Anda di halaman 1dari 5

Penatalaksanaan Peritonitis

A. Penanganan Preoperatif

 Resusitasi Cairan
Peradangan yang menyeluruh pada membran peritoneum menyebabkan
perpindahan cairan ekstraseluler ke dalam cavum peritoneum dan ruang intersisial.
Pengembalian volume dalam jumlah yang cukup besar melalui intravaskular
sangat diperlukan untuk menjaga produksi urin tetap baik dan status hemodinamik tubuh.
Jika terdapat anemia dan terdapat penurunan dari hematokrit dapat diberikan transfusi PRC
(Packed Red Cells) atau WB (Whole Blood). Larutan kristaloid dan koloid harus diberikan
untuk mengganti cairan yang hilang.
Secara teori, cairan koloid lebih efektif untuk mengatasi kehilangan cairan
intravaskuler, tapi cairan ini lebih mahal. Sedangkan cairan kristaloid lebih murah, mudah
didapat tetapi membutuhkan jumlah yang lebih besar karena kemudian akan dikeluarkan
lewat ginjal.
Suplemen kalium sebaiknya tidak diberikan hingga perfusi dari jaringan dan
ginjal telah adekuat dan urin telah diprodukasi.

 Antibiotik
Bakteri penyebab tersering dari peritonitis dapat dibedakan menjadi bakteri aerob
yaitu E. Coli, golongan Enterobacteriaceae dan Streptococcus, sedangkan bakteri anaerob
yang tersering adalah Bacteriodes spp, Clostridium, Peptostreptococci. Antibiotik berperan
penting dalam terpai peritonitis, pemberian antibiotik secara empiris harus dapat melawan
kuman aerob atau anaerob yang menginfeksi peritoneum.
Pemberian antibiotik secara empiris dilakukan sebelum didapatkan hasil kultur
dan dapat diubah sesuai dengan hasil kultur dan uji sensitivitas jika masih terdapat tanda
infeksi. Jika penderita baik secara klinis yang ditandai dengan penurunan demam dan
menurunnya hitung sel darah putih, perubahan antibiotik harus dilakukan dengan hati-hati
meskipun sudah didapatkan hasil dari uji sensitivitas.
Efek pemberian antibiotik pada peritonitis tergantung kondisi-kondisi seperti: (1)
besar kecilnya kontaminasi bakteri, (2) penyebab dari peritonitis trauma atau nontrauma, (3)
ada tidaknya kuman oportunistik seperti candida. Agar terapi menjadi lebih efektif, terpai
antibiotik harus diberikan lebih dulu, selama dan setelah operasi.
Pada umumnya Penicillin G 1.000.000 IU dan streptomycin 1 gram harus segera
diberikan. Kedua obat ini merupakan bakterisidal jika dipertahankan dalam dosis tinggi
dalam plasma. Kombinasi dari penicillin dan streptomycin juga memberikan cakupan dari
bakteri gram negatif. Penggunaan beberapa juta unit dari peniillin dan 2 gram streptomycin
sehari sampai didapatkan hasil kultur merupakan regimen terpai yang logis. Pada penderita
yang sensitif terhadap penicillin, tetracycline dosis tinggi yang diberikan secara parenteral
lebih baik daripada chloramphenicol pada stadium awal infeksi.
Pemberian clindamycin atau metronidazole yang dikombinasi dengan
aminoglikosida sama baiknya jika memberikan cephalosporin generasi kedua.
Antibiotik awal yang digunakan cephalosporin generasi ketiga untuk gram negatif,
metronidazole dan clindamycin untuk organisme anaerob.
Daya cakupan dari mikroorganisme aerob dan anerob lebih penting daripada
pemilihan terapi tunggal atau kombinasi. Pemberian dosis antibiotikal awal yang kurang
adekuat berperan dalam kegagalan terapi. Penggunaan aminoglikosida harus diberikan
dengan hati-hati, karena gangguan ginjal merupakan salah satu gambaran klinis dari
peritonitis dan penurunan pH intraperitoneum dapat mengganggu aktivitas obat dalam sel.
Pemberian antibiotik diberikan sampai penderita tidak didapatkan demam, dengan hitung sel
darah putih yang normal.

 Oksigen dan Ventilator


Pemberian oksigen pada hipoksemia ringan yang timbul pada peritonitis cukup
diperlukan, karena pada peritonitis terjadi peningkatan dari metabolism tubuh akibat adanya
infeksi, adanya gangguan pada ventilasi paru-paru. Ventilator dapat diberikan jika terdapat
kondisi-kondisi seperti (1) ketidakmampuan untuk menjaga ventilasi alveolar yang dapat
ditandai dengan meningkatnya PaCO2 50 mmHg atau lebih tinggi lagi, (2) hipoksemia yang
ditandai dengan PaO2 kurang dari 55 mmHg, (3) adanya nafas yang cepat dan dangkal.

 Intubasi, Pemasangan Kateter Urin dan Monitoring Hemodinamik


Pemasangan nasogastric tube dilakukan untuk dekompresi dari abdomen,
mencegah muntah, aspirasi dan yang lebih penting mengurangi jumlah udara pada usus.
Pemasangan kateter untuk mengetahui fungsi dari kandung kemih dan pengeluaran urin.
Tanda vital (temperature, tekanan darah, nadi dan respiration rate) dicatat paling tidak tiap 4
jam. Evaluasi biokimia preoperative termasuk serum elektrolit, kratinin, glukosa darah,
bilirubin, alkali fosfatase dan urinalisis.
B. Penanganan Operatif
Terapi primer dari peritonitis adalah tindakan operasi. Operasi biasanya dilakukan
untuk mengontrol sumber dari kontaminasi peritoneum. Tindakan ini berupa penutupan
perforasi usus, reseksi usus dengan anstomosis primer atau dengan exteriorasi. Prosedur
operasi yang spesifik tergantung dari apa yang didapatkan selama operasi berlangsung, serta
membuang bahan-bahan dari cavum peritoneum seperti fibrin, feses, cairan empedu, darah,
mucus lambung dan membuat irigasi untuk mengurangi ukuran dan jumlah dari bakteri
virulen.

 Kontrol Sepsis
Tujuan dari penanganan operatif pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
semua material-material yang terinfeksi, mengkoreksi penyebab utama peritonitis dan
mencegah komplikasi lanjut. Kecuali pada peritonitis yang terlokalisasi, insisi midline
merupakan teknik operasi yang terbaik. Jika didapatkan jaringan yang terkontaminasi dan
menjadi fibrotik atau nekrosis, jaringan tersebut harus dibuang. Radikal debridement yang
rutin dari seluruh permukaan peritoneum dan organ dalam tidak meningkatkan tingkat
bertahan hidup. Penyakit primer lalu diobati, dan mungkin memerlukan tindakan reseksi
(ruptur apendik atau kandung empedu), perbaikan (ulkus perforata) atau drainase
(pankreatitis akut). Pemeriksaan kultur cairan dan jaringan yang terinfeksi baik aerob
maupun anaerob segera dilakukan setelah memasuki kavum peritoneum.

 Peritoneal Lavage
Pada peritonitis difus, lavage dengan cairan kristaloid isotonik (> 3 liter) dapat
menghilangkan material-material seperti darah, gumpalan fibrin, serta bakteri. Penambahan
antiseptik atau antibiotik pada cairan irigasi tidak berguna bahkan berbahaya karena dapat
memicu adhesi (misal: tetrasiklin, povidone-iodine). Antibiotik yang diberikan cecara
parenteral akan mencapai level bakterisidal pada cairan peritoneum dan tidak ada efek
tambahan pada pemberian bersama lavage. Terlebih lagi, lavage dengan menggunakan
aminoglikosida dapat menyebabkan depresi nafas dan komplikasi anestesi karena kelompok
obat ini menghambat kerja dari neuromuscular junction. Setelah dilakukan lavage, semua
cairan di kavum peritoneum harus diaspirasi karena dapat menghambat mekanisme
pertahanan lokal dengan melarutkan benda asing dan membuang permukaan dimana fagosit
menghancurkan bakteri.

 Peritoneal Drainage
Penggunaan drain sangat penting untuk abses intra abdominal dan peritonitis lokal
dengan cairan yang cukup banyak. Drainase dari kavum peritoneal bebas tidak efektif dan
tidak sering dilakukan, karena drainase yang terpasang merupakan penghubung dengan
udara luar yang dapat menyebabkan kontaminasi. Drainase profilaksis pada peritonitis difus
tidak dapat mencegah pembentukan abses, bahkan dapat memicu terbentuknya abses atau
fistula. Drainase berguna pada infeksi fokal residual atau pada kontaminasi lanjutan.
Drainase diindikasikan untuk peradangan massa terlokalisasi atau kavitas yang tidak dapat
direseksi.

C. Pengananan Postoperatif
Monitor intensif, bantuan ventilator, mutlak dilakukan pada pasien yang tidak
stabil. Tujuan utama adalah untuk mencapai stabilitas hemodinamik untuk perfusi organ-
organ vital., dan mungkin dibutuhkan agen inotropik disamping pemberian cairan.
Antibiotik diberikan selama 10-14 hari, bergantung pada keparahan peritonitis. Respon
klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang normal, penurunan demam dan
leukositosis, ileus menurun, dan keadaan umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi
tergantung pada durasi dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin,
nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder.

1. Sumber : Marshall, JC. 2013. Intensive Care Management of Intra Abdominal Infection.
Critical Care Medicine

Anda mungkin juga menyukai