Anda di halaman 1dari 28

STUDI KASUS FARMASI RUMAH SAKIT

RHINITIS ALERGI

Dosen Pengampu

Dr. apt. Jason Merari P, S.Si., MM., M.Si

Disusun oleh:

Kelas C3-5

Septiana Aulia Anggraeni (2120414670)

Siti Marjannah (2120414673)

UNIVERSITAS SETIA BUDI

PROGRAM STUDI PROFESI APOTEKER-41

SURAKARTA

2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Alergi merupakan salah satu jenis penyakit yang banyak dijumpai di
masyarakat.Umumnya masyarakat menganggap bahwa penyakit alergi hanya
terbatas pada gatalgatal di kulit.Alergi sebenarnya dapat terjadi pada semua
bagian tubuh, tergantung pada tempat terjadinya reaksi alergi tersebut. Alergi
merupakan manifestasi hiperresponsif dari organ yang terkena seperti kulit,
hidung, telinga, paru, atau saluran pencernaan. Pada hidung gejala alergi yang
timbul berupa pilek, pada paru-paru berupa asma, pada kulit berupa
urtikaria/biduran, eksema, serta dermatitis atopik, sedangkan pada mata berupa
konjungtivitis.Gejala hiperresponsif ini dapat terjadi karena timbulnya respon
imun dengan atau tanpa diperantarai oleh IgE.
Rhinitis didefinisikan sebagai peradangan dari membran hidung yang
ditandai dengan gejala kompleks yang terdiri dari kombinasi beberapa gejala
berikut : bersin, hidung tersumbat, hidung gatal dan rinore. Mata, telinga, sinus
dan tenggorokan juga dapat terlibat. Rhinitis alergi merupakan penyebab tersering
dari rhinitis. Rhinitis alergi adalah peradangan pada membran mukosa hidung,
reaksi peradangan yang diperantarai IgE, ditandai dengan obstruksi hidung, sekret
hidung cair, bersin-bersin, dangatal pada hidung dan mata. Rhinitis alergi
mewakili permasalahan kesehatan dunia sekitar 10 – 25% populasi dunia, dengan
peningkatan prevalensi selama dekade terakhir.Rinitis alergi merupakan kondisi
kronik tersering pada anak dan diperkirakan mempengaruhi 40% anak-anak.
Sebagai konsekuensinya, rhinitis alergi berpengaruh pada kualitas hidup,
bersama-sama dengan komorbiditas beragam dan pertimbangan beban sosial-
ekonomi, rhinitis alergi dianggap sebagai gangguan pernapasan utama. Tingkat
keparahan rhinitis alergi diklasifikasikan berdasarkan pengaruh penyakit terhadap
kualitas hidup seseorang. Diagnosis rhinitis alergi melibatkan anamnesa dan
pemeriksaan klinis yang cermat, lokal dan sistemik khususnya saluran nafas
bawah.
RA diklasifikasikan menjadi RA intermiten (kadang-kadang) dan RA
persisten (menetap). RA intermiten yaitu bila gejala kurang dari 4 hari/ minggu
atau kurang dari 4 minggu, sedangkan RA persisten bila gejala lebih dari 4
hari/minggu dan lebih dari 4 minggu. RA juga dapat diklasifikasikan berdasarkan
tingkat berat ringannya penyakit, yakni ringan (mild) dan sedang-berat (moderate-
severe). Perjalanan penyakit RA dapat bersifat kronik dan sering berulang ketika
seseorang yang atopi terpapar oleh alergen spesifik, dengan gejala klasik yang
dialami berupa bersin-bersin, rinore, dan obstruksi hidung. Keadaan ini dapat
berhubungan dengan kehidupan sosial, pekerjaan, maupun sekolah. Seseorang
dengan RA dapat mengalami gangguan fungsi dalam kesehariannya sehingga
akan mempengaruhi kualitas hidup pasien tersebut. Parameter tentang berat
ringannya RA mendukung konsep bahwa beratnya RA dipengaruhi oleh gejala
yang dialami dan berdampak kepada kualitas hidup. Penderita RA dapat
mengalami gangguan dalam kualitas hidup karena gejala sistemik disamping
gejala lokal.
RA dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien berbagai umur. RA pada
orang dewasa sering terjadi manifestasi berupa gangguan tidur, gangguan pada
pekerjaan, terbatasnya aktifitas, ataupun gangguan dalam fungsi sosial. RA pada
anak-anak yang tidak ditangani dan dikendalikan dengan baik dapat
mengakibatkan gangguan tidur, absen sekolah, gangguan belajar, sulitnya
bersosialisasi dengan teman, kegelisahan dan disfungsi dalam keluarga. Mereka
terganggu karena tidak bisa tidur dengan baik pada malam hari dan merasa letih
sepanjang hari. Selain gejala hidung, penderita RA juga dapat mengalami gejala
non-hidung yang menyebabkan ketidaknyamanan, misalnya kesulitan konsentrasi
dan sakit kepala. Obstruksi hidung kronik dan gangguan tidur dapat
mengakibatkan timbulnya gejala sistemik berupa sakit kepala, kelelahan, sensitif,
dan akhirnya akan menurunkan kualitas hidup. Aspek psikologis juga dapat
terpengaruh jika RA tidak ditangani dengan baik, manifestasinya dapat berupa
rendahnya kepercayaan diri, menjadi pemalu, depresi, gelisah dan penuh
ketakutan.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dapat dibuat rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Bagaimana definisi rhinitis alergi?
2. Bagaimana epidemiologi rhinitis alergi?
3. Bagaimana etiologi rhinitis alergi?
4. Bagaimana patofisiologi rhinitis alergi?
5. Bagaimana klasifikasi rhinitis alergi?
6. Bagaimana gejala klinis rhinitis alergi?
7. Bagaimana penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Bagaimana contoh kasus rhinitis alergi dan adverse drug reaction yang
terjadi dan bagaimana penyelesaiannya?
9. Bagaimana pelaporannya adverse drug reaction terkait rhinitis alergi?

1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mengetahui epidemiologi rhinitis alergi.
3. Mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Mengetahui klasifikasi rhinitis alergi.
6. Mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
7. Mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Mengetahui contoh kasus rhinitis alergi dan adverse drug reaction yang
terjadi dan penyelesaiannya.
9. Mengetahui bagaimana laporannya adverse drug reaction terkait
rhinitis alergi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet.1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang 5-50%
penduduk dan prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi lebih sering dijumpai
pada anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan 40%
pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul gejala
sebelum usia 20 tahun (Harsono et al. 2007).
2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker 1994). Berdasarkan cara
masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan 2003).
2.4 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.

Patofisiologi Alergi (Benjamini, Coico, Sunshine 2000)


Pada kontak pertama dengan alergen atau tahap sensitisasi, makrofag atau
monosit yang berperan sebagai sel penyaji (Antigen Presenting Cell/APC) akan
menangkap alergen yang menempel di permukaan mukosa hidung. Setelah
diproses, antigen akan membentuk fragmen pendek peptide dan bergabung
dengan molekul HLA kelas II membentuk komplek peptide MHC kelas II (Major
Histocompatibility Complex) yang kemudian dipresentasikan pada sel T helper
(Th0). Kemudian sel penyaji akan melepas sitokin seperti interleukin 1 (IL-1)
yang akan mengaktifkan Th0 untuk berproliferasi menjadi Th1 dan Th2. Th2 akan
menghasilkan berbagai sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5, dan IL-13. IL-4 dan IL-13
dapat diikat oleh reseptornya di permukaan sel limfosit B, sehingga sel limfosit B
menjadi aktif dan akan memproduksi imunoglobulin E (IgE). IgE di sirkulasi
darah akan masuk ke jaringan dan diikat oleh reseptor IgE di permukaan sel
mastosit atau basofil (sel mediator) sehingga kedua sel ini menjadi aktif. Proses
ini disebut sensitisasi yang menghasilkan sel mediator yang tersensitisasi. Bila
mukosa yang sudah tersensitisasi terpapar alergen yang sama, maka kedua rantai
IgE akan mengikat alergen spesifik dan terjadi degranulasi (pecahnya dinding sel)
mastosit dan basofil dengan akibat terlepasnya mediator kimia yang suda h
terbentuk (Performed Mediators) terutama histamin. Selain histamin juga
dikeluarkan Newly Formed Mediators antara lain prostaglandin D2 (PGD2),
Leukotrien D4 (LT D4), Leukotrien C4 (LT C4), bradikinin, Platelet Activating
Factor (PAF), berbagai sitokin (IL-3, IL-4, IL-5, IL-6, GM-CSF (Granulocyte
Macrophage Colony Stimulating Factor) dan lain-lain. Inilah yang disebut sebagai
Reaksi Alergi Fase Cepat (RAFC).Histamin akan merangsang reseptor H1 pada
ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-
bersin. Histamin juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet
mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi
rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain
histamin merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada
muko sa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1
(ICAM1).
Pada RAFC, sel mastosit juga akan melepaskan molekul kemotaktik yang
menyebabkan akumulasi sel eosinofil dan netrofil di jaringan target. Respons ini
tidak berhent i sampai disini saja, tetapi gejala akan berlanjut dan mencapai
puncak 6-8 jam setelah pemaparan. Pada RAFL ini ditandai dengan penambahan
jenis dan jumlah sel inflamasi seperti eosinofil, limfosit, netrofil, basofil dan
mastosit di mukosa hidung serta peningkatan sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan
Granulocyte Macrophag Colony Stimulating Factor (GM-CSF) dan ICAM1 pada
sekret hidung. Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah
akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya seperti
Eosinophilic Cationic Protein (ECP), Eosiniphilic Derived Protein (EDP), Major
Basic Protein (MBP), dan Eosinophilic Peroxidase (EPO). Pada fase ini, selain
faktor spesifik (alergen), iritasi oleh faktor non spesifik dapat memperberat gejala
seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca dan kelembaban udara
yang tinggi (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008).Secara mikroskopik tampak
adanya dilatasi pembuluh (vascular bad) dengan pembesaran sel goblet dan sel
pembentuk mukus. Terdapat juga pembesaran ruang interseluler dan penebalan
membran basal, serta ditemukan infiltrasi sel-sel eosinofil pada jaringan mukosa
dan submukosa hidung. Gambaran yang ditemukan terdapat pada saat serangan.
Diluar keadaan serangan, mukosa kembali normal. Akan tetapi serangan dapat
terjadi terus-menerus (persisten) sepanjang tahun, sehingga lama kelamaan terjadi
perubahan yang ireversibel, yaitu terjadi proliferasi jaringan ikat dan hiperplasia
mukosa, sehingga tampak mukosa hidung menebal. Dengan masuknya antigen
asing ke dalam tubuh terjadi reaksi yang secara garis besar terdiri dari:1. Respon
primerTerjadi proses eliminasi dan fagositosis antigen (Ag). Reaksi ini bersifat
non spesifik dan dapat berakhir sampai disini. Bila Ag tidak berhasil seluruhnya
dihilangkan, reaksi berlanjut menjadi respon sekunder. 2. Respon sekunderReaksi
yang terjadi bersifat spesifik, yang mempunyai tiga kemungkinan ialah sistem
imunitas seluler atau humoral atau keduanya dibangkitkan. Bila Ag berhasil
dieliminasi pada tahap ini, reaksi selesai. Bila Ag masih ada, atau memang sudah
ada defek dari sistem imunologik, maka reaksi berlanjut menjadi respon tersier.3.
Respon tersierReaksi imunologik yang terjadi tidak menguntungkan tubuh. Reaksi
ini dapat bersifat sementara atau menetap, tergantung dari daya eliminasi Ag oleh
tubuh. Gell dan Coombs mengklasifikasikan reaksi ini atas 4 tipe, yaitu tipe 1,
atau reaksi anafilaksis (immediate hypersensitivity), tipe 2 atau reaksi sitotoksik,
tipe 3 atau reaksi kompleks imun dan tipe 4 atau reaksi tuberculin (delayed
hypersensitivity). Manifestasi klinis kerusakan jaringan yang banyak dijumpai di
bidang THT adalah tipe 1, yaitu rinitis alergi (Irawati, Kasakayan, Rusmono,
2008).

2.5 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).

2.6 Tanda dan Gejala


Seseorang dapat diduga menderita rinitis alergi bila mengalami dua atau
lebih dari gejala-gejala rinore anterior dengan produksi air berlebih, bersin-bersin,
obstruksi nasal, rasa gatal atau pruritis pada hidung, atau konjungtivitis (jarang)
selama lebih dari satu hari (Bousquet et al., 2008).
1. Bersin berulang-ulang, terutama setelah bangun tidur pada pagi hari
(umumnya bersin lebih dari 6 kali).
2. Berdasarkan gejala yang menonjol, dibedakan atas golongan yang obstruksi
dan rinorea. Pemeriksaan rinoskopi anterior menunjukkan gambaran klasik
berupa edema mukosa hidung, konka berwarna merah gelap atau merah tua,
dapat pula pucat. Permukaanya dapat licin atau berbenjol. Pada rongga
hidung terdapat sekret mukoid, biasanya sedikit, namun pada golongan
rinorea, sekret yang ditemukan biasanya serosa dan dalam jumlah banyak.
3. Hidung meler. Cairan yang keluar dari hidung meler yang disebabkan alergi
biasanya bening dan encer, tetapi dapat menjadi kental dan putih keruh atau
kekuning-kuningan jika berkembang menjadi infeksi hidung atau infeksi
sinus.
4. Hidung gatal dan juga sering disertai gatal pada mata, telinga dan
tenggorok.
5. Badan menjadi lemah dan tak bersemangat.
6. Gejala memburuk pada pagi hari waktu bangun tidur karena perubahan suhu
yang ekstrim, udara lembab, juga karena asap rokok dan sebagainya.
7. Keluhan subyektif yang sering ditemukan pada pasien biasanya napas
berbau (sementara pasien sendiri menderita anosmia), ingus kental hijau,
krusta hijau, gangguan penciuman, sakit kepala, dan hidung tersumbat.
8. Pada penderita THT ditemukan ronnga hidung sangat lapang, kinka
inferiordan media hipotrofi atau atrofi, sekret purulen hijau, dan krusta
berwarna hijau.
9.
2.7 Diagnosis
Diagnosis rhinitis alergi ditegakkan berdasarkan anamnesis riwayat
penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan endoskopi hidung, dan pemeriksaan
TCK. Pemeriksaan laboratorium dapat juga dilakukan untuk membantu
menegakkan diganosis. Keberadaan bersin, hidung berair, hidung buntu, hidung
gatal, mukosa hidung pucat, edema dan pucat atau kebiruan pada konka
merupakan tanda dan gejala yang berhubungan dengan rhinitis alergi.
Pemeriksaan TCK dan antibodi Ig E merupakan pemeriksaan yang sering
dilakukan untuk membantu menegakkan diagnosis rhinitis alergi. Sedangkan
pemeriksaan yang tidak rutin dilakukan adalah tes provokasi hidung (Jenimez et
al. 2012

2.8 Penatalaksanaan Rhinitis Alergi


Tujuan Pengobatan yaitu meminimalkan atau mencegah gejala,
meminimalkan atau menghindari efek samping pengobatan, memberikan terapi
ekonomis, dan mempertahankan gaya hidup normal.
Algoritma terapi rhinitis alergi :
- Terapi Farmakologi:
1. Antihistamin
Antagonis reseptor histamin H1 berikatan dengan reseptor H1 tanpa
mengaktivasi reseptor yang mencegah ikatan dan kerja histamin. Antihistamin
lebih efektif dalam mencegah respon histamin daripada melawannya.
Antihistamin oral dapat dibagi menjadi dua kategori utama : nonselektif (generasi
pertama atau antihistamin sedasi) dan selektif perifer (generasi kedua atau
antihistamin nonsedasi). Efek sedasi sentral mungkin tergantung dari kemampuan
melewati sawar darah otak. Kebanyakan antihistamin bersifat larut lemak dan
melewati sawar dengan mudah. Obat yang selektif ke perifer memiliki sedikit atau
tidak sama sekali efeknya ke sistem saraf pusat atau otonom. Antihistamin
mengantagonis permeabilitas kapiler, pembentukan bengkak dan rasa panas serta
gatal. Efek samping dari antihistamin yaitu mengantuk yang paling sering dan
menggaggu kemampuan mengemudi atau aktivitas kerja. Efek sedasi bisa
menguntungkan pada pasien yang sulit tidur karenan gejala rinitis. Efek samping
lainnya termasuk mulut kering, kesulitan berkemih, konstipasi, hilang nafsu
makan, mual, muntah, dan gangguan ulu hati. Penggunaan antihistamin hati-hati
pada pasien yang mengalami retensi urin. Untuk mencegah terjadinya GI minum
obat dengan makanan atau segelas penuh air.
2.
D

ekongestan
Dekongestan topikal dan sistemik adalah agen simpatomimetik yang bekerja
pada adrenergikreseptor di mukosa hidung yang menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak,dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan
bekerja dengan baik kombinasi dengan antihistamin jika hidung tersumbat adalah
bagian dari gambaran klinis. Dekongestan topikal diterapkan langsung ke mukosa
hidung yang membengkak dengan tete hidung atau semprot yang sedikit atau
tidak ada absorpsi sistemik. Penggunaan lama sediaan topikal (>3-5 hari) dapat
mengakibatkan rinitis medicamentosa, yang merupakan vasodilatasi balikan
(rebound) yang terkait dengan kongesti. Pasien dengan kondisi ini menggunakan
semprot hidung lebih sering dengan respon yang lebih kecil. Efek samping nasal
dekongestan yaitu rasa terbakar, bersin, dan kekeringan mukosa nasal.
Pseudoefedrin merupakan dekongestan sistemik yang memiliki onset kerja
lebih lambat dibandingkan dengan obat topikal tapi dapat bekerja lebih lama dan
kurang menyebabkan iritasi lokal. Rhinitis medicamentosa tidak tejadi dengan
dekongestan oral. Pseudoefedrin aman pada dosis sampai 180 mg tidak
menyebabkan perubahan tekanan darah dan detak jantung yang terukur. Namun
dosis yang lebih tinggi (210-240 mg) dapat meningkatkan tekanan darah dan
detak jantung. Dekongestan sistemik harus dihindari pada pasien hipertensi
kecuali benar-benar diperlukan. Hipertensi dapat terjadi ketika pseudoefedrin
diberikan dengan inhibitor monoamine oxidase. Pseudoefedrin dapat
menyebabkan stimulasi CNS ringan, bahkan pada dosis terapeutik. Phenylephrine
sebagai terapi pengganti pseudoefedrin, karena pembatasan penjualan
pseudoefedrin. Kombinasi dekongestan dengan antihistamin bersifat rasional
karena mekanisme aksinya berbeda. Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin,
naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja
lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian
vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah
usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada
dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
3. Nasal Kortikosteroid
Kortikosteroid nasal meredakan bersin, rhinprrhae, pruritus, dan hidung
tersumbat dengan efek samping minimal. Kortikosteroid mengurangi peradangan
dengan memblokir pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil,
menyebabkan vasokontriksi ringan, dan menghambat reaksi fase akhir yang
diperantarai sel-sel mast. Kortikosteroid nasal adalah pilihan yang sangat baik
untuk rhinitis persisten dan rhinitis musiman, terutama jika dimulai sebelum
gejala. Steroid nasal direkomendasikan sebagai terapi awal dibandingkan
antihistamin karena tingkat keefektifan tinggi ketika digunakan secara benar
disertai penghindaran alergen. Efek samping termasuk bersin, perih, sakit kepala,
dan epistaksis. Beberapa pasien membaik dalam beberapa hari, tetapi respons
puncak memerlukan 2 hingga 3 minggu. Dosis dapat dikurangi setelah respons
tercapai.

4. Imunoterapi
Imunoterapi adalah proses penyuntikan antigen yang meningkat secara
bertahap dan lambat yang bertanggung jawab untuk memunculkan gejala alergi
pada pasien dengan tujuan mendorong toleransi terhadap alergen saat paparan
alami terjadi. Efek menguntungkan dari imunoterapi dapat terjadi akibat induksi
antibodi penghambat IgG, penurunan IgE spesifik (jangka panjang), berkurangnya
perekrutan sel efektor, perubahan keseimbangan sitokin sel T, anergi sel T, dan
perubahan regulasi T sel. Kandidat yang baik untuk imunoterapi termasuk pasien
dengan riwayat gejala berat yang kuat yang tidak berhasil dikendalikan dengan
penghindaran dan farmakoterapi dan pasien yang tidak dapat mentolerir efek
samping terapi obat. Kandidat yang buruk termasuk pasien dengan kondisi medis
yang akan mengganggu kemampuan untuk mentolerir reaksi tipe anafilaksis,
pasien dengan gangguan sistem kekebalan, dan pasien dengan riwayat
ketidakpatuhan.

- Terapi Non-farmakologi
 Menghindari alergen yang mengganggu itu penting tetapi sulit dilakukan,
terutama untuk alergen abadi. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan
menjaga kelembaban rumah tangga kurang dari 50% dan menghilangkan
pertumbuhan yang jelas dengan pemutih atau disinfektan.
 Pasien yang sensitif terhadap hewan mendapat manfaat paling besar dengan
mengeluarkan hewan peliharaan dari rumah, jika memungkinkan.
Mengurangi paparan tungau debu dengan membungkus sprei dengan penutup
yang kedap air dan mencuci sprei dengan air panas.
 Pasien dengan rinitis alergi musiman harus menutup jendela dan
meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar ruangan selama musim
kemarau, masker filter bisa dipakai saat berkebun atau memotong rumput.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS 5

 IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
BB/TB : 78 kg/170 cm
Usia : 67 tahun
Pekerjaan : ASN
Alamat : Jogja
Tanggal Pemeriksaan : 20 Maret 2015
No. Rekam Medik : 678546 RM
 ANAMNESIS
Keluhan : Sering bersin bersin dan gatal di hidung dan cairan bening ingus yang
banyak.
 RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bersin-bersin sejak 5 hari
yang lalu sebelum datang ke RS. Keluhan bersin bersin dirasakan dan terjadi lebih
sering pada pagi hari. Keluhan di atas disertai rasa gatal di hidung dan diikuti
dengan keluarnya cairan encer bening dari hidung yang banyak dan tidak berhenti.
Pasien juga mengeluh hidung tersumbat, sehingga kemampuan membedakan bau
menjadi berkurang, namun pasien masih dapat bernapas. Kadang-kadang nyeri
pada daerah sekitar hidung dan pipi terutama bila menunduk tetapi tidak selalu.
Tidak ada keluar cairan dan nyeri pada telinga. Gatal-gatal pada kulit tidak ada.
Tidak mengi, pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan apapun, tetapi ia
memiliki riwayat alergi debu. Pasien sering mengalami keluhan serupa sejak
pasien masih kecil. Namun dirasakan hilang timbul, biasanya keluhan muncul
pagi-pagi. Bersin-bersin yang terlalu sering dirasakan mengganggu pasien
bekerja. Ia mengatakan bahwa dapat mengalami keluhan seperti ini 4-5x dalam
sebulan.
 RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat penyakit dengan keluhan serupa diakui, dan memang sering
kambuh. Ia juga memiliki riwayat alergi debu. Riwayat alergi terhadap makanan
dan obat tertentu tidak ada. Riwayat asma sebelumnya tidak pernah.
 RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat keluhan serupa dalam anggota keluarga tidak ada. Tidak ada asma
dan alergi makanan atau obat dalam keluarga. Tetapi ibu memiliki riwayat alergi
terhadap laktosa pada susu sapi. Adik memiliki riwayat alergi terhadap protein
telur.
 PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/85 mmHg (normal)
Nadi : 80 x / menit (normal)
Respirasi : 20 x/menit (normal)
Suhu : 37,2oC per aksila (normal)
Status Generalis : dalam batas normal
 DIAGNOSIS BANDING
Rinitis alergi intermiten sedang-berat. Rinitis infeksi. Rinitis non-alergi
dengan sindrom eosinofilia.
DIAGNOSIS KERJA
Rinitis alergi intermiten sedang-berat.
 PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi :
Menghindari kontak dengan alergen, misalnya dengan cara memakai masker saat
akan berkontak dengan debu. Mengganti seprai dan sarung bantal/guling 1x
sebulan. Menjemur kasur tidur 1x sebulan.
Farmakologi :
Klorfeniramin maleat 1 x 1 tab
Actived tablet 3 x 2 tab
Mucoxol 3 x 1 tab
Nasonex nasal spray 1 fl S 3 d d 1 dext at sint
Dexamethasone 3 x 2 mg
Dekstrometorfan tablet 2 x 1 tab
Amoxan 4 x 1 tab
 KEJADIAN ADR
Setelah meminum obat-obat yang diberikan, tekanan darah pasien
meningkat menjadi 150/95 mmHg yang kembali turun setelah pengobatan
dihentikan. Tiga hari kemudian pasien minum obat yang sama dan tekanan darah
kembali meningkat. Setelah dosis obat diturunkan efek hipertensi tidak terjadi.
Pasien juga pernah mengalami gejala serupa saat minum obat fenilpropanolamin
HCl 2 bulan yang lalu.
Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa
pernah dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.

1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa pernah


dilaporkan.
Pasien yang bernama Tn. SM mengalami ADR tekanan darah meningkat
(150/95 mmHg) setelah mengkonsumsi obat-obatan yang diberikan. Namun
setelah dosis obat yang menyebabkan ADR tersebut dihentikan, ADR pasien tidak
terjadi dan pasien memberikan keterangan bahwa pernah mengalami gejala serupa
saat meminum obat fenilpropanolamin HCl 2 bulan yang lalu. Setelah melakukan
pengkajian obat-obat yang diberikan kepada pasien, kami menyatakan bahwa obat
yang berpotensi sebagai penyebab ADR pasien adalah Actifed, karena Actifed
mengandung Pseudoephedrine hydrochlride 60 mg dan Triprolidine hydrochloride
2,5 mg.

Pseudoephedrine hydrochlride merupakan dekongestan, sama seperti


fenilpropanolamin HCl yang juga merupakan dekongestan. Pseudoephedrine
adalah dekongestan oral yang memiliki onset kerja lebih lambat dibandingkan
agen topikal tetapi dapat bertahan lebih lama dan menyebabkan iritasi lokal yang
lebih sedikit. Rhinitis medicamentosa tidak terjadi dengan dekongestan oral.
Dosis hingga 180 mg tidak menghasilkan perubahan terukur pada tekanan darah
atau detak jantung. Namun, dosis yang lebih tinggi 210-240 mg dapat
meningkatkan tekanan darah dan detak jantung. Reaksi hipertensi yang parah
dapat terjadi ketika pseudoefedrin diberikan dengan penghambat oksidase
monoamine (Dipiro Edisi 9). Kasus diatas menunjukkan bahwa pasien
mengkonsumsi actifed dengan dosis yang tinggi yaitu 3 x sehari 2 tablet, sehingga
dalam sehari pasien mengkonsumsi obat dengan kandungan pseudoephedrine
hydrochlride sebanyak 360 mg. Dengan demikian, pemberian actifed dengan
dosis tinggi inilah yang menjadi penyebab ADR pasien, maka dari itu dosisnya
perlu diturunkan.
Berdasarkan penelitian Prisant L.M & Carr Albert A (1989) tentang “Over
the counter drugs that may increase blood pressure” menyatakan bahwa bahan
aktif pseudoephedrine dalam obat OTC merupakan agonis alfa dan beta umumnya
digunakan dalam pengobatan dingin. Semua obat ini berinteraksi dengan
penghambat oksidase monoamine serta dengan antihipertensi tertentu (misalnya,
guanethidine, metildopa, reserpin), menghasilkan respons tekanan sehingga dapat
mengakibatkan hilangnya kontrol tekanan darah pada pasien.
Kasus serupa dilaporkan oleh Salerno et al. (2005) dalam penelitian dengan
judul “Effect of Oral Pseudoephedrine on Blood Pressure and Heart Rate”
melakukan penelitian terhadap 24 uji coba memiliki informasi tanda vital yang
dapat diambil dari 45 kelompok pengobatan (1285 pasien). Penelitian ini
melaporkan bahwa pseudoefedrin menyebabkan peningkatan kecil namun
signifikan pada tekanan darah. Pemberian dosis tinggi dan preparat pelepasan
segera dikaitkan dengan peningkatan tekanan darah yang lebih besar. Selain itu,
durasi penggunaan yang lebih pendek dikaitkan dengan peningkatan tekanan
darah sistolik dan tekanan darah diastolik yang lebih besar.
Selanjutnya pada penelitian Connel et al. (1982) dengan judul “A Double-
Blind Controlled Evaluation of Actifed® and its Individual Constituents in
Allergic Rhinitis” menyatakan bahwa terdapat satu pasien yang mengalami
tekanan darah tinggi dan sedikit pusing setelah mengkonsumsi satu dosis
kombinasi pseudoephedrine hydrochlride 60 mg dan triprolidine hydrochloride
2,5 mg (Actifed®). Sehingga, pasien tersebut dihentikan setelah hari 1 penelitian
dan pasien tersebut pulih tanpa insiden lebih lanjut.
Selain itu pada penelitian Salerno et al. (2005) dengan judul “The impact of
oral phenylpropanolamineon blood pressure: a meta-analysis andreview of the
literature” melakukan penelitian pada 33 percobaan, 48 kelompok pengobatan
dengan 2.165 pasien. Penelitian ini melaporkan bahwa fenilpropanolamin oral
dapat meningkatkan tekanan darah sistolik 5,5 mmHg dan tekanan darah diastolik
4,1 mmHg tanpa efek pada denyut nadi. Pasien dengan hipertensi terkontrol tidak
berisiko lebih besar mengalami peningkatan tekanan darah. Sediaan pelepasan
segera memiliki efek lebih besar pada tekanan darah daripada pelepasan
berkelanjutan. Penggunaan dosis tinggi dan durasi yang lebih singkat juga
menyebabkan peningkatan yang lebih besar. Delapan belas studi berisi setidaknya
satu subjek yang diobati yang memiliki peningkatan tekanan darah ≥140 / 90
mmHg, peningkatan SBP ≥15 mmHg atau peningkatan DBP ≥10 mmHg. Dengan
demikian, fenilpropanolamin dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah
sistolik yang kecil namun signifikan. Efeknya lebih jelas dengan pemberian
jangka pendek, dosis obat yang lebih tinggi dan formulasi pelepasan segera.
Adapun penelitian dari Empey D.W et al. (1980). Peningkatan kecil tetapi
signifikan secara statistik dalam denyut nadi dan tekanan darah sistolik terjadi
setelah pseudoefedrin 120 mg dan 180 mg, tetapi tidak setelah pseudoefedrin 60
mg, 30 mg, atau 15 mg. Tidak ada efek signifikan yang dihasilkan oleh salah satu
dosis pseudephedrine yang berkaitan dengan tekanan darah diastolik.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
Analisis kausalitas merupakan proses evaluasi yang dilakukan untuk
menentukan atau menegakkan hubungan kausal antara kejadian efek samping
yang terjadi atau teramati dengan penggunaan obat oleh pasien. Algoritma
Naranjo merupakan kuesioner yang dirancang oleh Naranjo et al. untuk
menentukan kemungkinan apakah ADR (reaksi obat yang merugikan) sebenarnya
disebabkan oleh obat tersebut daripada akibat faktor lain.
No. Pertanyaan/ Scale
Questions Ya/Yes Tidak/No Tid

1 Apakah ada laporan efek samping obat yang serupa? (Are there previous 1
conclusive reports on this
reaction? )
2 Apakah efek samping obat terjadi setelah pemberian obat yang dicurigai? 2
(Did the ADR appear after
the suspected drug was administered?
3 Apakah efek samping obat membaik setelah obat dihentikan atau obat 1
antagonis khusus diberikan?
(Did the ADR improve when the drug was discontinued or a specific
antagonist was administered?)
4 Apakah Efek Samping Obat terjadi berulang setelah obat diberikan kembali? 2
(Did the ADR recure
when the drug was readministered?)
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat menjelaskan kemungkinan 2
terjadinya efek samping
obat? (Are there alternative causes that could on their own have caused the
reaction?)
6 Apakah efek samping obat muncul kembali ketika plasebo diberikan? (Did
the ADR reappear when
a placebo was given?)
7 Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di dalam darah atau cairan tubuh
lainnya dengan konsentrasi yang toksik? (Was the drug detected in the
blood (or other fluids) in concentrations known to be toxic?)
8 Apakah efek samping obat bertambah parah ketika dosis obat 1
ditingkatkan atau bertambah ringan ketika obat diturunkan dosisnya?
(Was the ADR more severe when the dose was increased or less
severe when the dose was decreased?)
9 Apakah pasien pernah mengalami efek samping obat yang sama atau 1
dengan obat yang mirip
sebelumnya? (Did the patient have a similar ADR to the same or
similar drugs in any previous exposure?)
10 Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif? 1
(Was the ADR confirmed
by objective evidence? )
Total Score 9
NARANJO PROBABILITY SCALE:
Score Category
9+ Highlyprobable
5- 8 Probable
1- 4 Possible
0- Doubtful

Kesimpulan:

Total skor yang diperoleh dari analisa Alogaritma Naranjo adalah 11. Dapat
disimpulkan bahwa 11 termasuk ke dalam kategori sangat pasti. Artinya efek
samping yang dialami oleh pasien kemungkinan akibat dari obat tersebut bukan
dari faktor lain. Sangat pasti (Definite/Highly Probable). Reaksinya (1).
Mengikuti urutan temporal yang wajar setelah obat atau di mana tingkat obat
toksik telah ditetapkan dalam cairan atau jaringan tubuh, (2). Mengikuti respons
yang diketahui terhadap obat yang dicurigai, dan (3). Dikonfirmasi oleh
peningkatan penghentian penggunaan obat dan muncul kembali pada paparan
ulang.

3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.


A. Lanjutkan pemberian dan turunkan dosis pemberian Actifed
Penurunan dosis menjadi 3 x sehari 1 tablet yang awalnya 3 x sehari 2
tablet direkomendasikan, karena pada dosis tersebut tidak menghasilkan
perubahan terukur pada tekanan darah atau detak jantung. Namun, hal tersebut
tetap dilakukan dengan pemantauan resiko-resiko yang mungkin terjadi. Produk
oral kombinasi yang mengandung dekongestan dan antihistamin bersifat rasional
karena mekanisme kerjanya yang berbeda. Konsumen harus membaca label
produk dengan hati-hati untuk menghindari duplikasi terapeutik dan
menggunakan produk kombinasi hanya untuk kursus singkat (dipiro edisi 9).
Meskipun beberapa studi menunjukkan manfaat pada penggunaan kombinasi
dekongestan oral dan antihistamin oral, tetapi harus dipertimbangkan terkait
potensi risiko yang ditimbulkan, seperti peningkatan insomnia, sakit kepala, mulut
kering, gugup, dan peningkatan tekanan darah. Toleransi dapat berkembang
dengan penggunaan dekongestan oral jangka panjang (dipiro edisi 10). Selain itu,
pemberian obat penurun takanan darah pasien tidak diperlukan, karena tekanan
darah pasien meningkat akibat mengkonsumsi dosis tinggi pseudoephedrine
hydrochlride, sehingga dengan penurunan dosis dapat menormalkan kembali
tekanan darah pasien.
B. Lanjutkan pemberian dan tingkatkan dosis Nasonex nasal spray
Pasien mendapatkan pengobatan dengan pemberian Nasonex nasal spray
yang mengandung mometasone furoate (kortikosteroid) 3 kali sehari 1 kali
semprot pada bagian lubang hidung kanan dan kiri. Seharusnya, dosis yang
diberikan adalah 1 kali sehari 2 kali semprot. Pemberian nasal steroid dapat
berguna sebagai pengendalian gejala, peningkatan kualitas hidup, membuat tidur
lebih nyenyak, hemat biaya jika digunakan sebagai terapi tunggal, efek lokal yang
ditargetkan. Preferensi pasien akan memainkan peran besar (dipiro edisi 10)
a. Memperhatikan DRP (ada obat tidak ada indikasi) pengobatan yang
diberikan
1. Klorfeniramin maleat, obat ini termasuk golongan antihistamin generasi
pertama, obat ini tidak perlu diberikan karena pasien telah mendapatkan
antihistamin yang terkandung dalam actifed, yaitu triprolidine
hydrochloride yang juga merupakan antihistamin generasi pertama.
2. Mucoxol, obat ini memiliki indikasi untuk penyakit saluran nafas akut dan
kronis disertai sekresi bronkial abnormal, khususnya pada eksaseerbasi
dan bronkitis asmatik, asma bronkial, sebelum dan setelah operasi dan
pada perawatan intensif untuk menghindari komplikasi paru (ISO: 497).
Mucoxol merupakan agen mukolitik yang berfungsi untuk mengencerkan
dahak, di mana mucoxol digunakan untuk mengobati penyakit pada
saluran pernafasan yang terdapat banyak lendir atau dahak terutama pada
asma bronkial, namun pada kasus ini pasien tidak mengalami asma
bronkial (ditandai dengan tidak mengalami mengi), sehingga pasien tidak
perlu diberikan mucoxol.
3. Dexamethason, obat ini termasuk kortikosteroid yang tidak perlu diberikan
pada kasus ini, karena pasien juga menggunakan Nasonex nasal spray
yang mengandung mometasone furoate (kortikosteroid), penggunaan
nasonex nasal spray lebih efektif karena bekerja dengan cara meredakan
peradangan pada bagian tubuh tertentu dan bekerja pada lokasi tubuh
tertentu saja.
4. Dextrometorfan, obat ini termasuk antitusif. Namun pasien tidak
mengalami batuk kering, sehingga obat ini tidak perlu diberikan.
5. Amoxan, obat ini mengandung amoksisilin yang termasuk antibiotik.
Rhinitis alergi yang dialami pasien tidak disebabkan oleh bakteri, tetapi
karena alergi debu, sehingga pemberian antibiotik tidak diperlukan.

4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.

apt. Septiana Aulia, S.Farm


Tn. SM

merah (Mahdi et al., 2011) dan nanoemulsi berbasis minyak biji sawit dari
phyllanthin (Azman et al., 2019).

Surakarta, 15 Maret 2021


Tanda tangan pelapor

(apt. Septiana Aulia, S.Farm


28

DAFTAR PUSTAKA

Becker EW. 1994. Microalgae Biotechnology and Microbiology. New York:


Cambridge University Press.

Bousquet J., Cauwenberge V.P.and Khaltev P. Allergic rhinitis and its impact on
asthma. J. Allergy Clin Immunol 2001 ; 108 : S148-S195.

Dipiro.JT., 2015, Pharmacoterapy Handbook 9th edition, mC Graw Hill, New


York.: Mc-Graw Hill.
Empey D.W et al. 1980. Dose-Response Study of the Nasal Decongestant and
cardiovascular Effects of Pseudoephedrine. Br. J. clin. Pharmac. 9;351-358
Harsono, Ganung. 2007. Korespondensi: Bagian Anak, RSUD Dr. Moewardi
Surakarta; Jl. Kol Soetanto 132, Surakarta 57126; Jurnal Kedokteran
Brawijaya, Vol. XXIII, No.3.

Irawati N, Kasakeyan E, Rusmono N. Rinitis Alergi. Dalam: Buku Ajar Ilmu


Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala dan Leher. Ed 6. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI; 2007. Hal 128-134.
Prisant, L. Michael; Carr, Albert A. (1989). Over-the-counter drugs that may
increase blood pressure. Postgraduate Medicine, 86(8), 205–208.
Rafi M, Adnan A, Masdar H. Gambaran Rinitis Alergi pada Mahasiswa Fakultas
Kedokteran Universitas Riau Angkatan 2013-2014. Jom FK. 2015;2(2):1-1

WHO. Allergic Rhinitis and its Impact On Asthma (ARIA). 2007. 1st Edition

Anda mungkin juga menyukai