Anda di halaman 1dari 23

1

BAB 1
PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Acquired immune deficiency syndrome (AIDS) merupakan kumpulan gejala penyakit
akibat menurunnya system kekebalan tubuh oleh virus yang disebut HIV.sedangkan human
immunodeficiency vius (HIV) merupakan virus yang menyerang system kekebalan tubuh
manusia yang kemudian mengakibatkan AIdS. HIV system kerjanya menyerang jenis sel
darah putih yang menangkal infeksi. Sel darah putih tersebut termasuk limfosit yang disebut
T4 atau sl Tpenolong (T helper)atau juga sel CD4.
HIV tergolong ke dalam kelompok retrovirus karna virus ini mempunyai kemampuan
membentuk DNA dari RNA virus, sebab mempunyai enzim transcriptase reverse. Enzim ini
dapat menggunakan RNA virus sebagai template untuk membentuk DNA yang kemudian
berintregasi dalam kromosom inang (bost) dan selanjutnya bekerja sebagai dasar untuk
proses replikasi HIV.juga dapat dikatakan mempunyai kemampuan mengopi cetak materi
genetic diri di dalam materi genetic sel-sel yang ditumpanginyadan melalui proses HIV dapat
mematikan sel-sel T4 (Depkes: 2007).
HIV mempunyai inti (nukleoid) yang berbentuk silindris dan eksentrik yang
mengandung genom RNA diploid dan enzim transcriptase reverse (RT),protease,dan
intregrase. Antigen kapsid (P24) menetupi komponen nukleoid tersebut sehingga membentuk
komponen nukleoid kapsid antigen P!& yang merupakan bagian dalam simpul HIv. Bagian
permukaan virion terdapat tonjolan yang terdiri atas molekul glikoprotein (gp120) dengan
bagian transmembran yang merupakan gp 41. Lapisan lipid pada sampul HIV berasal dari
membrane plasma sel inang (corry S.matondang: 2006)
Dimulai dengan melekatnya HIV pada sel inang melalui interaksi antara molekul gp 120
HIV dengan molekul CD4 sel inang. Melekatnya ini diikuti dengan fase membrane sel HIV
dengan membrane sel inang sehingga inti HIV masuk ke dalam sitoplasma sel inang.
Didalam sel inang terjadilah transkripsi DNA HIV dari RNA HIV oleh enzim RT yaitu enzim
polymerase spesifik HIV.DNA HIV yang terbentuk kemudian berinteraksi dengan DNA sel
inang dengan bentukan enzim integrase. DNA HIV yang berintegrasi disebut proviral dan
berperilaku seperti gen sel inang yang menggunakan perlengkapan sel inang untuk
membentuk HIV baru.

1
2

B. Rumusan Masalah
1. Apa definisi dari HIV/AIDS?
2. Bagaimana Etiologi dari HIV/AIDS?
3. Bagaimana patofiologi dari HIVAIDS?
4. Apa saja macam infeksi dari HIV/AIDS?
5. Bagaimana periode penularan HIV pada ibu hamil?
6. Apa saja stadium HIV/AIDS?
7. Bagaimana penanggulangan HIV/AIDS?
8. Apa saja gejala HIV/AIDS?
9. Bagaimana pengobatan HIV/AIDS?
10. Bagaimana voluntary counselling and testing?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa definisi dari HIV/AIDS.
2. Untuk mengetahui bagaimana Etiologi dari HIV/AIDS.
3. Untuk mengetahui bagaimana patofiologi dari HIVAIDS.
4. Untuk mengetahui apa saja macam infeksi dari HIV/AIDS.
5. Untuk mengetahui bagaimana periode penularan HIV pada ibu hamil.
6. Untuk mengetahui apa saja stadium HIV/AIDS.
7. Untuk mengetahui bagaimana penanggulangan HIV/AIDS.
8. Untuk mengetahui apa saja gejala HIV/AIDS.
9. Untuk mengetahui bagaimana pengobatan HIV/AIDS.
10. Untuk mengetahui bagaimana voluntary counselling and testing.
3

BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
HIV ( Human Immunodefciency Virus ) adalah virus penyebab AIDS. HIV terdapat
didalam cairan tubuh seseorang yang telah terinfeksi di dalam darah, air mani tau cairan
vagina (Gunung, 2012). Sebelum HIV berubah menjadi AIDS tidak ada perbedaan antara
orang yang menderita HIV dengan orang normal. Penderita akan terlihat sehat-sehat saja
pada kurun waktu kira-kira 5-10 tahun. Walaupun tampak sehat, mereka dapat menularkan
HIV pada orang lain melalui hubungan seks yang tidak aman, tranfusi darah atau pemakaian
jarum suntik secara bergantian (IDU/ Injection Drug User).
AIDS ( Acquired Immune Deficiency Syndrome ) adalah kumpulan berbagai gejala
menurunnya kekebalan tubuh yang disebabkan oleh HIV. Orang yang mengidap AIDS amat
mudah tertular oleh berbagai macam penyaikit, karena system kekebalan didalam tubuhnya
telah menurun (Sabrawi, 2006). Sampai sekarang belum ada obat yang dapat menyembuhkan
AIDS, agar kita dapat terhindar dari HIV / AIDS, maka kita harus tahu bagaimana cara
penularan dan pencegahannya.

B. Etiologi
HIV disebabkan oleh human immunodeficiency virus yang melekat dan memasuki
limfosit T helper CD4+. Virus tersebut menginfeksi limfosit CD4+ dan sel-sel imunologik
lain dan orang itu mengalami destruksi sel CD4+ secara bertahap (Betz dan Sowden, 2012).
Infeksi HIV disebabkan oleh masuknya virus yang bernama HIV (Human Immunodeficiency
Virus) ke dalam tubuh manusia (Pustekkom, 2005).

C. Patofisiologi
HIV masuk kedalam darah dan mendekati sel T–helper dengan melekatkan dirinya pada
protein CD4. Sekali ia berada di dalam, materi viral (jumlah virus dalam tubuh penderita)
turunan yang disebut RNA (ribonucleic acid) berubah menjadi viral DNA (deoxyribonucleic
acid) dengan suatu enzim yang disebut reverse transcriptase. Viral DNA tersebut menjadi
bagian dari DNA manusia, yang mana, daripada menghasilkan lebih banyak sel jenisnya,
benda tersebut mulai menghasilkan virus–virus HI.

3
4

Enzim lainnya, protease, mengatur viral kimia untuk membentuk virus–virus yang baru.
Virus–virus baru tersebut keluar dari sel tubuh dan bergerak bebas dalam aliran darah, dan
berhasil menulari lebih banyak sel. Ini adalah sebuah proses yang sedikit demi sedikit dimana
akhirnya merusak sistem kekebalan tubuh dan meninggalkan tubuh menjadi mudah diserang
oleh infeksi dan penyakit–penyakit yang lain. Dibutuhkan waktu untuk menularkan virus
tersebut dari orang ke orang.
Respons tubuh secara alamiah terhadap suatu infeksi adalah untuk melawan sel–sel yang
terinfeksi dan mengantikan sel–sel yang telah hilang. Respons tersebut mendorong virus
untuk menghasilkan kembali dirinya.
Jumlah normal dari sel–sel CD4+T pada seseorang yang sehat adalah 800–1200 sel/ml
kubik darah. Ketika seorang pengidap HIV yang sel–sel CD4+ T–nya terhitung dibawah 200,
dia menjadi semakin mudah diserang oleh infeksi–infeksi oportunistik. Infeksi–infeksi
oportunistik adalah infeksi–infeksi yang timbul ketika sistem kekebalan tertekan. Pada
seseorang dengan sistem kekebalan yang sehat infeksi–infeksi tersebut tidak biasanya
mengancam hidup mereka tetapi bagi seorang pengidap HIV hal tersebut dapat menjadi fatal.
5

Pathway
6

D. Macam Infeksi HIV


Atas dasar interaksi HIV dengan respon imun pejamu, infeksi HIV dibagi menjadi tiga
Tahap :
1. Tahap dini, fase akut, ditandai oleh viremia transien, masuk ke dalam jaringan
limfoid, terjadi penurunan sementara dari CD4+ sel T diikuti serokonversi dan
pengaturan replikasi virus dengan dihasilkannya CD8+ sel T antivirus. Secara klinis
merupakan penyakit akut yang sembuh sendiri dengan nyeri tenggorok, mialgia non-
spesifik, dan meningitis aseptik. Keseimbangan klinis dan jumlah CD4+ sel T
menjadi normal terjadi dalam waktu 6-12 minggu.
2. Tahap menengah, fase kronik, berupa keadaan laten secara klinis dengan replikasi.
virus yang rendah khususnya di jaringan limfoid dan hitungan CD4+ secara perlahan
menurun. Penderita dapat mengalami pembesaran kelenjar limfe yang luas tanpa
gejala yang jelas. Tahap ini dapat mencapai beberapa tahun. Pada akhir tahap ini
terjadi demam, kemerahan kulit, kelelahan, dan viremia. Tahap kronik dapat berakhir
antara 7-10 tahun.
3. Tahap akhir, fase krisis, ditandai dengan menurunnya pertahanan tubuh penderita
secara cepat berupa rendahnya jumlah CD4+, penurunan berat badan, diare, infeksi
oportunistik, dan keganasan sekunder. Tahap ini umumnya dikenal sebagai AIDS.
Petunjuk dari CDC di Amerika Serikat menganggap semua orang dengan infeksi HIV
dan jumlah sel T CD4+ kurang dari 200 sel/µl sebagai AIDS, meskipun gambaran
klinis belum terlihat. ( Robbins, dkk, 2008 : 143 )

E. Periode Penularan HIV pada Ibu Hamil


1. Periode Prenatal
Timbulnya HIV pada wanita hamil diperkirakan meningkat (Minkoff, 2007). Sejarah
kesehatan, uji fisik dan tes laboratorium harus merefleksikan pengharapan ini jika
wanita dan bayinya menerima perawatan yang tepat. Para wanita yang termasuk
dalam kategori beresiko tinggi terhadap infeksi HIV mencakup :
a. Wanita dan atau pasangannya yang berasal dari wilayah geografis dimana HIV
merupakan sesuatu yang umum.
b. Wanita dan atau pasangannya yang menggunakan obat-obatan yang disuntikkan
melalui pembuluh darah.
c. Wanita yang menderita STD tetap dan kambuhan.
7

d. Wanita yang menerima tranfusi darah dari pengidap HIV.


e. Wanita yang yakin bahwa dirinya mungkin terjangkit HIV.

Tes HIV sebaiknya ditawarkan kepada wanita beresiko tinggi pada awal mereka
memasuki perawatan prenatal. Namun, soronegativitas pada uji prenatal pertama bukan
jaminan untuk titer negative yang berlangsung. Misalnya, seorang wanita berusia 24 tahun
yang mendapatkan perawatan prenatal selama 8 minggu mempunyai hasil tes western blot
yang negative. Namun, setelah terinfeksi HIV, serum antibody membutuhkan waktu sampai
12 minggu untuk berkembang. Tes western blot harus diulangi dalam 1 atau 2 bulan dan pada
trimester ketiga. Tes prenatal rutin dapat membantu mengidentifikasi wanita yang terinfeksi
HIV.
Tes ini juga dapat mengungkap Gonhorhea, Siphilis, Herpes yang tetap dan menjadi
lebih lama, C.Trakomatis, Hepatic B, Micobacterium tuberculosis, Candidiasis
(oropharingeal atau infeksi Vagianm Chronic), Cytomegalo Virus (CMV), dan
Toxophlasmosis. Sekitar separuh penderita AIDS mengalami peningkatan titer CMV. Karena
masuknya penyakit CMV memiliki bahaya yang serius terhadap janin, para wanita hamil
dianjurkan dengan yang terinfeksi HIV. Sejarah vaksinasi dan kekebalan telah
didokumentasikan. Titer untuk cacar dan rubella ditentukan dan tes kulit tuberkulosa
(Derivasi protein yang dimurnikan/puriviet protein derivatif (PPD) telah dilakukan vaksinasi
sebelumnya dengan vaksin rekonbivak Hb dicatat karena vaksin tersebut berisi produk darah
manusia (Vaksin ini sekarang bebas dari darah manusia dan produk-produk darah). Wanita
dapat menjadi calon yang menerima Rho D Imunoglobulin. Penularan HIV belum ditemukan
adanya vaksin Rh. Proses persiapan melibatkan alcohol ethyl yang membuat virus tidak aktif.
Vaksin ini dibuat dari darah yang diambil dari kelompok donor regular yang tidak dikenali.
Darah yang digunakan untuk memproduksi vaksin menjalani tes darah yang dapat
mendeteksi darah adanya HIV (Francis, Chin, 2007, MMWR, 2007). Beberapa
ketidaknyamanan yang dihadapi pada masa prenatal (seperti kelelahan, anoreksia, dan
penurunan berat badan) menyiratkan tanda-tanda dan gejal-gejala infeksi HIV.
Diagnosa yang berbeda-beda terhadap seluruh keluhan dan gejala infeksi yang
disebabkan kehamilan dibenarkan. Tanda-tanda utama infeksi HIV yang semakin memburuk
mencakup turunnya berat badan lebih dari 10% dari berat badab sebelum kehamilan, diare
kronis lebih dari 1bulan dan demam (kambuhan atau konstan) selama lebih dari 1 bulan.
Untuk mendukung system, wanita hamil harus mendapat nutrisi yang optimal, tidur, istirahat,
8

latihan, dan reduksi stress. Jika infeksi HIV telah didiagnosa, wanita tersebut diberitahukan
mengenai konsekwensi yang mungkin terjadi pada bayi.
2. Periode Intrapartum
Perawatan wanita yang sakit saat melahirkan tidak diubah secara substansial untuk
infeksi tanpa gejala dengan HIV (Minkoff,2007). Cara kelahiran didasarkan hanya
pada pertimbangan obstetric karena virus melalui plasenta pada awal kehamilan.
Fokus utama pencegahn penyebaran HIV nosocomial dan perlindungan terhadap
pelaku perawatan. Resiko penularan HIV dianggap rendah selama kelahiran vaginal..
EPM (Elektrinic Fetal Monitoring) eksternal dilakukan jika EPM diperlukan.
Terdapat kemungkinan inokulasi virus ke dalam neonatus jika dilakukan pengambilan
sempel darah pada bayi dilakukan atau jika elektroda jangat kepala bayi diterapkan.
Disamping itu, seseorang yang melakukan prosedur ini berada pada resiko tertular
virus HIV.
3. Periode Postpartum.
Hanya sedikit yang diketahui tentang tindakan klinis selama periode postpartum yang
dapat dilakukan pada wanita yang terinfeksi HIV. Walaupun periode postpartum
pertengahan tercatat signifikan (update, 2007), tindak lanjut yang lebih lama telah
mengungkap frekwensi penyakit kilinis yang tinggi pada ibu-ibu yang anaknya
menderita penyakit (Skott, 2005; Minkoff et al, 2007). Tindakan pencegahan
universal dilakukan terhadap ibu dan bayi, seperti yang dilakukan terhadap semua
pasien. Wanita dan bayinya diarahkan pada dokter yang berpengalamn dalam
pengobatan AIDS dan keadaan-keadaan yang menyertainya. Pengaruh infeksi pada
bayi dan neonatal mungkin tidak jelas. Karena virus yang melalui plasenta, darah di
tali pusat akan menunjukkan antibody HIV baik apabila bayi terinfeksi ataupun tidak.
Selama itu antibody yang melalui palang plasenta mungkin tidak terdapat pada bayi
yang tidak terinfeksi sampai usia 15 bulan. Ketika infeksi HIV menjadi aktif banyak
infeksi lain yang biasa menyertai pada orang dewasa terjadi pada bayi. Komplikasi
yang menyertai infeksi HIV pada bayi mencakup Enchephalopati, Microchephalli,
Defisit Kognitif, system saraf pusat (CNS/central nervous system) Lhympoma,
Cerebro Vaskuler Accident, gagal pernapasan dan Lhympaclenophaty.
9

F. Stadium HIV / AIDS


Menurut Gunung (2002), gejala dari HIV / AIDS dibagi menjadi tiga stadium, yaitu :
stadium akut, infeksi kronis dan AIDS.
1. Stadium infeksi akut
Pada fase stadium akut ini, tidak semuapenderota menunjukkna gejala yang spesifik,
biasanya dalam kurun waktu 3-6 minggu mengalami flu, panas dan rasa lelah yang
berlangsung selama 1-2 minggu. Gejala timbul gejala lain seperti :
a. Bisul dengan bercak kemerahan, biasanya pada tumbuh bagian atas atau tidak gatal
b. Sakit kepala
c. Sakit pada otot – otot
d. Sakit tenggorokan
e. Pembengkakan kelenjar
f. Diare ( mencret )
g. Mual – mual
h. Muntah
2. Stadium infeksi kronis
Infeksi kronis mulai 3-6 minggu setelah tubuh terinfeksi. Karena pada saat terpapar
tubuh memberikan perlawanan yang kuat terhadap virus HIV. Pada stadium ini penderita
tidak memperlihatkan gejala apapun dan bisa berlangsung sampai 10 tahun. Walaupun tidak
menunjukkan gejala yang spesifik, system imunitas penderita semakin menurun. Pada orang
normal CD4 sebesar 450-12000 sel per ml, sedangkan pada penderita semakin turun, dan
apabila CD4-nya berada dibawah 200, maka penderita sudah masuk pada stadium AIDS.
3. Stadium AIDS
AIDS bukan penyakit tersendiri melainkan merupakan sekumpulan gejala infeksi
opotunistik yang menyertai infeksi HIV tersebut. Disini system imun sudah rusak, sehingga
didapatkan gejala yang sudah mulai khas, dantaranya adalah :
a. Selalu merasa lelah
b. Pembengkakan kelenjar pada leher atau lipatan paha
c. Panas yang berlangsung lebih dari 10 hari
d. Keringat malam
e. Penurunan berat badan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya
f. Bercak keungunan pada kulit yang tidak kunjung hilang
g. Pernafasan memendek
10

h. Diare berat yang berlangsung lama


i. Infeksi jamur ( candida ) pada mulut, tenggorokan, vagina
j. Mudah memar / perdarahan yang tidak bisa dijelaskan penyebabnya.

G. Penanggulangan HIV / AIDS


Dua puluh tahun yang lalu, pencegahan epidemic HIV / AIDS merupakan sebuah
tantangan yang nyata pada ilmu kesehatan masyarakat. Sampai saat ini belum ada cara efektif
melawan penyakit ini . selain itu, obat – obatan yang tersedia di pasaran saat ini juga belum
dapat dimanfaatkan oleh semua penderita. Penanggulangan terhadap merebaknya penularan
HIV/AIDS dapat dilakukan denga berbagai upaya sebagai berikut :
1. Upacaya Promotif
Program pencegahan HIV / AIDS harus difokuskan pada pembentukan perilaku
individu untuk tidak terpapar pada rantai penularan HIV / AIDS, anatara melalui kontak
seksual dan kontak jarum suntik. Bentuk kegiatannya akan banyak berupa pendidikan pekerja
(Worker Education) untuk emningkatkan kesadarn akan risiko HIV / AIDS dan adopsi
perilaku aman untuk mencegah kontak dengan rantai penularan HIV / AIDS. Upaya promotif
yang bisa dilakukan antara lain :
a. Pelayanan Promotif : meningkatkan komunikasi informasi dan edukasi (KIE) tentang
HIV/AIDS.
b. Promosi Perilaku Seksual Aman (Promoting Sefer Sexual Behavior ).
c. Promosi dan distribusi kondom ( Promoting and Disitributing Condom )
d. Norma Sehat di Tempat Kerja : tidak merokok, tidak mengkonsumsi NAPZA.
e. Penggunaan alat suntik yang aman ( Promoting and Safer Drug Injection Behavior).

2. Upaya Preventif
Upaya pencegahan penyakit ini merupakan cara yang terbaik untuk menekan terus
meningkatnya kejadian penyakit dan kematian akibat AIDS. Untuk pencegahan HIV/ AIDS,
konseling merupakan satu-satunya cara untuk mempromosikan berbagai perubahan perilaku
masyarakat. Untuk jangka panjang diharapkan masyarakat diharapkan akan mau mengadopsi
perubahan perilaku yang berisiko.
Konseling sangat mutlak diperlukan pada saat seseorang mulai diketahui mengidap
HIV. Penderita akan merasa kehilangan harapan hidup dan tdak mampu mengambil
keputusan yang bertanggung jawab tentang hidupnya. Bagi individu atau kelompok yang
11

berperilaku risiko tinggi, mereka tidak mampu mengambil keputusan apakah anda melakukan
test HIV / AIDS adalah tentang menjaga rahasia penderita baik untuk keluarga partner
seksnya. Degan kondisi seperti itu, konseling sangat membant penderita untuk lebih berani
menerima kenyataan hidup setelah HIV masuk kedalam tubuhnya. Meraka dibantu agar
mampu berbuat sesuatu secara berimbang. Upaya preventif dapat dilakukan dengan beberapa
cara berikut :
a. Peningkatan gaya hidup sehat
b. Memahami penyakit HIV / AIDS , bahaya dan pencegahannya.
c. Memahami penyakit IMS, bahaya dan cara pencegahannya.
d. Diadakannya konseling tentang HV / AIDS pada pekerja secara sukarela dan tidak
terpaksa.

3. Upaya Kuratif
Upaya kuratif bertujuan untuk merawat dan mengobati ODHA ( orang dengan HIV /
AIDS. Pada saat ini terapi AIDS/HIV yang dilakukan adalah secara kimia (Chemoterapy)
yang menggunakan obat Anti Retroviral Virus (ARV) yang berfungsi menekan
perkembangbiakan virus HIV. Dalam terapi dengan menggunakan ARV ini umumnya
dilakukan dengan dengan cara kombinasi dengan beberapa jenis obat yang lain. Upaya
kuratif dapat dialakukan dengan cara sebagai berikut (Depkes, 2004) :
a. Pencegahan dan pengobatan IMS (Infeksi Menular Seksual).
b. Penyediaan dan Transfusi darah yang aman.
c. Mencegah komlikasi dan penularan terhadap keluarga dan teman sekerjanya.
d. Dukungan social ekonomi ODHA.
Ada beberapa risiko relative seseorang terinfeksi HIV setelah terpapar secara
perkutaneus dari darah yang mengandung HIV. Jika hanya melalui penglihatan / inspeksi
tidaklah dapat diketahui apakah seseorang sudah terinfeksi HIV atau tidak karena pada
kenyataannya, pengidap HIV umumnya terlihat sangat sehat. Satu – satunya cara untuk
mengetahui hal ini adala dengan melalui tes darah HIV. Tes ini harus memenuhi beberapa
persyaratan yaitu :
a. Bersifat rahasia.
b. Atas persetujuan dari orang yang akan di tes.
c. Bersifat sukarela atau tidak boleh dipaksa.
d. Disertai dengan konseling.
12

Factor risiko tinggi terkena AIDS tersebut adalah : luka yang dalam, tampak darah pada
kulit, prosedur pasang jarum pada vena atau arteri serta pasien dengan AIDS terminal
( CDC , 2001 ).

J. Gejala HIV/AIDS
1. Gejala mayor
a. BB menurun lebih dari 10% dalam 1 bulan
b. Diare kronik yang berlangsung lebih dari 1 bulan
c. Penurunan kesadaran dan adanya gangguan neurologis
d. Demensia / HIV Ensefalopati
2. Gejala minor
a. Batuk menetap lebih dari 1 bulan
b. Dermatitis generalist
c. Adanya herpes zoster yang berulang
d. Kandidiasis orofaringeal
e. Herpes simplex kronik progresif
f. Limfadenopati generalist
g. Infeksi jamur berulang pada kelamin wanita
h. Retinitis Cytomegalovirus

K. Pemeriksaan diagnostic
1. Tes untuk diagnosa infeksi HIV :
a. ELISA
b. Western blot
c. P24 antigen test
d. Kultur HIV
2. Tes untuk deteksi gangguan system imun :
a. Hematokrit
b. LED
c. CD4 limfosit
d. Rasio CD4/CD limfosit
e. Serum mikroglobulin B2
f. Hemoglobulin
13

L. Pengobatan
Obat–obatan Antiretroviral (ARV) bukanlah suatu pengobatan untuk HIV/AIDS tetapi
cukup memperpanjang hidup dari mereka yang mengidap HIV. Pada tempat yang kurang
baik pengaturannya permulaan dari pengobatan ARV biasanya secara medis
direkomendasikan ketika jumlah sel CD4 dari orang yang mengidap HIV/AIDS adalah 200
atau lebih rendah. Untuk lebih efektif, maka suatu kombinasi dari tiga atau lebih ARV
dikonsumsi, secara umum ini adalah mengenai terapi Antiretroviral yang sangat aktif
(HAART). Kombinasi dari ARV berikut ini dapat mengunakan :
1. Nucleoside Analogue Reverse Transcriptase Inhibitors (NRTI'), mentargetkan
pencegahan protein reverse transcriptase HIV dalam mencegah perpindahan dari viral
RNA menjadi viral DNA (contohnya AZT, ddl, ddC & 3TC).
2. Non–nucleoside Reverse Transcriptase Inhibitors (NNRTI's) memperlambat
reproduksi dari HIV dengan bercampur dengan reverse transcriptase, suatu enzim
viral yang penting. Enzim tersebut sangat esensial untuk HIV dalam memasukan
materi turunan kedalam sel–sel. Obat–obatan NNRTI termasuk: Nevirapine,
delavirdine (Rescripta), efavirenza (Sustiva).
3. Protease Inhibitors (PI) mengtargetkan protein protease HIV dan menahannya
sehingga suatu virus baru tidak dapat berkumpul pada sel tuan rumah dan dilepaskan.

Pencegahan perpindahan dari ibu ke anak (PMTCT): seorang wanita yang mengidap
HIV(+) dapat menularkan HIV kepada bayinya selama masa kehamilan, persalinan dan masa
menyusui. Dalam ketidakhadiran dari intervensi pencegahan, kemungkinan bahwa bayi dari
seorang wanita yang mengidap HIV(+) akan terinfeksi kira–kira 25%–35%. Dua pilihan
pengobatan tersedia untuk mengurangi penularan HIV/AIDS dari ibu ke anak. Obat–obatan
tersebut adalah :
1. Ziduvidine (AZT) dapat diberikan sebagai suatu rangkaian panjang dari 14–28
minggu selama masa kehamilan. Studi menunjukkan bahwa hal ini menurunkan
angka penularan mendekati 67%. Suatu rangkaian pendek dimulai pada kehamilan
terlambat sekitar 36 minggu menjadi 50% penurunan. Suatu rangkaian pendek
dimulai pada masa persalinan sekitas 38%. Beberapa studi telah menyelidiki
pengunaan dari Ziduvidine (AZT) dalam kombinasi dengan Lamivudine (3TC)
2. Nevirapine: diberikan dalam dosis tunggal kepada ibu dalam masa persalinan dan satu
dosis tunggal kepada bayi pada sekitar 2–3 hari. Diperkirakan bahwa dosis tersebut
14

dapat menurunkan penularan HIV sekitar 47%. Nevirapine hanya digunakan pada ibu
dengan membawa satu tablet kerumah ketika masa persalinan tiba, sementara bayi
tersebut harus diberikan satu dosis dalam 3 hari.

Post–exposure prophylaxis (PEP) adalah sebuah program dari beberapa obat antiviral,
yang dikonsumsi beberapa kali setiap harinya, paling kurang 30 hari, untuk mencegah
seseorang menjadi terinfeksi dengan HIV sesudah terinfeksi, baik melalui serangan seksual
maupun terinfeksi occupational. Dihubungankan dengan permulaan pengunaan dari PEP,
maka suatu pengujian HIV harus dijalani untuk menetapkan status orang yang bersangkutan.
Informasi dan bimbingan perlu diberikan untuk memungkinkan orang tersebut mengerti
obat–obatan, keperluan untuk mentaati, kebutuhan untuk mempraktekan hubungan seks yang
aman dan memperbaharui pengujian HIV. Antiretrovirals direkomendasikan untuk PEP
termasuk AZT dan 3TC yang digunakan dalam kombinasi. CDC telah memperingatkan
mengenai pengunaan dari Nevirapine sebagai bagian dari PEP yang berhutang pada bahaya
akan kerusakan pada hati. Sesudah terkena infeksi yang potensial ke HIV, pengobatan PEP
perlu dimulai sekurangnya selama 72 jam, sekalipun terdapat bukti untuk mengusulkan
bahwa lebih awal seseorang memulai pengobatan, maka keuntungannya pun akan menjadi
lebih besar. PEP tidak merekomen dasikan proses terinfeksi secara biasa ke HIV/AIDS
sebagaimana hal ini tidak efektif 100%; hal tersebut dapat memberikan efek samping yang
hebat dan mendorong perilaku seksual yang tidak aman.

M. Voluntary Counselling and Testing


Menurut organisasi kesehatan sedunia (WHO), VCT HIV / AIDS merupakan komunikasi
yang bersifat rahasia anatara klien dengan konselor yang mempunyai tujuan untuk
meningkatkan kemampuan klien dalam menghadapi stress serta mengambil keputusan yang
berkaitan dengan HIV / AIDS. Proses konseling itupun sudah termasuk dalam hal evaluasi
risiko personal penularan HIV, fasilitas pencegahan perilaku dan evaluasi penyesuaian diri
ketika klien mengahadapi hasil test positif (Depkes, 2004).
Layanan VCT ini dapat digukaan untuk mengubah perilaku berisiko dan memberikan
informasi tentang pencegahan HIV. Disini klien diharapakan mendapatkan pengetahuan
tentang cara penularan, pencegahan, dan pengobatan HIV. Sebagai contoh : yang steril dan
tidak saling pinjam meminjam bagi pengguna narkoba suntik. Seorang konselor dituntut
15

untuk memberikan pengetahuan tentang hubungan antara infeksi menular seksual (IMS)
dengan HIV serta dapat merujuk klien ketika IMS perlu dikenali dan diobati lebih lanjut.
Konseling HIV / AIDS harus dilakukan secara terarah dan difokuskan pada kebutuhan
fisik, social, psikologik, serta spiritual klien. Hal penting yang harus dipertimbangkan oleh
setiap konselor adalah : masalah infeksi dan penyakit, kematian, kesedihan, diskriminasi ,
social, seksualitas, gaya hidup serta pencegahan penularan. Dalam melakukan konseling, ada
tahap – tahapan yang harus dilalui oleh seorang konselor, adapun tahap tersebut adalah
(Depkes, 2004) :
1. Tahap Satu, dalam tahap ini seorang konselor harus membangun hubungan yang baik
serta membina kepercayaan dengan klien, adapun caranya adalah sebagai berikut :
a. Meyakinkan kerahasiaan dan mendiskusikan batas kerahasiaan pada klien selama
menjalani konseling.
b. Mengizinkan ventilasi, dalam arti klien dibiarkan untuk mengungkapkan segala
perasaannya tanpa adanya paksaan dari konselor.
c. Mengizinkan ekspresi perasaan klien, untuk mengetahui adanya ketakutan maupun
kecemasan yang dirasakannya.
d. Menggali masalah, meminta klien menceritakan kisah mereka dan tidak ada yang
disembunyikan dari petgas demi terciptanya pemecahan masalah yang tepat.
e. Memperjelas harapan klien untuk konseling.
f. Menjelaskan apa yang dapat konselor tawarkan dan cara kerjanya.
g. Pernyataan dari konselor tentang komitmen mereka untuk bekerjasama klien.
2. Tahap Dua, dalam tahap ini diungkapkan mengenai definisi dan pengertian peran,
batasan serta kebutuhannya yang meliputi :
a. Mengemukakakn peran dan batas dari hubungan dalam konseling.
b. Memaparkan dan mengklarifikasi tujuan dan kebutuhan klien.
c. Membantu mengurutkan prioritas tujuan dan kebutuhan klien.
d. Melakukakan pengambilan riwayat secra rinci, menceritakan riwayat dengan
sedetil – detilnya.
e. Menggali keyakinan, pengetahuan dan perhatian klien terhadap masalah kesehatan
yang dihadapinya.
3. Tahap Tiga merupakan proses dukungan konseling berkelanjutan yang meliputi :
a. Melanjutkan ekspresi pikiran dari klien.
b. Mengenali berbagai alternative dari pemecahan masalah yang ada.
16

c. Mengenali berbagai ketrampilan penyesuaian diri yang sudah ada.


d. Mengembangkan ketrampilan penyesuaian diri lebih lanjut.
e. Mengevaluasi alternative pemecahan masalah dan dampaknya.
f. Memungkinkan perubahan perilaku dari klien setelah konseling.
g. Mendukung dan mempertahankan bekerja dengan masalah klien.
h. Memonitor perjalanan kemajuan menuju tujuan.
i. Rencana alternative yang dibutuhkan.
j. Rujukan sesuai kebutuhan.
4. Tahap empat merupakan penutup atau mengakhiri hubungan koseling yang dapat
dilakukan dengan cara :
a. Klien bertindak sesuai dengan rencana yang telah disusunnya.
b. Klien menatalaksanai dan menyesuaikan diri dengan fungsi sehari-hari.
c. System dukungan yang tersedia yang dapat di akses.
d. Kenali strategi untuk memelihara perubahan yang sudah terjadi.
e. Diskusi dan rencanakan pengungkapan status.
f. Interval perjanjian diperpanjang.
g. Sumber dana rujukan yang tersedia dan diketahui serta dapat diakses .
h. Meyakinkan klien tentang pilihan untuk kembali mengikuti konseling sesuai
dengan kebutuhan.
17

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Keperawatan
1. Biodata Klien
2. Riwayat Penyakit
Jenis infeksi sering memberikan petunjuk pertama karena sifat kelainan imun. Umur
kronologis pasien juga mempengaruhi imunokompetens. Respon imun sangat tertekan pada
orang yang sangat muda karena belum berkembangnya kelenjar timus. Pada lansia, atropi
kelenjar timus dapat meningkatkan kerentanan terhadap infeksi. Banyak penyakit kronik
yang berhubungan dengan melemahnya fungsi imun. Diabetes meilitus, anemia aplastik,
kanker adalah beberapa penyakit yang kronis, keberadaan penyakit seperti ini harus dianggap
sebagai factor penunjang saat mengkaji status imunokompetens pasien.
3. Pemeriksaan Fisik (Objektif) dan Keluhan (Subyektif)
a) Aktifitas / Istirahat
 Gejala : Mudah lelah,intoleran activity,progresi malaise,perubahan pola tidur.
 Tanda : Kelemahan otot, menurunnya massa otot, respon fisiologi aktifitas
( Perubahan TD, frekuensi Jantun dan pernafasan ).
b) Sirkulasi
 Gejala : Penyembuhan yang lambat (anemia), perdarahan lama pada cedera.
 Tanda : Perubahan TD postural, menurunnya volume nadi perifer,
pucat/sianosis, perpanjangan pengisian kapiler.
c) Integritas dan Ego
 Gejala : Stress berhubungan dengan kehilangan,mengkuatirkan penampilan,
mengingkari doagnosa, putus asa,dan sebagainya.
 Tanda : Mengingkari,cemas,depresi,takut,menarik diri, marah.
d) Eliminasi
 Gejala : Diare intermitten, terus menerus, sering dengan atau tanpa kram
abdominal, nyeri panggul, rasa terbakar saat miksi
 Tanda : Feces encer dengan atau tanpa mucus atau darah, diare pekat dan sering,
nyeri tekan abdominal, lesi atau abses rectal, perianal, perubahan jumlah, warna
dan karakteristik urine.
e) Makanan / Cairan
17
18

 Gejala : Anoreksia, mual muntah, disfagia


 Tanda : Turgor kulit buruk, lesi rongga mulut, kesehatan gigi dan gusi yang
buruk, edema
f) Hygiene
 Gejala : Tidak dapat menyelesaikan AKS
 Tanda : Penampilan tidak rapi, kurang perawatan diri.
g) Neurosensoro
 Gejala : Pusing, sakit kepala, perubahan status mental,kerusakan status
indera,kelemahan otot,tremor,perubahan penglihatan.
 Tanda : Perubahan status mental, ide paranoid, ansietas, refleks tidak
normal,tremor,kejang,hemiparesis,kejang.
h) Nyeri / Kenyamanan
 Gejala : Nyeri umum / local, rasa terbakar, sakit kepala,nyeri dada pleuritis.
 Tanda : Bengkak sendi, nyeri kelenjar,nyeri tekan,penurunan rentan gerak,
pincang.
i) Pernafasan
 Gejala : ISK sering atau menetap, napas pendek progresif, batuk, sesak pada
dada.
 Tanda : Takipnea, distress pernapasan, perubahan bunyi napas, adanya sputum.
j) Keamanan
 Gejala : Riwayat jatuh, terbakar,pingsan,luka,transfuse darah,penyakit defisiensi
imun, demam berulang,berkeringat malam.
 Tanda : Perubahan integritas kulit,luka perianal / abses, timbulnya nodul,
pelebaran kelenjar limfe, menurunya kekuatan umum, tekanan umum.
k) Seksualitas
 Gejala : Riwayat berprilaku seks dengan resiko tinggi, menurunnya libido,
penggunaan pil pencegah kehamilan.
 Tanda : Kehamilan,herpes genetalia.
l) Interaksi Sosial
 Gejala : Masalah yang ditimbulkan oleh diagnosis, isolasi, kesepian, adanya
trauma AIDS.
 Tanda : Perubahan interaksi.
B. Diagnosa Keperawatan
19

1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.
3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih
sekunder terhadap diare

C. Intervensi Keperawatan
No. Diagnosa Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Rasional
1. Resiko tinggi infeksi Pasien akan bebas infeksi 1. Monitor tanda- 1. Untuk
berhubungan dengan setelah dilakukan tindakan tanda infeksi pengobatan dini
imunosupresi, keperawatan selama 3×24 baru. 2. Mencegah pasien
malnutrisi dan pola jam dengan kriteria hasil: 2. gunakan teknik terpapar oleh
hidup yang beresiko. - Tidak ada luka atau aseptik pada kuman patogen
eksudat. setiap tindakan yang diperoleh di
- Tanda vital dalam batas invasif. Cuci rumah sakit.
normal (TD=120/80, tangan sebelum 3. Mencegah
RR=16-24, N=60-100, meberikan bertambahnya
S=36-37) tindakan. infeksi
- Pemeriksaan leukosit 3. Anjurkan pasien 4. Meyakinkan
normal (6000-10000) metoda mencegah diagnosis akurat
terpapar terhadap dan pengobatan
lingkungan yang 5. Mempertahankan
patogen. kadar darah yang
4. Kumpulkan terapeutik
spesimen untuk
tes lab.
5. Atur pemberian
anti infeksi sesuai
advice dokter.
2. Resiko tinggi infeksi Infeksi HIV tidak 1. Anjurkan pasien 1. Pasien dan
(kontak pasien) ditransmisikan setelah atau orang keluarga mau
berhubungan dengan dilakukan tindakan penting lainnya dan memerlukan
infeksi HIV, adanya keperawatan selama 3×24 metode informasikan ini
infeksi jam dengan kriteria hasil: mencegah 2. Mencegah
nonopportunisitik - kontak pasien dan tim transmisi HIV transimisi
yang dapat kesehatan tidak dan kuman infeksi HIV ke
ditransmisikan. terpapar HIV patogen lainnya. orang lain
- Tidak terinfeksi 2. Gunakan darah
patogen lain seperti dan cairan tubuh
TBC. precaution bial
merawat pasien.
Gunakan masker
bila perlu.
3. Resiko tinggi defisit Defisit volume cairan 1. Kaji konsistensi 1. Mendeteksi
volume cairan dapat teratasi setelah dan frekuensi adanya darah
20

berhubungan dengan dilakukan tindakan feses dan adanya dalam feses


output cairan keperawatan selama 1×24 darah. 2. Hipermotiliti
berlebih sekunder jam dengan criteria hasil: 2. Auskultasi bunyi mumnya dengan
terhadap diare - perut lunak usus diare
- tidak tegang 3. Atur agen 3. Mengurangi
- feses lunak, warna antimotilitas dan motilitas usus,
normal psilium yang pelan,
- kram perut hilang, (Metamucil) emperburuk
sesuai advice perforasi pada
dokter. intestinal
4. Berikan 4. Untuk
ointment A dan menghilangkan
D, vaselin atau distensi
zinc oside

D. Implementasi Keperawatan
1. Resiko tinggi infeksi berhubungan dengan imunosupresi, malnutrisi dan pola hidup
yang beresiko.
Imlementasi :
a. Memonitor tanda-tanda infeksi baru.
b. Menggunakan teknik aseptik pada setiap tindakan invasif. Cuci tangan sebelum
meberikan tindakan.
c. Menganjurkan pasien metoda mencegah terpapar terhadap lingkungan yang
patogen.
d. Menguumpulkan spesimen untuk tes lab.
e. Mengatur pemberian antiinfeksi sesuai advice dokter.

2. Resiko tinggi infeksi (kontak pasien) berhubungan dengan infeksi HIV, adanya
infeksi non opportunisitik yang dapat ditransmisikan.
Imlementasi :
a. Menganjurkan pasien atau orang penting lainnya metode mencegah transmisi HIV
dan kuman patogen lainnya.
b. Menggunakan darah dan cairan tubuh precaution bial merawat pasien. Gunakan
masker bila perlu.

3. Resiko tinggi defisit volume cairan berhubungan dengan output cairan berlebih
sekunder terhadap diare.
Implementasi :
21

a. Mengkaji konsistensi dan frekuensi feses dan adanya darah.


b. Mengauskultasi bunyi usus
c. Mengatur agen antimotilitas dan psilium (Metamucil) sesuai advice dokter.
d. Memberikan ointment A dan D, vaselin atau zinc oside

BAB 4
PENUTUP
22

A. Kesimpulan
AIDS adalah penyakit yang berat yang ditandai oleh kerusakan imunitas seluler yang
disebbkan oleh retrovirus (HIV) atau penyakit fatal secara keseluruhan dimana kebanyakan
pasien memrlukan perawatan medis dan keperawatan canggih selama perjalananpenyakit.
Penyebab penyakit AIDS adalah HIV yaitu virus yang masuk dalam kelompok retrovirus
yang biasanya menyerang organ – organ vital system kekebalan tubuh manusia. Penyakit ini
dapat ditularkan melalui penularan seksual, kontaminasi pathogen di dalam darah, dan
penularan masa perinatal. Manifestasi klinis lainnya sering ditemukakan pada anak adalah
pneumonia interstisialis limfosik, yaitu kelainan yang mungkin langsung disebabkan oleh
HIV pada jaringan paru.
Komplikasi Oral Lesi: karena kandida, herpes simplek, sarcoma Kaposi, HPV oral,
gingivitis, peridonitis Human Immunodeficiency Virus (HIV), leukoplakia oral, nutrisi,
dehidrasi, penurunan berat badan, keletihan dan cacat. Pemriksaan penunjang seperti : Tes
untuk diagnose infeksi HIV.
1. ELISA, latex agglutination
2. Western blot (positif)
3. Tes antigen P 24 (polymerase chain reaction) atau PCR
4. Kultur HIV

B. Saran
1. Memberikan support kepada penderita HIV agar tidak putus asa
2. Mencegah penyebaran HIV dengan pemeriksaan kesehatan anda dan anak secara rutin
3. Dan kita sebagai perawat terus memberikan asuhan keperawtan kepada penderita agar
cepat sembuh dalam pengobatan.

DAFTAR PUSTAKA
22
23

A. Aziz Alimul Hidayat. (2006). Pengantar Ilmu Keperawatan Anak. Jakarta: Salemba
Medika.
Judith M. Wilkinson. (2012). Buku Saku Diagnosis Keperawatan (Rivisi ed.). Jakarta: EGC.
Marilyn E. Doenges. (2010). Rencana Asuhan Keperawtan (3 ed.). Jakarta: EGC.
Sujono Riyadi. (2010). Asuhan Keperawatan Pada Anak Sakit. Yogyakarta: Gosyen
Publishing.

iii

Anda mungkin juga menyukai