Anda di halaman 1dari 10

MAKALAH ETIKA DAN HUKUM KEDOKTERAN GIGI

PRINSIP NON-MALEFICENCE SEBAGAI LANDASAN DOKTER GIGI


DI DALAM MEMBERIKAN PERAWATAN MEDIS

Diajukan sebagai tugas mata kuliah ETIKA dan HUKUM KEDOKTERAN GIGI (KGM 4709)

Disusun Oleh :

KELOMPOK 7
KELAS GANJIL

Ihdatul Aini 11/315917/KG/8873


Stefany Elan S. 11/315921/KG/8875
Hadziq Pohan 11/315924/KG/8877
Mentari Salma N. 11/315934/KG/8881
Wandita Swasti 11/315945/KG/8883
Gabriella Maria O. 11/315982/KG/8895

FAKULTAS KEDOKTERAN GIGI


UNIVERSITAS GADJAH MADA
YOGYAKARTA
2014
A. ABSTRAK
Penyelenggaraan praktik tanpa mengindahkan etika dan hukum yang berlaku akan
menimbulkan permasalahan antara dokter gigi dengan pasien. Tuduhan malpraktik dapat timbul
akibat dari kurang jelasnya penjelasan yang diberikan dokter gigi kepada pasien. Malpraktik berbeda
dengan kelalaian. Kelalaian termasuk dalam malpraktik, namun malpraktik tidak selalu disebabkan
kelalaian. Dalam kasus ini dokter dinyatakan bersalah karena tidak memberikan
penjelasan secara lengkap pada pasien dan menjalankan praktek tanpa memiliki
surat ijin praktek (SIP). Dokter dianggap lalai dan melakukan malpraktik administratif.
Pasien mengajukan gugatan, sengketa ini dapat diselesaikan dengan alternatif jalan
mediasi.

B. PENDAHULUAN

Penyelenggaraan praktik oleh dokter gigi hendaknya berdasarkan prinsip etika dan hukum
yang berlaku. Penyelenggaraan praktik tanpa mengindahkan etika dan hukum yang berlaku akan
menimbulkan permasalahan antara dokter gigi dengan pasien. Tuduhan malpraktik dapat timbul
akibat dari kurang jelasnya penjelasan yang diberikan dokter gigi kepada pasien. Seringkali pasien
tidak mendapatkan penjelasan secara terperinci dari dokter gigi mengenai perawatan yang dilakukan
sehingga komplikasi pasca perawatan yang terjadi dituduhkan sebagai tindakan malpraktik maupun
kelalaian dan berlanjut menjadi sengketa di pengadilan. Oleh karena itu dokter gigi perlu mengetahui
dan memahami hal-hal yang berkaitan dengan malpraktik, kelalaian, sengketa medis, maupun cara
penyelesaiannya.

C. TINJAUAN PUSTAKA

Prinsip Etika Kedokteran Gigi


Gunawan (1992) menyatakan bahwa Konsil Kedokteran Indonesia
menetapkan praktik kedokteran Indonesia mengacu kepada 4 kaidah dasar moral
(sering disebut kaidah dasar etika kedokteran atau bioetika) antara lain :
1. Menghormati martabat manusia untuk menentukan nasibnya sendiri (respect for
person/autonomy).
Dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang praktek kedokteran pasal 45, tertera
bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh
dokter atau dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan dari pasien
setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap tentang diagnosis dan tata
cara tindakan medis, tujuan tindakan medis yang dilakukan, alternatif tindakan lain
dan risikonya, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, serta prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
2. Berbuat baik (beneficence)
Ciri-ciri dari kaidah beneficence antara lain, altruisme, yaitu dokter tidak
hanya mencari keuntungan untuk dirinya sendiri, mengupayakan manfaat lebih
besar dari pada kerugian dan menerapkan golden rule principle :
a. General beneficence, melindungi & mempertahankan hak yang lain, mencegah
terjadi kerugian pada yang lain, dan menghilangkan kondisi penyebab kerugian
pada yang lain.
b. Specific beneficence, menolong orang cacat, menyelamatkan orang dari
bahaya. Mengutamakan kepentingan pasien, memandang
pasien/keluarga/sesuatu tak hanya sejauh menguntungkan dokter/rumah
sakit/pihak lain, dan maksimalisasi akibat baik.
3. Tidak berbuat yang merugikan pasien (Non-Maleficence)
Sesuai Kode Etik Kedokteran Gigi pasal 11, dokter Gigi di Indonesia wajib
melindungi pasien dari kerugian dengan bertindak efisien, efektif dan berkualitas
sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasien. Dokter gigi hanya dapat
melakukan tindakan sesuai kompetensi dan kemampuannya dan jika tidak
mampu wajib merujuk pasien kepada dokter gigi atau profesional lainnya dengan
kompetensi yang sesuai.
4. Keadilan (justice).
Menurut Purwadianto (2007), perbedaan kedudukan sosial, tingkat ekonomi,
pandangan politik, agama dan paham kepercayaan, kebangsaan dan
kewarganegaraan, status perkawinan, serta perbedaan gender tidak boleh dan
tidak dapat mengubah sikap dokter terhadap pasiennya. Tidak ada pertimbangan
lain selain kesehatan pasien yang menjadi perhatian utama dokter.
Malpraktik
Malpraktik dalam Black Law Dictionary didefinisikan sebagai perbuatan jahat
dari seorang ahli, kekurangan dalam keterampilan yang dibawah standar, atau tidak
cermatnya seorang ahli dalam menjalankan kewajibannya secara hukum, praktek
yang jelek atau ilegal atau perbuatan yang tidak bermoral (Wiradharma, 1999).
Isfandyarie (2005) menyatakan bahwa malpraktik medis terjadi jika dokter
atau orang yang ada di bawah perintahnya dengan sengaja atau karena kelalaian
melakukan perbuatan (aktif atau pasif) dalam praktik medis terhadap pasiennya
dalam segala tingkatan yang melanggar standar profesi, standar prosedur, atau
prinsip-prinsip kedokteran, atau dengan melanggar hukum tanpa wewenang; dengan
menimbulkan akibat (causal verband) kerugian bagi tubuh, kesehatan fisik, maupun
mental dan atau nyawa pasien, dan oleh sebab itu membentuk pertanggungjawaban
hukum bagi dokter.
Malpraktik medis digolongkan menjadi malpraktik etika dan malpraktik yuridis.
Soedjatmiko (2011) membedakan malpraktik yuridis menjadi 3 bentuk yaitu :
1. Malpraktik Perdata (Civil Malpractice), terjadi apabila terdapat hal-hal yang
menyebabkan tidak dipenuhinnya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi
terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya, atau terjadinya perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatige daad) sehingga menimbulakan kerugian
kepada pasien.
2. Malpraktik Pidana (Criminal Malpractice), terjadi apabila pasien meninggal dunia
atau mengalami cacat akibat dokter atau tenaga kesehatan lainnya kurang hati-
hati, malpraktik pidana yaitu:
a. Malpraktik pidana karena kesengajaan (intensional)
b. Malpraktik pidana karena kecerobohan (recklessness)
c. Malpraktik pidana karena kealpaan (negligence)
3. Malpraktik Administrasi (Administrative Malpractice) terjadi apabila dokter atau
tenaga kesehatan lain melakukan pelanggaran terhadap hukum administrasi
Negara yang berlaku. Contohnya dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang praktik
kedokteran pasal 2 ayat 1 disebutkan bahwa setiap dokter dan dokter gigi yang
menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki surat ijin praktek (SIP), namun ada
dokter yang menjalankan praktek dokter tanpa lisensi atau ijin praktek, melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan lisensi atau ijinnya, menjalankan praktek
dengan izin yang sudah kadaluwarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat
catatan medis.
Kelalaian
Menurut Sampurno (2005), kelalaian tidak sama dengan malpraktik,
tetapi kelalaian termasuk dalam malpraktik, artinya bahwa dalam malpraktik
tidak selalu ada unsur kelalaian. Kelalaian adalah segala tindakan yang
dilakukan dan dapat melanggar standar sehingga mengakibatkan
cidera/kerugian orang lain. Kelalaian dapat berupa omission yaitu kelalaian untuk
melakukan sesuatu yangseharusnya dilakukan atau commission yang berarti
melakukan sesuatu secara tidak hati-hati (Tonia, 1994).
Menurut Guwandi (1991) malpraktik dapat ditentukan berdasarkan 4-D yaitu:
1. Duty of care by the doctor to the injured patient (kewajiban) = D1, dokter yang
digugat memang mempunyai kewajiban (duty) sebagai akibat adanya hubungan
kontraktual.
2. Dereliction of duty (pelanggaran kewajiban) = D2, adanya wanprestasi atau
melalaikan kewajiban (dereliction of duty).
3. Damage = D3, terjadi kerugian, luka, atau kecacatan.
4. Direct cause yakni pelanggaran kewajiban mengakibatkan kerugian (D2 ------- D3)
= D4, adanya hubungan langsung antara kerugian itu dengan kelalaian
melaksanakan kewajiban.
Perbedaan Malpraktik dengan Kelalaian
Menurut Guwandi (1991), kelalaian medis termasuk malpraktik medis, akan
tetapi di dalam malpraktik medis tidak hanya terdapat unsur kelalaian, dapat juga
kerena adanya kesengajaan. Malpraktik mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja dan melanggar undang-undang. Pada malpraktik, tindakannya
dilakukan secara sadar, dan tujuan dari tindakannya memang sudah terarah kepada
akibat yang hendak ditimbulkan atau tidak perduli terhadap akibatnya, walaupun ia
mengetahui atau seharusnya mengetahui bahwa tindakannya itu bertentangan
dengan hukum yang berlaku. Pada kelalaian, tidak ada motif ataupun tujuan untuk
menimbulkan akibat yang terjadi. Akibat yang timbul disebabkan kerena adanya
kelalaian yang sebenarnya terjadi di luar kehendaknya.
Sengketa Medis
Affandi (2009) menyebutkan bahwa sengketa medis merupakan sengketa yang terjadi
antara pengguna pelayanan medis dengan pelaku pelayanan medis dalam hal ini pasien dengan
dokter. Proses mediasi merupakan salah satu bentuk dari alternative dispute
resolution (ADR) atau alternatif penyelesaian masalah. Mediasi adalah cara
penyelesaian sengketa melalui proses perundingan untuk memperoleh
kesepakatan para pihak dengan dibantu oleh mediator. Mediasi itu sendiri dapat
dilakukan melalui jalur pengadilan maupun di luar pengadilan dengan menggunakan
mediator yang telah mempunyai sertifikat mediator. Mediator adalah pihak
netral yang membantu para pihak dalam proses perundingan guna mencari
berbagai kemungkinan penyelesaian sengketa tanpa menggunakan cara memutus
atau memaksakan sebuah penyelesaian. Berdasarkan PERMA No 1 Tahun 2008
tentang prosedur mediasi di pengadilan, pengadilan tidak hanya bertugas dan
berwenang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara yang diterimanya,
tetapi juga berkewajiban mengupayakan perdamaian antara pihak-pihak yang
berperkara. Pengadilan yang selama ini berkesan sebagai lembaga penegakan
hukum dan keadilan, sekarang menampakkan diri sebagai lembaga yang
mencarikan solusi damai antara pihak-pihak yang bertikai.
Proses mediasi merupakan upaya yang tepat dalam menyelesaikan sengketa
medis antara dokter dan pasien karena penyelesaian melalui jalur litigasi akan
merugikan kedua belah pihak. Apalagi cukup sukar untuk memenuhi empat kriteria
malpraktik medis. Efek positif lainnya dari proses mediasi adalah hubungan dokter
pasien akan tetap senantiasa terjaga dengan baik. Mediasi memiliki kelemahan yaitu
keterbatasan dukungan yuridis terhadap proses dan hasilnya, termasuk terhadap
eksekusi perjanjian penyelesaian sengketa (perdamaian) yang dihasilkan. Proses
dan keputusan yang dihasilkan tidak dapat begitu saja dipaksakan. Kelemahan lain
adalah dari Perma itu sendiri yaitu menurut tata urutan perundang-undangan
Indonesia Perma tidak bersifat wajib; mengikat, sehingga Perma hanya dapat
dijadikan pedoman. Perlu dibentuk undang-undang yang mengatur mediasi untuk
memberikan kepastian hukum.

D. KASUS

Seorang dokter gigi bernama drg. Antonia memiliki tempat praktik di daerah
Banyuwangi. Sekian lama setelah drg. Antonia menjalankan praktiknya, dokter gigi
tersebut tidak memilki SIP. Dia adalah dokter gigi spesialis konservasi yang senang
sekali menggunakan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar. Beberapa
pasien yang telah diberikan pasta Sargenti tersebut pada 6 bulan berikutnya
mengeluhkan rasa sakit seperti terbakar yang dirasakan terus menerus pada region
gigi yang mendapatkan perawatan. Selanjutnya, drg. Antonia melakukan
pemeriksaan foto ronsen untuk melihat keberhasilan tindakan yang dilakukan.
Hasilnya sebagaimana yang ditunjukkan pada gambar di bawah ini, yaitu terdapat
area radiopak pada apikal gigi yang yang mendapatkan perawatan. Namun, keluhan
dari ke-4 pasiennya tidak mengurungkan niatnya untuk menggunakan pasta
tersebut. Di, Amerika pasta ini sudah tidak diijinkan untuk digunakan karena telah
dilaporkan adanya risiko atas penggunaannya. Suatu ketika, pasien drg. Antonia,
Astrid, menggugat dok Antonia ke pengadilan dan meminta ganti rugi sebesar 200
juta karena rasa sakit terus menerus dengan sensasi terbakar, pada gigi 37 paska
obturasi (Gambar 1). Pasien menuntut drg. Antonia melakukan tindakan yang tidak
sesuai dengan prosedur operasional dan mengakibatkan pasien harus menanggung
rasa sakit yang tidak tertahankan. Sebelum melakukan perawatan drg. Antonia telah
menjelaskan tata cara tindakan yang akan dilakukan secara lengkap. Namun, drg.
Antonia tidak memberitahukan tentang kemungkinan kegagalan perawatan, bahkan
drg. Antonia menjamin perawatan tersebut akan berhasil 100%. Sebaliknya, drg.
Antonia melakukan prosedur dengan sangat hati-hati dan sesuai dengan tata cara
yang dianjurkan.
E. PEMBAHASAN

Pada kasus di atas, pasien menuntut drg. Antonia karena rasa sakit yang
dideritanya akibat perawatan saluran akar oleh drg. Antonia. Setelah ditelusuri
penyebab rasa sakitnya, ternyata bahan pengisi saluran akar yang digunakan drg.
Antonia yaitu pasta Sargenti, dalam pengisiannya overfilling, sehingga mengenai
saraf dan menyebabkan rasa nyeri. Drg. Antonia bersalah karena tidak
memberitahukan risiko perawatan dan memberikan jaminan keberhasilan kepada
pasien. Di samping itu drg. Antonia tidak memiliki SIP dalam menjalankan
prakteknya.
Dalam menyikapi kasus di atas, kita perlu mengkaji mengenai hak pasien
serta kewajiban dokter dalam pelayanan kesehatan. Hak pasien terkait dengan
kasus di atas sesuai dengan UU No 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal
52 yaitu: “Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis”. Adapun
yang dimakud dengan penjelasan secara lengkap adalah sesuai dengan pasal 45
ayat 3 yaitu: “Bahwa setiap pasien mempunyai hak mendapat informasi yang
meliputi: diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis, alternatif
tindakan, risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi, dan prognosis terhadap
tindakan yang dilakukan serta perkiraan biaya pengobatan.” Pasien berhak
memberikan persetujuan atau menolak atas tindakan yang akan dilakukan oleh
tenaga kesehatan terhadap penyakit yang dideritanya. Dalam kasus tersebut drg.
Antonia dinyatakan bersalah karena tidak memberikan penjelasan secara lengkap.
Meskipun drg. Antonia telah menjelaskan tata cara tindakan yang akan dilakukan
secara lengkap, namun drg. Antonia tidak memberitahukan risiko kegagalan
perawatan. Seperti yang diketahui dalam perawatan saluran akar, risiko overfilling
bahan pengisi saluran akar dapat mengakibatkan rasa nyeri. Selain itu keberhasilan
perawatan tidak dapat dijamin keberhasilannya, sehingga seorang dokter atau dokter
gigi yang memberikan jaminan keberhasilan perawatan padahal hasilnya tidak
sesuai, dapat dikenakan tuntutan.
Pasien berhak menuntut drg. Antonia, karena selain drg. Antonia dianggap
merugikan pasien, dalam menjalankan prakteknya drg. Antonia tidak memiliki SIP
yang merupakan kewajiban profesi dokter atau dokter gigi. Berdasarkan UU No 29
tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pasal 2 ayat 1 yang menyatakan bahwa
setiap Dokter dan Dokter Gigi yang menjalankan praktik kedokteran wajib memiliki
SIP, drg. Antonia dapat dikenakan tuduhan malpraktik administratif. Drg. Antonia
yang tidak memiliki SIPdalam waktu yang lama menandakan bahwa dia tidak
memperbaharuinya. Seperti yang diketahui, SIP dokter/dokter gigi berlaku sesuai
dengan masa berlaku Surat Tanda Registrasi (STR) yaitu 5 tahun. Salah satu syarat
untuk memperbarui STR adalah memiliki sertifikat kompetensi. Untuk mendapatkan
sertifikat kompetensi, selain dengan mengikuti uji kompetensi, yaitu dapat ditempuh
dengan mengikuti kegiatan ilmiah. Dengan mengikuti kegiatan ilmiah,dapat berguna
sebagai sarana mendapatkanpengetahuan mengenai perkembangan ilmu
kedokteran gigi saat ini, yang merupakan kewajiban dan syarat seorang profesi
dokter gigi untuk menimba ilmu.
Jika drg. Antonia rajin mengikuti kegiatan ilmiah untuk mengupdate
pengetahuan mengenai kedokteran gigi, tentunya drg.Antonia akan menghindari
penggunaan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar. Saat ini,
penggunaan pasta Sargenti sudah dihentikan oleh American Dental Association
(ADA) dan seluruh institusi kedokteran gigi di Amerika, karena penggunaan pasta
tersebut dinyatakan di bawah standar pelayanan kesehatan.
Ciri-ciri kelalaian adalah sifat kurang tahu seseorang terhadap sesuatu
(ignorance), sehingga menganggap apa yang dia lakukan adalah wajar dan benar,
padahal pada kenyataannya tidak. Ketidaktahuan drg. Antonia terhadap risiko
penggunaan pasta Sargenti sebagai bahan pengisi saluran akar merupakan suatu
kelalaian yang berakibat fatal pada pasien-pasiennya, walaupun drg. Antonia
dianggap telah mengikuti tata cara dan SOP yang benar dalam melakukan
perawatan saluran akar untuk kesembuhan pasien.
Drg. Antonia tidak menerapkan prinsip dasar etika yaitu non-maleficence.
Sesuai Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia pasal 11, dokter gigi di Indonesia wajib
melindungi pasien dari kerugian, seorang dokter gigi wajib bertindak efisien, efektif
dan berkualitas sesuai dengan kebutuhan dan persetujuan pasien, sebagaimana
yang telah dijelaskan pada kode etik kedokteran gigi Indonesia pasal 11 ayat 1.
Penggunaan pasta Sargenti dinilai kurang efektif karena tidak tepat guna sebagai
bahan pengisi saluran akar, karena saat ini telah banyak bahan pengisi yang lebih
aman dan biokompatibel.
Tindakan yang dilakukan drg. Antonia dapat menimbulkan perdebatan antara
suatu kelalaian atau malpraktek. Kelalaian memang termasuk dalam arti malpraktek,
tetapi malpraktek tidak selalu terjadi karena kelalaian. Malpraktek mempunyai
pengertian yang lebih luas daripada kelalaian. Karena selain mencakup arti
kelalaian, istilah malpraktek pun mencakup tindakan-tindakan yang dilakukan
dengan sengaja dan melanggar undang-undang. Didalam arti kesengajaan tersirat
adanya motif tertentu. Sedangkan arti kelalaian lebih diartikan suatu
ketidaksengajaan, kurang teliti, kurang hati-hati, dan kurang peduli, namun tujuannya
untuk suatu kebenaran.
Tindakan oleh drg. Antonia merupakan suatu kelalaian. Kelalaian yang
dilakukan drg. Antonia didasarkan pada kriteria kelalaian. Pada kasus di atas, drg.
Antonia telah melakukan:
1. Kewajiban dalam mengobati pasien (duty), tujuan drg. Antonia telah benar,
yaitu sesuai kewajiban dokter gigi untuk melayani kesehatan pasien untuk
kesembuhan pasien;
2. Pelanggaran terhadap kewajiban (dereliction of duty), karena dalam
melakukan kewajibannya drg. Antonia menggunakan pasta Serganti yang
tidak lagi diindikasikan secara medis, serta bukan merupakan standar
sebagai bahan pengisi saluran akar yang ditetapkan oleh standar profesi.
Selain itu dalam melaksanakan kewajibannya, drg. Antonia melanggar
kewajiban dengan tidak menginformasikan secara lengkap mengenai risiko
perawatan;
3. Tindakan yang merugikan (damage), dengan mengakibatkan pasien
mengalami nyeri dan burning mouth syndrome akibat penggunaan pasta
Sargenti; dan
4. Tindakan yang merugikan dalam melaksanakan kewajiban (direct cause),
karena rasa nyeri dan burning mouth syndrome yang dirasakan pasien
merupakan akibat penggunaan pasta Sargenti dalam rangka perawatan
dental.
Solusi alternatif untuk menyelesaikan sengketa medis pada kasus ini yaitu
dilakukannya mediasi (UU Kesehatan No. 36 Tahun 2009 pasal 29).untuk mencapai
kesepakatan win-win solution, membiarkan para pihak secara bebas menentukan
kesepakatan dan tetap menjaga hubungan baik antar pihak yang bersengketa untuk
memperoleh penyelesaian. Mediasi dapat dilakukan melalui jalur peradilan maupun
non peradilan dengan menggunakan mediator. Dasar hukum penyelenggaraan
mediasi telah diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) No. 1 Tahun
2008.
Mediasi dapat menyelesaikan masalah dengan cepat, efektif dan efesien.
Penyelesaian secara mediasi ini dapat dilakukan oleh BPPA, sebagai usaha
melakukan pembelaan terhadap anggota PDGI. Akhir dari proses mediasi adalah
mediasi dinyatakan gagal atau berhasil. Mediasi yang berhasil menghasilkan nota
perdamaian untuk diimplemetasikan oleh para pihak, atau sebelum
diimplementasikan dapat dimintakan putusan dari hakim pengadilan menjadi akta
perdamaian.
Seharusnya drg. Antonia tidak menggunakan pasta sargenti lagi karena
bahan tersebut sudah tidak memenuhi standar dan dapat merugikan serta menyakiti
pasien. Tindakan harus berlandaskan manfaat untuk pasien, untuk kesembuhan
pasien. Altruism seharusnya diterapkan oleh drg. Antonia pada pasien.

F. KESIMPULAN

Profesi tenaga kesehatan sangat rentan dengan masalah hukum malpraktik


maupun kelalaian. Dokter maupun dokter gigi harus selalu berhati-hati, mengikuti
prosedur, dan selalu memegang prinsip etika dan hukum agar tidak menyakiti pasien
dan terhindar dari masalah hukum dan sengketa medis.

G. DAFTAR PUSTAKA

Affandi, D., 2009, Mediasi: Alternatif Penyeleesaian Sengketa Medis, Maj Kedokt Indonesia, vol
59 (5)
Gunawan, 1992, Memahami Etika Kedokteran, Kanisius, Yogyakarta.
Guwandi, J., 1991. Etika dan Hukum Kedokteran. Jakarta : Balai Penerbitan Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Isfandyarie, A., 2005, Malpraktik dan Resiko Medis Dalam Kajian Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka, Jakarta.
Kode Etik Kedokteran Gigi Indonesia pasal 11.
Moore, C.W., 2003, The Mediation Process: Practical Strategies for Re- Solving
Conflict, 3rd ed., Willey Imprint, San Fransisco.
PeraturanMahkamahAgungRepublik Indonesia Nomor 1 Tahun 2008
TentangProsedurMediasi di PengadilanMahkamahAgungRepublik Indonesia.
Purwadianto, A., 2007, Segi Kontekstual Pemilihan Prima Facie Kasus Dilemma Etik
dan Penyelesaian Kasus Konkrit Etik , dalam bahan bacaan Program Non
Gelar, Blok II Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.
UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Sampurno, B., 2005, Malpraktik Dalam Pelayanan Kedokteran. Materi
seminar tidak diterbitkan.
Soedjatmiko, 2001, Masalah Medik dalam Malpraktek Yuridik, Citra Aditya Bakti,
Malang.
T o n i a , A . , 1 9 9 4 , Legal, Ethical, Political Issues In Nursing, 2nd Ed., FA Davis,
Philadelphia.
Wiradharma, D., 1999, Penuntun Kuliah Kedokteran dan Hukum Kesehatan, EGC,
Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai