TINJAUAN TEORI
2.2.2 Etiologi
1. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal.
2) Appendistis yang meradang dan perforasi.
3) Tukak peptik.
4) Tukak thypoid.
5) Tukak disentri amuba / colitis.
6) Tukak pada tumor.
7) Salpingitis.
8) Divertikulitis.
2. Secara langsung dari luar
1) Operasi tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
3) Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau
pneumokokus.
4) Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infeksi
(umum) dan abses abdomen. Penyebab peritonitis adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP
terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi
pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri mneuju dinding perut
atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan penyebab penyakit hati kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan asites semakin tinggi resiiko
terjadinya peritonitis dan abses, ini terjadi karena ikatan opsonisasi
yang rendah antar molekul. Komponen asites pathogen yang sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E.coli 40%,
klebsiella pneumonia 7%, spesies pseudomonas, proteus dan gram
lainnya 20% dan abkteri positif yaitu strepkokus 3%. Selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.
3 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari peritonitis adalah : gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sesak napas akibat desakan distensi
abdomen ke paru, pembentukan luka dan pembentukan abses. (Haryono,
2012).
4 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
a. Konservatif
Indikasi terapi konservatif, antara lain:
- Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
- Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
- Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada
orang tua dan komorbid
- Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.
b. Definitif / Pembedahan
1) Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain :
- Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
- Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
- Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
- Pemberian terapi cairan melalui I.V
- Pemberian antibiotic
2) Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
- Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi.
Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar
penyakit dan keparahan infeksinya.
- Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning, kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis
- Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
- Irigasi kontinyu pasca operasi
c. Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris
tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah
dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi. Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5
hari post operasi terutama pada peritonitis generalisata.
d. Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan
perforasi ulkus duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi
kolon, tetapi lebih sering dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada
penderita dengan syok dan ileus
e. Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik
maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan karena
akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan secara parenteral
akan mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum. Setelah lavase
selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen
karena akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi
yang tidak dapat direseksi.
f. Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah.
Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung
pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila
sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.
5 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen kedalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma
atau perforasi tumor. (Dahlan, 2004). Awalnya mikroorganisme masuk
kedalam rongga abdomen adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi
kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edema jaringan dan pertahanan
eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya
sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah. Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, di ikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar.
Timbulnya peritonitis peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membrane mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai
respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk Bungan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intraperitoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak
ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktifitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairang dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk
diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. (Padila, 2012).
PATHWAY
Masuk saluran
cerna Keluarnya enzim Porte de entre
Masuk kae ginjal pancreas, asam benda asing,
lambung, bakteri
Peradangan empedu
saluran cerna Perdangan ginjal
Masuk ke rongga
peritoneum
PERITONITIS
Perlekatan
fibrosa nyeri hipertermi
Absorpsi
menurun
Obstruksi usus
Diare
Refluk makan ke
atas Kekurangan
volume cairan
dan elektrolit
Mual, muntah,
anoreksia
Intake inadekuat
A. Pengertian
Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk menyatakan
batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai dasar
untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan sendi abnormal (HELMI, 2012).
Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of Motion) adalah
jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi, di salah satu dari
tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal
Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of Motion dibagi menjadi
dua jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif. (Suratun,Heryati,Manurung, &
Raenah, 2008
Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
Tujuan ROM adalah : (1). Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, (2).
Memelihara mobilitas persendian, (3) Merangsang sirkulasi darah, (4). Mencegah
kelainan bentuk. (Potter dan Perry (2006).
B. Klasifikasi ROM
Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom sebagai
berikut:
1. ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami
kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun
sendi dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga klien
memerlukan bantuan perawat atau keluarga.
2. ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa
bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif
adalah semua pasien yang dirawat dan mampu melakukan
3. ROM sendii dan kooperatif.
a. Tujuan ROM
Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai berikut:
1) Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas
yang sakit.
2) Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.
3) Mencegah komplikasi vaskular akibat iobilitas
4) Memudahkan kenyamanan.
Sedangkan tujuan ltihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun,
Heryati, Manurung, & Raenah (2008).
1) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
2) Memelihara mobilitas persendian.
3) Merangsang sirkulsi darah.
4) Mencegh kelainan bentuk.
(Asmadi, 2008)
Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi lengan dan beri
tahanan.
Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi lengan, lalu beri
tahanan.
Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
2) Pemeriksaan kekuatan otot siku.
Caranya:
Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri tahanan.
Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku, lalu beri
tahanan.
Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
3) Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.
Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan telapak tangan
menghadap keatas.
Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan dengan
melawan tahanan.
Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
4) Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari
tangan
Caranya: