusus untuk wanita lanjut usia.23 Navani dkk. percaya nilai prediktif pola laki- laki
marjinal paralel menjadi 95%, nilai prediktif mineralisasi tipe tengah pria seperti
genital menjadi 93%, dan campuran atau kombinasi dari kedua pola tersebut
cenderung ditemukan pada wanita (prediktif nilai 57%). 24
27
Gambar 11. Schematic drawing of patterns of costal cartilage ossification useful
in determining the sex of human remains. A: typical male pattern; B: male pattern
initially involving only the inferior margin of the costal cartilage; C: typical
female pattern; D: uncommon pattern more often found in females than males; E:
string of rounded ossifications believed specific for elderly females. (Brogdon,
1998. Chapter 5)
28
Gambar 12. A and B: typical male pattern costal cartilage ossification. (Brogdon,
1998. Chapter 5)
29
2.3. Perbedaan radiologi klinis dan radiologi forensik
30
sofa CT atau setelah rigor mortis telah rusak, patah tulang postmortem jarang terjadi
dan harus dikomunikasikan ke ahli patologi forensik sebagai cedera postmortem
iatrogenik. Selain itu radiologi klinis biasa menggunakan kontras dalam
pencitraannya dibandingkan dengan pemeriksaan postmortem yang tidak
meggunakan kontras. Meskipun postmortem computed tomography angiograp hy
menawarkan hasil yang baik dalam mnggambarkan kelainan vaskuler atau bagian
yang sulit untuk dilakukan pembedahan, Teknik ini belum diadaptasi secara luas
dalam komunitas forensic. Pembahasan selanjutnya akan fokus dalam perbedaan
antara radiologi klinis dan pencitraan postmortem non kontras. Perubahan dasar
postmortem yang terjadi pada cadaver menyebabkan temuan klinis yang dapat
menggambarkan secara baik suatu keadaan patologisnya, namun masih terlihat
normal pada pencitraan postmortem. 1
31
dan system hepatobilier yang disebabkan oleh reproduksi bakteri penghasil gas
yang sangat cepat pada system gastrointestinal mayat. Membedakan antara emboli
udara sebagai reaksi vital dan akumulasi gas karena dekoposisitidaklah mudah bagi
radiologist yang tidak teliti dengan perubahan postmortem akibat dari
dekomposisi.1
32
2.3.2.3. Infark serebral
Gambar 14. Pembunuhan dengan trauma tumpul pada pria berusia 30 tahun.
A-C, gambar tiga dimensi dengan teknik rendering volume (VRT) menunjukkan
permukaan kepala pada vertex tengkorak (A) dan pandangan frontal permukaan
kepala (B). Foto otopsi (C) menunjukkan pemeriksaan eksternal setelah mencukur
rambut. Gambar-gambar ini jelas menunjukkan lesi jaringan lunak. CT
postmortem dikombinasikan dengan pemindaian permukaan dan fotogrametri juga
33
akan memberikan informasi warna, yang akan menunjukkan resolusi tinggi cedera
yang ditimbulkan.
D, Citra VRT tiga dimensi tulang tengkorak menunjukkan tingkat trauma osseus.
E, gambar tiga dimensi VRT dari tulang tengkorak, mirip dengan A, memberikan
penggambaran fragmen tulang tengkorak in situ, dengan garis rekahan yang
mudah dinilai karena trauma tumpul.
F, foto otopsi menunjukkan spesimen kotor fragmen tengkorak yang tersebar.
Yang jelas, CT postmortem membantu penggambaran in situ untuk menilai garis
patah dan untuk merekonstruksi dampak trauma dengan mudah menerapkan
peraturan Puppe untuk merekonstruksi urutan cedera. Selain itu, kebutuhan akan
maserasi tengkorak yang tidak praktis dan fragmennya dan kemudian menyusun
potongan dapat dieliminasi dengan CT postmortem.
G, Sketsa sketsa standar luka yang ditimbulkan untuk kepala saat diautopsi. Tanda
berwarna menunjukkan jenis luka tertentu (merah, luka terbuka, hijau, memar;
ungu, intervensi medis; coklat, abrasi kulit, dan biru, hematoma). Skema standar
ini bersamaan dengan protokol inspeksi dan inspeksi eksterna dan kadang-kadang
dengan bagian tubuh yang dimurnikan adalah dasar untuk pemeriksaan autopsi
forensik dan laporan ahli berikutnya.
H, Gambar CT postmortem otak hanya menunjukkan sedikit perdarahan
subarachnoid (panah) karena fraktur tengkorak terbuka yang besar yang
menyebabkan eksklusi besar. Perhatikan kehilangan postmortem khas diferensiasi
kortikomedullary meskipun ada edema otak pada CT postmortem.
I, citra MR Postmortem T2 berbobot lebih baik menunjukkan perdarahan
subarachnoid karena adanya diskriminasi jaringan lunak yang lebih baik (panah).
J, gambar CT menunjukkan bahwa otopsi akan melewatkan tingkat embolis me
gas vena sinus transversus dan sigmoid karena laserasi dalam perjalanan patah
tulang tengkorak terbuka.
K, Foto spesimen otopsi (lihat dari atas) otak menunjukkan perdarahan
subarachnoid (panah) dan edema otak.
34
Gambaran peribronkial cuffing dam signet-ringcell dari dilatasi
arteri paru muncul pada kasus tersebut, hamper sama dengan yang
terlihat pada gambaran klinis. 1
2.3.3.2 Tenggelam
35
2.3.5. Postmortem biopsy dan angiografi
36
c. Targeting prosedur untuk memperbaiki penempatan jarum
d. CT-guided biopsy
37
b. Post mortem angiografi
38
memperlihatkan adanya peluru yang membelok atau mengala mi
penyumbatan pada pembuluh darah. 1
39
Gambar 15 . Peluru pada sinus frontalis kanan yang mudah
diakses
b. Membantu memeriksa partikel-partikel peluru yang tertinggal.
Peluru yang digunakan pada senjata dapat dibungkus oleh
komplit jaket atau parsial jaket. Saat memasuki tubuh, bagian inti
peluru dapat terpisah dari jaket yang melapisinya. Informasi penting
yang didapatkan pada pemeriksaan ini adalah adanya cooper jaket
pada tubuh pasien. 1
40
tidak berjaket atau memiliki jaket parsial. Peluru yang memilik i
full jaket dapat meremukkan dan memecah tulang menjadi bagian-
bagian yang lebih kecil dan sedikit meninggalkan fragmen atau
partikel metal. Peluru yang masuk kemungkinan mengenai tulang
dan dapat dibelokkan sehingga luka tembak masuk atau luka
tembak keluar tidak menunjukkan letak peluru yang sebenarnya. 1
41
multipel cenderung mengarah ke luka tembak akibat pembunuha n.
Sekitar dua persen dari luka bunuh diri merupakan luka yang
multipel, hal ini bisa disebabkan kaarena peluru yang digunakan
mengalami kerusakan atau tembakan pertama tidak menimbulka n
kematian. 1
42
mengenai abdomen atau mengenai kepala dan leher yang
kemudian tertelan ke dalam sistem gastrointesinal. 1
a. Kekerasan fisik
b. Kekurangan nutrisi
c. Kekerasan Emosional
f. Kekerasan Seksual
Tidak ada pemeriksaan yang baku pada bayi dan anak-anak yang
dicurigai mengalami kekerasan. Menurut Levitt dkk yang menyaranka n
untuk memeriksa lesu pada trauma kepala menggunakan CT scan pada
perdarahan subarachnoid, MRI lebih dipilih untuk kasus subdural hematom
dan untuk evaluasi kerusakan pada spinal cord, trauma pada tulang dan
sendi, sedangkan CT scan dan MRI dapat mendeteksi adanya epidural
hematom. Selain itu, CT scan dan MRI dapat digunakan untuk
mengevaluasi trauma kepala. Ultrasonografi (USG) dapat digunakan untuk
memeriksa trauma pada abdomen dan organ retroperitoneal. 1
44
dilakukaan secara rutin, maka harus mencakup foto thorax AP supine dan
lateral, ekstremitas atas pada posisi AP dan PA, posisi AP pada foto tulang
belakang dan pelvis, posisi AP untuk ektremitas bawah. . Radiografi dengan
detail yang tinggi sangat diperlukan misalnya babygram tidak perlu
dilakukan, sedangkan untuk CT scan dan MRI sangat direkomendasikan. 1
45
Korban bayi dan anak kecil diperiksa secara radiografi untuk
menggugurkan kemungkinan penganiayaan. Selama pemeriksaan
autopsi, kepala, leher, toraks, abdomen, dan pelvis akan diperiksa namun
anggota gerak tubuh tidak diperiksa. Tengkorak, rusuk, dan tulang
panjang jika patah umumnya karena trauma non-aksidental sehingga
penting untuk diperiksa secara mendalam. Pemeriksaan ini dilakukan
sesuai dengan protokol pediatrik yang direkomendasikan. 1
46
Korban dengan luka tembak mungkin akan didapati dengan
tangan dimasukkan dalam kantong untuk mempertahankan bukti.
Kantong tersebut tidak boleh dibuka dan jika perlu dilakukan x-ray,
maka diambil melalui kantong juga untuk menentukan keberadaan
peluru atau pecahan peluru. Terlebih lagi, merupakan hal yang
mungkin untuk peluru atau pecahan peluru untuk terlepas dari tubuh
atau pakaian selama proses transfer atau manipulasi tubuh, sehingga
harus sangat hati-hati untuk mencegah disrupsi atau hilangnya bukti.
Untuk mempertahankan bukti dan konteks, pakaian jangan dilepas
dan pemeriksaan radiografi awal dilakukan dengan posisi pakaian
masih terpasang. 1
47
mengizinkan operator untuk memperpanjang sambungan ke ruang
x-ray selama paparan. Penggunaan c-arm selama pemeriksaan
fluroskopik mungkin berguna untuk menyediakan skrining cepat
tubuh untuk mendeteksi benda asing, tetapi penting bagi orang yang
menggunakan fluoroskop untuk menggunakan pakaian berlindung
timbal, berdiri sejauh mungkin dari radiasi, dan menjaga agar waktu
paparan tetap seminimum mungkin. Petugas yang bekerja di dekat
sana juga harus mempraktikkan guideline keamanan yang sama. 1
Selama pemeriksaan radiografi post mortem, radiografer
tidak boleh memegang tubuh dalam situasi apa pun. Tidak
diperbolehkan untuk memegang tubuh selama proses paparan.
Tersedia alat bantu untuk memposisikan tubuh seperti spons berlapis
plastik dan kantung pasir sehingga dapat digunakan untuk
mendapatkan proyeksi yang diinginkan. Tabung x-ray dan reseptor
gambar juga dapat digerakkan sehingga memungkinka n
pemeriksaan dengan manipulasi tubuh yang minimal. Jangan
mengarahkan tabung x-ray ke panel kontrol karena walaupun panel
kontrol dilindungi oleh pembatas, tetap saja pembatas tidak didesign
untuk memberikan proteksi dari paparan radiasi primer. 1
48
jenazah yang sudah meninggal, terdapat beberapa halangan dalam
pemeriksaan radiografi seperti posisi tubuh, rigor mortis, posisi
anatomis yang terpilin atau rusak parah yang dapat memepengar uhi
proses. Proyeksi frontal dan lateral tentu diinginkan, namun
mungkin tidak mungkin pada situasi tersebut, sehingga seringka li
pencitraan dilakukan sebagaimana posisi tubuh yang ada. 1
Pencitraan anak-anak merupakan suatu pengecualian. AP
standar, lateral, dan oblique dapat dilakukan untuk optimalisas i
visualisasi fraktur dengan cara penggunaan alat bantu dalam
memposisikan tubuh seperti spons berlapis plastik, terutama spons
sudut 45o . 1
Berdasarkan informasi dan kondisi yang ada, radiografer
harus menentukan langkah yang akan diambil dan menentuka n
proyeksi foto yang penting. 1
49
harus diperiksa. Jika AP suboptimal karena paparan, superimpos is i
dari habitus tubuh, pemeriksaan tambahan 90 o dari posisi origina l
harus dilakukan untuk mencegah terlewatnya benda asing tersebut.
1
50
perifer diarahkan pada suatu sudut. Anatomi yang terletak di garis
sinar sentral akan terproyeksikan pada posisi yang sebenarnya
sedangkan anatomi pada ujung lapangan sinar x akan diproyeksikan
pada suatu sudut yang menimbulkan distrosi. Hal ini merupakan
kerugian yang signifikan ketika memeriksa anak-anak untuk
mencari bukti penganiayaan anak. Anatomi seharusnya diletakkan
langsung di bawah porsi yang tegak lurus dari sinar x, sehingga
menghasilkan representasi anatomi yang sesungguhnya. Ini
merupakan salah satu alasan kenapa babygrams (lapangan besar
tunggal paparan sinar x yang menutupi seluruh tubuh bayi)
seharusnya tidak dilakukan. Kleinman menemukan bahwa ketika
toraks dan pelvis dicitrakan bersamaan, fraktur halus perlvis lebih
susah untuk divisualisasi. 1
51
2.4.2.4 . Radiografi Gigi
52
2.4.2.5. Alat Pencitraan Intra Oral1
53
dengan mempertahankan integritas dari area kontrol radiasi. Area
kontrol radiasi didefinisikan sebagai batasan di sekitar anoda dari
tabung x-ray gigi dan pasien yang mana ada sewaktu paparan x-ray,
yang harus kurang dari 1.5 m di semua arah, dan semua tenaga harus
keluar dari area ini selama paparan x-ray. Sebelum mulai paparan,
radiografer harus memastikan semua alat x-ray gigi bekerja, harus
dipertahankan dan dicek dengan rutin. Semua pekerja harus
diberikan pengarahan terkait adanya x-ray di area tersebut dan diberi
peringatan untuk melindungi diri selama paparan. Hati-hati dalam
melakukan pencitraan untuk mencegah pengulangan. 1
54
mencerminkan teknik terbaik tetapi harus menghasilkan ulang
tampilan foto antemortem. 1
DOKUMENTASI
55
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1. Simpulan
Kedokteran forensik telah diakui sebagai ilmu pengetahuan khusus
atau disiplin ilmu yang berhubungan dengan penerapan fakta dan pengetahuan
medis terhadap masalah hukum. Dalam penerapannya, bidang forensik telah
menggabungkan beberapa subspesialisasi yang berbeda, seperti patologi
forensik,yang meliputi pemeriksaan manusia yang masih hidup dan sudah
meninggal; toksikologi forensik; forensic biologi molekuler ; dan psikiatri
forensik. Namun, ada sebuah terobosan baru di dunia forensik yaitu pencitraan
postmortem yang dimasukkan ke dalam patologi forensik. Pencitraan
postmortem ini tentunya merupakan gabungan dari subspesialis forensik
patologi dan radiologi diagnostic. Ilmu ini juga dikenal dengan sebutan
radiologi forensik, namun dalam perjalanannya masing- masing ahli patologi
forensik dan ahli radilogi diagnostic akan berkerjasama dalam mengungkap
suatu kasus dikarenakan baik dari disiplin ilmu kedokteran forensik maupun
radiologi belum terdapat subspesialis radiologi forensik. Bidang radiologi
forensik ini biasanya meliputi pelaksanaan, interpretasi, dan expertise serta
prosedur radiologis yang ada hubungannya dengan pengadilan dan / atau
hukum. Modalitas yang bisa digunakan antara lain mulai dari X-ray, USG,
MRI, CT-scan, fluorosent imaging, dan radiologi intervensi.
Ruang lingkup radiologi forensik sama halnya dengan disiplin ilmu lain
yang bertumpu pada pelayanan, pendidikan, penelitian dan administras i.
Pelayanan yang dapat diberikan dalam bidang radiologi forensik meliputi :
penentuan identitas, evaluasi cedera dan kematian (accidental, nonaccidenta l),
proses pengadilan tindak pidana, proses pengadilan tindak perdata, dan
prosedur administrasinya. Evaluasi kematian atau cedera nonaccidenta l
meliputi cedera tulang, peluru dan benda asing, trauma lain dan penyebab
lainnya.
56
Perbandingan radiografi antemortem dan post mortem adalah salah
satu cara identifikasi yang paling akurat. Seperti halnya cedera tulang yang
akan lebih baik dilihat pada kondisi postmortem karena memungkinka n
manipulasi sehingga bisa mendapatkan pencitraan 3 dimensi dengan X-ray.
Trauma lainnya yang dapat terungkap dengan modalitas radiologi mencakup
temuan seperti perdarahan intrakranial akibat shaking, luka tembus yang bisa
didemonstrasikan dengan media kontras yang disuntikkan, begitu juga avulsi.
Fraktur jaringan lunak laryngeal yang terjadi akibat gantung juga dapat terlihat
dengan radiology dan adanya kontraksi jaringan lunak masif sebagai akibat
dari pemukulan. Penyebab lainnya yang memiliki implikasi radiologis adalah
termasuk keracunan dan tenggelam.
3.2. Saran
57
DAFTAR PUSTAKA
1. Brogdon BG. In: Brogdon BG, ed. Forensic radiology. Boca Raton,
FL: CRC, 1998
2. Flach PM, Thali MJ, Germerrot T. Times have changed! Forensic
radiology : A new challenge for radiology and forensic pathology.
American Journal of Roentgenology.2014.202:W325-W334
3. Lichtenstein J E. Forensic Radiology. Di unduh pada
www.arrs.org/publications/HRS/diagnosis/RCI_D_c26 pada 28 nov
2017 pk. 21.36 wib
4. Thali MJ, Yen K, Schweitzer W, et al. Otopsi virtual, a new imaging
horizon in forensic pathology: virtual autopsy by postmortem multis lice
computed tomography (MSCT) and magnetic resonance imaging
(MRI)a feasibility study. J ForensicSci.2003; 48:386403
5. Thali MJ, Jackowski C, Oesterhelweg L, Ross SG, Dirnhofer R.
Virtopsythe Swiss virtual autopsy approach. Leg Med (Tokyo) 2007;
9:100104
6. East Midlands Forensic Pathology Unit. A brief history of forensic
radiology.website www2.le.ac.uk/departments/emfpu/imaging/brie f-
history
7. Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana
8. Kitab Undang-undang Hukum Pidana
9. Krogman, W. M. and Iscan, M.Y., The Human Skeleton in Forensic
Medicine, 2nd ed., Charles C Thomas, Springfield, IL, 1986, chap. 13.
10. Graham, C. B., Assessment of bone maturation methods and pitfalls,
Radiol. Clin. N. Am., 10, 185, 1972.
11. Girdany, B. R. and Golden, R., Centers of ossification of the skeleton,
Am. J. Roentgenol., 68, 922, 1952.
12. Keats, T. E, Atlas of Roentgenographic Measurement, 6th Mosby Year
Book, St. Louis, 1990, chap. 4B.
13. Meschan, I., Roentgen Signs in Clinical Practice, Vol. I, W.B. Saunders,
Philadelphia, 1966, chap. 4.
14. Sontag, I. W., Snell, D., and Anderson, M., Rate of appearance of
ossification centers from birth to the age of five years, Am. J. Dis. Child.,
58, 949, 1939
15. Pyle, S. I. and Hoerr, N. L., Atlas of Skeletal Development of the Knee,
Charles C Thomas, Springfield, IL, 1955.
16. Hoerr, N. L., Pyle, S. I., and Francis, C. C., Radiologic Atlas of the Foot
and Ankle, Charles C Thomas, Springfield, IL, 1962.
17. Greulich, W. W. and Pyle, S. I., Radiographic Atlas of Skeletal
Development of the Hand and Wrist, 2nd ed., Stanford University Press,
Palo Alto, CA, 1959.
58
18. Ontell, F. K., Ivanovic, M., Ablin, D. S., and Barlow, T. W., Bone age
in children of diverse ethnicity, Am. J. Roentgenol., 167, 1395, 1996.
19. Sundick, R. I., Age and sex determination of subadult skeletons, J.
Forensic Sci., 22,141, 1977.
20. Sutherland, L. D. and Suchey, J. M., Use of the ventral arc in pubic sex
determination, J. Forensic Sci., 36, 501, 1991.
21. Rogers, T. and Saunders, S., Accuracy of sex determination using
morphological traits of the human pelvis, J. Forensic Sci., 39, 1047,
1994.
22. Bass, W. M., III, Forensic anthropology, in CAP Handbook for
Postmortem Examination of Unidentified Remains, Fierro, M. F., Ed.,
College of American Pathologists, Skokie, IL, 1990, chap. 8.
23. Heglund, W. D., How can the forensic anthropologist help? Handout
presented at the
American Academy of Forensic Science, Seattle, February 14, 1995.
24. Krogman, W. M., Will Mr. X please come forward?, Del. Med. J., 51,
399, 1979.
25. Kurihara, Y., Kurihara, Y., Ohashi, K., Kitagawa, A., Miyasaki, M.,
Okamoto, E., and Ishikawa, T., Radiologic evidence of sex differences :
is the patient a woman or a man?, Am. J. Roentgenol., 167, 1037, 1996.
26. Wells, J., Osteities condensans ilii, Am. J. Roentgenol., 76, 1141, 1956.
27. Steinbach, H. L., The significance of thinning of the parietal bones, Am.
J. Roentgenol., 78, 39, 1957
28. Stewart, J. H. and McCormick, W. F., The gender predictive value of
sternal length, Am.J. Forensic Med. Pathol., 4, 217, 1983.
29. Krogman, W. M., Will Mr. X please come forward?, Del. Med. J., 51,
399, 1979.
30. Navani, S., Shak, J. R., and Levy, P. S., Determination of sex by costal
cartilage calcification, Am. J. Roentgenol., 108, 771, 1970.
59