Anda di halaman 1dari 95

1

BAB I

LATAR BELAKANG

A. Pendahuluan

Rumah sakit merupakan salah satu fasilitas pelayanan kesehatan


perorangan yang memberikan pelayanan kepada masyarakat secara paripurna
dalam upaya pemeliharaan kesehatan.1,2 Disisi lain, rumah sakit juga berperan
dalam transmisi berbagai mikroba yang dapat menyebabkan infeksi selama
pasien dirawat atau segera setelah pasien dipulangkan. Infeksi yang diperoleh
pasien selama dirawat di rumah sakit disebut infeksi nosokomial atau health
care associated/ acquired infections (HAIs). 2,3

health care associated/ acquired infections (HAIs) merupakan infeksi


yang timbul setelah 72 jam pasien dirawat inap sampai 30 hari lepas rawat.
Infeksi nosokomial meningkatkan morbiditas dan mortalitas di dunia baik di
negara maju maupun negara berkembang. 2,4 Selain itu, health care associated/
acquired infections (HAIs) di dunia baik di negara maju maupun negara
berkembang. Kejadian terbanyak health care associated/ acquired infections
(HAIs) juga dapat meningkatkan biaya rumah sakit pasien.5 Suatu penelitian
yang dilakukan di 11 rumah sakit di DKI Jakarta menunjukkan bahwa 9,8%
pasien yang dirawat inap mengalami infeksi nosokomial. 2,4

Menurut penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun 2004,


prevalensi infeksi nosokomial di Indonesia banyak terjadi di rumah sakit
pemerintah yaitu sebesar 35,8-55,1% dari jumlah pasien 991-1.527 orang
dengan jumlah pasien berisiko sebesar 130.047-160.417 orang.6 Penelitian yang
dilakukan Ibrahim dkk Tahun 2019 bahwa health care associated/ acquired
infections (HAIs) terbanyak adalah flebitis, infeksi luka operasi (ILO), dan
dekubitus, diikuti oleh infeksi saluran kemih (ISK) dan sepsis. 7 Hasil penelitian
di RS Islam Sultan Agung Semarang juga menunjukkan hasil yang sama
bahwa ILO merupakan health care associated/ acquired infections (HAIs)
2

yang banyak ditemukan.8


Angka kejadian health care associated/ acquired infections (HAIs) dapat
ditekan, salah satunya dengan mengetahui pola mikrobial dan sensitivitas
antibiotik. Sehingga klinisi dapat memiliki “peta” jenis kuman yang berpotensi
menyebabkan infeksi nosokomial memberikan terapi antibiotik yang sesuai.
Lebih jauh lagi, pemberian antibiotik yang sesuai dengan etiologi dapat
menurunkan angka resistensi antibiotik yang makin lama makin tinggi di dunia
kesehatan.9,10
Ruang rawat inap Obstetri adalah unit utama dalam perawatan pasca salin,
hingga kasus keganasan Obstetri dan Ginekologi, dimana terjadi penurunan
system imunitas pada kelompok pasien ini. Pemakaian antibiotik sebagai terapi
empiris pada ruang Obstetri dan Ginekologi adalah mencapai 96%, bahkan
seringkali pasien diberikan lebih dari satu jenis antibiotik, sehingga
dikhawatirkan penggunaan antibiotik yang berlebihan ini akan semakin
meningkatkan angka resistensi mikroba.
Belum ada penelitian yang spesifik dalam mempelajari pola mikroba dan
sensitivitas antibiotik di bangsal rawat inap kebidanan rumah sakit Dr.
Mohammad Hoesin (RSMH) Palembang, sehingga peneliti tertarik untuk
meneliti bagaimana pola mikroba dan sensitivitas antibiotik tersebut.

B. Rumusan Masalah

Bagaimanakah pola mikroba dan sensitivitas antibiotik pasien yang dirawat di


bangsal perawatan kebidanan RSMH (Enim gedung C) tahun 2018?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Mengetahui pola mikroba dan sensitivitas antibiotik pasien baru yang dirawat
di bangsal perawatan kebidanan RSMH (Enim gedung C) sebagai salah satu
dasar untuk menentukan terapi empiris, periode tahun 2018.
3

2. Tujuan Khusus

a. Mengetahui sebaran pola mikroba di kalangan pasien yang mengalami


infeksi di bangsal perawatan kebidanan RSMH dan sumber spesimen
(Sputum, Darah, Urin, Swab dan Pus) Semester I, Januari – Juni Tahun
2018.

b. Mengetahui sebaran pola mikroba di kalangan pasien yang mengalami


infeksi di bangsal perawatan kebidanan RSMH dan sumber spesimen
(Sputum, Darah, Urin, Swab dan Pus) Semester II, Juli – Desember Tahun
2018.

c. Mengetahui pola mikroba dari hasil biakan menurut lokasi pengambilan


spesimen Semester I, Januari – Juni Tahun 2018.

d. Mengetahui pola mikroba dari hasil biakan menurut lokasi pengambilan


spesimen Semester II, Juli – Desember Tahun 2018.

e. Mengetahui kepekaan antibiotik pada lima bakteri terbanyak berdasarkan


sensitivitas dan resistensinya Semester I, Januari – Juni Tahun 2018.

f. Mengetahui kepekaan antibiotik pada lima bakteri terbanyak berdasarkan


sensitivitas dan resistensinya Semester II, Juli - Desember Tahun 2018.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Akademik

a. Memberikan informasi dan dasar rujukan berbasis bukti terkait pola kuman
dan sensitivitas antibiotik di bangsal perawatan kebidanan RSMH
b. Menjadi penelitian dasar bagi penelitian lanjutan terkait kasus-kasus infeksi
dan pemberian antibiotik yang tepat
4

2. Manfaat Klinis

a. Menjadi dasar pertimbangan berbasis bukti dalam pemberian antibiotik


sebagai terapi empiris pada pasien rawat inap kebidanan RSMH
b. Menjadi dasar pertimbangan pemberian antibiotik tunggal berbasis bukti dan
mencegah multidrugs

3. Manfaat Institusi

a. Menjadi dasar pertimbangan biaya dan keefektivan pemberian antibiotik


empiris pada pasien rawat inap kebidanan RSMH
b. Menjadi data dasar dalam pengambilan keputusan dan kebijakan pemberian
antibiotik dan kaitannya dengan klaim jenis antibiotik yang di-cover oleh
BPJS
5

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Infeksi Rumah Sakit


1. Definisi
Infeksi rumah sakit (IRS) / health care acquired infections (HAIs) adalah
infeksi yang didapatkan oleh pasien ketika mendapatkan pelayanan medis dan
merupakan kejadian yang paling sering terjadi pada pasien di seluruh dunia.11,12
HAIs juga mencakup infeksi yang didapat di Rumah Sakit (RS) ttapi baru
muncul setelah keluar RS dan juga infeksi akibat kerja pada tenaga kesehatan. 1
Kejadian HAIs yang paling sering terdapat pada urin, darah dan luka infeksi.
Penyebab HAIs biasanya adalah mikroba yang resisten terhadap antibiotik
yang biasa digunakan atau resisten dengan berbagai antibiotik.11,12
Beberapa literatur juga kerap menggunakan istilah Health Care Acquired/
Associated Infections. Istilah-istilah yang digunakan ini untuk membedakannya
dengan infeksi yang didapat di masyarakat (community acquired infection),
dimana pola etiologi penyebab infeksi dan penatalaksanaanya tentunya sangat
berbeda. 22

2. Epidemiologi
Menurut WHO, setiap 100 orang pasien rawat inap dalam beberapa waktu,
tujuh pasien pada negara maju dan 15 pasien pada negara berkembang
mengalami minimal satu HAIs. Kejadian HAIs juga secara signifikan lebih
tinggi 2-3 kali pada negara dengan pendapatan rendah dan sedang atau LMICs
dibandingkan dengan negara dengan pendapatan yang tinggi terutama pada
pasien rawat inap di intensive care unit (ICU) dan neonatus.11,12 Infeksi dan
morbiditas pasca operasi merupakan masalah kesehatan yang serius di seluruh
dunia. Dapat diasumsikan secara global dari rasio efek samping perioperatif
sebesar 3% dan rasio mortalitas sebesar 0,5%, hampir tujuh juta pasien yang
mendapatkan prosedur operasi diantaranya satu juta yang meninggal saat atau
setelah melakukan operasi setiap tahunnya.11,13
6

Dari data WHO (2002) menyebutkan angka kejadian HAIs cukup


tinggi untuk daerah Mediterania Timur (11,8%), Asia Tenggara (10%), Eropa
(7,7%) dan Pasifik Barat (9,0%) dengan pola kuman lokal sesuai dari data
masing-masing regio. 23
Sebuah survei yang dilakukan Magill dkk. (2014) terhadap 11.282 pasien
dari 183 rumah sakit perawatan akut Amerika Serikat, ditemukan setidaknya
1 infeksi nosokomial pada 452 pasien (4,0%) (504 infeksi total). Terdapat
Infeksi terkait instrumen kesehatan, seperti Infeksi Saluran Kemih (ISK). ISK
sering disebabkan oleh penggunaan kateter sebanyak 25,6%, infeksi pada
saluran bedah dan pneumonia masing-masing menyumbang 21,8%, dan
infeksi gastrointestinal menyumbang sekitar 17,1%. Clostridium difficile
adalah patogen yang paling umum, menyebabkan 12,1% infeksi terkait
kesehatan, Staphylococcus aureus adalah patogen kedua yang paling umum
(10.7%), diikuti oleh Klebsiella pneumoniae dan Klebsiella oxytoca (9,9%)
dan Escherichia coli (9,3%).25
Pada penelitian yang dilakukan oleh Nugraheni, Suhartono dan
Winarni (2012), prevalensi kejadian health care acquired infections (HAIs) di
RSUD Setjonegoro dari bulan Juli 2009‒Desember 2011, kejadian ISK
sebesar 0,33 per 1000 pasien rawat inap, Infeksi Luka Operasi (ILO) sebesar
l,21 per 1000 pasien rawat inap, Pneumonia sebesar 0 per 1000 pasien rawat
inap, Sepsis sebesar 0,12 per 1000 pasien rawat inap, Dekubitus sebesar 1,12
per 1000 pasien rawat inap, dan Phlebitis sebesar 5,02 per 1000 pasien rawat
inap. 26
Sementara itu, data dari Pencegahan dan Pengedalian Infeksi Rumah
Sakit (PPIRS) RSCM, menunjukkan bahwa angka kejadian HAIs pada tahun
2010 berupa infeksi aliran darah (Blood Stream Infection = BSI) mencapai
7,04 kejadian per 1000 pasien pada 8 hari pemasangan kateter vena sentral.
Untuk infeksi nosokomial saluran kemih mencapai 4,60 per 1000 pasien pada
5 hari pemasangan kateter urin. Sedangkan infeksi saluran napas hanya
dijumpai 1,24 per 1000 pasien pada 8 hari tirah baring. 22
7

3. Klasifikasi Infeksi Rumah Sakit


Health care associated/ acquired infections (HAIs) dibagi menjadi empat jenis
berdasarkan berdasarkan kejadian yang paling sering yaitu:
a) Infeksi saluran kemih / Catheter-associated urinary tract infections
(CAUTI)
Infeksi saluran kemih (ISK) merupakan jenis infeksi yang terjadi pada
saluran kemih murni (uretra dan permukaan kandung kemih) atau melibatkan
bagian yang lebih dalam dari organ-organ pendukung saluran kemih (ginjal,
ureter, kandung kemih, uretra dan jaringan sekitar retroperitoneal atau rongga
perinefrik).4 Faktor resiko terjadinya ISK adalah penderita yang terpasang
kateter dan memiliki faktor-faktor seperti kondisi pasien yang kurang baik
(komorbiditas DM, malnutrisi, disfungsi kandung kemih), prosedur
pemasangan yang tidak benar, dan perawatan yang kurang. Gejala klinis dari
ISK adalah demam (>38˚C), urgensi, frekuensi, disuria atau nyeri supra
pubik.1,2

b) Pneumonia
Terdapat dua jenis pneumonia yang disebabkan oleh HAIs yaitu
Healthcare Associated Pneumonia (HAP) dan Ventilator Associated
Pneumonia (VAP).4 HAP adalah infeksi saluran napas bawah yang mengenai
parenkim paru setelah pasien dirawati di rumah sakit >48 jam tanpa
dilakukan intubasi dan sebelumnya tidak menderita infeksi saluran napas
bawah. HAP dapat diakibatkan oleh tirah baring lama (koma/tidak sadar,
trakeostomi, refluks gaster, endotracheal tube).4 Sedangkan VAP adalah
infeksi saluran napas bawah yang mengenai parenkim paru setelah pemakaian
ventilasi mekanik >48 jam, dan sebelumnya tidak ditemukan tanda-tanda
infeksi saluran napas. Tanda dan gejala klinis dari pneumonia adalah demam
(>38˚C), lekopenia atau lekositosis, sifat sputum yang berubah, batuk yang
8

memburuk, dispnea, takipnea, dan ronki basah.1,2


c) Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) / Central-line associated
bloodstream infections (CLABSI)
Infeksi Aliran Darah Primer (IADP) adalah infeksi yang terjadi akibat
masuknya mikroba melalui peralatan yang dimasukkan ke dalam sistem
pembuluh darah. Peralatan yang dapat mengakses langsung peredaran darah
adalah kateter vena atau arteri. Alat ini digunakan dapat sebagai perawatan
atau diagnostik. Penegakan diagnosis IADP adalah ditemukannya organisme
dari hasil kultur darah disertai tanda klinis yang jelas serta tidak ada
hubungannya dengan infeksi di tempat lain dan/atau dokter yang merawat
menyatakan telah terjadi infeksi.1,2

d) Infeksi Luka Operasi


Infeksi Luka Operasi (ILO) dapat disebut dengan Surgical Site Infection
(SSI) adalah komplikasi dari tindakan operasi yang disebabkan oleh adanya
infeksi akibat mikroba yang masuk ke dalam luka operasi. Sumber utama
mikroba yang dapat menyebabkan infeksi yaitu bakteri flora normal dari
kulit, membran mukus, dan lumen visera pasien.11,14 Namun, bakteri juga
dapat berasal dari lingkungan luar seperti udara di dalam kamar operasi, alat-
alat bedah, sarung tangan atau bahkan medikasi yang diberikan saat prosedur
operasi. 11,15
Menurut Widodo dan Irwanto (2014), terdapat 3 komponen yang harus
diperhatikan pada kejadian infeksi nosokomial, yaitu:
1. Faktor intrinsik
Faktor intrinsik merupakan faktor terkait kerentanan pejamu terhadap
infeksi. Pejamu yang imunokompromais tentunya memiliki
kecenderungan lebih besar untuk mengalami infeksi nosokomial
dibandingkan dengan pejamu yang imunokompeten.
2. Faktor ekstrinsik
Faktor ekstrinsik adalah faktor yang berasal dari lingkungan sekitarnya,
dalam hal ini adalah lingkungan rumah sakit, mulai dari kebersihan
ruang rawat, poliklinik, sampai pada instrumen-instrumen medik,
9

rumah sakit, juga termasuk pegawai, tenaga kesehatan dan bahkan juga
dokter yang bekerja di rumah sakit yang memiliki risiko menularkan
infeksi pada pasien-pasien yang menjalani perawatan di rumah sakit.
3. Keterlibatan mikroba
Berbagai mikroba yang terlibat di rumah sakit merupakan faktor risiko
penyebab terjadinya infeksi nosokomial.22

B. Antibiotik
1. Definisi
Menurut Selman A. Waksman pemenang Nobel Prize bidang Fisiologi
atau Kesehatan di tahun 1952, antibiotik adalah senyawa yang dapat
menghambat pertumbuhan atau aktivitas metabolik dari bakteri atau mikroba
lainnya. Senyawa antibiotik dapat berasal dari senyawa antibiotik dari bahan-
bahan alami.28 Antibiotik pertama yang ditemukan adalah penisilin pada tahun
1928 oleh Alexander Flemming. Pada saat itu, penisilin mampu menghambat
pertumbuhan dari bakteri khususnya Staphylococcus dan Streptococcus tanpa
membahayakan hospesnya.29 Pada tahun 1940, penisilin baru mulai digunakan
pada manusia untuk kepentingan klinis.30 Setelah beberapa dekade
ditemukannya antibiotik pertama kali, pada abad ke-21 ini telah ditemukan
ratusan antibiotik yang digunakan sebagai terapi dan memicu penggunaan
antibiotik yang besar pula.19
2. Antibiotik Profilaksis Laparatomi
Antiobiotik profilaksis telah digunakan secara efektif untuk mencegah ILO
setelah mendapatkan prosedur operatif sejak tahun 1969.11,20 Terdapat tiga
kriteria klinis yang harus dimilikioleh pasien untuk dapat diberikan antibiotik
profilaksis. Pertama, berdasarkan prosedur operasi yaitu operasi dengan jenis
operasi terkontaminasi. Kedua, jenis operasi yang memiliki insidensi tinggi
terhadap infeksi pasca operasi apabila tidak diberikan profilaksis. Ketiga,
kemungkinan timbulnya sekuel yang tinggi akibat infeksi primer. Sebagian
besar operasi seksio sesarea memenuhi tiga kriteria yang telah disebutkan.
Tujuan dari antibiotik profilaksis yaitu untuk memperoleh dosis yang cukup
10

pada jaringan saat terjadi kontaminasi bakteri. Selain itu, agen yang optimal
harus memiliki kriteria long acting, tidak mahal, dan mempunyai sedikit efek
samping.21
CDC merekomendasikan antibiotik sefalosporin generasi pertama seperti
sefazolin untuk diberikan pada prosedur laparatomi. Sedangkan American
College of Obstetrics and Gynecologists (ACOG) merekomendasikan sefazolin
diberikan setelah pemotongan tali pusat.34 Pemilihan sefalosporin sebagai
antibiotik profilaksis disebabkan karena aktivitas spektrum luas yang
dimilikinya dan mempunyai efek samping yang sedikit. Generasi pertama
sefalosporin memiliki aktivitas yang lebih dalam melawan S. aureus, memiliki
harga yang lebih murah, dan mempunyai spektrum yang lebih luas pada
aktivitas in vitro. Selain penggunaan sefalosporin sebagai antibiotik profilaksis
pada prosedur operasi seksio sesarea, terdapat beberapa antibiotik lain yang
dipakai seperti penisilin.21
Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia (Permenkes
RI) Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011, jenis antibiotik untuk bedah secara
umum biasanya digunakan golongan sefalosporin kelas I dan II. Pada kasus
tertentu, jika ditemukan bakteri anaerob dapat ditambahkan metronidazole.35
Golongan antibiotik sefalosporin kelas III dan antibiotik golongan penisilin
dapat juga digunakan sebagai antibiotik profilaksis pada prosedur laparatomi
khususnya seksio sesarea.24

3. Resistensi Antibiotik
Resistensi antibiotik adalah hasil dari perubahan pada bakteri yang
mereduksi atau mengeliminasi efektivitas antibiotik. Hal ini adalah masalah
yang serius bagi seluruh dunia. Bentuk baru dari kuman yang mengalami
resistensi antibiotik dapat menyebar ke seluruh dunia dengan mudah.
Pemimpin kesehatan dunia menyebutkan bahwa mikroba resisten adalah
ancaman yang sangat besar pada seluruh manusia di setiap negara di dunia. 25
Terdapat beberapa mekanisme yang dapat menyebabkan resistensi antibiotik
pada bakteri. Mekanisme resistensi antibiotik yang paling sering terjadi pada
bakteri adalah perubahan membran permeabilitas atau binding sites, pompa
11

efluks yang menolak antibiotik yang seharusnya masuk, dan enzim degradasi
antibiotik. 26
Perubahan membran permeabilitas membran terluar pada bakteri
menyebabkan difusi antibiotik ke dalam bakteri menjadi lebih sulit, khususnya
pada bakteri gram negatif yang memiliki lipopolisakarida (LPS) membuat
penetrasi obat menjadi lebih lambat sehingga obat masuk melalui jalur lain
yaitu porin. Antibiotik seperti beta laktam, kloramfenikol, dan fluorokuinolon
akan masuk ke dalam porin. Jika terjadi perubahan pada ukuran, jumlah, dan
selektifitas porin akan menyebabkan perubahan pada rasio difusi antibiotik
tersebut. 27
Gen pompa efluks dapat ditemukan pada semua organisme. Pada bakteri,
gen yang berperan berlokasi pada kromosom atau eleman genetik yang dapat
ditularkan seperti plasmid. Peran pompa refluks dalam resistensi antibiotik
adalah dengan cara menurunkan kemampuan penerimaan bakteri terhadap
antibiotik. Pompa efluks dapat bekerja secara spesifik pada satu substrat atau
bahkan bekerja pada komponen yang berbeda (pada antibiotik dengan kelas
kimia yang berbeda, hal ini berhubungan dengan multidrug resistance (MDR).
Mekanisme resistensi antibiotik ini dapat ditemukan pada bakteri antara lain
Pseudomonas aeruginosa, E. coli, dan Staphylococcus aureus.28
Mekanisme resistensi antibiotik berikutnya melibatkan enzim yang
dihasilkan bakteri dalam mengubah struktur obat. Reaksi yang ditimbulkan
bersifat ireversibel dan antibiotik yang dipengaruhi oleh enzim tidak dapat
berikatan dengan target karena struktur yang berubah. Antibiotik yang dapat
dipengaruhi oleh mekanisme ini antara lain aminoglikosida, penisilin,
fosfomisin, makrolid, linkomisin, dan kloramfenikol. Enzim yang
mempengaruhi struktur aminoglikosida adalah aminoglycoside phospho-
transferases (APHs). Beta laktamase berperan dalam merubah struktur obat
penisilin. Perubahan struktur makrolid dipengaruhi oleh macrolide kinases
(MPHs), FosA atau FosB menginaktivasi fosfomisin. Aminoglikosida dan
linkomisin diubah oleh nucleotidyl transferases (ANTs). Selain itu,
kloramfenikol diinaktivasi oleh asetil transferase.29
12

Sebuah penelitian pada kultur bakteri dari isolat pasien yang mengalami
ILO menunjukkan bahwa strain S. aureus mengalami resistensi yang tinggi
terhadap seftriakson (100%), penisilin (91,36%), amoksisilin/klavulanat
(87,5%), amikasin (80%), dan amoksisilin (83,33%). Pada bakteri E. coli,
penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa bakteri E. coli yang berasal dari
pasien ILO mengalami resistensi pada sefuroksim (89,5%), sefepim (84,2%),
dan sefazolin (77,8%).42

C. Multidrug Resistant Organism


1. Definisi
Sesuai standar internasional yang dibuat oleh European Centre for Disease
Prevention and Control (ECDC) dan Centres for Disease Control and
Prevention (CDC) menggunakan dokumen dan breakpoint dari Clinical
Laboratory Standards Institute (CLSI), European Committee on Antimicrobial
Susceptibility Testing (EUCAST) and United States Food and Drug
Administration (FDA), Multidrug Resistant Organisms (MDRO) adalah
organisme sebagian besar bakteri yang mengalami resisten terhadap minimal
satu anti mikroba dari ≥3 golongan antimikroba.43,44
Bakteri yang mengalami MDR ada di tubuh banyak orang, termasuk di
kulit, di hidung atau area tubuh yang lembab, dan dalam sekresi. Resistensi
antibiotik sering terjadi setelah penggunaan antibiotik yang sering atau paparan
yang sering ke pengaturan perawatan kesehatan. Bagi kebanyakan orang sehat,
bakteri ini tidak menimbulkan masalah. MDRO dapat masuk ke dalam tubuh
dan menyebabkan infeksi. MDRO kemungkinan besar memasuki tubuh
jika:43,44
- Ada luka terbuka di kulit
- Ada IV, kateter atau alat invasif lainnya
- Orang tersebut memiliki sistem kekebalan yang ditekan.
Terdapat perbedaan antara kolonisasi dan gejala infeksi pada MDRO.
Kolonisasi berarti MDRO ada di dalam atau di tubuh tetapi tidak menyebabkan
13

penyakit. Orang sehat dapat membawa MDRO tanpa menjadi sakit. Infeksi
berarti MDRO ada di dalam atau di tubuh dan menyebabkan penyakit. Gejala
infeksi dengan MDRO bervariasi tergantung pada bagian tubuh yang terinfeksi.
Infeksi dapat terjadi di bagian tubuh mana pun, termasuk kulit, paru-paru,
saluran kemih, atau aliran darah.43,44
Penyebab utama resistensi antibiotik adalah penggunaannya yang meluas
dan kurang tepat.45 Sebagian besar jenis bakteri dapat diobati dengan antibiotik.
Seiring waktu, beberapa jenis bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik
tertentu. Ini berarti antibiotik tidak berfungsi untuk mengobati bakteri.
Antibiotik lain perlu digunakan untuk mengobati bakteri. MDRO bisa lebih
sulit diobati, karena mereka resisten terhadap antibiotik tertentu. Contoh dari
MDRO yaitu:
1. vancomycin‐resistant Enterococcus faecium/faecalis (VRE);
2. methicillin‐resistant Staphylococcus aureus (MRSA);
3. multidrug‐resistant Gram‐negative bacteria (MDRGN);
4. Pseudomonas aeruginosa resisten terhadap banyak antibiotik.

2. Kategori
MDRO dibagi menjadi 3 kategori :
1. Extensively drug-resistant (XDR), yaitu suatu keaadan dimana bakteri
resisten terhadap minimal satu antimikroba di semua golongan
antimikroba kecuali pada ≤2 golongan antimikroba (yaitu, isolat bakteri
tetap rentan hanya pada satu atau dua golongan antimikroba)
2. Pandrug-resistant (PDR) yang didefinisikan sebagai suatu keadaan
dimana bakteri resisten terhadap semua antimikroba di semua golongan
antimikroba.
3. multidrug-resistant (MDR) didefinisikan sebagai suatu keaadan dimana
bakteri resisten terhadap minimal satu antimikroba dari ≥3 golongan
antimikroba
Isolat bakteri yang masuk dalam kategori XDR juga masuk dalam kategori
MDR, begitu pula dengan isolat bakteri yang harus masuk dalam kategori XDR
14

agar dapat didefinisikan lebih lanjut sebagai PDR43. Gambar 1 menunjukan


diagram hubungan antara MDR, XDR, dan PDR.

Gambar 1. Diagram Hubungan MDR, XDR dan PDR satu sama lain
Sumber: Multidrug-resistant, extensively drug-resistant and pandrug-
resistant bacteria: an international expert proposal for interim
standard definitions for acquired resistance. Magiorakos et al., 2011.43

3. Pedoman Penggunaan Antibiotik Menurut Peraturan Menteri Kesehatan


Republik Indonesia Nomor 2406/MENKES/PER/XII/2011
Intensitas penggunaan antibiotik yang relatif tinggi menimbulkan berbagai
permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi
bakteri terhadap antibiotik. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas,
juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi.
Pada awalnya resistensi terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga
berkembang di lingkungan masyarakat, khususnya Streptococcus pneumoniae
(SP), Staphylococcus aureus, dan Escherichia coli.56
Beberapa kuman resisten antibiotik sudah banyak ditemukan di seluruh dunia,
yaitu:56
1. Methicillin-Resistant Staphylococcus Aureus (MRSA),
2. Vancomycin-Resistant Enterococci (VRE),
3. Penicillin- Resistant Pneumococci,
4. Klebsiella pneumoniae yang menghasilkan Extended-Spectrum Beta-
15

Lactamase (ESBL),
5. Carbapenem-Resistant Acinetobacter baumannii
6. Multiresistant Mycobacterium tuberculosis (Guzman-Blanco et al.
2000; Stevenson et al. 2005).56
Kuman resisten antibiotik tersebut terjadi akibat penggunaan antibiotik yang
tidak bijak dan penerapan kewaspadaan standar (standard precaution) yang tidak
benar di fasilitas pelayanan kesehatan. Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in
Indonesia (AMRIN- Study) terbukti dari 2.494 individu di masyarakat, 43%
Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotik antara lain: ampisilin
(34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781
pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten
terhadap berbagai jenis antibiotik, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%),
kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%). Untuk
mengoptimalkan penggunaan antibiotik secara bijak perlu disusun Pedoman
Penggunaan Antibiotik. Pedoman Penggunaan Antibiotik ini diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan nasional dalam penggunaan antibiotik dalam pelayanan
kesehatan bagi rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan lainnya, baik milik
pemerintah maupun swasta. 56
Sesuai dengan Undang-Undang Republik Indonesia No.40 tahun 2004 tentang
Sistem Jaminan Sosial Nasional, pada bagian kedua perihal Jaminan kesehatan
maka di butuhkan suatu pedoman pengobatan Antibiotik sebagai pendoman
pendukung Formularium Nasional yang dapat di gunakan sebagai acuan pada
rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia. Pedoman berupa
formularium nasional untuk menjamin ketersediaan dan akses terhadap obat serta
menjamin kerasionalan penggunaan obat yang aman, bermanfaat dan bermutu
bagi masyarakat. Jumlah Rumah Sakit sekarang 1.948 Rumah Sakit dan baru
sekitar 10 rumah Sakit yang telah mempunyai pola resistensi kuman dan Rumah
Sakit daerah belum memiliki sarana pemeriksaan kultur.56

4. Uji Sensitivitas Antibiotik


Kepekaan suatu bakteri terhadap antibiotik dapat dilakukan dengan cara
16

metode difusi cakram atau metode dilusi. Pada penelitian ini uji efektivitas
menggunakan metode difusi cakram atau yang biasa disebut uji Kirby Bauer. 46
Bakteri yang akan diuji akan ditanam ke agar plate Muller Hinton. Jika bakteri uji
sudah tumbuh dan terlihat adanya zona jernih di permukaan agar, maka luas zona
jernih dapat diukur berapa besar diameternya. 47 Penilaian diameter zona hambat
antibiotik menurut Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI) 2017 yaitu
(Dapat dilihat Pada Tabel 1 dan 2 :
Tabel 1. Penilaian Diameter Zona Hambat Antibiotik

Potensi Diameter zona hambat


No
Antibiotik cakram Intermediat Sensiti
. Resisten
antibiotik e f
1 Penisilin G (P) 10 mcg ≤14 15-18 ≥19
2 Ampisilin (AMP) 10 mcg ≤13 14-16 ≥17
3 Amoksisilin-
Klavulanik 30 mcg ≤13 14-17 ≥18
(AMC)
4 Meropenem
10 mcg ≤19 20-22 ≥23
(MEM)
5 Doripenem (DOR) 10 mcg ≤19 20-22 ≥23
6 Imipenem (IPM) 10 mcg ≤19 20-22 ≥23
7 Amikasin (AK) 30 mcg ≤14 15-16 ≥17
8 Gentamisin (GN) 10 mcg ≤12 13-14 ≥15
9 Sefepim (FEP) 30 mcg ≤14 15-17 ≥18
10 Sefotaksim (CTX) 30 mcg ≤14 15-22 ≥23
11 Seftriakson (CRO) 30 mcg ≤13 14-20 ≥21
12 Seftizoksim (ZOX) 30 mcg ≤14 15-19 ≥20
13 Seftazidim (CAZ) 30 mcg ≤17 18-20 ≥21
14 Sefpirom (CPO) 30 mcg ≤14 15-17 ≥18
15 Sefazolin (KZ) 30 mcg ≤19 20-22 ≥23
16 Eritromisin (E) 15 mcg ≤13 14-22 ≥23
17 Azitromisin (AZM) 15 mcg ≤13 14-22 ≥23
17

18 Siprofloksasin (CIP) 5 mcg ≤15 16-20 ≥21


19 Levofloksasin
5 mcg ≤13 14-16 ≥17
(LEV)
20 Norfloksasin (NOR) 10 mcg ≤12 13-16 ≥17
21 Klindamisin (DA) 2 mcg ≤14 15-18 ≥19
22 Vankomisin (VA) 30 mcg ≤9 10-11 ≥12
23 Tigesiklin (TGC) 15 mcg ≤19 20-23 ≥24
24 Sulbaktam/
105 mcg ≤11 12-14 ≥15
Sefoperazon (SCF)
25 Ampicillin-
20mcg ≤11 12-14 ≥15
Sulbactam (SAM)
26 Piperacillin-
110mcg ≤17 18-20 ≥21
Tazobactam (TZP)
27 Tetrasiklin (TE) 30 mcg ≤11 12-14 ≥15

Tabel 2. Penilaian Diameter Zona Hambat Antibiotik (lanjutan)


Diameter zona hambat
No Potensi cakram
Antibiotik Intermediat Sensiti
. antibiotik Resisten
e f
29 Fosfomisin (FOS) 200 mcg ≤12 13-15 ≥16
30 Sefonisid (CID) 30 mcg ≤14 15-17 ≥18
31 Kotrimoksazol
25 mcg ≤10 11-15 ≥16
(SXT)

Sumber: Performance Standards for Antimicrobial Susceptibility Testing 27th


edition. CLSI, 2017.48

5. MIC (Minimum Inhibitory Concentration)


Konsentrasi minimun penghambatan atau lebih dikenal dengan MIC
(Minimum Inhibitory Concentration) adalah konsentrasi terendah dari antibiotika
18

atau antimikrobial yang dapat menghambat pertumbuhan mikroba tertentu. Nilai


MIC adalah spesifik untuk tiap-tiap kombinasi dari antibiotika dan mikroba.49
MIC dari sebuah antibiotika terhadap mikroba digunakan untuk mengetahui
sensitivitas dari mikroba terhadap antibiotika. Nilai MIC berlawanan dengan
sensitivitas mikroba yang diuji. Semakin rendah nilai MIC dari sebuah antibiotika,
sensitivitas dari bakteri akan semakin besar. MIC dari sebuah antibiotika terhadap
spesies mikroba adalah rata-rata MIC terhadap seluruh strain dari spesies tersebut.
Strain dari beberapa spesies mikroba adalah sangat berbeda dalam hal
sensitivitasnya. Metode uji antimikrobial yang sering digunakan adalah metode
Difusi Lempeng Agar. Uji ini dilakukan pada permukaan medium padat. Mikroba
ditumbuhkan pada permukaan medium dan kertas saring yang berbentuk cakram
yang telah mengandung mikroba. Setelah inkubasi diameter zona penghambatan
diukur. Diameter zona pengambatan merupakan pengukuran MIC secara tidak
langsung dari antibiotika terhadap mikroba. Sensitivitas klinik dari mikroba
kemudian ditentukan dari tabel klasifikasi49.
Prinsip dasar metode ini adalah dengan cara memberikan bakteri / kuman uji
dengan kepadatan tertentu kepada bahan antibakteri yang akan diuji pada
konsentrasi yang semakin kecil. Kepekaan bahan uji terhadap bahan anti-bakteri
ditentukan dengan pengamatan secara makroskopis setelah masa inkubasi
berakhir yaitu dengan melihat ada tidaknya pertumbuhan koloni kuman / bakteri
uji dalam tabung (medium cair) yang ditandai keruhnya medium cair yang
dipakai.49
Metode ini digunakan untuk menentukan kadar hambat minimal (MIC) suatu
senyawa anti-bakteri. Pada metode ini digunakan Erlenmeyer yang diisi media
cair dan sejumlah tertentu bakteri yang diuji, kemudian masing-masing
erlenmeyer diisi dengan senyawa yang diuji. Tabung Erlenmeyer tersebut
diinkubasi pada suhu 37○C selama 24 jam, untuk selanjutnya diamati turbidansi
atau kekeruhannya dengan menggunakan spektrofotometer UV-VIS. Konsentrasi
terendah senyawa yang memberikan hasil biakan yang mulai tampak jernih
merupakan kadar hambat minimal senyawa tersebut. Metode Tube Dilution Test
mempunyai keuntungan karena dapat menguji daya bakteriostatik dan bakterisidal
19

sekaligus, namun metode ini hanya dapat menguji satu bahan antibakteri dalam
satu kali kegiatan.49 VITEK 2 compact merupakan alat yang menggunakan prinsip
kerja diatas secara otomatis dan digunakan oleh RSMH Palembang.

D. Pola Kuman dan Kepekaan terhadap Antibiotik RSMH tahun 2017


Upaya meningkatkan kualitas pelayanan medik di RSUP Moh. Hoesin
Palembang merupakan salah satu kegiatan utama yang wajib dilakukan oleh
seluruh tenaga pelayanan yang terlibat dalam penatalaksanaan pasien di RSUP
Moh. Hoesin Palembang dalam rangka mencapai VISI RSMH menjadi rumah
sakit pendidikan yang mandiri terkemuka di Sumatera tahun 2017.18
Infeksi sebagai salah satu penyakit yang paling banyak ditemukan dalam
pelayanan medik di RSUP Moh. Hoesin Palembang, dengan berbagai
kompleksitasnya, haruslah mampu dikelola dengan tingkat kecacatan dan
mortalitas yang serendah mungkin. Pengendalian infeksi baik dari aspek prevensi
dan terapi membutuhkan pemahaman, informasi, perencanaan manajemen
diagnostik dan terapeutik, serta sistem monitoring dan evaluasi yang
berkesinambungan.18,19
Laporan Pola bakteri dan kepekaan terhadap antibiotika RSUP Moh. Hoesin
Palembang periode tahun 2017 merupakan dokumen kajian monitoring dan
evaluasi yang dibutuhkan oleh manajemen rumah sakit dan para klinisi yang
berkecimpung dalam risiko dan penanganan kasus infeksi di RSUP Moh. Hoesin
Palembang sehingga dapat tercapai target keluaran klinik (clinical outcome), serta
kendali biaya (cost effectiveness dan cost efficiency) penanggulangan masalah
infeksi yang terbaik.19
Pola kuman dan kepekaan terhadap antibiotik instalasi rawat inap yang
dimaksud dalam bab ini adalah semua Ruang Rawat Inap Enim 1 dan Enim 2 di
gedung C RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang, dengan jenis spesimen yang
berasal dari Instalasi rawat inap keseluruhan yang diperiksa di laboratorium
Mikrobiologi RSMH pada triwulan tahun 2017 adalah sebagai berikut:
20

Gambar 2. Persentase spesimen instalasi rawat inap RSMH periode tahun


2017 19
Keterangan: Yang termasuk spesimen lainnya adalah jaringan, biopsi,
aspirasi, dll.

Kepekaan bakteri terbanyak di rawat inap RSMH terhadap antibiotik adalah


dikatagorikan dengan warna dapat dilihat pada Gambar 3.

Gambar 3. Klasifikasi Warna Kepekaan Bakteri Terbanyak

Data sebaran kuman terbanyak dengan tingkat sensitivitas antibiotik masing-


masing kuman di instalasi rawat inap RSMH 2017 dijabarkan dalam tabel sebagai
berikut, dimana dapat disimpulkan bahwa pola kuman terbanyak yang diisolasi di
instalasi rawat inap RSMH pada periode tahun 2017 adalah Klebsiella
pneumoniae.
Tabel 3 dan 4 menyajikan data tentang Spesimen Sputum I di instalasi rawat
inap RSMH. Tabel 4 dan 5 menyajikan data tentang Spesimen Sputum II di
instalasi rawat inap RSMH. Tabel 6 dan 7 menyajikan data tentang Spesimen
21

Darah I di instalasi rawat inap RSMH. Tabel 8 dan 9 menyajikan data tentang
Spesimen Darah II di instalasi rawat inap RSMH. Tabel 10 dan 11 menyajikan
data tentang Spesimen Urin I di instalasi rawat inap RSMH. Tabel 12 dan 13
menyajikan data tentang Spesimen Urin I di instalasi rawat inap RSMH. Tabel 14
dan 15 menyajikan data tentang Spesimen Pus I di instalasi rawat inap RSMH.
Tabel. Tabel 16. dan 17 menyajikan data tentang Spesimen Pus II di instalasi
rawat inap RSMH. Tabel 18 dan 19 menyajikan data tentang Spesimen Swab I di
instalasi rawat inap RSMH. Tabel 20 dan 21 menyajikan data tentang Spesimen
Swab II di instalasi rawat inap RSMH.
22

1. Spesimen Sputum
Tabel 3 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen sputum I di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 4 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen sputum I di instalasi rawat inap (Lanjutan) 19
23

Tabel 5 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen sputum II di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 6 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen sputum II di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19
24

2. Spesimen Darah
Tabel 7 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen darah I di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 8 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen darah I di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19
25

Tabel 9 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen darah II di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 10 Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen darah II di instalasi rawat inap RSMH(Lanjutan) 19
26

3. Spesimen Urin
Tabel 11. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Urin I di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 12. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Urin I di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19
27

Tabel 13. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Urin II di instalasi rawat inap RSMH 19

19
Tabel 14. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Urin II di instalasi rawat inap RSMH(Lanjutan)
28

4. Spesimen Pus
Tabel 15. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Pus I di instalasi rawat inap RSMH 19
29

Tabel 16. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Pus I di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19

Tabel 17.
Sensitivitas
antibiotik dan
bakteri
terbanyak pada
spesimen Pus II
di instalasi rawat inap RSMH19
30

Tabel 18. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Pus II di instalasi rawat inap RSMH 19

5. Spesimen Swab
Tabel 19. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Swab I di instalasi rawat inap RSMH 19
31

Tabel 20. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Swab I di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19

Tabel 21. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Swab II di instalasi rawat inap RSMH 19

Tabel 22. Sensitivitas antibiotik dan bakteri terbanyak pada spesimen Swab II di instalasi rawat inap RSMH (Lanjutan) 19
32
33

E. Kerangka Teori

Gambar 4. Kerangka Teori4,19,27,29,48


34

F. Kerangka Konsep

Gambar 5. Kerangka Konsep


35

BAB III
METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian
Desain penelitian ini adalah deskriptif dalam serial kasus untuk mengetahui
jenis mikroba dari cairan tubuh, urin, pus, sputum, darah, dan feses pasien Obstetri
yang dirawat di ruang rawat Obgin (Enim gedung C) RSMH Palembang.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Pengambilan sampel dilakukan di ruang rawat Enim gedung C RSMH
Palembang. Kemudian pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium
Mikrobiologi RSMH Palembang. Penelitian dilakukan selama periode 2018 yaitu
semester I bulan januari- juni 2018 dan semester II juli- desember 2018.

C. Populasi dan Sampel


i. Populasi adalah semua pasien yang dirawat di ruang rawat kebidanan.
ii. Sampel adalah semua pasien yang dirawat di ruang rawat kebidanan RSMH
Palembang
D. Cara Pengambilan Sampel
Sampel diambil secara total sampling pada hasil kultur dari pasien dengan
indikasi di ruang Enim gedung C RSMH palembang selama periode penelitian.
Pemeriksaan mikrobiologi menggunakan kultur bakteri (auto analyzer/ mesin
microbiology automatic analyzer).
E. Variabel Penelitian
i. Variabel Independen: Spesimen darah (darah, urin, sputum, feses, cairan
vagina, pus)
ii. Variable Dependen: Pola mikroba, pola senitivitas antibiotik
36

F. Definisi OPerasional
Tabel 3.1. Definisi Operasional
Variabel Definisi Alat ukur Cara Ukur Hasil Ukur Skala
Spesimen Bahan dasar pe- Rekam Observasi Konsentrasi Nominal
persentase
meriksaan yang medik
mikrobiologi
diambil dari tempat dalam :
tertentu - Darah
- Sputum
- Urin
- Cairan
- Pus
- Feses
Mikroba Organisme yang ber- Rekam Observasi - Bakteri - Ordinal
ukuran kecil (mikro), medik - Jamur - Rational
dapat melakukan - Interval
aktifitas untuk hidup,
dapat tergolong dalam
prokaryot seperti
bakteri dan virus, dan
eukaryote seperti alga,
protozoa
Antibiotik Zat antibakteri yang Rekam Observasi - Ordinal
diproduksi oleh medik - Rational
berbagai spesies - Interval
mikroba (bakteri,
jamur, dan
actinomycota) yang
dapaat menekan
pertumbuhan dan atau
membunuh mikroba
lainnya.
Antibiotika yang
ditampilkan adalah
37

antibiotika yang
diujikan untuk
spesimen tersebut
berdasarkan
Performance Standar
for Anti-microbial
Susceptibility
Sensitivitas Bakteri yang Rekam Observasi -Sensitivitas Kategorik
Antibiotik ditampilkan tingkat medik 0-49%
kepekaannya dalam
-Sensitivitas
bab ini dan bab
50-75%
selanjutya adalah
beberapa bakteri -Sensitivitas
terbanyak yang 76-100%
ditemukan pada setiap
spesimen. Pengertian
dalam laporan
kepekaan bakteri
terhadap berbagai
antibiotika adalah:
-N adalah jumlah isolat
bakteri yang diujikan
untuk kepekaan
antibiotika
-n adalah jumlah
antibiotika tertentu
yang diujikan terhadap
satu spesies yang
ditemukan
-% adalah persentase
antibiotika yang masih
sensitive untuk spesies
bakteri tertentu dari
jumlah cakram
38

antibiotika yang
diujikan
- Singkatan nama-nama
antibiotika yang
diujikan terdapat pada
indeks singkatan
antibiotika

G. Alat dan Bahan


Alat penelitian yang digunakan: Bahan penelitian yang dipakai:
1. Sarung tangan 1. Alkohol 70%
2. Swab Wooden Stick 2. NaCl 0,9%
3. Tabung spesimen darah 3. Nutrien agar
4. Tabung spesimen urin / cairan steril 4. MacConkey dan blood agar
5. Tabung spesimen feses steril 5. Akuades
6. Kertas label 6. Bahan lain yang lazim digunakan di
7. Cawan petri laboratorium mikrobiologi.
8. Rak tabung reaksi
9. Tabung reaksi
10. Tabung Erlenmeyer
11. Gelas kimia
12. Ose bulat dan ose jarum
13. Lampu Bunsen
14. Pipet tetes
15. Kaca objek
16. Autoklaf
17. Spuit
18. Mikropipet
19. Mikroskop
39

20. Inkubator
21. Jangka Sorong
22. Alat-alat lain yang lazim digunakan di
laboratorium mikrobiologi.

H. Prosedur Penelitian
1. Sterilisasi Alat
Sterilisasi didefinisikan sebagai proses yang membunuh atau mengeliminasi
agen transmisi seperti jamur, bakteri, virus, dan prion secara efektif dari
permukaan alat-alat, makanan, medikasi atau medium kultur biologi. Pada
penelitian ini, cawan petri disterilisasi dengan cara dicuci dengan sabun serta
dipanaskan di dalam oven. Sedangkan bahan nutrien agar dan bahan uji
identifikasi bakteri disterilisasi dengan menggunakan autoklaf bersuhu 121˚C
dalam 1 atm dalam waktu 10 menit. Ose bulat disterilisasi dengan membakar
diatas bunsen sebelum digunakan.41,42
2. Prosedur Pengambilan Spesimen
1. Spesimen sputum dilakukan oleh pasien sendiri, setelah mendapat
penjelasan teknik mengeluarkan dahak, ke dalam tabung steril;
2. Spesimen darah diambil dari darah vena cubitus dan dimasukan ke tabung
EDTA secara steril;
3. Spesimen cairan diambil menggunakan swab wooden stick secara steril
dengan cara memutar seluruh bagian swab wooden stick dan segera
dimasukan kedalam tabung steril;
4. Spesimen swab kulit (ILO) dilakukan setelah 72 jam pasca laparatomi,
lakukan swab pada bagian luka operasi dengan cara memutar seluruh
bagian swab wooden stick, kemudian swab wooden stick segera
dimasukkan ke dalam tabung steril;
5. Spesimen feses ditampung sendiri oleh pasien, pasien terlebih dahulu
40

diedukasi cara pengambilan spesimen, saat buang air besar kedalam tabung
steril;
Tabung yang sudah berisi spesimen diberi label dan dimasukkan ke dalam
kotak lalu segera dibawa menuju laboratorium mikrobiologi.41,342
3. Prosedur Pembenihan dan Isolasi Bakteri
Spesimen ditanam pada media Nutrien Agar (NA). Setelah bakteri tumbuh
pada media, dilakukan pewarnaan gram untuk mengidentifikasi jenis bakteri
Gram positif dan negatif. Apabila telah diketahui jenis bakteri dari pewarnaan
Gram, dilanjutkan dengan penanaman bakteri untuk menentukan spesies
dengan agar darah untuk bakteri Gram positif dan bakteri Gram negatif.42
4. Uji Kepekaan Antibiotik
Di dalam laboratorium klinik, uji efektivitas yang biasa digunakan adalah
metode difusi cakram atau metode dilusi. Pada penelitian kali ini uji efektivitas
menggunakan metode difusi cakram atau yang biasa disebut uji Kirby Bauer. 37
Bakteri yang akan dioles pada agar plate dilakukan standarisasi terlebih dahulu
menggunakan perbandingan dengan larutan standar McFarland 0,5 agar jumlah
bakteri pada setiap isolat yang berbeda memiliki jumlah yang sama.32 Langkah
kerja Mesin Mikrobiologi analizer yaitu:

1. Persiapan sampel:
a. Gunakan isolat bakteri/yeast yang muda dan koloni murni
b. Siapkan masing-masing 2 tabung untuk setiap isolat
c. Siapkan tabung diisi dengan 3ml larutan NaCL dan homogenisasi
d. Ambil koloni bakteri, buat suspense larutan NaCL dan homodenisasi
e. Ukur kekeruhan inkoum dengan menggunakan alat Densicheck dengan
cara:
 Tabung inoculum yang akan diukur dibersihkan terlebih dahulu bagian
luarnya dengan tissue
 Masukkan tabung ke lubang pengukuran akan muncul dalam satuan
41

McFarland. Bakteri Gram negative dan positif= 0.5-0.63, Yeast = 1.8 – 2.2
McF
 Jika kekeruhan kurang maka tambahkan koloni bakteri/yeast
 Jika kekeruhan berlebih maka ambil sejumlah volum inoculum dan
encerkan menambahkan larutan NaCL
f. Untuk tes sensitivitas antibiotil ambil 145u untuk bakteri gram negative/280 u
untuk bakteri gram positif dari tabung inoculum pertama ke tabung dengan
menggunakan mikropipet dan tip steril
g. Susun tabung pertama untuk identifikasi kemudian tabung kedua untuk tes
sensitifitas antibiotik pada kaset
h. Letakkan kartu vitek 2, sesuai urutan untuk identifikasi dari atau sensitifitas
antibiotik
Catatan
Kartu untuk identifikasi: pipa warna biru
Kartu untuk tes sensitifitas antibiotik: pipa warna abu-abu
II. Parameter Keberhasilan:
 Sebaran mikrobiologi
 Pola Mikroba
 Kepekaan Antibiotik
III. Memasukkan Data
Memasukan informasi pasien dengan cara
a. Buka software vitek 2 pada monitor dengan mengklik 2 kali pada
gambar vitek 2 software
b. Masukan username dan password (contoh labsuper/labsuper)
c. Pilih gambar: data pasien
d. Lengkapi data yang harus diisi antara lain:
Patient ID: nomor registerasi lab/no medical record
Nama pasien
42

Lab ID: no mikrobiologi


Tipe sampel, contoh: Darah, Sputum, pus, dll
Tekan OK
5. Penyajian dan Analisis Data
Data yang disajikan dalam bentuk tabel dan dianalisis secara deskriptif
dengan menggunakan analisis univariat. Hasil analisis berupa frekuensi dan
persentasi jenis bakteri dan pola kepekaan bakteri terhadap masing-masing
antibiotik yang diuji menggunakan SPSS 25.42

I. Alur Penelitian

Gambar 3.1. Alur Penelitian


43

BAB IV

HASIL PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola jenis mikroba dan


sensitivitasnya terhadap antibiotik dari berbagai spesmen tubuh pasien yang
dirawat di ruang perawatan kebidanan (Ruang Enim gedung C) RSMH
Palembang, Sumatera Selatan. Subjek pada penelitian seluruh pasien Obstetri dan
Ginekologi rawat inap di ruang rawat Enim gedung C RSMH Palembang periode
Januari – Desember 2018.

Gambar 4.1. Skema Pengumpulan Data Penelitian


44

4.1. Karakteristik Umum

Selama kurun waktu penelitian terdapat 78 pasien yang memenuhi kriteria


penelitian masing-masing 54 pasien dirawat di ruang Enim 1 dan 24 pasien dari ruang
Enim 2. Dari setiap pasien dikumpulkan spesimen berbagai sumber; urin, sputum,
swab vagina, darah, cairan pleura, feses, pus, secret telinga dan cairan peritoneal.
Sebagian pasien menyumbang lebih dari satu spesimen. Dari spesimen yang
dikumpulkan tersebut didapatkan 690 isolat yang kemudian dianalisis secara
mikrobiologis untuk menentukan jenis kuman dan pola resistensinya terhadap
antibiotik, namun 50 isolat tidak tumbuh / tidak dapat diuji. Dapat dilihat pada
Gambar 4.1.
Pasien yang berpartisipasi dalam penelitian ini berusia antara 15 sampai 73 tahun
dengan usia rata-rata 41.7 ± 17.1 tahun. Dari semua isolat berhasil dilakukan uji
sensitifitas, 429 isolat berasal dari pasien yang dirawat di R Enim 1 dan 261 isolat
berasal dari R Enim 2 (Tabel 4.1.).
Total spesimen paling banyak selama setahun berasal dari urin sebesar 204
(32,5%) sampel dengan 148(36,4%) sampel diambil pada semester I dan 56(25,5%)
pada semester II, lalu terbanyak kedua adalah pus sebanyak 150 (23,9%) dengan 80
(19,71%) sampel di semester I dan 70 (31,8%) sampel di semester II. Darah
merupakan sampel terbanyak nomor 3 sebanyak 99 (15,8%) sampel dengan 69 (17%)
sampel di semester I dan 30 (13,6%) di semester II. Distribusi lengkapnya dapat
dilihat pada Gambar 2. dan Tabel 4.1.
Dilihat dari Gambar 4.2. dan Tabel 4.1, tiga besar pengambilan sampel pada
penelitian ini ada pada urin, pus dan darah. Pengambilan sampel terbanyak pada
semester I dan semester II adalah urin yaitu 215 sampel dari Ruang Enim I terdapat
164 sampel dan 51 sampel dari Ruang Enim 2. Terdapat 160 total pengambilan
sampel pus dimana 55 sampel berasal dari Ruang enim 1 dan 105 sampel berasal dari
Ruang Enim 2. Terdapat 121 pengambilan sampel darah dimana 74 sampel berasal
dari Ruang enim 1 dan 47 sampel berasal dari Ruang Enim 2. Sedangkan
45

pengambilan sampel yang paling sedikit ada pada cairan pleura dan feses dengan total
17 isolat. Terdapat 16(93,8%) cairan pleura di semester 1 dan 1(6,2%) cairan pleura
di semester 2. Terdapat 17 (100%) isolat.

Tabel 4.1. Distribusi Isolat Uji Sensitifitas Berdasarkan Ruang Rawat, Spesimen dan Waktu
Pengambilannya

Nama Ruang Spesimen Periode 2018


Semester 1 Semester 2
ruang enim 1 Urin (n=164) 120(42,3%) 44(30,3%)
Sputum (n=46) 15(5,3%) 31 (21,4%)
Swab (n=69) 51(18%) 18(6,9%)
Darah(n=74) 58(20,4%) 16(12,4%
Cairan Pleura (n=4) 3(1,1%) 1(25%)
Feses (n=17) 17(6%) -
Pus (n=55) 20(7%) 35(24,1%)
Total (n=429) 284 (100%) 145(100%)
ruang enim 2 Urin (n=51) 36(22,2%) 15(15,3%)
Sputum (n=18) 18(11%) -
Swab (n=27) 3 (1,8%) 24(24,5%)
Darah (n=46) 25 (15,3%) 22 (21,4%)
Cairan Pleura (n=14) 13 (8%) -
Pus (n=105) 68(41,7%) 37(37,8%)
Total (n=261) 163 (100%) 98 (100%)
Total Urin (n=215) 156(24,3%) 59 (24,3%)
Sputum (n=64) 33(7,4%) 31(12,8%)
Swab (n=96) 54(12,1%) 42 (15,2%)
Darah (n=120) 83(18,6%) 37(15,2%)
Cairan Pleura (n=18) 16 (3,6%) 2(0,8%)
Feses(n=17) 17(100%) -
Pus (n-160) 88(55%) 72(29,6%)
Total (n=690) 447(64,7%) 243(100%)
46

Distribusi Spesimen Periode 2018


156
160

140

120

100 88
83
72
80
59 54
60 42
33 31
38
40
16 17
20 1 0
0
urin sputum swab darah cairan pleura feses pus

Semester 1 Semester 2

Gambar 4.2. Distribusi Spesimen Periode 2018

Secara keseluruhan penelitian ini berhasil mendeteksi 11 bakteri yaitu


Actinobacter Baumanii, Enterococus Faecalis., Escherichia coli, Klebsiella
pneumoniae, Pseudomonas paucimobilis, Staphylococcus aureus, Staphylococus
epidermis, Streptococcus agalactia, Staphylococcus haemolyticus, dan Pseudomonas
putida.

Bakteri paling banyak tumbuh dan diuji adalah Escherichia coli dengan total
secara keseluruhan 205(30%) isolat, masing-masing 155 (34,2%) isolat pada semester
I dan 52 (21,4%) pada semester II. Actinobacter baumanii juga mendominasi setelah
Escherichia coli sebesar 103 (15%) sampel dengan 54 (12,1%) sampel pada semester
I dan 49 (20,2%) sampel pada semester II. Selanjutnya Klebsiella pneumoniae juga
banyak tumbuh yaitu sebanyak 79 (11%) sampel dengan perincian 4510,1%) sampel
47

pada semester I dan 34 (14%) sampel pada semester II. Data lengkapnya tercantum
pada Tabel 4.2.

Tabel 4.2. Mikroba yang Berhasil Tumbuh ada Periode Januari-Desember 2018

Jenis Bakteri Periode


Semester 1 Semester 2
Tdk tumbuh/steril (n=50) 29 (6,5%) 21(8,6%)
Actinobacter baumannii (n=103) 54 (12,1%) 49 (20,2%)
Enterococcus faecalis (n=39) 13(2,9%) 26 10,7%)
Escheria coli (n=205) 153(34,2%) 52 (21,4%)
Klebsiella pneumoniae (n=79) 45(10,1%) 34 (14%)
Pseudomonas aeruginosa (n=51) 51(11,4%) -
Sphingomonas paucimobilis (n=11) - 11 (4,5%)
Staphylococcus aureus (n=17) 17(3,8%) -
Staphylococcus epidermidis (n=54) 36(8,1%) 18(7,4%)
Streptococcus agalactia (n=1) 1 (0,2%) 0
Staphylococcus haemolyticus (n=79) 47(10,5%) 32(13,2%)
Pseudomonas putida (n=1) 1(0,2%) 0
Total (n=690) 447(100%) 243(100%)

4.2. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Spesimen
Semester I (Januari-Juni)

Pada Semester I didominasi oleh bakteri Escherichia colli sebanyak 155 (34,6%)
isolat, dengan mayorita spesimen terbanyak berasal dari urin sebesar 101(64,7%)
isolat, darah 34(41%) isolat, feses sebesar 17(11%) isolat dan swab 1 (1,9%) isolat.
Bakteri terbanyak kedua adalah Actinobacter baumanii sebesar 54(12,7%) isolat
dengan mayoritas spesimen terbanyak berasal dari pus sebesar 29(33%) isolat dan
disusul oleh urin dan cairan pleura sebesar 12(7,7%). Bakteri terbanyak ke tiga adalah
Pseudomonas aerugonisa sebesar 51(11,4%) berasal dari spesimen urin yang
mendominasi sebesar 36(23,1%) isolat dan sputum sebesar 15(45,5%) isolat. Bakteri
terbanyak ke empat adalah Staphylococcus Hemoliticus (47 isolat) yang didominasi
48

berasal dari specimen swab sebesar 27 (50%) isolat dan 20(22%) pus. Bakteri
terbanyak ke lima adalah Klebsiella pneumoniae sebanyak 45 isolat dngan mayoritas
specimen berasal dari pus ssebesar 18(20,5%) isolat dan darah sebesar 17(20,5%).
Pada semester 1 terdapat 29 isolat yang tidak tumbuh.

Tabel 4.3. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Spesimen
Semester I
Bakteri (447) Spesimen

Urin Sputum Swab Darah Pleura Feses Pus

Tidak 6(3,8) - 3(5,6%) 14(16,9 3(18,8% - 3(3,4%)


tumbuh %) )
(n=29)

Actinobacter 12(7,7%) - 1(1,9%) - 12(75) - 29(33%)


baumannii
(n=54)

Enterococcus - - 13(24,1 - - - -
faecalis %)
(n=13)

Escheria coli 101(64,7 - 1(1,9%) 34 - 17(100 -


(n=153) %) (41%) %)

Klebsiella 0 0 9(16,7% 17(20.5 1(6.3%) 0 18(20.5


pneumoniae ) %) %)
(n=45)

Pseudomona 36(23.1% 15(45.5 0 0 0 0 0


s aeruginosa ) %)
(n=51)

Staphylococc 0 0 0 0 0 0 17(19.3
us aureus %)
(n=17)

Staphylococc 0 18(54.5 0 18(21.7 0 0 0


us %) %)
epidermidis
(n=36)

Streptococcu 0 0 0 0 0 0 1(1.1%)
s agalactia
(n=1)

Staphylococc 0 0 27(50.0 0 0 0 20(22.7


us %) %)
haemolyticus
(n=47)

Pseudomona 1(0.6%) 0 0 0 0 0 0
49

s
putida(n=1)

Total(n=447) 156(100% 33(100 54(100 83(100 16(100 17(100 88(100


) %) %) %) %) %) %)

Dari Tabel 4.3. disimpulkan bahwa spesimen urin, darah dan feses didominasi oleh
Escherichia coli sedangkan Swab didominasi oleh Staphylococcus haemolyticius dan
Enterococcus faecalis, Pus didominasi oleh Actinobacter baumanii, Staphylococcus
haemolyticus, Klebsiella pneumoniae dan Staphylococcus aureus.
50

4.3. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Spesimen
Semester II, Januari – Juni Tahun 2018.

Pola mikroba semester II juga didominasi oleh Escherichia coli dengan total
52(23,2%) dengan mayoritas isolat berasal dari spesimen swab sebesar 18(42,9%)
isolat, sedangkan urin dan pus memiliki jumlah yang sama sebesar 17 (23,6%) isolat.
Mikroba kedua terbanyak yaitu Acetinobacter baumanii sebanyak 49(21,3%) isolat
berasal dari spesimen urin dan darah yang memiliki jumlah yang sama yaitu
12(32,4%). dan Mikroba ke tiga terbanyak adalah Klebsiella pneumoniae dengan
total 34(15,5%) dimana didapatkan dari spesimen sputum dan swas dengan jumlah
yang sama sebesar 17(50%). Dapat dilihat pada Tabel 4.4

Tabel 4.4. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Spesimen
Semester II
Bakteri(n=243) Spesimen

urin sputum swab darah pleura pus

Tdk tumbuh (n=21) 3(5,1%) 1(3,2%) 7(16,7%) 7(18,9%) 2(100%) 1(1,4%)

Actinobacter 12(20,3%) - - 12(32,4%) - 25(34,7%)


baumannii (n=49)

Enterococcus 13(22%) 13(41,9%) - - - -


faecalis (n=26)

Escheria coli 17(28,8%) - 18(42,9%) - - 17(23,6%)

Klebsiella - 17(54,8%) 17(40,5%) - - -


pneumoniae(n=34)

Sphingomonas - - - - - 11(15,3%)
paucimobilis(n=11)

Staphylococcus - - - 18(48,6%) - -
epidermidis(n=18)

Staphylococcus 14(23,7%) - - - - 18(25%)


haemolyticus(n=32)

Total (243) 59 31 42 37 2 72

Berdasarkan Tabel 4.4 didapatkan bahwa bakteri terbanyak keempat adalah


Staphylococcus haemolyticus dengan jumlah sebanyak 32(13,1%) dengan mayoritas
51

specimen berasal dari pus sebesar 18(25%) sedangkan specimen urin berjumlah
14(23,7%) dan bakteri terbanyak kelima adalah Staphylococcus epidermis yang
berasal dari spesimen darah sebesar 18(48,6%).

4.4. Distribusi Antibiotik

Distribusi antibiotik yang diuji sensitivitasnya pada Januari-Desember 2018 secara


keseluruhan terdapat 50 bakteri yang tidak tumbuh. (Pada Tabel 4.5).
Tabel 4.5. Distribusi antibiotik yang diuji sensitifitasnya Januari-Desember 2018
Hasil Tes
Resisten Sensitif Tidak
tumbuh
0 Tdk diuji resitensi (n=50) 0(0.0%) 0(0.0%) 50(100%)
1 Amikacin (n=30) 2(3.3%) 28(93.3%)
2 Ampicillin (AMP) (n=25) 20(79.2%) 5(20.8%)
3 Ampicillin/Sulbactam (n=27) 18 (59.3%) 9 (33.3%)
4 Aztreonam (n=23) 18(69.6%) 5(21.7%)
5 Benxylpenicillin (n=11) 7(63.6%) 4(36.4%)
6 Cefazoline (n=35) 25(85.7%) 5(14.3%)
7 Cefepime (n=30) 19(45%) 11(55%)
8 Cefoxitim screen (n=7) 7(100%) 0(0.0%)
9 Ciprofloxacin (n=41) 29(70%) 12(30%)
1 Clindamycin (n=8) 6(75%) 2(25%)
0
1 Ertapenem (n=17) 2(11.8%) 15(88.2%)
1
1 Erythromycin (n=11) 9(63,6%) 2(18,2%)
2
1 ESBL(n=17) 17(100%) 0(0.0%)
3
52

1 Gentamycin (n=38) 22(45%) 16(55%)


4
1 Gentamycin high level (n=3) 0(0.0%) 3(100%)
5
1 Inducible clindamycin resistant (n=7) 7(100%) 0(0.0%)
6
1 Levofloxacin(n=11) 7(54.5%) 4(36.4%)
7
1 Linezolid (n=11) 1(9.1%) 10(90.9%)
8
1 Meropenem (n=31) 11(9.1%) 20(90.9%)
9
2 Moxifloxacin(n=8) 6(75%) 2(25%)
0
2 Nitrofurantoin(n=31) 8(16.1%) 23(72.4%)
1
2 Oxacillin (n=8) 7(87.5%) 1(12.5%)
2
2 Piperacillin/tazobactam(n=28) 12(30%) 16(70%)
3
2 Quinupristin/dalfopristin(n=10) 2(20%) 8(80%)
4
2 Rifampicin (n=7) 4(75%) 3(25%)
5
2 Streptomycin high level (n=3) 1(33.3%) 2(66.7%)
6
2 Tetracyclin(n=13) 7(53.8%) 6(46.2%)
7
2 Tigecyclin(n=50) 17(25.6%) 33(74.4%)
8
2 Trimetrophim/sufamethoxol (n=36) 24(66.7%) 12(33.3%)
9
3 Vancomycin (n=10) 0(0.0%) 10(100%)
0
53

3 Ceftazdime(n=28) 21(75%) 7(25%)


1
3 Ceftriaxone(n=26) 24(92.3%) 2(7.7%)
2
Total (n=690) 360(52%) 280(41%) 50(7%)

Dari 32 jenis antibiotik yang diuji, terdapat sepuluh bakteri yang masih memiliki
sensitivitas tinggi yaitu Gentamycin high level, Vancomycin, Amikacin, Linezolid,
Ertapenem, Quinupristin/dalfopristin, Tigecycline, Meropenem, nitrofurantoin dan
streptomycin high level. Terdapat Sembilan antibiotik yang memiliki tingkat
sensitivitas sedang yaitu piperacillin/tazobactam, tetracyclin, rifamicin, gentamycin,
Cefepime, Levofloxacin, Bencxylpenicillin, Ampicillin/sulbactam,
trimetrophim/sufamethoxol. Terdapat dua belas antibiotik yang memiliki tingkat
sensitivitas sangat rendah/tidak dianjurkan yaitu Ciprofloxacin, Clindamycin,
Moxifloxacin, Cefazdime, Aztreonam, Ampicillin, Erythromycin, Cefazoline,
Oxacillin, Ceftriaxone, ESBL, dan Inducible Clindamycin Resistant.

Secara keseluruhan terdapat 32 jenis antibiotik yang diuji pada penelitian ini,
antibiotik yang terbanyak diuji adalah Tigecyclin (TGC) sebesar 50(7,2%)
Ciproflaxacin (CIP) sebesar 41 (6,5%) sampel lalu disusul dengan Gentamycin (GM)
sebesar 38 (6,1%), Trimetrophim/Sufamethoxol (SXT) sebesar 36 (5,7%), Cefazoline
(CFZ) sebesar 34 (5,4%), Nitrofurantoin (NIT) dan Meropenem (MEM) sebesar 31
(4,9%), serta Cefepime(FEP) dan Amikacin 30 (4,34%). Dapat dilihat pada Tabel 4.5.

Pada semester 1 terdapat 29 isolat yang tidak tumbuh. Terdapat Sembilan


antibiotik yang memiliki sensitivitas tinggi yaitu Amikacin, Ertapenem, Gentamycin
high level, Linezolid, Meropenem, Nitrofurantoin, Quinupristin/dalfopristin,
Streptomycin high level dan vancomycin. Terdapat 17 antibiotik yang telah
mengalami resisten yaitu Ampicillin, Ampicillin/Sulbactam, Aztreonam,
Benyxpenicillin, Cefazoline, Ciprofloxacin, Clindamycin, Erythromycin, ESBL,
54

Induce Clindamycin resistance, Levofloxacin, Moxifloxacin, Oxacillin, Rifampicin,


Tetracyclin, Trimetrophim/sufamethoxol dan Ceftriaxone. Dapat dilihat pada Tabel
4.6.

Tabel 4.6. Distribusi Antibiotik yang Diuji Sensitivitasnya Pada Semester I


Hasil Tes
Resisten Sensitif Tidak
tumbuh
0 Tdk diuji resitensi (n=29) 0(0.0%) 0(0.0%) 29(100%
)
1 Amikacin (n=20) 0(0.0%) 19(95.05)
2 Ampicillin (AMP) (n=17) 15(88.2% 2(11.8%)
)
3 Ampicillin/Sulbactam (n=18) 13(72.2% 4(22.2%)
)
4 Aztreonam (n=17) 12(70.6% 3(17.6%)
)
5 Benxylpenicillin (n=6) 5(83.3%) 1(16.7%)
6 Cefazoline (n=21) 20(95.2% 1(4.8%)
)
7 Cefepime (n=20) 10(50.0% 9(45.0%)
)
8 Cefoxitim screen (n=5) 0(0.0%) 9(45.0%)
9 Ciprofloxacin (n=26) 17(65.4% 5(19.2%)
)
1 Clindamycin (n=5) 5(100.0% 0(0.0%)
0 )
1 Ertapenem (n=12 0(0.0%) 10(83.3%)
1
1 Erythromycin (n=6) 4(66.7%) 1(16.7%)
55

2
1 ESBL(n=12) 0(0.0%) 0(0.0%)
3
1 Gentamycin (n=25) 16(64.0% 9(36.0%)
4 )
1 Gentamycin high level (n=1) 0(0.0%) 1(100.0%)
5
1 Inducible clindamycin resistant (n=5) 0(0.0%) 0(0.0%)
6
1 Levofloxacin(n=6) 4(66.7%) 1(16.7%)
7
1 Linezolid (n=6) 0(0.0%) 6(100.0%)
8
1 Meropenem (n=20) 4(20.0%) 15(75.0%)
9
2 Moxifloxacin(n=5) 3(60.0%) 0(0.0%)
0
2 Nitrofurantoin(n=21) 5(23.8%) 13(61.9%)
1
2 Oxacillin (n=5) 5(100.0% 0(0.0%)
2 )
2 Piperacillin/tazobactam(n=19) 7(36.8%) 11(57.9%)
3
2 Quinupristin/dalfopristin(n=6) 1(16.7%) 5(83.3%)
4
2 Rifampicin (n=5) 4(80.0%) 1(20.0%)
5
2 Streptomycin high level (n=1) 0(0.0%) 1(100.0%)
6
2 Tetracyclin(n=8) 6(75.0%) 2(25.0%)
7
2 Tigecyclin(n=33) 13(39.4% 19(57.6%)
8 )
2 Trimetrophim/sufamethoxol (n=23) 18(78.3% 5(21.7%)
9 )
56

3 Vancomycin (n=6) 0(0.0%) 6(100.0%)


0
3 Ceftazdime(n=20) 12(60.0% 6(30.0%)
1 )
3 Ceftriaxone(n18) 17(94.4% 1(5.6%)
2 )
Total (n=447) 137(31%) 281(63%) 29(6%)

Pada semester 2 terdapat 21 isolat yang tidak tumbuh. Terdapat 13 antibiotik yang
memiliki sensitivitas tinggi yaitu Amikacin, Clindamycin, Ertapenem, Gentamycin
high level, Linezolid, Meropenem, Moxifloxacin, Nitrofurantoin,
Quinupristin/dalfopristin, Rifampicin, Tetracycline, Tigecycline dan Vancomycin.
Tabel 4.7. Distribusi Antibiotik yang Diuji Sensitivitasnya Pada Semester II
Hasil Tes
Resisten Sensitif Tidak
tumbuh
0 Tdk diuji resitensi (n=21) 0(0%) 0(0%) 21(100%)
1 Amikacin (n=10) 1(10%) 9(90%)
2 Ampicillin (AMP) (n=8) 5(62,5%) 3(37,5%)
3 Ampicillin/Sulbactam (n=9) 3 (33.3%) 5 (33.3%)
4 Aztreonam (n=6) 4(66,7%) 2(33,3%)
5 Benxylpenicillin (n=5) 2(40%) 3(60%)
6 Cefazoline (n=14) 10(71,4% 4(28,6%)
)
7 Cefepime (n=10) 7(70%) 2(20%)
8 Cefoxitim screen (n=2) 0(0%) 0(0%)
9 Ciprofloxacin (n=15) 8(53,3%) 7(46,7%)
1 Clindamycin (n=3) 1(33,3%) 2(66,7%)
0
1 Ertapenem (n=5) 0(0%) 5(100%)
1
57

1 Erythromycin (n=5) 3(60%) 1(20%)


2
1 ESBL(n=12) 0(0%) 0(0%)
3
1 Gentamycin (n=25) 5(38,5%) 7(53,8%)
4
1 Gentamycin high level (n=1) 0(0%) 2(100%)
5
1 Inducible clindamycin resistant (n=5) 0(0%) 0(0%)
6
1 Levofloxacin(n=6) 2(40%) 3(60%)
7
1 Linezolid (n=6) 0(0%) 4(80%)
8
1 Meropenem (n=20) 1(10%) 8(80%)
9
2 Moxifloxacin(n=5) 1(33,3%) 2(66,7%)
0
2 Nitrofurantoin(n=21) 0(0%) 10(100%)
1
2 Oxacillin (n=5) 2(66,7%) 1(33,3%)
2
2 Piperacillin/tazobactam(n=19) 4(44,4%) 5(55,6%)
3
2 Quinupristin/dalfopristin(n=6) 1(25%) 3(75%)
4
2 Rifampicin (n=5) 0(0%) 2(100%)
5
2 Streptomycin high level (n=1) 1(50%) 1(50%)
6
2 Tetracyclin(n=8) 1(20%) 4(80%)
7
2 Tigecyclin(n=33) 2(11,8%) 14(82,4%)
8
58

2 Trimetrophim/sufamethoxol (n=23) 6(46,2%) 7(53,8%)


9
3 Vancomycin (n=6) 0(0%) 4(100%)
0
3 Ceftazdime(n=20) 7(87,5%) 1(12,5%)
1
3 Ceftriaxone(n18) 7(87,5%) 1(12,5%)
2
Total (n=243) 84(34,6% 138(51%) 21(14,4%)
)

Terdapat 12 antibiotik yang telah mengalami resisten yaitu Ampicillin,


Ampicillin/Sulbactam, Aztreonam, Benyxpenicillin, Cefazoline, Cefepime, Cefoxitim
screen, Erythromycin, ESBL, Inducible, Ceftaxdime dan Ceftriaxone. Dapat dilihat
pada Tabel 4.7.
4.5. Kepekaan Antibiotik Pada Bakteri Semester
Data-data di bawah ini disajikan hanya untuk 9 antibiotik yang terbanyak diuji
pada penelitian ini. Sensitivitas dihitung berdasarkan jumlah sampel yang sensitif (n)
dibagi dengan jumlah diuji (T) untuk mendapatkan angka persentase sensittivitas
antibiotika bersangkutan terhadap kuman yang diuji (%S). Untuk mempermudah
melihat tingkat sensitivitas, data disajikan memakai kode warna seperti di bawah ini:

Gamba r 4.3.

Tabel 4.8. menyajikan data tentang rekapitulasi antibiotika terhadap baktri yang
59

diuji, terdapat 10 bakteri yang memiliki sensitivitas yang tinggi pada semester I dan
semester II yaitu Gentamycin high level, Vancomycin, Amikacin, Linezolid,
Ertapenem, Quinuristin/dalfopristin, Tigecyclin, Meropenem, Nitrofurantoin dan
Streptomycin high level.
Terdapat 9 bakteri yang memiliki sensitivitas sedang yaitu Piperacilin/tazobactam,
Tetracyclin, Rifamicin, Gentamycin, Cefepime, Levofloxacin, Benxillpenicylin,
Ampilcylin/Sumbactam dan Trimetrophim/Sulfamethoxol serta 12 bakteri yang
memiliki sensitivitas rendah. Namun pada penelitian ini hanya akan menyajikan
berdasarkan 9 besar antibiotik yang digunakan dan kepekaannya terhadap mikroba
yang diuji.

Tabel 4.8. Rekapitulasi Pola Sensitivitas Antibiotika Terhadap Bakteri yang diuji.
Sensitivitas (%S) Total
No Antibiotik
Semester 1 Semester 2 Periode 2018
1 Gentamycin high level 100% 100% 100%
2 Vancomycin 100% 100% 100%
3 Amikacin 95% 90% 93.3%
4 Linezolid 100% 80% 90.9%
5 Ertapenem 83.3% 100% 88.2%
6 Quinupristin/dalfopristin 83.3% 75% 80%
7 Tigecyclin 72% 92.9% 79.5%
8 Meropenem 75% 80% 76.7%
9 Nitrofurantoin 61.9% 100% 74.2%
10 Streptomycin high level 100% 50.0% 66.7%
11 Piperacillin/tazobactam 57.9% 55.6% 57.1%
60

12 Tetracyclin 33.3% 80.0% 54.5%


13 Rifampicin 20.0% 100.0% 42.9%
14 Gentamycin 36.0% 53.8% 42.1%
15 Cefepime 45.0% 20.0% 36.7%
16 Levofloxacin 16.7% 60% 36.4%
17 Benxylpenicillin 16.7% 60% 36.4%
18 Ampicillin/Sulbactam 22.2% 55.6% 33.3%
19 Trimetrophim/sufamethoxol 21.7% 53.8% 33.3%
20 Ciprofloxacin 19.2% 46.7% 29.3%
21 Clindamycin 0.0% 66.7% 25.0%
22 Moxifloxacin 0.0% 66.7% 25.0%
23 Ceftazdime 30.0% 12.5% 25.0%
24 Aztreonam 17.6% 33.3% 21.7%
25 Ampicillin (AMP) 12.5% 37.5% 20.8%
26 Erythromycin 16.7% 20% 18.2%
27 Cefazoline 5% 28.6% 14.7%
28 Oxacillin 0.0% 33.3% 12.5%
29 Ceftriaxone 5.6% 12.5% 7.7%
30 ESBL 0.0% 0.0% 0.0%
31 Inducible clindamycin
0.0% 0.0% 0.0%
resistant
31 Cefoxitim screen 0.0% 0.0% 0.0%

Tabel 4.9. Rekapitulasi Pola Sensitivitas Antibiotika Terhadap Bakteri yang diuji
berdasarkan lokasi spesimen.
61

Sensitivitas (%)
No Antibiotik
Urin Sputum Swab Darah Pus Feses Pleura
1 Amikacin 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 71.4% 100.0% 100.0%
2 Ampicillin (AMP) 11.1% 25.0% 50.0% 100.0%
3 Ampicillin/Sulbactam 10.0% 66.7% 75.0% 33.3% 100.0%
4 Aztreonam 10.0% 50.0% 66.7% 100.0%
5 Benxylpenicillin 100.0% 50.0% 50.0%
6 Cefazoline 80.0% 100.0%
7 Cefepime 33.3% 50.0% 66.7% 75.0% 100.0%
8 Cefoxitim screen
9 Ciprofloxacin 28.6% 50.0% 60.0% 16.7% 10.0% 100.0%
10 Clindamycin 50.0% 33.3%
11 Ertapenem 71.4% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%
12 Erythromycin 50.0% 50.0%
13 ESBL 100.0%
14 Gentamycin 53.8% 66.7% 50.0% 50.0% 10.0% 100.0%
15 Gentamycin high level 100.0% 100.0% 100.0%
16 Levofloxacin 100.0% 50.0% 50.0%
17 Linezolid 100.0% 50.0% 100.0% 100.0% 100.0%
18 Meropenem 75.0% 100.0% 100.0% 100.0% 57.1% 100.0%
19 Moxifloxacin 100.0% 50.0%
20 Nitrofurantoin 70.0% 75.0% 80.0% 80.0% 66.7% 100.0%
21 Oxacillin 100.0%
22 Piperacillin/tazobactam 63.6% 100.0% 66.7% 75.0% 16.7% 100.0%
23 Quinupristin/dalfopristin 50.0% 100.0% 50.0% 100.0% 100.0%
24 Rifampicin 100.0% 50.0% 33.3%
25 Streptomycin high level 100.0% 100.0%
26 Tetracyclin 100.0% 50.0% 100.0% 33.3%
27 Tigecyclin 71.4% 75.0% 100.0% 100.0% 66.7% 100.0% 100.0%
28 Trimetrophim/sufamethoxol 36.4% 33.3% 50.0% 16.7% 30.0% 100.0%
62

29 Vancomycin 100.0% 100.0% 100.0% 100.0% 100.0%


30 Ceftazdime 16.7% 50.0% 50.0% 50.0% 100.0%
31 Ceftriaxone 50.0% 100.0%
32 Cefoxitim screen 0.0% 0.0% 0.0%

Berdasarkan Tabel 4.9 disimpulkan, jika dilihat berdasarkan pengambilan lokasi


spesimennya, Amikacin dan Tygecyclin memiliki sensitivitas yang tinggi pada
seluruh spesimen. Ertapenem dan Nitrofurantoin, juga memiliki sensitivitas yang
tinggi, tetapi tidak dilakukan uji di pleura. Terdapat lima antibiotik yang tidak sensitif
pada urin yaitu Ampicilin, Amicilin/Sulbactam, Aztreonam, Ciprofloxacin dan
Ceftaxdime. Dua antibiotik yang tidak sensitif pada sputum yaitu Ampicilin dan
Cefoxitim screen, dua antibiotik yang tidak sensitif pada darah yaitu Ciprofloxacin
dan Trimetrophim/sufamethoxol, lima bakteri yang tidak sensitif pada pus yaitu
Ciprofloxacin, Gentamycin, Piperacilin/tazobactam, Trimetrophim/sufamethoxol dan
Cefoxotim screen. Dan satu antibiotik yang tidak sensitif pada swab yaitu Cefoxotim
screen.

Dilihat pada Tabel 4.10 sampai Tabel 4.23. Pola mikroba dan pola sensitivitasnya
untuk 9 antibiotik disimpulkan bahwa Amikacin: Secara keseluruhan Amikacin
memperlihatkan tingkat sensitivitas yang sangat baik (95.2% pada semester I dan
90.0% pada semester II). Resisten hanya dijumpai untuk Actinobacter baumanni,
namun demikian tingkat sensitivitasnya masih mencaapai 75%. Cefazoline.
Mempunyai tingkat sensitivitas yang rendah (< 30%) untuk hampir semua bakteri
yang diuji, kecuali untuk Klepsiella pneumoniae (75%) dan Escherichia coli dari
spesimen feses (100%) cefazoline masih sensitif.
Cefepime (FEP). Secara umum cefepime mempunyai tingkat sensitifitas yang
rendah (< 30%). Cefepime masih direkomendasikan untuk Klebsiella pneumoniae
(100%) dan dapat dipertimbangkan untuk Escherichia coli dan Enterococcus faecalis
Ciprofloxacin (CIP). Dari 9 jenis kuman dari berbagai spesimen yang diuji
63

ciprofloxacin memperlihatkan sensitivitas sebesar 19.2% di semester I dan 53.8% di


semester II. Namun demikian ciprofloxacin masih direkomendasikan untuk
Enterococcus faecalis, Pseudomonas aeruginosa, Escherichia coli, Klebsiella
pnemoniae dan Staphylococcus epidermidis (sensitifitas > 60%) dan masih boleh
dipertimbangkan untuk Staphylococcus hemolyticus.
Gentamycin (GM). Secara keseluruhan sensitivitas Gentamycin di semester I
hanya 34.6% dan di semester II 53.8%. Beberapa kuman masih sensitif terhadap
gentamycin antara lain Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae dan Staphylococcus
epidermidis, dan masih bisa dipertimbangkan untuk Enterococcus faecalis dan
Staphylococcus hemolyticus. Meropenem (MEM). Mempunyai tingkat sensitivitas
yang tinggi (76.7%). Direkomendasikan untuk Enterococcus faecalis, Escherichia
coli, Klesiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa, namun tidak dianjurkan
untuk Acetinobacter baumannii dan Sphingomonas paucimobilis.
Nitrofurantoin (NIT). Juga memperlihatkan tingkat sensitifitas yang tinggi
(74.2%) dan dapat direkomendasikan untuk kasus infeksi oleh kuman Enterococcus
faecalis, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa,
Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus
haemolyticus. Tidak dianjurkan untuk Acetinobacter baumannii. Tigecyclin (TGC).
Menunjukan tingakat sensitivitas 79.5% secara keseluruhan. Tigecyclin dapat
direkomendasikan untuk kasus infeksi oleh kuman Enterococcus faecalis,
Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, Staphylococcus epidermidis dan Staphylococcus haemolyticus. Tidak
dianjurkan untuk Acetinobacter baumannii. Trimetrophim/sufamethoxol (STX).
Trimetorphim/ sulfamethoxol secara keseluruhan hanya memiliki tingkat
sensisitivitas sebesar 33.3 %. Namun masih dapat direkomendasikan untuk
Klebsiella pneumoniae dan Pseudomonas aeruginosa.
64

4.6. Kepekaan Antibiotik Pada Bakteri Semester I


Dilihat pada seluruh spesimen, pola jenis dan sensitivitas bakteri menunjukkan 6 jenis antibiotik dari 32 bakteri yang
memiliki sensitivitas tinggi tetapi terdapat 8 jenis antibiotik dari 30 bakteri memiliki sensitivitas yang rendah dan 29
bakteri tidak tumbuh.
Tabel 4.10 Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik Semester I 2018: Seluruh spesimen
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

Bakteri tumbu
h n n n n n n n
n (%S) T T T T T T n (%S) T T T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)

Acetinobacter
54 3(75) 4 0 (0) 5 0 (0) 4 0 (0) 4 0 (0) 4 1(25) 4 0 (0) 1 1(25) 6 1 (25) 4
baumannii

Enterococcus 1(100
13 1(100) 1 1(100) 1 1
faecalis )

Escherichia 1(11.1 4(44.4 1(11.1 5(55.6 7(77.8 9(100 3(33.3


155 9(100) 9 9 9 9 9 9 7(77.8) 9 9 9
coli ) ) ) ) ) ) )

Klebsiella 3(100
45 2(100) 2 0 (0) 3 1(50) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 2(100) 2 0 (0) 3 3 0 (0) 3
pneumoniae )

Pseudomonas
51 4(100) 4 0 (0) 4 4(100) 4 3(75) 4 4(100) 4 4(100) 4 0 (0) 2 0 (0) 5 0 (0) 2
aeruginosa

Staphylococc
18 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 1 (100) 1 1(100) 1
us aureus

Staphylococc
2(100
us 36 0 (0) 2 0 (0) 2 2 (100) 2 2 0 (0) 2
)
epidermidis
65

Staphylococc
5(100
us 46 1(100) 1 0(0) 1 0 (0) 3 0 (0) 3 2 (100) 2 5 0 (0) 2
)
haemolyticus

19(95.2 2 2 2 5(19.2 2 9(34.6 2 2 13(61.9 2 18(72 2 5(21.7 2


Total 418 1 (5.0) 9(45) 15(75)
) 0 0 0 ) 6 ) 6 0 ) 1 ) 5 ) 3

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah bakteri yang
diperiksa

Dari Tabel 4.10 dapat dilihat seluruh antibiotik amikacin yang diperiksa menghasilkan uji sensitivitas yang tinggi, lalu
disusul dengan Meropenem dan Tigecyclin. Dari lima bakteri yang diperiksa, hanya Acetinobacter baumanii yang tidak
sensitif pada amikacin sedangkan cefazoline tidak sensitif pada empat bakteri yang di uji coba. Dari 447 isolat pada
semester 1, 23 merupakan isolat yang tidak tumbuh sedangkan 5 isolat lainnya berasal dari bakteri yang tidak dimasukan
kedalam tabel ini seperti Candida spp, Enterobacter ecloacae, Sphingomonas paucimobilis, Streptococus agalactie dan
Pseudomonas putida.
Dari 156 total isolat pada spesimen urin, 3 diantaranya tidak tumbuh sehingga total isolat yang tumbuh menjadi 153.
Pada spesimen urin, Amikacin memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap seluruh bakteri di semester I sedangkan
Cefazoline tidak sensitif terhadap seluruh bakteri yang ada di semester I. Mayoritas antibiotik pada pengujian spesimen
urin menunjukkan sensitivitas rendah, dari 8 jenis antibiotik terdapat 14 isolat tidak sensitif. Dapat dilihat pada Tabel 4.11.

Tabel 4.11 Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Urin
Bakteri ∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
tumbuh n (%S) T n T n T n T n T n T n T n T n T
66

(%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)


(N)
baumannii 12 1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1

Escherichia 107 6(100) 6 6 1(16.7) 6 0 (0) 6 2(33.3 6 4(66.7) 6 4(66.7 6 6(100 6 2(33.3) 6
0 (0)
coli ) ) )

Pseudomonas 36 3(100) 3 3 3 (100) 3 2(66.7) 3 3(100) 3 3(100) 3 0 (0) 1 0 (0) 3 0 (0) 1


0 (0)
aeruginosa

Pseudomonas 1 1(100 1
putida )

153 10(100 10 10 4 (40) 10 2 (20) 10 5 (50) 10 7 (70) 10 4(57.1 7 6(60) 10 2 (25) 8


0 (0)
) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Tabel 4.12. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Sputum
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
Bakteri tumbu
h n n n n n n n n n
T T T T T T T T T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)

Pseudomonas 15 1 (100) 1 1 1 (100) 1 1 (100) 1 1 (100) 1 1 (100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1


0 (0) 0 (0)
aeruginosa

Staphylococcus 18 0 (0) 1 0 (0) 1 1 (100) 1 1 (100) 1 1


0 (0)
epidermidis

Total 33 1 (100) 1 0 1 1 (100) 1 1 (50) 2 1 (50) 2 1 (100) 1 1 (50) 2 1 (50) 2 0 (0) 2

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Dilihat pada Tabel 4.12. kepekaan antibiotik berdasarkan spesimen sputum menunjukkan bahwa Amikacin, Cefepime,
67

Ciprofloxacin, Gentamycin, dan Meropem terbukti memiliki sensitivitas tinggi pada Pseudomonas auruginosa.
Nitrofurantoin dan Tigecyclin memiliki sensitivitas tinggi pada Staphylococcus epidermis sedangkan
trimetrophim/sufamethoxol tidak memiliki sensitivitas terhadap pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus epidermidis.
Dilihat pada Tabel 4.13. dari 54 total isolat pada spesimen swab, 4 diantaranya tidak tumbuh, kepekaan antibiotik
berdasarkan spesimen swab menunjukkan bahwa Amikacin, Tigecyclin dan Meropem terbukti memiliki sensitivitas tinggi
pada Staphylococcus haemolyticus, Nitrofurantoin memiiki sensitivitas yang tinggi pada Enterococcus faecalis dan
Staphylococcus pneumoniae sedangkan trimetrophim/sufamethoxol tidak memiliki sensitivitas terhadap Enterococcus
faecalis dan Staphylococcus haemolyticus. Tidak ada antibiotik yang memiliki sensitivitas tinggi pada Klebsiella
pneumoniiae.
Tabel 4.13. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Swab
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
tumbu
Bakteri n n n
h n n n n n
T (%S T n (%S) T T (%S T T T T (%S T
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
(N) ) ) )

Enterococcus 1(100
13 1 (100) 1 1 (100) 1 1
faecalis )

Klebsiella
9 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1
pneumoniae

Staphylococcus 1(100 1(100


27 1 0 (0) 1 0 (0) 2 0 (0) 2 1(100) 1 1(100) 1 1 0 (0) 1
haemolyticus ) )

Actinobacter
1 1(100%) 1
baumanii

Total 50 1(100 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(33,3) 3 0 (0) 2 1(100) 1 1(33.3) 3 2(100 2 0 (0) 2
68

) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Dilihat pada Tabel 4.14. dari 83 total isolat pada spesimen darah, 14 diantaranya tidak tumbuh sehingga total isolat yang
tumbuh sebanyak 69 isolat. kepekaan antibiotik berdasarkan spesimen darah menunjukkan bahwa Amikacin, Cefepime
Meropem dan Tigecyclin terbukti memiliki sensitivitas tinggi pada Escherichia coli sedangkan Cefazoline, Ciprofloxacin
dan Trimetrophim/Sufamethoxol tidak memiliki sensitivitas terhadap Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus
epidermidis.

Tabel 4.14. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Darah
AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

Bakteri tumbuh n n n
n n n n n n
T (%S T T (%S T T T T T (%S T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
) ) )

Escherichia 2(100 2(100 2(100 2(100


34 2 0 (0) 2 2 0 (0) 2 2(100) 2 2 2(100) 2 2 0 (0) 2
coli ) ) ) )

Klebsiella 1(100 1(100 1(100 1(100


17 1 0 (0) 1 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1 0 (0) 1 1 0 (0) 1
pneumoniae ) ) ) )

Staphylococcu 1(100
18 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 1 0 (0) 1
s epidermidis )

Total 69 3(100 3 0 (0) 3 3(100 3 0 (0) 4 2 (50) 4 3(100 3 3(75) 4 4(100 4 0 (0) 4
69

) ) ) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai

Tabel 4.15. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Cairan Pleura
AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

akteri tumbuh n n n n n n n
n n
T (%S T (%S T (%S T (%S T (%S T (%S T T (%S T
(N) (%S) (%S)
) ) ) ) ) ) )

Acetinobacter 12 1(100) 1 1 1 1 1 1 1(100) 1 1


0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0) 0 (0)
baumannii

Total 12 1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 0 (0) 1

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
bakteri yang diperiksa

Dilihat pada Tabel 4.15 hanya Amikacin dan Tigecyclin yang memiliki sensitivitas tinggi terhadap Acetinobacter
baumanii. Dari total 16 isolat pada spesimen cairan pleura, 4 diantaranya tidak tumbuh. Sedangkan pada Tabel 4.16
menyajikan data mengenai spesimen feses. Semua antibiotik pada spesien feces memiliki sensitivitas yang tinggi pada
bakteri Escherichia coli.
Tabel 4.16. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Feses
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
Bakteri tumbuh n n n n n n n n n
(N) T T T T T T T T T
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)

Escherichi 17 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100) 1 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100) 1 1(100 1
a coli ) ) ) ) )

Total 17 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100) 1 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100) 1 1(100 1
70

) ) ) ) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Tabel 4.17. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Pus
AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

Bakteri tumbuh n n n n
n n n n n
(N) T (%S T (%S T (%S T (%S T T T T T
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
) ) ) )

Acetinobacter
29 1 (50) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 1 (50) 2 0 (0) 1 0 (0) 2 1 (50) 2
baumannii

Klebsiella 1(100
18 1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1 (100) 1 0 (0) 1 1 0 (0) 1
pneumoniae )

Staphylococcus 1(100
18 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 1 1(100) 1
aureus )

Staphylococcus 1(100
20 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 1 0 (0) 1
haemolyticus )

Total 85 1(33.3) 3 0 (0) 3 0 (0) 3 0 (0) 5 0 (0) 5 2(66.6) 3 2 (50) 4 3 (60) 5 2(40) 5

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai

Dilihat pada Tabel 4.17, Amikacin, Meropem, dan Tigecyclin memiliki sensitivits yang tinggi pada Klebsiella
pneumoniae, sedangkan Nitrofurantoin, Tigecyclin dan Trimetrophim/Sufamethoxol memiliki sensitivitas yang tinggi pada
Staphylococcus aerus. Hanya Nitrofurantoin dan Tigecyclin yang memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap
71

Staphylococcus haemolyticus sedangkan tidak ada antibiotik yang memiliki sensitivitas tinggi pada bakteri Acetinobacter
baumanii. Dari total 88 isolat pada spesimen pus, 3 diantaranya tidak tumbuh.

4.7. Kepekaan Antibiotik Pada Bakteri Semester II


Tabel 4.18. menyajikan data mengenai pola jenis dan sensitivitas bakteri terhadap antibiotik per semester 2018. Dari
total isolat sebanyak 243, 20 isolat diantaranya tidak tumbuh (total = 243). Tigecyclin memiliki sensitivitas yang tinggi
untuk tujuh bakteri yang ada di Tabel 4.18. Nitrofurantoin juga memiliki sesnsitivitas yang tinggi, hanya saja tidak ada uji
pada Acetinobacter baumanii dan Sphingomonas paucimobilis. Tidak jauh berbeda dengan Nitrofurantoin, Amikacin juga
memiliki sensitivitas yang tinggi pada seluruh spesimen hanya saja Enterococcus faecalis, Staphylococcus epidermis dan
Staphylococcus haemolyticus tidak diuji pada penelitian ini.

Pada spesimen urin dilihat bahwa Tigecyclin memiliki tingkat sensitivitas yang tinggi pada seluruh bakteri yang diuji,
begitu juga dengan Meropenem dan Nitrofurantoin hanya saja bakteri Enterococcus faecalis tidak diuji pada antibiotik ini.
Selain itu Trimetrophim/Sufamethoxol hanya tidak sensitif pada Enterococus faecalis. Dapat dilihat pada Tabel 4.18. dari
total 59 isolat dari spesimen urin, 3 diantaranya tidak tumbuh.

Tabel 4.18 Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2 2018: Seluruh spesimen
Bakteri ∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
tumbuh n T n T n T n T n T n T n (%S) T n T n T
72

(%S
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
(N) )

Acetinobacter 50 4 4 0 (0) 6 0 (0) 4 0 (0) 4 0 (0) 4 3 4 3 (75) 4 3 (75) 4


baumannii (100 (75)

Enterococcus 26 1 2 2 (100) 2 2(100) 2


faecalis (50)

Escherichia coli 52 3 3 1 3 1 3 2 3 3 3 3 3 3 (100) 3 3(100) 3 1(33.3) 3


(100) (33.3) (33.3) (66.7 (100) (100)
)

Klebsiella 34 2 2 3 (75) 4 1 (50) 2 2 2 2 2 2 2 2 (100) 2 2(100) 2 2 (100) 2


pneumoniae (100) (100) (100) (100)

Sphingomonas 11 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 0 (0) 1


paucimobilis

Staphylococcus 18 1 1 1 1 1 (100) 1 1(100) 1 0 (0) 1


epidermidis (100) (100)

Staphylococcus 32 1 2 1 2 2 (100) 2 1(100) 1 1 (50) 2


haemolyticus (50) (50)

223 1 1 1 10(100 1 1
Total 9(90) 10 4(29) 14 2(20) 7(54) 13 7(54) 8(80) 13(93) 7(54) 13
0 3 0 ) 0 4

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Tabel 4.19 Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Urin
73

AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX



Bakteri tumbuh n n
n n n n n n n
T (%S T (%S T T T T T T T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
) )

Acetinobacter 12 1(100 1 1 1 0 (0) 1 0 1 1(100 1 1(100) 1 1(100 1 1(100) 1


0 (0) 0 (0)
baumannii ) )

Enterococcus 13 1(100 1 1(100 1 0 (0) 1


faecalis )

Escherichia 17 1(100 1 1 1 0 (0) 1 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100 1 1(100 1


0 (0) 0 (0)
coli ) )

Staphylococcu 14 1(100 1 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100 3


s haemolyticus )

Total 56 2(100 2 2 2 2 (50) 4 2(66.6) 3 2(100 2 3(100) 3 4(100 4 4(66.6) 6


0 (0) 0 (0)
) ) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya. T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Tabel 4.20. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Sputum
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

Bakteri tumbu n n
h n n n n n n n
T (%S T (%S T T T T T T T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
) )

Enterococcu 13 0 (0) 1 1(100 1 1(100) 1


s faecalis )

Klebsiella 17 1(100 1 1 1 1(100) 1 1(100) 1 1(100 1 1(100 1 1(100) 1 1(100) 1


0 (0) 0 (0)
pneumoniae ) ) )

Total 30 1(100 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(50) 2 1(100) 1 1(100 1 2(100 2 2(100) 2 1(100) 1
74

) ) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.
Hampir semua antibiotik tidak sensitif pada pengujian spesimen sputum pada penelitian ini. Hanya Amikacin dan
Ciprofloxacin yang memiliki sensitivitas tinggi pada bakter Klebsiella pneumoniae. Dari 31 isolat pada spesimen sputum
terdapat satu isolat yang tidak tumbuh. Dapat dilihat pada Tabel 4.20. Pada Tabel 4.21 menyajikan data tentang kepekaan
antibiotik terhadap spesimen swab. Dilihat bahwa Tigecyclin memiliki sensitivitas yang tinggi apda semua bakteri yang
diujikan, Nitrofurantoin juga memiliki sensitivitas yang tinggi walaupun tidak dilakukan pengujian pada Acetinobacter
baumanii. Selain itu Amikacin dan Meropenem memiliki sensitivitas yang tinggi terhadap Acetinobacter baumanii dan
Escherichia coli. Dari 42 total isolat dari spesimen swab, 7 diantaranya tidak tumbuh.
Tabel 4.21 Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Swab
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX

Bakteri tumbu n n
h n n n n n n n
T (%S T (%S T T T T T T T
(N) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
) )

Escherichia 1(100 1(100)


18 1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100) 1 1(100) 1 1 1 0 (0) 1
coli )

Klebsiella 1(100 1(100) 1


17 1(100) 1 1(100) 1 1 1 1
pneumoniae ) (100)

Total 2(66.6 3(100 2(66.7


35 2(100) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 2(50) 4 3 2(100) 2 3 4(100) 4 3
) ) )
*n adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah pemeriksaan bakteri
dengan antibiotik yang sesuai.

Hasil uji spesimen darah menunjukkan bahwa Cefazolin, Cefepim, Ciprofloxacin dan Gentamycin tidak sensitif
75

terhadap Acetinobacter baumanii sedangkan Amikacin, Meropenem, Tigecyclin dan Trimetrophim/Sufamethoxol memiliki
sensitivitas yang tinggi terhadap bakteri tersebut. Ciprofloxacin, Gentamycin, Nitrofurantoin dan Tigecyclin memiliki
sensitivitas yang tinggi terdadap Staphylococcus epidermis.

Tabel 4.22. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Darah
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
tumbu
Bakteri h n n
n n n n n n n
T (%S T (%S T T T T T T T
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
(N) ) )

Acetinobacter 12 1(100 1(100 1


1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1 1 1
baumannii ) ) (100)

Staphylococcu 18 1(100 1(100 1(100 1(100


1 1 1 1 0 (0) 1
s epidermidis ) ) ) )

Total 30 1(100 1(100 2(100


1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(50) 2 1(50) 2 1 1 2 1 (50) 2
) ) )

*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.

Tabel 4.23. Pola Jenis dan Sensitivitas Bakteri Terhadap Antibiotik per Semester 2018: Spesimen Pus
∑ AMI CFZ FEP CIP GM MEM NIT TGC STX
tumbu n n n
Bakteri n n n n n n
h T (%S T (%S T T T T T T (%S T
(%S) (%S) (%S) (%S) (%S) (%S)
(N) ) ) )
Acetinobacter
25 2(100) 2 0 (0) 4 0 (0) 2 0 (0) 2 0 (0) 2 1 (50) 2 1 (50) 2 1(50) 2
baumannii
Escherichia 1(100 1(100 1(100 1(100 1(100
17 1(100) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1 1 1 1 1 0 (0) 1
coli ) ) ) ) )
Sphingomonas 11 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 0 (0) 1 1(100 1 0 (0) 1
76

paucimobilis )
Staphylococcu 1(100
18 0 (0) 1 0 (0) 1 1 0 (0) 1
s haemolyticus )
2(100
Total 71 3 (75) 4 0 (0) 6 0 (0) 4 1 (20) 5 1(20) 5 2(50) 4 2 3(75) 4 1(20) 5
)
*N adalah jumlah bakteri yang diperiksa berdasarkan antibiotiknya, Sensitivitas (%S) jumlah persentase sensitivitas bakteri terhadap antibiotiknya, T adalah jumlah
pemeriksaan bakteri dengan antibiotik yang sesuai.
77

Pada spesimen pus, Amikacin memiliki sensitivitas tinggi pada semua bakteri yang diuji,
begitu juga dengan Nitrofurantoin. Namun Ciprofloxacin, Gentamycin, Meropenem,
Nitrofurantoin dan Tigecyclin memiliki sensitivitas yang tinggi pada Escherichia coli.
Cefazoline dan Cefepim tidak sensitif pada seluruh bakteri yang diuji pada spesimen pus.
Dapat dilihat di Tabel 4.23 dari 72 total isolat pada spesimen pus terdapat satu isolat yang
tidak tumbuh.

4.8. Pola Bakteri Extended Spectrum β Lactamase (ESBL)


Dari kumpulan bakteri yang telah dianalisis diatas, ditemukan bakteri yang telah resisten
terhadap golongan antibiotik β Lactamase. β Lactamase adalah enzim yang menghancurkan
beta-laktam. Bakteri Escherichia coli dan Klebsiella pneumoniae merupakan bakteri yang
telah resisten terhadap antibiotik golongan ESBL. Dari keseluruhan 690 isolat didapatkan 17
kasus ESBL (2.7%).

Tabel 4.24. Pola Bakteri ESBL dan Non-ESBL berdasarkan lokasi ruangan
Lokasi Ruang ESBL Non ESBL Total
n % n % n %
Semester 1
Ruang Enim 1 10 3.5 274 96.5 284 63.5
Ruang Enim 2 2 1.2 161 98.8 163 36.5
Total 12 2.7 435 97.3 447 100.0
Semester 2
Ruang Enim 1 4 2.8 141 97.2 145 60
Ruang Enim 2 1 1 97 99 98 40
Total 5 2.1 238 97.9 243 100
Januari-Desember 2018
Ruang Enim 1 14 3.3 415 96.7 429 97.3
Ruang Enim 2 3 1.1 258 97 261 2.7
Total 17 2.7 673 97.3 690 100.0

Tabel 4.25. Pola Bakteri ESBLdan Non-ESBL


Bakteri ESBL Non-ESBL Total
n % n % n %
Escherichia coli 12 5.9 195 94.1 207 100.0
Klebsiella pneumoniae 5 6.5 74 93.5 79 100.0
Total 17 6.1 269 93.9 286 100.0
78

Tabel 4.26. menyajikan data mengenai ESBL dan non ESBL. Dari seluruh 207 isolat
untuk Escherichia coli terdapat 12 (5.9%) kasus sudah mengalami ESBL dan dari
keseluruhan 77 isolat Klebsiella pneumoniae terdapat 5 (6.5%) kasus sudah mengalami
ESBL. Dapat dilihat pada Tabel 4.25 menyajikan data tentang distribusi ESBL berdasarkan
ruang dan semester, terdapat 12 kasus ESBL pada semester I dan 5 kasus ESBL pada
semester II.

Tabel 4.26. Distribusi Bakteri dengan ESBL berdasarkan ruang dan Semester
Kuman R.Enim 1 R.Enim 2 Total
n % n % n %
Semester 1
Escherichia coli 5 71.4 4 80.0 9 75.0
Klebsiella pneumoniae 2 28.6 1 20.0 3 25.0
Total 7 100.0 5 100.0 12 100
Semester 2
Escherichia coli 2 50.0 1 100.0 3 60.0
Klebsiella pneumoniae 2 50.0 0 0.0 2 40.0
Total 4 100.0 1 100.0 5 100.0
Januari-Desember 2018
Escherichia coli 7 63.6 5 83.3 12 70.6
Klebsiella pneumoniae 4 36.4 1 16.7 5 29.4
Total 11 100.0 6 100.0 17 100.0

Secara garis besar terdapat 17 kasus bakteri dengan ESBL, dimana 7(41,2%) kasus berasal
dari spesimen urin. 3 (17,6%) kasus bakteri berasal dari spesimen swab dan darah, 2(11,8%)
kasus bakteri berasal dari pus dan 1(5,9%) kasus lainnya berasal dari spesimen pus dan feses.
Dapat dilihat pada Tabel 4.27 dan Gambar 4.4.

Tabel 4.27. Distribusi ESBL berdasarkan Spesimen


Spesimen n %
Urin 7 41.2
Swab 3 17.6
Darah 3 17.6
Pus 2 11.8
Sputum 1 5.9
Feses 1 5.9
Total 17 100.0
79

Spesimen
Feses
Sputum 6%
6%
Pus
12% Urin
41%

Darah
18%

Swab
18%

Gambar 4.4. Grafik Jumlah Kasus Bakteri ESBL Berdasarkan Lokasi Spesimen

BAB V

PEMBAHASAN

Terdapat 9 jenis bakteri yang berhasil tumbuh pada penelitian ini yaitu Acinetobacter
baumannii, Enterococcus faecalis, Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa, Sphingomonas paucimobilis, Staphylococcus aureus, Staphylococcus epidermis,
dan Staphylococcus haemolyticus.
80

Bakteri-bakteri tersebut berasal dari berbagai specimen yang berasal dari 46 (58.8%)
orang pasien yang dirawat di Ruang Enim 1 dan R. Enim 2 selama tahun 2018, dari total 78
pasien yang memenuhi kriteria inklusi pada penelitian ini. Sementara 32 pasien (41.2%)
memberikan hasil kultur negatif (steril). Bila diasumsikan kuman-kuman tersebut diperoleh
selama perawatan di rumah sakit, berarti sepanjang tahun 2018 terjadi infeksi nosocomial
sebesar 58.8%.

Angka ini sedikit lebih tinggi dibandingkan data infeksi nosokomial menurut laporan
penelitian yang dilakukan Departemen Kesehatan tahun 2004, dimana prevalensi infeksi
nosokomial di rumah sakit pemerintah berkisar diantara 35,8-55,1%.6

5.1. Pola Mikro-organisme dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Specimen
Semester I dan Semester II.
Berdasarkah hasil uji sensitivitas mikroorganisme pada penelitian ini didapatkan Escheria
coli. Kuman yang terbanyak tumbuh pada penelitian ini adalah Escherichia coli yang berasal
dari urin (58.1%), darah (16.7%), pus (8.4%), dan swab vagina 8.4%). Keberadaan
Escherichia coli dalam urin memberikan bukti adanya infeksi saluran kemih (ISK) yang
bersama-sama dengan ditemukannya Escherichia coli dari swab vagina, menggambarkan
kebersihan personal (personal hygiene) yang buruk. Penelitian ini tidak dapat memastikan
apakah infeksi ini didapat selama perawatan (nosokomial)atau memang sudah ada sebelum
pasien masuk rumah sakit. Keberadaan kuman dalam darah memberikan indikasi adanya
sepsis.
Penelitian yang dilakukan di RSUD Setjonegoro Kabupaten Wonosobo pada Juli 2009
sampai dengan Desember 2011 menunjukkan bahwa infeksi nosokomial terbanyak adalah
plebitis, infeksi luka operasi (ILO), dan dekubitus, diikuti oleh infeksi saluran kemih (ISK)
dan sepsis.7 Hasil penelitian di RS Islam Sultan Agung Semarang juga menunjukkan hasil
yang sama bahwa ILO merupakan infeksi nosokomial yang banyak ditemukan.8.
Escherichia coli masih sangat sensitif terhadap Amikacin, Tigecyclin, Nitrofurantoin,
Gentamycin, Ertapenem, Meropenem, Piperacillin/Tazobactam (sensitifitas > 60%) walupun
dapat dipertimbangkan penggunaan Ampicillin/Sulbactam, Trimetrophim/sufamethoxol dan
ceftazdime (sensitifitas 30 – 60%).8
Mikroorganisme lain yang paling banyak ditemukan adalah Acetinobacter baumannii
(A.baumannii), yang merupakan kuman patogenik opportunistik dan sering menimbulkan
infeksi pada luka operasi, pneumonia, sepsis, meningitis dan ISK. Kuman ini dilaporkan
sering menimbulkan infeksi nosocomial di rumah sakit.57 A.baumannii mudah tumbuh dan
81

berkembang di rumah sakit dan karena tingginya penggunaan antibiotik di rumah sakit
menyebabkan kuman ini sering menjadi resisten.
Pada penelitian ini A.baumannii terbanyak berasal dari pus, urin, darah dan cairan pleura.
Hasil uji sensitivitas berbagai antibiotik pada penelitian ini menunjukkan bahwa secara
keseluruhan 78.8% A.baumannii sudah mengalami resisten. Namun A.baumannii masih
sensitif terhadap Amikacin (sangat dianjurkan) dan dapat dipertimbangkan pemberian
Meropenem dan Tigecyclin.57
Klebsiella pneumoniae (K.pneumoniae). Merupakan flora normal di usus, mulut dan
kulit, namun dapat menginfeksi saluran pernapasan (pneumonia, bronchitis), saluran kemih
bahkan sepsis.7 Sering menjadi penyebab infeksi nosokomial. Pada penelitian ini
K.pneumoniae terbanyak berasal dari specimen swab vagina, sputum, darah, urin dan pus.
K.pneumoniae masih sangat sensitif terhadap Amikacin, Ertapenem, Meropenem dan
Tigecyclin. Walaupun sudah terjadi resistensi pada 50% kasus Ciprofloxacin masih dapat
dipertimbangkan, demikian juga Cefazoline, Cefepime, Piperacillin/ Tazobactam dan
Trimetrophim/sufamethoxol (sensitivitas 30-60%).9
Khare et al (2017) menemukan sensitivitas pada klebsiella pneumoniae pada amikacin dan
gentamicin sebesar 415 dan 56%, pada grup penicillin (amoxiclav dan piperacillin) sensitivity
Klebsiella pneumoniae sebesar 32% dan 42%.62 Konsiten dengan penelitian ini dan Khare et
al, Rahim et al (2017) juga menemukan terdapat sensitivitas bakteri Klebsiella penumoniae
100% pada amikacin, 50% pada ciproflozacin, 66,7% pada gentamicin, 100% pada
imipenem. Rahim et al menyimpulkan Klebsiella Pneumoniae merupakan salah satu pencetus
infeksi saluran kemih.63
Pseudomonas aeruginosa. Dikenal sebagai bakteri yang mudah mengalami resistensi
terhadap antibiotik, dan sering menyebabkan infeksi nosokomial yang sulit diterapi. Pada
penelitian ini sumber kuman yang tumbuh berasal dari urine dan sputum. Masih sangat
sensitif untuk Amikacin, Cefepime, Meropenem, Gentamycin, Piperacillin/Tazobactam dan
Ceftazdime (sensitifitas > 60%). Aztreonam dan Ciprofloxacin masih mempunyai sensitifitas
diantara 30 – 60% terhadapa bakteri ini. 9
Khare et al (2017) menemukan Pseudomonas aeruginosa memiliki sensitivitas rendah
sebsear 40% dan 32 % pada amikacin dan gentamicin, 14% dan 24% pada amoxiclav dan
piperacillin.62 Pseudomonas aeruginosa sering juga ditemukan di katup jantung mekanik,
stents, graft, jahitan luka, serta pus infeksi pada luka, selain itu juga ditemukan, cystic
fibrosis dan juga luka bakar.64 Pada penelitian Gurney et al (2019) Pseudomonas aeruginosa
disimpulkan sebagai bakteri pathogen yang telah mengalami multi drugs resistances (MDR).
82

65

Staphylococcus haemolitycus. Merupakan flora normal pada kulit manusia.terutama di


daerah axila, perineum dan inguinal. Infeksi nosokomial biasanya terjadi akibat prosedur
medis, seperti kateterisasi dsb. Kuman ini sangat mudah menjadi resisten terhadap antibiotic
dan sering kali sulit dihilangkan dari permukaan karena membetuk biofilm. Genom dari
Staphylococcus haemolyticus banyak memiliki insertion sequences yang menyebabkan
kuman ini dengan mudah berubah secara genotip dan fenotip bila terpapar antibiotika.66
Infeksi kuman ini bisa sangat berbahaya karena kandungan endorksin yang dimilikinya
dapat menimbulkan endocarditis, sepsis, peritonitis, infeksi saluran kemih, infeksi pada
tulang dan sendi. Staphylococcus haemolyticus dilaorkan telah mengalami ressiten terhadap
berbagai kelompok antibiotik seperti penisilin, sefalosporin, makrolid, quinolone,
tertracyclin, aminoglycoside, glycopeptida dan Fosfomycin. Pada penelitian ini
Staphylococcus haemolyticus masih sangat sensitf terhadap Amikacin, Linezolid, Ertapenem,
Meropenem, Quinupristin/Dalfopristin, Nitrofurantoin, Tigecyclin dan Vancomycin. Dalam
situasi tertentu masih dapat dipertimbangkan tetracyclin, erythromisin dan rifampicin yang
masih mempunyai sensitivitas antara 30-60%.66
Enterococcous faecalis. Merupakan kuman komensal di dalam usus manusia, namun
infeksi nosokomialnya dapat sangat berbahaya karena dapat menyebabkan endocarditis,
sepsis, ISK dan meningitis. Pada penelitian ini sumber kuman berasal dari urin, swab dan
pus. Kuman ini dilaporkan sudah resisten terhadap antibiotik yang biasa dipakai, 58,59 namun
pada penelitian ini Enterococcus faecalis masih sangat sensitif terhadap Amikacin,
Benzylpenicillin, Ciprofloxacin, Gentamycin high level, Levofloxacin, Linezolid,
Nitrofurantoin, Tigecyclin, dan Vancomycin. Dubin K (2014) menganjurkan penggunaan
kombinasi antibiotic falam melawan kuman ini.60

Staphylococcus aureus. Merupakan salah satu kuman yang menyusun microbiota


(komensal) di kulit dan saluran pernapasan bagian atas, namun sering menimbulkan infeksi
kulit (abses, impetigo, folikulitis, furunkulosis), sinusitis dan keracunan makanan. Kuman ini
sering menimbulkan infeksi nosokomial di rumah sakit. Dan yang paling ditakuti adalah
sekelompok strain dari S.aureus yang resisten terhadap penisilin (methicillin resistant
Staphylococcus aureus atau MRSA) karena sangat sulit diterapi.67

Awalnya terapi pilihan pertaama untuk golongan staphylococcus adalah penisilin, Namun
kuman ini kemudian bermutasi dan membuat penisilinase (β lactamase) yang dapat memutus
rantai β lactam dari molekul penisilin, sehingga menjadi tidak efektif. Berbagai penisilin
83

generasi belakangan dibuat resisten terhadap β lactamase seperti methicillin, nafcillin,


oxacillin, cloxacillin, dicloxacillin dan flucloxacillin. 67

Resisten terhadap Vancomycin (VRSA) sudah dilaporkan terjadi di beberapa negara


seperti Amerika Serikat dan Jepang. Pada penelitian ini sumber kuman semuanya berasal dari
pus. Uji sensitivitas memperlihatkan bahwa anti biotika golongan penicillin seperti
Benzylpenicillin, Levofloxacin, Moxifloxacin, Oxacillin semuanya sudah resisten untuk
Staphylococcus aureus. Namun terdapat beberapa antibiotik yang masih sangat sensitif
seperti Linezolid, Nitrofurantoin, Quinupristin/Dalfopristin, Tigecyclin,
Trimetrophim/sufamethoxol dan Vancomycin.59,67

Staphylococcus epidermidis. Merupakan flora normal (komensal) di kulit dan mukosa


pada manusia. Infeksi umumnya terjadi di rumah sakit, terutama pada mereka yang
mengalami penurunan sistim imun.Kuman ini dapat membentuk biofilm yang dapat
menempel pada kateter atau implant yang dipasangkan pada pasien. Strain S.
epidermidis sering mengalami resisten terhadap rifamycin, fluoroquinolone, gentamycin,
tetracyclin, clindamycin dan sulphonamide. Kuman yang resisten biasanya yang berasal dari
saluran cerna walaupun yang berasal dari kulit juga dpt menjadi resisten akibat terekspos
antibiotic yang diekskresikan melalui keringat.61

Staphylococcus epidermis sering memicu rekasi imunologi seperti pada sel-sel mukosa
rongga hidung untuk memproduksi antimikrobial. Boce et al (2019) menemukan
Staphylococcus epidermis telah resisten dengan Methicillin dan merupakan pathogen yang
bersifat MDR.68

Pada penelitian ini sumber kuman berasal dari sputum dan darah pasien. Kuman ini sudah
resisten terhadap sebagian besar antibiotika yang diuji-cobakan, namun masih sensitive
terhadap Linezolid, Nitrofurantoin, Quinupristin/Dalfopristin, tetracyclin,Tigecyclin dan
Vancomycin.Gentamycin, Ciprofloxacin, Clindamycin, Levofloxacin, moxifloxacin dan
Rifampicin masih mempunyai sensitivitas antara 30-60%, sehingga masih dapat
dipertimbangkan pemakaiannya pada kondisi tertentu, sebaiknya dalam bentuk kombinasi.
Sphingomonas paucimobilis. Merupakan kuman yang paling sedikit tumbuh pada penelitian
ini. Sumber kuman berasal dari pus dan dari seluruh antibiotika yang diuji-cobakan hanya
Tigecycin yang masih sensitif terhadap kuman ini.

5.2. Sensitivitas Antibiotika pada Mikroorganisme Semester I dan Semester II


Dari hasil uji sensitivitas didapatkan 10 antibiotika yang mempunyai sensitivitas > 60%
84

yaitu: Gentamycin high level (100%), Vanvomycin (100%), Amikacin, Linezolid, Ertapenem,
Meropenem, Quinupristin/Dalfopristin, Tigecyclin, nitrofurantoin dan Streptomycin high
level. Antibiotika ini direkomendasikan untuk diberikan sambil menunggu hasil kultrur yang
akan memperlihatkan sensitivitas yang lebih tepat. Berdasarkan pada hasil uji sensitivitas,
Amikacin dan Tigecyclin sangat direkomendasikan untuk specimen urin, swab, darah,
sputum, cairan pelura, feses maupun pus.
Beberapa antibiotika masih dapat dipakai untuk situasi dan kondisi tertentu seperti apabila
ada masalah toleransi (alergi terhadap anti biotika yang dianjurkan, ketersediaan dan harga):
Piperacillin/Tazobactam, Tetracyclin, Rifampicin, Gentamycin, Cefepime, Levofloxacin,
Benzylpenicillin, Ampicillin/Sulbactam danTrimetorphim/Sulfamethoxolol, masih
mempunyai sensitivitas antara 30 – 60%.69
The European Centre for Disease Prevention and Control (ECDPC) Tahun 2017 telah
menyatakan beberapa negara di eropa termasuk Romania memiliki antibiotic-antibiotik
dengan tingkat resistensi yang tinggi. Bagaimanapun, laporan ini tidak dilaporkan dari
seluruh rumah sakit. Peningkatan resistensi ini terkait pada generasi ketiga dari
cephalosporins, fluoroquinolones, carbapenems dan aminoglycosides yang telah resisten pada
Klebsiella pneumoniae dan ceftazidime, piperacillin tazobactam dan fluoroquinolones
resisten pada Pseudomonas aeruginosa.70 Klebsiella pneumoniae dilaporkan 22,5% sensitive
terhadap carbapenem dan 64,1% pada generasi ketiga dari cephalosporins dan
fluoroquinolone sedangkan Acitnetobacter spp memiliki tingkat resistensi yang tinggi pada
kasus MDR sebesar 81,3%). 70
The Centers for Disease Control (CDC) memperkirakan sekitar 2 juta orang di Amerika
telah mengalami resisten terhadap antibiotic setiap tahunnya. Faktor utama yang menjadi
penyebab resistensi antibiotic adalah penggunaan berlebih pada antibiotic pada pasien. The
Proportion of healthcare-associated infections (HAIs) menyatakan penyebab resistensi
pathogen- antibiotik dapat dilihat berdasarkan faktor geografis. Selain itu kurang dsisiplinnya
waktu konsumsi antibiotic juga menjadi pencetus terjadinya resistensi antibiotik.27
Goswami et al Tahun 2019 meneliti tentang sensitivitas antiobiotik pada neonates diruang
kebidanan, Bakteri Acinetobacter baumanii pada neonatus yang baru lahir maka sensitivitas
antibiotik gentamicin sebesar 23,52%, piperacillin tazobactum sebesar 52,9%, levofloxacin
sebesar 58,82%, amikacin sebesar 35,29 %, dan meropenem sebesar 64,7%. Pada bakteri
Acinetobacter bawaan pada bayi yang telah lahir (>12jam) ditemukan sensitivitas antibiotik
gentamicin sebesar 25%, piperacillin tazobactum sebesar 50%, levofloxacin sebesar 62,5%,
amikacin sebesar 37,5 %, dan meropenem sebesar 62,5%.28
85

Pada Klebsiella pneumoniae pada bayi yang baru lahir didapatkan sensitivitas bakterinya
sebesar 32,72% pada gentamicin, 36,36% pada piperacillin tazobactum, 40% pada
levofloxacin, 34,54% pada amikacin dan 96,36% pada meropenem sedangkan pada bayi yang
yang telah lahir (>12jam) ditemukan sensitivitas antibiotik gentamicin sebesar 29,82%,
piperacillin tazobactum sebesar 35,08%, levofloxacin sebesar 42,1%, amikacin sebesar
31,57%, dan meropenem sebesar 96,49%.28
Pseudomonas aeruginosa pada bayi yang baru lahir didapatkan sensitivitas bakterinya
sebesar 33,3% pada gentamicin, 66,6% pada piperacillin tazobactum, 66,6% pada
levofloxacin, 88,8% pada amikacin dan 100% pada meropenem sedangkan pada bayi yang
yang telah lahir (>12jam) ditemukan sensitivitas antibiotik gentamicin sebesar 33,3%,
piperacillin tazobactum sebesar 66,6%, levofloxacin sebesar 66,6%, amikacin sebesar
90,47%, dan meropenem sebesar 95,23%.28
Escherichia coli pada bayi yang baru lahir didapatkan sensitivitas bakterinya sebesar
16,6% pada gentamicin, 6,66% pada piperacillin tazobactum, 83,3% pada levofloxacin,
66,6% pada amikacin dan 83,3% pada meropenem sedangkan pada bayi yang yang telah lahir
(>12jam) ditemukan sensitivitas antibiotik gentamicin sebesar 25%, piperacillin tazobactum
sebesar 75%, levofloxacin sebesar 100%, amikacin sebesar 50%, dan meropenem sebesar
100%.28
Staphylococcus aureus pada bayi yang baru lahir didapatkan sensitivitas antibiotic
linezolid sebesar 95,45% dan Vancomicin sebesar 97,72%. Pada bayi yang telah lahir (>12
jam) didapatkan sensitivitas antibiotik Staphylococcus aureus pada Linezolid sebesar 96,22%
begitu juga Vancocimin 96,22%.28 Enterecoccus Faecalis pada bayi yang baru lahir
didapatkan sensitivitas antibiotic linezolid dan Vancomicin sebesar 100%. Pada bayi yang
telah lahir (>12 jam) didapatkan sensitivitas antibiotik Staphylococcus aureus pada Linezolid
dan Vancocimin sebesar 91,3%.28
86

BAB VI

KESIMPULAN DAN SARAN

6.1. Kesimpulan

1. Pada Semester I didominasi oleh bakteri Escherichia colli berasal dari urin,
darah, feses dan swab. Bakteri terbanyak kedua adalah Actinobacter baumanii
berasal dari pus, urin dan cairan pleura. Bakteri terbanyak ke tiga adalah
Pseudomonas aerugonisa berasal dari urin dan sputum. Bakteri terbanyak ke
empat adalah Staphylococcus Hemoliticus berasal dari swab dan pus. Bakteri
terbanyak ke lima adalah Klebsiella pneumoniae berasal dari pus dan darah. Pada
semester 1 terdapat 29 isolat yang tidak tumbuh.

2. Pola mikroba semester II juga didominasi oleh Escherichia coli berasal dari
spesimen swab, urin dan pus. Mikroba kedua terbanyak yaitu Acetinobacter
baumanii sebanyak berasal dari urin dan darah. Mikroba ke tiga terbanyak adalah
Klebsiella pneumoniae didapatkan dari spesimen sputum dan swas.

3. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Specimen Semester
I, Lima besar bakteri yang ditemukan adalah:

a. Urin ditemukan mengandung Escherichia coli, Pseudomonas aeruginosa


dan Acetinobacter baumannii,
b. Sputum ditemukan mengandung Staphylococcus epidermidis dan
Pseudomonas aeruginosa,
c. Swab ditemukan mengandung Staphylococcus haemolyticus,
Enterococcus faecalis dan Klebsiella pneumoniae,
d. Darah ditemukan mengandung Escherichia coli, Klebsiella pneumoniae,
dan Staphylococcus epidermidis,
e. Pleura ditemukan mengandung Acetinobacter baumannii,
f. Feses ditemukan mengandung Escherichia coli,
g. Pus ditemukan mengandung Acetinobacter baumannii, Staphylococcus
haemolyticus dan Staphylococcus aureus.
h.
87

4. Pola Mikroba dari Hasil Biakan Menurut Lokasi Pengambilan Specimen Semester
II, lima besar bakteri yang ditemukan adalah:

a. Urin ditemukan mengandung Escherichia coli, Staphylococcus


haemolyticus, Enterococcus faecalis dan Acetinobacter baumannii,
b. Sputum ditemukan mengandung Klebsiella pneumoniae dan Enterococcus
faecalis,
c. Swab ditemukan mengandung Escherichia coli dan Klebsiella
pneumoniae,
d. Darah ditemukan mengandung Staphylococcus epidermidis dan
Acetinobacter baumannii,
e. Pus ditemukan mengandung Acetinobacter baumannii, Staphylococcus
haemolyticus, Escherichia coli dan Sphingomonas paucimobilis.
5. Kepekaan Antibiotik Terhadap Bakteri yang diuji pada Semester I,
a. Acetinobacter baumanii memiliki sensitivitas tinggi pada Amikacin dan
resisten terhadap Cefazoline, Cefepime, Ciprofloxacin, Gentamycin,
Meropenem, Nitrofurantoin, Tigecyclin, Trimetrophim/sufamethoxol.
b. Escherichia coli memiliki sensitivitas tinggi pada Amikacin,
Nitrofurantoin, Tigecyclin, Sensitivitas sedang pada Cefepime,
Gentamycin, Trimetrophim/sufamethoxol dan Resisten pada Cefazoline,
Meropenem.
c. Staphylococcus haemolyticus memiliki sensitivitas tinggi pada Amikacin,
Nitrofurantoin, dan Tigecyclin dan Resisten pada Cefepime,
Ciprofloxacin, Gentamycin, Trimetrophim/sufamethoxol.
d. Klebsiella pneumoniae memiliki Sensitif tinggi pada Amikacin,
Meropenem, Tigecyclin, Sensitivitas sedang pada Cefepime dan Resisten
pada Cefazoline, Ciprofloxacin, Gentamycin, Nitrofurantoin,
Trimetrophim/sufamethoxol.
e. Pseudomonas aeruginosa memiliki Sensitif tinggi pada Amikacin,
Cefepim, Ciprofloxacin, Gentamycin, Meropenem dan Resisten:
Cefazoline, Nitrofurantoin, Tigecyclin, Trimetrophim/sufamethoxol.
88

6. Kepekaan Antibiotik Terhadap Bakteri yang diuji pada Semester 2,


a. Acetinobacter baumanii memiliki sensitivitas tinggi pada Amikacin,
Meropenem, Tigecyclin, Trimetrophim/sufamethoxol. dan resisten
terhadap Cefazoline, Cefepime, Ciprofloxacin, Gentamycin
b. Escherichia coli memiliki sensitivitas tinggi pada Amikacin, Meropenem
Nitrofurantoin, Tigecyclin, Sensitivitas sedang pada Cefepime, Cefazoline,
Trimetrophim/sufamethoxol.
c. Staphylococcus haemolyticus memiliki sensitivitas tinggi pada
Nitrofurantoin, dan Tigecyclin dan Sensitivitas sedang pada Cefepime,
Ciprofloxacin, Gentamycin, Trimetrophim/sufamethoxol.
d. Klebsiella pneumoniae memiliki sensitivitas sedang pada Cefepime,
Sensitif tinggi pada Amikacin, Meropenem, Tigecyclin, Cefazoline,
Ciprofloxacin, Gentamycin, Nitrofurantoin, Trimetrophim/sufamethoxol.

6.2. Saran
1. Pada penelitian selanjutnya disarankan untuk melakukan investigasi lebih dalam
terkait lima bakteri terbanyak pada penelitian ini yaitu Escherichia colli,
Actinobacter baumanii, Pseudomonas aerugonisa Staphylococcus Hemoliticus,
dan Klebsiella pneumoniae untuk mendapatkan pola bakteri yang lebih akurat
serta sensitivitas bakterinya di ruang rawat kebidanan dan obgin serta kaitannya
dengan infeksi yang dialami pasien.
2. Pada penelitian selanjutnya disarankan melakukan investigasi lebih mendalam
mengenai sensitivitas dan resistensinya pada lima antibiotik yang memiliki
sensitivitas tinggi pada penelitian ini yaitu Amikacin, Meropenem, Tigecyclin,
Nitrofurantoin dan Ciprofloxacin. Agar dapat ditemukan dosis dan penggunaan
yang tepat untuk pasien khususnya pada pasien di ruang rawat kebidanan dan
obgin.
89

Rujukan

1. Septiari BB. Rumah Sakit dalam: Infeksi Nosokomial. Edisi ke-1. Yogyakarta:
Nuha Medika; 2012. H. 1-18.
2. Erfavira A. Perbedaan Kelengkapan Pengisian Rekam Medis Antara
Instalasi Rawat Jalan dan Instalasi Rawat Darurat di Poli Bedah RSUP Dr.
Kariadi Semarang [Karya Tulis Ilmiah]. [Semarang]: Fakultas Kedokteran Unversitas
Diponegoro; 2012.
3. Prawirohardjo S, Wknjosastro H. Kebidanan Dalam Masa Lampau Masa
Kini dan Kelak. In: Saifuddin AB, Rachimhadhi T, Wiknjosastro H, Editor. Ilmu
Kebidanan. Edisi ke-4. Jakarta: PT Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo; 2014.h.
3.
4. Labibah, Zulfa. Mikroorganisme Penyebab Infeksi Luka Operasi (ILO) di RSUD
Dr.H.Abdoel Moeloek Bandar Lampung Tahun 2016. Skripsi. Universitas Lampung.
2016.
5. Bereket W, Hemalatha K, Getenet B, Wondwossen T, Solomon A, Zeynudin A, et al.
2012. Update on bacterial nosokomial infections. European Review for Medical and
Pharmacological Sciences. 16(8):1039–1044.
6. Anies. Manajemen Berbasis Lingkungan. Jakarta, Gramedia, 2006
7. Ibrahim, Hasbi. Pengendalian Infeksi Nosokomial dengan Kewaspadaan Umum di
Rumah Sakit (Integrasi Nilai Islam dalam Membangun Derajat Kesehatan). 2019.
8. Waworuntu, Olivia; Rares, Fredine. Pola bakteri aerob yang berpotensi menyebabkan
infeksi nosokomial di ruangan Instalasi Rawat Darurat Obstetri dan Ginekologi
(IRDO) RSUP Prof. Dr. RD Kandou Manado. Jurnal e-Biomedik, 2016, 4.2.
9. Khan HA, Baig FK, Mehboob R. Nosokomial infections: Epidemiology, prevention,
control and surveillance. Asian Pacific Journal of Tropical Biomedicine. 2017 May
1;7(5):478-82.
10. Dayyab FM. Clinical and Microbiological Profile of Nosokomial Infections among
adult patients in aminu Kano Teaching Hospital. Faculty of Internal Medicine.2016.
11. WHO. The burden of health care-associated infection worldwide. 2018.[Online]
Available from: http://www.who.int/gpsc/country_work/burden_hcai/en/ diakses pada
3 Maret 2020
90

12. Taslim E, Maskoen TT. Pola Kuman Terbanyak Sebagai Agen Penyebab Infeksi
di Intensive Care Unit Pada Beberapa Rumah Sakit di Indonesia. Anasthesia &
Critical Care. 2016; 34:56-62
13. Kambey G, Homenta H, Porotu’o J. Pola Bakteri Aerob Yang Berpotensi
Menyebabkan Infeksi Nosokomial di Kamar Bersalin RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado. eBm. 2016; 4:1-5.
14. Ritto LE. Pola Bakteri Aerob Yang Menyebabkan Infeksi Nosokomial
Pada Kamar Bersalin RSAD Robert Wolter Monginsidi Manado [Karya Tulis
Ilmiah]. [Manado]: Universitas Sam Ratulangi; 2016
15. Williams, Caroline M., et al. Exhaled Mycobacterium tuberculosis output and
detection of subclinical disease by face-mask sampling: prospective observational
studies. The Lancet Infectious Diseases, 2020.
16. World Health Organization. Antibiotik resistance: Multi-country public awareness
survey. WHO Library Cataloguing-in-Publication Data. 2015. ISBN 978 92 4 150981
7
17. Mansyoer R, Widjaja IR. Pola Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotik pada Pasien Unit
Perawatan Intensif Anak di Rumah Sakit Umum Daerah Koja, Jakarta. Sari Pediatri.
2017, 27;19(2):103-7.
18. Wahyudhi A, Triratna S. Pola Kuman dan Uji Kepekaan Antibiotik pada Pasien Unit
Perawatan Intensif Anak RSMH Palembang. Sari Pediatri. 2016 Nov 23;12(1):1-5.
19. Taqiyyah, Iffat. Uji Kepekaan Bakteri Terhadap Antibiotik Pada Pasien Pasca
Laparotomi Dengan Infeksi Luka Operasi (ILO) di RSUD Dr. H. Abdul Moeloek
Periode November 2017 – Januari 2018. Skripsi. Universitas Lampung. 2018
20. World Health Organization. Global guidelines for the prevention of surgical site
infection. Geneva: WHO.2016
21. Widodo D, Irwanto R. Infeksi Nosokomial. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo A. W.
Ilmu Penyakit Dalam, Jilid I edisi keenam. 2014. Jakarta: Interna Publishing. Hal
682–683.
22. Veliu, Skender, et al. Role of Health Care Professionals in Prevention of Hospital-
Acquired Infections Caused By-Carbapenemase Resistant Bacteria: Proactive
Approach S in General Hospital Ptuj. Albanian Journal of Trauma and Emergency
Surgery, 2019, 3.2.
23. Weiser TG, Regenbogen SE., Thompson KD, Haynes AB, Lipsitz SR., Berry WR.,
Gawande AA. 2008. An estimation of the global volume of surgery: a modelling
91

strategy based on available data. 139–44.


24. Magill SS, Edwards JR, Bamberg W. Multistate Point-Prevalence Survey of Health
Care–Associated Infections. New England Journal Medicine. 2014;370: 13.
25. Nugraheni R, Suhartono, Winarni S. Infeksi Nosokomial di RSUD Setjonegoro
Kabupaten Wonosobo. Media Kesehatan Masyarakat Indonesia. 2012;11(1):96.
26. Kubes, Julianne N.; FRIDKIN, Scott K. Factors affecting the geographic variability of
antibiotic-resistant healthcare-associated infections in the United States using the
CDC Antibiotic Resistance Patient Safety Atlas. Infection Control & Hospital
Epidemiology, 2019, 40.5: 597-599.
27. Goswami, Avranil, et al. Bacterial Colonization and Antibiotic Sensitivity Pattern of
In-Born and Out-Born Neonates in a Tertiary Care Hospital ff Kolkata, India. Int J
Biol Med Res, 2019, 10.1: 6616-6622.
28. Rello, Jordi, et al. Perceived differences between intensivists and infectious diseases
consultants facing antimicrobial resistance: a global cross-sectional survey. European
Journal of Clinical Microbiology & Infectious Diseases, 2019, 38.7: 1235-1240.
29. Durand, Guillaume André; RAOULT, Didier; DUBOURG, Grégory. Antibiotic
discovery: History, methods and perspectives. International journal of antimicrobial
agents, 2019, 53.4: 371-382.
30. Center for Disease Dynamics Economics & Policy. he State of the world‘s antibiotics
2015.Washington DC dan New Delhi: Centre for Disease Dynamics, Economics &
Policy(CDDEP).2015.
31. Curran, T., et al. Prophylactic closed‐incision negative‐pressure wound therapy is
associated with decreased surgical site infection in high‐risk colorectal surgery
laparotomy wounds. Colorectal Disease, 2019, 21.1: 110-118.
32. Howe, Rawleigh, et al. Bacterial profile, antibacterial susceptibility pattern and
associated factors among women attending antenatal and postnatal health service at
University of Gondar teaching Hospital, Northwest Ethiopia. Ethiopian Medical
Journal, 2019.
33. Ben Shoham, Assaf, et al. Timing of antibiotic prophylaxis in cesarean section:
retrospective, difference-in-differences estimation of the effect on surgical-site-
infection. The Journal of Maternal-Fetal & Neonatal Medicine, 2019, 32.5: 804-808.
34. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan menteri kesehatan. Jakarta:
Kemenkes RI. 2009
35. Husnawati FW. 2016. Pola Penggunaan antibiotik profilaksis pada pasien bedah
92

caesar ( sectio caesarea ) di rumah sakit pekanbaru medical center (PMC) tahun 2014.
Jurnal Sains Farmasi.2(Mei):303–7.

36. Centers for Disease Control and Prevention. 2013. Antibiotik resistance threats.
Washington DC: CDC.
37. Alemayehu, Tsegaye, et al. The burden of antimicrobial resistance at tertiary care
hospital, southern Ethiopia: a three years’ retrospective study. BMC infectious
diseases, 2019, 19.1: 585.
38. Naveed, Muhammad, et al. Antibiotics resistance mechanism. In: Antibiotics and
Antimicrobial Resistance Genes in the Environment. Elsevier, 2020. p. 292-312.
39. Winther, Azalie CR, et al. Prophylactic antibiotics in caesarean delivery before or
after cord clamping–protecting the mother at the expense of the infant’s
microbiota? BJOG: An International Journal of Obstetrics & Gynaecology, 2020,
127.2: 203-206.
40. Minasyan, Hayk. Sepsis: mechanisms of bacterial injury to the patient. Scandinavian
journal of trauma, resuscitation and emergency medicine, 2019, 27.1: 19.
41. Călina D, Docea AO, RosuL, Zlatian O, Rosu AF, Anghelina F, Nicolae AC.
Antimicrobial resistance development following surgical site infections.Molecular
Medicine Reports. Romania.2016.
42. Pattnaik, Dipti, et al. Multidrug resistant, extensively drug resistant and pan drug
resistant gram-negative bacteria at a tertiary care centre in
Bhubaneswar. International Journal of Community Medicine and Public Health,
2019, 6.2: 567.
43. Wu, Janet Y.; SRINIVAS, Pavithra; POGUE, Jason M. Cefiderocol: A Novel Agent
for the Management of Multidrug-Resistant Gram-Negative Organisms. Infectious
Diseases and Therapy, 2020, 1-24.
44. Kementerian Kesehatan RI. Keputusan Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan
Nomor HK.02.04/I/1966/11 tentang Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Pelayanan
Intensive Care Unit (ICU) di Rumah Sakit. Jakarta. 2011;(4):12-13
45. Siguenza, Nicole, et al. Micro-staining microbes: An alternative to traditional staining
of microbiological specimens using microliter volumes of reagents. Journal of
microbiological methods, 2019, 164: 105654.
46. Ledingham, Katie, et al. Antibiotic resistance: using a cultural contexts of health
approach to address a global health challenge. World Health Organization, 2019.
93

47. Clinical Laboratory Standards Institute (CLSI). Performance Standards for


Antimicrobial Susceptibility Testing 27th edition. 2017.
48. Dewi R, Sulistianingsih, Tiana M, Tina R. Penuntun Praktikum Mikrobiologi
Farmasi. Universitas Padjadjaran. 2011

49. Clinical and Laboratory Standards Institute. Performance standards for antimicrobial
susceptibility testing; twenty-fourth informational supplement. Wayne: Clinical and
Laboratory Standards Institute. 2014.
50. Erhadestria S. Uji kepekaan bakteri yang diisolasi dari urin pengguna kateter pasien
ruang rawat intensif RSUD Dr. H. Abdul Moeloek [Skripsi]. Bandar Lampung:
Universitas Lampung.2017.
51. Jain, Aakanchha; JAIN, Richa; JAIN, Sourabh. Staining Methods–Simple Staining,
Negative Staining, Gram’s Staining and Acid-Fast Staining. In: Basic Techniques in
Biochemistry, Microbiology and Molecular Biology. Humana, New York, NY, 2020.
p. 111-116.
52. Reiner K. Catalase test protocol. Sudbury: Bartlett Publishers.2016
53. El-nasser, Asmaa M., et al. Epidemiological Typing of Methicillin Resistant
Staphylococcus aureus Isolatd from Surgical Site Infection Following Caesarean
Section in an Egyptian University Hospital. The Egyptian Journal of Hospital
Medicine, 2019, 77.5: 5534-5541.
54. Martin-Loeches, I., Torres, A., Rinaudo, M., Terraneo, S., de Rosa, F., Ramirez, P., ...
& Ferrer, M. Resistance patterns and outcomes in intensive care unit (ICU)-acquired
pneumonia. Validation of European Centre for Disease Prevention and Control
(ECDC) and the Centers for Disease Control and Prevention (CDC) classification of
multidrug resistant organisms. Journal of Infection, 2015, 70(3), 213-222.
55. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
2406/MENKES/PER/XII/2011. Tentang Pedoman Umum Penggunaan Antibiotik.
2011.
56. Yadav, Santosh Kumar, et al. Burden of Multidrug-Resistant Acinetobacter
baumannii Infection in Hospitalized Patients in a Tertiary Care Hospital of
Nepal. Infection and Drug Resistance, 2020, 13: 725.
57.  Egan, Sarah A., et al. Linezolid resistance in Enterococcus faecium and Enterococcus
faecalis from hospitalized patients in Ireland: high prevalence of the MDR genes
94

optrA and poxtA in isolats with diverse genetic backgrounds. Journal of


Antimicrobial Chemotherapy, 2020.
58. Vesto, Kim, et al. Corrigendum: Muramyl endopeptidase Spr contributes to intrinsic
vancomycin resistance in Salmonella enterica serovar Typhimurium. Frontiers in
microbiology, 2019, 10: 386.
59. Kathirvel, Sujitha, et al. Molecular characterization of Enterococcus faecalis isolats
from urinary tract infection and interaction between Enterococcus faecalis
encountered Dendritic and Natural Killer cells. Microbial Pathogenesis, 2020, 140:
103944.
60.  Liu, Qian, et al. Staphylococcus epidermidis Contributes to Healthy Maturation of
the Nasal Microbiome by Stimulating Antimicrobial Peptide Production. Cell Host &
Microbe, 2020, 27.1: 68-78. e5.
61. Khare, Anubhuti; Kothari, Saroj; Misra, Vaibhav. Incidence and sensitivity pattern of
Klebsiella pneumoniae, Escherichia coli and Pseudomonas aeruginosa in a tertiary
care hospital. Int J Basic Clin Pharmacol, 2017, 6: 329-33.
62. Rahim, Muhammad Abdur, et al. Frequency, Risk Factors and Antibiotic Sensitivity
Pattern of Extended-Spectrum Beta-Lactamase Producing Escherichia coli and
Klebsiella pneumoniae Causing Urinary Tract Infection: Experience from a Tertiary
Care Hospital of Bangladesh. BIRDEM Medical Journal, 2017, 7.2: 155-159.
63. Barbosa, Camilo, et al. Evolutionary stability of collateral sensitivity to antibiotics in
the model pathogen Pseudomonas aeruginosa. eLife, 2019, 8: e51481.
64. Gurney, James, et al. Phage steering of antibiotic-resistance evolution in the bacterial
pathogen Pseudomonas aeruginosa. bioRxiv, 2019, 868661.
65. Pain, Maria, et al. Comparative Genomic Analysis of Staphylococcus haemolyticus
Reveals Keys to Hospital Adaptation and Pathogenicity. Frontiers in microbiology,
2019, 10: 2096.
66. Taylor, Tracey A.; Unakal, Chandrashekhar G. Staphylococcus aureus. In: StatPearls
[Internet]. StatPearls Publishing, 2019.
67. Boce, Mathilde, et al. Effect of trans (NO, OH)-[RuFT] (Cl)(OH) NO] (PF 6)
ruthenium nitrosyl complex on methicillin-resistant Staphylococcus
epidermidis. Scientific reports, 2019, 9.1: 1-8.
68. Zaha, Dana Carmen, et al. What antibiotics for what pathogens? The sensitivity
spectrum of isolatd strains in an intensive care unit. Science of the total environment,
95

2019, 687: 118-127.


69. Kolpa, Małgorzata, et al. Incidence, microbiological profile and risk factors of
healthcare-associated infections in intensive care units: a 10-year observation in a
Provincial hospital in Southern Poland. International journal of environmental
research and public health, 2018, 15.1: 112.

Anda mungkin juga menyukai