Anda di halaman 1dari 4

Demam Tifoid

Demam tifoid adalah penyakit demam akut yang disebabkan oleh kuman Salmonella
typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. enteriditis bioserotip paratyphi A dan S.
enteriditis serotip paratyphi B yang disebut demam paratyphoid. Kuman masuk melalui
saluran pencernaan lewat makanan yang terkontaminasi. Sebagian dimusnahkan dalam
lambung, namun ada yang lolos sampai usus, kemudian berkembang biak. Bila respon
imunitas mukosa (IgA) kurang baik, kuman dapat menembus sel epitel (terutama sel-M),
selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kemudian berkembang biak dan difagosit
terutama oleh makrofag. Kuman dapat hidup di makrofag kemudian dibawa ke plaques
peyeri kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika. Kemudian kuman masuk ke
sirkulasi darah (menyebabkan bakteremia pertama yang asimtomatik), kemudian
menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial terutama hati dan limpa. Di organ ini
kuman menyebarkan meninggalkan sel fagosit kemudian berkembang biak di luar sel
atau ruang sinusoid selanjutnya masuk ke dalam sirkulasi darah lagi mengakibatkan
bakteremia kedua kalinya dengan disertai tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi
sistemik. (Gambar 1)

Gambar 1. Patogenesis demam tifoid

Malaria

Malaria adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh parasit Plasmodium yang hidup
dan berkembang biak dalam sel darah merah manusia. Penyakit ini secara alami
ditularkan melalui gigitan nyamuk anopheles betina. Proses patogenesis malaria diawali
setelah melalui jaringan hati Plasmodium (P. faciparum) melepas 18-24 merozoit ke
sirkulasi, kemudian merozoit akan masuk ke dalam sel RES (sistem retikuloendotelial) di
limpa dan mengalami fagositosis serta filtrasi, namun lolos. Merozoit yang lolos akan
menginvasi eritrosit. Selanjutnya, parasit akan berkembangbiak secara aseksual di
eritrosit (EP). Parasit dalam eritrosit kemudian akan melewati 2 stadium:
1. Stadium cincin (pada 24 jam pertama); eritrosit menampilkan antigen Ringerythrocyte surface antigen yang menghilang setelah parasit masuk stadium matur.
2. Stadium matur (pada 24 jam kedua); eritrosit mengalami penonjolan membentuk
knob dengan HRP-1 (Histidin Rich protein-1), kemudian eritrosit mengalami
merogoni, dilepaskannya toksin malaria berupa glikosilfosfatidilinositol yang
merangsang pelepasan TNF- dan interleukin-1 (IL-1) dari makrofag.
Mekanisme selanjutnya adalah sitoadherensi, sekuestrasi, rosetting, dan peran mediator
nitrit oksida dalam menginduksi respon imunitas menyebabkan manifestasi klinis berat
malaria.
Patogenesis malaria dipengaruhi baik faktor parasit (intensitas transmisi, densitas parasit,
virulensi parasit) maupun pejamu (host) (tingkat endemitas tempat tinggal, respon imun,
nutrisi).

Leptospirosis
Leptospirosis

adalah

suatu

penyakit

zoonosis

yang

disebabkan

oleh

mikroorganisme Leptospira interrogans. Manusia dapat terinfeksi melalui kontak dengan


air, atau tanah, lumpur yang telah terkontaminasi dengan urine binatang yang telah
terinfeksi leptospira, melalui luka/erosi pada kulit ataupun selaput lendir.
Setelah leptospira masuk aliran darah dan berkembang, kemudian menyebar ke jaringan
secara luas (fase leptospiremia). Selanjutnya terjadi respon imun, walaupun demikian
beberapa organisme ini masih bertahan pada daerah yang terisolasi secara imunologi
seperti di dalam ginjal, yang kemudian dilepaskan melalui urine (fase leptospiruria).
Leptospira dapat dihilangkan dengan fagositosis dan mekanisme humoral. Kuman ini
dapat dengan cepat lenyap dari darah setelah terbentuknya agglutinin. Tiga mekanisme
yang terlibat dalam patogenesis leptospirosis adalah invasi bakteri langsung, faktor
inflamasi non spesifik, dan reaksi imunologi.

Hepatitis B
HBV masuk ke dalam tubuh secara parenteral. Dari peredaran darah partikel Dane
(virion HBV) masuk kedalam hati dan kemudian terjadi proses replikasi di sana.
Hepatosit kemudian akan memproduksi dan mensekresivirion (partikel Dane), partiel
HBsAg, serta HBeAG (yang tidak membentuk partikel virus). Respons imun nonspesifik pertama kali dirangsang dengan memanfaatkan sel-sel natural killer. Respons
imun ini tidaklah cukup untuk mengeradikasi HBV lebih lanjut. Oleh karena itu
respons imun spesifik kemudian direkrut untuk mengaktivasi sellimfosit T dan B. Sel
T-sitotoksik (CD8+) teraktivasi setelah melakukan kontak dengan peptida HBV yang
dipasang di MHC kelas I antigen presenting cell (APC). Peptida yang dipasang di
MHC ini berupa HBcAg serta HBeAg.Proses eliminasi ini mengakitatkan
peningkatan ALT. Namun demikian terdapat pula proses eliminasi yang
tidak menimbulkan kerusakan hepatosit melalui aktivitas TNF-alfa serta interferon
gamma. Sel limfosit B akan membentuk sel plasma melalui aktivasi sel CD4+ (Thelper) sehingga menghasilkan antibodi anti-HBs, anti-HBc, serta anti-HBe. AntiHBs berfungsi untuk netralisasi partikel HBV dan mencegah masuknya virus ke
dalam sel. Oleh karena itu anti-HBs mencegah penyebaran virus dari sel ke sel.
Apabila terjadipersistensi viremia, hal ini tidak disebabkan oleh ketidakmampuan atau
defisiensi anti-HBs, yang dibuktikan dengan tetap ditemukannya anti-HBs walaupun
bersembunyi dengan kompleks HBsAg. Proses eliminasi viremia melibatkan faktor
virus maupun faktor pejamu. Salah satu mekanisme yangmenjelaskan terjadinya
presisten infeksi HBV adalah adanya mutasi di daerah precore sehingga menyebabkan
tidak dihasilkannya HBeAg. Eliminasi sel akibat infeksi mutan ini menjadi terhambat.
Sementara itu pada anak-anak yangterinfeksi HBV mulai dari neonatus akan
cenderung terjadi persistensi akibat imunotoleransi terhadap HBeAg yangmasuk ke
dalam tubuh janin mendahului invasi HBV. Dalam keadaan normal, saat fase
replikatif tengah berlangsung, titer HBsAg ditemui sangat tinggi, HBeAgpositif, serta
anti-HBe yang negatif. Konsentrasi DNA HBV juga tinggi. Mutasi di gen P
bermanifestasi kepada tingginya kadar DNA namun tidak ditemui nilai HBeAg akibat
dari tidak dapat diproduksinya antigen tersebut.

Hepatitis C
Virus ini biasanya ditularkan melalui pajanan berulang secara perkutan, seperti darah
dari transfusi,transplantasi oragan terinfeksi, serta penggunaan suntikan intravena.
Ada pula kemungkinan penyebaran secaraperinatal, namun kejadiannya tidak

sebanyak kejadian pada virus hepatitis B.Virus ini memasuki hepatosit karena
memiliki reseptor yang kompatibel dengan struktur virus hepatitis C.Mekanisme
imunologis kemudian menyebabkan kerusakan hepatosit. Oleh karena itu, kualitas
sistem imun seluler penting untuk eliminasi atau bahkan persistensi infeksi ini.
Diketahui bahwa sel CD4+ T dan sitokin yang dihasilkannya berperan dalam
patogenesis kekronikan infeksi ini.Reaksi inflamasi akibat kerusakan hepatosit
dapatmembuat sel stelata di celah disse hepatosit menjadi aktif, bertransformasi
menjadi miofibroblas yang menghasilkan matriks kolagen dan mendukung terjadinya
fibrosis. Reaksi penmbentukan fibrosis ini semakin lama semakinekstensif dan
hepatosit menjadi minoritas di tengah pertumbuhan jaringan ikat ini. Oleh karena itu
proses ini kemudian menimbulkan kerusakan hati lanjut dan sirosis hati. Kegagalan
sistem antivirus tubuh mengeliminasi virusini sehingga mengakibatkan perjalanan
menuju kronis belum dengan jelas dapat dijelaskan. Namun demikian, diduga bahwa
virus memiliki beberapa strategi untuk menghindari sistem antivirus tubuh, seperti
menginhibisi interferon-mediated cellular antiviral response.

Anda mungkin juga menyukai