PATOGENESIS HALITOSIS
Disusun Oleh :
KELOMPOK 16
M. Nabil
04031281419031
Rafika Putri
04031281419032
04031281419033
Fadlun Alawiyah
04031281419034
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
FAKULTAS KEDOKTERAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER GIGI
INDRALAYA
2016
HALITOSIS
Definisi
Oral malodor atau halitosis adalah suatu kondisi yang ditandai dengan bau yang tidak
menyenangkan yang berasal dari rongga mulut. Halitosis, Oral malodor atau bad breath bisa
berasal dari fisiologis atau sumber patologis dan telah diperkirakan muncul secara kronis dari
setengah populasi. Komponen odor berasal dari insipirasi ke dalam paru-paru lalu
diekspirasikan. Hal ini terjadi ketika bau (dari makanan atau tembakau) yang tertelan dan
terhirup atau ketika secara patologis yang dihasilkan senyawa odiferous (intraoral atau
sistemik) masuk kedalam paru-paru.
Halitosis berasal dari sumber mulut telah diperkirakan terjadi 40 sampai 90% kasus,
bagaimanapun, ini juga dapat timbul dari penyakit sistemik. Halitosis bukan suatu penyakit,
tetapi hanya merupakan suatu gejala dari adanya suatu kelainan atau penyakit yang tidak
disadari atau hanya sekedar merupakan keluhan saja.
Klasifikasi Halitosis
protein dan memproduksi beberapa zat berbau busuk yaitu, Senyawa sulfur volatil
(VSCs), terutama hidrogen Sulfide (H2S) dan metil merkaptan (CH3SH).
C5H11NO2S
Fusobacterium nucleatum
Prevotella intermedia
Porphyromonas gingivalis
anaerobius
Fusobacterium
Prevotella loescheii
(BANA positive)
Micros prevotti
periodonticum
Porphyromonas
Treponema denticola
Eubacterium limosum
Eubacterium spp.
Gingivalis
Bacteroides spp.
Bacteroides spp.
positive)
Porphyromonas
Centipedia periodontii
Treponema denticola
Endodontalis
Selenomonas artermidis
(BANA positive)
Kategori
Komponen Sulfur
(BANA
(BANA positive)
Dimethyl trisulfide
Propionic acid
Butyric acid
Valeric acid
Isocaproic acid
Capric acid
2-and 3-ethyl butyric acid
Lauric acid
Polyamina
Myristic acid
Cadaverine
Alkohol
Komponen phenyl
Putrescine
1-propoxy-2-propanol
Indole
Skatole
Alkanines
Ketones
Nitrogen-containing compounds
VOCs = Volatile organic compounds
Pyridine
2-methyl-propane
Urea, ammonia
Etiologi Halitosis
Oral causes
Etiologi Halitosis
Gram-negative anaerobic bacteria, impaksi makanan, Gingivitis, periodontitis,
periapikal abses, lesi vesikobulosa, Tongue coating, Plak dan kalkulus, karies
A. Oral causes
- Tongue coating
Tongue coating adalah lapisan berwarna putih, kuning, atau kecoklatan di punggung
lidah (dorsal), yang disebabkan oleh adanya akumulasi dari debris makanan, leukosit, sel
epitel yang terdeskuamasi dan deposit dari poket periodontal. Lapisan ini dapat bervariasi
dalam ukuran, ketebalan, dan warna dimana hal itu tergantung dari aktivitas oral individu
(misalnya, makan, minum, merokok), kebersihan mulut, dan parameter yang berhubungan
dengan kesehatan mulut. Permukaan lidah terutama bagian posterior merupakan tempat yang
ideal untuk akumulasi retensi makanan. Hal itu dikarenakan bagian posterior dorsal lidah
merupakan tempat yang sukar dijangkau atau dibersihkan dengan sikat (lapisan keputihan
lidah). Adanya struktur anatomis yang khas pada papilla terutama papilla filiformis yang
panjang pada bagian posterior dorsal lidah ( meyerupai lembah dan celah ) di tambah dengan
lingkungan yang rendah oksigen membuat lidah menjadi tempat utama aktivitas dan
perkembangbiakan bakteri anaerob yang aktivitas pembusukannya menghasilkan volatile
sulfur compound berupa H2S. Hal itulah yang menyebabkan tongue coating menjadi salah
satu faktor local penyebab halitosis.
-
Pada plak dan kalkulus terdapat koloni bakteri yang berkembang biak dan melakukan
aktivitas pembusukan dan menghasilkan produk komponen volatile sulfur yang menyebabkan
bau yang tidak sedap pada mulut. Bakteri yang berkontribusi seperti Spesies Streptococcus
seperti Streprococcus salivarius, Actinomyces viscosus, umumnya spesies oral malodor yang
dominan berada pada plak supragingiva. Sedangkan bakteri gram negative anaerob seperti
Fusobacterim nucleatum, prevotella intermedia, Campylobacter rectus, Tannerella forsythia,
Porphyromonas gingivalis dan Treponema denticola umumnya dominan pada plak
subgingiva. .
-
Lactobacillus acidophilus, Fusobacterium nucleatum. Selain itu, pada abses periapikal pus
pada abses mengandung Indole (C8H7N), gas amonia yang merupakan komponen oral
malodor. Komponen ini lalu keluar melalui nafas dan mengakibatkan halitosis.
-
Gingivitis, periodontitis
Gingivitis dan periodontitis bisa menyebabkan bau mulut pada seseorang. Gingiva
yang tidak sehat atau adanya poket pada periodontitis bisa menjadi media untuk bakteri
berkembang biak. Halitosis (bau mulut) dapat berhubungan dengan infeksi gingivitis karena
keduanya disebabkan oleh bakteri. Bakteri menyebabkan gingivitis. Dan bakteri bertanggung
jawab menyebabkan bau mulut. Beberapa mikroorganisme bau mulut yang berhubungan
dengan gingivitis dan periodontitis Fusobacterim nucleatum, Prevotella intermedia,
Tannerella forsythia, Porphyromonas gingivalis, Treponema denticola
-
Impaksi makanan
Sisa makanan yang terselip di celah interdental lama-kelamaan akan membusuk dan
menjadi sumber makanan bagi bakteri. Bakteri akan mengeluarkan enzim protease untuk
menguraikan protein menjadi asam amino yang mengandung sulfur seperti sistein dan
metionin. Lalu senyawa ini akan bereaksi dengan kandungan air dalam saliva dan
membentuk Volatile sulfur compound (VSC). Komponen inilah yang berperan dalam oral
malodor / halitosis.
-
Lesi Vesikobulosa
Ketika lesi vesikobulosa pecah terbentuklah ulser yang tidak mendapat suplai nutrisi
dari pembuluh darah. Hal ini mengakibatkan sel-sel disekitar lesi tidak mendapat nutrisi dan
akhirnya mati. Seperti yang dikatakan sebelumnya, sel-sel yang mati akan menjadi sumber
makanan bagi bakteri untuk melakukan metabolisme. Enzim protease dari bakteri akan
menguraikan protein menjadi asam amino yang mengandung sulfur seperti sistein dan
metionin. Lalu senyawa ini akan bereaksi dengan kandungan air dalam saliva dan
membentuk Volatile sulfur compound (VSC). Komponen inilah yang berperan dalam oral
malodor / halitosis.
-
Dry Socket
Dry socket merupakan komplikasi umum setelah pencabutan gigi, terbukanya dinding
soket disebabkan adanya gangguan pembentukan bekuan darah normal yang terjadi pada
tahap proliferasi jaringan granulasi dan pembentukan jaringan osteoid. Pada dry soket ini
kondisi jaringan disekitar kering dan tidak mendapat suplai nutrisi dari pembuluh darah
sehingga sel-sel yang ada disini mati. Selain itu, luka dry soket yang dalam menjadi tempat
menumpuknya sisa makanan dan sulit untuk dibersihkan. Sisa makanan yang busuk dan selsel yang mati menjadi sumber makanan bagi bakteri untuk melakukan metabolisme. Dimana
produk samping dari hasil metabolisme tersebut adalah VSC yang merupakan komponen
penyebab halitosis.
B. Penyakit sistemik
1. Pencernaan
- GERD
Gastro-esophageal reflux disease didefinisikan sebagai suatu keadaan patologis
sebagai akibat refluks kandungan lambung ke dalam esophagus yang menimbulkan berbagai
gejala yang menggangu di esophagus maupun ekstra-esophagus. Akibat dari refluks, asam
lambung maik ke esophagus dan menyebabkan kondisi mulut menjadi asam dan aktifitas
bakteri meningkat. Oleh sebab ituhasil produk sampingan bakteri yaitu VSC yang berperan
sebagai komponen oral malodor/ halitosis juga meningkat.
-
Penyakit Liver
Salah satu fungsi hati adalah membentuk urea dari perombakan asam amino. Ketika
hati mengalami gangguan, kadar urea akan meningkat. Urea ini akan diubah menjadi amonia
dengan bantuan enzim urease oleh bakteri (Helicobacter pylori dan sel epitel pada lambung).
Hal inilah yang menyebabkan penderita penyakit liver mengeluarkan bau mulut seperti
amonia.
2. Pernafasan & THT
- Sinusitis
Pada penderita sinusitis umumnya terdapat kumpulan lendir di daerah sinus sehingga
menyulitkan penderita bernafas melalui hidung. Penderita sinusitis biasanya bernafas melalui
mulut, hal ini menyebabkan kondisi mulut menjadi kering, sekresi saliva menurun, aliran
saliva menurun sehingga aktivitas bakteri meningkat.
-
Asma
Asma adalah penyakit jangka panjang atau kronis pada saluran pernapasan yang
ditandai dengan peradangan dan penyempitan saluran napas yang menyebabkan sesak napas
atau sulit bernapas. Kesulitan bernapas ini menyebabkan asupan oksigen dalam tubuh
berkurang sehingga penderita asma biasanya bernapas melalui mulut untuk meningkatkan
asupan oksigen. Kondisi ini menyebabkan suasana kering di dalam mulut (xerostomia). Jika
mulut kering, self cleansing dalam mulut menjadi berkurang dan aktivitas bakteri menjadi
meningkat. Bakteri ini akan mengalami metabolisme dengan produk samping VSC, inilah
yang menimbulkan bau mulut.
Tonsillolith
Tonsillolith atau yang dikenal sebagai batu tonsil merupakan kalsifikasi yang terjadi di
tonsil tepatnya di kripta tonsil palatina. Kalsifikasi tersebut membentuk seperti batu berwarna
putih keabu-abuan atau putih kekuning-kuningan. Proses terjadinya tonsillolith diawali dari
adanya akumulasi debris epitel, debris makanan, bakteri, dan serum yang terkumpul di kripta
tonsil palatina yang akhirnya membentuk deposit dan terdiri dari mineral dan garam
anorganik yang berasal dari sekresi saliva di rongga mulut. Hal ini dapat memfasilitasi
bakteri anaerob untuk tumbuh di kripta tonsilar. Bakteri anaerob menghasilkan senyawa
VSCs yang merupakan komponen oral malodor sehingga penderita bernafas mengeluarkan
bau yang tidak sedap.
-
Bronkiektasis
Bronkiektasis adalah pelebaran atau dilatasi bronkus local dan permanen sebagai
akibat kerusakan struktur dinding yang bersifat patologis dan berjalan kronik sehingga
menyebabkan obstruksi aliran udara dan menimbulkan sesak, serta gangguan pembersihan
mukus. Perubahan bronkus tersebut disebabkan oleh perubahan-perubahan dalam dinding
bronkus berupa destruksi elemen-elemen elastis dan otot-otot polos bronkus. Pada penderita
bronkiektasis penderita biasanya mengeluhkan batuk kronik disertai produksi sputum. Gejala
klinik ini timbul sebagai akibat gangguan fungsi silia dan adanya stasis secret sehingga
memungkinkan secret terkumpul di segmen yang mengalami dilatasi. Jumlah sputum yang
dihasilkan bervariasi, umumnya jumlahnya banyak terutama pada pagi hari sesudah ada
perubahan posisi tidur atau bangun. Kalau tidak ada infeksi sekunder sputumnya mukoid,
sedangkan apabila terjadi infeksi sekunder sputumnya purulen, dapat memberikan bau mulut
yang tidak sedap. Apabila terjadi infeksi sekunder oleh kuman anaerob akan menimbulkan
sputum sangat berbau busuk. Selain itu keluhan lain berrupa hemoptisis atau hemoptoe
(batuk darah). Keluhan ini terjadi akibat nekrosis atau destruksi mukosa bronkus mengenai
pembuluh darah dan timbul perdarahan.Perdarahan yang terjadi bervariasi mulai yang paling
ringan sampai perdarahan yang cukup banyak apabila nekrosis yang mengenai mukosa amat
hebat atau terjadi nekrosis yang mengenai cabang arteri bronkialis (darah berasal dari
peredaran darah sistemik). Ketika pasien mengalami hemoptisis maka prtein yang berasal
dari darah akan di metabolisme oleh bakteri yang ada dimulut dan akan mengakibatkan bau
mulut.
-
Otitis
Otitis adalah infeksi yang terjadi di telinga tengah, dimana terdapat penggumpalan
lendir/ pus pada telinga tengah tersebut. Pada telinga terdapat saluran eustachius menyalurkan
udara ke pernafasan dan mulut. Pada pus tersebut mengandung Indole(C8H7N), dan gas
amonia yang merupakan komponen oral malodor. Ketika udara masuk melaui saluran
eustachius, aroma dari pus tersebut dialirkan ke mulut dan hidung sehingga keluar bau nafas
yang tidak sedap pada penderita otitis.
3. Cardiovascular
- Demam Rheumatic
Pada demam rheumatic terjadi infeksi yang disebabkan oleh streptococcus grup A yang
berpengaruh ke faring. Dimana bakteri tersebut akan bermetabolisme dan menghasilkan
produk sampingan berupa VSC. Hal ini menyebabkan penderita terus bernafas yang
mengandung VSC dan terjadilah halitosis. Selain faring penyakit demam rheumatic juga
menginfeksi jantung dimana hal ini akan mengakibatkan kerja jantung menjadi berkurang
sehingga sirkulasi darah yang membawa oksigen ke seluruh tubuh berkurang dan terjadilah
penurunan energi. Apabila hal ini terjadi maka tubuh untuk mendapatkan energi akan
melakukan metabolisme anaerob yang terdapat dari sel otot yang menhasilkan asam laktat
sebagai produk sampingannya. Keadaan ini akan memfasilitasi bakteri anaerob untuk tumbuh
dan menghasilkan VSC sebagai komponen oral malodor. Selain itu, Asam laktat (C 3H6O3)
yang menumpuk dalam darah akan diekskresikan melalui urin, keringat dan nafas, sehingga
hal inilah yang menyebabkan penderita demam rheumatic mengalami halitosis.
4. Kelainan darah
- Anemia
Anemia berarti kadar hemoglobin dalam darah menurun. Ini menyebabkan suplai
nutrisi untuk sel juga menurun, termasuk sel asiar. Sel asinar berperan dalam proses sekresi
saliva. Ketika sel asinar tidak mendapatkan suplai nutrisi, sekresi saliva menurun dan terjadi
xerostomia. Kondisi mulut kering sehingga self cleansing kurang dan aktivitas bakteri
meningkat. Metabolisme bakteri menghasilkan produk samping berupa VSC dan terjadilah
halitosis.
-
Trombositopenia
pembekuan darah pun menurun, sehingga resiko pendarahan cenderung lebih tinggi dan
proses penyembuhan terhambat. Di dalam darah mengandung logam-logam (Fe, Mg, K, Na,
Ca dan lain-lain). Dimana apabila terjadi pendarahan didalam rongga mulut maka akan
terjadi kontak antara unsur logam dalam darah dengan lemak pada mukosa mulut. Sehingga
lemak teroksidasi oleh unsur-unsur logam tersebut dan menghasilkan produk sampingan
berupa aseton ((CH3)2CO) dan aldehid. Produk inilah yang memberikan efek halitosis pada
penderita hemofilia.
-
Hemofilia
Hemofili adalah suatu penyakit yang menyebabkan tubuh kekurangan protein yang
dibutuhkan dalam proses pembekuan darah bilamana terjadi pendarahan. Protein ini biasanya
disebut sebagai faktor koagulasi. Pada penderita hemofili proses penyembuhan luka atau
pembekuan darah cenderung lebih lama, kalaupun terjadi pembekuan darah tidak sekuat
bekuan darah orang normal atau cenderung lebih lunak. Hal ini menyebabkan penderita
hemofili sering mengalami pendarahan. Di dalam darah mengandung logam logam (Fe, Mg,
K, Na, Ca dan lain-lain). Dimana apabila terjadi pendarahan didalam rongga mulut maka
akan terjadi kontak antara unsur logam dalam darah dengan lemak pada mukosa mulut.
Sehingga lemak teroksidasi oleh unsur-unsur logam tersebut dan menghasilkan produk
sampingan berupa aseton dan aldehid. Produk inilah yang memberikan efek halitosis pada
penderita hemofilia.
5. Endokrin
- Hipotiroid
Pada penderita hipotiroid hormon tiroid khususnya triodotionin (T3), tiroksin (T4), dan
calsitonin menurun. Dimana hormon T3 dan T4 berfungsi mengatur metabolisme tubuh,
pertumbuhan dan maturasi jaringan, pergantian sel dan nutrisi. Hormon T3 dan T4 yang
menurun akan menyebabkan proses metabolisme tubuh pun ikut menurun sehingga sel-sel
tubuh kurang mendapat asupan asupan nutrisi. Salah satu sel yang berdampak ialah sel asinar
yang merupakan sel yang berperan dalam menghasilkan saliva. Akibatnya produksi saliva
dalam mulut menurun dan menyebabkan penderita mengalami xerostomia. Kondisi ini
memungkinkan bakteri untuk tumbuh dan menghasilkan VSC sebagai komponen oral
malodor/ halitosis. Hal inilah yang akhirnya menyebabkan rongga mulut penderita hipotiroid
memiliki nafas yang bau.
-
Hipertiroid
Pada penderita hipertiroid, hormon triodotionin (T3), tiroksin (T4), dan calsitonin
meningkat. Dimana hormon T3 dan T4 berfungsi mengatur metabolisme tubuh, pertumbuhan
dan maturasi jaringan, pergantian sel dan nutrisi, selain itu hormon kalsitonin berfungsi untuk
mengatur kadar kalsium dan fosfor dalam darah. Hormon T3 dan T4 yang meningkat akan
menyebabkan proses metabolisme tubuh yang berlebihan sehingga tubuh tidak hanya
memetabolisme karbohidrat tetapi tubuh juga memetabolisme lemak. Dimana hasil
metabolisme lemak memiliki produk samping yaitu keton. Hal inilah yang menyebabkan
penderita hipertiroid memiliki nafas yang berbau aseton ((CH3)2CO). Selain itu hormon
kalsitonin yang meningkat menyebabkan kadar kalsium dalam darah ikut meningkat,
sehingga kandungan kalsium dalam saliva juga ikut meningkat. Hal ini memungkinkan
terjadinya kalsifikasi batu kelenjar saliva yang akan menyebabkan obstruksi kelenjar saliva.
Apabila hal ini terjadi maka mulut akan menjadi kering dan memungkinkan bakteri untuk
tumbuh dan menghasilkan VSC sebagai komponen oral malodor/ halitosis.
-
Diabetes
Diabetes melitus dapat menyebabkan bau mulut melalui dua cara. Pada kondisi
hiperglikemi pasien akan mengalami vasokonstriksi pembuluh darah sehingga aliran
pembuluh darah ke saliva menurun, hal ini menyebabkan sel asinar mengalami apoptosis.
Ketika sel asinar apoptosis maka sekresi saliva menurun dan menyebabkan xerostomia yang
memungkinkan bakteri dapat dengan mudah berkembangbiak. Disisi lain, pada penderita
diabetes melitus umumnya tubuh tidak mampu untuk menggunakan glukosa sebagai sumber
bahan bakar karena pasien tidak menghasilkan cukup insulin, dan karena itu lemak yang
digunakan sebagai gantinya. Karena hal itu terjadi menyebakan terbentuknya molekul asam
(keton) sebagai produk sampingan dari lemak. Karena hal ini berlangsung terus menerus
terjadi peningkatan kadar keton dalam darah. Tingginya kadar keton akan membuat pH dalam
darah menjadi asam. Namun tubuh memiliki cara alami untuk menyingkirkan/ eliminasi
keton, yaitu melalui paru-paru dan ginjal. Keton dieleminasi ke paru paru (daerah
pernapasan) dan membuat bau mulut pasien seperti aseton ((CH3)2CO).
6. Ginjal
- Gagal ginjal
Urea merupakan senyawa kimia organik yang dihasilkan dari proses metabolisme
protein pada ginjal. Kadar urea dalam tubuh berkaitan dengan protein (katabolisme protein).
Protein yang berasal dari pakan akan mengalami perombakan di saluran pencernaan
(duodenum) menjadi molekul sederhana yaitu asam amino dengan bantuan enzim pepsin.
Saat kadar asam amino di tubuh berlebih asam amino akan diuraikan menjadi ammonia (zat
toksik). Karena ammonia yang diuraikan masih bersifat toksik, tubuh memiliki cara sendiri
mengeliminasi ammonia tadi dengan cara organ hati dengan bantuan enzim arginase
mengubah arginin menjadi ornitin dan urea. Selanjutnya urea akan dibuang melalui ginjal dan
ornitin mengikat ammonia yang bersifat toksik tadi dan dikeluarkan ke empedu dan ginjal .
Saat ginjal mengalami kegagalan fungsi, ginjal tidak bisa mensekresikan urea keluar melalui
urin. Sehingga urea yang tidak bisa dieksresikan tadi menumpuk didalam darah. Atau disebut
dengan uremia. Ketika urea menumpuk di dalam darah, urea akan masuk kedalam saluran
pernapasan (paru paru) yang diedarkan melalui pembuluh darah. Urea sebenarnya tidak
bersifat racun, namun apabila konsentrasi urea berlebih oleh bakteri (Helicobacter pylori)
dengan bantuan enzim urease diubah menjadi ammonia. Dan ini menyebabkan orang yang
gagal ginjal memiliki masalah pernapasan seperti bau nafas seperti ammonia.
C. Eksogen
- Diet (bawang merah (alliin), bawang putih (dimetil sulfida), pete (hidrogen
sulfida), jengkol (hidrogen sulfida), durian (hidrogen sulfida), keju (laktosa),
yogurt (laktosa).
Makanan yang mengandung senyawa sulfur
Terdapat beberapa makanan yang mengandung senyawa sulfur yang biasa kita konsumsi
salah satunya bawang putih, bawang merah, seafood mentah, jengkol, petai, asparagus, dan
durian. kandungan senyawa sulfur yang terdapat pada makanan tersebut bisa menyebabkan
mulut memiliki bau tidak sedap. Di saluran pencernaan, senyawa tadi diserap lalu
didistribusikan oleh darah ke seluruh tubuh termasuk paru-paru. Dari paru-paru, uapnya ikut
keluar bersama udara pernapasan dan memicu bau mulut.
Makanan yang mengandung laktosa
Di dalam mulut, susu dan berbagai produk olahannya termasuk keju dan yoghurt dapat
membentuk senyawa amino. Senyawa ini didapat dari kandungan protein keju yoghurt dan
susu yang menempel di permukaan lidah. Senyawa ini diubah menjadi senyawa sulfur oleh
mikroba alami yang terdapat di permukaan lidah sehingga baunya menjadi tidak sedap.
-
Penggunaan tembakau
Unsur rokok tembakau diperkirakan terdiri dari 4000 campuran, sebagian besar bersifat
toksik, mutagenik, dan karsinogenik. Asap tembakau mengandung ribuan bahan kimia
berbahaya, dan itu terdiri dari fase gas dan padat. Substansi toksik dalam bentuk gas, dapat
berupa karbon monoksida (CO), hidrogen sianida (HCN), oksida nitrogen, serta zat kimia
yang volatil seperti nitrosamin, formaldehid yang banyak terdapat dalam asap rokok. Selain
mengandung bahan-bahan yang bersifat toksik, di dalam asap rokok juga terdapat zat-zat
yang bisa menghasilkan bau mulut. Yaitu adanya kandungan hydrogen sulfida. Adanya
kandungan volatile sulfure ini merupakan salah satu yang membuat bau mulut perokok
menjadi berbau khas. Akibat Kebiasaan merokok bisa menyebabkan temperatur mulut
menjadi meningkat,berkurangnya aliran saliva sehingga meyebabkan terjadinya peningkatan
populasi bakteri anaerob yang ada di rongga mulut. Saliva diketahui memiliki kemampuan
antimikroba, yang jika keberadaannya menurun dapat menyebabkan kerentanan infeksi
terutama pada oral. Ketika saliva menurun maka akumulasi bakteri akan meningkat. Dengan
meningkatnya akumulasi bakteri tentu juga meningkatkan aktivitas pembusukan bakteri
anaerob yang bisa menyebabkan hasil produk pembusukan meningkat dan menyebabkan bau
mulut.
-
Radiasi
Radiasi dapat menyebabkan kerusakan pada DNA seperti perubahan pada struktur basa
nitrogen, putusnya ikatan hidrogen antar basa. Ketika DNA rusak sel juga akan ikut mati
termasuk sel asinar. Hal ini akan menyebabkan produksi saliva menurun dan self cleansing
menurun. Kondisi mulut yang kering menyebabkan aktifitas bakteri meningkat. Aktifitas
bakteri yang meningkat menyebabkan produk samping dari hasil metabolisme yang berupa
VSC juga meningkat. Hal inilah yang menyebabkan halitosis.
Daftar Pustaka
Lee. S. Sean, Breath Causes, Diagnosis, and Treatment Oral Malodor 2nd Edition. 2007.
Kirsch Media
Michael Glick. Burkets Oral Medicine. 12th Ed. 2015. Peoples Medical Publishing House.
Motta LJ, Bachiega JC, Guedes CC, Laranja LT, Bussadori SK. Association between halitosis
and mouth breathing in children. Clinics (Sao Paulo). Jun 2011; 66(6): 939 42.
Ajay Benerji Kotti, R. V. Subramanyam. 2015. Oral malodor: A review of etiology and
pathogenesis. India : Journal of Dr. NTR University of Health Sciences
S R Porter, C Scully. 2006. Oral malodour (halitosis) Clinical review. London : BMJ
VOLUME 333.
Curd ML Bollen and Thomas Beikler. 2012. Halitosis: the multidisciplinary approach a
review. Du sseldorf : International Journal of Oral Science
Ajay Benerji Kotti, R. V. Subramanyam. Oral Malodor: A review of Etiology and
Pathogenesis. Department of Oral Pathology, Anil Neerukonda Institute of Dental
Sciences. 2015
Richard Pereira. Diagnosis and Treatment of Halitosis : An Overview. Journal of
Contemporary Dentistry. September December 2012.
Walter Loesche. Halitosis : An Overview of Epidemiology, Etiology and Clinical
Management. Department of Periodontology, Dental School, Universidade Federal do
Rio Grande do Sul, Porto Alegre, RS, Brazil.