Anda di halaman 1dari 28

LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH


“ HIV (Human Immunodeficiency Virus)”
DI RUANG PANGANDARAN
RSUD Dr.SAIFUL ANWAR

DISUSUN OLEH :
SITI FATIMAH TUS ZAHROH
NIM : 14901.09.22026

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


STIKES HAFSHAWATY PESANTREN ZAINUL HASAN
PROBOLINGGO
2022
LEMBAR PENGESAHAN
LAPORAN PENDAHULUAN DAN ASUHAN KEPERAWATAN
“ HIV (Human Immunodeficiency Virus)”
DI RUANG PANGANDARAN
RSUD Dr.SAIFUL ANWAR

Malang, 20 Desember 2022

Mahasiswa

Pembimbing Ruangan Pembimbing Akademik


A. Anatomi Dan Fisiologi

Imunologi Sistem
1. Sistem imun
Sistem pertahanan internal tubuh yang berperan dalam
mengenali dan menghancurkan bahan yang bukan “normal self”
(bahan asing atau abnormal cells)
2. Imunitas atu respon imun
Kemampuan tubuh manusia untuk melawan organisme atau
toksin yang Berbahaya.
Ada 2 macam RI, yaitu :
a. RI Spesifik : deskriminasi self dan non self, memori, spesifisitas.
b. RI non Spesifik : efektif untuk semua mikroorganisme
Sel-sel yang berperan dalam respon Imun
a. Sel B
Sel B adalah antigen spesifik yang berproliferasi untuk merespons
antigen tertentu. Sel B merupakan nama bursa fabrisius, yaitu jaringan
limfoid yang ditemukan pada ayam. Jaringan sejenis yang ada pada
mamalia yaitu sumsum tulang, jaringan limfe usus, dan limpa. Sel B
matur bermigrasi ke organ-organ limfe perifer seperti limpa, nodus
limfe, bercak Peyer pada saluran pencernaan, dan amandel. Sel B matur
membawa molekul immunoglobulin permukaan yang terikat demean
membran selnya. Saat diaktifasi oleh antigen tertentu dan dengan
bantuan limfosit T.
Sel B akan derdiferensiasi melalui dua cara, yaitu :
1. Sel plasma adalah: Sel ini mampu menyintesis dan mensekresi
antibodi untuk menghancurkan antigen tertentu.
2. Sel memori B adalah Sel memori menetap dalam jaringan limfoid
dan siap merespons antigen perangsang yang muncul dalam pajanan
selanjutnya dengan respons imun sekunder yang lebih cepat dan
lebih besar.
b. Sel T
Sel T juga menunjukan spesifisitas antigen dan akan berploriferasi
jika ada antigen, tetapi sel ini tidak memproduksi antibodi. Sel T
mengenali dan berinteraksi dengan antigen melalui reseptor sel T, yaitu
protein permukaan sel yang terikat membran dan analog dengan antibodi.
Sel T memproduksi zat aktif secara imulogis yang disebut limfokin. Sub
type limfosit T berfungsi untuk membantu limfosit B merespons antigen,
membunuh sel-sel asing tertentu, dan mengatur respons imun. Respons sel
T adalah :Sel T, seperti sel B berasal dari sel batang prekusor dalam
sumsum tulang. Pada periode akhir perkembangan janin atau segera
setelah lahir, sel prekusor bermigrasi menuju kelenjar timus, tempatnya
berproliferasi, berdiferensiasi dan mendapatkan kemampuan untuk
mengenali diri. Setelah mengalami diferensiasi dan maturasi, sel T
bermigrasi menuju organ limfoid seperti limpa atau nodus limfe. Sel ini
dikhususkan untuk melawan sel yang mengandung organisme intraselular.
c. Sel T efektor :
1) Sel T sitotoksik (sel T pembunuh)
Mengenali dan menghancurkan sel yang memperlihatkan
antigen asing pada permukaannya
2) Sel T pembantu
Tidak berperan langsung dalam pembunuhan sel. Setelah
aktivasi oleh makrofag antigen, sel T pembantu diperlukan untuk
sistesis antibody normal, untuk pngenalan benda asing sel T
pembantu melepas interleukin-2 yang menginduksi proliferasi sel
T sitotoksik, menolong sel T lain untuk merespons antigen dan sel
T pembantu dpt memproduksi zat (limfokin) yang penting dalam
reaksi alergi (hipersensitivitas).
d. Sel T supresor
Setelah diaktifasi sel T pembantu akan menekan respon sel B dan
sel T.
e. Makrofag
Makrofag memproses antigen terfagositosis melalui denaturasi atau
mencerna sebagian antigen untuk menghasilkan fragmen yang
mengandung determinan antigenic. Makrofag akan meletakkan fragmen
antigen pada permukaan selnya sehingga terpapar untuk limfosit T
tertentu.
B. Definisi HIV
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh yang menyebabkan tubuh rentan
terhadap berbagai penyakit (Setiarto et al., 2021). Tanpa perawatan, virus
ini akan terus bereplikasi dan menyebabkan penyakit Acquaired
Immunodefisiency Syndrome (AIDS), yaitu tahapan terakhir dalam infeksi
HIV ditandai dengan kumpulnya beberapa gejala atau penyakit yang
timbul ketika sistem imun tubuh semakin melemah (Monasel et al., 2022).
Ini dikarenakan akibat kurangnya zat kekebalan tubuh (CD4) yang terjadi
sekitar 5-10 tahun setelah terinveksi virus HIV ditandai dengan jumlah
CD4 kurang dari 200 sel µL (Setiarto et al., 2021b).
HIV disebabkan oleh sekelompok virus yang dikenal sebagai
retrovirus.Virus ini membawa materi genetik dalam bentuk Ribonucleic
Acid (RNA) dan bukan Deoksiribonucleic Acid (DNA).Virus ini
menginfeksi limfosit T yang membawa antigen CD4. Setelah memasuki
sel T CD4+, virus tersebut akan terus hidup dengan cara mengintregasikan
dirinya kedalam struktur DNA inang, yang pada akhirnya akan dirusak.
Karena sel T CD4+ mengoordinasikan banyak fungsi imunologis,
kerusakan sel ini mengganggu imunitas yang dimediasi oleh sel tubuh dan
imunitas humoral serta bahkan fungsi autoimunnya (Berek, 2018).
C. Etiologi
AIDS disebabkan oleh virus yaitu Human Immunodefisiensi Virus
(HIV) yang merupakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam family
retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus (Setiarto et al.,
2021b).
Menurut setiarto et.al (2021) penularan HIV disebabkan oleh :
1. Transmisi seksual
Penularan HIV melalui bisa melalui homoseksual maupun hetero
seksual
a. Transmisi virus HIV pada homoseksual: perilaku seksual yang
beresiko tinggi bagi penularan HIV adalag dengan cara hubungan
seksual anogenital dikarenakan mukosa rectum yang sangat tipis
dan mudah mengalami perlukaan pada saat berhubungan seksual.
Di Amerika Serikat 50% pria homoseksual tertular HIV melalui
hunungan selsual anoginetal tanpa perlindungan.
b. Transmisi virus HIV pada heteroseksual : hubungan seksual laki-
laki dan perempuan tanpa alat pengaman dapat meningkatkan
terjadinya penularan HIV dikarenakan air mani, cairan vagina, dan
darah dapat masuk kealiran darah.
2. Transmisi non seksual
a. Transmisi parenteral
Ini dapat terjadi karena penggunaan jarum suntik atau alat tindik
yang tidak steril dan telah terkontaminasi oleh penderita dipakai
secara bersamaan atau bergantian.
b. Transmisi transplasenta
Penularan ibu kepada bayi, ini bisa terjadi sewaktu hamil,
melahirkan dan juga sewaktu menyusui.
c. Transmisi melalui produk darah
d. Transplantasi organ dan jaringan tubuh yang terinfeksi
HIV.Transplantasi organ seperti ini dapat berpotensi menyebarkan
virus HIV kedalam tubuh seseorang yang melakukan
pencangkokan organ.
D. Manifestasi
Menerut setiarto et al. (2021) Infeksi HIV tidak akan langsung
menunjukan tanda atau gejala tertentu. Gejala penyakit pada penderita
HIV mirip dengan penyakit pada umumnya seperti demam, diare, dan
flu.Namun seiring berjalannya waktu gejala-gejala tersebut bertambah.
Terdapat beberapa gejala terkait HIV/AIDS sebagi berikut:
1. Stadium pertama
Ditandai dengan aktivitas yang masih normal disertai pembesaran
getah bening
2. Stadium kedua
Ditandai dengan penurunan berat badan <10% tanpa diketahui
penyebabnya, infeksi saluran pernafasan yang berulang-ulang seperti
sinusitis, bronchitis, faringitis.Tanda klinis lainnya berupa herpes
zoster, angular chelitis, dermatitis seboroik, dan infeksi jamur dikuku.
3. Stadium ketiga
Ditandai dengan penurunan berat badan >10%, lemah, diare kronis >1
bulan, anemia dengan kadar hemoglobin <8 g/dl, candidiasis.
4. Stadium keempat
Pada stadium ini, tanda klinis pada stadium sebelumnya masih
ditemukan seperti penurunan berat badan, pneumonia, tuberculosis
ekstra pulmoner, sarcoma Kaposi, dan enselopati HIV, diare >1 bulan
karena cryptosporidiosis serta infeksi herpes simpleks kronis >1 bulan.
Stadium perkembangan infeksi virus HIV
Menurut (Setiarto et al., 2021) stadium perkembangan infeksi virus HIV
sebagai berikut
1. Stadium pertama (HIV)
Stadium dimulai dari masuknya virus HIV ke dalam tubuh
diikuti dengan perubahan serologis yaitu antibody dari negatif menjadi
positif.Perubahan antibodi memerlukan waktu satu sampai 3 bulan
bahkan ada yang berlangsung hingga enam bulan. Pada tahap ini
pasien tidak menunjukkan gejala sama sekali atau mengalami
Linfadeponopati Generalisata Persisten (LPG), yakni pembesaran
kelenjar getah bening di beberapa tempat yang menetap. Pada tingkat
ini, pasien belum mempunyai keluhan dan tetap dapat melakukan
aktivitas.
2. Stadium kedua (Asimptomatik)
Penderita HIV mulai menunjukkan gejala kecil seperti
penurunan bera badan, kelainan kulit, infeksi jamur pada kaki,
dermatitis seboroika, infeksi saluran nafas bagian atas.Pada tingkat ini,
pasien telah menunjukan gejala tetapi akivitasnya tetap normal.
3. Stadium ketiga
Pembesaran kelenjar limfa yang menetap dan merata
berlangsumg lebih dari bulan, penurunan berat badan, demam, lebih
dari 1 bulan, tuberculosis 1tahun terakhir.pada tingkat ini, penderita
hanya berbaring di tempat tidur lebih dari 12 jam per hari
4. Stadium keempat
Keadaan dimana penderita mulai mengalami infeksi oportunitus,
penurunan berat badan, demam, infeksi jamur, kriptospodiosis dengan
diare lebih dari satu bulan.tuberculosis, dll.
E. Patofisiologi HIV-AIDS
HIV bisa masuk ke dalam tubuh seseorang melalui transfuse Darah
yang terpapar virus HIV, Penularan secara vertical dari demean HIV,
secara melalui tusukan jarum. hubungan seksual, parenteral atau
perinatal.HIV menyerang sel yang mempunyai reseptor CD4, yaitu
limfosit CD4 dan monosit/makrofag.HIV hanya memiliki genetik RNA
dan tidak memiliki DNA.Untuk mengtahui virus HIV/AIDS menyerang
daya tahan tubuh manusia maka digunakan parameter limfosit (sel darah
putih).Limfosit merupakan sel utama dalam sistem kekebalan. Peran
limfosit sangat penting untuk melawan penyakit menular yang utama
seperti AIDS, kanker, rabies dan TBC, serta penyakit lain yang cukup
serius seperti jantung dan reumatik. Karakteristik utama infeksi HIV dapat
dilihat dengan penurunan jumlah limfosit serta penyebab kegagalan sistem
imun secara progresif dapat diamati dari perubahan tanda - tanda klinis
pasien Virus HIV menempel pada limfosit sel induk melalui gp120,
sehingga akan akan terjadi fungsi membran HIV dengan sel induk. Inti
HIV kemudian masuk ke dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel induk,
HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV untuk berintegrasi
dengan DNA sel induk. DNA virus yang dianggap oleh tubuh sebagai
DNA sel induk akan membentuk RNA dengan fasilitas sel induk,
sedangkan mRNA dalam sitoplasma akan diubah oleh enzim protase
menjadi partikel HIV. Partikel itu selanjutnya mengambil selubung dari
bahan sel induk untuk dilepas sebagai virus HIV lainnya.
Mekanisme penekanan pada system imun ini akan menyebabkan
penurunan sehingga tubuh rentan terhadap infeksi. Infeksi yang akan
terjadi pada pernafasan dan pencernaan. Pada infeksi pernafasan terjadi
peradangan saluran pernafasan dan Jernigan paru dan mengakbatkan
adanya sekresi dijalan nafas yang akan terjadi masalah pada ketidak
efektifan bersihan jalan nafas karena dalam keadaan alveoli rusak yang
akan terjadi kolaps saluran nafas kecil saat ekspirasi mengakibatkan
gangguan pertukaran gas sehingga respon tubuh lesu/lemah yang
mengakibatkan adanya intoleransi aktivitas. Infeksi yang terjadi pada
sistem pencernaan disebabkan oleh infeksi bakteri dan jamur. Penyebab
dari bakteri akan terjadi diare kronis yang mana output caran meningkat
dan turgor kulit mukosa kering sehingga menyebabkan kekurangan
volume cairan. Sedangkan yang disebabkan jamur adalah peradangan
mulut sehingga pasien sulit untuk menelan yang akan menyebabkan nutrisi
kurang dari kebutuhan tubuh.
G. Pemeriksaan Diagnostik
Menururt (Hidayati et al., 2019) jenis pemeriksaan laboratorium HIV
sebagai berikut :
1. Tes cepat
Tes cepat hanya dilakukan untuk keperluan skrining, dengan reagen
yang sudah dievaluasi oleh institusi yang ditunjuk Kementerian
Kesehatan, dapat mendeteksi baik antibodi terhadap HIV-1 maupun
HIV-2.Tes cepat dapat dijalankan pada jumlah sampel yang lebih
sedikit dan waktu tunggu untuk mengetahui hasil kurang dari 20 menit
bergantung pada jenis tesnya dan dilakukan oleh tenaga medis yang
terlatih.
2. Indirect Fluorescent Antibody (IFA)
IFA merupakan pemeriksaan konfirmasi ELISA positif.IFA juga
mendeteksi antibody terhadap HIV.Salah satu kekurangan dari
pemeriksaan ini adalah biayanya yang mahal.
3. Tes Lymphocyte Count (TLC)
Tes ini dilakukan untuk mengetahui kadar limfosit dalam tubuh. TLC
dapat di lakukan dilaboratorium.Jika jumlah CD4 menurun itu berarti
limfosit dalm tubuh juga rendah.Pada orang sehat, TLC normal adalah
kurang lebih 2000. TLC 1.000-1.250 biasanya serupa dengan CD4
kurang lebih 200
4. Tes Enzyme Linked Immunosorbent Assay (ELISA)
Tes ini dilakukan untuk mendeteksi antibody yang dibuat tubuh
terhadap virus HIV.Antibody tersebut biasanya diproduksi mulai
minggu ke-2 atau bahkan minggu ke-12 setelah terpapar virus
HIV.Karena alasan ini para ahli menganjurkan pemeriksaan ELISA
dilakukan setelah minggu ke-12 seusai melakukan hubungan seksual
berisiko tinggi atau tertusuk jarum suntik yang terkontaminasi.Tes
ELISA dapat dilakukan dengan sampel darah vena, air liur, atau air
kencing.Hasil positif pada ELISA belum tentu menyatakan bahwa
orang yang diperiksa telah terinfeksi HIV. Masih diperlukan
pemeriksaan lain, yaitu Western Bolt dan IFA, untuk mengonfirmasi
hasil pemeriksaan ELISA ini. Jika diperoleh tes ELISA negatif maka
kembali melakukan konseling untuk penataan perilaku seks yang lebih
aman.Pemeriksaan diulang kembali dalam waktu 3-6 bulan.
5. Tes Western Blot
Tes ini merupakan tes antibodi untuk konfirmasi pada kasus yang
sulit.Western bolt dapat memastikan hasil dari pemeriksaan ELISA
karena pemeriksaan ini lebih sensitive dan lebih spesifik.Walaupun
demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian khusus.
6. Tes virologis terdiri atas:
a. HIV DNA kualitatif (EID)
Tes ini mendeteksi keberadaan virus dan tidak bergantung pada
keberadaan antibodi HIV.Tes ini digunakan untuk diagnosis bayi.
b. HIV RNA kuantitatif
Tes ini untuk memeriksa jumlah virus di dalam darah, dan dapat
digunakan untuk pemantauan terapi ARV pada dewasa dan
diagnosis pada bayi jika HIV DNA tidak tersedia.
c. Tes virologis Polymerase Chain Reaction (PCR)
Tes virologis direkomendasikan untuk mendiagnosis anak berumur
kurang dari 18 bulan. Tes virologis yang dianjurkan: HIV DNA
kualitatif dari darah lengkap atau Dried Blood Spot (DBS), dan
HIV RNA kuantitatif dengan menggunakan plasma darah. Bayi
yang diketahui terpajan HIV sejak lahir dianjurkan untuk diperiksa
dengan tes virologis paling awal pada umur 6 minggu.
7. Tes antigen p24 HIV
Tes antigen p24 dapat mendeteksi protein p24 rata-rata 10 hingga 14
hari setelah terinfeksi HIV.Tes ini direkomendasikan oleh WHO dan
CDC yang bertujuan untuk mengurangi waktu yang diperlukan untuk
mendiagnosis infeksi HIV.
H. Pencegahan Penularan HIV
Menurut (KemenKes, 2019) untuk menghindari HIV terdapat konsep
ABCDE sebagai berikut:
1. A (Abstinence): artinya Absen seks atau tidak melakukan hubungan
seks bagi yang belum menikah
2. B (Be Faithful): artinya Bersikap saling setia kepada satu pasangan
seks (tidak berganti-ganti pasangan)
3. C (Condom): artinya Cegah penularan HIV melalui hubungan seksual
dengan menggunakan kondom.
4. D (Drug No): artinya Dilarang menggunakan narkoba.
5. E (Education): artinya pemberian Edukasi dan informasi yang benar
mengenai HIV, cara penularan, pencegahan dan pengobatannya.
Kegiatan yang dapat dilakukan untuk pencegahan primer antara lain
sebagai berikut.
1. KIE tentang HIV-AIDS dan kesehatan reproduksi, baik secara individu
atau kelompok dengan sasaran khusus perempuan usia reproduksi dan
pasangannya.
2. Dukungan psikologis kepada perempuan usia reproduksi yang
mempunyai perilaku atau pekerjaan berisiko dan rentan untuk tertular
HIV (misalnya penerimaan donor darah, pasangan dengan pekerjaan
atau perilaku berisiko) agar bersedia melakukan tes HIV.
3. Dukungan sosial dan perawatan bila hasil tes positif.
I. Komplikasi
Komplikasi(Hidayati et al., 2019) dan (KemenKes, 2019)dampak yang
akan terjadi pada penderita, antara lain:
1. Pneumocystis pneumonia
Pneumonia Pneumocystis (PCP) adalah infeksi oportunistik (IO)
paling umum pada orang terinfeksi HIV. Tanpa pengobatan, lebih dari
85% orang dengan HIV pada akhirnya akan mengembangkan penyakit
PCP. PCP disebabkan oleh jamur yang ada dalam tubuh hampir setiap
orang. Dahulu jamur tersebut disebut Pneumocystis carinii, tetapi para
ilmuwan sekarang memakai nama Pneumocystis jiroveci, namun
penyakit masih disingkatkan sebagai PCP. Sistem kekebalan yang
sehat dapat mengendalikan jamur ini
2. Tuberkulosis (TB)
TB merupakan penyakit oportunistik yang sering terjadi pada
ODHA.Sebagian besar orang yang terinfeksi dengan kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) tidak menjadi sakit TB karena mereka
memiliki sistem imunitas yang baik. Infeksi tanpa jadi sakit tersebut
dikenal sebagai infeksi TB laten. Namun pada orang-orang dimana
sistem imunitasnya menurun, misalnya pada ODHA, maka infeksi TB
laten tersebut dengan mudah berkembang menjadi sakit TB Aktif.
3. Neuro-AIDS
Infeksi oportunistik tersering SSP (sistem saraf pusat) pada pasien HIV
di Indonesia adalah meningitis TB, ensefalitis toksoplasma dan
meningitis kriptokokus.Perangkat minimal yang dibutuhkan untuk
mendiagnosis infeksi SSP adalah, tes HIV, CTscan dan MRI, dan
analisis CSS.
a. Meningitis kriptokokus
Meningitis kriptokokus merupakan salah satu infeksi oportunistik
tersering pada pasien imunokompromais dengan angka mortalitas
yang sangat tinggi, meskipun dengan pemberian kombinasi
antijamur.Inisiasi terapi ARV tetap merupakan strategi pencegahan
terpenting untuk menurunkan insidens dan mortalitas akibat
penyakit kriptokokus.Namun, banyak ODHA yang baru
terdiagnosis penyakit kriptokokus pada saat berada pada stadium
lanjut.Maka dari itu, pendekatan alternatif untuk mencegah
munculnya penyakit kriptokokus merupakan komponen penting
dalam tata laksana HIV stadium lanjut. Seluruh pasien dengan
antigen kriptokokus positif pada penapisan direkomendasikan
untuk diberikan terapi antijamur (flukonazol 800 mg/hari untuk
dewasa, 12mg/kg/hari untuk remaja, selama 2 minggu), diikuti
dengan terapi konsolidasi dan profilaksis sekunder sebagaimana
terapi meningitis kriptokokus.
b. Ensefalitis toksoplasma
Ensefalitis toksoplasma (ET) atau toxoplasma encephalitis (TE)
merupakan etiologi infeksi intrakranial tersering yang muncul
sebagai lesi desak ruang di otak pada pasien HIV.Pasien HIV yang
seropositif terhadap infeksi toksoplasma memiliki peningkatan
risiko reaktivasi infeksi dan dapat berkembang menjadi ET.Adanya
defisit neurologis yang bersifat progresif pada pasien HIV positif
dengan CD4. Individu yang baru terdiagnosis HIV
direkomendasikan untuk melakukan pemeriksaan IgG toksoplasma
untuk mengetahui adanya infeksi laten. Guna meminimalisasi
terjadinya infeksi toksoplasma, perlu diberikan penjelasan untuk
menghindari daging mentah atau setengah matang.Pasien harus
mencuci tangan setelah berkontak dengan daging mentah atau
tanah, serta selalu mencuci buah dan sayur sebelum dimakan.
c. Meningitis tuberculosis
Meningitis TB merupakan manifestasi infeksi tuberkulosis yang
paling berat dan menimbulkan kematian dan kecatatan pada 50%
penderitanya.Angka kejadian meningitis sekitar 1% dari seluruh
kasus TB.Jumlah kematian akibat TB di Indonesia diperkirakan
berjumlah 61.000 per tahunnya.Meningitis TB sebagai bentuk
terberat dari infeksi TB dapat merupakan penyebab yang penting
dari kematian tersebut.
J. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan HIV tergantung pada stadium penyakit dan setiap
infeksi oportunistik yang terjadi. Secara umum, tujuan pengobatan adalah
untuk mencegah sistem imun tubuh memburuk ke titik di mana infeksi
oportunistik akan bermunculan. Sindrom pulih imun atau Immune
Reconstitution Inflammatory Syndrome (IRIS) yang dapat muncul setelah
pengobatan juga jarang terjadi pada pasien yang belum mencapai titik
tersebut. Untuk semua penderita HIV/AIDS diberikan anjuran untuk
istirahat sesuai kemampuan atau derajat sakit, dukungan nutrisi yang
memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien untuk penderita HIV &
AIDS, konseling termasuk pendekatan psikologis dan psikososial, dan
membiasakan gaya hidup sehat.
Terapi antiretroviral adalah metode utama untuk mencegah
perburukan sistem imun tubuh.Terapi infeksi sekunder dan diagnosis
penyerta yang ditemukan.Sebagai tambahan, profilaksis untuk infeksi
oportunistik spesifik diindikasikan pada kasus-kasus tertentu.
Prinsip pemberian ARV adalah menggunakan kombinasi 3 jenis
obat yang ketiganya harus terserap dan berada dalam dosis terapeutik
dalam darah, dikenal dengan Highly Active Antiretroviral Therapy
(HAART).Istilah HAART sering disingkat menjadi Antiretroviral Therapy
(ART) atau terapi ARV. Pemerintah dalam Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia no 87 Tahun 2014 menetapkan paduan yang
digunakan dalam pengobatan ARV dengan berdasarkan pada 5 aspek,
yaitu efektivitas, efek samping/ toksisitas, interaksi obat, kepatuhan, dan
harga obat (Permenkes, 2014 dalam (Hidayati et al., 2019).
a. Penatalaksanaan keperawatan
1. Aspek Psikologis, meliputi :
a. Perawatan personal dan dihargai
b.Mempunyai seseorang untuk diajak bicara tentang masalah
masalahnya
c. Jawaban-jawaban yang jujur dari lingkungannya.
d. Tindak lanjut medis
e. Mengurangi penghalang untuk pengobatan
f.Pendidikan/penyuluhan tentang kondisi mereka
2. Aspek Sosial.
Seorang penderita HIV AIDS setidaknya membutuhkan bentuk
dukungan dari lingkungan sosialnya. Dimensi dukungan sosial
meliputi 3 hal:
a. Emotional support, miliputi; perasaan nyaman, dihargai, dicintai,
dan diperhatikan
b. Cognitive support, meliputi informasi, pengetahuan dan nasehat
c. Materials support, meliputi bantuan / pelayanan berupa sesuatu
barang dalam mengatasi suatu masalah. (Nursalam, 2007)
Dukungan sosial terutama dalam konteks hubungan yang akrab
atau kualitas hubungan perkawinan dan keluarga barangkali
merupakan sumber dukungan sosial yang paling penting. House
(2006) membedakan empat jenis dimensi dukungan social :
d. Dukungan Emosional
Mencakup ungkapan empati, kepedulian dan perhatian
terhadap pasien dengan HIV AIDS yang bersangkutan
e. Dukungan Penghargaan
Terjadi lewat ungkapan hormat / penghargaan positif untuk
orang lain itu, dorongan maju atau persetujuan dengan gagasan
atau perasaan individu dan perbandingan positif orang itu dengan
orang lain.
f. Dukungan Instrumental Mencakup bantuan langsung misalnya
orang memberi pinjaman uang, kepada penderita HIV AIDS yang
membutuhkan untuk pengobatannya
g. Dukungan Informatif
Mencakup pemberian nasehat, petunjuk, sarana.
b. Penatalaksaan Medis
1. Apabila terinfeksi Human Immunodeficiency Virus (HIV), maka
terapinya yaitu (Endah Istiqomah : 2009) :
a. Pengendalian Infeksi Opurtunistik
Bertujuan menghilangkan,mengendalikan, dan pemulihan infeksi
opurtunistik, nasokomial, atau sepsis. Tidakan pengendalian
infeksi yang aman untuk mencegah kontaminasi bakteri dan
komplikasi penyebab sepsis harus dipertahankan bagi pasien
dilingkungan perawatan kritis.
b. Terapi AZT (Azidotimidin)
Disetujui FDA (1987) untuk penggunaan obat antiviral AZT yang
efektif terhadap AIDS, obat ini menghambat replikasi antiviral
Human Immunodeficiency Virus (HIV) dengan menghambat
enzim pembalik traskriptase. AZT tersedia untuk pasien AIDS
yang jumlah sel T4 nya <>3 . Sekarang, AZT tersedia untuk pasien
dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) positif
asimptomatik dan sel T4 > 500 mm3
c. Terapi Antiviral Baru
Beberapa antiviral baru yang meningkatkan aktivitas system
imun demean menghambat replikasi virus / memutuskan rantai
reproduksi virus pada prosesnya. Obat-obat ini adalah : Didanosin,
Ribavirin, Diedoxycytidine, Recombinant CD 4 dapat larut
d. Vaksin dan Rekonstruksi Virus
Upaya rekonstruksi imun dan vaksin dengan agen tersebut
seperti interferon, maka perawat unit khusus perawatan kritis dapat
menggunakan keahlian dibidang proses keperawatan dan penelitian
untuk menunjang pemahaman dan keberhasilan terapi
AIDS.
1. Diet
Penatalaksanaan diet untuk penderita AIDS (UGI:2012) adalah
a. Tujuan Umum Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Memberikan intervensi gizi secara cepat dengan
mempertimbangkan seluruh aspek dukungan gizi pada semua
tahap dini penyakit infeksi HIV.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan secara komposisi
 tubuh yang diharapkan, terutama jaringan otot (Lean Body
Mass).
 Memenuhi kebutuhan energy dan semua zat gizi.
 Mendorong perilaku sehat dalam menerapkan diet, olahraga
dan
 relaksasi.
b. Tujuan Khusus Diet Penyakit HIV/AIDS adalah:
 Mengatasi gejala diare, intoleransi laktosa, mual dan muntah.
 Meningkatkan kemampuan untuk memusatkan perhatian,
yang terlihat pada: pasien dapat membedakan antara gejala
anoreksia, perasaan kenyang, perubahan indra pengecap dan
kesulitan menelan.
 Mencapai dan mempertahankan berat badan normal.
 Mencegah penurunan berat badan yang berlebihan (terutama
jaringan otot).
 Memberikan kebebasan pasien untuk memilih makanan yang
adekuat sesuai dengan kemampuan makan dan jenis terapi
yang diberikan.
c. Syarat-syarat Diet HIV/AIDS aadalah:
 Energi tinggi. Pada perhitungan kebutuhan energi,
diperhatikan faktor stres, aktivitas fisik, dan kenaikan suhu
tubuh. Tambahkan energi sebanyak 13% untuk setiap
kenaikan Suhu 1°C.
 Protein tinggi, yaitu 1,1 – 1,5 g/kg BB untuk memelihara dan
mengganti jaringan sel tubuh yang rusak. Pemberian protein
disesuaikan bila ada kelainan ginjal dan hati.
 Lemak cukup, yaitu 10 – 25 % dari kebutuhan energy total.
Jenis lemak disesuaikan dengan toleransi pasien. Apabila ada
malabsorpsi lemak, digunakan lemak dengan ikatan rantai
sedang (Medium Chain Triglyceride/MCT). Minyak ikan
(asam lemak omega 3) diberikan bersama minyak MCT
dapat memperbaiki fungsi kekebalan.
 Vitamin dan Mineral tinggi, yaitu 1 ½ kali (150%) Angka
Kecukupan Gizi yang di anjurkan (AKG), terutama vitamin
A, B12, C, E, Folat, Kalsium, Magnesium, Seng dan
Selenium. Bila perlu dapat ditambahkan vitamin berupa
suplemen, tapi megadosis harus dihindari karena dapat
menekan kekebalan tubuh.
 Serat cukup; gunakan serat yang mudah cerna.
 Cairan cukup, sesuai dengan keadaan pasien. Pada pasien
demean gangguan fungsi menelan, pemberian cairan harus
hati-hati dan diberikan bertahap dengan konsistensi yang
sesuai. Konsistensi cairan dapat berupa cairan kental (thick
fluid), semi kental (semi thick fluid) dan cair (thin fluid).
 Elektrolit. Kehilangan elektrolit melalui muntah dan diare
perlu diganti (natrium, kalium dan klorida).
 Bentuk makanan dimodifikasi sesuai dengan keadaan pasien.
Hal ini sebaiknya dilakukan dengan cara pendekatan
perorangan, dengan melihat kondisi dan toleransi pasien.
Apabila terjadi penurunan berat badan yang cepat, maka
dianjurkan pemberian makanan melalui pipa atau sonde
sebagai makanan utama atau makanan selingan.
 Makanan diberikan dalam porsi kecil dan sering
 Hindari makanan yang merangsang pencernaan baik secara
mekanik, termik, maupun kimia.
d. Jenis Diet dan Indikasi Pemberian
Diet AIDS diberikan pada pasien akut setelah terkena infeksi
HIV, yaitu kepada pasien dengan:
a. Infeksi HIV positif tanpa gejala.
b. Infeksi HIV dengan gejala (misalnya panas lama, batuk, diare,
kesulitan menelan, sariawan dan pembesaran kelenjar getah
bening).
c. Infeksi HIV dengan gangguan saraf
d. Infeksi HIV dengan TBC.
e. InfeksiHIV dengan kanker dan HIV Wasting Syndrome.
Konsep Asuhan Keperawatan HIV
A. Pengkajian
1. Identitas Klien
Meliputi : Nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, alamat,
penanggung jawab, tanggal pengkajian, dan diagnose medis.
2. Keluhan Utama / Alasan Masuk Rumah Sakit
Mudah lelah, tidak nafsu makan, demam, diare, infermitten, nyeri panggul,
rasa terbakar saat miksi, nyeri saat menelan, penurunan BB, infeksi jamur
dimulut, pusing, sakit kepala, kelemahan otot, perubahan ketajaman
penglihatan, kesemutan pada extremitas, batuk produkti / non.
3. Riwayat Kesehatan
 Riwayat kesehatan sekarang
Meliputi keluhan yang dirasakan biasanya klien mengeluhkan
diare,demam berkepanjangan,dan batuk berkepanjangan.
 Riwayat kesehatan dahulu
Riwayat menjalani tranfusi darah, penyakit herper simplek, diare yang
hilang timbul, penurunan daya tahan tubuh, kerusakan immunitas hormonal
(antibody), riwayat kerusakan respon imun seluler (Limfosit T), batuk yang
berdahak yang sudah lama tidak sembuh.
 Riwayat Keluarga
Human Immuno Deficiency Virus dapat ditularkan melalui hubungan
seksual dengan penderita HIV positif, kontak langsung dengan Darah
penderita melalui ASI.
4. Pemeriksaan fisik
1) Tanda-tanda vital
2) Rambut
3) Kardiovaskular
4) Mata dan Otot
5) Lidah dan Membran mukosa
6) Neurologis
7) Vitalitas dan Aktifitas Istirahat
Mudah lemah, toleransi terhadap aktifitas berkurang, progresi,
kelelahan / malaise, perubahan pola tidur.
8) Gejala subyektif
Demam kronik, demam atau tanpa mengigil, keringat malam hari
berulang kali, lemah, lelah, anoreksia, BB menurun, nyeri, sulit tidur.
9) Psikososial
Kehilangan pekerjaan dan penghasilan, perubahan poa hidup,
ungkapkan perasaan takut, cemas, meringis.
10) Status Mental
Marah atau pasrah, depresi, ide bunuh diri, apati, withdrawl,
hilanginterest pada lingkungan sekiar, gangguan proses piker, hilang
memori, gangguan atensi dan konsentrasi, halusinasi dan delusi.
11) Neurologis
Gangguan reflex pupil, nystagmus, vertigo, ketidak seimbangan,
kaku kuduk, kejang, paraf legia.
12) Muskuloskletal
13) Focal motor deficit, lemah, tidak mampu melakukan ADL
14) Kardiovaskuler
15) Takikardi, sianosis, hipotensi, edem perifer, dizziness.
16) Pernafasan
Nafas pendek yang progresif, batuk (sedang – parah), batuk
produktif/non produktif, bendungan atau sesak pada dada.
17) Integument
18) Kering, gatal, rash dan lesi, turgor jelek, petekie positif.
B. Diagnosa Keperawatan
1. Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan.
2. Hipovolemia b.d gangguan mekanisme regulasi.
3. Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang.
4. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik.
5. Intoleransi Aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.

C. Intervensi Keperawatan

1. Defisit Nutrisi b.d ketidakmampuan menelan makanan


SLKI
Tujuan:
a. Status Nutrisi
b. Berat badan
c. Nafsu makan
d. Eleminasi fekal
e. Status menelan
Kriteria hasil:
a. Porsi makan yang dihabiskan
b. Kakuatan otot mengunyah
c. Kakuatan otot menelan
d. Sreum albumin
e. Verbalisasi keinginan untuk meningkatkan nutrisi
f. Pengetahuan tentang pilihan makanan yang sehat.
SIKI
1. Identifikasi status nutrisi
2. Identifikasi alergi dan intoleransi makanan
3. Identifikasi makanan yang disukai
4. Identifikasi kebutuhan kalori dan nutrien
5. Identifikasi perlunya penggunaan selang nasogatrik
6. Monitor asupan makanan
7. Monitor berat badan
8. Monitor hasil laboratorium
9. Lakukan oral hygiene sebelum makan
10. Fasilatasi menentukan pedoman diet
11. Sajikan makanan secara menarik dan suhu yang sesuai
12. Berikan makanan tinggi serat untuk mencegah konstipasi
13. Hentikan pemberian makanan melalui selang nasogatrik jika asupan oral dapat
ditoleransi
14. Anjurkan posisi duduk
15. Kolaborasi pemberian medikasi sebelum makan
16. Kolaborasi ahli gizi untuk menentukan jumlah kaloridan jenis nutrien yang
dibutuhkan
2. Hipovolemia b.d gangguan mekanisme regulasi
SLKI
Tujuan:
a. Keseimbangan cairan
b. Curah jantung
c. Keseimbangan asam-basa
d. Manajemen kesehatan
Kriteria hasil:
a. Asupan cairan
b. Output urin
c. Membran mukosa lembap
d. Asupan makanan
e. Edema
f. Dehidrasi
g. Asites
h. konfusi
SIKI
1.periksa tanda dan gejala hipovolemia
2.hitung kebutuhan cairan
3.berikan posisi modified trendelendurg
4. berikan asupan cairan oral
5.Anjurkan memperbanyak asupan oral
6.Anjurkan menghindari perubahan posisi mendadak
7.Kolaborasi pemberian cairan IV isotonis (Nacl, RL)
8.Kolaborasi pemberian cairan IV hipotenis (glukos 2,5%, Nacl 0,4%)
9.Kolaborasi pemberian cairan koloid (albumin, plesmanate)
10. Kolaborasi pemberian produk Darah
3.Gangguan Mobilitas Fisik b.d kerusakan integritas struktur tulang.
SLKI
Tujuan :
a. mobiltas fisik
b. berat badan
c. fungsi sensori
Kriteria hasil:
a. pergerakan ekstremitas
b. kekuatan otot
c. rentang gerak(ROM)
d. nyeri
e. kecemasan
SIKI
1. identifikasi adanya nyeri atau adanya keluhan fisik lain
2. identifikasi toleransi fisik melakukan ambulasi
3. monitor frekuensi jantung dan tekanan darah sebelum melakukan ambulasi
4. monitor kondisi umum selama ambulasi
5. fasilitas aktivitas ambulasi dengan alat bantu
6. fasilitas melakukan mobilitas fisik
7. libatkan keluarga untuk membantu pasien dalam meningkatkan ambulasi
8. jelaskan tujuan dan prosedur ambulasi
9. anjurkan ambulasi dini
10. anjurkan ambulasi sederhana ynag harus dlakukan.
4.Nyeri Akut b.d agen pencedera fisik.
SLKI
Tujuan:
a. tingkat nyeri
b. kontrol nyeri
c. fungsi gastrointestinal
d. mobiltas fisik
Kriteria hasil:
a. kemampuan menuntas aktivias
b. keluhan nyeri
c. meringis
d. sikap protektif
e. gelisah
f. kesulitan tidur
SIKI
1.Berikan teknik nonfarmakologis untuk mengurangi rasa nyeri
2.Kontrol lingkungan yang memperberat rasa nyeri
3.Fasilitasi istirahat dan tidur
4.Kolaborasi pemberian analgetik
5.Identifikasi skala nyeri
5 Intoleransi Aktivitas b.d ketidakseimbangan antara suplai dan kebutuhan
oksigen.
SLKI
Tujuan:
a. toleransi aktivitas
b. ambulasi
c. curah jantung
d. konsevasi energi
e. tingkat keletihan
Kriteria hasil:
a. kemudahan melakukan aktivitas sehari-hari
b. kecapatan berjalan
c. jarak berjalan
d. kekuatan tubh bagman atas
e. kekuatan tubuh bagian bawah toleransi manaiki tangga
1.Monitor pola dan jam tidur
2.Sediakan Lingkungan nyaman dan rendah stimulus
3.Lakukan rentang gerak pasif dan aktif
4.Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
5.Anjurkan tirah baring
6.Anjurkan melakukan aktifitas secara bertahap
D. Implementasi

Implementasi merupakan tahap keempat dari proses keperawatan dimana


rencana keperawatan dilaksanakan : melaksanakan intervensi/aktivitas yang telah
ditentukan, pada tahap ini perawat siap untuk melaksanakan intervensi dan
aktivitas yang telah dicatat dalam rencana perawatan klien. Agar implementasi
perencanaan dapat tepat waktu dan efektif terhadap biaya, pertama-tama harus
mengidentifikasi prioritas perawatan klien, kemudian bila perawatan telah
dilaksanakan, memantau dan mencatat respons pasien terhadap setiap intervensi
dan mengkomunikasikan informasi ini kepada penyedia perawatan kesehatan
lainnya. Kemudian, dengan menggunakan data, dapat mengevaluasi dan merevisi
rencana perawatan dalam tahap proses keperawatan berikitnya.
E. Evaluasi
Tahap evaluasi menentukan kemajuan pasien terhadap pencapaian hasil
yang diinginkan dan respons pasien terhadap dan keefektifan intervensi
keperawatan kemudian mengganti rencana perawatan jika diperlukan. Tahap akhir
dari proses keperawatan perawat mengevaluasi kemampuan pasien ke arah
pencapaian hasil.
DAFTAR PUSTAKA
Aswar, Munaing, & Justika. (2020). Pengaruh Dukungan Sosial Terhadap
Kualitas Hidup ODHA di Kota Makassar KDS Saribattangku. Jurnal RAP
(Riset Aktual Psikologi Universitas Negeri Padang), 11(1), 80.
Batubara, S., & Marfitra, A. (2020). Meningkatkan Kualitas Hidup Penderita
HIV/AIDS Melalui Penggunaan Antiretroviral (ARV) dan Dukungan
Keluarga. Jurnal Penelitian Kesmasy, 2(2), 52–59.
CD, S., & Stewart AL. (2020). Deskripsi dan Petunjuk Penilaian : Survei
Dukungan Sosial MOS.
Fatih, H. Al, Ningrum, T. P., & Shalma, S. (2021). Hubungan Stigma HIV dengan
Kualitas Hidup Penderita HIV / AIDS. Jurnal Keperawatan BSI, 9(1), 68–
73.
Ghoni, A., Khotima, K., & Andayani, S. A. (2019). Hubungan Dukungan Sosial
dan Spiritual Penderita HIV/AIDS dengan Kualitas Hidup Penderita
HIV/AIDS. Citra Delima : Jurnal Ilmiah STIKES Citra Delima Bangka
Belitung, 3(2), 118–126.
Khairunniza, & Saputra, N. (2020). Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kualitas
Hidup ODHA Terpapar Program OBRASS di Yayasan Pelita Ilmu Tahun
2020. Jurnal Ilmu Kesehatan Masyarakat, 9(03), 172–177.
Khoirunnisa, Afritayeni, & Rustam, M. (2021). Kualitas Hidup Orang dengan
HIV/AIDS (ODHA) berdasarkan Kepatuhan Minum Obat Antiretroviral
(ARV). CORE Journal, 2(1).
Lotly, M. (2004). The World Health Organization’s WHOQOL-BREF quality of
life assessment: Psychometric properties and results of the international field
trial. A Report from the WHOQOL Group. 13.
Purba, deasy handayani, Hulu, victor trismanjaya, Maisyaroh, Rasmaniar,
Hidayati, W., Manurung, J., Priastomo, Y., Silaban, nataria yanti, &
Marpaung, dhonna ruth. (2021). Infeksi Menular Seksual dan HIV/AIDS (1st
ed.). yayasan kita menulis.
Rizaty, M. A. (2021). Kasus HIV Global Hampir 1,5 Juta pada 2020, Tertinggi di
Kawasan Afrika | Databoks.
Rustam, efendy R., Tang, J., & Hasanuddin, F. (2022). Buku Ajar Pengantar
Pendidikan. Perkumpulan Rumah Cemerlang Indonesia.
Safitri, I. M. (2020). Hubungan Status Sosioekonomi dan Dukungan Keluarga
dengan Kualitas Hidup ODHA. Jurnal PROMKES, 8(1), 21.
Siregar, rosmita sari, Saputro, agung nugroho catur, Saftari, M., Panggabean,
nurul huda, Simarmata, J., Kholifah, N., Fahmi, ade ismail, Subakti, H., &
Harianja, joko krismanto. (2022). Konsep Dasar Ilmu Pendidikan - Google
Books (1st ed.). yayasan kita menulis.
Umah & Irawanto. (2019). MOTIVASI SPIRITUAL MENINGKATKAN
KEPATUHAN MINUM OBAT ARV PADA PASIEN HIV / AIDS
( Spiritual Motivation to Improve ARV Drug Compliance in HIV / AIDS
Patients ). Journal of Ners Community, 10(2), 251–263.
Utami, W. N., Hutami, M. S., Hafidah, F., & Pristya, T. Y. R. (2020). Faktor-
faktor yang Berpengaruh terhadap Stigma dan Diskriminasi kepada ODHA
(Orang Dengan HIV/AIDS): Systematic Review. Prosiding Forum Ilmiah
Tahunan (FIT) IAKMI, 1(1), 25–26.
Yunita, R., Isnawati, I. A., & Addiarto, W. (2021). Pengaruh Self Help Group
Untuk Meningkatkan Kualitas Hidup Keluarga Dalam Merawat Pasien
Skizofrenia. Jurnal Kesehatan Mesencephalon, 6(2).

Anda mungkin juga menyukai