Anda di halaman 1dari 96

LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOLOGI

SISTEM KOMPUTER : EFEK OBAT PADA SSTEM KARDIOVASKULAR

ASISTENSI :
KAK STEFAN

NAMA KELOMPOK :
1. Bella Ferista Putri Permata Sari 2443017103

2. Lenny Novita 2443017220

3. Rico Ananda Kurniawan 2443019142

4. Putri Novianti Lisa 2443019182

5. Fasza Rachmadini 2443019185

6. Brian Nayotama 2443019222

Golongan / Kelompok : S / 3
Hari dan Jam Praktikum : Rabu, 13.00-15.00

FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA
2021
a. Judul Pratikum
Simulasi Komputer : Efek Obat pada Sistem Kardiovaskular

b. Tujuan Pratikum
1. Memahami efek berbagai obat pada tekanan darah arterial.
2. Memahami efek berbagai obat pada kecepatan denyut jantung.
3. Memahami efek berbagai obat pada kekuatan kontraksi jantung.

c. Landasan Teori tentang Obat uji


Adrenalin
i. Struktur

Rumus molekul : C9H13NO3

Berat Molekul : 183,2 g/mol

Sinonim : Epinefrin

(Sweetman S.C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi

Golongan Adrenergik (Gunawan,dkk.,2021)

iii. Farmakokinetik

Pada pemberian oral, Epinefrin tidak mencapai dosis terapi karena sebagian besar
dirusak oleh enzim COMT dan MAO yang banyak terdapat pada dinding usus dan hati.
Pada penyuntikan SK, absorpsi lambat karena vasokonstriksi lokal, dapat dipercepat
dengan memijat tempat suntikan. Absorpsi yang lebih cepat terjadi dengan penyuntikan
IM. Pada pemberian lokal secara inhalasi, efeknya terbatas terutama pada saluran napas,
tetapi efek sistemik dapat terjadi, terutama bila digunakan dosis besar.

Epinefrin stabil dalam darah. Degradasi Epi terutama terjadi dalam hati yang
banyak mengandung enzim COMT dan MAO, tetapi jaringan lain juga dapat merusak zat
ini. Sebagian besar Epi mengalami biotransformasi mula- mula oleh COMT dan MAO,
kemudian terjadi oksidasi, r~ksi dan/atau konjugasi, menjadi metanefrin, asam 3-metoksi-
4-hidroksimandelat, 3-metoksi- 4-hidroksifeniletilenglikol, dan bentuk konyugasi
glukuronat dan sulfat. Metabolit-metabolit ini bersama Epi yang tidak diubah dikeluarkan
dalam urin. Pada orang normal, jumlah Epi yang utuh dalam urin hanya sedikit. Pada pasien
feokromositoma , urin mengandung Epi dan NE utuh dalam jumlah besar bersama
metabolitnya (Gunawan, dkk., 2012).

iv. Farmakodinamik

Mengaktivasi reseptor β-1 di otot jantung, sel pacu jantung dan jaringan konduksi.
Ini merupakan dasar efek inotropik dan kronotropik positif Epi pada jantung. Epinefrin
mempercepat depolarisasi fase 4, yakni depolarisasi lambat sewaktu diastol, dari nodus
sino-atrial (SA) dan sel otomatik lainnya, dengan demikian mempercepat firing rate pacu
jantung dan merangsang pembentukan fokus ektopik dalam ventrikel. Dalam nodus SA,
Epi juga menyebabkan perpindahan pacu jantung ke sel yang mempunyai firing rate lebih
cepat. Epi mempercepat konduksi sepanjang jaringan konduksi, mulai dari atrium ke nodus
atrioventrikular (AV), sepanjang berkas His dan serat Purkinje sampai ke ventrikel. Epi
juga mengurangi blok AV yang terjadi akibat penyakit, obat atau aktivitas vagal. Selain itu
Epi memperpendek periode refrakter nodus AV dan berbagai bagian jantung lainnya. Epi
memperkuat kontraksi dan mempercepat relaksasi. Dalam mempercepat denyut jantung
dalam kisaran fisiologis, Epi memperpendek waktu sistolik tanpa mengurangi waktu
diastolik. Akibatnya, curah jantung bertambah, tetapi kerja jantung dan pemakaian oksigen
sangat bertambah, sehingga efisiensi jantung (kerja dibandingkan dengan pemakaian
oksigen) berkurang (Gunawan, dkk., 2012).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Pemberian Epi dapat menimbulkan gejala seperti gelisah, nyeri kepala berdenyut,
tremor, dan palpitasi. Epinefrin dapat menimbulkan aritmia ventrikel. Fibrilasi ventrikel
bila terjadi, biasanya bersifat fatal; ini terutama terjadi bila. Pada pasien angina pektoris,
Epi mudah menimbulkan serangan karena obat ini meningkatkan kerja jantung sehingga
memperberat kekurangan akan kebutuhan oksigen (Gunawan, dkk., 2012).

vi. Dosis

Suntikan epinefrin adalah larutan steril 1mg/ml (1 :1000) Epi HCI dalam air untuk
penyuntikan SK; ini digunakan untuk mengatasi syok anafilaktik dan reaksi-reaksi
hipersensitivitas akut lainnya. Dosis dewasa berkisar antara 0,2- 0,5 mg (0,2-0,5 ml larutan
1: 1000). Untuk penyuntikan IV, yang jarang dilakukan, larutan ini harus diencerkan
terlebih dulu dan harus disuntikkan dengan sangat perlahan. Dosisnya jarang sampai 0,25
mg, kecuali pada henti jantung, dosis 0,5 mg dapat diberikan tiap 5 menit. Penyuntikan
intrakardial kadang-kadang dilakukan untuk resusitasi dalam keadaan darurat (0,3-0,5 mg)
(Gunawan, dkk., 2012).

vii. Indikasi Obat

Penggunaan utama adalah untuk mengatasi dengan cepat reaksi hipersensitivitas,


termasuk anafilaksis, terhadap obat dan alergen lainnya. Epi merupakan obat terpilih untuk
syok anafilaksis, Epi bekerja dengan sangat cepat (segera) sebagai vasokonstriktor dan
bronkodilator, Epi juga dapat digunakan untuk merangsang jantung pada pasien dengan
henti jantung oleh berbagai sebab (Gunawan, dkk., 2012).

Isoprenaline

i. Struktur

Rumus molekul : C11H17NO3


Berat Molekul : 211,3 g/mol
(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Adrenergik (Martindale 36th p.1316)

iii. Farmakokinetik

Pada hasil konjugasi sulfat dalam usus, isoprenalin sangat kurang aktif jika
diberikan secara oral dibandingkan dengan parenteral. Isoprenalin diserap melalui mukosa
mulut dan diberikan melalui rute sublingual, tetapi penyerapan dengan rute ini masih
kurang menentu. Isoprenalin dalam tubuh resisten terhadap metabolisme oleh MAO, tetapi
dimetabolisme oleh katekol-O-metil-transferase di hati, paru-paru, dan jaringan lain,
metabolit kemudian dikonjugasi sebelum diekskresikan melalui urin. Sementara konjugat
sulat dari isoprenalin tidak aktif, metabolit yang dimetilasi menunjukkan aktivitas yang
lemah.

Setelah injeksi intravena isoprenalin memiliki waktu paruh plasma sekitar satu
hingga beberapa menit sesuai dengan apakah laju injeksi cepat atau lambat. Melalui rute
ini hamper seluruhnya diekskresikan dalam urin sebagai obat dan metabolit yang tidak
berubah dalam waktu 24 jam. Pada rute oral onset kerja jauh lebih lambat dan waktu paruh
awal lebih lama. Isoprenalin memiliki durasi aksi hingga sekitar 2 jam setelah inhalasi;
telah dibuktikan bila sebagian besar dosis inhalasi dapat tertelan (Martindale 36th p.1316)

iv. Farmakodinamik

Isoprenalin merupakan simpatomimetik yang bekerja hamper secara ekslusif pada


reseptor beta-adrenergik. Isoprenalin memiliki aksi stimulasi yang kuat pada jantung dan
meningkatkan curah jantung, rangsangan, dan kecepatan jantung, serta menyebabkan
vasodilatasi perifer dan menghasilkan penurunan tekanan darah diastolik dan biasanya
mempertahankan atau sedikit meningkatan tekanan darah sistolik. Selain itu, isoprenalin
memiliki sifat bronkodilatasi dan juga merangsang SSP (Martindale 36th p.1316)

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Efek samping utama adalah takikardia jantung dan aritmia jantung, palpitasi,
hipotensi, tremor, sakit kepala, berkeringat, dan wajah memerah. Penggunaan dalam jangka
panjang dapat menyebabkan pembengkakan kelenjar parotis (Martindale 36th p.1316)

vi. Dosis

Isoprenalin biasanya diberikan dalam bentuk hidroklorida melalui infus intravena.


Kecepatan infus biasanya berkisar antara 0,5-10 mikrogram/ menit tergantung pada kondisi
klinis pasien. 1-4 mikrogram/ menit untuk mengatasi bradikardia, 4-8 mikrogram/ menit
untuk mengatasi serangan stroke akut (Martindale 36th p.1316)

vii. Indikasi Obat

Isoprenalin telah digunakan dalam berbagai pengobatan dalam penyakit jantung,


isoprenalin dapat digunakan untuk pencegahan semenrara atau kontrol serangan stroke dan
brakidardia berat yang tidak responsif terhadap atropine. Isoprenalin juga dianjurkan
sebagai tambahan untuk ganguan jantung lainnya termasuk syok dan torsade (Martindale
36th p.1316)

Noradrenaline

i. Struktur

Rumus molekul : C8H11NO3


Berat Molekul : 169,2 g/mol
Sinonim : Norepinefrin
(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi

Golongan Adrenergik (Gunawan,dkk.,2021)

iii. Farmakokinetik

Seperti adrenalin, noradrenalin tidak aktif ketika diberikan oral dan secara cepat
dinonaktifkan di dalam tubuh melalui proses similat. Ketika diberikan secara intravena,
norepinefrin dimetabolisme secara luas dan hanya jumlah kecil diekskresikan tidak berubah
dalam urin. (Martindale 36th p.1360)

iv. Farmakodinamik
Norepinefrin bekerja terutama pada reseptor α, tetapi efeknya masih sedikit lebih
lemah bila dibandingkan dengan Epi. NE mempunyai efek β1 pada jantung yang sebanding
dengan Epi, tetapi hampir tidak memperlihatkan efek β2. lnfus NE pada manusia
menimbulkan peningkatan tekanan diastolik, tekanan sistolik, dan biasanya juga tekanan
nadi. Resistensi perifer meningkat sehingga aliran darah melalui ginjal, hati, dan juga otot
rangka berkurang. Filtrasi glomerulus menurun hanya bila aliran darah ginjal sangat
berkurang. Refleks vagal memperlambat denyut jantung, mengatasi efek langsung NE yang
mempercepatnya. Perpanjangan waktu pengisian jantung akibat perlambatan denyut
jantung ini, disertai venokonstriksi dan peningkatan kerja jantung akibat efek langsung NE
pada pembuluh darah dan jantung, mengakibatkan peningkatan curah sekuncup. Tetapi
curah jantung tidak berubah atau bahkan berkurang. Aliran darah koroner meningkat,
mungkin karena dilatasi pembuluh darah koroner tidak lewat persarafan otonom tetapi
dilepasnya mediator lain, antara lain adenosin, akibat peningkatan kerja jantung; dan karena
peningkatan tekanan darah. Pasien angina Prinzmetal mungkin supersensitif terhadap efek
vasokonstriksi α-adrenergik dari NE, Epi dan perangsangan simpatis. Berlainan dengan
Epi, NE dalam dosis kecil tidak menimbulkan vasodilatasi maupun penurunan. tekanan
darah, karena NE boleh dikatakan tidak mempunyai efek terhadap reseptor β2 pada
pembuluh darah otot rangka. Efek metabolik NE mirip Epi tetapi hanya timbul pada dosis
yang lebih besar (Gunawan, dkk., 2012).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Efek samping NE serupa dengan efek samping Epi, tetapi NE menimbulkan


peningkatan tekanan darah yang lebih tinggi. Efek samping yang paling umum berupa rasa
kuatir, sukar bemapas, denyut jantung yang lambat tetapi kuat, dan nyeri kepala selintas
(Gunawan, dkk., 2012).

vi. Dosis

Dosis rata-rata 0,5-1 mL/ menit (2-4 mikrogram/ menit) (Martindale 36th p.1360)

vii. Indikasi Obat

Noradrenalin digunakan untuk pemulihan darurat tekanan darah dalam keadaan


hipotensi akut seperti syok, noradrenalin juga digunakan dalam anestesi lokal untuk
menggurangi penyerapan dan melokalisasi efek dari anestesi local. (Martindale 36th
p.1360)
Phenylephrine

i. Struktur

Rumus molekul : C9H13NO2


Berat Molekul : 167,2 g/mol
(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi

Golongan Adrenergik (Gunawan,dkk.,2021)

iii. Farmakokinetik

Memiliki bioavaliabilitas oral yang rendah karena penyerapan yang tidak teratur
dan first-pass metabolisme dari MAO dalam usus dan hati. Ketika disuntikkan secara
subkuntan atau intramuskular, dibutuhkan waktu 10-15 menit untuk mencapai efek
terapeutiknya. Sedangkan efek obat akan efektif selama 1-2 jam. Injeksi inravena efektif
selama sekitar 20 menit (Martindale 36th p.1568)

iv. Farmakodinamik

Phenylephrine merupakan agonis selektif reseptor α1 dan hanya sedikit


mempengaruhi reseptor β. Efeknya berupa peningkatan tekanan darah diastolik dan sistolik
yang seluruhnya berdasarkan vasokonstriksi, disertai dengan refleks bradikardia yang dapat
diblok dengan atropine (Gunawan, dkk., 2012).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Dapat menginduksi takikardia atau refleks bradikardia dan harus digunakan dengan
hati-hati pada penyakit jantung iskemik berat. Pasien dengan diabetes mellitus atau
hyperplasia prostat juga harus menghindari fenilefrin (Martindale 36th p.1568)

vi. Dosis
Dosis awal biasanya tidak lebih besar dari 500 mikrogram, diberikan dalam 0,1%
larutan, dinaikkan 100-200 mikrogram hingga 1 mg jika perlu (Martindale 36th p.1568)

vii. Indikasi Obat

Obat ini digunakan untuk menaikkan tekanan darah pada hipotensi atau syok
(Gunawan, dkk., 2012).

Asetilkolin
i. Struktur

Rumus molekul : C7H16NO2

Berat molekul : 146,2 g/mol

(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Agonis muskarinik
(Gunawan, dkk., 2012)
iii. Farmakokinetik
Asetilkolin efeknya sangat luas di berbagai organ. Asetilkolin kerjanya terlalu
singkat karena segera dihancurkan oleh asetilkolinesterase atau butirilkolinesterase. ACh
tidak dapat diberikan per oral, karena dihidrolisis oleh asam lambung. (Gunawan, dkk.,
2012)
iv. Farmakodinamika
Asetilkolin eksogen memperlihatkan efek yang sama dengan efek ACh endogen.
ACh menunjukan empat efek kardiovaskular utama yaitu vasodilatasi, menurunnya laju
kontraksi jantung (efek kronotropik negatif), menurunnya laju konduksi di jantung (efek
dromotropik negatif), dan menurunnya kekuatan kontraksi jantung (efek inotropik negatif).
Vasodilatasi oleh ACh terjadi di semua arterial, termasuk di pembuluh koroner darah
pulmoner.
Diberikan asetilkolin dosis kecil disuntikkan intravena, maka akan terjadi
penurunan tekanan darah selintas akibat vasodilatasi menyeluruh yang diikuti dengan
refleks takikardia. Vasodilatasi ini terjadi karena ACh bekerja langsung pada reseptor
muskarinik M3 yang terdapat pada endotel: Agonis muskarinik akan mengaktikan jalur
Gq-PLC-IP3 di endotel yang kemudian akan memacu sintesis NO (nitric oxide) yang Ca++
-calmodulin-dependent. Nitro ie: monoksida (EDRF, endothelium derived relaxing factor)
dari endotel ini akan berdifusi ke jaringan otot di bawahnya dan menyebabkan otot
pembuluh darah relaksasi. Bila ACh disuntikkan dalam dosis besar, akan terjadi hipotensi
secara mendadak sehingga reseptor yang terletak dalam aorta dan arteri terangsang akibat
terjadinya refleks simpatis. Refleks simpatis ini menyebabkan jantung berdenyut lebih
cepat dan lebih kuat disertai vasokonstriksi yang akan menaikkan tekanan darah.

Fungsi jantung dipengaruhi oleh system kolinergik secara langsung atau tidak
langsung melalui penghambatan efek perangsangan adrenergik. ACh akan menekan laju
depolarisasi diastolik spontan di nodus SA sehingga frekuensi denyut jantung menurun.
Penurunan kuat kontraksi atrium oleh ACh terutama terjadi secara tidak langsung karena
ACh menurunkan kadar cAMP dan mengurangi aktivitas kanal Ca 2+. Efek penghambatan
ini lebih tampak ketika ada perangsangan simpatis atau tonus simpatis sedang tinggi
(Gunawan, dkk., 2012).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan


Dapat menyebabkan serangan iskemia jantung pada pasien angina pektoris karena turunnya
tekanan darah akan mengurangi sirkulasi koroner. Pasien hipertiroidisme dapat mengalami
fibrilasi atrium, terutama pada pemberian metakolin; tindakan pengamanan perlu diambil
yaitu dengan menyediakan atropin dan epinefrin sebagai antidotum. Efek samping lain di
antaranya berkeringat, salivasi, kejat (cramps) perut, rasa penuh di kandung kemih.
(Gunawan, dkk., 2012).
vi. Dosis
Karena jarang digunakan di klinik, sediaan kolinergik sulit didapat di Indonesia, umumnya
sediaannya tergolong obat piatu (orphan drugs). Asetilkoiln klorida/bromida dapat
diperoleh sebagai bubuk kering, dan dalam ampul berisi 200 mg. Dosis: 10-100 mg IV
(Gunawan, dkk., 2012).

vii. Indikasi
Obat ini digunakan untuk menaikkan tekanan darah pada hipotensi atau syok (Gunawan,
dkk., 2012).
Gliseryl Trinitrate
i. Struktur

Rumus molekul : C7H5(NO3)3

Berat molekul : 227,1 g/mol

(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Nitrat Organik (Gunawan, dkk., 2012)

iii. Farmakokinetik
Gliseril trinitrat diserap dengan cepat dari mulut mukosa dan di saluran pencernaan
melalui kulit. Bioavailabilitas semakin berkurang setelah penggunaan oral karena first-pass
ekstensif metabolisme di hati. Efek terapeutik terlihat dalam 1 hingga 3 menit penggunaan
tablet sublingual, semprotan sublingual, atau bukal tablet; dalam waktu 30 hingga 60 menit
setelah mengoleskan salep atau transdermal patch; dan dalam 1 hingga 2 menit setelah dosis
intravena.
Durasi kerja sekitar 30 sampai 60 menit dengan tablet atau semprotan sublingual dan
3 sampai 5 jam dengan tablet bukal lepas yang dimodifikasi. Tambalan transdermal
dirancang untuk melepaskan jumlah obat yang disebutkan selama 24 jam, sementara efek
terapeutik setelah aplikasi gliseril salep trinitrate 2% bertahan hingga 8 jam. Durasi kerja
setelah dosis intravena sekitar 3 sampai 5 menit.

Gliseril trinitrat didistribusikan secara luas dan dibawah oleh sel otot pembuluh darah
dan kelompok nitrat akan dipecah menjadi nitrit anorganik dan kemudian menjadi oksida
nitrat. Reaksi ini membutuhkan sistein atau tiol lain. Gliseril trinitrat juga mengalami
hidrolisis dalam plasma dan cepat dimetabolisme di hati oleh glutathione-organic nitrate
reductase menjadi dinitrates dan mononitrates. (Sweetman S. C., 2009)

iv. Farmakodinamik

Gliseril trinitrat dapat memberikan efek vasodilator melalui pelepasan oksida nitrat,
yang menyebabkan rangsangan guanylate cyclase di pembuluh darah. Sel otot ini
menghasilkan peningkatan siklik guanosin monofosfat. Nukleotida ini menginduksi
relaksasi dengan menurunkan konsentrasi kalsium di sitosol. Dalam aksinya pada otot
vaskular, dilatasi vena lebih mendominasi daripada dilatasi arteriol. Dilatasi vena
menurunkan aliran balik vena akibat dan menurunkan volume ventrikel kiri dan tekanan
diastolik (disebut penurunan preload). Dilatasi arteriol yang lebih kecil mengurangi
resistensi vaskular perifer dan tekanan ventrikel kiri pada sistol (disebut reduksi). Gliseril
trinitrat juga memiliki efek vasodilator koroner, yang meningkatkan aliran darah koroner
regional menjadi iskemik yang menghasilkan peningkatan suplai oksigen ke miokardium.
(Sweetman S. C., 2009)

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan


Gliseril trinitrat dapat menyebabkan kemerahan pada wajah, pusing, takikardia, dan
sakit kepala yang berdenyut-denyut. Dosis besar menyebabkan muntah, gelisah,
penglihatan kabur, hipotensi, sinkop, sianosis, dan methaemoglobinaemia. Penurunan
volume pernapasan dan bradikardia bisa terjadi. (Sweetman S. C., 2009)
vi. Dosis
Satu tablet sublingual dosis 300 hingga 600 mikrogram ditempatkan di bawah lidah.
Dosis biasa adalah 2 mg bila diperlukan, ditingkatkan sampai 3 mg jika perlu; dosis 5 mg
dapat diberikan angina parah. (Sweetman S. C., 2009)
vii. Indikasi obat
Gliseril trinitrat digunakan dalam penanganan angina pectoris, gagal jantung, dan
infark miokard. Indikasi lain termasuk menginduksi hipotensi dan control hipertensi selama
operasi. (Sweetman S. C., 2009)
Cromakalim
i. Struktur
Rumus molekul : C16H18N2O3

Berat molekul : 286,33 g/mol

(Pubchem, 2021)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Antihipertensi (Ikawati, Z. 2018)

iii. Farmakokinetika
Pada manusia, pemberian rute oral cromakalim menghasilkan konsentrasi plasma
maksimum rata-rata 44-17,3 ng/mL. Terdapat perbedaan farmakokinetik komponen (+)
dan (-) setelah pemberian melalui rute oral. Konsentrasi plasma maksimum dari enasiomer
(-) kebih besar daripada konsentrasi enasiomer (+). Sebaliknya waktu paruh enasiomer (-)
kurang dibandingkan enasiomer (+). (Ganten, D., and Mulrow, P. J., 1990). Waktu paruh
cromakalim 30 menit (Webb, dkk., 1989).
Cromakalim adalah agen antihipertensi baru, manjur, dan efektif secara oral yang
bekerja melalui aktivasi saluran kalium. Memberikan hasil awal dari farmakokinetik
cromakalim pada pasien hipertensi selama studi dosis oral naik terkontrol plasebo
terkontrol tunggal. (O. J. Carey, dkk, 1988)

iv. Farmakodinamika
Cromakalim adalah anggota baru dari kelas agen baru, pembukaan saluran K +
narkoba. Ini menghasilkan vasodilatasi dengan membuka saluran K + plasmalemmal di
pembuluh darah halus sel otot, memungkinkan peningkatan pengeluaran K + dengan akibat
hiperpolarisatin membran.
Hal ini menyebabkan penurunan ketersediaan kalsium untuk proses kontraktil, dan
berkurangnya sensitivitas pembuluh darah rangsangan depolarisasi. Cromakalim lebih
rendah menurunkan tekanan darah pada penderita hipertensi dengan sedang refleks
takikardia.

v. Dosis
Per oral dosis 0,5-2 mg (Ganten, D., and Mulrow, P. J., 1990)
Indikasi Obat Antihipertensi dan untuk penyakit pembuluh darah perifer. (Ganten, D., and
Mulrow, P. J., 1990)
Glibenclamid
i. Struktur

Rumus molekul : C23H28CIN3O5S


Berat molekul : 494,0 g/mol
(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Sulfoniluera
(Gunawan, dkk., 2012)

iii. Farmakokinetik
Glibenklamid dengan mudah diserap dari saluran pencernaan, konsentrasi plasma
puncak biasanya terjadi dalam 2 sampai 4 jam, dan secara luas terikat ke protein plasma.
Penyerapan mungkin lebih lambat pada pasien hiperglikemik dan mungkin berbeda sesuai
dengan ukuran partikel dari sediaan yang digunakan. Glibenclamid dimetabolisme, hampir
sepenuhnya, di hati, metabolit utama hanya aktif dan bersifat sangat lemah. Sekitar 50%
dari dosis diekskresikan dalam urin dan 50% melalui empedu ke dalam feses. (Sweetman
S. C., 2009)

iv. Farmakodinamika
Golongan obat ini sering disebut sebagai insulin secretagogues, kerjanya
merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankreas. Rangsangannya
melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada membran sel-sel yang
menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan membuka kanal Ca. Dengan
terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk ke sel dan merangsang granula yang
berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang ekuivalen dengan
peptida-C. Kecuali itu sulfonilurea dapat mengurangi klirens insulin di hepar. (Gunawan,
dkk., 2012).

v. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Hipoglikemia, bahkan sampai koma. Reaksi ini lebih sering terjadi pada pasien usia
lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal, terutama yang menggunakan sediaan
dengan masa kerja panjang. Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi, mual,
muntah, diare, gejala hematologik, susunan saraf pusat, mata dan sebagainya. (Gunawan,
dkk., 2012).

vi. Dosis
Dosis awal biasa dalam diabetes mellitus tipe 2 adalah 2.5-5 mg setiap hari. Bila
perlu ditingkatkan dosis di atas 15 mg tidak mungkin menghasilkan manfaat lebih lanjut,
dosis sampai 20 mg setiap hari telah diberikan. (Sweetman S. C., 2009)

vii. Indikasi
Memilih sulfonilurea yang tepat untuk pasien tertentu sangat penting untuk
suksesnya terapi. Terapi DM pada pasien yang berumur 40 tahun. Sebelum penggunaan
sulfonilurea, harus dipertimbangkan kemungkinan mengatasi hiperglikemia dengan
mengatur diet serta mengurangi berat badan pasien. (Gunawan, dkk., 2012).

Angiotensin II

i. Struktur
Rumus molekul : C50H71N13O12

Berat Molekul : 1046,2 g/mol

(Pubchem, 2019)

ii. Golongan obat

Hormon Peptida (La Jolla, 2017).

iii. Farmakokinetik
Setelah infus angiotensin II intravena pada orang dewasa dengan septik atau syok
distributif lainnya, kadar serum angiotensin II stabil dan sama pada 3 jam setelah infus
intravena. Namun, setelah 3 jam perawatan, kadar serum angiotensin I (prekursor
peptida angiotensin II) berkurang sekitar 40% (La Jolla, 2017).

iv. Farmakodinamik
Angiotensin II meningkatkan tekanan darah dengan vasokonstriksi dan
meningkatkan pelepasan aldosteron. Aksi langsung angiotensin II pada dinding
pembuluh dimediasi dengan mengikat G-protein-coupled angiotensin II tipe 1 pada sel
otot polos pembuluh darah, yang menstimulasi Ca2+ atau fosforilasi miosin yang
bergantung pada calmodulin dan menyebabkan kontraksi otot polos (La Jolla, 2017).

Waktu paruh plasma dari angiotensin II yang diberikan IV kurang dari satu
menit dan dimetabolisme oleh aminopeptidase A dan mengkornversi enzim angiotensin
2 menjadi angiotensin-(2-8) [angiotensin III] dan angiotensin-(1-7) masing-masing
dalam plasma, eritrosit dan organ lainnya (usus, ginjal, hati dan paru-paru). Angiotensin
II tipe 1 receptor (AT1) aktivitas dimediasi angiotensin III adalah sekitar 40% dari
angiotensin II; Namun, aktivitas sintesis aldosteron mirip dengan angiotensin II.
Angiotensin-(1-7) memberikan efek yang berlawanan dari angiotensin II pada reseptor
AT1 dan menyebabkan vasodilatasi (La Jolla, 2017).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Trombotik dan tromboemboli vena dan arteri (La Jolla, 2017).

vi. Dosis
Dosis awal: 20 ng/kg/min via melalui infuse rute intravena. Maintenance dose:
untuk monitor respon tekanan darah, setiap 5 menit ditingkatkan 15 ng/kg/min jika perlu
untuk mengatur tekanan darah; maintenance dose tidak boleh lebih dari 40 ng/kg/min.
Dosis maksimum: tidak lebih dari 80 ng/kg/min dalam 3 jam pertama selama
pengobatan (La Jolla, 2017).

vii. Indikasi Obat

Meningkatkan tekanan darah pada dengan septik atau syok distributif lainnya
(La Jolla, 2017).

Digoxin
i. Struktur

Rumus molekul : C41H64O14

Berat Molekul : 780,9 g/mol

Sinonim : Digoksin

(SweetmanS. C., 2009)

ii. Golongan Farmakologi


Golongan Glikosida Jantung

iii. Farmakokinetik

Sekitar 10% populasi mempunyai bakteri usus Eubacterium lentum yang akan
memecah digoksin menjadi metabolit tidak aktif, sehingga pada mereka ini diperlukan
peningkatan dosis karena dosis standar digoksin tidak efektif. Waktu paruhnya berkisar
antara 36-48 jam, sehingga diberikan sekali sehari, dan kadar mantap dicapai setelah 1
minggu. Digoksin diellmlnasl melalui glnjal, sehingga waktu paruhnya akan
memanjang pada gangguan fungsi ginjal (sp 3,5-5 hari pada gangguan fungsi ginjal
lanjut). Volume dlstribusl 4-7 L/kg, akumulasi obat terutama di otot skelet, dan dosis
tidak perlu diganti setelah hemodialisis. Volume distribusi dan klirens obat menurun
pada usla lanjut. Karena itu dosis digoksin harus diturunkan pada gangguan fungsi
ginjal dan pada usia lanjut.

iv. Farmakodinamik

Efek digoksin pada pengobatan gagal jantung: inotroplk positif, kronotropik


negative (mengurangi frekuensi denyut ventrikel pada takikardia atau fibrilasi atrium),
dan mengurangi aktivitas saraf simpatis. Mekanisme digoksin sebagai inotropik positif
dengan menghambat pompa Na-K-ATPase pada membran sel otot jantung sehingga
meningkatkan kadar Na+ intrasel, dan ini menyebabkan berkurangnya pertukaran Na+ -
Ca++ selama repolarisasi dan relaksasi otot jantung sehingga Ca2+ tertahan dalam sel,
kadar Ca2+ intrasel meningkat, dan ambilan Ca2+ ke dalam retikulum sarkoplasmik (SR)
meningkat. Dengan demikian, Ca2+ yang tersedia dalam SR untuk dilepaskan ke dalam
sitosol untuk kontraksi meningkat, sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat
(Katzung, 2012)

Mekanisme digoksin sebagai kronotropik negatif pada kadar terapi (1-2


mikrogram/ml), digoksin meningkatkan tonus vagal dan mengurangi aktivitas simpatis
di nodus SA maupun AV, sehingga dapat menimbuikan bradikardia sinus sampai henti
jantung dan/atau perpanjangan konduksi AV sampai meningkatnya blok AV. Efek pada
nodus AV inilah yang mendasari penggunaan digoksin pada pengobatan fibrilasi atrium
(Katzung, 2012)

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan


Efek mechanical, Glikosida jantung meningkatkan kontras dari sarkomer
jantung dengan meningkatkan kandungan kalsium bebas konsentrasi di sekitar protein
kontraktil selama sistol. Peningkatan konsentrasi kalsium adalah hasil dari dua langkah.
Proses: pertama, peningkatan konsentrasi natrium intraseluler karena Na + / K +
Penghambatan -ATPase; dan kedua, pengurangan pengeluaran kalsium dari sel oleh
natrium- penukar kalsium (NCX pada Gambar 13–1) yang disebabkan oleh peningkatan
tersebut dalam natrium intraseluler. kadar Ca2+ intrasel meningkat, dan ambilan Ca2+
ke dalam retikulum sarkoplasmik (SR) meningkat. Dengan demikian, Ca2+ yang
tersedia dalam SR untuk dilepaskan ke dalam sitosol untuk kontraksi meningkat,
sehingga kontraktilitas sel otot jantung meningkat (Katzung, 2012)

vi. Dosis
Dosis digoksin biasanya 0,125-0,25 mg sehari, jika fungsi ginjal normal (pada
lansia 0,0625- 0,125 mg, kadang-kadang 0,25 mg). Digoksin tersedia dalam bentuk
tablet 0,25 mg (Gunawan, dkk., 2012).

vii. Indikasi Obat

Digoksin diindikasikan untuk pasien gagal jantung dengan flbrllasi atrium,


pasien gagal jantung dengan rltme sinus yang maslh simtomatik, terutama yang disertai
takikardia (Gunawan, dkk., 2012).

Milrinone
i. Struktur

Rumus molekul : C12H9N3O

Berat Molekul : 211,2 g/mol

Sinonim : Milrinona, Milrinonum


(Sweetman S. C., 2009)

ii. Golongan farmakologi

Golongan Inhibitor Fosfodiesterase 3 (Curley, dkk., 2017).

iii. Farmakokinetik
Milrinone cepat dan hampir sepenuhnya diserap dari saluran pencernaan, rute
pemberian hanya intravena. Sekitar 70% terikat dengan protein plasma. Eliminasi
terjadi terutama melalui urin; 83% dari dosis diekskresikan sebagai obat yang tidak
berubah. Waktu paruh eliminasi sekitar 2,3 jam (Sweetman S. C., 2009).

iv. Farmakodinamik
Aktifitas penghambatan fosfodiesterase selektif milrinon meningkatkan kadar
adenosin monofosfat siklik intraselular dalam miokard dan vaskular sel otot polos.
Hasilnya adalah peningkatan intra-kalsium seluler, yang meningkatkan kontraktilitas
miokard dengan efek kronotropik minimal. Secara fisiologis, milrinone berkontribusi
pada peningkatan curah jantung tetapi menurunkan tekanan irisan kapiler paru dan
resistensi pembuluh darah (Curley, dkk., 2017).

v. Efek samping dan reaksi obat yang tidak diinginkan

Supraventrikular dan aritmia ventrikel, hipotensi, sakit dada seperti angina,


dan sakit kepala, hipokalemia, tremor, dan trombositopenia dapat terjadi (Sweetman S.
C., 2009).

vi. Dosis

Dosis awal adalah setara dengan milrinone 50 mikrogram/ kg yang diberikan 10


menit diikuti dengan perawatan infus. Infus pemeliharaan dapat dititrasi antara 375 dan
750 nanogram / kg per menit tetapi total dosis harian tidak boleh lebih dari 1,13 mg/
kg (Sweetman S. C., 2009).

vii. Indikasi Obat


Indikasi utama untuk milrinone adalah manajemen jangka pendek dari jantung
kongestif yang disebabkan dekompensasi akut, tetapi juga telah digunakan untuk
jantung pasca operasi penderita gagal jantung (Curley, dkk., 2017).

Adenosine
i. Struktur

Rumus molekul : C10H13N5O4


Berat Molekul : 267,2 g/mol
(Sweetman S. C., 2009)
ii. Golongan Obat

Adenosine adalah sendiri merupakan penyusun senyawa ATP (Adenosin


Trifosfat), yaitu senyawa penghasil energi bagi tubuh manusia. Termasuk dalam
mengatasi aritmia supraventricular (kanan atas).

iii. Farmakokinetik

Adenosin menstimulsi reseptor adenosin A1 dan membuka K + yang sensitif


terhadap Ach. Adenosin intravena digunakan untuk menghentikan takikardia
supraventricular akut.

iv. Farmakodinamik

Adenosin dikaitkan dengan efek dromo, chrono-, dan inotropik negatif yang
bergantung dosis, yang mempengaruhi jantung. Karena obat ini memiliki waktu paruh
pendek, efek inotropik negatif tidak penting. Tindakan antiaritmia terjadi setelah
pengenalan cepat adenosin secara intravena, karena efek dromotropik. Ini menekan
konduktivitas AV, menurunkan reaksi kimia dari saluran sel kalsium, dan juga
meningkatkan permeabilitas sel kardiomiosit untuk ion potassium. Pada saat
bersamaan, ini mengganggu aksi AMP siklik pada kardiomiosit, akibatnya irama
jantung normal dipulihkan pada pasien dengan CBT paroksismal (dengan masuknya
nodus AV ke mekanisme masuk kembali). Efek chronotropik negatif dapat
menyebabkan perkembangan bradikardia sinus sementara, yang kemudian
menyebabkan sinus takikardia. Adenosin tidak berpengaruh pada kasus atrial flutter
atau atrial fibrillation, karena nodus AV tidak memasuki mekanisme masuk kembali.

v. Efek Samping dan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan

Efek CV (kemerah-merahan), Efek CNS (sakit kepala, lightheadedness), Efek


berturut-turut (dyspnea, dada terasa tidak nyaman), Efek lainnya (ketidaknyamanan di
kepala, leher dan rahang). Penggunaan adenosin harus didindari terhadap pasien dengan
penyakit bronchoconstrictive hati.

vi. Dosis dan Indikasi Obat

Dewasa: 140 mcg / kg / menit selama 6 menit sebagai infus berkelanjutan


melalui pompa infus (dosis total: 0,84 mg / kg). Radionuklida disuntikkan di titik tengah
(setelah 3 menit) infus. Untuk meningkatkan aliran darah di arteri dengan normal.

Propanolol
i. Struktur

Rumus molekul : C16H21NO2,HCl


Berat Molekul : 295,8 g/mol
Sinonim : Propanolol, Propanololi
(Sweetman, S., C., 2009 )
ii. Golongan Obat

Propranolol HCl merupakan golongan β-blocker yang banyak digunakan untuk


pengobatan angina pektoris, aritmia jantung dan hipertensi.

iii. Farmakokinetik
Propranolol adalah penghambat ß-adrenergik nonselektif yang secara kompetitif
memblokir reseptor ß1 dan ß2 yang mengakibatkan penurunan denyut jantung,
kontraktilitas miokard, tekanan darah dan kebutuhan oksigen miokard. Ini memiliki
efek inotropik negatif dan aktivitas menstabilkan membran tetapi tidak memiliki
aktivitas simpatomimetik intrinsik.
iv. Farmakodinamik

Dengan menghambat takikardi yang merupakan tanda penting terjadinya


hipoglikemia. Oleh karena propranolol dapat menurunkan kadar glukosa darah. Adanya
penghambatan terhadap reseptor alfa satu lebih besar dari beta dua. Stimulasi terhadap
reseptor alfa satu dan dua menyebabkan penghambatan sekresi insulin sedangkan
stimulasi terhadap beta dua menyebabkan stimulasi sekresi insulin.. Peringatan
penggunaan betabloker pada penderita diabetes mellitus lebih didasarkan pada keadaan
jika terjadi hipoglikemik gejalanya tidak kelihatan karena tertutup oleh efek
farmakodinamik propranol yaitu menghambat takikardi yang merupakan tanda penting
terjadinya hipoglikemia. Oleh karena propranolol dapat menurunkan kadar glukosa
darah kelinci maka penggunaan propranolol sebagai antihipertensi pada penderita
diabetes dapat menyebabkan hipoglikemia

v. Efek Samping dan Reaksi Obat yang Tidak Diinginkan

Gangguan jantung: Bradikardia, gagal jantung, blok AV. Gangguan mata:


Gangguan penglihatan, mata kering, konjungtivitis. Gangguan saluran cerna: Mual,
muntah, diare, sembelit, mulut kering. Gangguan umum dan kondisi tempat
administrasi: Kelesuan, kelelahan. Gangguan sistem kekebalan: Hipersensitivitas,
reaksi anafilaksis. Gangguan sistem saraf: Pusing. Gangguan kejiwaan: Halusinasi,
psikosis, depresi, perubahan suasana hati, kebingungan, kehilangan ingatan, gangguan
tidur, mimpi buruk. Gangguan sistem reproduksi dan payudara: Impotensi, disfungsi
ereksi. Gangguan pernapasan, toraks, dan mediastinal: bronkospasme. Gangguan kulit
dan jaringan subkutan: Alopecia, reaksi psoriasiform, ruam kulit. Gangguan pembuluh
darah: Hipotensi, ekstremitas dingin, fenomena Raynaud.

vi. Dosis dan Indikasi Obat

Dewasa: 1 mg diberikan selama 1 menit, dpt diulang bila perlu tiap 2 menit.
Maks: 10 mg pada pasien yang sadar dan 5 mg pada pasien dengan anestesi. Biasanya
digunakan untuk pengobatan angina pektoris, aritmia jantung dan hipertens
Atenolol
i. Struktur Obat

Rumus molekul : C14H22N2O3


Berat Molekul : 266,3 g/mol
Sinonim : Atenolol, Atenololum
(Sweetman, S, C, 2009 )
ii. Golongan Obat

Atenolol, atau dikenal juga sebagai 4


[2hydroxy3[(1methylethyl)amino]propoxy]benzeneacetamide, merupakan obat
golongan β blocker yang digunakan secara tunggal atau pun kombinasi untuk
pengobatan hipertensi, angina pectoris, aritmia, dan infark miokard.

iii. Farmakokinetik

Atenolol secara selektif dan kompetitif memblokir reseptor β1-adrenergik


tetapi memiliki sedikit atau tidak ada efek pada reseptor β2 kecuali pada dosis tinggi.
Ini memiliki efek inotropik negatif tanpa simpatomimetik intrinsik dan aktivitas
menstabilkan membran.

iv. Farmakodinamik

Atenolol, beta (1) kompetitif-selektif antagonisadrenergik, memiliki kelarutan


lipid terendah.Meskipun mirip dengan metoprolol, atenolol berbeda dari pindolol dan
propranolol tidakmemiliki sifat simpatomimetik intrinsic.

v. Dosis dan Indikasi Obat

2.5 mg disuntikkan dengan kecepatan 1 mg / menit, dapat diulang setiap 5


menit jika diperlukan. Maks: 10 mg. Sebagai alternatif, 0,15 mg / kg untuk diinfuskan
selama 20 menit. Dapat mengulangi prosedur injeksi atau infus setiap 12 jam sesuai
kebutuhan. Setelah kontrol tercapai, pertahankan dengan dosis oral 50-100 mg setiap
hari.

Atropin
i. Struktur

Gambar 1.14 Struktur Atropin Sulfat Rumus molekul :


C17H23NO3

Berat Molekul : 289,4 g/mol

Sinonim : Atropin, Atropina(Sweetman, S, C, 2009)


ii. Golongan Farmakologi

Golongan Antikolinergika (Rahardja, K, dan Tjay, T, H, 2015).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Atropin mudah diserap dari saluran system pencernaan dan juga diserapmelalui
selaput lendir, mata, dan sampai batas tertentu melalui kulit. Atropin cepat dibersihkan
dari darah dan didistribusikan ke seluruh tubuh. Melintasi sawar darah-otak dan tidak
semua dimetabolisme di hati dan diekskresikan dalam urin sebagai obat dan metabolit
yang tidak berubah. Waktu paruh adalah4 jam. Atropin melintasi plasenta dan dapat
terdistribusi kedalam ASI. Garam amonium kuarter dari atropin, seperti methonitrate
kurang mudah diserap melalui dosis oral. Mereka sangat terionisasi dalam cairan tubuh
dan menjadi tidak bagus untuk larut dalam lemak, serta tidak mudah melintasi sawar otak
darah (Sweetman, S, C, 2009).
Farmakodinamik

Atropin sebagai prototipe antimuskarinik akan dibahas sebagai contoh dan


antimuskarinik lain akan disebut bila ada perbedaan. Hambatan oleh Atropin bersifat
reversibel dan dapat diatasi dengan pemberian asetilkolin dalam jumlahberlebihan atau
pemberian antikolinesterase. Atropin memblok asetilkolin endogen maupun eksogen.
Atropin lebih kuat efeknya di perifer yaitu terhadap

jantung, usus dan otot bronkus. Pengaruh atropine terhadap jantung bersifat bifasik.
Dengan dosis 0,25-0,5 mg yang biasa digunakan, frekuensi jantungberkurang, mungkin
disebabkan oleh perangsangan pusat vagus. Brakikardia biasanya tidaknyata dan tidak
disertai perubahan tekanan darahataucurah jantung. Pada dosis lebih dari 2 mg, yang
biasanya hanya digunakan padakeracunan insektisida organofosfat, terjadi hambatan
neuro vagus sehinggaterjadi takikardia. Atropin dalam hal initidak selektif skopolamin.
Obat ini jugadapat menghambat brakikardia yang ditimbulkan oleh obat kolinergik.
Atropin tidak mempengaruhi pembuluh darah maupun tekanan darah secara langsung,
tetapi dapat menghambat vasodilatasi oleh asetilkolin atau ester kolin yang lain.Atropin
tidak berefek terhadap sirkulasi darah bila diberikan sendiri, karena pembuluh darah tidak
dipersarafi parasimpatik. Dilatasi kapiler pada bagian mukadan leher terjadi pada dosis
toksik (atropine flush).Vasodilatasi ini merupakan kompensasi kulit untukmelepaskan
panas dari naiknya suhu kulit akibat penghentian evaporasi (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Pada orang muda efek samping mulut kering, gangguan miksi, meteorisme sering
terjadi, tetapi tidak membahayakan. Pada orang tua terjadi sindrom demensia.
Memburuknya retensi urin pada pasien hipertrofi prostat danmemburuknya penglihatan
pada pasien glaukoma menyebabkan obat ini kurang diterima. Muka merah setelah
pemberian atropin bukan reaksi alergi melainkanakibat kompensasi pembuluh darah di
wajah. Alergi terhadap atropin jarang ditemukan (Gunawan, dkk., 2012).
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Oral 3 dd 0,4 mg – 0,6 mg (sulfat), maksimal 4 g. (Rahardja, K, dan Tjay,T, H,


2015)
Indikasi Obat

Atropin juga memiliki daya kerja atas SSP dan efek bronchodilatasi ringan
berdasarkan perbedaan otot polos bronchi. (Rahardja, K, dan Tjay, T, H,2015)

Phentolamine
i. Struktur

Gambar 1.15 Struktur Phentolamine

Rumus molekul : C17H19N3O,CH4SO3

Berat Molekul : 377,5 g/mol

Sinonim : Phentolamine, Fentolamin(Sweetman, S, C, 2009)


ii. Golongan Farmakologi

Golongan α-blockers non selektif (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Setelah dosis intravena, paruh phentolamine telah dilaporkan 19 menit.Phentolamine


sangat luas dimetabolisme dan sekitar 13% dari dosis intravena diekskresikan tidak
berubah dalam urin. (Sweetman, S, C, 2009)

Farmakodinamik
Efek pada kardiovaskular mirip sekali dengan fenoksibenzamin.Obat- obat ini
juga menghambat reseptor serotonin, melepaskan histamin dari sel mast, merangsang
reseptor muskarinik di saluran cerna, merangsang sekresi asam lambung, saliva, air mata
dan keringat (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Efek samping yang utama adalah hipotensi.Refleks stimulasi jantung


menyebabkan takikardia yang hebat, aritmia jantung dan iskemia miokard, sampai infark
miokard. Stimulasi saluran cerna menyebabkan nyeri lambung, mual, dan eksaserbasi
ulkus peptikum. Obat-obat ini harus diberikan dengan sangat hati-hati pada pasien dengan
penyakit jantung koroner atau dengan riwayat ulkus peptikum. (Gunawan, dkk., 2012)
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Fentolamin tersedia dalam vial 5 mg untukpemberian IV atau IM (Gunawan, dkk.,


2012).
Indikasi Obat

Mengatasi episode akut hipertensi pada feokromositoma, dengan dosis 5 mg


diberikan sebagai infus yang lambat. Mengatasi pseudobstruksi pada feokromositoma
(akibat relaksasi berlebihan pada NE dan Epi). Mencegah nekrosis kulit akibat
ekstravasasi α-agonis. Krisis hipertensi akibat penghentian mendadak klonidin, atau
akibat makanan mengandung tiramin pada pengobatandengan MAOI yang nonselektif.
Disfungsi ereksi (Gunawan, dkk., 2012).

Prazosin

i. Struktur

Gambar 1.16 Struktur Prazosin

Rumus molekul : C19H21N5O4,HCl

Berat Molekul : 419.9.g/mol

Sinonim : Prazosin, Furozosin


(Sweetman, S, C, 2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan α1-blockers non selektif (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik


Farmakokinetik

Prazosin mudah diserap dari saluran pencernaan saluran dengan konsentrasi


plasma puncak terjadi 1 hingga 3 jam setelah dosis oral. Ketersediaan hayati bervariasi
dan kisaran 43 hingga 85% telah dilaporkan. Prazosin sangat terikat dengan protein
plasma. Ini sangat luas dimetabolisme di hati dan beberapa metabolit dilaporkan
memiliki aktivitas hipotensi. Itu diekskresikan sebagai metabolit dan 5 hingga 11%
sebagai prazosin tidakberubah terutama di kotoran melalui empedu. Kurang dari 10%
diekskresikan dalam urin. Sejumlah kecil didistribusikan ke ASI. Durasi kerjanya lebih
lama dari biasanya diprediksi dari paruh plasma yang relatif singkat sekitar 2 hingga 4
jam. Waktu paruh dilaporkan meningkat sekitar 7 jam pada pasien gagal
jantung.(Sweetman, S, C, 2009)
Farmakodinamik

Efeknya yang utama adalah hasil hambatan reseptor α1pada otot polos arterial dan
vena, yang menimbulkan vasodilatasi dan venodilatasi sehingga menurunkan resistensi
perifer dan alir balik vena. Penurunan resistensi perifer menyebabkan penurunan
tekanan darah tetapi biasanya tidak menimbulkan refleks takikardi. Hal ini disebabkan
(1) α1-bloker tidak memblok reseptor α2prasinaps sehingga tidak meningkatkan
pelepasan NE dari ujung saraf (yang akan merangsang jantung melalui reseptor β1 yang
tidak diblok); (2) penurunanalir balik vena menyebabkan berkurangnya peningkatan
curah jantung dan denyut jantung (berbeda dengan vasodilator murni, misalnya
hidralazin, yang tidak menyebabkan venodilatasi); (3) bekerja sentral untuk mengurangi
penglepasan NE dari ujung saraf di perifer; dan (4) menekan fungsi baroreseptorpada
pasien hipertensi. Karena efek vasodilatasinya, maka aliran darah di organ-organ vital
(otak, jantung, ginjal) dapat dipertahankan, demikian juga dengan aliran darah perifer
di ekstremitas (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Efek samping utama yang potensial dapat terjadi pada pemberian α 1- bloker
adalah fenomen dosis pertama, yakni hipotensi postural yang hebat dan sinkop yang
terjadi 30-90 menit setelah pemberian dosis pertama. Hal ini disebabkan oleh penurunan
tekanan darah yang cepat pada posisi berdiri akibatmula kerja yang cepat tanpa disertai
refleks takikardia sebagai kompensasi, bahkan diperkuat oleh kerja sentral yang
mengurangi aktivitas simpatis di samping dosis awal yang terlalu besar. Fenomen ini
juga terjadipada peningkatan dosisyang tertalu cepat atau pada penambahan
antihipertensi keduapada pasien yang telah mendapat α1-bloker dosis besar(Gunawan,
dkk., 2012).
vii. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Hipertensi: Oral permulaam 0,25-0,5 mg malam hari, dengan berangsur-angsur


dinaikan sampai 2-3 dd 0,5-2 mg, maksimal 3 dd 6 mg. Dekompensasi :2-4 dd, 0,5mg
selama 3-7 hari, pemeliharaan 2 dd 1-2 mg (Rahardja, K, dan Tjay, T, H, 2015).
Indikasi Obat

Prazosin dapat digunakan untuk hipertensi, gagal jantung sistolik, penyakit


vascular perifer, hyperplasia prostat benigna (Gunawan, dkk., 2012).
L-NOARG

i. Struktur

Gambar 1.17 Struktur L-NOARG

Rumus molekul :
C3H5(NO3)3

Berat Molekul : 227,1 g/mol

Sinonim : Nitrogliserin, L-NOARG


(Sweetman, S, C, 2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan Angina Pectoris (Vasodilator Koroner) (Rahardja, K, dan Tjay, T, H,2015).


iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Glyceryl trinitrate cepat diserap dari mulut mukosa. Ini juga diserap dengan baik
dari pencernaan saluran dan melalui kulit. Ketersediaan bio kurangdari 100% ketika
diberikan oleh salah satu rute ini karenapembersihan pra- sistemik; bioavailabilitas
semakin berkurang setelah penggunaan oral karena first-pass yang luas metabolisme di
hati. Efek terapeutik terlihat dalam 1 hingga3 menit penggunaan tablet sublingual,
semprotan sublingual, atau bukal tablet; dalam waktu 30 hingga 60 menit menerapkan
salep atau transdermal patch; dandalam 1 hingga 2 menitsetelah dosis intravena.Durasi
aksi adalah sekitar 30 hingga 60 menit dengan sublingual tablet atau semprotan dan 3
hingga 5 jam dengan modifikasi yang dilepaskan tablet bukal. Patch transdermal
dirancang untuk melepaskan jumlah obat yang dinyatakan lebih dari 24 jam, sedangkan
efek terapi setelah pemberian gliseril salep trinitrate 2% bertahan hingga 8 jam.Durasi
tindakan setelah dosis intravena sekitar 3 sampai 5 menit. (Sweetman, S,C, 2009)
Farmakodinamik

Terbentuknya nitrogenoksida (NO) dari nitrat di sel-sel dinding pembuluh. NO


berfungsi untuk merelaksasi sel-sel otot, sehingga pembuluh mendilatasi, akibatnya TD
turun dengan pesat dan aliran darah vena yang kembali ke jantung berkurang.
Penggunaan oksigen oleh jantung menurun dan bebannya dikurangi. Arteri coroner
diperlebar, tetapi tanpa efek langsung terhadap myocard (Rahardja, K, dan Tjay, T, H,
2015).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Efek samping berupa nyeri kepala akibat dilatasi arterial yang sering kali
membatasi dosisnya. Yang lebih serius adalah hipotensi ortostatik dan pingsan. Juga
sering kali timbul reflex takikardia yang dapat dihindari bila dikombinasi dengan B-
blocker. Efek samping lainnya terdiri dari pusing, mual, “flushing”, disusul dengan
muka pucat (Rahardja, K, dan Tjay, T, H, 2015).
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Pada serangan akut di bawah lidah 0,4-1 mg sebagai tablet, spray ataukapsul
(harus di gigit), jika perlu dapat diulang sesudah 3-5 menit. Bila efek sudah dicapai,
obat harus dikeluarkan dari mulut (Rahardja, K, dan Tjay, T, H,2015). Nitrogliserin i.v
5-10 mcg/min lalu tingkatkan (Gunawan, dkk., 2012).

Indikasi Obat
Angina pectoris, gagal jantung kongestif, infark jantung (Gunawan,dkk.,
2012).
8-s-p-Theophyilline

i. Struktur

Gambar 1.18 Struktur Theophilline Rumus


molekul : C7H8N4O2

Berat Molekul : 180,2 g/mol

Sinonim : Teofilina, Teofilin(Sweetman, S, C,


2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan Xantin (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Dalam keadaan perut kosong, sediaan teofilin bentuk cair atau tablet tidak bersalut
dapat menghasilkan kadar puncak plasma dalam-waktu 2 jam, sedangkan kafein dalam
waktu 1 jam. Saat ini tersedia teofilin lepas lambat, yang dibuat sedemikian rupa agar
dosis teofilin dapat diberikan dengan interval8, 12 atau 24 jam. Temyata sediaan ini
bervariasi kecepatan maupun jumlah absorpsinya antar pasien; khususnya akibat
pengaruh adanya makanan dan waktu pemberian. Pada umumnya adanya makanan
dalam lambung akan mempertambat kecepatan absorpsi teofilin tetapi tidak
mempengaruhi derajat besamya absorpsi (Gunawan, dkk., 2012).
Kurang dari 20% teofilin dan akan ditemukan di urin dalam bentuk utuh.Waktu
paruh plasma teofilin pada orang dewasa 8-9 jam dan pada anak muda kira-kira 3,5 jam.
Pada pasien sirosis hati atau edema paru akut, kecepatan eliminasi sangat bervariasi dan
berlangsung lebih lambat, pernah dilaporkan lebih dari 60 jam. Pada bayi prematur,
kecepatan eliminasi teofilin Sangat menurun; waktu paruh teofilin pada berbagai
penelitian berkisar antara 20-36 jam (Gunawan, dkk., 2012).
Farmakodinamik

Teofilin menghambat enzim fosfodiesterase (PDE) sehingga mencegah


pemecahan cAMP dan cGMP masing-masing menjadi 5'-AMP dan 5'-GMP.
Penghambatan PDE menyebabkan akumulasi cAMP dan cGMP dalam sel-sel sehingga
menyebabkan relaksasi otot polos, termasuk otot polos bronkus. Teofilin dan
metilxantin lainnya relatif nonselektif dalam menghambat subtipe PDE. Teofilin
merupakan suatu antagonis kompetitif pada reseptor adenosin. Adenosin dapat
menyebabkan bronkokonstriksi pada pasien asma dan memperkuat penglepasan
mediator dari sel mast yang diinduksi oleh rangsang imunologis. Oleh karenanya
penghambatan kerja adenosin juga merupakan mekanisme kerja teofilin untuk
mengatasi bronkokonstriksi pada pasien asma (Gunawan, dkk., 2012).
Teofilin menyebabkan relaksasi otot polos, terutama otot polos bronkus,
merangsang SSP, otot jantung, dan meningkatkan diuresis. Xantin merangsang SSP,
menimbulkan diuresis, merangsang otot jantung, dan merelaksasi otot polos terutama
bronkus (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Teofilin dapat menyebabkan mual, muntah, perut rasa sakit, diare, dan gangguan
gastrointestinal lainnya, susah tidur, sakit kepala, gelisah, lekas marah, gelisah, tremor,
dan jantung berdebar. Overdosis juga dapat menyebabkan agitasi, diuresis dan muntah
berulang (kadang-kadang hematemesis) dan akibat dehidrasi, aritmia jantung termasuk
takikardia, hipotensi, gangguan elektrolit termasuk hipokalemia yang mendalam,
hiperglikemia, hipomagnesemia, asidosis metabolik, rhabdomyolysis, kejang- kejang,
dan kematian. Kejang, aritmia jantung, hipotensi berat, atau detak jantung berhenti dapat
terjadi setelah injeksi intravena cepat, dan kematian telah dilaporkan juga dapat
mengiritasi untuk penggunaan intramuskuler (Sweetman,S, C, 2009).
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Rute 10 sampai 20 mikrogram/mL (55 sampai 110 micromol/L)(Sweetman, S,


C, 2009).
Indikasi Obat

Menurunkan tahanan perifer, merangsang jantung, meninggikan perfusiberbagai


organ dan menimbulkan dieresis (Gunawan, dkk., 2012).

Verapamil

i. Struktur

Gambar 1.19 Struktur Verapamil Rumus


molekul : C27H38N2O4,HCl

Berat Molekul : 491,1 g/mol

Sinonim : Verapamil, Verapamilo(Sweetman, S,


C, 2009)

ii. Golongan Farmakologi

Golongan Antiaritmia kelas IV (Antagonis Kalsium) (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Verapamil sekitar 90% diserap dari saluran pencernaan traktat, tetapi harus
melalui first-pass yang cukup besar metabolisme dalam hati dan ketersediaan hayati
hanya sekitar 20%. Verapamil menunjukkan kinetika eliminasi bi-atau tri-phasic dan
dilaporkan memiliki paruh plasma 2 hingga 8 jam setelah dosis oral tunggal atau setelah
dosis intravena. Dengan dosis oral berulang, waktu paruh meningkat menjadi 4,5 hingga
12 jam. Verapamil mulaibekerja dalam 5 menit ketika diberikan secara intravena dan
dalam 1 hingga 2 jam saat diberikan secara oral, konsentrasi plasma puncak terjadi 1
hingga 2 jamsetelah dosis oral. Ada banyak inter individual variasi konsentrasi plasma.
Verapamil sekitar 90% terikat dengan protein plasma. Verapamil dimetabolismesecara
luas di hati menjadi setidaknya 12 metabolit yang ditunjukkan norverapamil memiliki
beberapa efek. Sekitar 70% dari dosis diekskresikan oleh ginjal dalam bentuk
metabolitnya tetapi sekitar 16% diekskresikan dalam empedu ke dalam tinja. Kurang
dari 4% diekskresikan tidak berubah. Verapamilmelewati plasenta dan didistribusikan
ke dalam ASI. (Sweetman, S, C, 2009)

Farmakodinamik
Obat-obat antiaritmia kelas IV adalah penghambatkanal Ca2+. Efek klinispenting
dari antagonis Ca2+untuk pengobatan aritmia adalah penekanan potensial aksi yang
Ca2+dependent dan perlambatan konduksi di nodus AV. Verapamil adalah satu-satunya
penghambat kanal Ca2+ yang banyak dipasarkansebagai obat antiaritmia. Verapamil
yang merupakan turunan papaverin,menyekat kanal Ca•• di membran otot polos dan
otot jantung. Verapamil memiliki efek langsung terhadap efek fisiologik dan mekanik
otot jantung dan otot polos pembuluh darah. (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Efek samping utama dari verapamil adalah pada jantung dan salurancerna.
Penggunaan obat ini secara intravena dikontraindikasikan pada pasien hiperterisi, gagal
jantung berat, sindrom sinus, blokAV, sindrom Wolff- Parkinson-White, atau takikardia
ventrikel. Verapamil dapat meningkatkan frekuensi denyut ventrikel bila diberikan
intravena kepada pasien sindrom.Wolff-Parkinson-White dan fibrilasi atriumhal ini
terjadl karena peningkatan refleks sirnpatis (Gunawan, dkk., 2012).
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Untuk mengubah PSVT menjadi irama sinus, verapamil dengan dosis 5-10 mg
diberikan secara intravena selama 2-3 menit. Untuk mengendalikan iramaventrikel pada
fibrilasi atau flutter atrium, verapamil diberikan dalam dosis 10 mg selama 2-5 menit,
dan bila perlu diulangi dalam waktu 30 menit. Untuk mencegah kembalinya PSVT atau
untuk mengontrol irama ventrikel pada fibrilasi atrium, diberikan dosis oral 240-480
mg/hari dibagi · dalam 3-4 dosis. Walaupun indikasinya belum disetujui, diltiazem telah
digunakan untuk pencegahan PSVT dalam dosis 60-90 mg, yang diberikan tiap 6 jam
(Gunawan,dkk., 2012).
Indikasi Obat

Verapamil telah menjadi obat pilihan pertamauntuk pengobatan serangan akut


takikardia supraventrikel paroksismal yang disebabkan oleh arus balik pada nodus AV
atau karena anomali hubungan nodus AV. Verapamil jugabermanfaat untuk penurunan
segera respons ventrikel pada fibrilasi atau flutter atrium bila aritmia tidak disertai
dengan sindrom Wolff-Parkinson-White (Gunawan, dkk., 2012).

Captopril

i. Struktur

Gambar 1.20 Struktur Captopril

Rumus molekul : C9H15NO3S

Berat Molekul : 217,3 g/mol

Sinonim : Captopril, Captoprilium(Sweetman, S,


C, 2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan ACE inhibitor (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik

Kaptopril. Diabsorpsi dengan baik pada pemberianoral dengan biovailabilitas 70-75%.


Pemberian bersama makanan akan mengurangi absorpsisekitar 30%, oleh karena itu obat
ini harus diberikan 1 jam sebelum makan. Sebagian besar ACE-inhibitor mengalami
metabolisme di hati. Eliminasi umumnya melalui ginjal (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Farmakodinamik

ACE-inhibitor menghambat perubahan Angiotensin 1 menjadi Angiotensin ll


sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron. Selain itu, degradasi
bradykinin juga dihambat sehingga kadar bradykinin dalam darah meningkat dan
berperan dalam efek vasodilatasi ACE-inhibitor. Vasodilatasi secara langsung
menurunkan tekanan darah, sedangkan berkurangnya aldosteron akan menyebabkan
ekskresi air dan natrium dan retensikalium (Gunawan, dkk., 2012).
v. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Efek samping yang dapat terjadi yaitu antara lain, Hipotensi, Batuk kering,
Hiperkalemia, rash, edema angioneurotik, gagal ginjal akut, proteinurea, efek
teratogenik (Gunawan, dkk., 2012).

vi. Dosis
25-100 mg 2-3x sehari (Gunawan, dkk., 2012).

vii. Indikasi Obat

Hipertensi dengan gagal jantung kongestif, dan dapat digunakan untuk mengurangi
resistensi insulin (Gunawan, dkk., 2012).
Losartan

i. Struktur

Gambar 1.21 Struktur Losartan

Rumus molekul : C22H22CIKN6O

Berat Molekul : 461,0g/mol

Sinonim : Losartan Potasio, Kalii Losartan(Sweetman, S,


C, 2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan Antagonis Reseptor Angiotensin II (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik

Losartan diabsorpsi dengan baikmelalui saluran cerna dengan bioavailabilitas


sekitar 33%. Absorpsinya tidak dipengaruhi oleh adanya makanan di lambung. Waktu
paruh eliminasi (t1/2a.) ± 1-2 jam, tapi obat ini cukup diberikan satu atau dua kali sehari,
karena kira-kira 15% losartan dalam tubuh diubah menjadi metabolit ( 5-carboxylic
acid) dengan potensi 10 sampai 40 kali losartan dan masa paruh yang jauh lebih panjang
(t1/2j3: 6-9 jam). Losartan dan metabolitnya tidak dapat menembus sawar darah otak.
Sebagian besar obat diekskresi melalui feses sehingga tidak diperlukan penyesuaian
dosispada gangguan fungsi ginjal termasuk pasien hemodialisis dan pada usia lanjut.
Tapi dosis harus disesuaikan pada gangguan fungsi hepar (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Farmakodinamik

Menghambat semua efek Angi I, seperti: vasokonstriksi, sekresi aldosteron,


rangsangan saraf simpatis, efek sentral Angi I (sekresi vasopresin, rangsangan haus),
stimulasi jantung, efek renal serta efek jangka panjang berupa hipertrofi otot polos
pembuluh darah dan miokard. Dengan kata lain, ARB menimbulkan efek yang mirip
dengan pemberian ACE inhibitor (Gunawan, dkk., 2012).
v. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Hipotensi dapat terjadi pada pasien dengan kadardar renin tinggi seperti
hipovolemia, gagal jantung, hipertensi, renovaskular, dan sirosis hepatitis.
Hiperkalemia biasanya terjadi dalam keadaan tertentu seperti insufisiensi ginjal,atau bila
di kombinasi dengan obat-obat yang cenderung meretensi kalium sepertidiuretik helmet
kalium dan AINS dan juga bila asupan kalium berlebihan(Gunawan, dkk., 2012).
vi. Dosis
25-100 mg 1-2x sehari (Gunawan, dkk., 2012).

vii. Indikasi Obat

ARB sangat efektif menurunkan tekanandarah pada pasien hipertensi dengan


kadar renin yang tinggi seperti hipertensi renovasklular dan hipertensi genetik, tapi
kurang efektif pada hipertensi dengan aktivitas renin yang rendah (Gunawan, dkk.,
2012).
Glibenclamide

i. Struktur

Gambar 1.22 Struktur Glibenclamide Rumus


molekul :
C23H28ClN3O5S
Berat Molekul : 494,0 g/mol

Sinonim : Glibenclamida, Glibenclamidium


(Sweetman, S, C, 2009)
ii. Golongan Farmakologi

Golongan Sulfonilurea (Gunawan, dkk., 2012).

iii. Farmakokinetik dan Farmakodinamik

Farmakokinetik

Glibenclamide mudah diserap dari saluran pencernaan saluran,


konsentrasi plasma puncak biasanya terjadi dalam waktu 2 hingga 4 jam, dan
terikat secara luas protein plasma. Penyerapan mungkin lebih lambat pada
hiperglikemia pasien dan mungkin berbeda sesuai dengan partikel ukuran
persiapan yang digunakan. Hampir dimetabolisasikan sepenuhnya, di hati,
metabolit utama hanya sangat lemah aktif. Sekitar 50% dari dosisnya
diekskresikan dalam urin dan 50% melalui empedu ke dalam tinja (Sweetman,
S, C, 2009).
Farmakodinamik

Golongan obat ini sering disebutsebagai insulin secretagogues, kerjanya


merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel Langerhans pankreas.
Rangsangannya melalui interaksinya dengan ATP-sensitive K channel pada
membran sel-sel yang menimbulkan depolarisasi membran dan keadaan ini akan
membuka kanal Ca. Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca2+akan masuk sel
dan merangsang granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin
dengan jumlah yang ekuivalen dengan peptida-C. Kecuali itu sulfonilurea dapat
mengurangi klirens insulin di hepar (Gunawan, dkk., 2012).
iv. Efek samping dan reaksi yang tidak diinginkan

Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat terjadi. Reaksi ini lebih
sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar atau ginjal,
terutama yang menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang. Efek samping
lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi, mual, muntah, diare, gejala hematologik,
susunan saraf pusat, mata dan sebagainya (Gunawan, dkk., 2012).
v. Dosis dan Indikasi Obat

Dosis

Permulaan 1 dd 2,5-5 mg, bila perlu dinaikan setiap minggu maksimal 2


dd 10 mg (Rahardja,K, dan Tjay, T, H, 2015)
Indikasi Obat

Terapi Diabetes Melitus untuk pasien berumur 40 tahun (Gunawan, dkk.,

2012).

d. Landasan teori metode pengujian

Metode pengujian menggunakan aplikasi ‘Rats Cardiovascular System’ untuk


mengetahui berbagai efek obat cardiovascular. Aplikasi ini merupakan simulasi
berdasarkan anatomi sesungguhnya pada tubuh tikus yang dihubungkan dengan
berbagai alat seperti ventilator, kanula, transducer dan recorder. Aplikasi ini
memungkinkan praktikan untuk dapat mengetahui berbagai efek cardiovascular tanpa
menyakiti hewan coba. Beberapa efek yang diamati adalah:
1. Arteriolar Blood Pressure (ABP)

2. Heart Contractile Force (HCF)

3. Heart Rate (HR)


Ketiga aspek tersebut merupakan faktor utama fungsi jantung sebagai pemompa darah
ke seluruh tubuh.

e. Metode Pengujian Aktivitas Obat

Hewan percobaan : tikus normal

Alat : ventilator, kanula, transducer, recorder (Aplikasi Rat CVS)

Obat yang digunakan :

1. Adrenaline

2. Noradrenaline

3. Isoprenaline

4. Phenylephineprine

5. Acetylcholine

6. Gliceryl Trinitate

7. Cromakalim

8. Angiotensin II

9. Digoxine

10. Milrinone

11. Adenosine

12. Propanolol

13. Atenolol

14. Atropine

15. Phentolamine

16. Prazosin

17. L-NOARG

18. 8-s-p-Theophyilline

19. Verapamil

20. Captopril
21. Losartan

22. Glibenclamide
f. Skema Kerja Praktikum

Membuka aplikasi Ratcvs dengan mengklik 2 kali icon dengan gambar di bawah.

Akan muncul tampilan awal seperti pada gambar


Klik Options, lalu Klik Display Channel, dan atur tampilan grafik hanya
memperlihatkan grafik ABP, HCF, dan HR
Memilih normal rat dan menekan tombol start lalu menunggu grafik ABP, HCFdan
HR hingga 1 kolom sebagai hasil kontrol.

Memilih obat yang dinginkan pada bar standard drug. Akan muncul kotak inject
drug yang berisi berbagai macam dosis obat, pilih dosis yang diinginkan lalu klik
tombol inject drug.
Mengukur ABP, HCF dan HR dengan cara meletakkan kursor pada puncak yang
tertinggi di kolom 2 hingga kolom 6. Ambil 2 puncak tertinggi pada masing-
masing kolom.

Mencatat hasil yang didapatkan dalam tabel.


g. Hasil Pratikum

Pada praktikum simulasi efek obat pada sistem kardiovaskular, digunakan tikus
sebagai sebagai hewan percobaan menggunakan aplikasi Rat Cardiovascular System. Setiap
kelompok diberikan beberapa macam obat kardiovaskular dengan dosis yang berbeda-beda
untuk mengamati efek obat pada tikus. Efek yang diamati adalah tekanandarah arterial,
kecepatan denyut jantung, kekuatan kontraksi jantung.
Obat yang digunakan oleh kelompok I adalah adrenaline, noradrenaline,
isoprenaline, phenylephineprine, acetylcholine, dan gliceryl trinitate. Kelompok II
menggunakan obat cromakalim, angiotensin II, digoxine, milrinone, dan adenosine.
Kelompok III menggunakan obat propranolol, atenolol, atropine, phentolamine, prazosin,
dan L-NOARG. Kelompok IV menggunakan obat 8-s-p theophyilline, verapamil, captropil,
losartan, glibenclamide.
Prosedur kerja yang dilakukan adalah dengan memberikan obat yang akan diuji
pada tikus dengan dosis yang pilih. Setiap melakukan pengujian obat baru maupun untuk
menguji dosis lainnya, digunakan tikus baru agar efek yang muncul tidak tercampur dengan
efek obat yang diujikan sebelumnya. Setelah melakukan pemilihan obat yang akan dijuji dan
memilih dosis yang akan digunakan, alat dinyalakan hingga kolom keenam. Kolom pertama
merupakan kontrol, dan kolom kedua hingga keenam adalah efek obat. Kemudian diamati
grafik tekanan darah arterial (ABP), kecepatan denyut jantung (HR), dan kekuatan kontraksi
jantung (HCF). Dari hasil praktikum, diperoleh data tiap obat kardiovaskuler, sebagai berikut:
Obat Dosis X ABP X HCF X HR
Adrenaline 0,10 153,9 9,5 303,0
0,2 139,2 9,5 351,8
0,5 154,5 9,6 355,2
1 162,6 11,9 326,5
2 152,9 9,4 381,1
5 155,0 10,9 463,0
10 150,2 11,9 536,41
20 137,2 12,9 582,8
50 143,6 13,4 654,9
100 162,1 16,5 673,9
Noradrenaline 1 151,2 9,1 293,8
2 152,8 9,5 293,0
5 155,8 9,4 287,5
10 162,5 9,8 276,0
20 177,9 10,2 300,9
50 179,9 12,2 305,9
100 190,6 13,8 343,1
200 198,8 14,5 388,1
500 183,8 16,8 470,5
Isoprenaline 0,10 150,3 9,5 349,8
0,2 148,2 9,7 364,5
0,5 144,5 10,1 406,7
1 146,7 10,7 442,3
2 132,4 11,6 480,4
5 120,8 13,4 557,2
10 116,4 14,7 587,1
20 112,2 16,2 651,2
50 115,1 17,7 695,2
100 110,1 18,9 717,5
Phenylephrine 1 150,3 9,1 294,9
2 151,5 9,1 273,2
5 156,2 9,2 324,6
10 152,4 9,2 320,2
20 152,6 9,1 302,2
50 175,4 9,2 326,5
100 169,5 9,1 280,7
200 172,5 9,1 297,3
500 179,6 9,2 267,7
Phenylephrine 1 150,3 9,1 294,9
2 151,5 9,1 273,2
5 156,2 9,2 324,6
10 152,4 9,2 320,2
20 152,6 9,1 302,2
50 175,4 9,2 326,5
100 169,5 9,1 280,7
200 172,5 9,1 297,3
500 179,6 9,2 267,7
Asetilkolin 1 154,88 9,74 314
2 154,22 9,9 323,68
5 146,68 9,74 337,56
10 135,25 9,65 329,91
20 131,82 9,39 328,53
50 115,72 8,08 320,92
100 114,69 8,04 319,54
200 99,31 6,77 285,23
500 95,04 7,29 281,9
Gliseril trinitrat 1 143,07 9,22 318,9
2 144,29 9,24 323,09
5 137,75 9,24 347,05
10 129,18 9,36 374,33
20 113,27 9,39 407,57
50 96,33 9,4 407,61
100 95,91 9,4 409,05
200 89,91 9,42 409,88
500 90,12 9,4 421,36
1000 85,76 9,3 423,32
Chromakalim 0,1 mg/kg 141,53 8,93 370,52
0,2 mg/kg 140,91 8,66 389,28
0,5 mg/kg 117,1 7,44 423,32
1,00 mg/kg 114,68 7,02 425,24
2,00 mg/kg 114,43 7,05 427,14
5,00 mg/kg 108,63 6,29 426,2
10,00 mg/kg 99,08 5,46 425,24
20,00 mg/kg 98,86 5,39 425,24
50 mg/kg 101,7 5,59 423,32
100 mg/kg 95,62 5,08 426,2
Glibenclamide 0,10 mg/kg 152,16 9,08 329,06

0,20 mg/kg 152,58 9,35 330,42


0,50 mg/kg 152,64 9,36 328,19
1 mg/kg 152,37 9,34 327,54
2 mg/kg 152,37 9,36 328,29
5 mg/kg 152,7 9,35 329,55
10 mg/kg 152,42 9,38 328,53
20 mg/kg 152,39 9,34 329,09
50 mg/kg 152,28 9,31 328,47
100 mg/kg 152,3 9,34 327,4
Angiotensin II 0,10 µg/kg 159,24 9,32 314
0,20 µg/kg 160,01 9,35 312,29
0,5 µg/kg 179,37 9,28 300,51
1 µg/kg 192,26 9,22 280,26
2 µg/kg 196,99 9,21 470,93
5 µg/kg >200 9,18 262,63
10 µg/kg >200 9,23 303,61
Milrinone 1 mg/kg 149,3 9,5 363,8
2 mg/kg 143,0 10,2 424,5
5 mg/kg 136,4 11,2 497,5
10 mg/kg 135,3 11,4 506,7
20 mg/kg 126,2 13,6 620,9
50 mg/kg 121,7 15,1 691,7
100 mg/kg 119,3 16,2 741,9
200 mg/kg 117,9 16,7 769,7
500 mg/kg 114,9 17,7 >800
1000 mg/kg 114,5 18,0 >800
Digoxin 1 mg/kg 156,56 11,45 320,07
2 mg/kg 157,98 13,04 300,12
5 mg/kg 160,36 14,65 298,74
10 mg/kg 160,7 15,52 294,6
20 mg/kg 161,72 16,04 290,76
50 mg/kg 72,83 11,21 448,3
100 mg/kg 8,5 6,18 453,2
Atropine 0,01 mg/kg 153,5 mmHg 9,45 350,68 BPM
0,1 mg/kg 154 mmHg 9,32 340,32 BPM
0,2 mg/kg 156 mmHg 9,43 354,29 BPM
0,5 mg/kg 157,2 mmHg 9,47 362,36 BPM
1,00 mg/kg 159.34 mmHg 9,38 374,91 BPM
2,00 mg/kg 162,5 mmHg 9,36 393,79
5,00 mg/kg 163,7 mmHg 9,38 401,83
10,00 mg/kg 165,1 mmHg 9,3 412,8
Phentolamin 0,01 mg / kg 152,56 9,22 281,63
0,1 mg/kg 188,87 9,27 359,2
0,2 mg/kg 141,85 9,34 375,68
0,5 mg/kg 135,34 9,26 396,35
1,00 mg/kg 132,8 9,12 350,4
2,00 mg/kg 132,2 9,06 396,2
Prazosin 0,01 mg/kg 151,78 9,6 334,78
0,1 mg/kg 145,64 9,4 372,14
0,2 mg/kg 143,26 9,4 383,24
0,5 mg/kg 142,06 9,4 387,4
1,00 mg/kg 137,12 9,4 405,4
2,00 mg/kg 134,34 9,4 409,54
5,00 mg/kg 133,3 9,4 412,3
10,00 mg/kg 133,3 9,4 413,7
losartan 0,01 mg/kg 155,2 9,3 413,1
0,1 mg/kg 567,96 9,26 365,9
0,2 mg/kg 142,75 9,28 384,57
0,5 mg/kg 143,54 9,46 388,36
1,00 mg/kg 160,22 9,49 419
2,00 mg/kg 134 9,6 419,2
5,00 mg/kg 133,3 9,6 390,13
10,00 mg/kg 127,52 9,6 425,5
L-Noarg 1.00mg/kg 151.54 9.18 315.8
2.0mg/kg 151.93 9.18 290.90
5.0 mg/kg 159.82 9.14 246.10
10.00 mg/kg 186.11 9.15 233.22
20.0 mg/kg 39.90 9.19 233.60
50.0 mg/kg 19.20 9.12 236.15
100.0 mg/kg 186.2 9.12 231.89
200.0 mg/kg 196.2 9.13 233.54
8-s-p 0.1 mg/kg 152.64 9.31 419.86
Theopylline
0.2 mg/kg 154.43 9.36 378.10
0.5 mg/kg 155.12 9.36 378.21
1.00 mg/kg 153.23 9.35 405.70
2.0 mg/kg 153.9 9.37 372.93
5.0 mg/kg 154.0 9.35 367.79
10.0 mg/kg 153.2 9.39 373.21
20.0 mg/kg 153.6 9.38 374.15
Verapamil 0.1 mg/kg 150.13 8.41 360.21
0.2 mg/kg 146.20 8.75 363.75
0.5 mg/kg 122.82 7.39 345.32
1.00 mg/kg 107.11 6.15 301.5
2.0 mg/kg 93.54 4.37 250.12
5.0 mg/kg 73.21 2.86 218.97
10 mg/kg 67.66 2.67 212.16
20 mg/kg 40 1.40 184.42
Captopril 1.00mg/kg 151.36 9.55 341.88
2.0mg/kg 151.91 9.51 361.10
5.0 mg/kg 149.32 9.47 378.53
10.00 mg/kg 137.91 9.4 392.74
20.0 mg/kg 138.12 9.4 408.62
50.0 mg/kg 132.15 9.45 413.83
100.0 mg/kg 132.21 9.41 420.65
200.0 mg/kg 127.22 9.42 418.94
Adrenaline

Adrenaline
800
700
600
500
400
300
200
100
0
0.1 0.2 0.5 1 2 5 10 20 50 100

X ABP X HCF X HR

Noradrenaline

Noradrenaline
500
400
300
200
100
0
1 2 5 10 20 50 100 200 500

X ABP XHCF XHR

Isoprenaline

Isoprenaline
800
700
600
500
400
300
200
100
0
0.1 0.2 0.5 1 2 5 10 20 50 100

X ABP X HCF X HR

Phenylephrine
Phenylephrine
350
300
250
200
150
100
50
0
1 2 5 10 20 50 100 200 500

X ABP X HCF X HR

Atropine

Atropine
700
600
500
400
300
200
100
0
0.01 0.1 0.2 0.5 1 2 5 10

X ABP X HCF X HR

Asetilkolin

Asetilkolin
400
350
300
250
200
150
100
50
0
2 5 10 20 50 100 200

X ABP X HCF X HR
Gliseril Nitrat

Gliseril Nitrat
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
2 5 10 20 50 100 200

X ABP X HCF X HR

Chromakalim

Chromakalim
500
400
300
200
100
0
0,1 0,2 0,5 1,00 2,00 5,00 10,00 20,00 50 100
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

X ABP X HCF X HR
Glibenclamid

Glibenklamid
350
300
250
200
150
100
50
0
0,10 0,20 0,50 1 2 5 10 20 50 100
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

X ABP X HCF X HR

8-s-Theopylline

8-s-Theopylline
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0.1 0.2 0.5 1 2 5 10

ABP HCF HR
Phentolamin

Phentolamin
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0.01 0.1 0.2 0.5

X ABP X HCF X HR

Losartan

Losartan
600

500

400

300

200

100

0
1 2 5 10 20 50 100 200 500 1000

X ABP X HCF X HR
Prazosin

Prazosin
500

400

300

200

100

0
0.01 0.05 0.1 0.2

X ABP X HCF X HR

Adenosine
400
350
300
250
200 ABP
HCF
150
HR
100
50
0
0,1 0,2 0,5 1 2 5 10 20 50 100
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg
Propanolol
400

350

300

250

200 ABP
HCF
150
HR
100

50

0
0,01 0,02 0,05 0,1 0,2 0,5 1 2 5 10 20 50 100
mg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kgmg/kg

Atenolol
400
350
300
250
200 ABP
HCF
150
HR
100

50
0
1 2 5 10 20 50 100 200 500 1000
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg
Angiotensin II
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
0,10 µg/kg 0,20 µg/kg 0,5 µg/kg 1 µg/kg 2 µg/kg 5 µg/kg 10 µg/kg

X ABP X HCF X HR

Milrinone
900
800
700
600
500
400
300
200
100
0
1 mg/kg 2 mg/kg 5 mg/kg 10 mg/kg 20 mg/kg 50 mg/kg 100 200 500 1000
mg/kg mg/kg mg/kg mg/kg

X ABP X HCF X HR
Digoxin
500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
0
1 mg/kg 2 mg/kg 5 mg/kg 10 mg/kg 20 mg/kg 50 mg/kg 100 mg/kg

X ABP X HCF X HR

h. Pembahasan

ADRENALIN

Adrenalin merupakan agonis adrenergic non-selektif yang memiliki aksi


langsung. Adrenalin adalah stimulant jantung yang kuat, tindakannya terjadi terutama
dengan berinteraksi dengan reseptor -1 dan menghasilkan berbagai efek sebagai
berikut :
(1) peningkatan denyut jantung (kronotropik positif) ;
(2) peningkatan kontraktilitas miokard (inotropik positif);
(3) peningkatan kecepatan konduksi (dromotropik positif);
(4) peningkatan curah jantung;
(5) peningkatan otomatisitas;
(6) kerja jantung dan kebutuhan oksigen meningkat secara nyata;
(7) peningkatan rangsangan dan kecenderungan untuk menyebabkan aritmia jantung.
Pemberian adrenalin (secara intravena) dalam dosis sedang menghasilkan efek
biphasic yang khas, yaitu terdapat kenaikan awal tekanan darah karena -1 dan -1, lalu
diikuti penurunan tekanan darah karena vasodilatasi yang dimediasi -2. Administrasi
adrenalin setelah -1 blocker hanya menghasilkan penurunan tekanan darah -2) yang
disebut sebagai pembalik vasomotor (Shanbhag, 2008).
Adrenalin tidak memiliki efek pada heart contractile force. Justru adrenalin
memiliki efek pada denyut jantung dan arterial blood pressure. Dimana seperti yang
telah dibahas diatas, adrenalin bersifat kronotropik positif (meningkatakn denyut
jantung) sehingga terlihat pada grafik terjadi peningkatan denyut jantung dengan
interaksinya pada reseptor -1. Sedangkan pada arterial blood pressure, awalnya
adrenalin meningkatkan tekanan darah namun kemudian mengalami penurunan akibat
vasodilatasi pada -2.

NORADRENALIN

Noradrenalin adalah katekolamin yang merupakan neurotransmitter utama


dalam reseptor adrenergic. Noradrenalin bekerja pada reseptor adrenergic - -2 dan
-1. Kerja utamanya adalah pada sistem kardiovaskuler, dimana NA memiliki efek
stimulan langsung pada jantung (efek pada -1) dan juga menyempitkan semua
pembuluh darah (efek pada -1). Noradrenalin diberikan secara intravena, dapat
digunakan untuk meningkatkan tekanan darah pada keadaan hipotensi namun dapat
menurunkan aliran darah ke organ vital akibat efek vasokonstriksi yang luas (Shanbhag,
2008).
Noradrenalin tidak memiliki efek pada heart contractile force. Noradrenalin
justru memiliki efek pada arterial blood pressure dan denyut jantung. Dimana pada
arterial blood pressure terlihat peningkatan karena memang kegunaanya adalah untuk
-1) sedangkan pada denyut jantung tampak
adanya penurunan terlebih dahulu kemudian terjadi kenaikan kembali, hal ini dapat
terjadi karena noradrenalin yang dikeluarkan oleh saraf simpatis meningkatkan denyut
jantung dengan sedikit mendepolarisasi sel (membuka beberapa kanal natrium). Namun,
hal ini segera diseimbangkan oleh saraf parasimpatis dengan mendepolarisasi sel
(dengan membuka beberapa kanal kalium) (Curtis and Ramsden, 2011) namun efeknya
-1 menyebabkan denyut jantung kemudian naik kembali.

ISOPRENALIN

Isoprenalin merupakan agonis reseptor -1 yang sifatnya non-selektif.


Iosprenalin memiliki efek kuat pada reseptor -1 dan -2) tetapi tidak memiliki efek
inotropik, kronotropik dan dromotropik positif. Penggunaan obat ini dapat
menyebabkan tekanan darah sistolik tidak berubah atau sedikit meningkat tetapi tekanan
diastolic dan mean arterial pressure berkurang. Isoprenalin dapat digunakan untuk
meningkatkan denyut jantung namun efek sampingnya berupa takikardia, palpitasi,
arrhythmias jantung, dll karena efek stimulan jantung yang kuat.
Isoprenaline tidak memiliki efek pada heart contractile force. Isoprenalin justru
memiliki efek pada arterial blood pressure dan denyut jantung. Sama seperti yang telah
dijelaskan diatas, isoprenalin menyebabkan arterial blood pressure turun (maka pada
grafik terlihat penurunan pada ABP) sedangkan memiliki efek yang cukup signifikan
pada heart rate karena sifatnya yaitu kronotropik positif dengan efeknya yang terutama
terjadi di reseptor -1.

PHENYLEPHERINE

-
1 (Shanbhag, 2008). Phenylephrine menyebabkan efek vasokonstriksi yang kuat serta
penurunan curah jantung. Tekanan darah dapat meningkat dengan penggunaan obat ini
akibat adanya peningkatan resistensi perifer (Aschenbrenner and Venable, 2009).

Tindakan sistemik (Malamed, 2013) :


(1) miokardium: memiliki sedikit efek chronotropic atau inotropic pada jantung;
(2) sel alat pacu jantung: efeknya kecil;
(3) arteri koroner: peningkatan aliran darah terjadi akibat pelebaran;
(4) tekanan darah: aksi alfa menghasilkan peningkatan tekanan sistolik dan diastolic;
(5) denyut jantung: bradikardia dihasilkan oleh tindakan refleks dari baroreseptor
carotid-aorta dan saraf vagus. Disritmia jantung jarang ditemukan, bahkan setelah
pemberian phenylephrine dalam dosis besar.

Tindakan kardiovaskular phenylephrin adalah sebagai berikut (Malamed, 2013) :


(1) peningkatan tekanan sistolik dan diastolic;
(2) refleks bradikardia;
(3) curah jantung sedikit menurun (akibat tekanan darah meningkat dan bradikardia);
(4) vasokonstriksi kuat (sebagian besar vaskular menyempit, resistensi perifer
meningkat secara signifikan) tetapi tanpa kongesti vena yang nyata;
(5) jarang dikaitkan provokasi disritmia jantung.

Phenylephrine tidak memiliki efek pada heart contractile force, namun memiliki
efek pada arterial blood pressure dan denyut jantung. Dimana terjadi peningkatan
karena phenylephrine memiliki efek pada tekanan sistolik dan diastolic namun karena
juga memiliki efek vasokonstriksi yang kuat maka terlihat juga adanya penurunan pada
grafik. Sedangkan, pada denyut jantung terjadi naik dan turun karena phenylephrine
memiliki efek kronotropik dan inotropic yang kecil karena efek utamanya lebih pada
reseptor -1.

ASETILKOLIN

Asetilkolin bekerja pada reseptor muskarinik (M2) di simpul sinoatrial dan


melalui mekanisme penghambatan protein G, mengurangi produksi cAMP di dalam sel.
Penghambatan pada CAMP, mengurangi laju depolarisasi dan memperlambat detak
jantung (Noble, et al., 2010). Asetilkolin juga dapat mensitmulasi reseptor M2 di
jantung dan menyebabkan efek hiperpolarisasi yang dihasilkan dimediasi oleh aktivasi
saluran K+ dan menyebabkan aktivitas nodal S-A dan A-V berkurang (Shanbhag, 2008).
Asetilkolin juga menstimulasi reseptor M3 dari sel endotel vascular, yang
melepaskan faktor relaksasi yang bergantung pada endothelium (EDRF; NO) yang
menyebabkan efek vasodilatasi dan penurunan tekanan darah. Tekanan darah juga
mungkin turun secara drastis karena resistensi pembuluh darah perifer dan aliran balik
vena yang menurun (Shanbhag, 2008). Selain itu, dapat juga terjadi hipotensi
ortostatik/postular, berkurangnya kontraktilitas dan takikardia (Katzung, 2012).

Tindakan asetilkolin terhadap jantung bergantung pada 3 faktor (Bader, 2008) :


(1) pelepasan asetilkolin dari neuron postsinaptik vagal;
(2) degradasi asetilkolin dan aksinya pada mAChR pada membran sel jantung;
(3) afinitas reseptor dan pensinyalan intraseluler.
Asetilkolin tidak memiliki efek pada heart contractile force. Namun, terlihat
efek asetilkolin pada denyut jantung dan juga arterial blood pressure. Pada grafik
denyut jantung, teramati bahwa yang lebih signifikan terjadi adalah penurunan denyut
jantung. Hal ini disebabkan karena penghambatan cAMP menyebabkan depolarisasi
menjadi berkurang dan akhirnya memperlambat denyut jantung. Selan itu, arterial
blood pressure juga teramati mengalami penurunan akibat efek vasodilatasi (efeknya
pada reseptor M3 yang menghasilkan EDRF dan NO) dan adanya resistensi pembuluh
darah perifer serta aliran balik vena yang menurun.

GLYCERYL TRINITRATE

Berupa prodrug yang terurai membentuk nitric oxide (NO) yang mengaktifkan
guanylyl cyclase, sehingga meningkatkan kadar siklik guanosine monophosphate
(cGMP). Protein kinase G diaktifkan dan protein kontraktil difosforilasi. Dilatasi vena
sistemik menurunkan preload dan kebutuhan oksigen jantung, sementara dilatasi arteri
coroner meningkatkan aliran darah dan pengiriman oksigen ke miokardium (Battista,
2012).
Glyceryl trinitrate tidak memiliki efek pada heart contractie force. Namun, ia
memiliki efek pada denyut jantung dan juga arterial blood pressure. Pembentukan nitric
oxide menyebabkan vasodilatasi pada arteri sehingga menyebabkan penurunan
afterload dan tekanan darah (Noble, et al., 2010). Sedangkan pada denyut jantung,
melalui efek pelebaran arteri koroner dan perifer, glyceryl trinitrate mengurangi preload
dan konsumsi oksigen miokardil. Efek potensial inilah yang kemudian menyebabkan
peningkatan refleks denyut jantung yang teramati pada grafik (Chang and Daly, 2006).

CROMAKALIM

Cromakalim bekerja dengan membuka saluran kalium (K+) di plasmalemma sel


otot polos (Garfield and Tabb, 2019). Berikut adalah beberapa efek yang dimiliki oleh
cromakalim (Ganten and Mulrow, 1990):
(1) memiliki efek intraseluler untuk mengurangi konsentrasi Ca2+ bebas;
(2) dapat menurunkan tekanan darah tergantung dengan dosis yang diberikan;
(3) memiliki efek anti-vasokonstriksi dan efeknya paling besar bila dibandingkan
dengan pinacidil dan nicorandil;
(4) efek cromakalim terhadap tekanan sistolik dan diastolic saat istirahat tergolong
rendah/kecil;
(5) dapat meningkatkan denyut jantung;
(6) pada pasien hipertensi, cromakalim juga dapat menurunkan mean arterial
pressure.
Cromakalim tidak memiliki efek pada heart contractile force. Namun, memiliki efek pada
arterial blood pressure dan sedikit efek pada denyut jantung. Efek kecil yang teramati pada
denyut jantung bisa dijelaskan karena menurut penelitian yang dilakukan oleh Baird, et al. dan
Williams, et al. hanya cromakalim dengan dosis tinggi (1,5 mg) yang dapat meningkatkan denyut
jantung (Salmon, et al., 1991) sehingga mungkin pada percobaan kali ini yang hanya
menggunakan dosis kecil, efek tersebut belum dapat diamati. Sesuai dengan cara kerjanya yaitu
dengan membuka saluran K+, cromakalim dapat menurunkan tekanan darah.

ASETILKOLIN

Asetilkolin bekerja pada reseptor muskarinik 2 (M2) di simpul sinoatrium dan melalui mekanisme
penghambatan protein G yang mengurangi produksi cAMP didalam sel. Penghambatan pada
cAMP akan mengurangi laju depolarisasi dan memperlambat detak jantung (Noble, et al., 2010).
Asetilkolin dapat menstimulasi reseptor M2 di jantung dan menyebabkan efek hiperpolarisasi yang
dihasilkan yang dimediasi oleh aktivasi saluran-saluran K+ dan menyebabkan aktivitas nodal S-A
dan A-V berkurang. (Shanbhag, 2008)

Asetilkolin juga dapat menstimulasi reseptor M3 dari sel endotel vaskular yang melepaskan faktor
relaksasi yang bergantung pada endothelium, yang menyebabkan efek vasodilatasi dan penurunan
tekanan darah. Tekanan darah juga dapat menurun secara drastis karena resistensi pembuluh darah
perifer dan aliran balik vena yang menurun (Shanbhag). Selain itu, dapat terjadi hipotensi
ortostatik atau postular dan berkurangnya kontraktilitas dan takikardia. (Katzung, 2012)

Tindakan asetilkolin terhadap jantung bergantung pada tiga faktor yaitu:

- Pelepasan asetilkolin di neuron postsinaps vagal


- Degradasi asetilkolin dan aksinya pada mAChR pada membran sel jantung
- Afinitas reseptor dan pesinyalan intraseluler. (Bader, 2008)

Pada grafik, diamati asetilkolin tidak memiliki efek pada heart kontraktil force (HCF). Tetapi bisa
terlihat efek asetilkolin pada denyut jantung dan juga pada ABP dan yang lebih sering terjadi
adalah penurunan denyut jantung. Penyebabnya karena penghambatan cAMP sehingga terjadi
depolarisasi yang berkurang dan akhirnya memperlambat denyut jantung. Selain itu, ABP juga
mengalami penurunan karena efek dari vasodilatasi dan adanya resistensi pembuluh darah perifer
serta aliran balik vena yang menurun.

GLISERIL TRINITRAT

Gliseril trinitrat berupa produk yang akan terurai membentuk nitric oxide (NO) yang akan
mengaktifkan guanilil silase, sehingga meningkatkan kadar siklik guanosine monofosfat (cGMP).
Protein kinase G diaktifkan dan protein kontraktil difosforilasi. Dilatasi Vena sistemik akan
menurunkan preload dan kebutuhan oksigen jantung sementara dilatasi arteri meningkatkan aliran
darah dan mengirim oksigen ke miokardium.(Battista, 2012)

Gliseril trinitrat tidak memiliki efek pada heart contractile force (HCF) tetapi memiliki efek
pada denyut jantung dan juga arterial blood pressure (ABP). Pembentukan nitric oxide
menyebabkan vasodilatasi pada arteri sehingga menyebabkan penurunan afterload dan tekanan
darah. Sedangkan pada denyut jantung, efek pelebaran arteri koroner dan perifer, gliseril trinitrat
akan mengurangi preload dan konsumsi oksigen myocardial. Efek inilah yang menyebabkan
peningkatan refleks denyut jantung yang teramati pada grafik. (Chang, 2006)

CROMAKALIM

Cara kerja Cromakalim yaitu dengan membuka saluran kalium (K+) di plasmalemma sel
otot polos (Garfield and Tabb, 2019). Efek yang dihasilkan oleh Cromakalim adalah memiliki
efek intraseluler untuk mengurangi konsentrasi Ca2+ bebas, dapat menurunkan tekanan darah
tergantung dengan dosis yang diberikan, memiliki efek anti-vasokonstriksi dan efeknya paling
besar bila dibandingkan dengan pinacidil dan nicorandil, tekanan sistolik dan diastolic saat
istirahat tergolong rendah, dapat meningkatkan denyut jantung, dan dapat menurunkan mean
arterial pressure pada pasien hipertensi. (Ganten and Mulrow, 1990)

Cromakalim tidak memiliki efek pada HCF (heart contratctile force). Tetapi memiliki efek
pada ABP (arterial blood pressure) dan sedikit pada denyut jantung. Sehingga sesuai cara kerjanya
yaitu dengan membuka saluran K+ dan dapat menurunkan tekanan darah. Pada dosis 1,5 mg
(termasuk dosis tinggi) cromakalim dapat meningkatkan denyut jantung. (Salmon, et al., 1991)

L-NOARG

Nitric oxide merupakan vasodilator endogen kuat yang mengatur tonus pembuluh darah
dan perfusi organ. Nitric oxide terbentuk secara endogen dari oksidasi terminal guanidino nitrogen
asam amino L-arginin oleh enzim nitric oxide synthase (NOS). L-arginin seperti nitro-L-arginine
(L-NA) dan monomethyl-L-arginin (L-NMMA) sebagai inhibitor dari NOS. Pemberian senyawa-
senyawa ini pada hewan dan manusia, dengan atau tanpa syok septik, akan membawa peningkatan
dalam tekanan arteri rata-rata (MAP) tetapi juga depresi yang signifikan pada curah jantung (CO).
(Tabrizi-Fard and Fung, 1998).

Terdapat beberapa efek yang ditimbulkan oleh L-NOARG:


- Pada tekanan darah, efeknya tidak bergantung pada pengaruh simpatis atau parasimpatis.
Hal ini mungkin disebabkan oleh efek langsung vasokonstriksi akibat blokade ganglionik.
- Peningkatan denyut jantung hanya saat saraf otonom diblok secara penuh.
- Menurunkan denyut jantung akibat saraf ganglionik yang terblokir penuh.
- Peningkatan tekanan darah yang mengaktifkan aferen baroreseptor akibat aktivasi
langsung maupun tidak langsung dari persarafan vagal parasimpatis dari jantung.
- Tidak mempengaruhi laju denyut.
- Dapat juga menghasil efek kronotropik positif maupun negatif. (Fellet, et al., 2003)

L-NOARG tidak memiliki efek pada heart contractile force (HCF). Tetapi efek yang dapat
diamati adalah denyut jantung dan arterial blood pressure (ABP). Denyut jantung dan ABP
mengalami penurunan dan peningkatan. Hal ini terjadi karena vasodilatasi yang dihasilkan akan
menurunkan tekanan darah sedangkan peningkatann dari ABP dan denyut jantung mungkin terjadi
akibat aktivasi dari aferen baroreseptor akibat aktivasi dari persarafan vagal parasimpatis dari
jantung.. Sedangkan, pada denyut jantung, penurunan dan peningkatannya dapat terjadi karena
nitro arginine dapat menghasilkan efek kronotropik baik positif maupun negatif.

8-S-PTHEOPHYLLINE

Theophylline merupakan inhibitor poten dari reseptor adenosine. (Seth and Seth, 2009).
Mekanisme kerjanya pada penghambatan fosfodiesterase, dimana perubahan dalam pergerakan
kalsium, blokade reseptor adenosin, antagonisme prostaglandin dan perubahan cAMP yang
mengikat protein pengikat (Helms, et al., 2006).

Theophylline tidak memiliki efek pada heart contractile force (HCF), namun obat ini
memiliki efek pada denyut jantung dan efeknya sedikit pada arterial blood pressure (ABP).
Theophylline dapat meningkatkan tekanan darah karena kerjanya yang menghambat
fosfodiesterase dan pengaruhnya pada proses pengikatan cAMP. Theophylline juga dapat
menurunkan denyut jantung. Hal ini disebabkan karena pengaruhnya pada Ca2+ dan cAMP yang
dapat memperlama konduksi sehingga kemudian dapat menurunkan denyut jantung.
VERAPAMIL

Verapamil merupakan calcium channel blockers (CCB) yang mekanisme kerjanya dengan
memblokir saluran Ca2 + tipe-L untuk mengurangi masuknya Ca2 + ke dalam sel sehingga
mengurangi kontraksi miosit. Verapamil kurang selektif dan bertindak langsung pada jaringan
jantung untuk mengurangi kontraktilitas dan memperlambat konduksi pada nodus AV (Batchelder,
2011).

Verapamil termasuk obat yang mempengaruhi heart contractile force (HCF. Cara kerjanya
yaitu menghambat perpindahan ion kalsium di jantung dan membran sel otot arteri (Aschenbrenner
and Venable, 2009). Akibatnya jumlah kalsium menjadi sedikit sehingga kekuatan kontraksinya
akan menurun. Dari grafik, dapat terlihat bahwa verapamil memiliki efek terhadap arterial blood
pressure (ABP), ini dikarenakan penurunan resistensi vascular.. Sedangkan, pada denyut jantung
menyebabkan vasodilatasi pada vasodilatasi pada arteri perifer sehingga verapamil kemudian
menghasilkan efek kronotropik, dromotropik dan inotropic yang lebih negatif daripada DHP (Seth
and Seth, 2009).

CAPTOPRIL

Captopril adalah penghambat enzim pengonversi angiotensin (ACE). Mekanisme kerjanya


adalah dengan menghambat ACE dan mencegah konversi angiotensin I menjadi angiotensin II,
yang merupakan vasokonstriktor endogen yang kuat serta stimulan untuk pelepasan aldosteron.
Hal ini mengurangi resistensi perifer total (TPR) dan kemungkinan volume darah, yang mengarah
pada penurunan tekanan darah dan dapat meningkatkan curah jantung. Disarankan bahwa
angiotensin II juga terlibat dalam hipertrofi otot jantung dan fibrosis, yang mungkin dihambat oleh
pemberian captopril.

Beberapa efek hipotensif dari captopril juga dapat dimediasi melalui peningkatan kadar
vasodilator bradykinin, yang jika tidak akan dinonaktifkan oleh ACE. Penurunan tekanan darah
setelah pemberiannya ditandai pada individu yang kekurangan garam, di mana sistem renin-
angiotensin sangat aktif. Captopril menyebabkan peningkatan aliran darah ginjal pada pasien
dengan hipertensi dan atau gagal jantung.

Pada pasien dengan gagal jantung, dapat mengurangi denyut jantung, mengurangi
afterload, menyebabkan natriuresis (karena peningkatan aliran darah ginjal dan berkurangnya
kadar aldosteron) dan venodilatasi, yang mungkin juga menyebabkan preload. Detak jantung dan
kadar katekolamin meningkat sangat sedikit sebagai respons terhadap penurunan tekanan darah,
meskipun captopril tidak merusak mekanisme baroreflex (Saeb-Parsy, et al., 1999).

Captopril tidak memiliki efek pada heart contractile force (HCF), sedikit efek pada arterial
blood pressure (ABP) dan efek yang cukup signifikan pada denyut jantung. Captopril dapat
menurunan tekanan darah sebab efek vasokonstriksi dari angiotensin II dihambat sehingga
mengurangi resistensi perifer serta volume darah dan terjadi penurunan tekanan darah. Pada grafik,
terlihat terjadi kenaikan denyut jantung.

GLIBENKLAMIDE

Glibenclamide adalah generasi kedua sulphonylureas yang mekanisme kerjanya terikat


pada subunit SUR dari saluran K+ -ATP pada sel beta yang mengarah ke penutupan Saluran K+.
Proses ini pada akhirnya menghasilkan augmentasi fase pertama dan sekresi insulin fase kedua
dalam cara yang bergantung pada glukosa dan independent

Glibenclamide juga terbukti memiliki efek inotropik positif sehingga menghasilkan


peningkatan yang signifikan dalam kontraktilitas miokard. Obat ini juga terbukti meningkatkan
konsentrasi Ca2+ intraseluler pada kardiomiosit bergantung dosis yang diberikan.

Glibenclamide tidak memiliki efek pada heart contractile force (HCF) dan efeknya sangat
sedikit terlihat baik pada arterial blood pressure (ABP) maupun pada denut jantung. Mekanisme
kerjanya yang berhubungan dengan penutupan saluran K+ dapat menjelaskan mengapa sempat
terjadi penurunan pada denyut jantung saat obat ini digunakan. Sedangkan, glibenclamide juga
diketahui memiliki efek yang kecil pada tekanan darah sehingga efeknya tidak terlalu terlihat

ANGIOTENSIN II

Pada grafik menjelaskan bahwa Angiotensin II tidak memiliki efek pada heart contractile
force (HCF). Namun, angiotensin II memiliki efeknya pada arterial blood pressure (ABP) dan
denyut jantung. Pada arterial blood pressure, teramati bahwa angiotensin II pertama-tama
meningkatkan tekanan darah. Hal ini terjadi karena 4 mekanisme yang sudah dijelaskan namun
efeknya tidak dapat berlangsung lama sehingga kemudian teramati bahwa grafik menjadi stabil.
Ketika ada penurunan tekanan darah secara tiba-tiba, misalnya karena kehilangan darah atau
karena vasodilatasi, ada sedikit peningkatan konsentrasi angiotensin II yang mengakibatkan
respons tekanan yang cepat karena peningkatan tiba-tiba pada resistensi perifer total, dan ini
membantu mempertahankan tekanan darah dalam situasi seperti itu.
Angiotensin II juga meningkatkan kontraktilitas jantung dan denyut jantung. Peningkatan
kontraktilitas jantung disebabkan oleh aksi langsung, dengan membuka saluran Ca2+ yang terjaga
tegangannya dalam miosit. Peningkatan denyut jantung disebabkan oleh fasilitasi simpatik dan
pelepasan katekolamin adrenal. Peningkatan cepat dalam tekanan darah merangsang refleks
baroreseptor yang menurunkan tonus simpatis dan meningkatkan tonus vagal. Angiotensin II dapat
meningkat, menurun atau tidak menghasilkan perubahan dalam denyut jantung, kontraktilitas
jantung dan curah jantung. Curah jantung tampaknya memiliki peran yang tidak signifikan dalam
respon tekanan cepat terhadap angiotensin II (Seth and Seth, 2009). Hal ini kemudian dapat
menjelaskan mengapa tidak tampak peningkatan denyut jantung ketika diberikan angiotensin II
kepada tikus, karena seperti yang sudah dijelaskan diatas, tidak terjadi peningkatan tekanan darah
yang signifikan sehingga tidak terjadi respon cepat untuk menanggulangi hal ini dan akhirnya tidak
tampak adanya peningkatan kontraktilitas maupun denyut jantung.

DIGOXIN

Pada grafik dapat teramati bahwa, digoxin memiliki efek baik pada heart contractile force,
arterial blood pressure maupun pada denyut jantung. Pada heart contractile force, teramati bahwa
terdapat kenaikan pada dosis yang agak lebih tinggi. Hal ini dapat terjadi karena efek langsung dari
digoxin adalah untuk memperkuat kontraktilitas dari jantung (inotropic positif) yang bisa terjadi
karena digoxin meningkatkan pergerakan dari ion kalsium melewati membran sel miokardial
selama depolarisasi. Dan karena kalsium diperlukan untuk kontraksi, maka kontraksi yang lebih
kuat dapat dihasilkan dengan bertambahnya jumlah kalsium, pertambahan jumlah kalsium ini
dapat terjadi karena digoxin secara langsung menghambat enzim Na+/K+ - ATPase. Sedangkan
pada grafik denyut jantung, teramati bahwa terdapat grafik yang naik maupun turun. Hal ini dapat
dijelaskan karena tindakan tidak langsung digoxin adalah dengan menirukan efek stimulasi dari
saraf yafus. Peningkatan pada aktivitas saraf vafus menyebabkan penurunan nodus SA dan
memperlama konduksi dari nodus AV yang dikenal sebagai efek dromotropik (negatif). Akibat
waktu konduksi yang lama, denyut jantung menjadi lambat. Sehingga terlihat grafik menjadi
menurun. Namun, pada dosis yang lebih tinggi, denyut jantung kembali naik karena efek
penurunan denyut jantung hanya efektif pada pasien dengan gagal jantung sehingga pada pasien
normal denyut jantung kembali lagi ke normal begitu pula dengan tekanan darah. Namun, pada
efek digoxin pada tekanan darah cukup bervariasi.
MILRINONE

Pada grafik terlihat bahwa milrinone memiliki efek meningkatkan denyut jantung,
menurunkan tekanan darah dan terakhir banyak efek pada heart contractile force. Peningkatan
yang terjadi pada heart contractile force dapat dijelaskan karena penghambatan dari
fosfodiesterase membuat kalsium tersedia dalam jumlah yang banyak sehingga kekuatan kontraksi
meningkat. Sedangkan, untuk tekanan darah, milrinone dapat menurunkannya karena efek
vasodilatasi yang diberikannya melalui peningkatan intraseluler cAMP yang dicapai dengan
menghambat enzim fosfodiesterase. Namun, peningkatan denyut jantung ini dapat terjadi karena
milrinone juga diketahui memiliki efek kronotropik positif.

ADENOSINE

Pada grafik, dapat terlihat bahwa adenosine memiliki efek menurunkan baik arterial blood
pressure maupun denyut jantung. Hal ini dikarenakan adenosine mempengaruhi saluran K+
adenosine-sensitif dan produksi cAMP sehingga konduksinya menjadi lebih panjang. Konduksi
yang panjang kemudian menyebabkan denyut jantung menurun. Selain itu, efek adenosine
terhadap arterial blood pressure adalah karena efeknya yaitu vasodilatasi akibat sensivitas
tingginya terhadap reseptor adenosine A2a. Adenosin juga termasuk salah satu obat yang
mempengaruhi heart contractile force, hal ini disebabkan karena adenosine memberikan efek
inotropic negatif yang dimediasi oleh A1AR yang tidak secara langsung meregulasi kontraktilitas
miokardial, sehingga terlihat pada grafik terjadi penurunan pada heart contractile force.

PROPANOLOL

Pada grafik, dapat dilihat bahwa propranolol tidak terlalu mempunyai efek pada heart
contractile force dan arterial blood pressure, namun obat ini memiliki efek terutama pada denyut
jantung. Propranolol memiliki efek pada denyut jantung akibat efek chronotropic positifnya yang
berhubungan dengan reseptor 1 sedangkan pada tekanan darah efeknya kurang terlihat meskipun
adanya penurunan karena pemberian propranolol meskipun secara kronis tidak dapat menyebabkan
perubahan pada tekanan darah sebab perubahan ini hanya bisa terlihat pada pasien yang mengalami
hipertensi.
ATENOLOL

Atenonol tidak memiliki efek pada heart contractile force. Pada grafik, teramati bahwa
atenolol memiliki sedikit efeknya pada arterial blood pressure dan memiliki efek yang dapat
terlihat pada denyut jantung. Efeknya pada denyut jantung dapat dikaitkan dengan mekanisme
kerjanya yaitu selektif pada 1 adrenoseptor dan akhirnya menghasilkan efek kronotropik negatif.
Sedangkan efeknya kecil pada arterial blood pressure tetapi tetap menurunkan dengan mekanisme
atenolol mengurangi impuls saraf ke jantung dan pembuluh darah sehingga membuat jantung
berdenyut lebih lambat dan akhirnya mengurangi tekanan darah.

ATROPINE

Atropin tidak memiliki efek pada heart contractile force, namun memiliki sedikit efek pada
arterial blood pressure dan efek yang cukup signifikan pada denyut jantung. Dalam hal denyut
jantung, atropine dapat meningkatkan denyut jantung karena atropine mengurangi tonus vagal
sehingga meningkatkan denyut jantung dan meningkatkan konduksi bundle His. Alasan lainnya
adalah asetilkolin bekerja dengan menghambat produksi cAMP sehingga efeknya adalah
memperlambat denyut jantung, namun karena asetilkolin disini dihambat atropine maka tidak
terjadi mekanisme tersebut dan yang terjadi justru sebaliknya (yaitu peningkatan denyut jantung).
Efeknya pada arterial blood pressure meskipun hanya menurunkan sedikit dapat dijelaskan dengan
cara kerja asetilkolin yang dapat menimbulkan vasodilatasi pada reseptor M3 akibat adanya EDRF
dan NO namun karena asetilkolin sekali lagi dihambat oleh atropine sehingga tidak ada efek
vasodilatasi sehingga tidak menurunkan tekanan darah.
i. Kesimpulan

Golongan yang termasuk penyekat ß-adrenoreseptor seperti propanolol dan atenolol akan
menyebabkan penurunan tekanan darah dan obat ini juga menurunkan aliran simpatik dari SSP
dan menghambat pelepasan renin dari ginjal. Oleh karena itu obat dari golongan tersebut dapat
mengurangi pembentukan sekresi aldosteron dan Angiotensin II. Golongan inhibitor ACE
seperti captropil yang akan menurunkan tekanan darah dengan mengurangi resistensi vaskuler
perifertanpa meningkatkan curah jantung, kecepatan maupun kontraktilitas. Golongan obat
tersebut akan menghambat enzim pengkonversi angiotensinogen yang selanjutnya akan
diubah menjadi Angiotensin I membentuk vasokontriksi poten Angiotensin II. Akan terjadi
vasodilatasi karena adanya efek kombinasi vasokontriksi yang lebih rendah yang disebabkan
oleh berkurangnya Angiotensin II dan vasodilatasi dari peningkatan bradykinin. Golongan
Antagonis Angiotensin II seperti losartan yang akan menurunkan tekanan darah dengan cara
memblok pada reseptor angiotensin dan mempunyai sifat yang sama dengan inhibitor ACE
dengan menimbulkan vasodilatasi dan meningkatkan sekresi pada aldosterone.
Golongan penyekat kanal kalsium seperti verapamil yang akan menurunkan tekanan darah
dengan cara menghambat masuknya kalsium kedalam sel yang akan menyebabkan resistensi
perifer.

j. Usulan Penelitian

Untuk mengatasi/mencegah serangan akut angina pectoris, digunakan preparat nitrat


organik kerja pendek, yakni nitrogliserin sublingual dan isosorbid dinitrat sublingual. Untuk
pencegahan jangka panjang digunakan nitrat kerja panjang, beta bloker. Nitrat kerja panjang
seringkali menimbulkan toleransi terhadap efek terapi. Untuk angina dengan spasme koroner
yang dominan, antagonis kalsium merupakan obat terpilih, sedangkan beta-bloker
merupakan kontraindikasi. Untuk angina of effort, beta-bloker sama efektifnya dengan
antagonis kalsium, pilihan tergantung pada kondisi pasien.
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, B. 2010, Tumbuhan Dengan Kandungan Senyawa Aktif yang Berpotensi Sebagai Bahan
Antifertilitas. Adabia Press, Jakarta

Aschenbrenner, D.S. and Venable, S.J. 2009, Drug Theraphy in Nursing, 3rd ed., Wolters
Kluwer Health, United States of America.
Atta-ur-Rahman and Choudhary, M.I. 2019, ‘Adenosine in Physiology and Pathophysiology’,
Frontiers in Cardiovascular Discovery, (4):17-47.

Batchelder, A., Rodrigues, C. and Alrifai, Z. 2011, Rapid Clinical Pharmacology: A Student
Formulary, Wiley-Blackwell, United Kingdom.

Battista. 2012, Crash Course: Pharmacology, 4th ed., Mosby Elsevier, Misouri.
Bennett, P. N. and Brown, M. J. 2008, Clinical Pharmacology, 10th ed., Churchill Livingstone
Elsevier, London.
Chang, E., Daly, J. and Elliott, D. 2006, Pathophysiology Applied to Nursing Practice, Mosby
Elsevier Australia, Australia.

Curley, M., Liebers, J., and , Maynard, R. 2017, ‘Continous Intravenous Milrinone Therapy in
Pediatric Outpatiens’, Journal of Infusion Nursing, 40(2):92-96.

Curtis, K. and Ramsden, C. 2011, Emergency and Trauma for Nurses and Paramedics, Mosby
Elservier Australia, Australia.

Deza, F., Madona, P. & Tianur, 2013. Pengujian Parameter Tekanan Darah dan Detak Jantung
pada Alat Pendeteksi Tingkat Stress Manusia. Politeknik Caltex Riau.
Ebadi, M. 2008, Desk Reference of Clinical Phamracology, 2nd ed., CRC Press, United States.
Essinada, V. 2015, ‘Mortilitas Operasi Jantung Ganti Katup di RSUP Dr. Kariadi Semarang
Periode Januari 2014 – Desember 2014’, Laporan Hasil Penelitian, Karya Tulis ilmiah,

Sarjana Kedokteran Umum, Universitas Diponegoro, Semarang.


Fellet, A.L., Di Verniero, C., Arza, P., Tomat, A., Verela, A., Arranz, C. and Balaszczuk, A.M.
2003, Effect of acute nitric oxide synthase inhibition in the modulation of heart rate in rats,
Brazilian Journal of Medical and Biological Research, 36:669-676.

Ganten, D. and Mulrow, P.J. (eds). 1990, Pharmacology of Anti-hypertensive Therapeutics,


Springer-Verlag, Berlin.
Garfield, R.E and Tabb, T.N. 2019, Control of Uterine Contractility, CRC Press, United States.

Godfraind, T., Mancia, G., Abbracchio, M.P., Aguilar-Bryan, L. and Govoni, S. (eds). 1995,
Pharmacological Control of Calcium and Potassium Homeostasis: Biological,
Therapeutical and Clinical Aspects, Springer Science+Business Media, Germany.

Golan, D. E., Tashjian, Jr., A.H., Armstrong, E. J. and Armstrong, A.W. 2008, Principles of
Pharmacology: The Pathophysiologic Basis of Drug Theraphy, 2nd ed., Wolters Kluwer,
United States of America.

Gunawan, S. G., dkk. 2012, Farmakologi dan Terapi, Balai Penerbit FKUI, Jakarta.

Haveles, E.B. 2011, Applied Pharmacology for the Dental Hygiene, 6th ed., Mosby Elsevier,
Misouri.

Helms, R.A, Quan, D.J., Herfindal, E.T. and Gourley, D.R. 2006, Textbook of Therapuetics:
Drug and Disease Management, 8th ed., Lippincott Williams & Wilkins, Philadelphia.

Katzung, B.G., Masters, S.B. and Trevor, A.J. 2012, Basic & Clinical Pharmacology, 12th ed.,
The McGraw-Hill Companies, Inc., New York.

Khatib, S.Y. and Boyett, M.R. 2003, ‘Effects of glyburide (glibenclamide) on myocardial
function in Langendorff perfused rabbit heart and on myocardial contractility and slow
calcium current in guinea-pig single myocytes’, in Kardami, E., Hryshko, L. and Mesaeli,
N. (eds), Cardiac Cell Biology, Springer Science+Business Media, Germany.
La Jolla. 2017, Giapreza (angiotensin II) Injection for Intravenous Infusion Prescribing
Information. San Diego, CA.

Larson, D.L. 2017, Clinical Chemistry: Fundamentals and Laboratory Techniques, Elsevier,
Amsterdam.

Liley, L.L., Collins, S.R. and Snyder, J.S. 2020, Pharmacology and the Nursing Process, 9th
ed., Elsevier, Amsterdam.

Malamed, S.F. 2013, Handbook of Local Anesthesia, 6th ed., Mosby Elsevier, Misouri.
Noble, A., Johnson, R., Thomas, A. and Bass, P. 2010, The Cardiovascular System: Basic
Science and Clinical Conditions, 2nd ed., Elsevier, Amsterdam.

Rahardja, K., dan Tjay, T.H. 2017, Obat-Obat Penting, PT. Gramedia, Jakarta.
Ramlaul, A. and Vosper, M. (eds). 2013, Patient Centred Care in Medical Imaging and
Radiotheraphy, Churchill Livingstone Elsevier, London.

Saeb-Parsy, K., Assomull, R.G., Khan, F.Z., Saeb-Parsy, K. and Kelly, E. 1999, Instant
Pharmacology, John Wiley & Sons, England.
Salmon, J.A., Garland, L.G., Hoyle, B.D., William, J., et al. 1991, Progress in Drug Research
Vol. 37, Springer, Basel.
Seth, S.D. and Seth, V. 2009, Textbook of Pharmacology, 3rd ed., Reed Elsevier India Private,
India.

Shanbhag, T.V. 2008, Prep Manual for Undergraduates: Pharmacology, 1st ed., Reed Elsevier
India Private Limited, India.

Storey, K.B. and Storey, J.M. (eds). 2002, Sensing, Signaling and Cell Adaptation Vol. 3,
Elsevier, Amsterdam.

Sweetman, S.C., (eds). 2009, Martindale: The Complete Drug Reference 36th edition,
Pharmaceutical Press, London, UK.

Tabrizi-Fard, M.A. and Fung, H.L. 1998, Effects of Nitro-L-Arginine on Blood Pressure and
Cardiac Index in Anesthezed Rats: A Pharmakokinetic-Pharmacodynamic Analysis,
Pharmaceutical Research, 15(7):1063-1068.
Vaz, M., Kurpad, A. and Raj, T. (eds). 2013, Guyton & Hall Textbook of Medical Physiology:
A South Asian Edition, Reed Elsevier India Private, India.

Webb, D., Benjamin, N., and Vallance, P. 1989, ‘The Potassium Channel Opening Drug
Cromakalim Produces Arterioselective Vasodilation In The Upper Limbs of Healthy
Volunteers’, British Journal of Clinical Pharmacology, 27(6): 757–761.

Wecker, L., Crespo, L., Dunaway, G., Faingold, C. and Watts, S. 2010, Brody’s Human
Pharmacology: Molecular to Clinical, Mosby Elsevier, Philadelphia.

Yagiela, J., Dowd, F., Johnson, B., Mariotti, A. and Neidle, E. 2011, Pharmacology and
Therapeutics for Dentistry, 6th ed., Mosby Elsevier, Misouri.
lamp
LAMPIRAN
UJI

Anda mungkin juga menyukai