Anda di halaman 1dari 51

KELOMPOK 1

KELOMPOK 1
SUNANI
260110180002
MAYA ANDANI
260110180003
ASILLA MAURI K
260110180004
NYAI AYU S
260110180005
KAILA KEISHA MEI
260110180006
Kasus TB 1
Seorang Bapak berumur 48 tahun dengan berat 65 kg dan tinggi 165 cm didiagnosis TB paru
oleh dokter. Bapak tersebut telah mengonsumsi obat TB yang diresepkan dokter selama 2
minggu, namun Bapak tersebut tidak melakukan kontrol ke dokter setelah 2 minggu karena
dirasa telah sembuh.

Pertanyaan
1.Bagaimana terapi pengobatan pasien tersebut?
2.Informasi apa saja yang perlu disampaikan pada pasien saat konseling?
3.Apa pengobatan ARVyang diberikan jika pasien diketahui seorang ODHA dengan stadium
klinis 3 dan CD4 250/mm3?
Tuberculosis

TB (tuberkulosis) menjadi penyakit mematikan di dunia. TB


disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang dapat
menghasilkan penyakit infeksi yang diam, progresif atau aktif.
Penyakit TB jika tidak diobati dengan benar maka akan merusak
jaringan yang akhirnya dapat menyebabkan kematian.
(Dipiro, 2011)
Tuberculosis

Tuberkulosis merupakan suatu penyakit kronik yang salah


satu kunci keberhasilan pengobatannya adalah kepatuhan dari
penderita (adherence). Kemungkinan ketidak patuhan penderita
selama pengobatan TB sangatlah besar. Ketidak patuhan ini
dapat terjadi karena diantaranya pemakaian obat dalam jangka
panjang, jumlah obat yang diminum cukup banyak serta
kurangnya kesadaran dari penderita akan penyakitnya (Depkes,
2005).
Tuberculosis Paru

Tuberkulosis paru adalah tuberkulosis yang menyerang


jaringan parenchym paru, tidak termasuk pleura (selaput paru).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi dalam:
1) Tuberkulosis Paru BTA Positif.
- Sekurang-kurangnya 2 dari 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA
positif.
- 1 spesimen dahak SPS hasilnya BTA positif dan foto rontgen
dada menunjukkan gambaran tuberkulosis aktif.
(Depkes, 2005)
Tuberculosis Paru

2) Tuberkulosis Paru BTA Negatif


Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA negatif
dan foto rontgen dada menunjukkan gambaran tuberkulosis
aktif. TB Paru BTA Negatif Rontgen Positif dibagi berdasarkan
tingkat keparahan penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan.
Bentuk berat bila gambaran foto rontgen dada memperlihatkan
gambaran kerusakan paru yang luas (misalnya proses "far
advanced" atau millier), dan/atau keadaan umum penderita
(Depkes, 2005)
buruk.
Tipe Kasus Tuberculosis
1. Kasus baru: penderita yang belum pernah diobati dengan OAT
atau sudah pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30
dosis harian).
2. Kambuh (Relaps): penderita TB yang sebelumnya pernah
mendapat pengobatan TB dan telah dinyatakan sembuh,
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA positif.
3. Pindahan (Transfer In): Penderita yang sedang mendapat
pengobatan di suatu kabupaten lain dan kemudian pindah
berobat ke kabupaten lain. (Depkes, 2005)
Tipe Kasus Tuberculosis
4. Lalai: Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan,
dan berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali
berobat. Umumnya penderita tersebut kembali dengan hasil
pemeriksaan kadar dahak positif.
5. Gagal: Penderita BTA (+) yang masih tetap positif atau kembai
menjadi positif pada akhir bulan ke 5 (satu bulan sebelum akhir
pengobatan) atau lebih; atau penderita dengan hasil BTA (-)
Rontgen (+) menjadi BTA (+) pada akhir bulan ke 2 pengobatan.
6. Kronis: Penderita dengan hasil pemeriksaan masih BTA (+)
setelah selesai pengobatan ulang kategori 2.
(Depkes, 2005)
Gejala
Tuberculosis
1. Batuk dan berdahak terus-menerus selama 3 minggu atau
lebih
2. Batuk darah atau pernah batuk darah
3. Sesak nafas dan nyeri dada
4. Badan lemah, nafsu makan dan berat badan menurun
5. Malaise, berkeringat malam, demam meriang lebih dari 1 bulan.
(Depkes, 2005)
Droplet nuclei berisi tubercle
bacilli terhirup, masuk ke
dalam paru-paru dan bergerak
ke alveolus.

Tubercle bacilli memperbanyak


diri di dalam alveolus

(CDC, 2016)
Sebagian kecil tubercle bacilli
masuk ke dalam aliran darah
kemudian menyebar ke seluruh
tubuh. Tubercle bacilli dapat
mencapai setiap bagian tubuh,
termasuk otak, laring, saluran
limfa, paru-paru, tulang
belakang,tulang atau ginjal.

Makrofag akan mengelilingi dan


memakan tubercle bacilli dalam
2 hingga 8 minggu. Makrofag
akan membentuk lapisan
pelindung (granuloma) sebagai
penampung dan pengendali
(CDC, 2016) tubercle bacilli (LTBI).
Jika sistem imun tidak dapat
mengendalikan tubercle bacilli,
bacilli mulai memperbanyak diri
dengan cepat (terjadi penyakit
TB). Proses ini dapat terjadi
pada area yang berbeda di
tubuh seperti paru-paru, otak,
atau tulang

(CDC, 2016)
FAKTOR RESIKO

1. Usia Muda
2. Laki-laki lebih banyak terkena TB Paru
3. Kepadatan hunian rumah
3. Polusi udara dalam ruangan
4. Daya tahan tubuh turun
5. Kontak dengan penederita TB
6. Asap Rokok
7. Alkohol
(Hiswani, 2009)
Tujuan pengobatan:
Sasarannya adalah penyelesaian segera tanda
dan gejala penyakit, pencapaian keadaan tidak
menular, sehingga mengakhiri isolasi,
kepatuhan terhadap rejimen pengobatan oleh
pasien, dan menyembuhkan secepat mungkin
(umumnya dengan setidaknya 6 bulan
pengobatan)
(Dipiro et al, 2015)
Tahap Pengobatan TB
• Tahap awal : Pengobatan diberikan setiap hari. Panduan pengobatan
dimaksudkan untuk menurunkan jumlah kuman dalam tubuh pasien dan
meminimalisir pengaruh dari sebagian kecil kuman yang mungkin sudah
resisten. Pengobatan tahap awal pada pasien baru harus diberikan selama 2
bulan. Umumnya daya penularan sudah menurun setelah 2 minggu
pengobatan
• Tahap lanjutan : Merupakan tahap penting untuk membunuh sisa kuman
yang masih ada dalam tubuh khususnya kuman persister sehingga pasien
dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan.
(Kemenkes RI, 2014)
Terapi Farmakologi Pada Pasien
Jika pengobatan terputus lebih dari 2 bulan, pasien dengan berat
badan 65 kg berarti menggunakan OAT KDT lini kedua. Pada kasus
kali ini pengobatan pasien baru terputus selama 2 minggu
sehingga pengobatan kategori 1 sebaiknya dilanjutkan saja, tidak
perlu mengganti ke kategori 2
(Kemenkes RI, 2011).
Panduan OAT yang digunakan di Indonesia (sesuai WHO & ISTC)
• Kategori 1 : 2(HRZE)/4(HR)3
• Kategori 2 : 2(HRZE)S/(HRZE)/5(HR)3E3
• Kategori Anak : 2(HRZ)/4(HR) atau 2HRZA(S)/4-10HR
Obat yang digunakan dalam tatalaksana pasien TB resistan obat di Indonesia
terdiri dari OAT lini ke-2 yaitu Kanamisin, Kapreomisin, Levofloksasin, Etionamide,
Sikloserin, Moksifloksasin dan PAS, serta OAT lini-1, yaitu Pirazinamid dan
Etambutol.

(Kemenkes RI, 2014)


TERAPI TB PARU LINI PERTAMA

(Kemenkes RI, 2014)


ISONIAZID
Dosis: 300 mg/hari, sekali sehari
Aturan pakai: pada saat perut kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah
makan, dihabiskan
Indikasi: Terapi semua bentuk tuberkulosis aktif
Kontraindikasi: hipersensitifitas, reaksi adversus seperti cedera hati, kerusakan hati
akut
Efek Samping: gangguan penglihatan, kesemutan, sakit kepala, mulut kering, mual,
muntah, takikardia, dispenia, gangguan fungsi hati
(Depkes RI, 2005)
Mekanisme Kerja: menghambat sintesis asam mikoloat, komponen penting dari
dinding sel bakteri. Pada tingkat terapeutik isoniazid bersifat bakteriosidal terhadap
organisme Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh secara aktif dan intraseluler
(Drugs, 2019).
RIFAMPISIN
Dosis: 300 mg/hari, sekali sehari
Aturan pakai: pada saat perut kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah
makan, dihabiskan
Indikasi: Terapi semua bentuk tuberkulosis aktif
Kontraindikasi: hipersensitifitas, reaksi adversus seperti cedera hati, kerusakan
hati akut
Efek Samping: gangguan penglihatan, kesemutan, sakit kepala, mulut kering,
mual, muntah, takikardia, dispenia, gangguan fungsi hati
(Depkes RI, 2005)
Mekanisme Kerja: menghambat sintesis asam mikoloat, komponen penting dari
dinding sel bakteri. Pada tingkat terapeutik isoniazid bersifat bakteriosidal
terhadap organisme Mycobacterium tuberculosis yang tumbuh secara aktif dan
intraseluler.
(Drugs, 2019).
PIRAZINAMID
Dosis: 2 g/hari, sekali sehari
Aturan pakai: pada saat perut kosong, 1 jam sebelum makan atau 2 jam sesudah
makan
Indikasi: pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain
Kontraindikasi: gangguan fungsi hati parah, porfiria, hipersensitivitas
Efek Samping: mual, muntah, demam, anoreksia, gangguan fungsi hati
(Depkes RI, 2005).
Mekanisme Kerja: Mengubah pirasinamid inaktif menjadi asam pirazinoid oleh
enzim pirazinamidase, dimana asam pirazinoid akan mengganggu sintesis FSA I
yang dibutuhkan bakteri untuk membelah diri
(Drugs, 2019).
ETAMBUTOL
Dosis: 15 mg/kgBB satu kali sehari
Aturan pakai: dikonsumsi dengan makanan atau pada saat perut isi
Indikasi: pengobatan tuberkulosis yang disebabkan oleh Mycobacterium
tuberculosis dalam kombinasi dengan obat antituberkulosis lain
Kontraindikasi: hipersensitivitas terhadap etambutol
Efek Samping: gangguan penglihatan, sakit kepala, mual, muntah, sakit perut
(Depkes RI, 2005).
Mekanisme Kerja: penghambatan sintesa RNA pada bakteri yang sedang
membelah, juga menghindarkan terbentuknya mycolic acid pada dinding sel.
(Drugs, 2019).
1. Mengkonsumsi makanan bergizi.
2. Tinggal dilingkungan sehat.
3. Olahraga secara rutin.
4. Mengurangi makanan natrium dan
kafein,

(Pena, 2019)
Mengkonsumsi Makanan Bergizi Tinggal di Lingkungan Sehat

Penderita secara rutin Lingkungan yang sehat akan


mengkonsumsi makanan bergizi, membantu penyakit TBC untuk sgera
seperti buah, sayur, dan ikan laut. sembuh, karena penyakit ini
Akan tetapi, hindari buah yang disebabkan oleh virus, sehingga
banyak mengandung lemak jahat apabila penderita berada
atau gas, seperti buah nangka, dilingkungan yang kotor maka akan
durian,dondong, dan nanas. menyebabkan virus tersebut semakin
berkembang sehingga akan
memperburuk keadaan.

(Pena, 2019)
Olahraga secara Rutin Mengurangi Makanan Natrium dan
Kafein
Apabila penderita melakukan olahra
ringan secara rutin, seperti jogging Mengurangi makanan yang
atau senam, maka akan membantu mengandung natrium dan kafein,
peredaran darah dan metabolisme maka dapat membantu
dalam tubuh menjadi lancar. penyembuhan penyakit TB dapat
Sehingga, virus penyakit TB tidak berjalan dengan baik.
akan mampu berkembang atau
berduplikasi diri menjadi banyak.
(Pena, 2019)
Konseling
Tujuan konseling :
Untuk meningkatkan pengetahuan, pemahaman, kesadaran dan
kepatuhan sehingga terjadi perubahan perilaku dalam penggunaan
obat dan menyelesaikan masalah yang dihadapi pasien.
Kriteria pasien atau keluarga pasien yang perlu diberi konseling :
1. Pasien kondisi khusus (pediatri, geriatri, gangguan fungsi hati dan/atau
ginjal, ibu hamil dan menyusui).
2. Pasien dengan terapi jangka panjang/penyakit kronis (misalnya: TB,DM, AIDS,
epilepsi).
3. Pasien yang menggunakan Obat dengan instruksi khusus (penggunaan
kortikosteroid dengan tappering down/off).
4. Pasien yang menggunakan Obat dengan indeks terapi sempit (digoksin,
fenitoin, teofilin).
5. Pasien dengan polifarmasi.
6. Pasien dengan tingkat kepatuhan rendah.
(Kemenkes, 2014)
Konseling
Langkah-langkah Konseling :
- Pengumpulan data meliputi identifikasi secara detail dan pengkajian
terhadap masalah yang mungkin menimbulkan ketidakpatuhan klien
dalam meminum OAT
- Perencanaan konseling yang perlu diberikan
- Monitor dan evaluasi hasil konseling
PROGRAM TERAPI TB
- Tujuan pengobatan TB :
- Menyembuhkan penderita
- Mencegah kematian karena TB
- Mencegah kekambuhan
- Memutus mata rantai penularan
- Mencegah resisitensi obat
- Mengurangi dampak ekonomi dan sosial
(Depkes,2005)
Konseling
Tahapan Konseling :
1. Membuka komunikasi antara Apoteker dengan pasien.

2. Menilai pemahaman pasien tentang penggunaan Obat melalui

Three Prime Questions, yaitu :


- Apa yang disampaikan dokter tentang Obat Anda?

- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang cara pemakaian Obat

Anda?
- Apa yang dijelaskan oleh dokter tentang hasil yang diharapkan

setelah Anda menerima terapi Obat tersebut?


3. Menggali informasi lebih lanjut mengenai informasi
obat kepada pasien.
4. Memberikan penjelasan kepada pasien untuk
menyelesaikan masalah penggunaan Obat.
5. Melakukan verifikasi akhir untuk memastikan
pemahaman pasien. (Kemenkes, 2014)
Konseling
Hal-hal yang perlu diperhatikan oleh Apoteker:
- Mempunyai pengetahuan tentang standar diagnosis TB, cara
penyebaran penyakit TB, cara pencegahan penyakit TB, program
terapi TB dan monitoring serta evaluasi terapi TB dengan strategi
DOTS sesuai ISTC
- Menunjukkan penampilan rapi dan sikap yang sopan, sabar dan
empati
- Mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa yang mudah
dimengerti klien
- Menunjukan sikap ingin membantu klien
- Menciptakan suasanan lingkungan konseling yang nyaman
- Mampu menjadi pendengar yang baik dalam menerima keterangan
dari klien

(Depkes,2005)
Konseling
- Mengingatkan klien dengan telpon/sms untuk pengobatan atau
jadwal kontrol kembali
- Memberikan motivasi dalam menangani ketidakpatuhan dengan
menjelaskan keuntungan dari pengobatan
- Tingkatkan kewaspadaan diri klien dari gejala penyakit yang terjadi
sehingga membutuhkan pengobatan dan gejala efek samping dari
OAT
- Menjelaskan bahwa klien harus dapat mengevaluasi diri sendiri,
meliputi membantu klien untuk mengembangkan kepercayaan diri,
memastikan klien telah memahami informasi yang diperoleh dan
memastikan apakah informasi yang diberikan dalam proses konseling
dapat dipahami dengan baik oleh klien dengan cara meminta kembali
klien untuk mengulangi informasi yang sudah disampaikan. Melalui
cara ini pula dapat diidentifikasi penerimaan informasi yang salah
sehingga dapat dilakukan pembetulan. (Depkes,2005)
Konseling
Prinsip pengobatan pada penderita TB adalah:
- OAT dalam bentuk paduan obat adekuat, dosis tepat
- Kombinasi dosis terpadu (KDT) atau fixed dose combination (FDC)
lebih menguntungkan untuk meningkatkan kepatuhan, disamping
memudahkan pemberian obat dan menjamin kelangsungan
(kontinuitas) pengobatan sampai selesai, sehingga sangat dianjurkan
- Pengobatan sesuai dengan klasifikasi dan tipe penderita
- Ada pengawas menelan obat (PMO), untuk menjamin keteraturan
pengobatan penderita TB, atau dibantu alat bantu pengingat agar
tidak lupa untuk mengonsumsi obat TB
- Pengobatan TB dilakukan dengan 2 (dua) tahap, yaitu tahap awal
(selama 2 bulan) dan tahap lanjutan (minimal selama 4 bulan sesuai
klasifikasi dan tipe penderita)
- Mengikuti panduan obat anti TB (OAT)
(Depkes,2005)
Konseling
Apoteker menjelaskan efek samping dari OAT yang digunakan baik
ringan maupun berat dengan pendekatan gejela. Adapun efek
samping ringan OAT:

(Depkes,2005)
Konseling
Apoteker menjelaskan efek samping dari OAT yang digunakan baik
ringan maupun berat dengan pendekatan gejela. Adapun efek
samping berat OAT:

(Depkes,2005)
Konseling
MONITORING DAN EVALUASI TERAPI TB
 Monitoring kemajuan hasil pengobatan pada penderita TB
dewasa dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang dahak
mikroskopis pada akhir tahap awal (akhir bulan ke-2) dan
akhir tahap lanjutan (akhir bulan ke-6).
 Pemeriksaan dahak secara mikroskopis lebih baik dibanding
pemeriksaan radiologis dalam monitoring terapi.
 Evaluasi terapi TB berguna untuk penentuan hasil
pengobatan penderita TB apakah tergolong sembuh,
pengobatan lengkap, putus berobat atau gagal.

(Depkes,2005)

Apa pengobatan ARV yang diberikan jika
pasien diketahui seorang ODHA dengan
stadium klinis 3 dan CD4 250/mm3 ?
• Pengobatan TB tetap merupakan prioritas utama untuk penderita dan harus diberikan
awal sebelum penderita mendapat ARV.
• Pengobatan ARV perlu dimulai meskipun penderita sedang dalam pengobatan TB. Perlu
diingat, pengobatan TB di Indonesia selalu mengandung rifampisin sehingga penderita
dalam pengobatan TB dan mendapat pengobatan ARV bisa mengalami masalah interaksi
obat dan efek samping obat yang serupa sehingga memperberat efek samping obat.

(Kemenkes, 2012).
Tatalaksana pengobatan TB pada pasien dengan infeksi HIV/AIDS
adalah sama seperti pasien TB lainnya. Obat TB pada pasien HIV/AIDS
sama efektifnya dengan pasien TB yang tidak disertai HIV/AIDS. Prinsip
pengobatan pasien TB-HIV adalah dengan mendahulukan pengobatan
TB. Pengobatan ARV(antiretroviral) dimulai berdasarkan stadium klinis
HIV sesuai dengan standar WHO.
( Kemenkes RI, 2009 )
Rekomendasi ART

(Kemenkes RI, 2015).


• Rekomendasi terapi ARV pada Ko-Infeksi Tuberkulosis:
a. Mulai terapi ARV pada semua ODHA dengan TB aktif
b. Mulai terapi ARV sesegera mungkin setelah terapi TB dapat ditoleransi, secepatnya
2 minggu dan tidak lebih dari 8 minggu.
Rekomendasi tersebut diharapkan dapat:
a. menurunkan angka kematian ko-infeksi TB-HIV
b. potensi menurunkan transmisi bila semua penderita HIV memulai terapi ARV lebih
cepat
c. meningkatkan kualitas hidup, menurunkan kekambuhan TB dan meningkatkan
manajemen TB pada penderita ko-infeksi TB-HIV

(Kemenkes, 2013).
ARV Lini Pertama digunakan untuk ODHA yang belum pernah diberikan ARV sebelumnya
(naive ARV)

• tenofovir disoproxil fumarate (TDF) (300mg)


• lamivudine (3TC) atau emricitabine (FTC) (150mg)
• efavirenz (EFV) (200mg & 600mg)
• Zidovudine (AZT) (100mg), (Kemenkes, 2014).
• Nevirapine (200mg)
Lini kedua

( Kemenkes RI,2015 ) (Kemenkes RI, 2012).


DAFTAR PUSTAKA
CDC. 2016. Identifying Healthcare-associated Infections. Diakses secara online di
http://www.cdc.gov/nhsn/PDFs/pscManual/2PSC_IdentifyingHAIs_NHSNcurrent.pdf. (Diakses pada tanggal 02
Desember, 2019).
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Tersedia online di
http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1309242859_YANFAR.PC%20TB_1.pdf . [diakses pada 02
Desember 2019].

Depkes RI. 2007. Pedoman Konseling Pelayanan Kefarmasian di Sarana Kesehatan. Jakarta: Depkes RI.
Departemen Kesehatan RI. 2005. Pharmaceutical Care untuk Penyakit Tuberkulosis. Tersedia online di

http://binfar.depkes.go.id/dat/lama/1309242859_YANFAR.PC%20TB_1.pdf . [diakses pada 02

Desember 2019].

Hiswani. 2009. Tuberkulosis merupakan Penyakit Infeksi yang menjadi Masalah Kesehatan Masyarakat.

http://library.usu.ac.id/download/from:hiswani6.pdf2009 (diakses pada tanggal 02 Desember 2019 )

Kepmenkes RI. 2009. Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis. Tersedia Secara Online di

http://www.persi.or.id/iamges/regulasi/kepmenkes/kmk3642009.pdf. [Diakses pada 02 Desember 2019].


DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2012. Pedoman Nasional Tatalaksana Klinis Infeksi HIV dan Terapi Antiretroviral pada orang Dewasa dan
Remaja. Jakarta : Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
2013.Petunjuk teknis tatalaksana klinis ko-infeksi TB-HIV. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia No. 35 Tahun 2014 tentang Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek. Tersedia
onlinedi https://www.kemhan.go.id/itjen/wp-content/uploads/2017/03/bn1162-2014.pdf [Diakses pada 02
Desember 2019].
Pena, S. 2019. Terapi Non Farmakologi penyakit TBC. Tersedia secara online di website
https://www.terapinonfarmakologi.com/2015/01/terapi-non-farmakologi-penyakit-
tbc.html [diakses pada tanggal 02 Desember 2019]

Anda mungkin juga menyukai