Anda di halaman 1dari 5

Bab 39

INFEKSI INTRA-ABDOMINAL
DEFINISI Infeksi intra abdominal adalah infeksi pada peritoneum atau retroperitoneal. Dua tipe infeksi intra abdominal yang akan dibahas pada bab ini: peritonitis dan abses. Peritonitis adalah respon inflamasi akut dari bagian dalam peritoneal terhadap mikroorganisme, bahan kimia, iradiasi, atau cedera tubuh. Peritonitis bisa digolongkan sebagai primer atau sekunder. Pada peritonitis primer, penyakit pada intra abdominal bisa tidak terlihat. Pada peritonitis sekunder, terlihat proses penyakit pada abdomen. Abses adalah kumpulan nanah yang dipisahkan oleh dinding dari jaringan sekitar. Abses biasanya mengandung pecahan dari jaringan yang nekrosis, bakteri, dan sel inflamasi. PATOFISIOLOGI Tabel 39-1 merangkum banyak penyebab dari peritonitis bakterial. Penyebab abses intra abdominal bisa melingkupi penyebab peritonitis, bahkan keduanya bisa muncul bergantian atau bersamaan. Appendiksitis adalah penyebab abses terbanyak. Tabel 39-1 Infeksi intra abdominal muncul karena masuknya bakteri ke ruang peritoneal atau retroperitoneal atau dari kumpulan bakteri pada organ intra abdominal. Ketika peritonitis muncul sebagai akibat dialisis peritoneal, flora normal kulit masuk melalui kateter peritoneal. Pada peritonitis sekunder, bakteri paling sering masuk ke peritoneum atau retroperitoneal karena gangguan integritas saluran cerna karena cedera atau trauma. Ketika bakteri menyebar ke peritoneum, proses inflamasi melibatkan hampir semua bagian dalam peritoneum. Peritonitis sering menyebabkan mortalitas karena efek pada banyak sistem organ. Pergeseran cairan dan endotoksin bisa menyebabkan hipotensi dan syok. Hilangnya cairan dari vaskulatur pada peritonitis serupa dengan luka bakar stadium 2 50% Abses muncul dari kombinasi aksi sel inflamasi (seperti netrofil), bakteri, fibrin, dan komponen inflamasi lainnya. Abses yang matang mempunyai kapsul dari fibrin yang mengisolasi bakteri dan cairan dari antimikroba dan mekanisme pertahanan tubuh, MIKROBIOLOGI Peritonitis bakterial primer sering disebabkan oleh organisme tunggal. Pada anak, patogen biasanya adalah Streptococcus pneumoniae atau streptococcus grup A. Ketika peritonitis yang terjadi dihubungkan dengan ascites sirrosis, organisme enterik (seperti Eschericia coli) yang biasanya berperan. Peritonitis pada pasien yang menjalani dialisis peritoneal seringkali merupakan flora normal kulit: Staphylococcus epidermidis, Staphylococcus aureus, streptococci, dan diphtheroides. Infeksi intra abdominal sekunder seringkali disebabkan banyak mikroba. Rerata jumlah isolat mikroorganisme dari situs intra abdominal yang terinfeksi berkisar dari 2,9-3,7 termasuk rerata 1,3-1,6 aerob dan 1,7-2,1 anaerob. Frekuensi bakteri tertentu yang diisolasi di intra abdominal diberikan pada Tabel 39-2

Kombinasi organisme aerob dan anaerob tampaknya meningkatkan patogenisitas. Pada infeksi intra abdominal, bakteri fakultatif bisa menyediakan lingkungan yang kondusif untuk pertumbuhan bakteri anaerob. Bakteri enterik aerob dan bakteri anaerob keduanya patogen pada infeksi intra abdominal. Bakteri aerob, terutama E.coli, tampaknya berperan pada mortalitas dini dari peritonitis, sedang bakteri anaerob adalah patogen utama pada abses, dengan Bacteroides fragillis mendominasi. Peran Enterococcus sebagai patogen masih belum jelas karena tidak menyebabkan peritonitis atau abses ketika diberikan tunggal pada hewan coba. Tabel 39-2 TAMPILAN KLINIK PERITONITIS Pada peritonitis bakterial, pasien paling sering merasakan nyeri yang akut. Pasien berbaring, biasanya telentang, dengan pinggangnya sedikit ditekuk. Pasien melindungi abdomennya, dengan pernafasan pendek dan sering. Ada pelunakan abdomen sewaktu pemeriksaan, dan setelah beberapa saat, otot abdominal menjadi kaku (abdomen seperti papan). Karena hilangnya cairan ke peritoneum dan muntah, pasien bisa tampak dehidrasi, dan terlihat penurunan volume urin. Awalnya, suhu tubuh pasien normal, tapi meningkat sampai 100-1020F. Jika peritonitis tidak ditangani, pasien bisa mengalami syok hipovolemi karena hilangnya cairan ke peritoneal, dinding intestinal, dan lumen. Ini bisa terjadi dengan sepsis. Evaluasi laboratorium untuk peritonitis biasanya menunjukkan leukositosis. Radiograf abdominal bisa berguna, karena udara bebas di abdomen (menunjukkan perforasi di abdomen) atau mengembangnya intestinal besar atau kecil sering terlihat. Peritonitis primer bisa terbentuk dalam periode hari sampai minggu, dengan bukti demam akut. Biasanya pasien merasakan mual, muntah (terkadang dengan diare), pelunakan abdominal, dan suara intestinal hipoaktif, meski tanda abdominal bisa bervariasi. Suhu tubuh pasien atau hitung sel darah putih bisa sedikit naik. Pasien dengan sirosis kondisi ensefalopati-nya bisa memburuk. Pasien peritonitis yang dihubungkan dengan chronic peritoneal dialysis (CPD) biasanya mempunyai nyeri dan pelunakan abdominal, bisa dengan mual dan muntah, tapi jarang dengan demam. Pada pasien ini, sisa dialisat yang keruh sering terlihat sebagai tanda pertama adanya peritonitis, mengindikasikan adanya bakteri dan sel inflamasi. ABSES Pasien dengan abses intra abdominal bisa mengeluh nyeri abdominal atau merasa tidak nyaman, tapi simtom ini tidak bisa diandalkan. Radiaograf bisa menunjukkan level air-cairan atau pergeseran kandungan normal intra abdominal dengan massa abses. Ultrasonik, computed tmography (CT) dan magnetic resonance imaging (MRI) bisa digunakan untuk menemukan abses intra abdominal. HASIL YANG DIINGINKAN Tujuan terapi adalah perbaikan semua penyakit atau cedera pada intra abdominal yang telah menyebabkan infeksi dan mengeluarkan nanah atau material abses dari abdomen.

Tujuan sekunder adalah mencapai perbaikan infeksi tanpa komplikasi organ utama atau efek samping perawatan. PERAWATAN PRINSIP UMUM Tiga terapi utama untuk penanganan infeksi intra abdominal adalah segera membersihkan/mengeluarkan kandungan abdomen, sokongan fungsi vital, dan terapi antimikroba yang sesuai untuk menangani infeksi. Antimikroba merupakan terapi tambahan yang penting untuk tindakan operasi pada penanganan infeksi intraabdominal; tetapi, penggunaan antimikroba tanpa tindakan operasi biasanya tidak cukup. Untuk situasi tertentu (seperti, kebanyakan kasus peritonitis primer), prosedur mengeluarkan kandungan abdomen bisa tidak diperlukan dan antimikroba menjadi dasar terapi. Pada peritonitis, diperlukan sejumah besar cairan intravena untuk mengembalikan volume vaskular dan meningkatkan fungsi kardia. PENANGANAN NON FARMAKOLOGI Peritonitis sekunder memerlukan tindakan operasi untuk mengangani patologi yang mendasari. Membuang material nanah dan abses, baik dengan tindakan operasi terbuka, atau mengeluarkan per kutan, merupakan elemen yang kritis pada penanganan abses intra abdominal. Diperlukan penggantian volume yang agresif untuk menjaga volume vaskular dan volume urin yang sesuai dan mengatasi asidosis. Pada jam-jam awal terapi, larutan intravena dalam volume besar (lactated Ringer) bisa diberikan untuk memulihkan volume intravaskular. Ini bisa diikuti pemberian lanjutan sampai 1 L/jam sampai dicapai keseimbangan cairan dalam beberapa jam. Pasien yang kehilangan darah signifikan (hematocrit 25%), bisa diberikan darah, biasanya dalam bentuk packed red cell. TERAPI FARMAKOLOGI Tujuan terapi antimikroba adalah mengendalikan bakteremi, mengurangi komplikasi terbentuknya nanah setelah kontaminasi bakteri, dan mencegah penyebaran infeksi. Regimen antimikroba empirik sebaiknya dimulai secepat mungkin begitu terlihat adanya infeksi intraabdominal. Patogen yang mungkin muncul, yang akan diatasi dengan antimikroba, dicantumkan pada Tabel 39-3. Tabel 39-4 mencantumkan regimen yang dianjurkan dan alternatifnya untuk kondisi tertentu. Ini adalah panduan umum, bukan aturan, karena ada banyak faktor yang tidak bisa dimasukkan ke tabel seperti ini. Rekomendasi Kebanyakan pasien dengan infeksi intra abdominal parah (ketika terjadi penyebaran peritonitis atau syok septik atau demam tinggi dengan menggigil) sebaiknya mendapat carbapenem (imipenem atau meropenem) atau kombinasi penisilin- laktamase inhibitor. Aminoglikosida dengan agen antianaerob seperti clindamycin atau metronidazole menjadi alternatif. Pemilihan agen spesifik atau kombinasi sebaiknya didasarkan pada biakan dan data kepekaan untuk peritonitis yang didapat dari CPD. Jika tidak terdapat data mikrobiologi, terapi empirik, seperti pada Tabel 39-4 bisa dimulai.

Pasien peritonitis yang akan menjalani CPD bisa menerima antimikroba parenteral atau intraperitoneal. Antimikroba intraperitoneal tunggal biasanya cukup, kecuali terdapat infeksi yang parah. Konsentrasi yang dianjurkan untuk antimikroba untuk irigasi intraperitoneal adalah 8 mg/l untuk gentamicin dan tobramycin, 1-3 mg/l untuk clindamycin, 50000 U/l untuk penisilin G, 125 mg/l untuk cephalosporin, 100-150 mg/l untuk ticarcillin atau carbenicillin, 50 mg/l untuk ampicillin, 100 mg/l untuk methicillin, 30 mg/l untuk vancomycin, dan 3 mg/l untuk aphotericin B. Tabel 39-3 Durasi terapi untuk peritonitis yang dihubungkan dengan CPD adalah 10-14 hari tapi bisa diperpanjang sampai 3 minggu. Terapi antimikroba sebaiknya dilanjutkan sampai cairan dialisis menjadi jernih, biakan negatif selama 2-3 hari, dan pasien asimtomatik. Cephalosporin anaerob atau penicillin yang spektrumnya diperluas efektif dalam pencegahan kebanyakan komplikasi setelah kontaminasi bakteri akut, seperti trauma abdominal ketika kandungan saluran cerna masuk ke peritoneum, dan begitu terlihat tanda infeksi segera setelah adanya cedera (dalam 2 jam) dan diperlukan tindakan operasi secepatnya. Kontaminasi intra abdominal akut, seperti setelah cedera karena trauma, bisa ditangani untuk periode singkat (24 jam). Untuk infeksi yang telah terjadi (peritonitis atau abses intra abdominal), bisa diberikan terapi antimikroba selama 7 hari. EVALUASI HASIL TERAPI Pasien sebaiknya tetap menjalani pemeriksaan untuk memastikan keberhasilan atau kegagalan terapi. Hasil yang tidak memuaskan pada pasien dengan infeksi intra abdominal bisa muncul dari komplikasi yang muncul di sistem organ lain. Komplikasi biasanya dihubungkan dengan mortalitas setelah infeksi intra abdominal adalah pneumonia. Begitu antimikroba diberikan dan terapi penting lainnya digunakan, kebanyakan pasien mengalami perbaikan kondisi dalam 2-3 hari. Biasanya, suhu tubuh kembali mendekati normal, tanda vital kembali stabil dan pasien tidak terlihat nyeri dan tertekan, dengan perkecualian rasa tidak nyaman dari insisi, pengeluaran, dan tube nasogastrik. Tabel 39-4 Dalam 24-48 jam, semestinya sudah didapat biakan bakteri aerob. Jika patogen yang dicurigai tidak peka terhadap antimikroba yang diberikan, regimen sebaiknya diganti jika pasien tidak menunjukkan perbaikan yang signifikan. Jika patogen yang diisolasi sangat peka terhadap salah satu antimikroba, dan kondisi pasien membaik, terapi antimikroba biasanya dihentikan. Dengan teknik biakan anaerob terkini dan lambatnya pertumbuhan organisme ini, anaerob biasanya baru diidentifikasi setelah 4-7 hari, dan informasi kepekaan sulit didapat. Untuk alasan ini, biasanya hanya ada sedikit data untuk merubah komponen anaerob dari regimen antimikroba. Superinfeksi pada pasien yang dirawat untuk infeksi intra abdominal seringkali karena Candida, tapi enterococci atau basil gram negatif oportunis seperti Pseudomonas atau Serratia bisa terlibat. Regimen perawatan untuk infeksi intraabdominal bisa dinilai berhasil jika pasien pulih dari infeksi tanpa serangan ulang peritonitis atau abses intra abdominal dan tidak memerlukan antimikroba tambahan. Regimen bisa dianggap gagal jika efek

samping yang signifikan muncul, jika tindakan operasi ulang diperlukan, atau jika perbaikan pasien tertunda sampai 1-2 minggu.

Anda mungkin juga menyukai