Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI (KGM 4709)
Disusun Oleh :
KELOMPOK 7
KELAS GANJIL
B. PENDAHULUAN
Penyelenggaraan praktik oleh dokter gigi hendaknya berdasarkan prinsip etika dan hukum
yang berlaku. Penyelenggaraan praktik tanpa mengindahkan etika dan hukum yang berlaku akan
menimbulkan permasalahan antara dokter gigi dengan pasien. Tuduhan malpraktik dapat timbul
akibat dari kurang jelasnya penjelasan yang diberikan dokter gigi kepada pasien. Seringkali pasien
tidak mendapatkan penjelasan secara terperinci dari dokter gigi mengenai perawatan yang dilakukan
sehingga komplikasi pasca perawatan yang terjadi dituduhkan sebagai tindakan malpraktik maupun
kelalaian dan berlanjut menjadi sengketa di pengadilan. Oleh karena itu dokter gigi perlu mengetahui
dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan malpraktik, kelalaian, sengketa medis, maupun cara
penyelesaiannya.
C. TINJAUAN PUSTAKA
D. KASUS
Seorang dokter gigi bernama drg. Antonia memiliki tempat praktik di daerah
Banyuwangi. Sekian lama setelah drg. Antonia menjalankan praktiknya, dokter gigi
tersebut tidak memilki SIP. Dia adalah dokter gigi spesialis konservasi yang senang
sekali menggunakan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar. Beberapa
pasien yang telah diberikan pasta Sargenti tersebut pada 6 bulan berikutnya
mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar yang dirasakan terus menerus pada region
gigi yang mendapatkan perawatan. Selanjutnya, drg. Antonia melakukan
pemeriksaan foto ronsen untuk melihat keberhasilan tindakan yang dilakukan.
Hasilnya sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini, yaitu terdapat
area radiopak pada apikal gigi yang yang mendapatkan perawatan. Namun, keluhan
dari ke-4 pasiennya tidak mengurungkan niatnya untuk menggunakan pasta
tersebut. Di, Amerika pasta ini sudah tidak diijinkan untuk digunakan karena telah
dilaporkan adanya risiko atas penggunaannya. Suatu ketika, pasien drg. Antonia,
Astrid, menggugat dok Antonia ke pengadilan dan meminta ganti rugi sebesar 200
juta karena rasa sakit terus menerus dengan sensasi terbakar, pada gigi 37 paska
obturasi (Gambar 1). Pasien menuntut drg. Antonia melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan prosedur operasional dan mengakibatkan pasien harus menanggung
rasa sakit yang tidak tertahankan. Sebelum melakukan perawatan drg. Antonia telah
menjelaskan tata cara tindakan yang akan dilakukan secara lengkap. Namun, drg.
Antonia tidak memberitahukan tentang kemungkinan kegagalan perawatan, bahkan
drg. Antonia menjamin perawatan tersebut akan berhasil 100%. Sebaliknya, drg.
Antonia melakukan prosedur dengan sangat hati-hati dan sesuai dengan tata cara
yang dianjurkan.
E. PEMBAHASAN
Pada kasus di atas, pasien menuntut drg. Antonia karena rasa sakit yang
dideritanya akibat perawatan saluran akar oleh drg. Antonia. Setelah ditelusuri
penyebab rasa sakitnya, ternyata bahan pengisi saluran akar yang digunakan drg.
Antonia yaitu pasta Sargenti, dalam pengisiannya overfilling, sehingga mengenai
saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Drg. Antonia bersalah karena tidak
memberitahukan risiko perawatan dan memberikan jaminan keberhasilan kepada
pasien. Di samping itu drg. Antonia tidak memiliki SIP dalam menjalankan
prakteknya.
Dalam menyikapi kasus di atas, kita perlu mengkaji mengenai hak pasien
serta kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Hak pasien terkait dengan
kasus di atas sesuai dengan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
52 yaitu: “Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis”. Adapun
yang dimakud dengan penjelasan secara lengkap adalah sesuai dengan pasal 45
ayat 3 yaitu: “Bahwa setiap pasien mempunyai hak mendapat informasi yang
meliputi: diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.” Pasien berhak
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. Dalam kasus tersebut drg.
Antonia dinyatakan bersalah karena tidak memberikan penjelasan secara lengkap.
Meskipun drg. Antonia telah menjelaskan tata cara tindakan yang akan dilakukan
secara lengkap, namun drg. Antonia tidak memberitahukan risiko kegagalan
perawatan. Seperti yang diketahui dalam perawatan saluran akar, risiko overfilling
bahan pengisi saluran akar dapat mengakibatkan rasa nyeri. Selain itu keberhasilan
perawatan tidak dapat dijamin keberhasilannya, sehingga seorang dokter atau dokter
gigi yang memberikan jaminan keberhasilan perawatan padahal hasilnya tidak
sesuai, dapat dikenakan tuntutan.
Pasien berhak menuntut drg. Antonia, karena selain drg. Antonia dianggap
merugikan pasien, dalam menjalankan prakteknya drg. Antonia tidak memiliki SIP
yang merupakan kewajiban profesi dokter atau dokter gigi. Berdasarkan UU No 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa
setiap Dokter dan Dokter Gigi yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki
SIP, drg. Antonia dapat dikenakan tuduhan malpraktik administratif. Drg. Antonia
yang tidak memiliki SIPdalam waktu yang lama menandakan bahwa dia tidak
memperbaharuinya. Seperti yang diketahui, SIP dokter/dokter gigi berlaku sesuai
dengan masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR) yaitu 5 tahun. Salah satu syarat
untuk memperbarui STR adalah memiliki sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan
sertifikat kompetensi, selain dengan mengikuti uji kompetensi, yaitu dapat ditempuh
dengan mengikuti kegiatan ilmiah. Dengan mengikuti kegiatan ilmiah,dapat berguna
sebagai sarana mendapatkanpengetahuan mengenai perkembangan ilmu
kedokteran gigi saat ini, yang merupakan kewajiban dan syarat seorang profesi
dokter gigi untuk menimba ilmu.
Jika drg. Antonia rajin mengikuti kegiatan ilmiah untuk mengupdate
pengetahuan mengenai kedokteran gigi, tentunya drg.Antonia akan menghindari
penggunaan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar. Saat ini,
penggunaan pasta Sargenti sudah dihentikan oleh American Dental Association
(ADA) dan seluruh institusi kedokteran gigi di Amerika, karena penggunaan pasta
tersebut dinyatakan di bawah standar pelayanan kesehatan.
Ciri-ciri kelalaian adalah sifat kurang tahu seseorang terhadap sesuatu
(ignorance), sehingga menganggap apa yang dia lakukan adalah wajar dan benar,
padahal pada kenyataannya tidak. Ketidaktahuan drg. Antonia terhadap risiko
penggunaan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar merupakan suatu
kelalaian yang berakibat fatal pada pasien-pasiennya, walaupun drg. Antonia
dianggap telah mengikuti tata cara dan SOP yang benar dalam melakukan
perawatan saluran akar untuk kesembuhan pasien.
Drg. Antonia tidak menerapkan prinsip dasar etika yaitu non-maleficence.
Sesuai Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia pasal 11, dokter gigi di Indonesia wajib
melindungi pasien dari kerugian, seorang dokter gigi wajib bertindak efisien, efektif
dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasien, sebagaimana
yang telah dijelaskan pada kode etik kedokteran gigi Indonesia pasal 11 ayat 1.
Penggunaan pasta Sargenti dinilai kurang efektif karena tidak tepat guna sebagai
bahan pengisi saluran akar, karena saat ini telah banyak bahan pengisi yang lebih
aman dan biokompatibel.
Tindakan yang dilakukan drg. Antonia dapat menimbulkan perdebatan antara
suatu kelalaian atau malpraktek. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek,
tetapi malpraktek tidak selalu terjadi karena kelalaian. Malpraktek mempunyai
pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja dan melanggar undang-undang. Didalam arti kesengajaan tersirat
adanya motif tertentu. Sedangkan arti kelalaian lebih diartikan suatu
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, dan kurang peduli, namun tujuannya
untuk suatu kebenaran.
Tindakan oleh drg. Antonia merupakan suatu kelalaian. Kelalaian yang
dilakukan drg. Antonia didasarkan pada kriteria kelalaian. Pada kasus di atas, drg.
Antonia telah melakukan:
1. Kewajiban dalam mengobati pasien (duty), tujuan drg. Antonia telah benar,
yaitu sesuai kewajiban dokter gigi untuk melayani kesehatan pasien untuk
kesembuhan pasien;
2. Pelanggaran terhadap kewajiban (dereliction of duty), karena dalam
melakukan kewajibannya drg. Antonia menggunakan pasta Serganti yang
tidak lagi diindikasikan secara medis, serta bukan merupakan standar
sebagai bahan pengisi saluran akar yang ditetapkan oleh standar profesi.
Selain itu dalam melaksanakan kewajibannya, drg. Antonia melanggar
kewajiban dengan tidak menginformasikan secara lengkap mengenai risiko
perawatan;
3. Tindakan yang merugikan (damage), dengan mengakibatkan pasien
mengalami nyeri dan burning mouth syndrome akibat penggunaan pasta
Sargenti; dan
4. Tindakan yang merugikan dalam melaksanakan kewajiban (direct cause),
karena rasa nyeri dan burning mouth syndrome yang dirasakan pasien
merupakan akibat penggunaan pasta Sargenti dalam rangka perawatan
dental.
Solusi alternatif untuk menyelesaikan sengketa medis pada kasus ini yaitu
dilakukannya mediasi (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 29).untuk mencapai
kesepakatan win-win solution, membiarkan para pihak secara bebas menentukan
kesepakatan dan tetap menjaga hubungan baik antar pihak yang bersengketa untuk
memperoleh penyelesaian. Mediasi dapat dilakukan melalui jalur peradilan maupun
non peradilan dengan menggunakan mediator. Dasar hukum penyelenggaraan
mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
2008.
Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, efektif dan efesien.
Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan oleh BPPA, sebagai usaha
melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI. Akhir dari proses mediasi adalah
mediasi dinyatakan gagal atau berhasil. Mediasi yang berhasil menghasilkan nota
perdamaian untuk diimplemetasikan oleh para pihak, atau sebelum
diimplementasikan dapat dimintakan putusan dari hakim pengadilan menjadi akta
perdamaian.
Seharusnya drg. Antonia tidak menggunakan pasta sargenti lagi karena
bahan tersebut sudah tidak memenuhi standar dan dapat merugikan serta menyakiti
pasien. Tindakan harus berlandaskan manfaat untuk pasien, untuk kesembuhan
pasien. Altruism seharusnya diterapkan oleh drg. Antonia pada pasien.
F. KESIMPULAN
G. DAFTAR PUSTAKA
Affandi, D., 2009, Mediasi: Alternatif Penyeleesaian Sengketa Medis, Maj Kedokt Indonesia, vol
59 (5)
Gunawan, 1992, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta.
Guwandi, J., 1991. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbitan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Isfandyarie, A., 2005, Malpraktik dan Resiko Medis Dalam Kajian Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia pasal 11.
Moore, C.W., 2003, The Mediation Process: Practical Strategies for Re- Solving
Conflict, 3rd ed., Willey Imprint, San Fransisco.
PeraturanMahkamahAgungRepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008
TentangProsedurMediasi di PengadilanMahkamahAgungRepublik Indonesia.
Purwadianto, A., 2007, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik
dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik , dalam bahan bacaan Program Non
Gelar, Blok II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sampurno, B., 2005, Malpraktik Dalam Pelayanan Kedokteran. Materi
seminar tidak diterbitkan.
Soedjatmiko, 2001, Masalah Medik dalam Malpraktek Yuridik, Citra Aditya Bakti,
Malang.
T o n i a , A . , 1 9 9 4 , Legal, Ethical, Political Issues In Nursing, 2nd Ed., FA Davis,
Philadelphia.
Wiradharma, D., 1999, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta.