PENDAHULUAN
Perubahan kulit terjadi pada sekitar 90% wanita hamil, baik fisiologis (hormonal),
perubahan dari penyakit kulit yang sudah ada sebelumnya atau perkembangan penyakit kulit
baru khusus kehamilan. Semua dermatosis ini bisa dikaitkan dengan perubahan hormon,
vaskular, metabolisme, dan imunologis yang terjadi selama kehamilan.1 Salah satu perubahan
fisiologis yang banyak mendapat perhatian selama kehamilan adalah peningkatan kadar
hormon androgen yang dapat menyebabkan perkembangan atau memburuknya akne vulgaris
serta peningkatan pertumbuhan rambut di berbagai bagian tubuh.2
Suatu studi deskriptif oleh Urasaki menunjukkan bahwa 91,1% wanita hamil
mengalami kelainan kulit terkait kehamilan dan 67,2% dengan perubahan kulit yang
mempengaruhi rasa percaya diri dan kesejahteraan mereka. Pigmentasi merupakan masalah
yang paling umum dialami, diikuti oleh perubahan vaskular, stretch mark dan akne vulgaris.3
Selain masalah yang terkait dengan penuaan dini dan kelebihan berat badan, perhatian utama
wanita selama kehamilan adalah mencari perawatan yang tersedia dengan profil keamanan
yang baik, terutama untuk perawatan kulit dan rambut, mempertahankan penampilan dan
kesejahteraan mereka.4
Pada umumnya, terdapat kekhawatiran yang cukup besar akan keamanan perawatan
kosmetik bagi populasi wanita hamil. Dokter spesialis kulit seringkali dihadapkan dengan
pertanyaan tentang keamanan obat topikal dan sistemik yang umum diresepkan selama
kehamilan dan menyusui. Data keamanan, terutama yang berkaitan dengan obat-obatan
khusus dermatologi, sulit untuk ditemukan dan tidak tercantum secara menyeluruh dalam
panduan referensi tunggal.5 Dengan demikian, informasi terbaru dan menyeluruh mengenai
efikasi dan keamanan produk kosmetik pada kehamilan sangat dibutuhkan.
1
PERUBAHAN FISIOLOGIS DAN MASALAH KULIT SELAMA KEHAMILAN
Pada kelainan rambut, hirsutisme dapat ditemukan pada area wajah dan lebih jarang
pada ekstremitas dan punggung. Di samping itu, terjadi pemanjangan fase anagen selama
kehamilan dan dalam 70 – 80 hari pasca persalinan ditemukan peningkatan jumlah rambut
yang masuk ke fase telogen sehingga terjadi kerontokkan (telogen effluvium). 6,8,9 Kondisi ini
berlangsung selama 1 – 5 bulan, bahkan pada beberapa kasus bertahan hingga 15 bulan. 6,10
Walaupun pertumbuhan rambut kembali secara lengkap terjadi, tetapi biasanya tidak akan
mencapai ketebalan yang sama seperti sebelumnya.11 Di samping itu, dalam kehamilan dapat
terjadi resesi frontoparietal ringan yang mengingatkan akan alopesia androgenetik, yang tidak
kembali normal setelah persalinan.8,9,12 Kemudian, penipisan rambut yang merata pada
beberapa wanita dengan kehamilan lanjut dapat terjadi karena adanya inhibisi fase anagen.6,13
Kelainan kuku yang dapat terjadi dalam kehamilan meliputi hiperkeratosis subungual,
distal onikolisis, Transverse grooving, dan kuku menjadi rapuh (Tabel 1).6 Erpolat et al
menemukan 62,4% wanita hamil yang sehat mengalami baik satu atau dua kelainan pada
pemeriksaan kuku, dengan leukonikia memiliki frekuensi tertinggi sebanyak 24,4%, diikuti
oleh ingrown kuku kaki 9% dan onikoskizia 9% yang banyak ditemukan pada trimester
ketiga. Selain itu, kelainan kuku lainnya juga ditemukan selama kehamilan seperti
pertumbuhan kuku yang cepat 6,7%, hiperkeratosis subungual 4,2%, melanonikia 3,2%,
onikolisis distal dan kuku rapuh 1,9%.14 Patogenesis yang mendasari perubahan ini belum
diketahui secara pasti. Akan tetapi, diperkirakan hormon estrogen memicu peningkatan
sirkulasi darah perifer yang dapat merangsang pertumbuhan kuku lebih cepat sehingga
2
memiliki risiko lebih tinggi akan terjadinya disfungsi matriks, perlambatan maturasi keratin,
dan perlunakan kuku.
Aktivitas kelenjar ekrin dan sebasea ditemukan meningkat selama kehamilan, tetapi
tidak dengan kelenjar apokrin.6 Peningkatan aktivitas kelenjar ekrin ditemukan di seluruh
area tubuh kecuali regio palmaris dan dapat bermanifestasi klinis sebagai hiperhidrosis dan
miliaria. Selain pembesaran kelenjar Montgomery di area puting, tingginya akivitas kelenjar
sebasea selama kehamilan juga berdampak pada memburuknya kondisi akne vulgaris. Akan
tetapi, berbagai penelitian menunjukkan hasil yang beragam, di mana terdapat juga beberapa
laporan yang menemukan perbaikan akne dalam masa kehamilan.15
Striae distensae (stretch mark) merupakan perubahan struktur jaringan ikat yang paling
sering ditemukan dalam kehamilan, sebanyak 63 – 90% wanita hamil pada bulan ke 6 – 7
masa gestasi.6,7,15 Manifestasi klinisnya berupa garis atrofi berwarna merah muda atau
keunguan (straie rubra) pada regio mammae, abdomen, glutea dan femoris. Dengan berjalan
waktu, warnanya akan memucat tetapi tidak benar-benar sampai hilang (striae alba).
Beberapa faktor mempengaruhi terbentuknya kelainan kulit yang mengganggu kebanyakan
wanita pasca kehamilan ini sperti peningkatan aktivitas hormonal, genetik, regangan fisik
pada kulit serta kenaikkan berat badan selama mengandung.6,15
3
Lain halnya dengan perubahan vaskuler selama kehamilan, peningkatan kadar hormon
estrogen dapat meningkatkan jumlah dan penampakkan telangiektasis, yang ditemukan pada
67% wanita hamil berkulit putih pada usia gestasi 2 – 5 bulan dan biasanya hilang 3 bulan
pasca persalinan.6 Di samping itu, bertambahnya tekanan hidrostatik vena terutama pada
ekstremitas bawah akan menyebabkan edema non-pitting dan varises. Selain itu, tumor dan
lesi vaskuler seperti hemangioma, granuloma piogenik, hemoroid, purpura dan petechiae juga
dapat membesar dan meningkat angka kejadiannya.15
Sistem klasifikasi berdasarkan percobaan klinis pada manusia dan binatang mengenai
risiko terkait penggunaan obat selama kehamilan pertama kali digunakan di Swedia pada
tahun 1978. Daftar ini memuat informasi akan risiko yang mungkin terjadi dalam
penggunaan obat selama kehamilan dan laktasi, dengan kategori A sebagai obat teraman, B
terbagi dalam 3 subkelompok, serta C dan D untuk obat-obatan yang memiliki risiko terhadap
janin (Tabel 2).16
Selain itu, Food and Drug Administration Amerika Serikat (US FDA) membuat lima
kategori risiko A, B, C, D atau X untuk menunjukkan potensi obat untuk menyebabkan cacat
lahir jika digunakan selama kehamilan (Tabel 2).17 Klasifikasi ini telah digunakan sejak 1979,
yang kemudian pada tahun 2015 diganti dengan FDA Pregnancy and Lactation Labeling
Rule (PLLR), sistem yang lebih naratif, komprehensif dan mencakup keamanan obat untuk
wanita usia subur, hamil, menyusui serta efek terhadap sistem reproduksi pria. 18 Akan tetapi
berbagai kepusatakaan masih menggunakan sistem klasifikasi yang lama.6 Berdasarkan
klasifikasi yang terdahulu, contoh bahan yang tidak dianjurkan selama kehamilan seperti
essential oils, dikloroetan dan dikoroetilene, xanthine, asam retinoat dan garamnya (kategori
C), hidrokuinon (kategori C), benzoil peroksida (kategori C), aluminium klorida heksahidrat
(kategori C), dan sebagian besar pewarna dan beberapa pewangi.17
Klasifikasi Australian Drug Evaluation Committee (ADEC) disusun pada tahun 1989
berdasarkan penggabungan dua sistem terdahulunya (Tabel 2).19 Di Indonesia, Kementerian
Kesehatan (Kemenkes) dan Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) mengeluarkan
regulasi mengenai kemanaan penggunaan obat-obatan selama kehamilan dalam
Informatorium Obat Nasional Indonesia (IONI).20 Akan tetapi, obat-obat dengan risiko
4
selama kehamilan di Indonesia belum memiliki sistem klasifikasi sendiri sehingga diadaptasi
dari US FDA seperti yang tercantum dalam Pedoman Pelayanan Farmasi untuk Ibu Hamil
dan Menyusui oleh Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. 21 Oleh karena sistem
klasifikasi ini merupakan sumber informasi yang utama dan seringkali satu-satunya bagi para
praktisi kesehatan dan masyarakat mengenai penggunaan obat-obatan selama kehamilan,
maka keandalannya perlu dievaluasi dengan cermat.22
Asam Azeleat
Azam azeleat banyak digunakan sebagai produk kosmetik untuk
hiperpigmentasi dan melasma dengan menghambat aktivitas tirosinase.26 Senyawa
dengan rantai lurus asam dekarboksilat ini dihasilkan oleh ragi Pityrosporum ovale
dan diketahui juga memiliki efek anti-inflamasi, antibakterial dan keratolitik ringan
sehingga digunakan dalam pengobatan akne vulgaris.27 Sebagai agen pencerah kulit,
asam azeleat bekerja secara selektif dengan mengurangi bercak hiperpigmentasi
tanpa mempengaruhi melanosit dalam keadaan normal, sehingga dapat mencegah
terjadinya leukoderma (bercak putih) dan okronosis yang sering terjadi dalam
penggunaan hidrokuinon jangka panjang. Berdasarkan US FDA, produk kosmetik
ini masuk ke dalam kategori B dan dapat digunakan oleh wanita hamil, di mana
penelitian pada hewan tidak menunjukkan efek teratogenik. Akan tetapi, studi
terkontrol pada manusia masih belum memadai.28
Asam hidroksi- (AHA)
AHA adalah asam karboksilat organik dengan gugus hidroksil yang banyak
ditemukan pada makanan dan buah-buahan, sehingga lebih dikenal dengan asam
buah. Dalam produk kosmetik, AHA yang paling sering digunakan adalah asam
glikolat, asam laktat, asam sitrat dan mandelic acid. Penggunaanya pada kasus
hiperpigmentasi telah terbukti melalui berbagai uji klinis dengan memberikan warna
kulit yang lebih merata. AHA dapat mengurangi kohesi antar korneosit dan Secara
histologi, AHA juga telah diketahui dapat mengurangi penumpukkan pigmen di
lapisan epidermis.29 Pada kadar yang rendah, produk obat ini dapat mengurangi
kohesi korneosit dan merangsang proliferasi sel di lapisan epidermis. 4 Penelitian
asam glikolat pada hewan tidak menunjukkan efek teratogenik pada dosis
250mg/kg/hari, tetapu studi terkontrolnya pada manusia belum tersedia.30 Produk
6
yang mengandung AHA (asam glikolat dan asam laktat), baik dalam bentuk lotion,
krim, gel, maupun solusio, diketahui aman digunakan oleh wanita hamil pada
konsentrasi 10% dengan pH di atas 3,5.4,31
Asam Retinoat
Asam retinoat sering digunakan untuk penatalaksanaan melasma dalam
kombinasi tretinoin, hidrokuinon dan kortikosteroid topikal, yang banyak
terkandung pada krim pemutih (bleaching).32 Mekanisme kerja obat ini dalam
mengurangi hiperpigmentasi adalah dengan menghancurkan melanin yang tersebar
di keratinosit dan mempercepat pergantian sel. Asam retinoat oral diketahui
memiliki efek teratogenik sehingga tidak diperbolehkan penggunaanya selama
kehamilan atau bahkan pada wanita yang sedang merencanakan kehamilan. 4
Absorpsi perkutan dari asam retinoat topikal (tretinoin) sangatlah rendah, dan kadar
vitamin A endogen tidak berubah dengan pengolesan berulang tretinoin 0,05%.2
Walaupun beberapa studi tidak menemukan efek teratogenik ataupun gangguan
terhadap janin dari penggunaan retinoat topikal,33 produk obat ini diberi kategori C
oleh US FDA dan tetap tidak direkomendasikan penggunaanya selama kehamilan.4
Arbutin
Arbutin adalah hidrokuinon terglikosilasi yang di ekstrak dari tanaman
bearberry. Produk obat ini bekerja dengan menghambat aktivitas tirosinase dan
maturase melanosome tanpa efek melanotoksisitas.34 Absorpsi perkutannya memang
diketahui sangat rendah, dengan penggunaan topikal -arbutin 2% hanya 0,27
0,13% yang diserap hingga ke lapisan dermis sehingga penyebarannya ke sistemik
diperkirakan sangat minimal.35 Uji toksisitas reproduksi pada obat ini memang
belum tersedia, tetapi berdasarkan penelitan yang ada, -arbutin akan mengalami
hidrolisis parsial menjadi hidrokuinon pada kulit.36 Selain itu, US FDA belum
mengeluarkan pernyataan mengenai keamanan penggunaanya selama kehamilan.
Akan tetapi banyak yang beranggapan kosmetik yang mengandung obat ini secara
umum aman digunakan dalam kehamilan karena absorpsi sistemik dan toksisitasnya
yang lebih rendah dari hidrokunion.4
Fotoproteksi
Sunscreen digunakan pada umumnya untuk melindungi kulit dari bahaya
radiasi sinar ultraviolet (UV). Dalam penatalaksanaan melasma, edukasi yang selalu
dianjurkan adalah menggunakan fotoproteksi dan menghindari paparan sinar
7
matahari berlebih sehingga produk kosmetik ini memiliki peranan penting untuk
pencegahan.4 Salah satu sunscreen yang paling cocok digunakan selama kehamilan
adalah tipe fisikal (titanium oxide dan zinc oxide), di mana senyawanya bersifat
anorganik, tidak diserap kulit, memiliki potensi iritasi kulit yang rendah dan secara
aman telah digunakan pada kulit sensitif, populasi anak dan wanita hamil.
Mekanisme kerja dari sunscreen fisikal adalah dengan membentuk lapisan yang
memantulkan dan menyebarkan UV sehingga mencegah penyerapannya ke kulit.37
Selain itu, sunscreen organik atau chemical (benzophenone-3) juga diketahui
memiliki absorpsi dermal dan sistemik yang terbatas serta efek yang minimal dalam
uji toksisitas pada binatang, sehingga dapat digunakan dengan hati-hati dalam
kehamilan.38,39 Penggunaan sunscreen ini dalam kehamilan untuk mengobati dan
mencegah melasma telah dilaporkan dan tidak ada efek samping yang ditemukan.40
8
menurunkan tingkat konsepsi dan peningkatan kejadian absorpsi janin yang terlihat
pada kelinci.41
Spironolakton
Spironolakton tablet biasanya digunakan dalam pengobatan alopesia
androgenetik karena aktivitas antiandrogenik yang dimilikinya untuk menghambat
produksi testosteron dan bersifat inhibitor kompetitif terhadap dihydrotestosterone
pada reseptor andogenik.4 Penggunaannya selama kehamilan tidak disarankan
karena uji pada binatang menunjukkan peningkatan tingkat resorpsi, menganggu
kehidupan janin dan dapat menimbulkan efek feminisasi pada janin laki-laki.42
Penelitiannya pada manusia belum tersedia dan US FDA mengklasifikasikan produk
obat ini ke dalam kategori C.
Pewarna Rambut
Sebagian wanita hamil terkadang merasa perlu melakukan perawatan kosmetik
untuk menjaga penampilannya seperti mewarnai rambut. Hingga saat ini belum
terdapat laporan cat warna rambut dapat menyebabkan gangguan selama kehamilan
dan pada kenyataannya hanya sedikit sekali dari senyawa kimia yang terkandung
akan diserap ke dalam tubuh. Organization of Teratology Information Service
(OTIS) merekomendasikan untuk menunggu hingga trimester kedua jika ingin
menggunakan pewarna rambut.43
Produk Perawatan Kuku
Kuku wanita hamil seringkali mengalami gangguan dan menjadi rapuh, walau
tidak perlu diterapi, tetapi hal ini mengganggu secara penampilan dan dapat
menimbulkan dampak psikososial.14 Dalam melakukan perawatan kuku, wanita
hamil disarakan untuk menghindari produk yang meningkatkan risiko sensitisasi dan
memilih bahan yang hipoalergenik, seperti mengganti aseton dengan pembersih
kuku yang hipoalergenik.4
9
karena sebagian besar pilihan terapi yang efektif kontraindikasi atau tidak
direkomendasikan. Untuk akne derajat ringan hingga sedang, terapi topikal merupakan
standar perawatan. Pada kasus tertentu, pengobatan topikal saja belum memberikan hasil
yang memuaskan sehingga terapi oral dibutuhkan, terutama untuk kasus inflamasi
dengan derajat sedang hingga berat dan rekalsitran (Tabel 3).44
a. Topikal
Asam Azeleat
Asam azeleat selain dalam kasus hiperpigmentasi dan melasma juga
digunakan pada penatalaksanaan akne vulgaris, karena aktivitas antimikrobial,
komedolitik dan antiinflamasi ringan yang dimilikinya. Selain itu, tidak ada
bukti yang menunjukan Propionibacterium acnes dapat menjadi resisten
terhadap obat ini.44 Absorpsi sistemik dari penggunaan topikal asam azeleat
20% hanya setikar 4% dan penelitian pada hewan tidak menunjukkan efek
teratogenik.45 Walau data studi pada manusia belum tersedia, obat ini tergolong
aman digunakan selama kehamilan, dengan katerori B dalam US FDA.
Tabel 3. Algoritma pengobatan akne vulgaris dalam kehamilan (dikutip dari kepustakaan
no.44)
10
atau bermanfaat
Injeksi steroid intralesi C -
Fulminan Eritromisin oral B Kemungkinan
+ bermanfaat
Benzoil peroksida C Bermanfaat
+
Asam azeleat B Kemungkinan
+ bermanfaat
Prednison oral (singkat) C -
11
adanya kaitan dengan malformasi. Oleh karena itu penggunaan jangka pendek
kedua topikal antibiotik topikal ini bersifat aman selama kehamilan dan
dikategorikan B oleh US FDA.45
Asam Salisilat
Asam salisilat topikal merupakan bahan obat yang sering digunakan
dalam produk kosmetik OTC untuk akne, yang bekerja sebagai agen keratolitik
dan absorpi sistemiknya bervariasi. Penelitian pemberian asam salisilat sistemik
dan aspirin pada tikus hamil menunjukkan terjadinya malformasi embrio. 28
Sebagian besar laporan pemberian dosis rendah asam asetilsalisilat selama
kehamilan tidak menunjukkan peningkatan efek samping seperti malformasi,
prematuritas dan berat bayi lahir rendah.49 Akan tetapi, belum ada studi
penggunaan topikal obat ini selama kehamilan yang tersedia. US FDA
mengklasifikasikan asam salisilat ke dalam kategori C, tetapi penggunaan luas
dengan konsentrasi tinggi ataupun oklusi perlu dihindari karena dapat
meningkatkan risiko toksisitas salisilat.44
Retinoid Topikal
Retinoid topikal merupakan derivat vitamin A, yang telah digunakan
dalam pengobatan akne vulgaris selama lebih dari 30 tahun, meliputi adapalene,
tretinoin dan tazarotene. Mekanisme kerja dari golongan ini adalah dengan
mengatur diferensiasi keratinosit, komedolisis dan antiinflamasi. Adapalene dan
tretinoin memiliki kategori C sedangkan tazarotene katergori X dalam US FDA,
yang didasarkan pada pelaporan adanya defek lahir yang berkaitan dengan
penggunaan retinoid sistemik (isotretinoin oral).50 Oleh karena itu, penggunaan
tazarotene selama kehamilan harus dihindari.45 Absorpsi perkutan dari tretinoin
sangatlah rendah, kurang dari 1% setelah pengolesan tunggal tretinoin 0,1% gel
atau kurang dari 2% dalam preparat krim. 28 Walau demikian, terdapat beberapa
laporan kasus terjadinya embriopati retinoid terkait penggunaan tretinoin topikal
tetapi peranan dari obat ini masih kontroversial. 51-54 Dalam dua studi prospektif
penggunannya selama trimester pertama kehamilan pada 96 dan 106 wanita,
malformasi kongenital atau bukti terjadinya embriopati retinoid tidak
ditemukan.55,56 Hingga terdapat studi yang lebih besar, penggunaan retinoid
topikal harus dihindari selama kehamilan karena pertimbangan rasio risiko-
keuntungan yang masih dipertanyakan.
12
Dapson topikal
Dapson topikal adalah sebuah sulfone sintetik yang memiliki aktivitas
antibakteri dan antiinflamasi, yang diakui oleh US FDA sebagai pengobatan
akne vulgaris pada tahun 2005 dengan kategori C.44 Uji pada binatang dengan
dosis tinggi tindak menunjukkan efek teratogenik, tetapi studi terkontrol pada
manusia belum tersedia.57 Hingga saat ini, penggunaanya selama kehamilan
tidak menimbulkan peningkatan risiko malformasi janin serta risiko anemia
hemolitik maternal dengan defisiensi glucose-6-phosphatase dehydrogenase
(G6PD) sangat rendah dalam penggunaan topikal. 58,59 Penggunaanya selama
kehamilan perlu berhati-hati, mengingat obat ini baru dipasarkan dan hanya
boleh diresepkan jika keuntungan yang diberikan secara nyata melebihi
risikonya.
Asam glikolat
Asam glikolat merupakan AHA yang sering terdapat dalam produk
kosmetik untuk akne vulgaris dengan memperbaiki lesi inflamasi dan komedo.
Glycolic acid peeling juga berperan dalam penatalaksanaan kondisi ini karena
dapat menyebabkan epidermolisis subkorneal sehingga membantu dalam
eliminasi obstruksi folikuler yang berperan dalam patogenesis akne. 60 Walaupun
penelitian pada binatang menunjukkan aadanya efek samping sistem reproduksi
pada penggunaan dosis tinggi, penggunaan asam glikolat topikal kadarnya jauh
lebih rendah dari itu dan absorpsi sistemiknya sangat minimal. 30 Hingga saat ini,
penelitian penggunaan asam glikolat dalam kehamilan pada manusia belum
tersedia, tetapi penggunaanya pada wanita hamil tidak perlu dikhawatirkan
karena belum ada laporan yang dipublikasi akan efek sampingnya pada populasi
ini. US FDA belum memberikan kategori (N – not rated) untuk produk obat
ini.44
b. Sistemik
13
penggunaan antibiotik oral dengan kategori B US FDA seperti eritromisin,
sefaleksin, azitromisin, amoksisilin dapat menjadi pilihan, tetapi efek sampig yang
menyertai perlu dipertimbangkan (Tabel 4).44
Tabel 4. Pilihan antibiotik oral untuk akne vulgaris (dikutip dari kepustakaan no. 44)
14
janin. Dosis prednison harus dibatasi dibawah 20 mg/hari selama kurang dari 1
bulan pada trimester ketiga.5
15
5. Kosmetik untuk Kelainan Vaskuler
Edema dan varises merupakan masalah vaskuler yang sering dijumpai selama
kehamilan dengan prevalensi 70% pada trimester kedua.65 Penatalaksanaan dalam
kondisi ini meliputi penggunaan compression stocking elastik, diet yang tepat, istirahat
dengan mengangkat kedua kaki dengan durasi yang tepat, serta drainase limfatik manual
yang dapat memperbaiki gejala seperti nyeri dan kesemutan, dan meredakan edema tanpa
memberikan risiko besar terhadap pasien.4
Penggunaan produk kosmetik untuk meredakan edema dapat berupa penggunaan
relaxing gels dan krim yang mengandung bahan alamiah meliputi ekstrak bunga Arnica,
Hamamelis (witch-hazel), dan Aesculus hippocastanum (horse chestnut). Akan tetapi,
beberapa dari zat ini dapat menimbulkan resiko serius pada wanita hamil. Arnica
memiliki efek antiinflamasi, penyembuhan, anti nyeri dan meningkatkan sirkulasi darah.
Pemberiannya secara oral, dapat menimbulkan abortus karena stimulasi terhadap
kontraksi uterus, tetapi formulasi topikal memiliki resiko yang lebih rendah. Walau
demikian, penggunaan Arnica selama kehamilan sebisa mungkin dihindari. Witch-hazel
merupakan tanaman belukar yang bunganya mekar pada musim gugur dan memiliki efek
hemostatik, anti inflamasi, dan kemampuan vasokonstriksi. Tanaman horse chestnut
mengandung aescin, campuran dari saponin triterpenoid, yang memiliki aktivitas anti
inflamasi dalam meredakan edema. Penggunaannya cukup aman pada semua kelompok
populasi, termasuk wanita hamil. Selain itu, bahan kamper dan mentol di atas konsentrasi
3%, sering ditemukan pada produk topikal pereda nyeri. Penggunaannya tidak
direkomendasikan selama kehamilan karena dapat melewati sawar plasenta dan memiliki
efek toksik terhadap embrio serta efek abortif.4
Di samping itu, selulit juga menjadi salah satu masalah estetik selama dan pasca
kehamilan, yang disebabkan oleh akumulasi lemak dalam adiposit sehingga air dan
lemak tertahan, serat kolagen dan elastin dihancurkan yang akhirnya memperburuk
sirkulasi lokal. Penggunaan produk kosmetik topikal yang mengandung derivat xanthine
dan methylxanthine bersamaan dengan pijatan drainase limfatik dapat merangsang
restrukturisasi jaringan kulit lokal dan lipodistrofi. Ekstrak tanaman yang mengandung
derivat xanthine memiliki aksi dekongestan yang berperan dalam drainase melalui
perbaikan mikrosirkulasi. Belum ada data yang tersedia untuk membuktikan keamanan
penggunaannya terhadap janin dan ibu hamil, tetapi perlu diingat bahan-bahan aktifnya
sering diperantarai oleh liposom, yang dapat meningkatkan penyerapannya ke lapisan
kulit yang lebih dalam. 66 Kelompok methylxanthine meliputi kafein, teobromin, teofilin,
16
dan aminofilin memiliki aksi lipolitik pada jaringan adiposit melalui kombinasi
mekanisme peningkatan AmpC dan penghambatan phosphodiesterase (PDE), sehingga
merangsang perubahan lemak yang berlebih menjadi asam lemak bebas dan dibuang
melalui jaringan limfatik tubuh. Kafein relatif aman digunakan selama tidak melebihi
konsentrasi 5 %. Dan xanthine lainnya tidak boleh melebihi konsentrasi 4% pada
formulasi produk kosmetik. Walau demikian, penggunaannya pada kehamilan tetap tidak
direkomendasikan.67
Selain itu, terdapat antioksidan tradisional yang berasal dari tanaman seperti ferulic
acid yang banyak terdapat dalam flaxseed, jangung, bekatul; dan polifenol resveratrol
yang terdapat di berbagai spesies tanaman terutama anggur. Ferulic acid merupakan
17
antioksidan kuat yang dapat mencegah eritema akibat radiasi UVB dan bekerja bersama
dengan vitamin C memberikan efek fotoproteksi. Resveratrol memiliki efek antioksidan
yang bekerja pada radikal bebas melalui molekul hidrogen pada komponen fenolnya.
Penggunaan topikal produk kosmetik yang mengandung kedua antioksidan ini tergolong
aman digunakan oleh wanita hamil, tetapi pemberian resveratrol secara oral ditemukan
dapat memberikan dampak pada janin.4
18
Selanjutnya, krim bleaching rambut mengandung konsentrasi rendah hidorgen
peroksida, yang absorpsi sistemiknya rendah. Jika masuk ke sistemik, obat ini
dimetabolisme dengan cepat sehingga penggunaan produk ini selama kehamilan
diperkirakan tidak akan menimbulkan gangguan pada ibu dan janin.79
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Kumari R, Jaisankar TJ, Thappa DM. A clinical study of skin changes in pregnancy.
Indian J Dermatol Venereol Leprol. 2007;73(2):141.
2. Bozzo P, Chua-Gocheco A, Einarson A. Safety of skin care products during pregnancy.
Canadian Family Physician. 2011;57:665-7.
3. Urasaki M. Skin Physiological Alterations in Pregnant Women of Public System Health.
Acta Pal. Enfer. 2010;23:519-25.
4. Maluf DF, Roters F, Silva LCF. Current cosmetic treatments in pregnancy. International
Journal of Medical and Helath Sciences. 2017;11(3):100-6.
5. Murase JE, Heller MM, Butler DC. Safety of dermatologic medications in pregnancy and
lactation: Part I. Pregnancy. J Am Acad Dermatol. 2014;70(3):401.e1-14.
6. Kroumpouzos G, Cohen LM. Dermatoses of pregnancy. J Am Acad Dermatol.
2001;45:1-19.
7. Karen JK, Pomeranz MK. Skin changes and diseases in pregnancy. In: Goldsmith LA,
Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K, eds. Fitzpatrick’s Dermatology In
General Medicine, 8th ed. New York: McGraw-Hill Companies. 2012. p.1204-12.
8. Winton GB, Lewis CW. Dermatoses of pregnancy. J Am AcadDermatol 1982;6:977-98.
9. Lynfield YL. Effect of pregnancy on the human hair cycle. J Invest Dermatol
1960;35:323-7.
10. Hellreich PD. The skin changes in pregnancy. Cutis 1974;13:82-6.
11. Sumit K, Ajay K, Varma SP. Pregnancy and Skin. The Journal of Obstetrics and
Gynecology of India. 2012;62(3):268-75.
19
12. Wade TR,Wade SL, Jones HE. Skin changes and diseases associated with pregnancy.
Obstet Gynecol 1978;52:233-42.
13. Wong RC, Ellis CN. Physiologic changes in pregnancy. J Am Acad Dermatol
1984;10:929-40.
14. Erpolat S, Eser A, Kaygusuz I, Balci H, Kosus A, Kosus N. Nail alterations during
pregnancy: a clinical study. Int J Dermatol. 2016;55(10):1172-75.
15. Motosko CC, Bieber AK, Pomeranz MK, Stein JA, Martires KJ. Physiologic changes of
pregnancy: A review of the literature. International Journal of Women’s Dermatology.
2017;3(4):219–224.
16. FASS. Classification of medical products for use during pregnancy and lactation. The
Swedish system. Stockholm: LINFO, Drug Information Ltd., 1993.
17. Australian Drug Evaluation Committee. Medicines in Pregnancy. An Australian
Categorization of Risk, 1992.
18. "FDA Pregnancy Categories A, B, C, D, X, N Explained. FDA. Aug. 2016.
19. Brucker MC, King TL. The 2015 US Food and Drug Administration Pregnancy and
Lactation Labelling Rule. J Midwifery Womens Health. 2017;00:1–9.
20. Badan Pengawas Obat dan Makanan Republik Indonesia (BPOM RI). Informatorium
Obat Nasional Indonesia (IONI). Jakarta: BPOM RI, KOPER POM dan CV SagungSeto,
2017.
21. Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik, Direktorat Jenderal Bina Kefarmasian
dan Alat Kesehatan. Pedoman pelayanan farmasi untuk ibu hamil dan menyusui. Jakarta:
Departemen Kesehatan RI, 2006, h.38-38.
22. Addis A, Sharabi S, Bonati M. Risk classification systems for drug use during
pregnancy. Drug Safety. 2000;Sep 23(3):245-53.
23. Wester RC, Melendres J, Hui X, Cox R, Serranzana S, Zhai H, et al. Human in vivo and
in vitro hydroquinone topical bioavailability, metabolism, and disposition. J Toxicol
Environ Health A. 1998;54(4):301-17.
24. Burnett CL, Bergfeld WF, Belsito DV, Hill RA, Klassen CD, Liebler DC, et al. Final
report of the safety assessment of kojic acid as used in cosmetics. International Journal of
Toxicology. 2010;29(Supplemet 4):244S-273S.
25. Nohynek GJ, Kirkland D, Marzin D, Toutain H, Leclerc- Ribaud C, Jinnai H. An
assessment of the genotoxicity and human health risk of topical use of kojic acid [5-
hydroxy-2-(hydroxy- methyl)-4H-pyran-4-one. Food Chem Toxicol. 2004;42(1): 93-105.
26. Mazurek K, Pierzchala E. Comparison of efficacy of products containing azelaic acid in
melasma treatment. J Cosmet Dermatol. 2016;15(3):269–82.
27. Fitton A, Goa KL. Azelaic acid: a review of its pharmacological properties and
therapeutic efficacy in acne and hyperpigmentary skin disorders. Drugs 1991;41(5):780-
98.
28. Akhavan A, Bershad S. Topical acne drugs: Review of clinical properties, systemic
exposure, and safety. Am J Clin Dermatol. 2003;4(7):473-92.
29. Green BA. Cosmeceutical Uses and Benefits of Alpha, Poly and Bionic Hydroxy Acids.
In: Farris PK, eds. Cosmeceuticals and Cosmetic Practice. West Sussex: John Wiley &
Sons Ltd., 2014, p.69-80.
20
30. Andersen FA. Final report on the safety assessment of glycolic acid, ammonium,
calcium, potassium, and sodium glycolates, methyl, ethyl, propyl, and butyl glycolates,
and lactic acid, ammonium, calcium, potassium, sodium, and TEA-lactates, methyl,
ethyl, isopropyl, and butyl lactates, and lauryl, myristyl, and cetyl lactates. Int J Toxicol.
1998;17(Suppl 1):1-241.
31. U.S. Food & Drug Administration. Alpha Hydroxy Acids. Diunduh dari:
https://www.fda.gov/cosmetics/productsingredients/ingredients/ucm107940.htm#q5,
pada tanggal 10 Januari 2019.
32. Mahe A, Perret JL, Ly F, Fall F, Rault JP, Dumont A. The cosmetic use of skin-
lightening products during pregnancy in Dakar, Senegal: a common and potentially
hazardous practice. Transactions of The Royal Society of Tropical Medicine and
Hygiene. 2007;101:183-7.
33. Panchaud A, Csajka C, Merlob P, Schaefer C, Berlin M, De Santis M, et al. Pregnancy
outcome following exposure to topical retinoids: A multicenter prospective study.
Journal of Clinical Pharmacology. 2012;52:1844-51.
34. Sheth VM, Pandya AG. Melasma: A comprehensive update. J Am Acad Dermatol.
2011;65(4):699–714.
35. Ruembeli R, Ringenbach F, Ille C, Bruchlen M, Janssen A. 2012c. The in-vitro dermal
absorption, distribution and metabolism of 14C-α-Arbutin with pig and human skin.
DSM Internal Report no. 00015088. 13 September 2012.
36. SCCS (Scientific Committee on Consumer Safety), Opinion on α- arbutin, 27 May 2015,
SCCS/1552/15. DOI:10.2875/922009.
37. Lucas R, Norval M, Wright C. Solar ultraviolet radiation in Africa: a systematic review
and critical evaluation of the health risks and use of photoprotection. Photochem
Photobiol Sci. 2016;15:10-23.
38. Sarveiya V, Risk S, Benson HA. Liquid chromatographic assay for common sunscreen
agents: application to in vivo assessment of skin penetration and systemic absorption in
human volunteers. J Chromatogr B Analyt Technol Biomed Life Sci. 2004;803(2):225-
31.
39. Gonzalez H, Farbrot A, Larkö O, Wennberg AM. Percutaneous absorption of the
sunscreen benzophenone-3 after repeated whole-body applications, with and without
ultraviolet irradiation. Br J Dermatol. 2006;154(2):337-40.
40. Goh CL, Dlova CN. A retrospective study on the clinical presentation and treatment
outcome of melasma in a tertiary dermatological referral centre in Singapore. Singapore
Med J 1999;40(7):455-8.
41. Fenton D, Wilkinson J. Alopecia areata treated with topical minoxidil. J R Soc Med.
1982;75:963–65.
42. FDA. Aldactone. Diunduh dari https://www.accessdata.fda.gov/drugsatfda_docs/
label/2008/012151s062lbl.pdf, pada tanggal 10 Januari 2019.
43. Scialli A. The Organization of Teratology Information Services (OTIS) Registry Study. J
Allergy Clin Immunol. 1999;103:373-6.
44. Chien AL. Qi J, Rainer B, Sachs DL, Helfrich YR. Treatment of Acne in Pregnancy. J
Am Board Fam Med. 2016;29:254–262.
21
45. Wolverton SE, ed. Comprehensive dermatologic drug therapy. 3rd ed. Philadelphia:
Saunders; 2012.
46. Pugashetti R, Shinkai K. Treatment of acne vulgarisin pregnant patients. Dermatol Ther
2013;26:302–11.
47. Patel M, Bowe WP, Heughebaert C, Shalita AR. The development of antimicrobial
resistance due to the antibiotic treatment of acne vulgaris: a review. J Drugs Dermatol.
2010;9:655– 64.
48. Parry MF, Rha CK. Pseudomembranous colitis caused by topical clindamycin phosphate.
Arch Dermatol. 1986;122:583– 4.
49. James AH, Brancazio LR, Price T. Aspirin and reproductive outcomes. Obstet Gynecol
Surv. 2008;63(1):49-57.
50. Berard A, Azoulay L, Koren G, Blais L, Perreault S, Oraichi D. Isotretinoin,
pregnancies, abortions and birth defects: a population-based perspective. Br J Clin
Pharmacol 2007;63:196 –205.
51. Lipson AH, Collins F, Webster WS. Multiple congenital defects associated with maternal
use of topical tretinoin. Lancet 1993;341(8856):1352-3.
52. Jick SS, Terris BZ, Jick H. First trimester topical tretinoin and congenital disorders.
Lancet 1993;341(8854):1181-2.
53. Navarre-Belhassen C, Blanchet P, Hillaire-Buys D, Sarda P, Blayac J-P. Multiple
congenital malformations associated with topical tretinoin. Ann Pharmacother.
1998;32(4):505-6.
54. Selcen D, Seidman S, Nigro MA. Otocerebral anomalies associated with topical tretinoin
use. Brain Dev. 2000;22(4):218-20.
55. Shapiro L, Pastuszak A, Curto G, Koren G. Safety of first-trimester exposure to topical
tretinoin: prospective cohort study. Lancet 1997;350(9085):1143-4.
56. Loureiro KD, Kao KK, Jones KL, Alvarado S, Chavez C, Dick L, et al. Minor
malformations characteristic of the retinoic acid embryopathy and other birth outcomes
in children of women exposed to topical tretinoin during early pregnancy. Am J Med
Genet A. 2005;136(2):117-21.
57. Nosten F, McGready R, d’Alessandro U, et al. Antimalarial drugs in pregnancy: a
review. Curr Drug Saf. 2006;1:1–15.
58. James KA, Burkhart CN, Morrell DS. Emerging drugs for acne. Expert Opin Emerg
Drugs. 2009;14:649–59.
59. Kong YL, Tey HL. Treatment of acne vulgaris during pregnancy and lactation. Drugs
2013;73:779–87.
60. Munley SM, Kennedy GL, Hurtt ME. Developmental toxicity study of glycolic acid in
rats. Drug Chem Toxicol. 1999;22(4):569-82.
61. Park-Wyllie L, Mazzotta P, Pastuszak A, et al. Birth defects after maternal exposure to
corticosteroids: prospective cohort study and meta-analysis of epidemiological studies.
Teratology 2000;62:385–92.
62. Rennick GJ. Use of systemic glucocorticosteroids in pregnancy: be alert but not alarmed.
Australas J Dermatol. 2006;47:34–6.
22
63. Gur C, Diav-Citrin O, Shechtman S, Arnon J, Ornoy A. Pregnancy outcome after first
trimester exposure to corticosteroids: a prospective controlled study. Reprod Toxicol.
2004;18:93–101.
64. Leonardi G, Gaspar L, Campos P. Study of pH Variation of Human Skin Expose to
Cosmetics with Vitamin A, E or Ceramide. An Bras Dermatol. 2002;77:563-69.
65. Carpenter M. Gestational diabetes, pregnancy hypertension, and late vascular disease.
Diabetes Care. 2007;30:246-50.
66. Rawlings A. Cellulite and its treatment. Int. J. Cosmet. Sci. 2006;28:175-90.
67. Byun S, Kwon S, Heo S, Shim J, Du M, Na J. Efficacy of Slimming Cream Containing
3.5% Water-Soluble Caffeine and Xanthenes for the Treatment of Cellulite: Clinical
Study and Literature Review. Ann Dermatol. 2015;27:243-9.
68. McCook J. Topical Products for the Aging Face. Clin Plast Surg. 2016;43:597-604.
69. Bruce S. Cosmeceuticals for the attenuation of extrinsic and intrinsic dermal aging. J
Drugs Dermatol. 2008;7:17-22.
70. Rivers J. The role of cosmeceuticals in antiaging therapy. Skin Therapy Lett. 2008;13:5-
9.
71. Pandel R, Poljšak B, Godic A, Dahmane R. Skin photoaging and the role of antioxidants
in its prevention. ISRN Dermatol. 2013. DOI:10.1155/2013/930164.
72. Ganesan P, Choi D. Current application of phytocompound-based nanocosmeceuticals
for beauty and skin therapy. Int J Nanomedicine. 2016;11:1987-2007.
73. Draelos Z. Cosmeceuticals: undefined, unclassified, and unregulated. Clin Dermatol.
2009;27:431-4.
74. Meaney-Delman D, Rasmussen S, Staples J, Oduyebo T, Ellington S, Petersen E, Fischer
M, Jamieson D. Zika Virus and Pregnancy: What Obstetric Health Care Providers Need
to Know. Obstet Gynecol. 2016;127:642-8.
75. United States Environmental Protection Agency. Regulation of Skin-Applied Repellents.
Diunduh dari https://www.epa.gov/insect-repellents/regulation-skin-applied-repellents,
pada tanggal 10 Januari 2018.
76. Yourick JJ, Koenig ML, Yourick DL, Bronaugh RL. Fate of chemicals in skin after
dermal application: does the in vitro skin reservoir affect the estimate of systemic
absorption? Toxicol Appl Pharmacol. 2004;195(3):309-20.
77. Health Canada. List of prohibited and restricted cosmetic ingredients (the cosmetic
ingredient “hotlist”). Ottawa, ON: Health Canada; 2007. Available from: www.hc-
sc.gc.ca/cps-spc/person/cosmet/info-ind-prof/_hot-list-critique/hotlist-liste_3-eng.php.
78. Guy RH, Hosynek JJ, Hinz RS, Lorence CR. Metals and the skin. Topical effects and
systemic absorption. New York, NY: Informa Health Care; 1999.
79. European Commission, Directorate-General Joint Research Centre, Institute of Health
and Consumer Protection, European Chemicals Bureau. European Union risk assessment
report. Hydrogen peroxide. Luxembourg, Belgium: Office for Official Publications of
the European Communities; 2003. Diunduh dari:
http://ecb.jrc.ec.europa.eu/documents/ExistingChemicals/RISK_ASSESSMENT/REPOR
T/hydrogenperoxidereport022.pdf. Diakses pada 10 Januari 2017.
23