PENDAHULUAN
Halitosis adalah suatu istilah umum yang digunakan untuk menerangkan adanya
bau yang tak sedap sewaktu menghembuskan udara, tanpa melihat apakah substansi bau
berasal dari oral ataupun berasal dari non-oral.1,2 Halitosis ini sendiri ialah masalah yang
umum dijumpai dalam masyarakat, dan perawatan ke dokter atau dokter gigi kerap
dilakukan setelah timbul masalah sosial.1
Sebuah penelitian yang dilakukan di Jepang menunjukan bahwa 6-23% dari
populasi penduduk merasa menderita karena bau mulut.3 Rsing dan Walter Loesche
dalam penelitiannya menemukan bahwa halitosis kronis yang sedang ditemukan pada
sekitar sepertiga dari kelompok penelitiannya, sedangkan halitosis parah mungkin
melibatkan kurang dari 5% dari populasi. Hal ini jelas bahwa halitosis adalah masalah.4
Penyebab halitosis belum diketahui sepenuhnya, sebagian besar penyebab yang
diketahui berasal dari sisa makanan yang tertinggal di dalam rongga mulut yang diproses
oleh flora normal rongga mulut. Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu
mendapat perhatian khusus karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar
terhadap timbulnya halitosis pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang
interdental dan gigi geligi.2,4
Kondisi mulut yang dapat memicu terjadinya bau mulut ialah kurangnya aliran
saliva, berhentinya aliran saliva, meningkatnya bakteri Gram negatif anaerob,
meningkatnya jumlah protein makanan, pH rongga mulut yang lebih bersifat alkali dan
meningkatnya jumlah sel-sel mati dan sel epitel nekrotik didalam mulut.1
Daerah di antara papila-papila serta dasar lidah merupakan tempat yang paling
disukai bakteri khususnya bakteri anaerob. Ruang interdental merupakan tempat yang
kondusif untuk aktifitas bakteri anaerob, karena ruang tersebut merupakan tempat
akumulasi plak dan kalkulus, serta terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan
terjadinya poket serta penyakit-penyakit gusi dan periodontal.5,6
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi
dan dapat memicu terjadinya halitosis yang disebabkan bakteri Gram negatif seperti
Prevotella, Veillonella, Fusobacterium nucleatum dan Porphyromonas gingivalis
tersembunyi di dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang bau.
Bakteri Porphyromonas gingivalis dapat menjadi salah satu bakteri yang bisa menjadi
penyebab dari terjadinya halitosis.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Kelenjar parotis
Kelenjar parotis merupakan kelenjar saliva yang terbesar, terletak di regio
preaurikula dan berada dalam jaringan subkutis. Kelenjar ini memproduksi sekret yang
sebagian besar berasal dari sel-sel asini. Kelenjar parotis terbagi oleh nervus fasialis
menjadi kelenjar supraneural dan kelenjar infraneural. Kelenjar supraneural ukurannya
lebih besar daripada kelenjar infraneural. Kelenjar parotis terletak pada daerah
triangular yang selain kelenjar parotis, terdapat pula pembuluh darah, saraf, serta
kelenjar limfatik.8
Produk dari kelenjar saliva disalurkan melalui duktus Stensen yang keluar dari
sebelah anterior kelenjar parotis, yaitu sekitar 1,5 cm di bawah zigoma. Duktus ini
memiliki panjang sekitar 4-6 cm dan berjalan ke anterior menyilang muskulus
maseter, berputar ke medial dan menembus muskulus businator dan berakhir dalam
rongga mulut di seberang molar kedua atas. Duktus ini berjalan bersama dengan
nervus fasialis cabang bukal.8
b.
Kelenjar submandibula
Kelenjar submandibula merupakan kelenjar saliva terbesar kedua setelah kelenjar
parotis. Kelenjar ini menghasilkan sekret mukoid maupun serosa, berada d isegitiga
submandibula yang pada bagian anterior dan posterior dibentuk oleh muskulus
digastrikus dan inferior oleh mandibula. Kelenjar ini berada di medial dan inferior
ramus mandibula dan berada di sekeliling muskulus milohioid, membentuk huruf C
serta membentuk lobus superfisial dan profunda.8
Lobus superfisial kelenjar submandibula berada di ruang sublingual lateral. Lobus
profunda berada di sebelah inferior muskulus milohioid dan merupakan bagian yang
terbesar dari kelenjar. Kelenjar ini dilapisi oleh fasia leher dalam bagian superfisial.
Sekret dialirkan melalui duktus Wharton yangkeluar dari permukaan medial kelenjar
dan berjalan di antara muskulus milohioid. danmuskulus hioglosus menuju muskulus
genioglosus. Duktus ini memiliki panjang kurang lebih 5 cm, berjalan bersama dengan
nervus hipoglosus di sebelahinferior dan nervus lingualis di sebelah superior,
kemudian berakhir dalam rongga mulut di sebelah lateral frenulum lingual di dasar
mulut.8
c.
Kelenjar sublingual
Kelenjar sublingual merupakan kelenjar saliva mayor yang paling kecil. Kelenjar
ini berada di dalam mukosa di asar mulut, dan terdiri dari sel-sel asini yang
mensekresi mukus. Kelenjar ini berbatasan dengan mandibula dan muskulus
genioglosus di bagian lateral, sedangkan di bagian inferior dibatasi oleh muskulus
milohioid.8
2) Kelenjar saliva minor
Kelenjar saliva minor sangat banyak jumlahnya, berkisar antara 600 sampai 1000
kelenjar. Di antaranya ada yang memproduksi cairan serosa, mukoid, ataupun
keduanya. Masing-masing kelenjar memiliki duktus yang bermuara di dalam rongga
mulut. Kelenjar ini tersebar di daerah bukal, labium, palatum, serta lingual. Kelenjar
ini juga bisa didapatkan pada kutub superior tonsil palatina (kelenjar Weber), pilar
tonsilaris serta di pangkal lidah. Suplai darah berasal dari arteri di sekitar rongga
mulut, begitu juga drainase kelenjar getah bening mengikuti saluran limfatik di daerah
rongga mulut.8
Produksi Saliva8
Produksi saliva merupakan suatu proses yang aktif dan terdiri dari dua fase, yakni
fase sekresi primer di mana proses ini terjadi pada sel asiner. Hasil sekresi ini serupa
dengan plasma baik komposisi maupun omolaritasnya. Fase kedua yakni sekresi
duktus, dihasilkan pada suatu cairan saliva yang bersifat hipotonik. Ini juga dihasilkan
pada penurunan kadar sodium dan peningkatan potassium di akhir proses produksinya.
Duktus saliva sangat bergantung pada cotransporter Na / K / 2Cl. Sel-sel duktus
mempertahankan potensial negatif membran saat istirahat, dan sel-sel ini mengalami
hiperpolarisasi sekunder untuk mengeluarkan kalium dan memasukan klorida dengan
stimulasi saraf otonom.Ini tidak biasa, dan disebut sebagai "potensi sekretori", karena
banyak sell yang muda berpolarisasi (bukan hyperpolarize) dengan stimulus.
Kelenjar submandibula dan parotis mempunyai sistem tubuloasiner, sedangkan
kelenjar sublingual memiliki sistem sekresi yang lebih sederhana. Kelenjar parotis
hanya memiliki sel-sel asini yang memproduksi sekret yang encer, sedangkan kelenjar
sublingual memiliki sel-sel asini mukus yang memproduksi sekret yang lebih kental.
Kelenjar submandibula memiliki kedua jenis sel asini sehingga memproduksi sekret
baik serosa maupun mukoid. Kelenjar saliva minor juga memiliki kedua jenis sel asini
yang memproduksi kedua jenis sekret.
Inervasi Autonom Dan Sekresi Saliva
a.
saliva untuk menghasilkan sekret kental yang kaya akan kandungan organik dan
anorganik.8
Anatomi dasar gigi terdiri dari bagian mahkota dan akar ter;ihat didalam mulut,
sedangkan bagian akar terbenam didalam tulang rahang dan gusi. Struktur
pendukung gigi terdiri atas; ligamentum periodontal, sementum, dan tulang
alveolar/ proseus alveolar.9
a. Ligamentum Periodontal
Ligamen periodontal terdiri atas pembuluh darah yang kompleks dan serabut
jaringan ikat (kolagen) yang mengelilingi akar gigi dan melekat ke prosesus
alveolar (inner wall of the alveolar bone).6
a) Fungsi ligamentum periodontal.6,9
- Fungsi fisik
i.
ii.
iii.
iv.
v.
i.
ii.
ii.
b. Sementum9,10
Sementum adalah struktur terkalsifikasi (avaskuler mesenchymal) yang
menutupi permukaan luar anatomis akar, terdiri atas matriks terkalsifikasi yang
mengandung serabut kolagen.
c. Tulang Alveolar6
Tulang alveolar (prosesus alveolar) adalah bagian tulang rahang (maksila
dan mandibula) yang membentuk dan mendukung soket (alveoli) gigi.
2. Definisi
Halitosis merupakan satu istilah yang digunakan untuk menunjukkan bau nafas
yang tak sedap atau bau mulut yang tidak menyenangkan yang disebabkan faktorfaktor fisiologis atau patologis yang dapat berasal dari mulut atau sistemik. Halitosis
bukan suatu penyakit, tetapi hanya merupakan suatu gejala dari adanya suatu kelainan
atau penyakit yang tidak disadari atau hanya sekedar merupakan keluhan saja.
Halitosis ini sendiri ialah masalah yang umum menyerang 50% dari populasi orang
dewasa.1,2
Halitosis ini dapat dibagi dalam dua kelompok besar yaitu: true halitosis dan
halitophobhia. Pada true halitosis penderita terkadang sadar bahwa ia menderita
keadaan ini tetapi dapat juga tak menyadari keadaan ini. Sedangkan istilah
halitophobia dipakai untuk penderita tanpa halitosis tetapi mengeluh halitosis saja.2
Halitosis dapat mengganggu kehidupan seseorang maupun orang disekitarnya.
Akibat-akibat yang dapat ditinjau dari penderita yang menyadarinya adalah akibatakibat yang sifatnya psikososial seperti; malu atau rendah diri, menghindari pergaulan
sosial, bicara tidak bebas, tidak ada rasa percaya diri.7
3. Epidemiologi1,2,4
Terdapat anggapan bahwa 90% bau mulut itu berasal dari rongga mulut itu
sendiri. Istilah oral halitosis dipakai secara spesifik untuk menjelaskan halitosis yang
berasal dari rongga mulut.
Hampir sebagian orang dewasa mengalami masalah bau mulut yang tidak
menyenangkan ketika bangun di pagi hari dan hanya bersifat sementara. Hal ini
dihubungkan dengan gejala fisiologis, yaitu terjadinya penurunan aliran saliva selama
tidur.
4. Klasifikasi
A Yaegaki dan Coil (2000) mengklasifikasikan halitosis menjadi tiga kategori,
yaitu:1,4
1. Genuine Halitosis
Genuine halitosis disebut juga halitosis sejati. Genuine halitosis dibagi
menjadi halitosis fisiologis dan halitosis patologis.
a. Halitosis Fisiologis
Halitosis fisiologis merupakan halitosis yang bersifat sementara dan tidak
membutuhkan perawatan. Pada halitosis tipe ini tidak ditemukan adanya kondisi
patologis yang menyebabkan halitosis. Contohnya adalah morning breath, yaitu
bau nafas pada waktu bangun pagi. Keadaan ini disebabkan berkurangnya aliran
saliva selama tidur. Bau nafas ini dapat diatasi dengan merangsang aliran saliva
dan menyingkirkan sisa makanan di dalam mulut dengan mengunyah, menyikat
gigi, atau berkumur.
Halitosis fisiologis juga terjadi melalui proses pencernaan makanan di
saluran pencernaan, misalnya bawang putih atau makanan pedas, atau melalui
proses pembusukan yang normal di dalam rongga mulut. Halitosis fisiologis ini
tidak terkait dengan penyakit sistemik atau keadaan patologis.
b. Halitosis Patologis
10
Gambar 5. Karies6
2. Pseudohalitosis
Pseudohalitosis digambarkan sebagai suatu kondisi dimana pasien
merasakan dirinya memilki bau nafas yang buruk, namun tidak dapat terdeteksi
dengan tes ilmiah. 4
3. Halitophobia.
Pada kondisi ini, walaupun telah berhasil mengikuti perawatan genuine
halitosis maupun telah mendapat konseling pada kasus pseudohalitosis, pasien
masih khawatir dan terganggu oleh adanya halitosis, padahal setelah dilakukan
pemeriksaan yang teliti baik kesehatan gigi dan mulut maupun kesehatan tubuh
lainnya ternyata baik, dan tidak ditemukan suatu kelainan yang berhubungan
dengan halitosis. Diperlukan pendekatan psikologis untuk mengatasi masalah
kejiwaan yang melatar belakangi keluhan ini yang biasanya dapat dilakukan oleh
seorang ahli seperti psikiater ataupun psikolog.1,4
11
Beberapa faktor di dalam rongga mulut yang perlu mendapat perhatian khusus
karena mempunyai peranan serta pengaruh yang besar terhadap timbulnya halitosis
pada seseorang, diantaranya adalah saliva, lidah, ruang interdental dan gigi geligi.
Saliva mempunyai peranan penting terhadap terjadinya halitosis, hal ini terjadi karena
adanya aktivitas pembusukan oleh bakteri yaitu adanya degenerasi protein menjadi
asam-asam amino oleh mikroorganisme, sehingga menghasilkan VSCs yang mudah
menguap dan sehingga dapat terjadi halitosis.1
Pembentukan VSCs dimungkinkan oleh suasana saliva yang alkali (pH basa),
sebaliknya pada suasana asam (pH rendah) pembentukan VSCs terhambat. Permukaan
lidah terutama bagian posterior yang sukar dijangkau dengan sikat (lapisan keputihan
lidah) merupakan tempat yang ideal bagi pengumpulan sel epitel mulut yang
mengalami deskuamasi, sisa-sisa makanan, bakteri dan deposit dari poket periodontal
sehingga merupakan tempat utama aktivitas dan perkembangbiakan bakteri. Daerah di
antara papila-papila serta dasar lidah tersebut merupakan tempat yang paling disukai
bakteri khususnya bakteri anaerob.1,4,5
Ruang interdental merupakan tempat yang kondusif untuk aktifitas bakteri
anaerob, karena ruang tersebut merupakan tempat akumulasi plak dan kalkulus, serta
terdapatnya sulkus gingiva dan kemungkinan terjadinya poket serta penyakit-penyakit
gusi dan periodontal.1
Gingivitis dan periodontitis adalah penyakit inflamasi yang paling umum terjadi
dan memicu terjadinya halitosis disebabkan bakteri Gram negatif seperti Prevotella,
Veillonella, Fusobacterium nucleatum dan Porphyromonas gingivalis tersembunyi di
dalam jaringan periodontal yang sakit dan menghasilkan gas yang bau.1
Tindakan penting untuk mengurangi halitosis adalah menghilangkan penyakit
periodontal serta mempertahankan kesehatan jaringan periodontal. Pada kasus gigi
berlubang, sisa makanan akan terkumpul di antara gigi sehingga dapat menimbulkan
bau busuk. Gigi yang jarang disikat dapat menyebabkan sisa makanan tertinggal di
celah gigi dan akan meningkatkan perkembangbiakan bakteri anaerob sebagai
12
penyebab halitosis. Debris merupakan substansi yang ideal bagi bakteri anaerob untuk
menghasilkan gas yang bau.1
5.1. Volatile-Sulfur Compounds (VSCs)
Volatile-Sulfur Compounds (VSCs) merupakan unsur utama penyebab halitosis.
VSCs merupakan hasil produksi dari aktivitas bakteri-bakteri anaerob di dalam mulut
yang berupa senyawa yang berbau tidak sedap dan mudah menguap sehingga
menimbulkan bau yang mudah tercium oleh orang lain di sekitarnya. Halitosis
dihasilkan oleh bakteri yang hidup secara normal di dalam permukaan lidah dan dalam
kerongkongan.1,2
Bakteri secara normal ada karena bakteri membantu proses pencernaan manusia
dengan cara memecah protein. Spesies bakteri yang terdapat pada permukaan oral
dapat bersifat sakarolitik, yaitu menggunakan karbohidrat sebagai sumber energi.
Spesies lain bersifat asakarolitik atau proteolitik, yaitu; menggunakan protein, peptida
atau asam amino sebagai sumber utamanya. Kebanyakan bakteri gram positif bersifat
sakarolitik dan bakteri gram negatif bersifat asakarolitik atau proteolitik. Bakteri gram
negatif merupakan penghuni utama plak supragingival termasuk plak yang menutupi
lidah dan permukaan mukosa lainnya. Porphyromonas gingivalis dan provotella
intermedia (bentuk Bacteroides intermedius) secara normal terdapat dalam plak
supragingival dan sangat efektif dalam pembentukan halitosis.1,5
Didalam aktivitasnya didalam mulut bakteri anaerob beraksi dengan proteinprotein yang ada, protein di dalam mulut dapat diperoleh dari sisa-sisa makanan yang
mengandung protein sel-sel darah yang telah mati, bakteri-bakteri yang mati ataupun
sel-sel epitel yang terkelupas dari mukosa mulut. Disamping itu, didalam saliva sendiri
terdapat substrat yang mengandung protein.1
Didalam mulut banyak terdapat bakteri baik Gram positif maupun Gram negatif.
Kebanyakan bakteri Gram positif adalah bakteri sakarolitik artinya di dalam aktivitas
hidupnya banyak memerlukan karbohidrat, sedangkan kebanyakan bakteri Gram
13
14
6. Diagnosis
Diagnosis halitosis ditegakkan melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan
pemeriksaan penunjang.
Pertanyaan-pertanyaan yang digali dari anamnesis untuk mengarahkan kita
pada diagnosis halitosis adalah;3
- Bagaimana anda tahu, anda memiliki napas yang bau?
- Kapan anda pertama kali mengetahuinya?
- Apakah anda seorang perokok?
- Apakah anda peduli dengan bau napas anda?
15
16
Tabel.1. diagnosis halitosis dikelompokkan menjadi identifikasi bahan volatil dan identifikasi
mikroba.1
7. Terapi
Untuk mengatasi halitosis intraoral, dapat dilakukan kontrol terhadap
kebersihan mulut, kesehatan jaringan lunak dan keras, faktor-faktor pendukung
timbulnya halitosis. Upaya menghilangkan faktor lokal dapat dilakukan secara;
a. Mekanis dengan cara penyikatan lidah dan gigi, dan
b. Kimiawi melalui penggunaan obat kumur, pasta gigi, permen karet; serta
sistemik, kontrol diet dan terapi biologis dengan menggunakan probiotik.
Pembersihan gigi dan mulut secara mekanis bertujuan untuk mengurangi jumlah
mikroba patogen dari biofilm dan tongue coating, sehingga pembentukkan karies
dihambat, kadar halitosis menjadi rendah dan risiko penyakit sistemik dapat
berkurang.1,3,4
Secara kimiawi, penggunaan obat kumur klorheksidin diglukonat juga
memberikan hasil yang baik terhadap timbulnya halitosis. Bahan lain yang juga
dapat memperbaiki kondisi halitosis antara lain zinc chloride dan sodium
chloride22, TCF (triclosan, copolimer dan NaF), oxygen release device,
oxohalogen oxidant (campuran chlorite anion dan chlorine dioxide) serta minyak
esensial.1
Kombinasi terapi mekanik dan kimiawi ternyata dapat memperbaiki
kondisi halitosis oral, ditandai dengan penurunan kadar komponen sulfur volatil
dan organoleptik. Contohnya, pada pasien dengan gigi tiruan, penyikatan gigi
tiruan saja ternyata tidak dapat mengurangi halitosis, tetapi penyikatan gigi yang
disertai perendaman gigi tiruan dalam larutan antiseptik, ternyata jauh lebih
efektif. Dahulu permen karet sering digunakan untuk menghilangkan bau mulut,
17
tetapi ternyata permen karet tidak bergula justru akan meningkatkan kadar metil
merkaptan. Rasa mint dalam permen, tidak menurunkan konsentrasi metil
merkaptan, tetapi hanya menutupi malodor oral saja.1
Modifikasi faktor pendukung timbulnya halitosis, dapat dilakukan dengan
mengurangi diet protein. Adanya keseimbangan diet protein dan karbohidrat akan
mengurangi pembentukan bahan odor. Daging yang masih berdarah, daging ikan,
susu fermentasi, dapat meningkatkan metabolisme protein sehingga bahan odor
yang terbentuk akan meningkat pula. Makanan yang banyak mengandung mineral
sulfat, juga dapat menimbulkan halitosis. Berdasarkan penelitian, jika makanan
yang banyak mengandung bahan odor dianginkan pada udara kering maka akan
mengurangi jumlah mikroorganisme anaerob yang ada didalamnya.1
Probiotik pertama kali digunakan dalam bidang kedokteran, sebagai terapi
atau pencegahan terhadap diare akibat antibiotik. Terapi antibiotik biasanya akan
membunuh bakteri penyebab penyakit dan bakteri normal Bakteri normal
intestinal berfungsi dalam menjaga keseimbangan saluran pencernaan normal.
Beberapa bakteri bersifat lebih resisten terhadap antimikrobial tertentu, sehingga
bakteri tersebut akan mendominasi gastrointestinal dengan cepat jika kompetitor
(bakteri yang dihambat oleh antimikrobial) berkurang jumlahnya. Hal ini
menimbulkan gangguan keseimbangan ekologi yang memudahkan timbulnya
infeksi
dan
imunoinflamasi.
Probiotik
berfungsi
untuk
mengembalikan
18
Gambar.6. Efek bakteri probiotik terhadap sel epitel tubuh, yaitu sekresi asam organik, surfactans,
bahan antimikrobial (bacteriocin dan hidrogen peroksida). Probiotik juga akan berkompetisi
dengan patogen melalui adhesi dan pertukaran stimulus dengan reseptor sel epitel sehingga terjadi
sekresi sitokin yang akan menghambat patogen dan virus.1
19
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
20
DAFTAR PUSTAKA
1. Indrayadi Gunardi dkk. Oral Probiotik: Pendekatan Baru Terapi Halitosis. Jakarta:
indonesian Journal of dentistry. 2009. h. 64-71
21
An
Overview
Of
22