Anda di halaman 1dari 28

MAKALAH

UNDANG-UNDANG DAN REGULASI FARMASI

“PERBANDINGAN PERUNDANG-UNDANGAN OBAT DAN OBAT


TRADISIONAL”

Untuk melengkapi tugas kelompok mata kuliah perundang – undangan dan regulasi farmasi

Dosen :
Drs. Inding Gusmayadi,M.Si.,Apt
Disusun Oleh : Kelompok 1 (Apoteker 31 Sore)
1. Annisa Aulia R. (1804026131) 9. Pra Panca Bayu C (1804026198)
2. Aulia Cahya W. (1804026140) 10. Putri (1804026200)
3. Bayu Hadi W. (1804026144) 11.Putri Ariani H.P (1804026201)
4. Dea Febria S. (1804026146) 12. Rr. Adella T.P (1804026214)
5. Fidya Winanda (1804026167) 13. Safitri Mutia I (1804026216)
6. Hesty Awanis L. (1804026171) 14. Shinta Ramani (1804026217)
7. Lissa Anggraini (1804026177) 15. Wahyudi (1804026233)
8. Nitia Lonica (1804026192)

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019

1
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obat Tradisional adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan
hewan, bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai dengan
norma yang berlaku di masyarakat. Latar belakang dari dibuatnya Peraturan Menteri
Kesehatan Republik Indonesia Nomor 006 Tahun 2012 Tentang Industri Dan Usaha Obat
Tradisional bahwa dalam rangka memberikan iklim usaha yang kondusif bagi produsen obat
tradisional perlu dilakukan pengaturan industri dan usaha obat tradisional dengan
memperhatikan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang dibuat, Peraturan
Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat
Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional sudah tidak sesuai dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan hukum, dan berdasarkan pertimbangan
sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu menetapkan Peraturan Menteri
Kesehatan tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional.
Landasan hukum dari makalah ini antara lain Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274), Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437)
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun
2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4844), Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang
Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008
Nomor 93, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866), Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063), Peraturan
Pemerintah Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan
Pengembangan Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3330), Peraturan Pemerintah Nomor
72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3781), Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan
Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737), Peraturan Pemerintah Nomor
13 Tahun 2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang
Berlaku Pada Departemen Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009
Nomor 26, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4975), Peraturan
Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 5044), Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan,
Tugas, Fungsi, Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non
Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden
Nomor 64 Tahun 2005, Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan,
Tugas, dan Fungsi Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon
I Kementerian Negara, Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/ III/2007
tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional, dan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan
(Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 585).

B. Tujuan
1. Agar dapat memahami peraturan perundang-undangan terkait obat tradisional.
2. Agar dapat mengetahui perbedaan dan persamaan perundang-undangan obat dan obat
tradisional.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan


1. Latar Belakang
Bahwa kesehatan merupakan hak asasi manusia dan salah satu unsur kesejahteraan
yang harus diwujudkan sesuai dengan cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana dimaksud
dalam Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa
setiap kegiatan dalam upaya untuk memelihara dan meningkatkan derajat kesehatan
masyarakat yang setinggi-tingginya dilaksanakan berdasarkan prinsip nondiskriminatif,
partisipatif, dan berkelanjutan dalam rangka pembentukan sumber daya manusia Indonesia,
serta peningkatan ketahanan dan daya saing bangsa bagi pembangunan nasional, bahwa
setiap hal yang menyebabkan terjadinya gangguan kesehatan pada masyarakat Indonesia akan
menimbulkan kerugian ekonomi yang besar bagi negara, dan setiap upaya peningkatan
derajat kesehatan masyarakat juga berarti investasi bagi pembangunan negara, bahwa setiap
upaya pembangunan harus dilandasi dengan wawasan kesehatan dalam arti pembangunan
nasional harus memperhatikan kesehatan masyarakat dan merupakan tanggung jawab semua
pihak baik Pemerintah maupun masyarakat, bahwa Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992
tentang Kesehatan sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan, tuntutan, dan kebutuhan
hukum dalam masyarakat sehingga perlu dicabut dan diganti dengan UndangUndang tentang
Kesehatan yang baru, dan bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam
huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu membentuk Undang-Undang tentang
Kesehatan.
2. Dasar Hukum
Pasal 20, Pasal 28H ayat (1), dan Pasal 34 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
3. Tujuan
Pembangunan kesehatan diselenggarakan dengan berasaskan perikemanusiaan,
keseimbangan, manfaat, pelindungan, penghormatan terhadap hak dan kewajiban, keadilan,
gender dan nondiskriminatif dan norma-norma agama dan pembangunan kesehatan bertujuan
untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang agar
terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi
pembangunan sumber daya manusia yang produktif secara sosial dan ekonomis.

3
4. Ketentuan Umum
Hak Dan Kewajiban, Tanggung Jawab Pemerintah. Sumber Daya Di Bidang Kesehatan
(Nakes, Fasyankes, Perbekkes, Teknologi, Dan Produk Teknologi), Upaya Kesehatan (17
Upaya), Kesehatan Ibu, Bayi, Anak, Remaja, Lanjut Usia, Dan Penyandang Cacat, Gizi,
Kesehatan Jiwa, Penyakit Menular Dan Tidak Menular, Kesehatan Lingkungan, Kesehatan
Kerja, Pengelolaan Kesehatan, Informasi Kesehatan, Pembiayaan Kesehatan, Peran Serta
Masyarakat, Badan Pertimbangan Kesehatan, Pembinaan Dan Pengawasan, Penyidikan, dan
Ketentuan Pidana.
5. Materi Obat Tradisional
Kesehatan, Sumber Daya Di Bidang Kesehatan, Sediaan Farmasi, Obat, Obat Tradisional
(Pasal 1), Pengamanan Dan Penggunaan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Pasal 98),
Praktik Kefarmasian (Pasal 108).
6. Sanksi
Setiap orang yang tanpa izin melakukan praktik pelayanan kesehatan tradisional yang
menggunakan alat dan teknologi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) sehingga
mengakibatkan kerugian harta benda, luka berat atau kematian dipidana dengan pidana
penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta
rupiah). (Pasal 191), Setiap orang yang dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan
sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan yang tidak memenuhi standar dan/atau persyaratan
keamanan, khasiat atau kemanfaatan, dan mutu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 98 ayat
(2) dan ayat (3) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda
paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). (Pasal 196), Setiap orang yang
dengan sengaja memproduksi atau mengedarkan sediaan farmasi dan/atau alat kesehatan
yang tidak memiliki izin edar sebagaimana dimaksud dalam Pasal 106 ayat (1) dipidana
dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah). (Pasal 197), dan Setiap orang yang
tidak memiliki keahlian dan kewenangan untuk melakukan praktik kefarmasian sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 108 dipidana dengan pidana denda paling banyak Rp100.000.000,00
(seratus juta rupiah). (Pasal 198).
7. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Pada saat Undang-Undang ini berlaku, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang
Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3495) dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
(Pasal 204) dan Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap

4
orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-Undang ini dengan
penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia. (Pasal 205).

B. Peraturan Pemerintah
1. Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009
a. Latar Belakang
Peraturan Pemerintah Nomor 51 tahun 2009 berisi tentang pekerjaan kefarmsian. Alasan
diterbitkan yaitu Untuk melaksanakan ketentuan Pasal 63 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pekerjaan
Kefarmasian.
b. Dasar Hukum
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-
Undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor
100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495);
c. Tujuan
Memberikan perlindungan kepada pasien dan masyarakat dalam memperoleh dan/atau
menetapkan sediaan farmasi dan jasa kefarmasian; Mempertahankan dan meningkatkan mutu
penyelenggaraan Pekerjaan Kefarmasian sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi serta perundang-undangan; Memberikan kepastian hukum bagi pasien, masyarakat
dan Tenaga Kefarmasian.
d. Ketentuan Umum
Pekerjaan Kefarmasian, Sediaan Farmasi, Pelayanan Kefarmasian, Apoteker,Tenaga
Teknis Kefarmasian, Fasilitas Kesehatan, Fasilitas Kefarmasian, Fasilitas Produksi Sediaan
Farmasi, Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi, Fasilitas Pelayanan
Kefarmasinan, Pedagang Besar Farmasi (PBF), Apotek, Toko Obat, Standar Profesi, Standar
Prosedur Operasional, Standar Kefarmasian, Asosisasi, Organisasi Profesi, Surat Tanda
Registrasi Apoteker (STRA), Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK),
Surat Izin Praktik Apoteker (SIPA), Surat Izin Kerja (SIK), Rahasia Kedokteran, Rahasia
Kefarmasian, Menteri.
e. Materi Farmasi
Pekerjaan Kefarmasian, Sediaan Farmasi, Tenaga Kefarmasian, Pelayanan Kefarmasian,
Apoteker, Tenaga Teknis Kefarmasian, Fasilitas Kefarmasian, Fasilitas Produksi Sediaan
Farmasi, Fasilitas Distribusi atau Penyaluran Sediaan Farmasi, Fasilitas Pelayanan
Kefarmasian, Pedagang Besar Farmasi, Apotek, Toko Obat, Standar Profesi, Standar

5
Prosedur Operasional, Standar Kefarmasian, Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), Surat
Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK), Surat Izin Praktik Apoteker
(SIPA), Surat Izin Kerja (SIK) Apoteker, Rahasia Kefarmasian.
f. Sanksi
Pembatalan Surat Izin untuk menjalankan Pekerjaan Kefarmasian.
g. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Apoteker yang telah memiliki Surat Penugasan dan./atau Surat Izin Apoteker dan/atau
SIK, tetap dapat menjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun
wajib menyesuaikan dengan ketentuan; Asisten Apoteker dan Analisis Farmasi yang telah
memiliki Surat Penugasan dan./atau Surat Izin Apoteker dan/atau SIK, tetap dapat
msenjalankan Pekerjaan Kefarmasian dan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun wajib
menyesuaikan dengan ketentuan; Surat Izin Kerja untuk Apoteker dan Asisten Apoteker yang
belum memenuhi persyaratan dalam jangka waktu 2 (dua) tahun batal demi hukum; Tenaga
Teknis Kefarmasian yang menjadi penanggung jawab PBF harus menyesuaikan dengan
ketentuan paling lambat 3 (tiga) tahun sejak diundangkan; PP 26/1965 tentang Apotek,
sebagaimana diubah dengan PP 25/1980 tentang Perubahan PP 26/1965 dan PP 41/1990
tentang Masa Bakti Dan Izin Kerja Apoteker, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku; Berlaku
pada tanggal diundangkan.

2. Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998


a. Latar Belakang
Bahwa pengamanan sediaan farmasi dan alat kesehatan sebagai salah satu upaya dalam
pembangunan kesehatan dilakukan untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang
disebabkan oleh penggunaan sediaan farmasi dan alat kesehatan yang tidak tepat serta yang
tidak memenuhi persyaratan mutu, keamanan, dan kemanfaatan dan bahwa sehubungan
dengan hal tersebut di atas dan sebagai pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 23 Tahun
1992 tentang Kesehatan, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang
Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan.
b. Dasar Hukum
Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984
tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan Lembaran
Negara Nomor 3274), dan Undang-undang Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 100, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3495).

6
c. Ketentuan Umum
Sediaan farmasi, Alat kesehatan, Produksi, Peredaran, Pengangkutan, Kemasan sediaan
farmasi.
d. Materi Muatan
Persyaratan Mutu (Pasal 2-4), Keamanan Dan Kemanfaatan, Produksi (Pasal 3-5),
Peredaran (Pasal 6-8), Pemasukan Dan Pengeluaran Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan Ke
Dalam Dan Dari Wilayah Indonesia (Pasal 17-23), Kemasan Sediaan Farmasi Dan Alat
Kesehatan (Pasal 24-25), Penandaan Dan Iklan (Pasal 26-33),Pemeliharaan Mutu (Pasal 34-
35), Pengujian Dan Penarikan Kembali Sediaan Farmasi Dan Alat Kesehatan Dari Peredaran
(Pasal 36-43), dan Pemusnahan (Pasal 44-47).
e. Materi Obat Tradisional
Sediaan farmasi, Alat kesehatan, Produksi, Peredaran, Pengangkutan, Kemasan sediaan
farmasi (Pasal 1), Izin edar (Pasal 9-11), Pengujian sediaan farmasi dan alat kesehatan (Pasal
12-14), Penyaluran (Pasal 15), Penyerahan (Pasal 16), Penandaan dan Informasi (Pasal 26-
30), Iklan (Pasal 31-33), Pengujian Kembali (Pasal 36-40), Penarikan Kembali (Pasal 41-42),
dan Ganti Rugi (Pasal 43).
f. Sanksi
Tindakan administratif (Pasal 72-72) dan Pidana (Pasal 74-79).
g. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Dengan berlakunya Peraturan Pemerintah ini, maka Pharmaceutissche Stoffen Keurings
Verordening (Staatsblad Tahun 1938 Nomor 172), Verpakkings Verordening
Pharmaceutissche Stoffen Nomor 1 (Staatsblad Tahun 1938 Nomor 173), dan Verpakkings
Verordening Kinine (Staatsblad Tahun 1939 Nomor 210); dinyatakan tidak berlaku lagi.
(Pasal 82).

C. Peraturan Kementerian Kesehatan


1. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012
a. Latar Belakang
Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 006 Tahun 2012 tentang industri dan usaha
obat tradisional diterbitkan karena a) Dalam rangka memberikan iklim usaha yang kondusif
bagi produsen obat tradisional perlu dilakukan pengaturan industri dan usaha obat tradisional
dengan memperhatikan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu obat tradisional yang dibuat; b)
Bahwa Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha
Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional sudah tidak sesuai dengan

7
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan hukum; c) Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a dan huruf b, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Industri dan Usaha Obat Tradisional.
b. Dasar Hukum
Dasar hukum peraturan ini yaitu Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang
Perindustrian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3274); Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4437) sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4844); Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro,
Kecil, dan Menengah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 93,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4866); Undang-Undang Nomor 36
Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor
144, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5063); Peraturan Pemerintah
Nomor 17 Tahun 1986 tentang Kewenangan Pengaturan, Pembinaan dan Pengembangan
Industri (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1986 Nomor 23, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3330); Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998
tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1998 Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
3781); Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian Urusan
Pemerintahan Antara Pemerintah, Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737); Peraturan Pemerintah Nomor 13 Tahun
2009 tentang Jenis dan Tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Berlaku Pada
Departemen Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 26,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4975); Peraturan Pemerintah
Nomor 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 124, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5044); Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan Susunan Organisasi dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 64 Tahun
2005; Peraturan Presiden Nomor 24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi

8
Kementerian Negara serta Susunan Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselon I Kementerian
Negara; Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381/Menkes/SK/ III/2007 tentang Kebijakan
Obat Tradisional Nasional; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1144/Menkes/Per/VIII/2010
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan (Berita Negara Republik
Indonesia Tahun 2010 Nomor 585).
c. Ketentuan Umum
Obat Tradisional, Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB), Industri Obat
Tradisional (IOT), Industri Ekstrak Bahan Alam (IEBA), Usaha Kecil Obat Tradisional
(UKOT), Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT), Usaha Jamu Racikan, Usaha Jamu
Gendong, Menteri, Direktur Jenderal, Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan (Kepala
Badan) dan Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan (Kepala Balai).
d. Materi Obat Tradisional
Obat Tradisional (Pasal 1), Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB) (Pasal
1), Industri Obat Tradisional (IOT) (Pasal 1-5, 17 dan 40), Industri Ekstrak Bahan Alam
(IEBA) (Pasal 1-5, 17 dan 40), Usaha Kecil Obat Tradisional (UKOT) (Pasal 1-5, 22 dan 40),
Usaha Mikro Obat Tradisional (UMOT) (Pasal 1-5, dan 28), Usaha Jamu Racikan (Pasal 1, 2
dan 6), Usaha Jamu Gendong Racikan (Pasal 1, 2 dan 6), Menteri (Pasal 1, 6, 8, dan 35),
Direktur Jenderal Menteri (Pasal 1 dan 8), Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
(Kepala Badan) (Pasal 1) dan Kepala Balai Besar/Balai Pengawas Obat dan Makanan
(Kepala Balai) (Pasal 1)
e. Sanksi
 Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Menteri ini dapat dikenakan sanksi
administrasi berupa:
 Peringatan;
 Peringatan keras;
 Perintah penarikan produk dari peredaran;
 Penghentian sementara kegiatan; atau
 Pencabutan izin industri atau izin usaha.
 Penghentian sementara kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d dapat
dikenakan untuk seluruh kegiatan atau sebagian kegiatan.
 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a sampai dengan huruf d,
berkaitan dengan produk dan penerapan persyaratan CPOTB diberikan oleh Kepala
Badan.

9
 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf d
berkaitan dengan persyaratan administratif diberikan secara berjenjang oleh Kepala Dinas
Kesehatan Kabupaten/Kota, Kepala Dinas Kesehatan Provinsi, atau Direktur Jenderal.
 Sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf e diberikan oleh pemberi
izin.
 Pencabutan izin industri atau izin usaha yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap
produk dan penerapan persyaratan CPOTB harus mendapat rekomendasi dari Kepala
Badan. (Pasal 45)
f. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Permohonan izin industri dan usaha obat tradisional yang telah diajukan sebelum
berlakunya Peraturan Menteri ini tetap diproses berdasarkan ketentuan Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan
Pendaftaran Obat Tradisional; Izin industri dan usaha obat tradisional yang dikeluarkan
berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin
Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional dinyatakan masih tetap
berlaku. ; Izin industri dan usaha obat tradisional sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus
diperbaharui sesuai dengan persyaratan dalam Peraturan Menteri ini paling lama 2 (dua)
tahun sejak Peraturan Menteri ini diundangkan. (Pasal 46).

2. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012


a. Latar Belakang
Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 007 Tahun 2012 mengenai registrasi obat
tradisional diterbitkan dengan alasan untuk melindungi masyarakat dari peredaran
persyaratan keamanan, khasiat/manfaat, dan mutu perlu dilakukan penilaian melaluui
registrasi obat tradisional sebelum diedarkan; bahwa peraturan pendaftaran obat tradisional
dalam Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang Izin Usaha Industri
Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional sudah tidak sesuai lgi dengan
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kebutuhan hukum.
b. Dasar Hukum
UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen; UU NO. 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan; Peraturan Pemerintah NO. 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi
dan Alat Kesehatan; Perturan Pemerintah NO. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan
Kefarmasian; Keputusan Presiden No. 103 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi,
Kewenangan dan Tata Kerja Lembaga Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah

10
beberapa kali diubah dengan Peraturan Presiden No. 64 Tahun 2005; Peraturan Presiden No.
24 Tahun 2010 tentang Kedudukan, Tugas, dan Fungsi Kementrian Negara Serta Susunan
Organisasi, Tugas, dan Fungsi Eselonn I Kementrian Negara; Keputusan Menteri Kesehatan
NO. 381/Menkes/SK/III/2007 tentang Kebijakan Obat Tradisional Nasional; Peraturan
Menteri Kesehatan No. 1144/Menkes/Per/VIII/2010 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Kementerian Kesehatan; Peraturan Menteri Kesehatan NO. 006 Tahun 2012 tentang Industri
dan Usaha Obat Tradisional.
c. Tujuan
Dalam rangka melindungi masyarakat dari peredaran obat yang tidak memenuhi persyaratan,
keamanan, mutu dan kemanfaatan perlu dilakukan penilaian melalui mekanisme registrasi obat
d. Ketentuan Umum
Obat Tradisional, Izin edar, Registrasi, Importir, Cara pembuatan Obat Tradisional yang
Baik, Industri Obat Tradisional, Usaha Kecil Obat Tradisional, Usaha Mikro Obat
Tradisional, Usaha jamu racikan, Usaha jamu gendong, Simplisia, Sediaan galenik, Obat
tradisional produksi dalan negri, Obat tradisional kontrak, Obat tradisional lisensi, Obat
tradisional impor, Pemberi kontrak, Penerima kontrak, Sertifikat Cara Pembuatan Obat
Tradisional yang Baik, Menteri, dan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan.
e. Materi Obat Tradisional
Obat Tradisional, Sediaan Farmasi, Tata Cara Registrasi Obat, Izin Edar Obat,
f. Sanksi
Sanksi administratif berupa pembatalan izin edar dan penarikan dari peredaran atau
pemusnahan obat tradisional yang tidak memenuhi standar atau persyaratan.
g. Ketentuan Peralihan atau Penutup
 Permohonan registrasi yang telah diajukan sebelum berlakunya Peraturan Menteri ini
tetap diproses berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 246/Menkes/Per/V/1990
tentang Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradsional.
 Izin edar obat tradisional dikeluarkan berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No.
246/Menkes/Per/V/1990 dinyatakan masih tetap berlaku.
 Semua peraturan pelaksanaan dari PERMENKES No. 246/Menkes/Per/V/1990 tentang
Izin Usaha Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional masih berlaku
sepanjang tidak bertentangan atau belum diganti berdasarkan Peraturan Menteri ini.
 Peraturan Menteri mulai berlaku, yaitu :
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 181/Menkes/Per/VII/1976 Tentang
Pembungkusan dan Penandaan Obat Tradisional;

11
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 246/Menkes/Per/V/ 1990 tentang Izin Usha
Industri Obat Tradisional dan Pendaftaran Obat Tradisional sebagaimana
dimaksud dalam Peraturan Menteri ini;
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 181/Menkes/Per/VII/1976 Tentang
Pembungkusan dan Penandaan Obat Tradisional;
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 661/Menkes/Per/VII/1994 Tentang Persyaratan
Obat Tradisional;
 Peraturan Menteri Kesehatan No. 1297/Menkes/Per/XI/1998 Tentang Peredaran
Obat Tradisional Impor;
Dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
 Berlaku pada tanggal diundangkan.

3. Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 003/MENKES/PER/I/2010


a. Latar Belakang
Peraturan Kementerian Kesehatan Nomor 003/MENKES/PER/I/2010 tentang
Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian Berbasis Pelayanan Kesehatan diterbitkan dengan alasan
a) bahwa penelitian dan pengembangan kesehatan merupakan salah satu sumber daya
kesehatan dalam rangka pembangunan kesehatan; b) bahwa dengan perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi di bidang jamu perlu dilakukan saintifikasi jamu dalam penelitian
berbasis pelayanan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah, akademis, dunia usaha
maupun masyarakat; c) bahwa dalam rangka mengantisipasi persaingan global di bidang
jamu dan tersedianya jamu yang aman, memliki khasiat nyata yang teruji secara ilmiah, perlu
dilakukan saintifikasi jamu dalam penelitian berbasis pelayanan kesehatan yang berhasil guna
dan berdaya guna; d) bahwa jamu yang aman, bermutu dan bermanfaat hasil saintifikasi dapat
dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat; e) bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada huruf a, huruf b,dan huruf c, perlu
menetapkan Peraturan Menteri Kesehatan tentang Saintifikasi Jamu Dalam Penelitian
Berbasis Pelayanan Kesehatan.
b. Dasar Hukum
Dasar hukum dari peraturan ini antara lain Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992
tentang sistem Budidaya Tanaman; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1997 tentang
Penerimaan Negara Bukan Pajak; Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2002 tentang Sistem
Nasional Penelitian, Pengembangan, Penerapan Ilmu Pengertahuan dan Teknologi; Undang-
Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional; Undang-Undang Nomor

12
29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12
Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintah Daerah; Undang- Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Undang-
Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit; Peraturan Pemerintah Nomor 39 Tahun
1995 tentang Penelitian dan Pengembangan Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 32
Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan.
c. Tujuan
Pasal 2 Tujuan pengaturan saintifikasi jamu adalah:
 Memberikan landasan ilmiah (evidence based) penggunaan jamu secara empiris
melalui penelitian berbasis pelayanan kesehatan.
 Mendorong terbentuknya jejaring dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan
lainnya sebagai peneliti dalam rangka upaya preventif, promotif, rehabilitatif, dan
paliatif melalui penggunaan jamu.
 Meningkatkan kegiatan penelitian kualitatif terhadap pasien denganpenggunaan
jamu.
 Meningkatkan penyediaan jamu yang aman, memiliki khasiat nyata yang teruji
secara ilmiah, dan dimanfaatkan secara luas baik untuk pengobatan sendiri maupun
dalam fasilitas pelayanan kesehatan.
d. Ketentuan Umum
Ketentuan umum dalam peraturan ini antara lain Saintifikasi jamu, jamu, obat
tradisional, Tenaga kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan, pengobatan komplementer-
alternatif, ilmu pengetahuan biomedik, sertifikat kompetensi, Surat bukti registrasi Tenaga
pengobatan komplementer-alternatif, Surat tugas Tenaga pengobatan complementer
alternatif, Surat Izin kerja Tenaga pengobatan komplementer-alternatif.
e. Materi Muatan/ Aspek yang Diatur
Materi muatan yang terdapat pada peraturan ini antara lain Penyelenggaraan (Pasal 4);
Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Pasal 6); Ketenagaan (Pasal 11); Persetujuan Tindakan (Pasal
13); Pencatatan (Pasal 14); Persetujuan Etik (Pasal 15); Tarif (Pasal 16)
f. Sanksi
Sanksi jika melanggar peraturan ini terdapat pada Pasal 18, sanksi berupa teguran lisan;
teguran tertulis; danpencabutan izin/registrasi tenaga atau fasilitas.

13
g. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Pasal 19
1. Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya yang ditugaskan memberikan
penelitian pelayanan jamu di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Obat dan Obat Tradisional (B2P2TOOT) Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan dan Klinik Jamu yang dicanangkan Menteri, dinyatakan telah memiliki
SBR-TPKA dan ST-TPKA/SIK-TPKA berdasarkan ketentuan dalam Peraturan
Menteri ini.
2. Dokter atau dokter gigi dan tenaga kesehatan lainnya sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) harus memiliki SBR-TPKA dan ST-TPKA/SIK-TPKA dalam jangka waktu 3
(tiga) bulan sejak peraturan ini ditetapakan.
Pasal 21 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.

4. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381 Tahun 2007


a. Latar Belakang
Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 381 Tahun 2007 diterbitkan dengan alasan Bahwa
pengembangan dan peningkatan obat tradisional yang bermutu, aman, berkhasiat dan teruji secara
ilmiah, serta dalai rangka mengantisipasi berbagai perubahan dan tantangan strategis, baik internal
maupun eksternal sejalan dengan sistem kesehatan nasional.
b. Dasar Hukum
Dasar hukum peraturan ini antara lain Undang-Undang Obat Keras; Undang-Undang Nomor
23 Tahun 1992 tentang kesehatan; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1997 tentang Narkotika; Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah; Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan
Sediaan Farmasi dan Alat Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom; Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 131/Menkes/SK/II/2004 tentang Sistem Kesehatan Nasional; Peraturan Menteri
Kesehatan Nomor 1575/Menkse/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja Departemen
Kesehatan
c. Tujuan
Tujuan dari peraturan ini antara lain mendorong pemanfaatan sumber daya alam dan ramuan
tradisional secara berkelanjutan; Menjamin pengelolaan potensi alam Indonesia; tersedianya obat
tradisional yang terjamin mutu, khasiat dan keamanannya; menjadikan obat tradisional sebagai
komoditi unggul yang memberikan multi manfaat.

14
d. Ketentuan Umum
Ketentuan umum dari peraturan ini antara lain Kebijakan Obat Tradisional, Obat Tradisional,
Jamu, Ramuan bahan tumbuhan, hewan, mineral termasuk biota laut, Sediaan galenik secara turun
menurun, Obat Herbal Terstandar, Fitofarmaka, Mutu, Aksebilitas, Penggunaan yang tepat,
Pengawasan, Penelitian, Pengembangan, Industrialisasi, Komersialisasi, Konservasi Sumber Daya
Obat, Pemantauan, Evaluasi, Dokumentasi, Database.
e. Materi Obat Tradisional
Materi obat tradisional pada peraturan ini antara lain Obat Tradisional, Jamu, Obat Herbal
Terstandar, Fitofarmaka, Sediaan Galenik, Tumbuhan Obat, Ekspor Obat Tradisional, Penelitian
Ilmiah, Budidaya Sumber Daya Obat Tradisional, Konservasi Sumber Daya Obat Tradisional,
Keamanan, Mutu, Penggunaan yang tepat, Pengawasan, Penelitian dan Pengembangan, Industrialisasi
Obat Tradisional,
f. Ketentuan Peralihan atau Penutup
KOTRANAS dipergunakan sebagai pedoman dan arah dalai bertindak dari berbagai pemangku
kepentingan di bidang obat tradisional nasional; Pelaksaan KOTRANAS memerlukan
pengorganisasian, penggerakan, pemantauan, pengawasanm pengendalian dan evaluasi; Keberhasilan
pelaksanaan KOTRANAS sangat tergantung pada moral, etika, dedikasi, kompetensi, integritas,
ketekunan, kerja keras dan ketulusan segenap pemangku kepentingan di bidang obat tradisional.

D. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan


1. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2017
a. Latar Belakang
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2017
merupakan PerKaBPOM yang berisi tentang Pedoman Dokumen Informasi Produk. Latar
belakang peraturan ini adalah a) Bahwa beberapa ketentuan mengenai Dokumen Informasi
Produk sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor HK.03.1.23.12.10.12123 Tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen Informasi
Produk perlu disesuaikan dengan perkembangan terkini di bidang Kosmetika; b) Bahwa
berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, perlu menetapkan
Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman Dokumen Informasi
Produk.
b. Dasar Hukum
Dasar hukum dari peraturan ini yaitu Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang
Perlindungan Konsumen; Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik; Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan; Peraturan

15
Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan; Peraturan Presiden Nomor 80 Tahun 2017 tentang Badan Pengawas Obat dan
Makanan; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1175/MENKES/PER/VI/2010 Tahun 2010
tentang Izin Produksi Kosmetika; Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1176/MENKES/PER/VIII/2010 Tahun 2010 tentang Notifikasi Kosmetika; Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.10.11983 Tahun 2010 tentang
Kriteria dan Tata Cara Pengajuan Notifikasi Kosmetika; Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor 14 Tahun 2014 tentang Organisasi dan Tata Kerja Unit Pelaksana
Teknis; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 18 Tahun 2015
tentang Persyaratan Teknis Bahan Kosmetika; Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Nomor 19 Tahun 2015 tentang Persyaratan Teknis Kosmetika; Keputusan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM Tahun 2001 tentang
Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan sebagaimana telah diubah
dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.00.05.21.4231
Tahun 2004.
c. Ketentuan Umum
Definisi : Kosmetika, Dokumen Informasi Produk, Template Notifikasi, Pemohon
Notifikasi, Pemilik Nomor Notifikasi, Peniliai Keamanan (Safety Assessor), Petugas, Kepala
Badan
d. Materi Obat Tradisional
Materi farmasi yang terdapat dalam peraturan ini antara lain Kosmetika (Pasal 1),
Dokumen Informasi Produk (Pasal 1-5), Template Notifikasi (Pasal 1), Pemohon Notifikasi
(Pasal 1), Pemilik Nomor Notifikasi (Pasal 1), Penilai Keamanan (Pasal 1), Petugas (Pasal 1),
Audit DIP (Pasal 6-9).
e. Sanksi
Sanksi jika melanggar ketentuan dalam peraturan ini dapat dikenakan sanksi
administratif berupa peringatan tertulis; larangan mengedarkan Kosmetika untuk sementara;
penarikan Kosmetika; penghentian sementara kegiatan; penutupan sementara akses notifikasi;
dan/atau pencabutan nomor notifikasi.
f. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Peralihan
Pada saat Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku, DIP untuk Kosmetika yang telah
dinotifikasi dan disusun berdasarkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan

16
Nomor HK.03.1.23.12.10.12123 Tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen Informasi Produk
tetap dapat digunakan.
Penutup
Pada saat Peraturan Kepala Badan ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Badan Pengawas
Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.12.10.12123 Tahun 2010 tentang Pedoman Dokumen
Informasi Produk, dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.

2. Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan


NO.HK.04.1.33.02.12.0883 Tahun 2012
a. Latar Belakang
Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan HK.04.1.33.02.12.0883
merupakan PerKaBPOM yang berisi tentang dokumen induk industri farmasi dan industri
obat treadisional. Latar belakang peraturan ini adalah a) Untuk perencanaan dan
pelaksanaan inspeksi,evaluasi atas informasi spesifik tentang pemastian mutu,produksi dan
pengawasan mutu dari proses pembuatanobat dan obat tradisional serta evaluasi kegiatan lain
disekitar bangunan industri farmasi dan industri obattradisional perlu informasi lengkap
berupa DokumenInduk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional; b) Pengaturan
mengenai Dokumen Induk IndustriFarmasi yang telah diberlakukan dalam Peraturan
KepalaBadan Pengawas Obat dan Makanan Republik IndonesiaNomor
HK.04.1.33.12.11.09936 Tahun 2011 tentangPedoman Penyiapan Dokumen Induk
Industri Farmasidan Industri Obat Tradisional perlu disesuaikan untukmengoptimalkan
pengawasan; c) Berdasarkan pertimbangan sebagaiman dimaksud dalam huruf a dan huruf b
perlu menetapkan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan tentang Pedoman
Penyiapan Dokumen Induk IndustriFarmasi dan Industri Obat Tradisional.
b. Dasar Hukum
Dasar hukum peraturan ini antara lain Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang
Kesehatan; Peraturan Pemerintah Nomor 72 Tahun 1998 tentang Pengamanan Sediaan
Farmasi dan Alat Kesehatan; Keputusan Presiden Nomor 103 Tahun 2001 tentang
Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Lembaga
Pemerintah Non Departemen sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Presiden Nomor 145 Tahun 2015;Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001
tentang Unit Organisasi dan Tugas Eselon I Lembaga Pemerintah Non Departemen
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun
2013;Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor 02001/SK/KBPOM

17
Tahun 2001 tentang Organisasi dan Tata Kerja Badan Pengawas Obat dan Makanan,
sebagaimana telah diubah dengan Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
No.HK.00.05.21.4231 Tahun 2004;Keputusan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Republik Indonesia Nomor HK.00.05.3.0027 Tahun 2006 tentang Penerapan Pedoman Cara
Pembuatan Obat yang Baik Tahun 2006 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala
Badan Pengawas Obat dan Makanan Nomor HK.03.1.23.09.10.9030 Tahun 2010;Keputusan
Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia Nomor HK.00.05.4.1380
Tahun 2005 tentang Pedoman Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik Tahun 2005
sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan
Nomor HK.03.1.23.06.11.5629 Tahun 2011.
c. Tujuan
Sebagai acuan bagi Industri Farmasi atau Industri Obat Tradisional dalam
mempersiapkan suatu DI-IF/IOT yang dapat berguna bagi Badan POM dalam
perencanaan pelaksanaan inspeksi CPOB/CPOTB.
d. Ketentuan Umum
Dokumen Induk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional (DI-IF/IOT), Industri
Farmasi, Industri Obat Tradisional, Cara Pembuatan Obat yang Baik (CPOB), Cara
Pembuatan Obat Tradisiona; yang Baik 9CPOTB), Inspeksi, Kepala Badan.
e. Materi Obat Tradisional
Dokumen Induk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional (DI-IF/IOT) (Pasal 1, 2,
4, dan 6),Industri Farmasi (Pasal 1) , Industri Obat Tradisional (Pasal 1), Cara Pembuatan
Obat yang Baik (CPOB) (Pasal 1), Cara Pembuatan Obat Tradisional yang Baik (CPOTB)
(Pasal 1).
f. Sanksi
Sanksi administratif dapat berupa peringatan tertulis; pembekuan Sertifikat
CPOB/CPOTB; atau penghentian sementara kegiatan.
g. Ketentuan Peralihan atau Penutup
Pada saat Peraturan ini mulai berlaku, Peraturan Kepala Badan Pengawas Obat dan
Makanan Republik Indonesia Nomor HK.04.1.33.12.11.09936 Tahun 2011 tentang Pedoman
Penyiapan Dokumen Induk Industri Farmasi dan Industri Obat Tradisional dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku; Peraturan ini mulai berlaku sejak tanggal diundangkan; Agar setiap
orang mengetahui memerintahkan pengundangan Peraturan ini dengan penempatannya dalam
Berita Negara Republik Indonesia.

18
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Bahan Penelitian
Bahan penelitian yang digunakan antara lain sebagai berikut :
- Undang-undang Nomor 36 Tahun 2009 (Kesehatan)
- Peraturan Pemerintah Nomor 51 Tahun 2009 (Pekerjaan Kefarmasian)
- Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 1998 (Pengamanan Sediaan Farmasi dan Alat
Kesehatan)
- Peraturan Kementerian Kesehatan
- Peraturan Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan

B. Metode Penelitian
Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan menggunakan literatur
berupa Undang-undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri Kesehatan, dan Peraturan
Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan yang terkait dengan produksi dan distribusi
obat dan obat tradisional.

19
BAB IV
PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

1. Tujuan
Untuk melindungi seluruh masyarakat dari penggunaan obat maupun obat
tradisional yang secara ilmiah tidak memenuhi persyaratan keamanan, mutu, dan
manfaat serta mengandung bahan tertentu yang secara syariah mengandung unsur
bahan tidak halal dan tidak lazim digunakan oleh masyarakat Indonesia yang
mayoritas beragama Islam.
2. Definisi
a). Obat
Adalah bahan atau paduan bahan, termasuk produk biologi yang digunakan
untuk mempengaruhi atau menyelidiki sistem fisiologi atau keadaan patologi dalam
rangka penetapan diagnosis, pencegahan, penyembuhan, pemulihan, peningkatan
kesehatan dan kontrasepsi, untuk manusia. (UU No 36/2009)
b). Obat Tradisional
Adalah bahan atau ramuan bahan yang berupa bahan tumbuhan, bahan hewan,
bahan mineral, sediaan sarian (galenik), atau campuran dari bahan tersebut yang
secara turun temurun telah digunakan untuk pengobatan, dan dapat diterapkan sesuai
dengan norma yang berlaku di masyarakat. (UU No 36/2009)
3. Kategori/ Jenis
a). Obat
 Obat Bebas
 Obat Bebas Terbatas
 Obat Wajib Apotek
 Obat Keras
 Psikotropika
 Narkotika
(PMK 917/1993)
b). Obat Tradisional
 Jamu
 Obat Herbal Terstandar
 Fitofarmaka
(PKA BPOM Nomor HK.00.05.41.1384)
4. Pengecualian Izin
a). Obat
 Obat penggunaan khusus atas permintaan dokter
 Obat donasi
 Obat untuk uji klinik
 Obat sampel untuk registrasi
(PMK Nomor 1010/2008 Pasal 2 (4))

20
b). Obat Tradisional
 OT yang dibuat oleh usaha jamu racikan dan usaha jamu gendong
 Simplisia dan sediaan galenik untuk keperluan industry dan keperluan layanan
pengobatan tradisional
 OT yang digunakan untuk penelitian, sampel untuk registrasi dan pameran
dalam jumlah terbatas dan tidak diperjual belikan
(PMK Nomor 007/2012 Pasal 4)
5. Pelaku Pemohon
a). Obat
 Obat produksi dalam negeri
o Obat lisensi dan tanpa lisensi: industry yang memiliki izin
o Obat kontrak: pemberi kontrak (industri farmasi/ badan lain)
 Obat impor: industri farmasi dalam negeri atau BF yang mendapat persetujuan
tertulis dari industri di luar negeri
 Obat Khusus Ekspor industri farmasi
 Obat yang dilindungi paten: industri farmasi dalam negeri, pemegang hak
paten, atau industri farmasi lain/ PBF
(PKA BPOM Nomor HK.00.05.3.1950)
b). Obat Tradisional
 Industri obat tradisional, usaha kecil obat tradisional, atau usaha mikro obat
tradisional, usaha jamu racikan, dan usaha jamu gendong

(PMK Nomor 007/2012 Pasal 1)


6. Syarat Pemohon
a). Obat
 Obat yang akan diedarkan di wilayah Indonesia wajib memiliki Izin Edar.
 Untuk memperoleh Izin Edar harus dilakukan Registrasi.
 Registrasi diajukan oleh Pendaftar kepada Kepala Badan.
(PKBPOM Nomor 24/2017 pasal 2)
b). Obat Tradisional
 Menggunakan bahan yang memenuhi persyaratan keamanan dan mutu
 Menerapkan CPOTB
 Memenuhi persyaratan Farmakope Herbal Indonesia
 Berkhasiat yang dibuktikan secara empiris
 Penandaan berisi info yang objektif, lengkap, dan tidak menyesatkan
(PMK Nomor 007/2012 Pasal 6)
7. Pemberi Izin
a). Obat
 Izin edar diberikan oleh Menteri
 Menteri melimpahkan izin edar kepada Kelapa Badan (BPOM)
(PMK Nomor 1010/2008 Pasal 2 (2), 2 (3) )

21
b). Obat Tradisional
 Izin edar diberikan oleh kepala badan (BPOM)
(PMK Nomor 007/2012 Pasal 2 (2) )
8. Kriteria Produk
a). Obat
 Sediaan farmasi dan alkes harus aman, berkhasiat/bermanfaat, bermutu dan
terjangkau (UU No. 36/2009 Pasal 98)
 Sediaan farmasi dan alkes yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu,keamanan, dan kemanfaatan (PP No. 72/1998
Pasal 2 Ayat 1)
 Sediaan farmasi yang berupabahan obat dan obat sesuaidengan persyaratan
dalam buku Farmakope atau buku standar lainnya yang ditetapkan oleh
Menteri (PP 72/1998 Pasal 2 Ayat (2) a
b). Obat Tradisional
 Sediaan farmasi dan alkes harus aman, berkhasiat/ bermanfaat, bermutu dan
terjangkau (UU No. 36/2009 Pasal 98)
 Sediaan farmasi dan alkes yang diproduksi dan/atau diedarkan harus
memenuhi persyaratan mutu,keamanan, dan kemanfaatan (PP No. 72/1998
Pasal 2 Ayat 1)
 Sediaan farmasi yang berupa obat tradisional sesuai denganpersyaratan dalam
buku Materia Medika Indonesia yang ditetapkanoleh Menteri(PP 72/1998
Pasal 2 Ayat (2) b )
9. . Persyaratan Registrasi
a). Obat
 Obat Produksi Dalam Negeri
Hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi yang memiliki izin, industri
memenuhi syarat CPOB, mempunyai sertifikat CPOB
 Obat Narkotika
Hanya dapat dilakukan oleh indutri farmasi yang memiliki izin khusus
memproduksi Narkotika
 Obat Kontrak
Hanya dapat dilakukan oleh industri farmasi dengan melampirkan dokumen
kontrak dan Industri pemberi kontrak bertanggung jawab atas mutu obat jadi yang
diproduksi berdasarkan kontrak
 Obat Impor
Dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri yang mendapat persetujuan tertulis
dari industri farmasi luar negeri dan Persetujuan tertulis mencakup alih teknologi
dengan ketentuan jangka 5tahun harus sudah diproduksi dalam negeri
 Obat Khusus Ekspor
Hanya dilakukan oleh industri farmasi bila ada persetujuan tertulis dari Negara
tujuan
 Obat yang Dilindungi Paten
Dilakukan oleh indutri farmasi dalam negeri pemegang hak paten atau yang
ditunjuk oleh pemegang hak paten dan harus dibuktikan dengan sertifikat paten dan

22
Dilakukan oleh industri farmasi dalam negeri bukan pemegang hak paten, dapat
diajukan mulai 2tahun sebelum berakhirnya perlindungan hak paten (PMK Nomor
1010/2008 Pasal 6, 7, 8, 10, 11, 12, 13)
b). Obat Tradisional
 OT Produksi Dalam Negeri
Hanya dapat dilakukan oleh IOT, UKOT, UMOT, yang memiliki izin
 OT Kontrak
Hanya dapat dilakukan oleh pemberi kontrak dengan melampirkan dokumen
kontrak dan Penerima kontrak hanya berupa IOT dan UKOT yang memiliki izin dan
sertifikat CPOTB untuk sediaan yang dikontrakkan
 OT Lisensi
Hanya dapat dilakukan oleh IOT atau UKOT penerima lisensi yang mempunyai
izin
 OT Impor
Dilakukan oleh IOT, UKOT, atau importer OT yang mendapat penunjukan
keagenan dan hak untuk melalukan registrasi dari Negara asal, memiliki APJ,
memiliki fasilitas distribusi OT
 OT Khusus Ekspor
Dilakukan oleh IOT, UKOT atau UMOT yang memiliki izin, ada persetujuan
tertulis dari Negara tujuan
PMK Nomor 007/2012 Pasal 9, 10, 11, 12, 13
10. Mekanisme/ Tahap
a). Obat
 Registrasi terdiri dari tahap praregistrasi; dan tahap registrasi.
 Permohonan praregistrasi dan registrasi diajukan oleh Pendaftar secara tertulis
kepada Kepala Badan dengan melampirkan dokumen praregistrasi dan
dokumen registrasi.
 Permohonan praregistrasi dan registrasi oleh Pendaftar secara tertulis kepada
Kepala Badan dengan melampirkan dokumen praregistrasi dan dokumen
registrasi.
 Permohonan mengisi Formulir sesuai dengan contoh sebagaimana tercantum
dalam Lampiran II yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Peraturan
Kepala Badan ini.
 Petunjuk pengisian Formulir tercantum dalam Lampiran III yang merupakan
bagian tidak terpisahkan dari Peraturan Kepala Badan ini.
 Dokumen praregistrasi dan dokumen registrasi harus menggunakan bahasa
Indonesia atau bahasa Inggris.
 Permohonan praregistrasi dan registrasi dapat diajukan secara elektronik
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Dalam hal Registrasi secara elektronik belum dapat dilaksanakan atau sistem
elektronik tidak berfungsi, Registrasi dilakukan secara manual.
 Terhadap permohonan praregistrasi dan registrasi dikenai biaya sebagai
penerimaan negara bukan pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-
undangan.

23
 Biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus dibayarkan paling lama 10
(sepuluh) Hari terhitung sejak -22- tanggal Surat Perintah Bayar-Layanan
Publik (SPB-LP) diterbitkan.
 Pendaftar wajib melakukan konfirmasi pembayaran SPBLP dan menyerahkan
dokumen praregistrasi atau dokumen registrasi paling lama 3 (tiga) Hari
terhitung sejak tanggal pembayaran.
 Dalam hal Pendaftar tidak melakukan konfirmasi pembayaran SPB-LP dan
menyerahkan dokumen praregistrasi atau dokumen registrasi permohonan
dinyatakan batal.
(PKBPOM Nomor 24/2017 Pasal 25)
b). Obat Tradisional
 Permohonan registrasi diajukan kepada Kepala Badan. Ketentuan mengenai
tata laksana registrasi ditetapkan dengan Peraturan Kepala Badan.
 Terhadap permohonan registrasi dikenai biaya sebagai penerimaan negara
bukan pajak sesuai ketentuan peraturan perundangundangan. Apabila ditolak,
maka biaya yang telah dibayarkan tidak dapat ditarik kembali.
 Evaluasi dilakukan terhadap dokumen registrasi dalam kriteria
 Kepala Badan memberikan persetujuan berupa izin edar ataupenolakan
registrasi berdasarkan rekomendasi yang diberikan olehTim Penilai
Keamanan, Khasiat/Manfaat, dan Mutu, dan/atau KomiteNasional Penilai
Obat Tradisional.
(PMK Nomor 007/2012 Pasal 14-18)
11. Dokumen yang diperlukan
a). Obat
Dokumen registrasi terdiri atas:
 bagian I : dokumen administratif, Informasi Produk dan Label.
 bagian II : dokumen mutu.
 bagian III : dokumen nonklinik.
 bagian IV : dokumen klinik.
(PKBPOM Nomor 24/2017 Pasal 27)
b). Obat Tradisional
 Dokumen administrasi
 Dokumen pendukung
 dokumen mutu dan teknologi
 dokumen yang mendukung klaim indikasi sesuai jenis dan tingkat pembuktian.
(PKBPOM Nomor HK.00.05.41.1384 Pasal 15,16)
12. Penilai
a). Obat
 KOMNAS Penilai Obat
 Panitia penilai khasiat keamanan
 Panitia penilai mutu
 Panitia penilai informasi produk dan penandaan
(PKA BPOM Nomor HK.03.1.23.10.11.08481/ 2011 Pasal 45(1) )

24
b). Obat Tradisional
 Komite nasional penilai OT
 Tim penilai keamanan, khasiat/ manfaat dan mutu
(PMK no 007/2012 pasal 17(1) )
13. Pelaksanaan Izin Edar
a). Obat
 Pemegang no izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan
OT selambatnya 1tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan
 Pelaksanaan ketentuan dilaporkan kepada Kepala Badan
(PMK 1010/2008 Pasal 21 )
b). Obat Tradisional
 Pemegang no izin edar wajib memproduksi atau mengimpor dan mengedarkan
OT selambatnya 1tahun setelah tanggal persetujuan dikeluarkan
 Pelaksanaan ketentuan dilaporkan kepada Kepala Badan
(PMK 007/2012 Pasal 20 )
14. Evaluasi Kembali
a). Obat
 Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alkes yang tidak memenuhi persyaratan. (PP No. 72/1998
Pasal 36)
 Pengujian kembali sediaan farmasi dan alkes yang diedarkan dilakukan oleh
Menteri. (PP No. 72/1998 Pasal 37)
 Pengujian kembali dilaksanakan :
1. Secara berkala 2. Adanya data atau informasi baru efek samping yang
terjadi di masyarakat (PP No. 72/1998 Pasal 38)
 Apabila hasil pengujian menunjukkan sediaan farmasi dan alkes tidak
memenuhi persyaratan, maka akan dicabut izin edarnya dan dilarang untuk
diproduksi atau dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. (PP No. 72/1998
Pasal 39 – 40)
 Penarikan kembali sediaan farmasi dan alkes menjadi tanggung jawab badan
usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan. (PP No. 72/1998 Pasal 41)
 Menteri menyebarluaskan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan
penarikan tersebut. (PP No. 72/1998 Pasal 42)
 Tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang
melanggar hukum berupa :
1. Peringatan secara tertulis 2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau untuk menarik produk 3. Perintah pemusnahan
 4. Pencabutan sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri (PP No.
72/1998 Pasal 72)
 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda
Rp.300.000.000. (PP No. 72/1998 Pasal 74)

b). Obat Tradisional

25
 Untuk melindungi masyarakat dari bahaya yang disebabkan oleh penggunaan
sediaan farmasi dan alkes yang tidak memenuhi persyaratan. (PP No. 72/1998
Pasal 36)
 Pengujian kembali sediaan farmasi dan alkes yang diedarkan dilakukan oleh
Menteri. (PP No. 72/1998 Pasal 37)
 Pengujian kembali dilaksanakan :
1. Secara berkala 2. Adanya data atau informasi baru efek samping yang
terjadi di masyarakat (PP No. 72/1998 Pasal 38)
 Apabila hasil pengujian menunjukkan sediaan farmasi dan alkes tidak
memenuhi persyaratan, maka akan dicabut izin edarnya dan dilarang untuk
diproduksi atau dimasukkan ke dalam wilayah Indonesia. (PP No. 72/1998
Pasal 39 – 40)
 Penarikan kembali sediaan farmasi dan alkes menjadi tanggung jawab badan
usaha yang memproduksi dan/atau mengedarkan. (PP No. 72/1998 Pasal 41)
 Menteri menyebarluaskan informasi kepada masyarakat berkenaan dengan
penarikan tersebut. (PP No. 72/1998 Pasal 42)
15. Pembatalan Izin Edar
a). Obat
 Tidak memenuhi kriteria
 Penandaan dan promosi menyimpang dari persetujuan izin edar
 Tdak melaksanakan kewajiban
 Selama 12bulan berturut-turut obat yang bersangkutan tidak diproduksi,
diimpor dan diedarkan
 Izin industri farmasi yang mendaftarkan, memproduksi atau mengedarkan
dicabut
 Pemilik izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan atau/
peredaran obat
(PMK 1010/2008 Pasal 23)
b). Obat Tradisional
 Tidak memenuhi kriteria
 Mengandung bahan yang dilarang
 Dibuat/diedarkan dalam bentuk sediaan yang dilarang
 Penandaan dan informasi yang menyimpang dari persetujuan izin edar
 Pemegang nomor izin edar tidak melaksanakan kewajiban
 Izin IOT, UKOT, UMOT dan importer yang mendaftarkan, memproduksi atau
mengedarkan dicabut
(PMK 007/2012 Pasal 23)
16. Pelanggaran yang mungkin
a). Obat
 Penandaan dan promosi menyimpang dari persetujuan izin edar
 Tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21.
 Selama 12 (dua belas) bulan berturut-turut obat yang bersangkutan tidak
diproduksi, diimpor atau diedarkan.

26
 lzin lndustri Farmasi, yang mendaftarkan, memproduksi atau mengedarkan
dicabut.
 Pemilik izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi dan/atau
peredaran obat.
(PMK 1010/2008 Pasal 23)
b). Obat Tradisional
 Obat tradisional tidak memenuhi kriteria sebagaimana dimaksud dalam Pasal
6 berdasarkan data terkini
 Obat tradisional mengandung bahan yang dilarang sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 7
 Obat tradisional dibuat dan/atau diedarkan dalam bentuk sediaan yang
dilarang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8
 Penandaan dan informasi obat tradisional menyimpang dari persetujuan izin
edar
 Pemegang nomor Izin edar tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 22
 Pemegang nomor izin edar melakukan pelanggaran di bidang produksi
dan/atau peredaran obat tradisional
 Pemegang nomor izin edar memberikan dokumen registrasi palsu atau yang
dipalsukan
(PMK 007/2012 Pasal 23)
17. Sanksi yang diterima
a). Obat
 Tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang
melanggar hukum berupa :
1. Peringatan secara tertulis 2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau untuk menarik produk 3. Perintah pemusnahan 4. Pencabutan
sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri (PP No. 72/1998 Pasal 72)
 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 tahun dan pidana denda
Rp.300.000.000. (PP No. 72/1998 Pasal 74)

b). Obat Tradisional


 Tindakan administratif terhadap sarana kesehatan dan tenaga kesehatan yang
melanggar hukum berupa :
 1. Peringatan secara tertulis 2. Larangan mengedarkan untuk sementara waktu
dan/atau untuk menarik produk 3. Perintah pemusnahan 4. Pencabutan
sementara atau pencabutan tetap izin usaha industri (PP No. 72/1998 Pasal 72)
 Dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun dan pidana denda
Rp.100.000.000. (PP No. 72/1998 Pasal 76)

27

Anda mungkin juga menyukai