Anda di halaman 1dari 26

LAPORAN PRAKTEK FARMAKOTERAPI

SISTEM PERNAFASAN DAN PENCERNAAN


(DEA62040)

SEMESTER GENAP

DISUSUN OLEH KELOMPOK B2


ANGGOTA :
Amrullah Muhammad H. (NIM. 195070501111032)
Annisa Dwi Safira R. (NIM. 195070500111012)
Farah Aprilia Wulandari (NIM. 195070500111038)
Fitri Ananda (NIM. 195070501111030)
Ganesh Afif Naufal M. P. (NIM. 195070507111014)
Maulida Nisa Amalia (NIM. 195070500111014)
Maya Eka Febrianti (NIM. 195070501111024)
Muhamad Bachrul Ulum (NIM. 195070500111030)
Nirshafara Aurira Nabila (NIM. 195070500111016)
Putri Nabilla Wati (NIM. 195070501111010)
Rani Yulinar Palupi (NIM. 195070501111016)
Shafira Gita Eka P. (NIM. 195070500111044)
Shilva Azzaria Putri (NIM. 195070500111042)
Tamara Laily Fimannuha (NIM. 195070501111034)
Yasmin Nabila Adristi (NIM. 195070500111032)
Yulisa Aulia Hardiani (NIM. 195070500111006)

PROGRAM STUDI SARJANA FARMASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
TA 2020/2021
IBD

1. DEFINISI

Inflammatory Bowel Disease (IBD) merupakan istilah umum yang


digunakan untuk menggambarkan kelainan idiopatik yang berhubungan
dengan peradangan pada gastrointestinal. IBD terdiri dari dua penyakit
yaitu Crohn Disease (DC) dan Ulcerative Colitis (UC) (Hyams, 2005). UC
merupakan kondisi peradangan mukosa di kolon serta bersifat akut atau
kronis. Selain UC terdapat PC (Penyakit Crohn) yang kondisinya Patchy
dan terjadi inflamasi Transmural dimana hal ini dapat mempengaruhi
setiap bagian dari saluran pencernaan (Carter et al, 2004).

Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon
bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari
usus besar. Rektum selalu terkena pada UC dan tidak ada “skip area” (area
normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena penyakit)
dimana skip area ini didapatkan pada CD. CD dapat melibatkan bagian
manapun daripada saluran pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan
menyebabkan tiga pola penyakit yaitu penyakit inflamasi, struktur, dan
fistula. Penyakit ini melibatkan segmen-segmen oleh karena proses
inflamasi granuloma non-spesifik. CD juga tidak berkesinambungan dan
memiliki “skip area” antara satu atau lebih dari area yang terkena penyakit
(Abraham, 2009)

2. EPIDEMIOLOGI
Angka kejadian dan manifestasi klinis Inflammatory Bowel
Disease (IBD) sangat bervariasi tergantung pada area geografis dan asal
populasi. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa manifestasi klinis
penderita IBD di negara Asia lebih ringan dibandingkan negara-negara
Barat. Studi pada tahun 2013 mengenai penderita IBD pada Asia
menunjukkan angka 0.5 - lebih dari 3 kasus per 100.000 individu pada
setiap negara di Asia dengan kasus Ulcerative Colitis (UC) terhitung
sekitar 1 kasus per 100.000 individu sedangkan Crohn’s Disease (CD)
terhitung sekitar 0.5 kasus per 100.000 individu. (Siew C, 2016)
Prevalensi paling banyak terjadi di area urban daripada rural, dan negara
maju lebih banyak daripada negara berkembang. Sebuah studi
menunjukkan bahwa sebelum tahun 1960, angka terjadinya UC lebih
tinggi dibandingkan dengan CD, namun data terakhir dinyatakan bahwa
angka kejadian CD sudah hampir sama seperti UC, yang mungkin
perubahan data ini disebabkan oleh berkembangnya pengenalan dan
penegakkan diagnosis CD. Diperkirakan sekitar 1-2 juta penduduk di
Amerika Serikat mengidap UC ataupun DC, dengan angka insiden sekitar
70-150 kasus per 100.000 individu. Berdasarkan statistik internasional,
insiden IBD sekitar 2,2-14,3 kasus per 100.000 orang per tahun untuk UC
dan 3,1-14,6 kasus per 100.000 orang per tahun untuk CD. Angka kejadian
di negara Amerika Serikat, Inggris, dan Skandinavia lebih tinggi jika
dibandingkan dengan negara Eropa, sedangkan di negara Asia dan Afrika
rendah. Di negara Amerika Serikat terdapat 3-5 kasus per 100.000 jiwa
setiap tahunnya. Data mengenai penyakit Crohn di Indonesia sangat
minim dan prevalensi berdasarkan data hasil endoskopi awal tahun 2008,
di seluruh rumah sakit di Indonesia berkisar antara 1-3,3% (Siwy & Gosal,
2020).

Berdasarkan studi epidemiologi lain yang telah dilakukan,


prevalensi kasus IBD cenderung semakin meningkat di negara-negara
Asia. Salah satu studi di negara Cina yang melibatkan 452 pasien IBD
menunjukkan bahwa rerata usia pasien dengan UC adalah 42+14,5 tahun,
sedangkan pasien dengan CD adalah 32,6+12,5 tahun. Hasil studi
epidemiologi di Iran menunjukkan hal yang serupa yaitu usia rerata pasien
UC adalah 37,2+13,7 tahun, sedangkan pada CD adalah 33,8+12,9 tahun.
Perbandingan antara laki-laki dan perempuan pada PC dan KU secara
berurutan adalah 0,9 dan 0,7. Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan
studi yang dilakukan di Cina, yaitu 2,32 dan 1,53. Namun, data yang ada
tidak menunjukkan manifestasi klinis ekstraintestinal IBD. Di Indonesia,
angka insidensi dan prevalensi berbeda-beda antar tiap-tiap daerah dan
umumnya berbasis rumah sakit (Hospital Base Data). Dilaporkan dalam
buku Konsensus Nasional Penatalaksanaan IBD di Indonesia tahun 2011
(KNP IBD 2011) menunjukkan karakteristik UC dan CD di RSCM Jakarta
selama periode 2001 - 2006 dengan prevalensi IBD 8,3%; di RSPAD
Gatot Soebroto Ditkesad Jakarta, dilaporkan pula dari 532 kasus yang
mengalami kolonoskopi selama 5 tahun (2002-2006), rerata prevalensi
IBD adalah 10,15% (Syafruddin & Martamala, 2017).

Angka kejadian IBD pada ras kulit putih kira-kira lebih tinggi
empat kali lipat dibandingkan dengan ras lainnya. Penyakit Crohn dapat
terjadi di semua usia, dengan puncak kejadian di usia 30 sampai 40 tahun,
tidak terdapat perbedaan bermakna antara laki-laki dan perempuan.
Perbandingan insiden antara laki-laki dan perempuan hampir sama untuk
UC dan CD, namun pada perempuan sedikit lebih tinggi. Kedua tipe IBD
ini paling sering didiagnosa pada orang-orang berusia dewasa muda.
Insiden paling tinggi dan mencapai puncaknya yaitu pada usia 15-40
tahun, kemudian berusia 55-65 tahun. Namun, pada anak-anak di bawah 5
tahun maupun pada orang usia lanjut terkadang dapat ditemukan kasusnya.
Dari semua pasien IBD, 10% berusia kurang dari 18 tahun (Siwy & Gosal,
2020).

3. ETIOLOGI

Pada dasarnya etiologi Inflammatory Bowel Disease (IBD) tidak


pasti, banyak teori yang diajukan namun belum terdapat hal yang
diketahui sebagai penyebab IBD. Salah satu teori yang diyakini adalah
peranan mediasi imunologi pada individu yang memang rentan secara
genetis. IBD diyakini merupakan hasil respons imun yang menyimpang
dan berkurangnya toleransi pada flora normal usus yang berakibat
terjadinya inflamasi kronik pada usus Kondisi ini didukung dengan adanya
temuan antibodi terhadap antigen mikrobial dan diidentifikasinya gen
CARD15 sebagai gen penyebab kerentanan terjadinya IBD.7 Secara
genetis, disebutkan bahwa adanya mutasi pada gen NOD2 (gen IBD 1)
atau CARD15 (gen NOD2) di kromosom 16 dapat dikaitkan dengan
terjadinya IBD (terutama untuk PC). Meski demikian, gen-gen ini tidak
disebutkan bersifat kausal terhadap IBD (Firmansyah, 2013).

Kemudian terdapat penelitian yang memperkirakan teori etiologi


IBD, yaitu infeksi spesifik yang persisten, disbiosis (ratio abnormal
daripada agen mikroba yang menguntungkan dan komensal yang
merugikan), fungsi barier mukosa yang terganggu, dan clearance mikroba
yang terganggu. Faktor-faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya
aktivasi respon imun pada IBD adalah organisme patogenik (yang belum
dapat diidentifikasi), respon imun terhadap antigen intraluminal
(contohnya protein dari susu sapi), atau suatu proses autoimun dimana ada
respon imun yang appropriate terhadap antigen intraluminal, adapula
respon yang inappropriate pada antigen yang mirip yang terjadi pada sel
epitel intestinal (contohnya perubahan fungsi barrier). Menurut studi
prospektif E3N, ditemukan bahwa makan makanan dengan protein hewani
yang tinggi (daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko
terjadi IBD. Resiko berkembangnya UC juga meningkat pada orang-orang
yang tidak merokok, namun bukan berarti dengan merokok dapat
menimbulkan perbaikan gejala terhadap 5 penyakit UC. Sebaliknya, untuk
CD insiden lebih tinggi ditemukan pada perokok daripada populasi umum,
dan pasien-pasien dengan CD yang tetap melanjutkan merokok akan lebih
sedikit responnya terhadap terapi (Danastri & Ida, 2013).

4. PATOFISIOLOGI

Terjadinya IBD diduga akibat adanya aktivitas yang berlebihan


dari sistem imun mukosa usus tanpa ada penyebab yang jelas. Sistem imun
pada penderita IBD bekerja secara abnormal dan dapat menyebabkan
inflamasi dan ulserasi saluran cerna. Beberapa faktor seperti genetik dan
lingkungan dapat mempengaruhi terjadinya IBD (Yosy & Salwan, 2014).

Beberapa teori menunjukkan bahwa IBD merupakan sindrom


karena abnormalitas motilitas usus, sensasi visceral (hipersensitivitas
visceral), faktor psikososial, ketidakseimbangan neurotransmitter, infeksi
dan inflamasi, serta faktor genetik (Shalim, 2019 ; Anandita, 2015).
Abnormalitas motalitas usus dapat terjadi karena kondisi stress baik
psikologis maupun fisik dan makanan. Stress psikologis dapat merubah
fungsi motor pada usus halus dan kolon (Anandita, 2015).

Serotonin memegang peranan penting dalam pengaturan sekresi,


motilitas, dan keadaan sensori pada saluran cerna melalui aktivasi dari
beberapa reseptor pada saraf usus halus dan eferen sensoris. Serotonin
mengakibatkan respon fisiologis dan gejala seperti mual, muntah, nyeri
perut, dan kembung. Neurotransmitter lain yang memiliki peranan penting
pada kelainan fungsional saluran cerna meliputi calcitonin gene–related
peptide, acetylcholine, substance P, pituitary adenylate cyclase–activating
polypeptide, nitric oxide, and vasoactive intestinal peptide (Anandita,
2015).

IBD diklasifikasikan menjadi ulcerative colitis (UC) dan Crohn disease


(CD). Berikut adalah patofisiologi dari terjadinya ulcerative colitis (UC)
dan Crohn disease (CD).

a. Ulcerative Colitis (UC)


Pada UC, inflamasi dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon
bagian proksimal, dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari
usus besar. Rektum selalu terkena pada UC, dan tidak ada “skip area”
(area normal pada usus yang diselang-selingi oleh area yang terkena
penyakit), dimana skip area ini didapatkan pada CD. 25% dari kasus
UC perluasannya hanya sampai rektum saja dan sisanya, biasanya
menyebar ke proksimal dan sekitarnya. Pancolitis terjadi pada 10%
dari kasus-kasus yang ada. Usus halus tidak pernah terlibat kecuali jika
bagian akhir distal daripada ileum mengalami inflamasi superfisial,
maka dapat disebut dengan backwash ileitis. Walaupun keterlibatan
total dari kolon lebih sedikit, penyakit ini menyerang serentak dan
berkesinambungan. Jika UC menjadi kronik, maka kolon akan menjadi
kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking, yang menyebabkan
gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema (Rowe, 2011).
b. Crohn Disease
Crohn Disease dapat melibatkan bagian manapun daripada saluran
pencernaan, mulai dari mulut sampai anus, dan menyebabkan tiga pola
penyakit yaitu penyakit inflamasi, striktur, dan fistula. Penyakit ini
melibatkan segmen segmen dikarenakan proses inflamasi granuloma
nonspesifik. Tanda patologi yang paling penting dari CD adalah
transmural, melibatkan seluruh lapisan daripada usus, tidak hanya
mukosa dan submukosa, dimana jika mukosa dan submukosa saja
merupakan ciri dari UC. Selain itu, CD tidak berkesinambungan, dan
memiliki skip area antara satu atau lebih dari area yang terkena
penyakit. Jika penyakit ini berlanjut, mukosa akan tampak seperti batu
bulat (cobblestone) oleh karena ulserasi yang dalam dan longitudinal
pada mukosa yang normal. Tiga pola mayor dari keterlibatan terhadap
CD adalah penyakit pada ileum dan ceccum (40%), penyakit terbatas
pada usus halus (30%) dan terbatas pada kolon (25%). Rectal sparing
khas terjadi pada CD, tetapi tidak selalu terjadi. Namun, komplikasi
anorektal seperti fistula 7 dan abses sering terjadi. Walaupun jarang
terjadi, CD dapat melibatkan bagian saluran pencernaan yang lebih
proksimal, seperti mulut, lidah, esofagus, lambung dan duodenum
(Rowe, 2011).

5. TERAPI NON-FARMAKOLOGI

Untuk terapi non-farmakologi IBD sebagai berikut :


● Pembedahan yaitu diindikasikan untuk gagalnya terapi medikamentosa.
Beberapa indikasi pembedahan segera, meliputi tanda dan gejala kolitis
memburuk, megakolon toksik refrakter, perforasi, peritonitis, obstruksi
akut dan perdarahan yang tidak terkontrol (Hwang&Varma. 2009)
● Menggunakan terapi probiotik (Yogurt, Susu Kefir) yang merupakan
bakteri golongan Lactobacillus spp. dan Bifidobacteria spp. yang
bermanfaat dalam menekan pertumbuhan bakteri patogen (antimikroba),
memperbaiki sawar mukosa, dan sebagai imunomodulator (Priyantoro &
Mustika, 2015)
● Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti sayuran,
kacang kedelai, daging, ikan untuk mengatasi anemia defisiensi besi pada
pasien (DiPiro, 2016).
● Merubah gaya hidup menjadi lebih sehat seperti rajin berolahraga, hindari
stress, dan perbaikan kualitas tidur (Shalim, 2019). Stress dapat memicu
peningkatan sekresi asam lambung sehingga dapat menyebabkan
terjadinya iritasi mukosa yang dapat memperparah rasa nyeri pada perut
pasien (Tussakinah et al, 2018)
● Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat. Serat yang dapat
dikonsumsi berupa serat larut air (sekam psyllium). Serat yang tidak larut
air dapat memperparah distensi abdomen (Shalim, 2019).
● Melakukan diet bebas gluten dan mengurangi intake short chain
carbohydrate seperti fermentable oligosaccharides, disaccharides,
monosaccharides, and polyols (FODMAP) yang terdapat pada gandum,
bawang bombay dan beberapa produk olahan susu. FODMAP akan sulit
diabsorpsi serta akan meningkatkan sekresi air dan fermentasi usus halus
dan kolon yang kemudian meningkatkan produksi asam lemak rantai
pendek dan gas (Shalim, 2019).
● Menghindari makanan yang mengandung lemak, seperti minyak kelapa,
daging, jeroan, otak sapi, kuning telur (Herliana & Sitanggang, 2009).
Kemudian untuk menurunkan kadar kolesterol dapat mengkonsumsi jus
buah naga dan protein soya (Yani, 2015)
● Menghindari makanan berkarbohidrat tinggi dan manis untuk mengontrol
DM (DiPiro, 2015).
6. TERAPI FARMAKOLOGI

Penatalaksanaan IBD dapat dengan terapi obat-obatan, pembedahan,


maupun kombinasi keduanya (lebih sering kombinasi). Pendekatan terapi
farmakologi pada pasien IBD yaitu terapi berdasarkan gejala dan pendekatan
secara step-wise dengan obat-obatan sampai respon yang diharapkan tercapai.
untuk terapi dengan obat - obatan ( terapi Farmakologi ) dapat diberikan terapi
sebagai berikut :

1. Terapi simtomatis.

Terapi ini diberikan karena pasien yang mengalami IBD biasanya memiliki
gejala seperti diare, spasme atau nyeri, dan ketidaknyamanan epigastrium,
maka dari gejala ini dapat diberikan obat-obatan seperti antidiare,
antispasmodic, pereda asam lambung, dan lain-lain.

2. Terapi Step-Wise

Terapi ini diberikan dengan cara memberikan obat yang paling ringan atau
diberikan terapi sementara terlebih dahulu, jika obat itu gagal, maka,
obat-obatan pada tahap berikutnya yang digunakan. contoh obat yang
biasanya digunakan pada terapi ini sesuai dengan step nya adalah :

- Step 1 → Aminosalisilat

untuk menangani perluasan IBD dan mempertahankan remisi.

- Step 1a → Antibiotik.

indikasi antibiotik ini berbeda tergantung pada tipe IBD yang


dialami pasien. untuk pasien dengan UC menggunakan antibiotik
untuk perioperatif, sedangkan pada CD antibiotik digunakan pada
berbagai indikasi, paling sering adalah penyakit perianal.

- Step 2 → Kortikosteroid

agen anti inflamasi yang bekerja dengan cepat dan indikasinya


untuk IBD yaitu pada penyakit dengan perluasan akut saja, tidak
untuk mempertahankan remisi.

- Step 3 → Immune modifier

Terapi ini paling sering untuk pasien dengan penyakit yang


refraktorius, terapi primer untuk fistula, dan mempertahankan
remisi.
3. Terapi Pembedahan

Pendekatan dengan terapi pembedahan pada IBD bervariasi tergantung


pada penyakitnya. Yang terpenting, UC merupakan penyakit yang dapat
disembuhkan dengan pembedahan karena terbatas pada kolon. Sedangkan
CD yang dapat melibatkan seluruh segmen saluran pencernaan dari mulut
sampai anus,maka pembedahan dengan reseksi bukan merupakan terapi
yang kuratif. ( Danastri & Putra, 2013).

7. KASUS PRAKTEK FARMAKOTERAPI

Tn. Has umur 43 tahun, BB 52 kg, TB 167 cm sedang rawat inap di RS


Aminah dengan keluhan nyeri perut (terkadang kram) dengan rasa mual.
Mulai 3 hari yang lalu mengalami diare dengan bercak darah bewarna
merah segar. Wajah Tn. Has terlihat pucat, lemah dan lesu. Untuk
mengatasi diarenya Tn. Has menggunakan terapi Renalit dan Norit.
Namun diare tetap terjadi hingga saat ini.

Saat datang ke RS. Aminah, dokter memutuskan untuk melakukan


kolonoscopy. Hasil kolonoscopy adalah terdapat lesi pada kolon. Lesi
berupa superficial tanpa adanya granuloma dan folikel. Mukosa kolon
sudah rigid/ kaku.

Riwayat penyakit : Diabetes (+), HT (-)

Riwayat pengobatan : Acarbosa dan Glimepirid (teratur), sering


mengkonsumsi antibiotik jika radang tenggorokan.

Riwayat sosial :

- Mengkonsumsi susu sapi rutin tanpa gula dan merokok sejak remaja
- Bekerja sebagai manajer pemasaran dan tinggal di kawasan industry
- Bercerai sejak 1 tahun yang lalu
Data klinik : ( 23/12-2018)

TD = 130/90 mmHg

T = 39o C

RR = 22 kali/menit

HR = 90 kali/menit

GCS = 456

Alergi = ( - )

Data laboratorium : ( 23/12-2018)

WBC = 22.000/ uL GDP = 100 mg/dL

Hb = 9,5 g/dL GD 2PP = 180 mg/dL

Trombosit = 85.000 sel/mm3 Eritrosit = 3.000.000/uL

GDA = 120 mg/dL Kolesterol total = 250 mg/dL

Data terapi pengobatan :

Obat Dosis 23/12 24/12 25/12


Ringer Lactat 28 tts/ mnt + + 22 tts/mnt
Sulfazalasin 1 mg 4 x sehari + + +
Asam traneksamat 3 x sehari + - -
650 mg
Methyl Prednisolon 3 x sehari + + +
16 mg
Ranitidin 150 mg 2 x sehari + + +
Inpepsa syr 1 gr 4x sehari + + +
Primadex F 2x sehari + + +
Hemobion 1 x sehari + + +
PERTANYAAN :

1. Menurut pendapat anda, apakah yang terjadi pada pasien diatas?


Berdasarkan semua data yang ada (gejala, klinik dan laboratorium)!
a. Gejala
● Pasien mengalami diare dengan bercak darah berwarna merah segar
atau hematochezia sehingga pasien diduga menderita penyakit
Inflammatory Bowel Disease yaitu Ulcerative Colitis (UC). UC
terfokus pada kolon hingga rektum yang termasuk bagian bawah
GIT (DiPiro, 2015). Adanya bercak darah merah segar karena pada
bagian rektal terjadi pendarahan.
● Pasien mengalami nyeri perut dan terasa mual yang dapat menjadi
gejala awal dari UC. Kondisi ini dikarenakan nyeri tekan pada
abdomen dapat terjadi sebagai tanda dari peritonitis lokal. Gangguan
pada saluran cerna berupa mual muntah, nyeri pada perut, dan rasa
tidak nyaman di perut juga dapat disebabkan oleh pendarahan yang
terjadi pada daerah rektum menjalar ke saluran cerna atas dan bisa
mengenai bagian akhir usus halus. Kondisi pasien dengan
megakolon toksik dapat mengarah pada terjadinya sepsis yang
ditandai dengan demam tinggi dimana suhu tubuh diatas 38°C, atau
suhu tubuh dibawah 35°C, letargi, menggigil, takikardi,
meningkatnya nyeri pada abdomen dan distensi abdomen (Danastri
dan Ida, 2013).
● Pasien terlihat pucat, lemah, dan lesu dikarenakan terjadi anemia.
Anemia pada pasien terjadi karena adanya bercak darah berwarna
merah ketika diare (Danastri dan Idan, 2013). Selain itu, data lab
juga menunjukkan bahwa jumlah hemoglobin pasien berada dibawah
nilai normal.
b. Data Klinik
● Suhu pada pasien mencapai 39°C (normal 36.5 – 37.2°C), Demam
dapat terjadi pada IBD(Yosy dan Salman, 2014). Suhu meningkat
karena faktor inflamasi dari keluhan nyeri perut disebabkan oleh
toksin yang dihasilkan oleh pathogen yang mengakibatkan
rangsangan pirogenik. Rangsangan ini membuat makrofag, monosit
dan sel-sel kupffer mengeluarkan zat kimia yang dikenal sebagai
pirogen endrogen yang bekerja pada pusat termoregulasi
hipotalamus untuk meningkatkan patokan thermostat (Danastri dan
Ida, 2013). Suhu tubuh yang tinggi juga dapat mengindikasikan
adanya infeksi karena dysbiosis pada saluran cerna, dimana terjadi
perubahan jumlah dan jenis flora normal pada saluran cerna bawah
yang dapat menyebabkan terjadinya IBD. Namun pada kasus ini
tidak ditunjukkan penyebab infeksi karena tidak adanya data stool
test.
● RR pasien 22 kali/menit dimana nilai normal untuk RR adalah 12-16
kali/menit, diduga pasien merasa sesak sehingga membutuhkan O2
lebih banyak dan ditunjukkan dengan meningkatnya RR. Nilai RR
yang tinggi juga dapat menjadi salah satu tanda terjadinya sepsis
pada pasien.
c. Data Laboratorium

Data Lab Hasil Pemeriksaan Nilai Normal

WBC (Leukosit) 22.000/uL 4-10 x 10^3/uL

Hemoglobin 9,5 g/dL 13,8 - 17,2 g/dl (pria)


12,1 - 15,1 g/dl (wanita)

Trombosit 85.000 sel/mm3 150.000 - 350.000 sel/mm3

GDA 120 mg/dL ≤ 200 mg/dL

GDP 100 mg/dL 76-110 mg/dL

GD2PP 180 mg/dL 80-125 mg/dL

Eritrosit 3.000.000/uL 4,3-6,0 x 106 /µL

Kolestrol total 250 mg/dL < 200 mg/dL

Kolonoscopy Terdapat lesi pada kolon

Komentar dan Alasan :


1. Jumlah leukosit 22.000/uL dimana nilai normal leukosit adalah 4000-10.000/uL,
menandakan pasien mengalami leukositosis yang mengindikasikan bahwa terdapat
infeksi atau inflamasi pada pasien.
2. Jumlah hemoglobin 9,5 g/dL dimana nilai normal Hb adalah 13,8 - 17,2 g/dl dan
jumlah eritrosit 3.000.000/uL dibawah normal, sehingga pasien dinyatakan mengalami
anemia yang dapat disebabkan karena adanya bercak darah berwarna merah segar dan
pasien yang tampak pucat, lemah, dan lesu yang menandakan anemia (Danastri & Ida,
2013).
3. Jumlah trombosit 85.000 sel/mm3 dibawah normal, pasien mengalami
trombositopenia yang dapat terjadi karena terdapat gangguan fungsi platelet yang
disebabkan oleh inflamasi.
4. Jumlah kolestrol total 250 mg/dL yang menandakan jumlah diatas normal dimana
normalnya <200 mg/dL, ambang batas tinggi 200-239 mg/dL), dimana data pasien
telah masuk rentang ambang batas tinggi karena nilai kolesterol normal adalah <
200mg/dL. Hal ini dapat berkaiatan dengan pola diet pasien yang tidak teratur.
Sehingga menyebabkan gangguan metabolisme lipid pada pasien.
5. Kolonoscopy digunakan untuk melihat tingkat keparahan dan jenis dari IBD. Hasil
kolonoscopy pasien yaitu terdapat lesi pada kolon. Lesi berupa superficial tanpa
adanya granuloma dan folikel. Mukosa kolon sudah rigid/ kaku. Sehingga
disimpulkan bahwa pasien menderita UC(Ulcerative Colitis). Inflamasi pada UC
(Ulcerative Colitis) dimulai dari rektum dan meluas sampai kolon bagian proksimal,
dengan cepat melibatkan hampir seluruh bagian dari usus besar. Jika UC menjadi
kronik, maka kolon akan menjadi kaku (rigid), memiliki sedikit haustral marking,
yang menyebabkan gambaran pipa yang lebam/hitam pada barium enema (Danastri &
Ida, 2013).

2. Apakah etiologi penyebab penyakit tersebut?


Sebab pasti dari Inflammatory bowel disease belum sepenuhnya diketahui.
Tetapi, terdapat beberapa dugaan mengarahkan kepada beberapa penyebab
antara lain
a. Stress
Dikarenakan pasien bercerai sejak 1 tahun lalu maka diduga
mengalami stress. Komponen yang berhubungan dengan suasana hati,
seperti kecemasan dan depresi berkontribusi pada eksaserbasi CD, namun
stres dan faktor psikologis bukan merupakan penyebab langsung IBD
(DiPiro, 2017).
b. Lingkungan
Dikarenakan pasien tinggal pada kawasan industri maka pasien
diduga mendapatkan paparan mikroorganisme lebih banyak, di mana
menurut “Hygiene hypotesis” menyebutkan bahwa kondisi yang lebih
bersih di negara yang lebih maju membuat pasien terpapar
mikroorganisme lebih sedikit. Sebaliknya pada kondisi yang
kebersihannya rendah maka risiko untuk terpapar mikroorganisme
semakin tinggi (DiPiro, 2017).
c. Asap Rokok
Berdasarkan penelitian epidemiologi, asap rokok dapat
meningkatkan resiko IBD terutama crohn's disease (Conses J, dll 2011).
Resiko berkembangnya UC meningkat pada orang-orang yang tidak
merokok, namun merokok bukan berarti dapat menimbulkan perbaikan
penyakit UC. Sedangkan pada CD insiden lebih tinggi ditemukan pada
perokok daripada populasi umum, dan pasien-pasien dengan CD yang
tetap melanjutkan merokok akan lebih sedikit responnya terhadap terapi
(Danastri & Putra, 2013). Biasanya diberikan nikotin transdermal (DiPiro,
2017).
d. Infeksi mikroorganisme
M. paratuberculosis, Pseudomonas sp., dan Listeria sp. diduga
sebagai penyebab terjadinya Cohrn’s disease. Sedangkan Bacillus sp., E.
coli adhesif, dan Fusobacterium varium diduga berperan terhadap
terjadinya Ulcerative Colitis (Salwan & Yosy, 2014).
e. Diet
Salah satu faktor pencetus yang memungkinkan terjadinya aktivasi
respon imun pada IBD adalah respon imun terhadap antigen intraluminal
(contohnya protein dari susu sapi). Menurut studi prospektif E3N,
ditemukan bahwa makan makanan dengan protein hewani yang tinggi
(daging atau ikan) berhubungan dengan meningkatnya resiko terjadi IBD
(Danastri & Putra, 2013).
f. Antibiotik
Dalam riwayat pengobatannya, pasien diketahui sering
mengkonsumsi antibiotik ketika radang tenggorokan. Hubungan dengan
perkembangan IBD setelah penggunaan antibiotik telah ditemukan, namun
hubungan sebab akibat masih belum jelas. Antibiotik dapat mengubah
flora normal pada usus menjadi mekanisme risiko meningkatnya kejadian
IBD (DiPiro, 2017) karena terjadi gangguan kesimbangan mikrobiota
saluran cerna (dysbiosis). Gangguan keseimbangan mikrobiota saluran
cerna tersebut dapat mempengaruhi kemampuan sistem imun dari pasien
dan menyebabkan berbagai penyakit, mekanismenya meliputi adhesi
bakteri patogen pada dinding sel usus, pembentukan lesi mukosa usus, dan
inflamasi usus yang menyebabkan penurunan keragaman bakteri protektif
dan peningkatan jumlah bakteri patogen (Kurniati, 2016). Peningkatan
jumlah bakteri patogen dapat menghasilkan gangguan integritas saluran
cerna dan sistem imun saluran cerna pasien.

g. Obat-obatan
Konsumsi obat NSAID dapat menghambat produksi prostaglandin
melalui penghambatan siklooksigenase yang dapat merusak mekanisme
pelindung penghalang mukosa (DiPiro, 2017).

h. Mekanisme imunologi
Protein NOD (untuk pengenalan organisme) dan toll-like
membrane receptors (TLRs) terlibat dalam perlindungan usus dan dapat
menyebabkan pelepasan antibakteri peptida seperti defensin, di antara
fungsi lainnya. Penurunan sekresi defensin oleh sel Paneth dianggap
sebagai salah satu faktor penyebab hilangnya fungsi penghalang yang
efektif sehingga dinding usus dalam CD ditembus oleh limfosit, sel
plasma, sel mast, makrofag, dan neutrofil, sehingga menyebabkan
pembentukan granuloma dan mungkinan memodifikasi apoptosis sel epitel
(DiPiro, 2017).

i. Faktor predisposisi genetik

Kromosom 16 (gen IBD 1) menyebabkan teridentifikasinya gen


NOD2 (yang saat ini disebut CARD15) merupakan gen pertama yang
berhubungan dengan IBD. Kromosom 5 (5q31) dan kromosom 6 (6p21
dan 19p) sebagai gen berhubungan dengan IBD. Gen-gen tersebut bukan
penyebab (kausatif) daripada IBD, namun mendukung untuk terjadinya
IBD (permisif) (Danastri & Putra, 2013).
3. Jelaskan data serologi spesifik yang diperlukan untuk menegakkan
penyakit pasien diatas!
Pada kasus pasien di atas sebenarnya tes serologi tidak terlalu
dibutuhkan karena telah dilakukan kolonoskopi. Hasil tes kolonoskopi
tersebut juga sudah dapat mengidentifikasi jenis atau tipe IBD yang
diderita pasien beserta tingkat keparahannya melalui visualisasi dari
seluruh lapisan usus besar dengan jelas. Data serologi sendiri merupakan
data tambahan yang digunakan untuk menguatkan diagnosa namun tidak
bisa digunakan untuk diagnosis definitif IBD (WGO, 2015).
Data serologi yang bisa digunakan adalah hasil pemeriksaan tes
serologi p-ANCA (perinuclear anti-neutrophil cytoplasmic antibodies).
p-ANCA adalah salah satu jenis antibodi ANCA di samping c-ANCA, di
mana ANCA sendiri adalah antibodi yang diarahkan untuk melawan
komponen sitoplasma dari neutrofil. p-ANCA adalah autoantibodi yang
terdiri dari antibodi myeloperoksidase (MPO) yang dihasilkan pasien
dengan IBD dan akan bereaksi silang dengan bakteri intestinal. Parameter
yang dilihat dari pemeriksaan ini adalah hasil dari respon antibodi
myeloperoksidase dimana :
● positif apabila kadarnya ≥ 26 AU/mL
● equivocal/samar apabila kadarnya 20-25 AU/mL
● negatif apabila kadarnya ≤ 19 AU/mL
Hasil positif p-ANCA ditemukan pada 50-70% pasien dengan UC tetapi
hanya pada 20% pasien dengan CD (Pagana dkk., 2019). Untuk membuat
hasil uji semakin spesifik, maka bisa dilakukan tes ASCA
(anti-Saccharomyces cerevisiae antibody). Apabila tes ASCA
menunjukkan hasil negatif dan p-ANCA positif maka pasien kemungkinan
besar menderita UC karena tes ASCA lebih sensitif untuk CD (WGO,
2015).

4. Jelaskan indikasi untuk terapi yang diberikan dan jelaskan apakah


terjadi permasalahan pengobatan yang diterima pasien !
Obat Indikasi Kontraindikasi Permasalahan Terapi

Ringer lactat Menggantikan cairan Pasien dengan Pemberian terapi sudah tepat karena
tubuh yang hilang cerebral enema Tn. Has mengalami diare selama 3
karena pasien diare (NCBI, 2021) hari dan untuk memulihkan kondisi
(NCBI, 2021) lemas, lesu, dan pucat yang terjadi
akibat gangguan keseimbangan
elektrolit dalam tubuh. Selain itu,
formulasi ringer lactat tidak
mengandung gula sehingga cocok
untuk Tn. Has yang memiliki
riwayat DM.

Sulfasalazin Mengatasi inflamasi ● Hipersensiti Pemberian sulfasalazin sudah tepat


lokal pada usus besar vitas karena pada kasus Tn. Has hasil
serta meredakan terhadap colonoscopy menunjukan IBD yang
pendarahan pada sulfasalazine termasuk moderate ditunjukkan
rektum (Lexi, 2007) , obat sulfat, dengan adanya lesi superfisial dan
salisilat, diare dengan feses berwarna merah
atau disertai gejala anemia. Kemudian
komponen pemberian dosis 4 mg/day sudah
formulasi tepat karena rentang dosisnya 4-6
lain mg/day dan dosisnya dapat
● Porfiria ditingkatkan jika tidak terjadi
● Obstruksi perbaikan. Namun, pemberian
pada GI atau sulfasalazine harus dibatasi karena
GU memiliki efek samping yang dapat
● Ibu hamil memperparah nyeri perut dan diare
pada pasien (Dipiro, 2015).

Asam Sebagai ● Cacat Pemberian sudah tepat karena


traneksamat antifibrinolitik untuk penglihatan pasien mengalami pendarahan yang
mengatasi dapatan terlihat dari diare dengan feses
pendarahan pada ● Pembekuan berwarna merah yang diduga karena
pasien yang ditandai intravaskula adanya lesi pada kolon. Pada data
dengan diare dengan r aktif hasil lab menunjukkan gejala
feses berwarna merah ● Pendarahan anemia dan trombositopenia. ·
(Lexi, 2007) subarachnoi Penggunaan asam traneksamat
d menyebabkan degradasi pada retina,
● Anti pada beberapa penelitian yang
inhibitor dilakukan pada hewan menunjukkan
koagulan adanya kerusakan pada retina yang
terkonsentra menyebabkan gangguan penglihatan
si dan mengganggu sistem saraf pada
(Lexi, 2007) mata yang mengatur warna sehingga
bisa menyebabkan gangguan
pembedaan warna. Tidak disarankan
penggunaan asam traneksamat pada
orang dengan gangguan penglihatan
selama >3 bulan. Obat ini
menyebabkan aktif intravascular
blotting (pembekuan darah) dan jika
ada pasien yang punya riwayat
iskemik jantung maka harus lebih
waspada atau berhati-hati. Ini
digunakan dosis terendah dulu yaitu
500 mg.

Methyl untuk meredakan ● Infeksi Pemberian metil prednisolone sudah


prednisolon inflamasi pada pasien jamur tepat karena merupakan obat
IBD sistemik golongan kortikosteroid yang
kecuali diberikan pada pasien IBD dengan
terapi anti UC moderate hingga severe dan
infeksi dikombinasikan dengan
khusus sulfasalazine untuk meredakan
● Digunakan inflamasi. Pada kasus ini, Tn. Has
dengan IM mengalami UC kategori moderate
dalam sehingga penggunaannya sudah
purpura sesuai. Namun, perlu dilakukan
trombositop monitoring, dimana Tn. Has
enia memiliki riwayat DM dan
idiopatik kortikosteroid dapat meningkatkan
● Hindari glukoneogenesis. MESO harus
pemberian dilakukan terutama untuk
vaksin hidup pemakaian jangka panjang.
atau vaksin
yang
dilemahkan
secara
bersamaan
pada pasien
yang
menerima
dosis
imunosupres
if
● Hipersensiti
vitas metil
prednisolone
(Lexi, 2007)

Ranitidin untuk mengatasi Hypersensitifit Pemberian ranitidine sudah tepat,


perdarahan pada as terhadap agar tidak memperparah kondisi lesi
saluran pencernaan. ranitidine atau pada colon dengan mencegah
kemungkinan terjadi komponen sekresi HCl (Lexi, 2007). Namun
akibat adanya lesi formulasi ranitidin dapat berinteraksi dengan
pada kolon (Lexi, lainnya. (Lexi, inpepsia dimana kombinasi dengan
2007) 2007) inpepsia dapat menurunkan absorpsi
ranitidin dan dapat berinteraksi
dengan hemobion (Ferrous
fumarate) yang menyebabkan
penurunan absorpsi Ferrous
fumarate yang mengakibatkan
penurunan konsentrasi serum dan
berpotensi menurunkan efikasi.
(Drugbank, 2021)

Inpepsa syr Sebagai mucosal Hypersensitifit Inpepsa merupakan sucralfat yang


protectant (DiPiro, as terhadap berfungsi melindungi atau melapisi
2015) untuk sucralfate atau mukosa lambung, dan berkerja pada
mengatasi tukak komponen kondisi asam dalam lambung
duodenal dan formulasi (DiPiro, 2015). Berdasarkan gejala
lambung lainnya. (Lexi, yaitu mengalami diare yaitu bercak
(mengandung 2007) darah berwarna segar dan dari hasil
sucralfate) (Lexi, colonoscopy terdapat lesi pada
2007) kolon, sedangkan inpepsa melapisi
mukosa lambung yang jauh dari
colon. Sehingga pemberian inpepsa
kurang tepat, karena pasien
mengalami lesi pada colon tidak
pada lambung dan pada pasien juga
tidak ada riwayat gastritis. interaksi
obat dengan ranitidine dimana
inpepsia dapat menyebabkan
absorpsi ranitidin berkurang
sehingga mengurangi efikasi
ranitidin maka harus diperhatikan
urutan konsumsinya (Drugbank,
2021).

Primadex F Agent antibakteri, ● Gagal ginjal Sudah tepat untuk mengatasi


untuk mengatasi dan permasalahan bakteri pada
permasalahan bakteri gangguan pencernaan karena pada pasien
pada pecernaan fungsi hati menunjukkan gejala infeksi yang
(BNF, 2018) yang berat. disebabkan oleh terganggunya flora
(Pionas, normal pada pencernaan. Tetapi
2021) sebaiknya dilakukan kultur terlebih
● Porfiria dahulu untuk mengetahui apakah
akut. (BNF, obat ini sudah sesuai dengan
2018) targetnya. Jika sudah sesuai,
pemberian obat ini dapat
dilanjutkan.

Hemobion Mengatasi anemia ● Hipersensiti Pemberian hemobion sudah tepat


defisiensi besi (Lexi, vitas karena pasien mengalami anemia.
2007) terhadap Dengan mengonsumsi hemobion
garam besi maka anemia pasien dapat teratasi.
atau ranitidin dapat berinteraksi dengan
komponen hemobion (Ferrous fumarate) yang
formulasi menyebabkan penurunan absorpsi
lainny Ferrous fumarate yang
● hemochrom mengakibatkan penurunan
atosis konsentrasi serum dan berpotensi
● anemia menurunkan efikasi. (Drugbank,
hemolitik 2021)
(Lexi, 2007)

5. Jelaskan terapi yang perlu ditambahkan berdasarkan kondisi pasien!


● Terapi farmakologi
● Pemberian sulfasalazine dapat mengganggu absorbsi folat
sehingga diperlukan penambahan pengonsumsian 1 mg/day
folat supplement (misal: Folavit tablet) (Lexi, 2007).
Berdasarkan WGO Global Guidline, pasien yang menerima
sulfazalasin ditambahkan dengan pemberian asam folat. Obat
asam folat diberikan untuk mencegah defisiensi asam folat
akibat efek interaksi obat sulfazalasin yang dapat menghambat
transportasi asam folat pada usus (Swinson et,all. 1981)
● Paracetamol sebagai analgesik antipiretik diberikan untuk
meredakan demam dan nyeri pada pasien. Paracetamol dapat
diberikan secara oral dengan dosis 325-650 mg setiap 4-6 jam
atau 1000 mg 3-4 kali sehari. Paracetamol bekerja dengan cara
menghambat sintesis prostaglandin di sistem saraf pusat,
menghambat impuls nyeri perifer, dan menghasilkan
antipiresis dari penghambatan pusat pengaturan panas di
hipotalamus (Lexi). Paracetamol dapat bekerja dengan cara
meningkatkan dilatasi pembuluh darah perifer dan mobilisasi
air sehingga terjadi pengenceran darah dan pengeluaran
keringat (Anggraeni dkk, 2016). Paracetamol dapat
menyebabkan hepatotoksisitas apabila penggunaan obat
overdosis sehingga penggunaannya dapat dihentikan jika
demam dan nyeri pada pasien sudah berkurang .
● Terapi Non-Farmakologi
● Menggunakan terapi probiotik (Yogurt, Susu Kefir) yang
merupakan bakteri golongan Lactobacillus spp. dan
Bifidobacteria spp. yang bermanfaat dalam menekan
pertumbuhan bakteri patogen (antimikroba), memperbaiki
sawar mukosa, dan sebagai imunomodulator (Priyantoro &
Mustika, 2015)
● Mengkonsumsi makanan yang mengandung zat besi seperti
sayuran, kacang kedelai, daging, ikan untuk mengatasi anemia
defisiensi besi pada pasien (DiPiro, 2017).
● Merubah gaya hidup menjadi lebih sehat seperti rajin
berolahraga, hindari stress, dan perbaikan kualitas tidur
(Shalim, 2019). Stress dapat memicu peningkatan sekresi asam
lambung sehingga dapat menyebabkan terjadinya iritasi
mukosa yang dapat memperparah rasa nyeri pada perut pasien
(Tussakinah et al, 2018)
● Konsumsi makanan yang banyak mengandung serat. Serat
yang dapat dikonsumsi berupa serat larut air (sekam psyllium).
Serat yang tidak larut air dapat memperparah distensi
abdomen (Shalim, 2019).
● Melakukan diet bebas gluten dan mengurangi intake short
chain carbohydrate seperti fermentable oligosaccharides,
disaccharides, monosaccharides, and polyols (FODMAP) yang
terdapat pada gandum, bawang bombay dan beberapa produk
olahan susu. FODMAP akan sulit diabsorsi serta akan
meningkatkan sekresi air dan fermentasi usus halus dan kolon
yang kemudian meningkatkan produksi asam lemak rantai
pendek dan gas (Shalim, 2019).
● Menghindari makanan yang mengandung lemak, seperti
minyak kelapa, daging, jeroan, otak sapi, kuning telur
(Herliana & Sitanggang, 2009). Kemudian untuk menurunkan
kadar kolesterol dapat mengkonsumsi jus buah naga dan
protein soya (Yani, 2015)
● Menghindari makanan berkarbohidrat tinggi dan manis untuk
mengontrol DM (DiPiro, 2015)
DAFTAR PUSTAKA

Abraham C. 2009. Mechanism of Disease: Inflammatory Bowel Disease. N Engl J


Med. Vol. 361: 2066-78

Anandita, N. S. 2015. Irritable Bowel Syndrome. MAJORITY Journal 4(2), pp.


74-82.

Anggraeni, E. N. & Pramitaningastuti, A. S. 2016. STUDI UJI DAYA ANTIINFLAMASI


DAN ANTIPIRETIK EKSTRAK ETANOL DAUN LENGKENG (Dimocarpus
longan Lour) PADA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) GALUR
WISTAR. Jurnal Ilmiah Farmasi 12(2), pp. 1-8
BNF. 2018. British National Formulary 76th Edition. London : Pharmaceutical
Press.

Carter, M. J., A. J. Lobo, dan S. P. Travis. 2004. Guidelines for The Management
of Inflammatory Bowel Disease in Adults. Gut 2004; 53 (Suppl V): v1-v16

Danastri, I. G. A. M., Putra, I. B.D. 2013. Inflammatory Bowel Disease. E-Jurnal


Medika Udayana. 1-29.

DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edition., McGraw-Hill Education
Companies, Inggris.

DiPiro, J.T. et al. 2017. Pharmacotherapy: A Pathophysiologic Approach. 10th ed.


New York: McGraw-Hill Education.

Drugbank. 2021. Ferrous fumarate. https://go.drugbank.com/drugs/DB14491.


Diakses pada April 2021

Drugbank. 2021. Ranitidine. https://go.drugbank.com/drugs/DB00863. Diakses


pada April 2021

Drugbank. 2021. Sucralfate. https://go.drugbank.com/drugs/DB00364. Diakses


pada April 2021

Firmansyah, M. A. 2013. Perkembangan Terkini Diagnosis dan Penatalaksanaan


Inflammatory Bowel Disease. Cermin Dunia Kedokteran 40 (4) : 247 - 252.
Herliana, E. & M., Sitanggang. 2009. Solusi Sehat Mengatasi Kolesterol Tinggi.
Jakarta: Argomedia Pustaka.

Hwang J, Varma M. 2009 . Surgery for Inflammatory Bowel Disease. World J


Gastroenterol. 14(17): 2678–2690.

Hyams, J. S. 2005. Inflammatory Bowel Disease. Pediatrics in Review, Vol.26:


314-20

Lexi Comp. 2007. DRUG INFORMATION HANDBOOK : A Comprehensive


Resource for All Clinicians and Healthcare Professional. Ohio : AphA

Pagana, K. D., Pagana, T. J., Pagana, T. N. 2019. Mosby’s Diagnostic and


Laboratory Test Reference Fourteenth Edition. Missouri: Elsevier.

Pionas. 2021. KOTRIMOKSAZOL (KOMBINASI TRIMETOPRIM DAN SULFA


METOKSAZOL DENGAN PERBANDINGAN 1:5).
http://pionas.pom.go.id/monografi/kotrimoksazol-kombinasi-trimetoprim-dan
-sulfa-metoksazol-dengan-perbandingan-15. Diakses pada April 2021

Priyantoro, S.T. & S., Mustika. 2015. Peranan Gut Mikrobiota dalam Patogenesis
Inflammatory Bowel Disease dan Pendekatan Terapi Probiotik. Cermin Dunia
Kedokteran 42(6):467-470.

Rowe WA. 2011. Inflammatory Bowel Disease. Available at:


http://emedicine.medscape.com. Last update: June 30. Diakses pada 28 April
2021

Salwan H, Yosy D. 2014. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak. MKS 46(2)
158-163

Shalim, C. P. 2019. Diagnosis dan Tatalaksana Irritable Bowel Syndrom. _Cermin


Dunia Kedokteran Journal_46(12), pp. 754-758

Siew, C. 2016. Emerging Trends of Inflammatory Bowel Disease in Asia.


Gastroenterol Hepatol Journal. 12(3), pp. 193–196.
Siwy, P.V & Gosal, F. 2020. Penyakit Crohn : Laporan Kasus. Medical Scope
Journal (MSJ). 2(1) : 7-16.

Swinson, C.M., Perry, J., Lumb, M and Levi, A.J., 1981. Role of Sulphasalazine
in the aetiology of Folate Deficiency in Ulcerative Colitiz. Gut Journal.
(22):456-461

Syafruddin, H. & Martamala, R. 2017. Insidensi Kholangitis Kronik Sebagai


Manifestasi Ekstraintestinal Penderita IBD Di RSPAD Gatot Soebroto Jakarta
Pusat. Jurnal Profesi Medika. 11(1) : 32-40.

Tussakinah, W., Masrul., & I.R. Burhan. 2018. Hubungan Pola Makan dan
Tingkat Stres terhadap Kekambuhan Gastritis di Wilayah Kerja Puskesmas
Tarok Kota Payakumbuh Tahun 2017. Jurnal Kesehatan Andalas 7(2)
:217-225.

World Gastroenterology Organisation. 2015. Global Guidelines for Inflammatory


Bowel Disease. Kanada: WGO.

Yani, M. 2015. Mengendalikan Kadar Kolesterol pada Hiperkolesterolemia.


Jurnal Olahraga Prestasi 11(2):1-7.

Yosy, D. & Salwan, H. 2014. Inflammatory Bowel Disease Pada Anak. Majalah
Kedokteran Sriwijaya 46(2), pp. 158-163

Anda mungkin juga menyukai