Anda di halaman 1dari 18

Hubungan antara Penyakit Radang Usus dan Kondisi

Periodontal: Apakah Terdapat Etiologi Bakteri yang Sama?

Nurdan Ozmeric1, Nabil F Bissada2 and Andre Paes Batista da Silva2

Abstrak
Pendahuluan: Sistem gastrointestinal sangat berkaitan dengan mukosa rongga
mulut termasuk jaringan periodontal. Penyakit radang usus (IBD) memiliki dua
bentuk umum: Crohn’s disease (CD) dan kolitis ulseratif (UC). Inflamasi lokal
pada penyakit periodontal (PD) memiliki dampak penyakit radang pada beberapa
bagian tubuh. Keberadaan periodontitis pada pasien IBD menunjukkan
kemungkinan bahwa kedua kondisi inflamasi tersebut mungkin memiliki jalur
patogen yang sama. Kedua penyakit merupakan kondisi multifaktorial dengan
faktor genetik dan lingkungan menginisiasi dan mempertahankan respon inflamasi
kronis.
Tujuan: Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menentukan pemahaman saat ini
mengenai karakteristik dan mekanisme yang mendasari hubungan antara IBD dan
penyakit periodontal, dengan penekanan pada peran mikroorganisme.
Metode: Pencarian pada website MEDLINE dilakukan untuk menemukan artikel
– artikel yang relevan terkait IBD dan penyakit periodontal yang dipublikasi
hingga September 2016.
Hasil dan Kesimpulan: Sejumlah studi telah menunjukkan hubungan antara PD
dan IBD. Kedua penyakit tersebut memiliki faktor etiologi genetik dan
lingkungan. Peran yang pasti dari bakteri usus masih belum jelas. Mikrobiota
periodontal yang dihubungkan dengan penyakit – penyakit ini meliputi
Fusobacterium nucleatum, Campylobacter rectus dan Campylobacter concisus.
Disbiosis mikrobiota fungi dan virus juga harus dievaluasi sebagai jalur patogenik
yang umum pada penyakit periodontal dan IBD.
Kata Kunci: Crohn’s disease, colitis ulseratif, penyakit periodontal, penyakit
radang usus, bakteri

Pendahuluan

Sistem gastrointestinal sangat berkaitan dengan periodontal dan jaringan


lunak gigi baik pada orang dewasa dan anak – anak (Mantegazza et al., 2016).
Satu gangguan gastrointestinal mencakup penyakit radang usus (IBD), yang
memiliki dua bentuk umum: Crohn’s disease (CD) dan kolitis ulseratif (UC).
Kondisi ini umum terjadi di negara barat yang merupakan kondisi yang
didasarkan pada inflamasi yang dimediasi imun pada traktus gastrointestinal, yang
dapat berupa kondisi kronis dan relapse (Loftus, 2004).

Inflamasi lokal pada penyakit periodontal memiliki dampak pada penyakit


autoimun sistemik maupun penyakit radang (Leech dan Bartold, 2015;
Scannapieco da Cantos, 2016). Keberadaan periodontitis pada pasien IBD
menunjukkan kemungkinan bahwa dua kondisi inflamasi dapat memiliki jalur
patogen yang sama (Brito et al., 2008; Oz et al., 2010; Figueredo et al., 2011;
Menegat et al., 2016). Kedua penyakit merupakan kondisi multifaktorial dengan
faktor genetik dan lingkungan menginisiasi dan mempertahankan respon inflamasi
kronis. Tujuan dari tinjauan ini adalah untuk menentukan pemahaman saat ini
mengenai karakteristik dan mekanisme yang mendasari hubungan antara IBD dan
penyakit periodontal, dengan menekankan peranan etiologi bakteri. Peran dari
faktor – faktor lainnya yang sama pada IBD dan penyakit periodontal dibahas
secara ringkas.

Manifestasi klinis dari kolitis ulseratif dan Crohn’s Disease

Kolitis ulseratif menyerang rectum, colon, dan mukosa caecum, yang


menunjukkan area berkelanjutan dari inflamasi dan ulserasi. Gejala – gejalanya
meliputi nyeri abdomen/kram perut, diare, darah pada tinja, kelelahan, demam
ringan (low grade fever), kehilangan berat badan, dan penurunan nafsu makan
(Head and Jurenka, 2003). Sebaliknya, CD menyerang seluruh sistem
gastrointestinal mulai dari mulut hingga anus; penyakit ini secara khusus memiliki
dampak pada ileum terminal dan colon. Dalam CD, terdapat bagian yang sehat
dari usus berseling dengan daerah yang meradang. Kolitis ulseratif hanya
menyerang lapisan terdalam colon, sedangkan CD dapat terjadi pada semua
lapisan dinding usus (Matricon dkk., 2010). Crohn’s disease memiliki manifestasi
klinis gastrointestinal yang serupa dengan UC. Setidaknya satu dari manifestasi
extra-intestinal IBD diamati pada 50% pasien, termasuk arthropati, arthritis,
osteoporosis, dan penyakit hepato-pancreato-biliary, neurologis, kardiovaskuler,
paru, urogenital, mata dan kulit maupun penyakit mulut (Harbord dkk., 2016).

Menurut Plauth dkk. (1991), jenis yang paling umum dari manifestasi oral
CD meliputi edema, ulser, dan mukosa hiperplastik papula polipoid. Gejala –
gejala oral pada CD khususnya terlokalisir pada gingiva, bibir, mukosa bukal, dan
vestibulum. Manifestasinya meliputi lesi tag-like, pembengkakan gingiva,
mukogingivitis, pembengkakan bibir dengan fisur vertikal, dan ulser dalam
berbentuk linear. Lesi oral nonspesifik meliputi glossitis, reccurent apthous
stomatitis, pyostomatitis vegetans, dan angular cheilitis (Lankarani dkk., 2013;
Pereira dan Munerato, 2016). Lesi oral pada UC lebih jarang dibandingkan CD,
dan hampir semua lesi oral nonspesifik yang umum pada CD dapat juga terjadi
pada UC. Manifestasi oral UC sering terlihat sebagai ulser aphthous atau ulser
hemoragik superfisial dan angular cheilitis. Pyostomatitis vegetans merupakan
satu – satunya kondisi yang lebih sering terjadi pada UC dibandingkan CD
(Lankarani et al., 2013).

Insidensi dan prevalensi UC dan CD

Kejadian IBD tinggi pada Negara maju dan Negara barat, seperti Kanada dan
Negara Eropa Utara, meskipun beberapa studi terbaru menunjukkan bahwa
insidensi penyakit ini meningkat pada Negara timur dan Asia Pasifik,
kemungkinan disebabkan oleh perubahan perilaku dan lingkungan secara umum.
Insidensi CD adalah 6,3 per 100.000 populasi, dengan prevalensi 174 kasus per
100.000. Insidensi UC adalah 8,1 per 100.000, dengan prevalensi 214 kasus per
100.000 (Loftus dkk., 2007). Dalam studi di Hungaria dengan prevalensi IBD
yang tinggi, diperkirakan 0,34% untuk UC dan 0,20% untuk CD (Kurti dkk.,
2016). Pada studi yang dilakukan selama kurun waktu 28 tahun di Finlandia,
rerata insidensi tahunan IBD di antara pasien pediatrik meningkat pesat dari
7/100.000 (1987 – 1990) ke 23/100.000 (2011 – 2014; Virta dkk., 2016).
Hubungan antara PD dan IBD

Penyakit periodontal dan IBD dipertimbangkan saling berhubungan dan sebagian


memiliki etiopatogenesis inflamasi mukosa kronis yang sama menurut beberapa
studi sebelumnya oleh Lamster dkk. (1978), Van Dyke dkk. (1986), dan Engel
dkk. (1988). Penyakit periodontal parah merupakan karakteristik yang muncul
pada pasien CD (Lamster dkk., 1978). Prevalensi dan tingkat keparahan
periodontitis pada pasien dengan IBD telah diteliti (Flemmig et al., 1991;
Grössner- Schreiber et al., 2006; Brito et al., 2008; Stein et al., 2010; Tabel 1).
Subjek penyakit CD menunjukkan lebih sedikit daerah dengan plak pada gigi dan
perdarahan saat probing (BOP), kedalaman poket (PD) yang lebih dalam dan
lebih banyak periodontitis jika dibandingkan dengan kontrol yang sehat secara
sistemik (Brito et al., 2008). Selain itu, pasien UC mengalami peningkatan
kehilangan perlekatan klinis (CAL) yang signifikan dibandingkan pasien CD
(Brito dkk., 2008). Pada 2013, Brito dkk. melakukan sebuah studi dengan
populasi sampel dari studi mereka sebelumnya (Brito dkk., 2008; Brito dkk.,
2013). Sebanyak 45 pasien didiagnosa dengan periodontitis (15 pasien dengan
CD, 15 pasien dengan UC dan 15 kontrol yang sehat secara sistemik) didatangkan
kembali untuk pengambilan sampel mikroba dari plak subgingiva. Meskipun tidak
terdapat perbedaan pada PD, CAL, atau BOP antar kelompok, pada pasien CD
ditemukan Bacteroides ureolyticus, Campylobacter gracilis, Prevotella
melaninogenica, Staphylococcus aureus, Streptococcus mitis, S. anginosus, S.
intermedius, dan S. mutans dalam jumlah yang lebih tinggi dibandingkan pasien
UC. Semua mikroorganisme ini, kecuali S. mitis, lebih tinggi pada CD
dibandingkan kontrol (Brito dkk., 2013). Dalam ulasan terkini (Agossa dkk.,
2016), bukti epidemiologis dan biologis mengenai keserupaan IBD dengan
penyakit periodontal mendukung hubungan antara kedua penyakit ini. Sebanyak
12 studi cross-sectional atau case-control dan lima studi hewan diulas secara
jelas. Kolitis yang terjadi spontan maupun yang diinduksi bahan kimia
menyebabkan kehilangan tulang alveolar pada studi hewan. Studi pada manusia
menunjukkan bahwa terdapat minimal satu daerah dengan PD ≥ 4 mm, indeks
gingiva dan BOP yang lebih tinggi sering terjadi pada pasien IBD. Selain itu,
pasien UC memiliki periodontitis yang lebih parah dibandingkan pasien CD
(Agossa dkk., 2016).
Mekanisme inflamasi yang sama pada mukosa usus dan periodontal serta
ketidakseimbangan antara mediator pro-inflamasi dan anti-inflamasi diteliti dalam
studi yang dilakukan oleh Menegat dkk. (2016). Adanya CD dan UC dievaluasi
secara klinis dan melalui metode laboratorium menggunakan indeks Harvey-
Bradshaw untuk CD (Harvey and Bradshaw, 1980) dan skor Truelove dan Witts
untuk UC (Truelove and Witts, 1955). Indeks Harvey-Bradshaw digunakan untuk
tujuan pengumpulan data. Indeks ini terdiri atas parameter klinis berdasarkan
keadaan umum atau komplikasi. Skor kurang dari 5 menunjukkan pengurangan
parameter klinis, sementara indeks Truelove dan Witts mengukur ringan, sedang,
dan parahnya penyakit terkait pergerakan usus, darah dalam tinja, pireksia, denyut
nadi, anemia, dan tingkat sedimentasi eritrosit. Kedalaman poket, CAL, BOP, dan
indeks plak yang terlihat (VPI) diukur pada pasien yang menjalani colonoscopy.
Sebanyak 24 sampel gingiva dari daerah inflamasi dan 12 sampel dari usus
dikumpulkan pada waktu yang sama. Hanya tiga pasang biopsi dicocokkan dan
dianalisa untuk kandungan sitokin. Para penulis menemukan persentase PD ≥ 7
mm yang secara signifikan lebih tinggi pada pasien CD; tingkat IL-17A, 1L-17F,
IL-22, IL-25, IL-33, INF-g, and IL-10 yang lebih tinggi juga ditemukan pada
jaringan gingiva yang diambil (baik dari pasien CD dan UC) dibandingkan
dengan jaringan usus.

Dalam laporan lainnya, perubahan jaringan lunak meliputi pembengkakan


gingiva (27,2%), lesi hiperplastik pada mukosa bukal (20,4%), leukoplakia (2%),
lichen planus (2,7%), candidiasis (3,4%), dan ulser apthous (4,1%) ditemukan
pada 54 dari 147 pasien dengan CD (36,7% Stein dkk., 2010). Tidak terdapat
perbedaan yang relevan antara caspase recruitment domain-containing protein 15
(CARD15) wild-type dan mutant, yang juga dikenal sebagai subkelompok gen
nucleotide-binding oligomerization domain-containing protein 2 (NOD2).
CARD15/NOD2 merupakan gen rentan pertama terhadap CD (Huang dan Chen,
2016). Berdasarkan parameter klinis PI, GI, rerata PD, rerata CAL, BOP, dan
semua nilai CPITN (community periodontal index of treatment needs), tidak
terdapat perbedaan yang signifikan antara beberapa subkelompok genetik yang
berbeda dari pasien. Dari total pasien, 57,8% memiliki nilai PD antara 4 – 5 mm,
sedangkan 31,3% pasien memiliki setidaknya satu daerah dengan PD ≥ 6 mm. Di
antara semua sampel plak bakteri subgingiva yang diperoleh dari pasien,
Campylobacter rectus memiliki frekuensi tertinggi, yang ditemukan pada 94,6%
pasien (Stein dkk., 2010).

Tabel 1. Beberapa studi klinis mengevaluasi korelasi antara status periodontal dan
penyakit radang inflamasi

Peneliti, tahun Jenis studi Subjek Metode Penemuan Utama


Menegat et al., 2016 Cross- 28 pasien didiagnosa Biopsi gingiva dan usus PD ≥ 7 mm
sectional dengan periodontitis (3 pasang sampel dipasangkan lebih tinggi
kronis, CD dan UC untuk pasien yang sama) pada CD. IL-
10,17A,17F,
22, 25, 33,
INF-¡ lebih
tinggi pada
jaringan
gingival

Yin et al., 2016 Prospective 20.162 Kehilangan Adanya plak gigi


cohort sampel gigi mengurangi risiko CD
209 Kehilangan 5-6 gigi
Plak gigi dari 6 gigi menurut
didiagnos Lesi mukosa oral
a IBD Ramfjord yang
diperiksa dikaitkan
dengan risiko UC yang
lebih rendah
Pereira dan Munerato, Case report Satu Manifestasi oral yang dievaluasi Angular cheilitis,
2016 pasien dengan UC dan CD lesi erosif dan
UC krusta pada ulser
Satu apthous bibir, lesi
pasien cobblestone
CD hiperplastik, ulser
hemoragik
superfisialis

Koutsochristou et al., Case- 55 anak dan remaja DMFT GI-S 60% lebih tinggi
2015 control dengan IBD (36 Simplified gingival index (GI-S) pada pasien dengan IBD
dengan CD dan 19 Plaque control record (PCR) dibandingkan dengan
dengan UC) index kontrol, sementara 9%
CPITN memiliki setidaknya 1
55 kontrol sehat daerah dengan
sistemik yang kedalaman poket 4 atau 5
disesuaikan dengan mm.
usia Skor plak pada kelompok
IBD tidak jauh lebih
tinggi dibandingkan
dengan kontrol

Schulz et al., 2014 Cross- 142 pasien dengan Indeks Kecenderungan genetik
sectional CD plak berupa perubahan
PD, CAL jaringan lunak rongga
BOP mulut pada CD. Tidak
Uji genetik untuk genotip TNF- ada perbedaan
α dari rs1800629 dan rs361525 signifikan dalam PI dan
BOP yang ditemukan
berdasarkan genotipe,
alel, dan haplotipe yang
berbeda.
Hubungan yang
signifikan antara pola
genetik dan PD, serta
CAL, ditentukan untuk
rs361525

Brito et al., 2013 Case- 15 pasien Pengambilan sampel Tidak ada perbedaan
control periodontitis dengan mikrobiologis dari plak dalam PD, CAL, BOP
CD subgingiva antara kelompok
15 pasien Pasien CD memiliki
periodontitis dengan Bacteroides ureolyticus,
UC Campylobacter gracilis,
Prevotella melaninogen-
15 pasien ica, Staphylococcus
periodontitis yang aureus, Streptococcus
sehat secara sistemik mitis, S. anginosus, S.
intermedius, S. mutans
dalam jumlah yang lebih
tinggi dibandingkan
pasien UC

Vavricka et al., 2013 Case- 113 pasien IBD (69 Indeks DMFT Gingivitis lebih tinggi pada
control CD, 44 UC) Papilla bleeding pasien CD dan UC, dan
113 kontrol sehat index periodontitis lebih umum
yang sesuai PD, CAL, BOP pada pasien dengan IBD.
Memiliki penyakit radang
usus meningkatkan risiko
periodontitis secara
signifikan (OR, 3,92)

Habashneh et al., 2012 Case- 101 pasien UC Indeks plak, indeks gingiva, Indeks plak dan indeks
control PD, CAL gingiva pada pasien
59 pasien CD Resesi gingiva dengan UC atau CD
100 tanpa IBD secara signifikan lebih
tinggi dari subjek tanpa
IBD
Periodontitis lebih tinggi
pada pasien dengan CD
dan UC dibandingkan
subjek tanpa IBD pada
kelompok usia < 36 dan
36 – 45 tahun

Figueredo et al., 2011 Cross- 15 pasien dengan CD PD, CAL, BOP, kehadiran IL-4 di GCF lebih rendah
sectional dan periodontitis plak GCF dari daerah di daerah dangkal pasien
dangkal (PD ≤ 3 mm) dan IBD
15 pasien dengan UC dalam (PD ≥ 5 mm); sampel
dan periodontitis darah Serum IL-18 lebih tinggi
15 pasien sehat secara pada pasien IBD
sistemik dengan
periodontitis

Stein et. Al, 2010 Cross- 147 pasien dengan CD Indeks plak, indeks gingiva, 36,7% memiliki lesi
sectional PD, CAL, CPITN jaringan lunak rongga
Pengambilan sampel mikroba mulut; 57,8% memiliki
subgingiva, probe DNA nilai PD 4 - 5 mm.
Genotip CARD 15
C. rectus memiliki
frekuensi tertinggi

Brito et al., 2008 Case- 99 pasien CD Adanya plak Subjek CD memiliki


control 80 pasien UC lebih sedikit daerah
BOP, PD, CAL
74 kontrol sehat dengan plak gigi dan
secara sistemik BOP, PD lebih dalam dan
periodontitis jika
dibandingkan dengan
kontrol yang sehat secara
sistemik

Case- 46 pasien CD Indeks DMF-S, karies dentin, Jumlah lesi oral yang
Grössner- Schreiber et indeks plak, BOP,PD,CAL
control 16 pasien UC lebih tinggi
al., 2006
59 kontrol sehat yang 63% pasien dengan IBD
sesuai memiliki setidaknya satu
daerah dengan CAL> 5
mm; tidak berbeda secara
statistik dibandingkan
dengan kontrol

CD, Crohn’s disease; UC, ulcerative colitis; PD, probing depth; IBD,
inflammatory bowel disease; DMFT, decayed, missing, filled teeth; CPITN,
community periodontal index of treatment needs; CAL, clinical attachment
loss; BOP, bleeding on probing; GCF, gingival crevicular fluid.

Kofaktor yang serupa pada PD dan IBD

Faktor etiologi yang dapat terjadi pada IBD meliputi: aspek intrinsik
pada host seperti kerentanan genetik, faktor lingkungan, seperti merokok,
western diet, antibiotik, vitamin D, excessive hygiene; dan pergeseran dari
mikroorganisme protektif menjadi patogenik (Cholapranee dan
Ananthakrishnan, 2016). Autoimunitas menjadi bagian dalam etiologi IBD
(khususnya CD) dan penyakit periodontal. Hal ini berasal dari interaksi
predisposisi genetik dan faktor – faktor yang memicu penyakit (Huang dan
Chen, 2016). Penyakit periodontal berasal dari ketidakseimbangan antara
mikroorganisme dan respon host. Serupa dengan IBD, genetik, infeksi
mikroba, dan faktor lingkungan juga dipertimbangkan dalam patogenesis
penyakit (Batista da Silva dan Bissada, 2013). Hal itu menjadi hipotesis
bahwa inflamasi usus kronis pada IBD dipicu oleh ‘faktor gaya hidup barat’
dan periode pengurangan parameter klinis serta eksaserbasi diamati pada host
yang rentan secara genetik (Rogler et al., 2016). Onset pediatrik dari
penyakit IBD lebih parah dan lebih luas daripada variasi onset orang dewasa,
sama dengan penyakit periodontal agresif yang terjadi pada masa pubertas
(Baer, 1971).

Faktor Host

Tiga kondisi harus diperhitungkan untuk memahami jalur penyakit dari


penyakit periodontal dan IBD: kerentanan genetik; autophagy; dan
perubahan barrier epitel. Beberapa gen terlibat dalam patogenesis IBD
berkaitan dengan sistem imun bawaan (TLR,NOD2; Huang dan Chen, 2016).
Peranan gen rentan CD CARD15 / NOD2 pada peptidoglikan bakteri
mendukung hubungan antara bakteri enterik dengan peradangan mukosa
pada IBD dan penyakit periodontal. Gen lain yang berkaitan dengan
mekanisme homeostatic seperti autophagy (IRGM, ATG16L1; Huang dan
Chen, 2016), yang merupakan proses degradasi yang dipertahankan secara
evolusioner sebagai respon terhadap stres metabolik dari perubahan
lingkungan. Induksi autophagy melibatkan pembentukan autophagosomes,
yang bergabung dengan lisosom dan mendegradasi komponen – komponen
yang meyatu dengan intrasel, seperti protein long-lived dan misfolded,
demikian halnya organel – organel intraseluler. Autophagy memainkan
beragam peran fisiologis dan patofisiologis dan telah diimplikasikan dalam
regulasi imunitas dan inflamasi. Respon autophagic yang berkurang dan
tidak efektif terhadap patogen intraseluler telah dipertanyakan bagi penyakit
IBD dan periodontal (Hooper et al., 2016). Selain itu, pada IBD, lapisan
mukosa usus menunjukkan kerusakan epitel luas, abses kripta, dan sejumlah
besar neutrofil. Serupa dengan epitel sulkus gingiva, membran mukosa yang
permeabel atipikal memungkinkan translokasi mikroba yang berlebihan ke
dalam submukosa pasien IBD (Matricon et al., 2010).

Faktor Lingkungan

Merokok merupakan faktor lingkungan yang paling banyak diteliti dan


diidentifikasi dalam analisa kohort IBD. Hubungan antara IBD dan penyakit
periodontal dan tautan kedua penyakit dengan merokok signifikan karena zat
kimia dalam asap rokok dapat memodulasi sitokin dan mengganggu imunitas
sel. Dalam ulasan terbaru oleh To et al. (2016), 33 studi yang meneliti
hubungan merokok dan CD dibuatkan suatu meta-analisa. Perjalanan CD
lebih kompleks pada perokok aktif dibandingkan bukan perokok dan terdapat
56 – 85% peningkatan aktivitas penyakit. Merokok telah diteliti secara luas
sebagai faktor risiko untuk periodontitis, dan sejumlah studi telah
menunjukkan hubungan antara merokok dengan memburuknya parameter
klinis periodontitis (Bergstrom dan Eliasson, 1987; Kinane dan Radvar,
1997; Kotsakis et al., 2016). Selain itu, prevalensi periodontitis pada orang
dewasa lebih tinggi pada perokok (Eke et al., 2016). Pada IBD maupun
penyakit periodontal, merokok memengaruhi komposisi mikrobiota, merusak
respon host melalui berbagai mekanisme baik lokal dan sistemik,
menyebabkan stress oksidatif pada jaringan dan menyebabkan defek pada
respon imun Th1/Th2/Th17 (Torres de Heens et al., 2008; Ozdemir et al.,
2016; Chen et al., 2016).

Diet dan bahan tambahan makanan juga berhubungan dengan


tampakan klinis IBD, risiko flare, dan peningkatan insidensi. Pengemulsi
dalam makanan berlemak olahan mempromosikan IBD (Roberts et al.,
2010). Komponen makanan adalah faktor etiologis pada gingivitis sel plasma
dan granulomatosis orofacial (Reed et al., 1993). Hubungan dua arah telah
diamati antara nutrisi, asupan makanan, dan kesehatan rongga mulut (Neiva
et al., 2003; Varela-Lopez et al., 2016). Makanan kaya akan lemak jenuh
meningkatkan stress oksidatif, dan intensitas serta durasi inflamasi. Oleh
karenanya, makanan seperti itu harus dihindari oleh pasien penyakit
periodontal dan IBD (Basson et al., 2016; Verala-Lopez et al.,2016).

Faktor pendukung lainnya adalah hygiene. ‘Hipotesis higiene’ pada


IBD menunjukkan bahwa execessive hygiene di masa kanak-kanak berkaitan
dengan berkurangnya kontak dengan bakteri enterik dapat menyebabkan
sistem kekebalan mukosa yang kurang terstimulasi, akibatnya mengarah pada
kerentanan terhadap peradangan yang tidak terkendali pada masa dewasa.
Hubungan timbal balik antara kontak dengan hewan ternak, hewan
peliharaan, berbagi kamar tidur, jumlah saudara kandung, dengan IBD
ditemukan (Cholapranee dan Ananthakrishnan, 2016). Namun, dalam studi
case-control yang melibatkan pasien IBD yang didiagnosa sebelum usia 15
tahun, menunjukkan bahwa berbagi kamar tidur berkaitan dengan
berkembangnya IBD dan hubungan tersebut dapat dikaitkan dengan
peningkatan acaman infeksi karena kepadatan lingkungan hidup (Jakobsen et
al., 2013). Meskipun hubungan sebab akibat dari kebersihan mulut dengan
penyakit periodontal telah dipaparkan beberapa dekade yang lalu, masih ada
perdebatan tentang peran kebersihan mulut pada pasien IBD. Dalam sebuah
studi cohort, 20162 partisipan dipantau selama 40 tahun; di antara mereka,
209 orang didagnosa dengan IBD yang kehilangan gigi dan skor plaknya
dicatat. Adanya plak gigi berkaitan dengan risiko CD yang lebih rendah (Yin
et al., 2016). Yin et al. (2016) menyatakan bahwa studi ini pada hubungan
antara kesehatan mulut yang baik dan IBD menudukung hipotesis hygiene,
namun masih terdapat pembahasan pada asosiasi ini (Hujoel et al., 2016).

Penggunaan kontrasepsi oral telah dijelaskan sebagai faktor risiko IBD


dan dapat menyebabkan flare penyakit ini (Khalili et al.i, 2013). Wanita
mengalami IBD lebih sering dibandingkan laki – laki (Kurti et al., 2016).
Kemungkinan mekanisme untuk bias jenis kelamin perempuan dalam IBD
adalah terkait kehamilan, hormon, dan kecondongan kromosom X. Aktivasi
CD berkaitan dengan kadar estrogen yang tinggi akibat pubertas atau
penggunaan kontrasepsi oral. Dibandingkan dengan penyakit periodontal,
khususnya gingivitis, mencapai puncak pada masa pubertas karena aktivitas
hormone, dan defisiensi estrogen menyebabkan kehilangan tulang pada
periodontitis (Baer, 1971).

Perbandingan etiologi bakteri pada PD dan IBD

Kemajuan dalam teknik mikrobiologis dan pemanfaatan 16S rDNA


dalam teknologi sequencing telah memungkinkan deskripsi terperinci tentang
etiologi bakteri dari kedua penyakit tersebut. Mikrobiota usus dan
periodontal memainkan bagian penting dalam kesehatan dan penyakit
manusia dan komposisi mikroba dapat memengaruhi respon host terhadap
bakteri patogen dan kerentanan terhadap penyakit. Usus manusia
mengandung sejumlah besar mikroorganisme, hingga 1014 bakteri, terutama
anaerob, dan meliputi 500 - 1.000 spesies (Savage, 1977; Xu dan Gordon,
2003; Qin et al., 2010). Mikroflora patogen yang berkaitan dengan
periodontitis telah diteliti oleh beberapa peneliti sejak abad ke 19 (Wade,
2011; Slots, 1976; Newman dan Socransky, 1977; Moore et al., 1982;
Loesche et al., 1985). Informasi terperinci tentang organisme ini tersedia
dalam ulasan terbaru oleh Wade (2011), dan Teles et al. (2013).

Disbiosis / gangguan toleransi

Komposisi bakteri mukosa diperkirakan penting dalam menstimulasi


imun dan penyakit – penyakit radang (Peterson et al., 2015). Sistem host-
mikrobiota dalam tubuh bekerja secara simbiosis, saat organisme –
organisme berbeda hidup bersama dan saling menguntungkan satu sama lain.
Ciri umum dari periodontitis dan IBD adalah kemungkinan terjadi sebagai
hasil dari disbiosis, yang merupakan modifikasi dari bakteri penghuni, atau
akibat kesalahan mengenali bakteri penghuni oleh sistem imun host (Nibali
et al., 2014). Faktor – faktor lingkungan seperti penggunaan antibiotik atau
defek genetik dapat menyebabkan perubahan metabolism mikroba, dan
peningkatan jumlah bakteri patogen. Pada IBD, disbiosis mengarah pada
aktivasi sel imun efektor atau aktivitas sel regulator yang kurang sebagai
respons terhadap bakteri usus, atau gangguan keseimbangan antara
mikrobiota usus pelindung dan mikroba yang merusak. Pasien - pasien
penyakit radang usus menampung keanekaragaman bakteri komensal yang
mengalami pengurangan, khususnya dalam filum Bacteroidetes dan
Firmicutes, termasuk Faecalibacterium prausnitzii yang berhubungan secara
klinis, dan peningkatan kehadiran Escherichia coli (Packey dan Sartor,
2009). Mikrobiota enterik komensal memodulasi sistem kekebalan tubuh,
yang dapat menyebabkan timbulnya dan kronisitas IBD. Jika mikrobiota usus
komensal mengalami perubahan komposisi, hal tersebut akan memberikan
rangsangan imunologis konstan yang mengarah ke anomali sistem kekebalan
tubuh dan dapat berdampak pada kondisi sistemik dan penyakit radang
seperti periodontitis (Blasco Baque et al., 2016; Forbes et al., 2016 ). Dalam
sebuah studi prospektif longitudinal (Shaw et al., 2016), 19 pasien IBD
pediatrik (15 CD, 4 UC) diikuti secara teratur. Anggota keluarga yang sehat
dari pasien dan subyek yang tidak terkait direkrut sebagai kontrol. Perbedaan
dalam keanekaragaman mikrobiom, disbiosis mikroba, dan inflamasi
dievaluasi. Disbiosis yang lebih tinggi terlihat pada pasien IBD dengan kadar
calprotectin yang lebih tinggi (indikator peradangan di usus). Namun, masih
belum pasti apakah disbiosis secara langsung menginduksi IBD atau
merupakan hasil dari lingkungan usus yang berubah (Round dan Mazmanian,
2009).

Penyakit radang usus sebagai penyakit poligenik dapat terjadi sebagai


akibat dari defek yang berbeda dalam keberhasil mengelola mikrobiota
komensal dan patogen. Gen-gen ini terutama terkait dengan fungsi barrier
mukosa, pengenalan dan fungsi antimikroba, atau regulasi imun (Fisher et
al., 2008). Dalam studi manusia oleh Li et al. (2012) terjadinya alel risiko
NOD2 dikaitkan dengan peningkatan jumlah Actinobacteria dan
Proteobacteria. Namun, terdapat kemungkinan bahwa disbiosis tidak terkait
secara kausal dengan patogenesis IBD melainkan konsekuensi dari variasi
genetik ini (Becker et al., 2015). Perubahan dalam mikrobiota usus mungkin
masih berkontribusi untuk memperpanjang peradangan usus.

Perkembangan dan persistensi mikrobiota oral disbiotik dapat


memediasi penyakit radang di lokal maupun di bagian tubuh yang jauh
secara anatomis (Hajishengallis, 2015). Ketertarikan pada peranan bakteri
periodontopati disbiotik meningkat (Roberts dan Darveau, 2015;
Hajishengallis, 2015). Alih-alih patogen individu, diusulkan bahwa sinergi
bakteri periodontitis yang beragam terlibat dalam penyakit. Dalam disbiosis,
terdapat pertumbuhan mikroba parotgen maupun mikroba periodontal
nonpatogen yang berlebihan atau perubahan dalam pengaruh spesies bakteri
yang menyebabkan gangguan keseimbangan biofilm (Hajishengallis et al.,
2012; Hajishengallis et al., 2014). Berbagai studi telah menunjukkan bahwa
Porphyromonas gingivalis, dengan cara memanipulasi respon imun host,
dapat menginduksi komunitas disbiotik, yang berperan sebagai patogen dasar
(keystone) (Darveau et al., 2012). Namun, dengan tidak adanya patogen
keystone, defisiensi genetik seperti protein turunan sel endotel (Del-1), yang
mengatur rekrutmen neutrofil, menyebabkan kehilangan tulang inflamasi dan
perubahan pada mikrobiota komensal murine (Eskan et al., 2012) mungkin
menjadi faktor. Oleh karena itu, dapat dibayangkan bahwa periodontitis
dapat dimulai dengan tidak adanya bakteri yang bertindak sebagai patogen
keystone (Hajishengallis dan Lamont, 2012). Selain itu, perawatan tikus yang
dikolonisasi P.gingivalis menggunakan antagonis complement 5a receptor
(C5aR) menyebabkan eradikasi P.gingivalis dari periodonsium dan
membalikkan perubahan disbiotik (Hajishengallis et al., 2011). Dalam model
kelinci periodontitis, Hasturk et al. (2007a) menggunakan resolvin E1
(RvE1) sebagai pengobatan untuk pengendalian inflamasi. Dalam model
periodontitis yang sama, penulis juga melaporkan pengurangan infiltrasi sel
inflamasi dan kehilangan tulang periodontal ketika merawat dengan asam
lemak monosaturasi, kompleks 1-tetradecanol (1-TDC; Hasturk et al.,
2007b). Studi-studi ini menggambarkan peran peradangan yang menciptakan
disbiosis selama periodontitis pada individu yang rentan. Demikian pula,
pada penyakit usus, diet tinggi lemak dan gula menyebabkan peradangan
usus, yang mengarah pada disbiosis dari mikrobiota usus (Luck et al., 2015;
Gulhane et al., 2016). Perubahan dalam komposisi mikrobiota usus diubah
dengan menggunakan asam 5-aminosalisilat, yang merupakan obat
antiinflamasi (Luck et al., 2015). Dalam penelitian lain yang menggunakan
tikus obesitas, sitokin IL-22, yang merangsang regenerasi jaringan,
meningkatkan integritas barrier mukosa, mengurangi peradangan, dan
merubah mikroba berhubungan dengan obesitas (Gulhane et al., 2016). Oleh
karena itu, peran peradangan host dan patogen dasar dalam menyebabkan
disbiosis perlu dievaluasi lebih lanjut.

Peran mikrobiota patogen

Mikrobiota penyakit radang usus menjadi fokus peminatan pada


beberapa studi. Namun hingga saat ini masih terdapat beberapa perdebatan
mengenai faktor mikroba etiologis pasti IBD. Spesies – spesies yang telah
berkaitan dengan IBD meliputi: Escherichia coli, Listeria monocytogenes,
Yersinia enterocolitica, Clostridium difficile, Mycobacterium avium
paratuberculosis, Salmonella sp., Campylobacter sp., Fusobacterium sp.
(Becker et al., 2015). Mycobacterium avium paratuberculosis merupakan
bakteri pertama yang dijelaskan sebagai faktor patogen IBD (Sanderson et
al., 1992; Hermon-Taylor, 2001) meskipun masih terdapat perdebatan pada
teori yang mengemukakan bahwa Mycobacterium avium paratuberculosis
merupakan penyebab CD (Quirke, 2001). Clostridium difficile pada pasien
IBD berkaitan dengan infeksi parah dan harus ditangani dengan hati – hati
(Stoica et al., 2015). Selain itu, Escherichia coli dan Fusobacterium varium
adherent-invasive juga telah dikaitkan dengan IBD (Ohkusa et al., 2003;
Petersen et al., 2009).
Spesies Fusobacterium normalnya merupakan mikroba komensal pada
lingkungan oral dan usus. Strauss et al. (2011) mengisolasi Fusobacterium
(berdasarkan sekuens gen 16S rRNA) dari 63,6% individu dengan penyakit
gastrointestinal dipasangkan dengan 26,5% kontrol (sehat). Pada 50% pasien
IBD, Fusobacterium nucleatum diisolasi dan pada 4,5% pasien, F.varium
diidentifikasi (Gambar 1). Strain F. nucleatum yang berasal dari biopsi
jaringan dari subjek CD ditemukan memiliki kemampuan meningkat secara
signifikan untuk menginvasi sel epitel usus dibandingkan strain dari jairngan
sehat yang berasal dari pasien IBD atau kontrol sehat. Invasi F. nucleatum
dapat menyebabkan infiltrasi bakteri selanjutnya melalui barrier epitel ke
dalam lumen. F. nucleatum, melalui kemampuannya untuk berikatan dengan
spesies bakteri non-invasif, dapat berpotensi mengirim spesies bakteri
tersebut melintasi epitel (fenomena coinvasion; Edwards et al., 2006).
Temuan ini konsisten dengan peran yang diusulkan sebagai jembatan bakteri
F. nucleatum yang berkontribusi pada ko-agregasi biofilm periodontal
(Bradshaw et al., 1998). F. nucleatum telah terbukti ‘memfasilitasi
kelangsungan hidup obligate anaerob pada lingkungan yang terdapat udara,’
dan telah dinyatakan sebagai salah indicator penting untuk perlekatan koloni
selanjutnya pada penyakit periodontal (Bradshaw et al., 1998, Shaw et al.,
2016).

Untuk mendukung peran potensial patogen periodontal dalam IBD,


Van Dyke et al. (1986) melaporkan bahwa sebagian besar bakteri batang
Gram-negatif motil kecil adalah spesies Wolinella atau Campylobacter dalam
biofilm periodontal pasien IBD. Pada tahun 1988, Engel et al. menemukan
Wolinella recta pada pasien IBD menggunakan probe DNA sel utuh. Dalam
taksonomi baru, Wolinella recta adalah Campylobacter rectus, salah satu
penyebab paling umum dari bakteri gastroenteritis (Tauxe 2002; Man, 2011).
Spesies Campylobacter (C. concius, C. showae, C. hominus, C. gracilis, C.
rectus, C. jejuni, C. curvus, C. ureolyticus) dilaporkan memiliki prevalensi
yang lebih tinggi dalam sampel usus pada pasien IBD. Spesies-spesies
tersebut berkoloni terutama pada rongga mulut (Lee et al., 2016). C. consius,
yang umumnya terdapat dalam rongga mulut manusia, dideteksi sangat
banyak baik pada biopsis usus dan sampel feses pasien IBD dibandingkan
kontrol (Zhang et al., 2014).

Meskipun bakteri memainkan peranan penting pada IBD,


terdapat data menunjukkan peranan fungi dan virus dalam patogenesis IBD.
Sokol et al. (2016) menemukan bahwa rasio keragaman bakteri hingga fungi
meningkat pada CD dan flare penyakit. Fungi dari filum Ascomycota dan
Basidiomycota mendominasi.

Gambar 1. Mikrobioma patogen yang umum dari Crohn’s disease dan


penyakit periodontal.

Ringkasan dan arah masa depan

Sejumlah studi telah menunjukkan hubungan antara PD dan IBD.


Kedua penyakit memiliki faktor etiologi lingkungan dan genetik yang serupa.
Terlepas dari kemajuan dalam metode typing molekuler, peran tepat bakteri
usus tetap sulit dipahami. Dua teori menunjukkan: adanya patogen persisten
yang tidak dapat diidentifikasi baik endogen, eksogen atau metastasis, dan
gangguan spesies bermanfaat dari flora usus oleh flora yang berbahaya.
Mikrobiota periodontal mungkin memiliki peran dalam teori-teori ini; F.
nucleatum, C. rectus dan C. concisus harus dievaluasi lebih lanjut dalam
penelitian mikrobioma usus periodontal. Pada IBD dan penyakit periodontal,
disbiosis mikroba harus dinilai sebagai jalur patogen umum yang dapat
mempengaruhi satu sama lain. Namun, penelitian lebih lanjut dibutuhkan
untuk menetapkan jika disbiosis IBD dan periodontitis kemungkinan akibat
dari inflamasi yang dihasilkan oleh perubahan genetik dan lingkungan host.
Bukti yang terkonvergensi dan dapat direproduksi harus jelas mengenai peran
potensial patogen periodontal yang berkontribusi pada inisiasi, amplifikasi,
dan perpetuasi IBD. Kolonisasi mikroba pada permukaan mukosa usus
berbeda dari kolonisasi pada lumen (Li et al., 2015). Mikroorganisme pada
mukosa usus ditemukan berdekatan dengan epitel usus dan mungkin lebih
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh host dari mikroba luminal/feses
(Forbes et al., 2016). Banyak studi tentang mikrobiota usus menggunakan
bahan tinja untuk pasien, dan karena mikroba luminal / tinja mungkin lebih
relevan untuk interaksi metabolik, pengambilan sampel mikrobiota usus dari
tinja daripada biopsi mungkin tidak cukup mencerminkan totalitas mikroba
yang hidup dalam usus (Forbes et al., 2016). Pengambilan sampel mikrobiota
dari bagian – bagian usus yang berbeda pada pasien IBD penting untuk
menginterpretasi hasil dari studi, karena IBD ileum dan kolon memiliki
kandungan mikrobiologis yang berbeda. Bagian usus yang terlibat dan tidak
terlibat juga menghasilkan informasi yang berbeda mengenai hubungan sebab
akibat. Semua faktor – faktor ini harus dipertimbangkan pada studi di masa
mendatang untuk menetapkan peranan etiologi mikroba pada kedua penyakit
radang usus kronis dan periodontal.

Anda mungkin juga menyukai