Anda di halaman 1dari 52

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan

karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja

insulin, atau gabungan keduanya. World Health Organization (WHO)

sebelumnya telah merumuskan bahwa diabetes melitus merupakan sesuatu

yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat tetapi

secara umum dikatakan sebagai suatu kumpulan problema anatomik dan

kimiawi akibat dari sejumlah faktor yang diakibatkan defisiensi insulin

absolut atau relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2015).

Manajemen penyakit diabetes melitus yang buruk menjadi penyebab

munculnya komplikasi dan kerusakan organ yang memperburuk kualitas

hidup individu. American Diabetic Assosiation (ADA) tahun 2017

mengklasifikasikan diabetes melitus menjadi tipe 1, tipe 2, gestasional, dan

diabetes tipe spesifik.

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2,

yang ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja

insulin (resisten insulin) pada organ target terutama hati dan otot

(Purnamasari, 2015). Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh faktor resiko

yang tidak dapat berubah misalnya jenis kelamin, umur, dan faktor genetik,

kemudian faktor resiko yang dapat diubah misalnya kebiasaan merokok,

tingkat pendidikan, pekerjaan, aktivitas fisik, konsumsi alkohol, indeks masa

1
2

tubuh dan lingkar pinggang (Fatimah, 2015). PERKENI (Perkumpulan

Endokrinologi Indonesia) membagi alur diagnosis diabetes melitus menjadi

dua bagian besar berdasarkan ada tidaknya gejala khas diabetes melitus.

Gejala khas diabetes melitus terdiri dari poliuri, polidipsi, polifagia dan berat

badan menurun tanpa sebab yang jelas (Purnamasari, 2015).

Secara epidemiologik, diabetes melitus seringkali tidak terdeteksi dan

dikatakan onset atau mulai terjadinya diabetes adalah 7 tahun sebelum

diagnosis ditegakkan, sehingga morbiditas dan mortalitas dini terjadi pada

kasus yang terdeteksi dini. Internasional Diabetes Federation (IDF)

menyebutkan bahwa prevalensi diabetes melitus di dunia adalah 1,9% dan

telah menjadikan diabetes melitus sebagai penyebab kematian urutan ke tujuh

di dunia sedangkan tahun 2012 angka kejadian diabetes melitus di dunia

adalah sebanyak 371 juta jiwa dimana proporsi kejadian diabetes melitus tipe

2 adalah 95% dari populasi dunia yang menderita diabetes melitus. Hampir

80% orang diabetes ada di negara berpenghasilan rendah dan menengah. Pada

tahun 2015 di Asia Tenggara, 415 juta orang dewasa dengan diabetes,

kenaikan 4 kali lipat dari 108 juta di tahun 1980an (WHO, 2016).

Pada tahun 2040 diperkirakan jumlahnya akan menjadi 642 juta. Pada

tahun 2015, Indonesia menempati peringkat ke tujuh dunia di dunia untuk

prevalensi penderita diabetes tertinggi di dunia bersama dengan China, India,

Amerika Serikat, Brazil, Rusia dan Meksiko dengan jumlah estimasi orang

dengan diabetes sebesar 10 juta. Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun

2008, menunjukkan prevalensi diabetes melitus di Indonesia membesar

sampai 57% (WHO, 2016). Laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas)
3

tahun 2007 oleh Departemen Kesehatan, menunjukkan bahwa rata-rata

prevalensi diabetes melitus didaerah urban untuk usia diatas 15 tahun sebesar

5,7%. Prevelensi terkecil terdapat di Propinsi Papua sebesar 1,7%, dan

terbesar di Maluku Utara dan Kalimantan Barat mencapai 11,1%. Prevalensi

toleransi glukosa terganggu berkisar antara 4% di Propinsi Jambi sampai

21,8%, di Propinsi Papua Barat sebesar 10,2% (PERKENI, 2015).

Berdasarkan latar belakang di atas maka penulisan tertarik untuk meneliti

gambaran karakteristik diabetes melitus.

1.2 Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran karakteristik pasien rawat jalan diabetes melitus

tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2017?

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan umum

Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2017.

1.3.2 Tujuan khusus

1. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan

umur.

2. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan jenis

kelamin.
4

3. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan gula

darah puasa.

4. Untuk mengetahui gambaran karakteristik pasien rawat jalan

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat berdasarkan

indeks masa tubuh.

1.4 Manfaat Penelitian

1.4.1 Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan sebagai

sumber informasi mengenai penyakit diabetes melitus tipe 2. Selain

itu, penelitian ini juga dapat dijadikan bahan referensi untuk penelitian

selanjutnya.

1.4.2 Praktisi

a. Peneliti

Sebagai salah satu syarat kelulusan di Fakultas Kedokteran

Universitas Cenderawasih dan agar dapat meningkatkan

wawasan dan pengetahuan.

b. Bagi institusi Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih

Sebagai tambahan referensi mengenai gambaran karakteristik

pasien rawat jalan diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya

Barat pada tahun 2017.


5

c. Bagi masyarakat

Memberikan informasi bagi masyarakat mengenai diabetes

melitus tipe 2, sehingga masyarakat menjadi lebih tau tentang

penyakit diabetes melitus tipe 2 dan dapat melakukan tindakan

pencegahan.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Diabetes melitus adalah sindroma kronik gangguan metabolisme

karbohidrat, protein, dan lemak akibat insufisiensi sekresi insulin atau

resistensi insulin pada jaringan yang dituju. Diabetes melitus terdapat dalam

dua bentuk utama yaitu diabetes melitus tipe satu dan tipe dua, yang berbeda

etiologi, patologi, genetik, usia, onset, dan terapinya (Dorland, 2010).

Diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh penurunan sensitivitas jaringan target

terhadap efek metabolik insulin. Penurunan sensitivitas terhadap insulin ini

sering kali disebut sebagai resistensi insulin (Guyton, 2008).

2.2 Etiologi

Diabetes melitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetik dan

klinis termasuk heterogen dengan manifestasi berupa hilangnya toleransi

karbohidrat. Ada bukti yang menunjukkan bahwa etiologi diabetes melitus

bermacam-macam. Meskipun berbagai lesi dengan jenis yang berbeda

akhirnya mengarah pada insufisiensi insulin, tetapi determinan genetik

biasanya memegang peranan penting pada mayoritas penderita diabetes

melitus (Price, 2014). Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan puncak onset

usia antara usia 50 dan 60 tahun, onset yang bertahap dengan beberapa gejala

gangguan metabolik glukosuria dan konsekuensinya (Dorland, 2010).

6
7

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kelainan sekresi insulin, serta kerja

insulin. Insulin mula-mula mengikat reseptor dipermukaan sel tertentu,

kemudian terjadi reaksi intraselular yang menyebabkan mobilisasi pembawa

GLUT 4 glukosa dan meningkatkan transport glukosa menembus membran

sel. Pada pasien-pasien dengan diabetes tipe 2 terdapat kelainan dalam

pengikatan insulin dengan reseptor. Kelainan ini dapat disebabkan oleh

berkurangnya jumlah tempat reseptor pada membran sel yang selnya

responsif terhadap insulin atau akibat ketidaknormalan reseptor insulin

intrinsik, akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor

insulin dengan sistem transport glukosa. Ketidaknormalan postreseptor dapat

mengganggu kerja insulin. Pada akhirnya, timbul kegagalan sel beta dengan

menurunnya jumlah insulin yang beredar dan tidak lagi memadai untuk

mempertahankan euglikemia. Sekitar 80% pasien diabetes tipe 2 mengalami

obesitas, karena obesitas berkaitan dengan resistensi insulin, sehingga akan

timbul kegagalan toleransi glukosa yang menyebabkan diabetes tipe 2.

Pengurangan berat badan sering kali dikaitkan dengan perbaikan dalam

sensitivitas insulin dan pemulihan toleransi glukosa (Price, 2014).

2.3 Klasifikasi

Klasifikasi diabetes melitus menurut American Diabetes Association

(ADA) 2017 membagi diabetes melitus menjadi 4 tipe, yaitu:

a. Diabetes melitus tipe 1

Diabetes melitus tipe 1 adalah keadaan dimana pankreas penderita

diabetes melitus tidak mampu memproduksi insulin sehingga penderita


8

membutuhkan suntik insulin atau terapi insulin secara berkesinambungan.

Diabetes melitus tipe 1 merupakan penyakit autoimun yang disebabkan

oleh gangguan sistem imun yang mengakibatkan kerusakan sel pankreas.

b. Diabetes melitus tipe 2

Diabetes melitus tipe 2 adalah diabetes yang penyebabnya bisa karena

resistensi insulin atau defek fungsi sekresi sel beta pankreas yang

menyebabkan defisiensi insulin.

c. Diabetes melitus tipe lain

Merupakan hasil dari sindrom genetik, pembedahan, obat-obatan,

malnutrisi, infeksi, atau akibat penyakit lainnya, bentuk dari diabetes

melitus tipe lain adalah defek genetik fungsi sel beta, defek genetik kerja

insulin, penyakit eksokrin pankreas, gangguan endokrin karena obat atau

zat kimia, infeksi, sebab imunologi yang jarang, sindrom genetik lain yang

berkaitan dengan diabetes melitus.

d. Diabetes melitus gestasional

Merupakan intoleransi glukosa yang terjadi pertama kali pada orang

hamil diakibatkan kombinasi resistensi insulin dengan defek sekresi

insulin.

2.4 Faktor Risiko Diabetes Melitus

Kejadian diabetes melitus tipe 2 pada wanita lebih tinggi dibandingkan

laki-laki. Wanita lebih berisiko mengidap diabetes melitus karena secara fisik

wanita memiliki peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.

Hasil Riset Kesehatan Dasar pada tahun 2008, menunjukkan prevalensi


9

diabetes melitus di Indonesia membesar sampai 57%, pada tahun 2012 angka

kejadian diabetes melitus di dunia adalah sebanyak 371 juta jiwa, dimana

proporsi kejadian diabetes melitus tipe 2 adalah 95% dari populasi dunia yang

menderita diabetes melitus dan hanya 5% dari jumlah tersebut menderita

diabetes melitus tipe 1 (Soegondo, 2015).

Menurut International Diabetes Federation (IDF) 2015, faktor risiko yang

berhubungan dengan Diabetes melitus tipe 2 sebagai berikut :

1. Riwayat keluarga diabetes

Diabetes melitus tipe 2 dapat diturunkan dari keluarga yang juga

mengalami diabetes, karena kelainan gen yang menyebabkan tubuhnya

tidak dapat menghasilkan insulin dengan baik. Faktor pola makan orang

tua juga dapat berisiko terhadap keturunannya karena akan selalu diikuti

oleh keturunannya selama masih tinggal serumah.

2. Obesitas

Stres kronik yang cenderung membuat seseorang mencari makanan

yang manis-manis dan berlemak tinggi untuk meningkatkan kadar

serotonin otak. Serotonin memiliki efek penenang sementara untuk

menurunkan stress, tetapi gula yang berlebih jika dikonsumsi berakibat

fatal dan berisiko tinggi terjadinya diabetes melitus tipe 2.

3. Faktor umur

Diabetes melitus sering muncul pada usia lanjut terutama setelah usia

45 tahun terutama dengan berat badan lebih karena umumnya manusia

mengalami perubahan fisiologis yang menurun dengan cepat setelah usia

lebih dari 40 tahun. Amir (2015) Parameter umur :


10

a. 18-40 tahun

b. 41-60 tahun

c. >60 tahun

4. Indeks masa tubuh

IMT atau BMI merupakan cara atau formula yang sederhana untuk

memantau status gizi orang dewasa, khususnya pada individu dengan

berat badan kurang dan berlebih. Indeks massa tubuh dapat dihitung

dengan rumus berat badan dalam kilogram (kg) dibagi tinggi badan dalam

meter dikuadratkan (m2). Pada pengukuran ini hanya berlaku pada usia

dewasa diatas 18 tahun dan tidak berlaku pada bayi, anak, remaja, ibu

hamil dan olahragawan, serta tidak diterapkan pada keadaan khusus

(seperti edema, asites, dan hepatomegali) (PERKENI, 2015).

𝐵𝑒𝑟𝑎𝑡 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑘𝑔)


𝐼𝑀𝑇 =
𝑇𝑖𝑛𝑔𝑔𝑖 𝐵𝑎𝑑𝑎𝑛 (𝑚2 )

Tabel 3.1 Klasifikasi IMT


IMT (kg/m2)
Berat badan kurang (underweight) < 18,5
Berat normal 18,5 – 22,9
Berat berlebih (overweight) ≥ 23,0
Dengan risiko 23,0 – 24,9
Obesitas I 25,0 - 29,9
Obesitas II ≥ 30

2.5 Patogenesis

Diabetes melitus tipe 2 ditandai dengan kerusakan fungsi sel beta pankreas

dan resistensi insulin, atau oleh menurunnya pengambilan glukosa oleh


11

jaringan sebagai respon terhadap insulin. Kadar insulin dapat normal, turun

atau meningkat tapi sekresi insulin terganggu dengan tingkat hiperglikemi

(Purnamasari, 2015). Insulin merupakan hormon yang terdiri dari rangkaian

asam amino, dihasilkan oleh sel beta kelenjar pankreas (Soegondo, 2015).

Kasus diabetes yang terbanyak dijumpai adalah diabetes melitus tipe 2,

yang ditandai adanya gangguan sekresi insulin ataupun gangguan kerja

insulin pada organ target terutama otot dan hati. Awalnya resistensi insulin

masih belum menyebabkan diabetes secara klinik. Pada saat tersebut sel beta

pankreas masih dapat mengkompensasi keadaan ini dan terjadi suatu

hiperinsulinemia dan glukosa darah masih normal, kemudian setelah

ketidaksanggupan sel beta pankreas, baru terjadilah diabetes secara klinis,

yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah. Faktor

lingkungan juga mempengaruhi kondisi resistensi insulin. Pada awalnya,

kondisi resistensi insulin ini dikompensasi oleh peningkatan sekresi insulin

oleh sel beta pankreas. Seiring dengan progresifitas penyakit maka produksi

insulin ini berangsur menurun menimbulkan hiperglikemia. Hiperglikemia

awalnya terjadi saat otot gagal melakukan ambilan glukosa dengan optimal.

Pada fase berikutnya dimana insulin semakin menurun, maka terjadi produksi

glukosa hati yang berlebihan dan mengakibatkan meningkatnya glukosa

darah pada saat puasa. Hiperglikemia yang terjadi memperberat gangguan

sekresi insulin yang sudah ada dan disebut glukotoksisitas (Soegondo 2015).
12

Gambar 1. Organ yang berperan dalam patogenesis hiperglikemia


pada diabetes melitus tipe 2.
(Sumber: Ralph A. DeFronzo dalam PERKENI 2015)

Menurut DeFronzo (2009) dalam PERKENI (2015) secara garis besar

patogenesis diabetes melitus tipe 2 disebabkan oleh delapan hal berikut:

1. Kegagalan sel beta pankreas: Pada saat diagnosis diabetes melitus tipe 2

ditegakkan, fungsi sel beta sudah sangat berkurang. Obat anti diabetik

yang bekerja melalui jalur ini adalah sulfonilurea, meglitinid, GLP-1

agonis dan DPP-4 inhibitor.

2. Liver: Pada penderita diabetes melitus tipe 2 terjadi resistensi insulin yang

berat dan memicu gluconeogenesis sehingga produksi glukosa dalam

keadaan basal oleh liver (HGP=hepatic glucose production) meningkat.

Obat yang bekerja melalui jalur ini adalah metformin, yang menekan

proses gluconeogenesis.

3. Otot: Pada penderita diabetes melitus tipe 2 didapatkan gangguan kinerja

insulin yang multipel di intramioselular, akibat gangguan fosforilasi tirosin

sehingga timbul gangguan transport glukosa dalam sel otot, penurunan


13

sintesis glikogen, dan penurunan oksidasi glukosa. Obat yang bekerja di

jalur ini adalah metformin, dan tiazolidindion.

4. Sel lemak: Sel lemak yang resisten terhadap efek antilipolisis dari insulin,

menyebabkan peningkatan proses lipolisis dan kadar asam lemak bebas

(FFA=Free Fatty Acid) dalam plasma. Penigkatan FFA akan merangsang

proses glukoneogenesis, dan mencetuskan resistensi insulin di liver dan

otot. FFA juga akan mengganggu sekresi insulin. Gangguan yang

disebabkan oleh FFA ini disebut sebagai lipotoxocity. Obat yang bekerja

dijalur ini adalah tiazolidindion.

5. Usus: Glukosa yang ditelan memicu respon insulin jauh lebih besar

dibanding kalau diberikan secara intravena. Efek yang dikenal sebagai

efek incretin ini diperankan oleh 2 hormon GLP-1 (glucagon-like

polypeptide-1) dan GIP (glucose-dependent insulinotrophic polypeptide

atau disebut juga gastric inhibitory polypeptide). Pada penderita diabetes

melitus tipe 2 didapatkan defisiensi GLP-1 dan resisten terhadap GIP.

Disamping hal tersebut incretin segera dipecah oleh keberadaan enzim

DPP-4, sehingga hanya bekerja dalam beberapa menit. Obat yang bekerja

menghambat kinerja DPP-4 adalah kelompok DPP-4 inhibitor. Saluran

pencernaan juga mempunyai peran dalam penyerapan karbohidrat melalui

kinerja enzim alfa-glukosidase yang memecah polisakarida menjadi

monosakarida yang kemudian diserap oleh usus dan berakibat

meningkatkan glukosa darah setelah makan. Obat yang bekerja untuk

menghambat kinerja enzim alfa-glukosidase adalah akarbosa.


14

6. Sel Alpha Pankreas: Sel-α pankreas merupakan organ ke-6 yang berperan

dalam hiperglikemia dan sudah diketahui sejak 1970. Sel-α berfungsi

dalam sintesis glukagon yang dalam keadaan puasa kadarnya di dalam

plasma akan meningkat. Peningkatan ini menyebabkan HGP dalam

keadaan basal meningkat secara signifikan dibanding individu yang

normal. Obat yang menghambat sekresi glukagon atau menghambat

reseptor glukagon meliputi GLP-1 agonis, DPP4 inhibitor dan amylin.

7. Ginjal: Ginjal merupakan organ yang diketahui berperan dalam

patogenesis diabetes melitus tipe 2. Ginjal memfiltrasi sekitar 163 gram

glukosa sehari. Sembilan puluh persen dari glukosa terfiltrasi ini akan

diserap kembali melalui peran SGLT-2 (Sodium Glucose coTransporter)

pada bagian convulated tubulus proksimal, sedangkan 10% sisanya akan

diabsorpsi melalui peran SGLT-1 pada tubulus desenden dan asenden,

sehingga akhirnya tidak ada glukosa dalam urin. Pada penderita diabetes

melitus terjadi peningkatan ekspresi gen SGLT-2. Obat yang menghambat

kinerja SGLT-2 ini akan menghambat penyerapan kembali glukosa di

tubulus ginjal sehingga glukosa akan dikeluarkan lewat urin. Obat yang

bekerja di jalur ini adalah SGLT-2 inhibitor. Dapaglifozin adalah salah

satu contoh obatnya.

8. Otak: Insulin merupakan penekan nafsu makan yang kuat. Pada individu

yang obes baik yang diabetes melitus maupun non diabetes melitus,

didapatkan hiperinsulinemia yang merupakan mekanisme kompensasi dari

resistensi insulin. Pada golongan ini asupan makanan justru meningkat


15

akibat adanya resistensi insulin yang juga terjadi di otak. Obat yang

bekerja di jalur ini adalah GLP-1 agonis, amylin dan bromokriptin.

2.6 Gejala Klinis

Gejala khas diabetes melitus terdiri dari poliuria, polidipsia, polifagia dan

berat badan menurun tanpa sebab yang jelas, sedangkan gejala tidak khas

diabetes melitus diantaranya lemas, kesemutan, luka yang sulit sembuh, gatal,

mata kabur (Purnamasari, 2015). Keluhan dan gejala yang khas ditambah

hasil pemeriksaan glukosa darah sewaktu >200 mg/dl, glukosa darah puasa

>126 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosis diabetes melitus.

Untuk diagnosis diabetes melitus dan gangguan toleransi glukosa lainnya

diperiksa glukosa darah 2 jam setelah beban glukosa (Fatimah, 2015).

2.7 Diagnosis

Menurut KEMENKES (2014), penegakkan diagnosis diabetes melitus tipe

2 dapat dilakukan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan

laboratorium:

A. Anamnesis

Anamnesis dilakukan dengan cara mewawancarai pasien dengan

menanyakan keluhan dan gejala seperti polifagia, poliuri, polidipsi,

penurunan berat badan yang tidak jelas sebabnya dan keluhan tidak khas

lemah, kesemutan, dan luka yang sulit sembuh.


16

B. Pemeriksaan fisik

1. Penilaian berat badan

2. Mata: penurunan visus dan lensa mata buram

3. Extremitas: uji sensibilitas kulit dengan mikrofilamen

C. Pemeriksaan penunjang

1. Gula darah puasa

2. Gula darah 2 jam post prandial

3. Urinalisis

Menurut Purnamasari (2015), diagnosis diabetes melitus harus didasarkan

atas pemeriksaan konsentrasi gula darah. Dalam menentukan diagnosis

diabetes melitus harus diperhatikan asal bahan darah yang diambil dan cara

pemeriksaan yang dipakai. Untuk diagnosis, pemeriksaan yang dianjurkan

adalah pemeriksaan glukosa dengan cara enzimatik dengan bahan darah

plasma vena.

Ada perbedaan antara uji diagnostik diabetes melitus dan pemeriksaan

penyaring. Uji diagnostik diabetes melitus dilakukan pada mereka yang

menunjukkan gejala/tanda diabetes melitus, sedangkan pemeriksaan

penyaring bertujuan untuk mengidentifikasi mereka yang tidak bergejala,

yang mempunyai risiko diabetes melitus. Berikut ini kriteria diagnosis

diabetes melitus:

1. Gejala klasik diabetes melitus + glukosa plasma sewaktu >200 mg/dl.

Glukosa plasma sewaktu merupakan hasil pemeriksaan sesaat pada

suatu hari tanpa memperhatikan waktu makan terakhir.


17

2. Gejala klasik diabetes melitus + glukosa plasma puasa >126 mg/dl.

Puasa diartikan pasien tidak mendapat kalori tambahan sedikitnya 8

jam.

3. Glukosa plasma 2 jam pada TTGO >200 mg/dl. TTGO dilakukan

dengan standar WHO, menggunakan beban glukosa yang setara dengan

75 gram glukosa anhidrus yang dilarutkan ke dalam air.

Cara pelaksanaan TTGO menurut WHO (1994) adalah sebagai berikut :

a) Berpuasa paling sedikit 8 jam (mulai malam hari) sebelum pemeriksaan,

minum air putih tanpa gula tetap diperbolehkan.

b) Diperiksa konsentrasi gula darah puasa

c) Diberikan glukosa 75 gram (orang dewasa) atau 1,75 gram/kgBB (anak-

anak), dilarutkan dalam air 250 ml dan diminum dalam waktu 5 menit.

d) Berpuasa kembali sampai pengambilan sampel darah untuk

pemeriksaan 2 jam setelah minum larutan glukosa selesai.

e) Diperiksa glukosa darah 2 jam sesudah beban glukosa.

f) Selama proses pemeriksaan subyek yang diperiksa tetap istirahat dan

tidak merokok.

Hasil pemeriksaan glukosa darah 2 jam pasca pembebanan, yaitu :

a. <140mg/dl = normal

b. 140-<120mg/dl = toleransi glukosa terganggu

c. >200mg/dl = diabetes
18

Tabel 2 1. Kadar tes laboratorium untuk diagnosis diabetes dan prediabetes

HbA1c (%) Glukosa darah Glukosa plasma


puasa (mg/dL) 2 jam setelah
TTGO (mg/dL)
Diabetes ≥ 6,5 ≥ 126 mg/dL ≥ 200 mg/dL
Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199
Normal < 5,7 < 100 < 140
Sumber : PERKENI (2015)

2.8 Komplikasi

Menurut Waspadji (2015), diabetes melitus jika tidak dikelola dengan

baik, akan menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik

mikroangiopati maupun makroangiopati. Adanya pertumbuhan sel dan juga

kematian sel yang tidak normal merupakan dasar terjadinya komplikasi

kronik. Perubahan dasar atau disfungsi tersebut terutama terjadi pada endotel

pembuluh darah, sel otot polos pembuluh darah maupun pada sel mesangial

ginjal, semuanya menyebabkan perubahan pada pertumbuhan dan kesintasan

sel, yang kemudian pada gilirannya terjadinya vaskular diabetes.

a) Nefropati diabetik

Nefropati diabetes melitus ditandai dengan adanya microalbuminuria

(30mg/hari) tanpa adanya gangguan ginjal, disertai dengan peningkatan

tekanan darah sehingga mengakibatkan menurunnya filtrasi glomerulus dan

akhirnya menyebabkan gagal ginjal tahap akhir. Penyebab pasti nefropati

diabetes melitus masih belum diketahui, namun beberapa teori yang telah

dikemukakan menyebutkan hiperglikemia (menyebabkan hiperfiltrasi dan

lesi ginjal), produk glikolisasi lanjutan dan aktivasi sitokin.


19

b) Neuropati diabetik

Neuropati diabetik (ND) merupakan salah satu komplikasi kronis paling

sering ditemukan pada diabetes melitus. Resiko yang dihadapi pasien

diabetes melitus dengan ND antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang

tidak sembuh-sembuh dan amputasi jari/kaki. Hingga saat ini patogenesis

ND belum seluruhnya diketahui dengan jelas. Namun demikian dianggap

bahwa hipeglikemia persisten merupakan faktor primer. Proses kejadian

ND berawal dari hiperglikemia berkepanjangan yang berakibat terjadinya

peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance glycosylation end

products ( AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein kinase c

(PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya

vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf menurun dan Bersama

rendahnya mioinositol dalam sel terjadilah ND. Berbagai penelitian

membuktikan bahwa kejadian ND berhubungan sangat kuat dengan lama

dan beratnya diabetes melitus.

c) Retinopati diabetik

Retinopati diabetik ialah suatu kelainan mata pada pasien diabetes yang

disebabkan karena kerusakan kapiler retina dalam berbagai tingkatan,

sehingga menimbulkan gangguan penglihatan mulai dari yang ringan

sampai berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan permanen.

d) Penyakit jantung koroner

Penyakit jantung koroner yang merupakan salah satu penyulit

makrovaskular pada diabetes melitus. Penyulit makrovaskular ini

bermanifestasi sebagai ateroklerosis dini yang dapat mengenai organ-organ


20

vital (jantung dan otak). Penyebab aterosklerosis pada pasien diabetes

melitus tipe 2 bersifat multifaktorial, melibatkan interaksi kompleks dari

berbagai keadaan seperti hiperglikemia, hiperlipidemia, stres oksidatif,

penuaan dini, hiperinsulinemian serta perubahan-perubahan dalam proses

koagulasi dan fibrinolisis. Pada pasien diabetes melitus, resiko payah

jantung kongestif meningkat 4-8 kali.

2.9 Tatalaksana

Tujuan penatalaksanaan secara umum adalah meningkatkan kualitas hidup

penyandang diabetes. Tujuan penatalaksanaan meliputi (PERKENI, 2015) :

1. Tujuan jangka pendek: menghilangkan keluhan diabetes melitus,

memperbaiki kualitas hidup, dan mengurangi risiko komplikasi akut.

2. Tujuan jangka panjang: mencegah dan menghambat progresivitas

penyulit mikroangiopati dan makroangiopati.

3. Tujuan akhir pengelolaan adalah turunnya morbiditas dan mortalitas

diabetes melitus.

Untuk mencapai tujuan tersebut perlu dilakukan pengendalian glukosa

darah, tekanan darah, berat badan, dan profil lipid, melalui pengelolaan

pasien secara komprehensif. Sebagai berikut :

2.8.1 Langkah-langkah penatalaksanaan umum

1. Evaluasi medis yang lengkap pada pertemuan pertama:

a. Riwayat penyakit

1) Gejala yang dialami oleh pasien.


21

2) Pengobatan lain yang mungkin berpengaruh terhadap

glukosa darah.

3) Faktor risiko: merokok, hipertensi, riwayat penyakit

jantung koroner, obesitas, dan riwayat penyakit keluarga

(termasuk penyakit diabetes melitus dan endokrin lain).

4) Riwayat penyakit dan pengobatan.

5) Pola hidup, budaya, psikososial, pendidikan, dan status

ekonomi.

b. Pemeriksaan fisik

1) Pengukuran tinggi dan berat badan.

2) Pengukuran tekanan darah, nadi, rongga mulut, kelenjar

tiroid, paru dan jantung

3) Pemeriksaan kaki secara komprehensif

c. Evaluasi laboratorium

HbA1c diperiksa paling sedikit 2 kali dalam 1 tahun pada

pasien yang mencapai sasaran terapi dan yang memiliki

kendali glikemik stabil. dan 4 kali dalam 1 tahun pada pasien

dengan perubahan terapi atau yang tidak mencapai sasaran

terapi. Glukosa darah puasa dan 2 jam setelah makan.

d. Penapisan komplikasi

Penapisan komplikasi harus dilakukan pada setiap

penderita yang baru terdiagnosis diabetes melitus tipe 2

melalui pemeriksaan:
22

1) Profil lipid dan kreatinin serum.

2) Urinalisis dan albumin urin kuantitatif.

3) Foto sinar-X dada

4) Funduskopi dilatasi dan pemeriksaan mata secara

komprehensif oleh dokter spesialis mata atau optometris.

2.8.2 Langkah-langkah penatalaksanaan khusus

Penatalaksanaan diabetes melitus dimulai dengan pola hidup

sehat, dan bila perlu dilakukan intervensi farmakologis dengan obat

antihiperglikemia secara oral atau suntikan.

1. Edukasi

Edukasi dengan tujuan promosi hidup sehat, perlu selalu

dilakukan sebagai bagian dari upaya pencegahan dan merupakan

bagian yang sangat penting dari pengelolaan diabetes melitus

secara holistik.

2. Terapi Nutrisi Medis (TNM)

Penyandang diabetes melitus perlu diberikan penekanan

mengenai pentingnya keteraturan jadwal makan, jenis dan jumlah

makanan, terutama pada mereka yang menggunakan obat

penurun glukosa darah atau insulin.

3. Latihan jasmani

Kegiatan jasmani sehari-hari dan latihan jasmani secara teratur

(3-5 hari seminggu selama sekitar 30-45 menit , dengan total 150

menit perminggu, dengan jeda antar latihan tidak lebih dari 2 hari

berturut-turut. Latihan jasmani yang dianjurkan berupa latihan


23

jasmani yang bersifat aerobik dengan intensitas sedang (50-70%

denyut jantung maksimal) seperti jalan cepat, bersepeda santai,

jogging, dan berenang.

4. Intervensi farmakologis

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan

makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi

farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan.

a. Obat antihiperglikemia oral

Berdasarkan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral

dibagi menjadi 5 golongan:

1) Pemacu sekresi insulin (Insulin Secretagogue):

Sulfonilurea dan Glinid

a) Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama memacu

sekresi insulin oleh sel beta pankreas.

b) Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama

dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan

sekresi insulin fase pertama. Obat ini dapat mengatasi

hiperglikemia post prandial. Peningkat Sensitivitas

terhadap Insulin: Metformin dan Tiazolidindion (TZD)

2) Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi

glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan


24

glukosa perifer. Metformin merupakan pilihan pertama

pada sebagian besar kasus diabetes melitus tipe 2.

3) Tiazolidindion (TZD)

Merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator

Activated Receptor Gamma (PPAR-γ), suatu reseptor inti

termasuk di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini

mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan

jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga

meningkatkan ambilan glukosa di perifer. Obat ini

dikontraindikasikan pada pasien dengan gagal jantung

(NYHA FC IIIIV) karena dapat memperberat edema atau

retensi cairan. Hati-hati pada gangguan faal hati, dan bila

diberikan perlu pemantauan faal hati secara berkala. Obat

yang masuk dalam golongan ini adalah Pioglitazone.

4) Penghambat absorpsi glukosa

Penghambat Glukosidase Alfa Obat ini bekerja dengan

memperlambat absorpsi glukosa dalam usus halus, sehingga

mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah

makan. Penghambat glukosidase alfa tidak digunakan bila

GFR ≤30ml/min/1,73 m2, gangguan faal hati yang berat,

irritable bowel syndrome.

5) Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja

enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1)


25

tetap dalam konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif.

Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan

menekan sekresi glukagon bergantung kadar glukosa darah

(glucose dependent).

6) Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat

antidiabetes oral jenis baru yang menghambat reabsorpsi

glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat

transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan

ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin,

Ipragliflozin.

Tabel 2.1. Profil obat antihiperglikemia oral yang tersedia di Indonesia

Golongan Obat Cara Kerja Utama Efek Samping Penurunan


Utama A HbA1c
Sulfonilurea Meningkatkan sekresi insulin BB naik 1,0-2,0%
hipoglikemia
Glinid Meningkatkan sekresi insulin BB naik 0,5-1,5%
hipoglikemia
Metformin Menekan produksi glukosa hati & Dispepsia, diare, 1,0-2,0%
menambah sensitifitas terhadap insulin asidosis laktat
Penghambat Menghambat absorpsi glukosa Flatulen, tinja 0,5-0,8%
Alfa-Glukosidase lembek
Tiazolidindion Menambah sensitifitas terhadap insulin Edema 0,5-1,4%
Penghambat Meningkatkan sekresi insulin, Sebah, muntah 0,5-0,8%
DPP-IV menghambat sekresi glukagon
Penghambat Menghambat reabsorpsi glukosa di tubuli ISK 0,5-0,9%
SGLT-2 distal ginjal
26

b. Obat antihiperglikemia suntik

1) Insulin

Tabel 2.2 Farmakokinetik Insulin Eksogen Berdasarkan Waktu Kerja

Jenis Insulin Awitan (onset) Puncak Efek Lama Kerja


Kerja Cepat (Rapid-Acting) (Insulin Analog)
Insulin Lispro
(Humalog®)
Insulin Aspart
5-15 menit 1-2 jam 4-6 jam
(Novorapid®)
Insulin Glulisin
(Apidra®)
Kerja Pendek (Short-Acting) (Insulin Manusia, Insulin Reguler )
Humulin® R
Actrapid® 30-60 menit 2-4 jam 6-8 jam
Sansulin®
Kerja Menengah (Intermediate-Acting) (Insulin Manusia, NPH)
Humulin N®
Insulatard® 1,5–4 jam 4-10 jam 8-12 jam
Insuman Basal®
Kerja Panjang (Long-Acting) (Insulin Analog)
Insulin Glargine
(Lantus®) Hampir tanpa
1–3 jam 12-24 jam
Insulin Detemir puncak
(Levemir®)
Kerja Ultra Panjang (Ultra Long-Acting) (Insulin Analog)
Hampir tanpa
Degludec (Tresiba®)* 30-60 menit puncak Sampai 48 jam
Campuran (Premixed) (Insulin Manusia)
70/30 Humulin® (70%
NPH, 30% reguler)
30-60 menit 3–12 jam
70/30 Mixtard® (70%
NPH, 30% reguler)
NPH:neutral protamine Hagedorn; NPL:neutral protamine lispro.
27

Obat disesuaikan dengan yang tersedia di Indonesia.

(Dimodifikasi dari Mooradian et al. Ann Intern Med.

2006;145:125-34).

2) Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 meru

diabetes melitus. Agonis GLP-1 dapat bekerja sebagai

perangsang pengelepasan insulin yang tidak

menimbulkan hipoglikemia ataupun peningkatan berat

badan yang biasanya terjadi pada pengobatan insulin

ataupun sulfonilurea. Agonis GLP-1 bahkan mungkin

menurunkan berat badan. Efek samping yang timbul pada

pemberian obat ini antara lain rasa sebah dan muntah.

c. Terapi kombinasi

Terapi dengan obat antihiperglikemia oral kombinasi baik

secara terpisah ataupun fixed dose combination dalam bentuk

tablet tunggal, harus menggunakan dua macam obat dengan

mekanisme kerja yang berbeda.

Pada keadaan tertentu dapat terjadi sasaran kadar glukosa

darah yang belum tercapai, sehingga perlu diberikan

kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dari kelompok

yang berbeda atau kombinasi obat antihiperglikemia oral

dengan insulin. Pada pasien yang disertai dengan alasan klinis

dimana insulin tidak memungkinkan untuk dipakai, terapi


28

dengan kombinasi tiga obat antihiperglikemia oral dapat

menjadi pilihan.

Kombinasi obat antihiperglikemia oral dan insulin yang

banyak dipergunakan adalah kombinasi obat

antihiperglikemia oral dan insulin basal (insulin kerja

menengah atau insulin kerja panjang), yang diberikan pada

malam hari menjelang tidur. Pendekatan terapi tersebut pada

umumnya dapat mencapai kendali glukosa darah yang baik

dengan dosis insulin yang cukup kecil.

Dosis awal insulin kerja menengah adalah 6-10 unit yang

diberikan sekitar jam 22.00, kemudian dilakukan evaluasi

dosis tersebut dengan menilai kadar glukosa darah puasa

keesokan harinya. Pada keadaaan dimana kadar glukosa darah

sepanjang hari masih tidak terkendali meskipun sudah

mendapat insulin basal, maka perlu diberikan terapi

kombinasi insulin basal dan prandial, serta pemberian obat

antihiperglikemia oral dihentikan.

2.10 Prognosis

Prognosis pada diabetes melitus tipe 2 baik selama terapi ade kuat, tanpa

adanya penyakit yang fatal (sepsis, syok septik, infark miokard akut, dan lain-

lain) (Soetomo, 2015).


29

Bagan 2. 1 Algoritma Pengelolaan Diabetes Melitus Tipe 2 (PERKENI, 2015) :


Modifikasi Gaya Hidup Sehat

HbA1C HbA1C HbA1C


< 7,5% ≥ 7,5% > 9%

Dalam + monoterapi Gejala


3 bulan Dalam 3 bulan - +
HbA1C >7% HbA1c > 7% Kombinasi
Insulin
2 obat
± obat
Kombinasi
lain
3 obat
Monoterapi* kombinasi 2 obat*
Dengan salah dengan mekanisme
satu dibawah ini berbeda
kombinasi 3 obat
 Metformin  Agonis GLP-1
 Agonis GLP-1  DPP-4 Inhibitor  Agonis GLP-1
 DPP-4 Inhibitor  Tiazolidindion  DPP-4 Inhibitor
Metformin atau obat lini pertama yang lain

 Penghamba  Penghambat  Tiazolidindion


Glukosidase SGLT-2** Metformin atau obat lini pertama yang lain  Penghambat
Alfa  Insulin basal SGLT-2**
 Penghambat  SU/Glinid  Insulin basal
SGLT-2**  Kolesevelam**  SU/Glinid Tambahkan
 Tiazolidindion  Bromokriptin-  Kolesevelam insulin
 Sulfonilurea QR  Bromokriptin- Atau
Obat lini kedua

 Glinid  Penghambat QR Intensifikasi


Glukosidase Alfa  Penghambat insulin
Jika HbA1C Glukosidase
belum mencapai Jika HbA1C Alfa
sasaran dalam 3 belum mencapai
bulan, sasaran dalam 3 Jika HbA1C
tambahkan obat bulan, tambahkan belum mencapai
ke 2 (kombinasi obat ke 3 sasaran dalam 3
2 obat) (kombinasi 3 obat) bulan, mulai
terapi insulin atau
intensifikasi
terapi insulin

Keterangan:
*Obat yang terdaftar, pemilihan dan penggunaannya
disrankan mempertimbangkan faktor keuntungan,
kerugian dan ketersediaan
**Penghambat SGLT-2, Kolesevelam belum tersedia di
Indonesia dan Bromokriptin-QR umumnya digunakan
pada terapi tumor hipofisis
30

2.11 Kerangka Konsep

GULA
UMUR JENIS KELAMIN DARAH IMT
PUASA

DIABETES
MELITUS TIPE
2
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan merupakan penelitian yang bersifat

kuantitatif dengan menggunakan metode deskriptif. Penelitian yang

dilakukan untuk mengetahui nilai masing-masing variabel, baik satu variabel

atau lebih sifatnya independen tanpa membuat hubungan maupun

perbandingan dengan variabel yang lain (Sujarweni, 2014).

3.2 Identifikasi Variabel Penelitian

Pengertian variabel penelitian adalah sesuatu hal yang berbentuk apa saja

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi

tentang hal tersebut, dan kemudian ditarik kesimpulannya (Sujarweni, 2014).

Karakteristik variabel yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah jenis

kelamin, umur, gula darah puasa dan indeks masa tubuh.

3.3 Definisi Operasional Variabel Penelitian

1. Umur adalah usia penderita yang terhitung dari hari lahir sampai dengan

usia saat ini. Amir (2015) membagi parameter :

a. 18-40 tahun

b. 41-60 tahun

c. >60 tahun

31
32

2. Jenis kelamin adalah identitas penderita secara biologis dan fisik yang

terbagi menjadi laki-laki dan perempuan.

a. Laki-laki

b. Perempuan

3. Kadar gula darah yang menjadi patokan pada peneliti ini adalah kadar gula

darah puasa. Kadar gula darah puasa adalah glukosa yang beredar dalam

aliran darah (puasa minimal 8 jam), berfungsi sebagai penyedia energi

bagi seluruh sel dalam jaringan tubuh. Pengukuran dilaksanakan dengan

metode enzimatik. Klasifikasi glukosa darah puasa (PERKENI, 2011).

a. Baik : 80 – 109 mg/dl

b. Sedang : 110 – 125 mg/dl

c. Buruk : ≥ 126 mg/dl

4. Indeks masa tubuh banyak digunakan untuk mengukur status gizi

seseorang atau, karena IMT dapat memperkirakan ukuran lemak tubuh

yang sekalipun hanya estimasi, tetapi lebih akurat dari pada pengukuran

berat badan saja. Di samping itu, pengukuran IMT lebih banyak dilakukan

saat ini karena orang yang kelebihan berat badan atau yang gemuk lebih

berisiko untuk menderita penyakit diabetes, penyakit jantung, stroke,

hipertensi, osteoarthritis, dan beberapa bentuk penyakit kanker

(PERKENI, 2015).
33

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1. Populasi

Menurut Sujarweni (2014) populasi adalah keseluruhan jumlah

yang terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai karakteristik dan

kualitas tertentu yang diterapkan oleh peneliti untuk diteliti dan

kemudian ditarik kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini

berjumlah 38 orang yaitu seluruh pasien diabetes melitus tipe 2 di

Puskesmas Koya Barat pada tahun 2017.

3.4.2. Sampel

Menurut Sujarweni (2014) Sampel adalah bagian dari sejumlah

karakteristik yang dimiliki oleh populasi yang digunakan untuk

penelitian. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 38 orang yaitu

pasien diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun

2017.

3.5 Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan pada penelitian ini adalah total sampling.

Menurut Sugiyono (2014) total sampling adalah teknik penentuan sampel bila

semua anggota populasi digunakan sebagai sampel. Pada penelitian ini semua

pasien diabetes melitus tipe 2 yang tercatat di buku register Puskesmas Koya

Barat pada tahun 2017 diambil menjadi sampel.


34

3.6 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data sekunder.

Menurut Sugiyono (2014) data sekunder adalah penelitian yang diperoleh

peneliti secara tidak langsung melalui media perantara (diperoleh dan dicatat

oleh pihak lain). Pada penelitian ini data diambil dari buku register Puskesmas

Koya Barat pada tahun 2017.

3.7 Analisis Data

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis univariat.

Analisis univariat bertujuan untuk menjelaskan atau mendeskripsikan

karakteristik setiap variabel penelitian (Notoatmodjo, 2010). Analisis data

dilakukan dengan memasukan data dalam tabel sesuai dengan variabel yang

diteliti dan dihitung presentasenya dengan rumus berikut:

𝐹
𝑃= × 100%
𝑁

Keterangan :
P : Persentase yang dicari
F : Frekuensi
N : Jumlah sampel

3.8 Etika Penelitian

Dalam melakukan penelitian harus mendapatkan izin dari pihak Fakultas

Kedokteran Universitas Cenderawasih dan pihak Puskesmas Koya Barat.

Prinsip etika yang dilakukan peneliti dalam penelitian ini sebagai berikut:
35

4.1 Tanpa nama (Anonimity)

Untuk menjaga kerahasian, nama yang tercantumkan di Puskesmas

Koya Barat tidak ditampilkan oleh peneliti.

4.2 Kerahasiaan (Confidentiality)

Data yang telah dikumpulkan di Puskesmas Koya Barat hendaknya

bersifat rahasia dan data kelompok tertentu saja yang akan disajikan atau

dilaporkan sebagai hasil penelitian.

3.9 Alur Penelitian

Penetapan judul Survei data awal Pembuatan proposal

Pengolahan data Pengambilan Perizinan


data

Pembahasan Penyajian hasil


BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Penelitian

Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Koya Barat, waktu pengambilan

data pada tanggal 9 Mei 2018.

4.2 Hasil Penelitian

Populasi pada penelitian ini berjumlah 38 orang yang diagnosis sebagai

pasien Diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat Periode Januari –

Desember 2017.

4.2.1 Berdasarkan umur

Berdasarkan umur pasien diabetes melitus tipe 2 didapatkan

distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 seperti pada tabel 4.1.

Tabel 4.1.1 Distribusi pasien diabetes melitus berdasarkan umur

No Umur Frekuensi Persentasi (%)


1 18-40 tahun 1 3%
2 41-60 tahun 13 34%
3 >60 tahun 24 63%
TOTAL 38 100%

Dari tabel 4.1. menunjukkan pengelompokan sampel penelitian

berdasarkan usia, dimana pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling

tinggi pada umur >60 tahun yaitu sebanyak 24 orang (63%),

sedangkan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling rendah pada

usia 18-40 tahun yaitu sebanyak 1 orang (3%).

36
37

4.2.2 Berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan jenis kelamin pasien, didapatkan distribusi pasien

diabetes melitus tipe 2 seperti pada tabel 4.2.

Tabel 4.2. Distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 berdasarkan jenis

kelamin.

No Jenis Kelamin Frekuensi Persentasi (%)


1 Laki-laki 11 28.95
2 Perempuan 27 71.05
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.2. menunjukkan pengelompokan sampel penelitian

berdasarkan jenis kelamin, dimana pasien diabetes melitus tipe 2 yang

paling tinggi adalah perempuan yaitu sebanyak 27 orang (71.05%),

sedangkan pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling rendah adalah

laki-laki yaitu sebanyak 11 orang (28.95%).

2.8.3 Berdasarkan gula darah puasa

Berdasarkan gula darah puasa pasien, didapatkan distribusi pasien

diabetes melitus tipe 2 seperti pada tabel 4.3.

Tabel 4.3. Distribusi pasien diabetes melitus tipe 2 berdasarkan gula

darah puasa.

No Gula Darah Puasa Frekuensi Persentasi(%)


1 Baik 7 18.43
2 Sedang 3 7.89
3 Buruk 28 73.68
TOTAL 38 100
38

Dari tabel 4.3. menunjukkan pengelompokan sampel penelitian

berdasarkan gula darah puasa, dimana pasien dengan gula darah puasa

yang paling buruk adalah 28 orang (73.68%), Sedangkan pasien

dengan gula darah puasa yang paling baik adalah sebanyak 7 orang

(18.43%).

2.8.4 Berdasarkan indeks masa tubuh

Berdasarkan faktor IMT pasien didapatkan distribusi pasien

diabetes melitus tipe 2 seperti pada tabel 4.4.

No IMT Frekuensi Persentasi (%)


1 Berat badan kurang 1 2.65
2 Normal 10 26.31
3 Berat badan lebih 5 13.15
4 Obesitas I 15 39.47
5 Obesitas II 7 18.42
TOTAL 38 100

Dari tabel 4.4. menunjukkan pengelompokan sampel penelitian

berdasarkan IMT, dimana pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling

tinggi adalah obesitas I sebanyak 15 orang (39.47%), Sedangkan

pasien dengan diabetes melitus tipe 2 terendah adalah berat badan

kurang, sebanyak 1 orang (2.65%).

4.3 Pembahasan

Pada penelitian ini pengumpulan data dilakukan dengan mengambil data

rekam medik pasien yang telah diagnosis diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas

Koya Barat Periode Januari-Desember 2017.


39

4.3.1 Berdasarkan umur

Berdasarkan hasil data (tabel 4.1) pasien diabetes melitus tipe 2

paling tinggi pada umur >60 tahun yaitu sebanyak 24 orang (63%).

Sedangkan pada pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling rendah

pada usia 18-40 tahun yaitu sebanyak 1 orang (3%). Penelitian ini

sesuai dengan Trisnawati dalam Allorerung Desy (2016) umur >40

tahun adalah usia yang berisiko terkena diabetes melitus tipe 2

dikarenakan adanya intoleransi glukosa dan proses penuaan yang

menyebabkan kurangnya sel beta pankreas dalam memproduksi

insulin. Dapat dilihat bahwa penderita diabetes melitus tipe 2

mayoritas berumur di atas 40 tahun. Hal ini sesuai hasil penelitian

Suyono (2011), yang mengemukakan bahwa prevalensi diabetes

melitus tipe 2 di negara berkembang kebanyakan berumur 45-64 tahun

golongan umur yang masih produktif.

4.3.2 Berdasarkan jenis kelamin

Berdasarkan hasil data (tabel 4.2) pasien diabetes melitus tipe 2

yang paling tinggi adalah perempuan yaitu sebanyak 27 orang

(71.05%). Sedangkan pasien diabetes melitus tipe 2 yang paling

rendah adalah laki-laki yaitu sebanyak 11 orang (28.95%). Penelitian

ini sesuai dengan Tandra dalam Allorerung Desy (2016) menyatakan

bahwa perempuan memiliki resiko lebih besar untuk menderita

diabetes melitus tipe 2 dibandingkan laik-laki, wanita lebih beresiko

mengidap diabetes melitus tipe 2 karena secara fisik wanita memiliki

peluang peningkatan indeks masa tubuh yang lebih besar.


40

4.3.3 Berdasarkan gula darah puasa

Berdasarkan data tabel (4.3) pasien dengan gula darah puasa yang

paling buruk adalah 28 orang (73.68%). Sedangkan pasien dengan

gula darah puasa yang paling baik adalah sebanyak 7 orang (18.43%).

Menurut PERKENI kadar glukosa darah puasa yang baik adalah

80 – 109 mg/dl dan kadar glukosa darah puasa yang buruk adalah

≥ 126 mg/dl.

4.3.4 Berdasarkan indeks masa tubuh

Berdasarkan data tabel (4.4) pasien dengan IMT yang paling tinggi

adalah obesitas I sebanyak 15 orang (39.47%). Sedangkan pasien

dengan IMT terendah adalah berat badan kurang, sebanyak 1 orang

(2.65%). Hasil penelitian ini tidak jauh berbeda dengan penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Jin Ook Chung, Dong Hyeok Cho,

Dong Jin Chung, dan Min Young Chung (2012) dalam Associations

among Body Mass Index, Insulin Resistance, and Pancreatic β-Cell

Function in Korean Patients with New Onset Type 2 Diabetes.

Penelitian yang dilakukan dari Februari 2009 sampai Januari 2011 ini

menunjukkan bahwa adanya hubungan yang signifikan antara IMT

dan terjadinya resisten insulin yang menyebabkan kenaikan kadar gula

darah puasa. Hasil ini juga sejalan dengan penelitian yang dilakukan

oleh Ninh T. Nguyen, Xuan-Mai T Nguyen, John Lane, dan Ping

Wang (2011) dalam Relationship Between Obesity and Diabetes in a

US Adult Population: Findings from the National Health and

Nutrition Examination Survey, 1999-2006 menunjukkan adanya


41

hubungan yang signifikan antara obesitas dan terjadinya diabetes

melitus tipe 2. Hasil penelitian ini berarti semakin besar nilai indeks

masa tubuh, semakin besar pula nilai gula darah puasanya. Semakin

besar nilai indeks massa tubuh berarti penderita mengarah ke obesitas.

Hal ini sesuai dengan teori Suyono (2011), bahwa faktor risiko dari

diabetes melitus tipe 2 adalah faktor kegemukan atau obesitas yang

meliputi perubahan gaya hidup dari tradisional ke gaya hidup barat,

makan berlebihan, dan hidup santai (kurang gerak).


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di Puskesmas Koya Barat

Periode Januari-Desember 2017, untuk mengetahui karakteristik pasien

diabetes melitus tipe 2 di Puskesmas Koya Barat pada tahun 2017. Data

yang diperoleh dari data sekunder dibagian rekam medis Periode Januari-

Desember 2017 adalah sebanyak 38 orang, maka dapat diambil kesimpulan

penelitian didapatkan hasil sebagai berikut :

1. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 dengan kategori umur

>60 tahun (63%).

2. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 berjenis kelamin

perempuan (71,05%).

3. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki kadar gula

puasa buruk (73,68%).

4. Sebagian besar penderita diabetes melitus tipe 2 memiliki IMT kategori

obesitas I (39,47).

42
43

5.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan

saran sebagai berikut :

1. Untuk peneliti berikutnya diharapkan dapat memperluas atau


mengembangkan variabel lain yang berpengaruh terhadap kejadian
diabetes melitus.
2. Untuk masyarakat, terutama penderita diabetes melitus tipe 2, untuk

lebih memperhatikan kondisi berat badan dengan cara lebih peduli

tentang pola makan dan meningkatkan olahraga serta dengan

mengubah gaya hidup masing-masing individu agar menjadi lebih

produktif. Selain itu untuk selalu rutin berobat dan mengikuti

anjuran dokter dan tenaga medis lainnya serta rutin memeriksakan

kadar gula darah puasa maupun sewaktu sehingga keadaan

kesehatan dan diabetes mellitus pasien dapat terkontrol dan

komplikasi dapat dihindari.

3. Bagi tenaga kesehatan di Puskesmas sebaiknya dapat memberikan

penyuluhan rutin tentang diabetes melitus, khususnya kepada

penderita diabetes melitus agar penderita lebih sadar dalam menjaga

kesehatannya. Sebagai upaya promotif dan preventif, kepada pasien

dengan diabetes melitus tipe 2 untuk lebih memperhatikan berat

badannya. Diharapkan lebih dilakukan pendekatan dalam

menjelaskan hubungan antara berat badan dan kadar gula darah

puasa pasien meskipun pasien sedang dalam pengobatan rutin. Oleh

sebab itu, petugas diharapkan memberikan penyuluhan mengenai

pentingnya olahraga dan mengajak pasien untuk memulai


44

berolahraga dari yang ringan seperti jalan pagi dan meningkatkan

aktivitas fisik sehari-hari pasien, khususnya pada pasien dengan

berat badan berlebih. Petugas juga dapat mengajarkan pola diet yang

sehat dengan mengajak pasien untuk memperbanyak konsumsi

makanan sehat seperti sayur dan buah, serta untuk mengurangi

makan makanan yang berlemak dan berminyak. Upaya ini dapat

didukung dengan mengadakan demonstrasi masakan sehat secara

langsung sehingga pilihan makanan sehat dapat menjadi lebih

variatif bagi pasien.


DAFTAR PUSTAKA

ADA. 2017. Standard of medical care in diabetes – 2017 . Diabetes Care , 40


(sup 1)(January), pp. s4–s128.

Amir, S., W. Herlina, & P. Damajanti. 2015. ‘Kadar Glukosa Darah Sewaktu Pada
Pasien Diabetes Melitus Tipe 2 di Puskesmas Bahu Kota Manado’. Jurnal
e-Biomedik (eBm), vol. 3, no. 1, hh. 32-40.

Chung JO, Cho DH, Chung DJ, Chung MY. Associations among Body Mass Index,
Insulin Resistance, and Pancreatic β-Cell Function in Korean Patients with
New Onset Type 2 Diabetes. Korean Journal Intern Medicine 2012: 66-71.
Dansinger M, MD. 2014. Weight Loss and Body Mass Index (BMI).
Overview; United Kingdom di Indonesia.

Dorland, N. 2010. Kamus Kedokteran Dorland. Ed 31; Alih Bahasa, Ratna


Neary Elseria… [et al] ; editor Bahasa Indonesia, Albertus Agung Mahode
… [et al]. EGC, Jakarta : hl 594.

Fatimah, N. 2015. Diabetes melitus Tipe 2. J Majority, Vol. 4. No. 5.

Guyton, A. C. 2008. Buku ajar fisiologi kedokteran. Ed 11. Alih Bahasa,


Irawati … [et al] ; editor edisi Bahasa Indonesia, Luqman Yanuar Rachman
… [et al]. EGC, Jakarta :hl 1022. Jakarta; Balai Penerbit FKUI; 2015. h 15-
8.

IDF (2015) Diabetes, International Diabetes Federation.

Kementerian Kesehatan RI. 2014. Panduan Praktik Klinis Bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. Ed Rev. Bina Upaya Kesehatan. Jakarta.

PERKENI. 2011. Konsensus pengelolaan dan pencegahan diabetes melitus tipe 2

PERKENI. 2015. Konsensus Pengendalian dan Pencegahan Diabetes melitus Tipe


2 di Indonesia 2015, Perkeni. PB PERKENI.

45
46

Price, S. A. 2014. Patofisiologi : konsep klinis proses-proses penyakit. Vol 2.


Lorraine McCarty Wilson ; ahli Bahasa, Brahm U. Pendit … [et al] ; editor
edisi Bahasa Indonesia, Huriawati Hartanto. EGC, Jakarta : hl 1260.
Publishing, Jakarta : 2325-2321 hlm.

Purnamasari, D. 2015. ‘Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus’ dalam Setiati,


S., I. Alwi, A. W. Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam.
(eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid II. Interna Publishing.
Jakarta.

Soegondo, S. 2015. ‘Farmokoterapi pada Pengendalian Glikemia Diabetes Melitus


Tipe 2’ dalam Setiati, S., I. Alwi, A. W. Sudoyo, M. Simadibrata, B.
Setiyohadi, & A. F. Syam. (eds). Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6.
Jilid II. Interna Publishing. Jakarta.

Soetomo, S., 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam : Fakultas Kedokteran
Universitas Airlangga Rumah Sakit Pendidikan Dr. Soetomo Surabaya.
Edisi II. Surabaya.

Sugiyono ; 2014. Statistika Untuk Penelitian. Penerbit Alfabeta, Bandung : hal


xxvi+390

Sujarweni, W. V. 2014. Metodologi Penelitian: Lengkap, Praktis, dan Mudah


Dipahami. Pustaka Baru Press, Yogyakarta : hl 65,86.

Suyono, S. 2015. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II; 6th Ed. Interna

Tandra H. 2013. Life Healthy With Diabetes. Cetakan 1. Yogyakarta: Rapha


Publishing.

Tanto, C. 2014 Kapita Selekta Kedokteran. Edisi IV. Media Aesculapius. Jakarta

Trisnawati, SK, Soedijono S. 2013. Faktor Risiko Kejadian Diabetes melitus Tipe
2 di Puskesmas Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat Tahun 2012. Jurnal
Ilmiah Kesehatan. Vol 5. No 1. Hal 6-11. Universitas Lampung, Lampung:
hl 95,96.
47

Waspadji, S. 2015. ‘Komplikasi Kronik Diabetes: Mekanisme Terjadinya,


Diagnosis, dan Strategi Pengelolaan’ dalam Setiati, S., I. Alwi, A. W.
Sudoyo, M. Simadibrata, B. Setiyohadi, & A. F. Syam. (eds). Buku Ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 6. Jilid II. Interna Publishing. Jakarta.

WHO. 2016. Global Report on Diabetes. Isbn. 978. p. 88.


48

Lampiran 1. Surat Permohonan Ijin Pengambilan Data


49

Lampiran 2. Surat Ijin Pengambilan Data DINKES Kota Jayapura


50

Lampiran 3. Surat Keterangan Dari Puskesmas


51

Lampiran 4. Data Rekam Medis


52

Anda mungkin juga menyukai