RHINITIS ALERGI
Dosen Pengampu
Disusun oleh:
Kelas C3-5
SURAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Tujuan
Tujuan dari penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui definisi rhinitis alergi.
2. Mengetahui epidemiologi rhinitis alergi.
3. Mengetahui etiologi rhinitis alergi.
4. Mengetahui patofisiologi rhinitis alergi.
5. Mengetahui klasifikasi rhinitis alergi.
6. Mengetahui gejala klinis rhinitis alergi.
7. Mengetahui penatalaksanaan rhinitis alergi?
8. Mengetahui contoh kasus rhinitis alergi dan adverse drug reaction yang
terjadi dan penyelesaiannya.
9. Mengetahui bagaimana laporannya adverse drug reaction terkait
rhinitis alergi.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi
pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama
serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan
alergen spesifik tersebut (von Pirquet.1986). Menurut WHO ARIA (Allergic
Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
2.2 Epidemiologi
Rinitis alergi merupakan masalah kesehatan global yang menyerang 5-50%
penduduk dan prevalensinya terus meningkat. Rinitis alergi lebih sering dijumpai
pada anak usia sekolah, dijumpai pada sekitar 15% anak usia 6-7 tahun dan 40%
pada usia 13-14 tahun. Sekitar 80% pasien rinitis alergi mulai timbul gejala
sebelum usia 20 tahun (Harsono et al. 2007).
2.3 Etiologi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya. Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi. Penyebab rinitis alergi tersering adalah
alergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering
disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan. Penyebab
rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif
terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman
biasanya berupa serbuk sari atau jamur. Rinitis alergi perenial (sepanjang tahun)
diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang
peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat. Faktor resiko untuk terpaparnya
debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang
kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker 1994). Berdasarkan cara
masuknya allergen dibagi atas:
1. Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
2. Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya
susu, telur, coklat, ikan dan udang.
3. Alergen Injektan, yang masuk melalui suntikan atau tusukan, misalnya
penisilin atau sengatan lebah.
4. Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan 2003).
2.4 Patofisiologi
Rinitis alergi merupakan suatu penyakit inflamasi yang diawali dengan
tahap sensitisasi dan diikuti dengan reaksi alergi. Reaksi alergi terdiri dari 2 fase
yaitu immediate phase allergic reaction atau reaksi alergi fase cepat (RAFC) yang
berlangsung sejak kontak dengan alergen sampai 1 jam setelahnya dan late phase
allergic reaction atau reaksi alergi fase lambat (RAFL) yang berlangsung 2-4 jam
dengan puncak 6-8 jam (fase hiperreaktivitas) setelah pemaparan dan dapat
berlangsung 24-48 jam.
2.5 Klasifikasi
Klasifikasi rinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO Iniative ARIA
(Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat
berlangsungnya dibagi menjadi :
1. Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau
kurang dari 4 minggu.
2. Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi
menjadi:
1. Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian,
bersantai, berolahraga, belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2. Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas
(Bousquet et al, 2001).
ekongestan
Dekongestan topikal dan sistemik adalah agen simpatomimetik yang bekerja
pada adrenergikreseptor di mukosa hidung yang menyebabkan vasokonstriksi,
menciutkan mukosa yang membengkak,dan memperbaiki ventilasi. Dekongestan
bekerja dengan baik kombinasi dengan antihistamin jika hidung tersumbat adalah
bagian dari gambaran klinis. Dekongestan topikal diterapkan langsung ke mukosa
hidung yang membengkak dengan tete hidung atau semprot yang sedikit atau
tidak ada absorpsi sistemik. Penggunaan lama sediaan topikal (>3-5 hari) dapat
mengakibatkan rinitis medicamentosa, yang merupakan vasodilatasi balikan
(rebound) yang terkait dengan kongesti. Pasien dengan kondisi ini menggunakan
semprot hidung lebih sering dengan respon yang lebih kecil. Efek samping nasal
dekongestan yaitu rasa terbakar, bersin, dan kekeringan mukosa nasal.
Pseudoefedrin merupakan dekongestan sistemik yang memiliki onset kerja
lebih lambat dibandingkan dengan obat topikal tapi dapat bekerja lebih lama dan
kurang menyebabkan iritasi lokal. Rhinitis medicamentosa tidak tejadi dengan
dekongestan oral. Pseudoefedrin aman pada dosis sampai 180 mg tidak
menyebabkan perubahan tekanan darah dan detak jantung yang terukur. Namun
dosis yang lebih tinggi (210-240 mg) dapat meningkatkan tekanan darah dan
detak jantung. Dekongestan sistemik harus dihindari pada pasien hipertensi
kecuali benar-benar diperlukan. Hipertensi dapat terjadi ketika pseudoefedrin
diberikan dengan inhibitor monoamine oxidase. Pseudoefedrin dapat
menyebabkan stimulasi CNS ringan, bahkan pada dosis terapeutik. Phenylephrine
sebagai terapi pengganti pseudoefedrin, karena pembatasan penjualan
pseudoefedrin. Kombinasi dekongestan dengan antihistamin bersifat rasional
karena mekanisme aksinya berbeda. Dekongestan intranasal (misalnya epinefrin,
naftazolin, oksimetazolin, dan xilometazolin) juga merupakan obat
simpatomimetik yang dapat mengurangi gejala kongesti hidung. Obat ini bekerja
lebih cepat dan efektif daripada dekongestan oral. Penggunaannya harus dibatasi
kurang dari 10 hari untuk mencegah terjadinya rinitis medikamentosa. Efek
sampingnya sama seperti sediaan oral tetapi lebih ringan. Pemberian
vasokonstriktor topikal tidak dianjurkan untuk rinitis alergik pada anak di bawah
usia l tahun karena batas antara dosis terapi dengan dosis toksis yang sempit. Pada
dosis toksik akan terjadi gangguan kardiovaskular dan sistem saraf pusat.
3. Nasal Kortikosteroid
Kortikosteroid nasal meredakan bersin, rhinprrhae, pruritus, dan hidung
tersumbat dengan efek samping minimal. Kortikosteroid mengurangi peradangan
dengan memblokir pelepasan mediator, menekan kemotaksis neutrofil,
menyebabkan vasokontriksi ringan, dan menghambat reaksi fase akhir yang
diperantarai sel-sel mast. Kortikosteroid nasal adalah pilihan yang sangat baik
untuk rhinitis persisten dan rhinitis musiman, terutama jika dimulai sebelum
gejala. Steroid nasal direkomendasikan sebagai terapi awal dibandingkan
antihistamin karena tingkat keefektifan tinggi ketika digunakan secara benar
disertai penghindaran alergen. Efek samping termasuk bersin, perih, sakit kepala,
dan epistaksis. Beberapa pasien membaik dalam beberapa hari, tetapi respons
puncak memerlukan 2 hingga 3 minggu. Dosis dapat dikurangi setelah respons
tercapai.
4. Imunoterapi
Imunoterapi adalah proses penyuntikan antigen yang meningkat secara
bertahap dan lambat yang bertanggung jawab untuk memunculkan gejala alergi
pada pasien dengan tujuan mendorong toleransi terhadap alergen saat paparan
alami terjadi. Efek menguntungkan dari imunoterapi dapat terjadi akibat induksi
antibodi penghambat IgG, penurunan IgE spesifik (jangka panjang), berkurangnya
perekrutan sel efektor, perubahan keseimbangan sitokin sel T, anergi sel T, dan
perubahan regulasi T sel. Kandidat yang baik untuk imunoterapi termasuk pasien
dengan riwayat gejala berat yang kuat yang tidak berhasil dikendalikan dengan
penghindaran dan farmakoterapi dan pasien yang tidak dapat mentolerir efek
samping terapi obat. Kandidat yang buruk termasuk pasien dengan kondisi medis
yang akan mengganggu kemampuan untuk mentolerir reaksi tipe anafilaksis,
pasien dengan gangguan sistem kekebalan, dan pasien dengan riwayat
ketidakpatuhan.
- Terapi Non-farmakologi
Menghindari alergen yang mengganggu itu penting tetapi sulit dilakukan,
terutama untuk alergen abadi. Pertumbuhan jamur dapat dikurangi dengan
menjaga kelembaban rumah tangga kurang dari 50% dan menghilangkan
pertumbuhan yang jelas dengan pemutih atau disinfektan.
Pasien yang sensitif terhadap hewan mendapat manfaat paling besar dengan
mengeluarkan hewan peliharaan dari rumah, jika memungkinkan.
Mengurangi paparan tungau debu dengan membungkus sprei dengan penutup
yang kedap air dan mencuci sprei dengan air panas.
Pasien dengan rinitis alergi musiman harus menutup jendela dan
meminimalkan waktu yang dihabiskan di luar ruangan selama musim
kemarau, masker filter bisa dipakai saat berkebun atau memotong rumput.
BAB III
PEMBAHASAN KASUS 5
IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. SM
Jenis Kelamin : Laki-laki
Suku : Jawa
BB/TB : 78 kg/170 cm
Usia : 67 tahun
Pekerjaan : ASN
Alamat : Jogja
Tanggal Pemeriksaan : 20 Maret 2015
No. Rekam Medik : 678546 RM
ANAMNESIS
Keluhan : Sering bersin bersin dan gatal di hidung dan cairan bening ingus yang
banyak.
RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG
Pasien datang ke rumah sakit dengan keluhan bersin-bersin sejak 5 hari
yang lalu sebelum datang ke RS. Keluhan bersin bersin dirasakan dan terjadi lebih
sering pada pagi hari. Keluhan di atas disertai rasa gatal di hidung dan diikuti
dengan keluarnya cairan encer bening dari hidung yang banyak dan tidak berhenti.
Pasien juga mengeluh hidung tersumbat, sehingga kemampuan membedakan bau
menjadi berkurang, namun pasien masih dapat bernapas. Kadang-kadang nyeri
pada daerah sekitar hidung dan pipi terutama bila menunduk tetapi tidak selalu.
Tidak ada keluar cairan dan nyeri pada telinga. Gatal-gatal pada kulit tidak ada.
Tidak mengi, pasien tidak memiliki alergi terhadap makanan apapun, tetapi ia
memiliki riwayat alergi debu. Pasien sering mengalami keluhan serupa sejak
pasien masih kecil. Namun dirasakan hilang timbul, biasanya keluhan muncul
pagi-pagi. Bersin-bersin yang terlalu sering dirasakan mengganggu pasien
bekerja. Ia mengatakan bahwa dapat mengalami keluhan seperti ini 4-5x dalam
sebulan.
RIWAYAT PENYAKIT DAHULU
Riwayat penyakit dengan keluhan serupa diakui, dan memang sering
kambuh. Ia juga memiliki riwayat alergi debu. Riwayat alergi terhadap makanan
dan obat tertentu tidak ada. Riwayat asma sebelumnya tidak pernah.
RIWAYAT PENYAKIT KELUARGA
Riwayat keluhan serupa dalam anggota keluarga tidak ada. Tidak ada asma
dan alergi makanan atau obat dalam keluarga. Tetapi ibu memiliki riwayat alergi
terhadap laktosa pada susu sapi. Adik memiliki riwayat alergi terhadap protein
telur.
PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum
Kesan Sakit : Tampak sakit ringan.
Kesadaran : Compos mentis.
Tanda Vital
Tekanan darah : 130/85 mmHg (normal)
Nadi : 80 x / menit (normal)
Respirasi : 20 x/menit (normal)
Suhu : 37,2oC per aksila (normal)
Status Generalis : dalam batas normal
DIAGNOSIS BANDING
Rinitis alergi intermiten sedang-berat. Rinitis infeksi. Rinitis non-alergi
dengan sindrom eosinofilia.
DIAGNOSIS KERJA
Rinitis alergi intermiten sedang-berat.
PENATALAKSANAAN
Non-farmakologi :
Menghindari kontak dengan alergen, misalnya dengan cara memakai masker saat
akan berkontak dengan debu. Mengganti seprai dan sarung bantal/guling 1x
sebulan. Menjemur kasur tidur 1x sebulan.
Farmakologi :
Klorfeniramin maleat 1 x 1 tab
Actived tablet 3 x 2 tab
Mucoxol 3 x 1 tab
Nasonex nasal spray 1 fl S 3 d d 1 dext at sint
Dexamethasone 3 x 2 mg
Dekstrometorfan tablet 2 x 1 tab
Amoxan 4 x 1 tab
KEJADIAN ADR
Setelah meminum obat-obat yang diberikan, tekanan darah pasien
meningkat menjadi 150/95 mmHg yang kembali turun setelah pengobatan
dihentikan. Tiga hari kemudian pasien minum obat yang sama dan tekanan darah
kembali meningkat. Setelah dosis obat diturunkan efek hipertensi tidak terjadi.
Pasien juga pernah mengalami gejala serupa saat minum obat fenilpropanolamin
HCl 2 bulan yang lalu.
Tugas:
1. Lakukanlah studi literatur untuk mengetahui apakah kejadian serupa
pernah dilaporkan.
2. Lakukan analisis kasualitas menggunakan algoritma Naranjo.
3. Berikan rekomendasi kepada klinisi untuk mengatasi ADR pada pasien.
4. Buatlah laporan ESO menggunakan Form Kuning.
1 Apakah ada laporan efek samping obat yang serupa? (Are there previous 1
conclusive reports on this
reaction? )
2 Apakah efek samping obat terjadi setelah pemberian obat yang dicurigai? 2
(Did the ADR appear after
the suspected drug was administered?
3 Apakah efek samping obat membaik setelah obat dihentikan atau obat 1
antagonis khusus diberikan?
(Did the ADR improve when the drug was discontinued or a specific
antagonist was administered?)
4 Apakah Efek Samping Obat terjadi berulang setelah obat diberikan kembali? 2
(Did the ADR recure
when the drug was readministered?)
5 Apakah ada alternative penyebab yang dapat menjelaskan kemungkinan 2
terjadinya efek samping
obat? (Are there alternative causes that could on their own have caused the
reaction?)
6 Apakah efek samping obat muncul kembali ketika plasebo diberikan? (Did
the ADR reappear when
a placebo was given?)
7 Apakah obat yang dicurigai terdeteksi di dalam darah atau cairan tubuh
lainnya dengan konsentrasi yang toksik? (Was the drug detected in the
blood (or other fluids) in concentrations known to be toxic?)
8 Apakah efek samping obat bertambah parah ketika dosis obat 1
ditingkatkan atau bertambah ringan ketika obat diturunkan dosisnya?
(Was the ADR more severe when the dose was increased or less
severe when the dose was decreased?)
9 Apakah pasien pernah mengalami efek samping obat yang sama atau 1
dengan obat yang mirip
sebelumnya? (Did the patient have a similar ADR to the same or
similar drugs in any previous exposure?)
10 Apakah efek samping obat dapat dikonfirmasi dengan bukti yang obyektif? 1
(Was the ADR confirmed
by objective evidence? )
Total Score 9
NARANJO PROBABILITY SCALE:
Score Category
9+ Highlyprobable
5- 8 Probable
1- 4 Possible
0- Doubtful
Kesimpulan:
Total skor yang diperoleh dari analisa Alogaritma Naranjo adalah 11. Dapat
disimpulkan bahwa 11 termasuk ke dalam kategori sangat pasti. Artinya efek
samping yang dialami oleh pasien kemungkinan akibat dari obat tersebut bukan
dari faktor lain. Sangat pasti (Definite/Highly Probable). Reaksinya (1).
Mengikuti urutan temporal yang wajar setelah obat atau di mana tingkat obat
toksik telah ditetapkan dalam cairan atau jaringan tubuh, (2). Mengikuti respons
yang diketahui terhadap obat yang dicurigai, dan (3). Dikonfirmasi oleh
peningkatan penghentian penggunaan obat dan muncul kembali pada paparan
ulang.
merah (Mahdi et al., 2011) dan nanoemulsi berbasis minyak biji sawit dari
phyllanthin (Azman et al., 2019).
DAFTAR PUSTAKA
Bousquet J., Cauwenberge V.P.and Khaltev P. Allergic rhinitis and its impact on
asthma. J. Allergy Clin Immunol 2001 ; 108 : S148-S195.
WHO. Allergic Rhinitis and its Impact On Asthma (ARIA). 2007. 1st Edition