Anda di halaman 1dari 26

BAB II

TINJAUAN TEORI

2.1 Konsep Dasar Penyakit Peritonitis


2.1.1 Definisi Peritonitis
Peritonitis adalah peradangan peritoneum yang merupakan komplikasi
berbahaya akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (apendiksitis,
pankreatitis, dan lain-lain) rupture saluran cerna dan luka tembus abdomen.
(Padila, 2012).
Peritonitis adalah inflamasi peritoneum dan mungkin disebabkan oleh
bakteri (misalnya dari perforasi usus) atau akibat pelepasan iritan kimiawi,
misalnya empedu, asam lambung, atau enzim pancreas. (Brooker, 2009).
Peritonitis adalah suatu keadaan yang mengancam jiwa yang sering bersamaan
dengan kondisi bacteremia dan sindroma sepsis. (Dahlan.M, 2010).
Yang artinya peritonitis adalah peradangan pada peritoneum, yaitu pada
selaput tipis yang membatasi dinding perut bagian dalam dan organ-organ
perut. Peradangan ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri atau jamur.
Jika tidak ditangani, infeksi pada peritonitis dapat menyebar ke seluruh tubuh.

2.2.2 Etiologi
1. Infeksi bakteri
1) Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal.
2) Appendistis yang meradang dan perforasi.
3) Tukak peptik.
4) Tukak thypoid.
5) Tukak disentri amuba / colitis.
6) Tukak pada tumor.
7) Salpingitis.
8) Divertikulitis.
2. Secara langsung dari luar
1) Operasi tidak steril
2) Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitis yang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa
serta merupakan peritonitis lokal.
3) Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau
pneumokokus.
4) Infeksi pada abdomen dikelompokkan menjadi peritonitis infeksi
(umum) dan abses abdomen. Penyebab peritonitis adalah spontaneous
bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit hati yang kronik. SBP
terjadi bukan karena infeksi intra abdomen, tetapi biasanya terjadi
pada pasien yang asites terjadi kontaminasi hingga ke rongga
peritoneal sehingga menjadi translokasi bakteri mneuju dinding perut
atau pembuluh limfe mesenterium, kadang terjadi penyebaran
hematogen jika terjadi bakterimia dan penyebab penyakit hati kronik.
Semakin rendah kadar protein cairan asites semakin tinggi resiiko
terjadinya peritonitis dan abses, ini terjadi karena ikatan opsonisasi
yang rendah antar molekul. Komponen asites pathogen yang sering
menyebabkan infeksi adalah bakteri gram negative E.coli 40%,
klebsiella pneumonia 7%, spesies pseudomonas, proteus dan gram
lainnya 20% dan abkteri positif yaitu strepkokus 3%. Selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri.

2.2.3 Tanda gejala Peritonitis/ manifestasi klinis


Tanda gejala yang sering muncul pada pasien peritonitis adalah :
a. Distensi abdomen
b. Rigiditas abdomen
c. Nyeri tekan pada abdomen
d. Bising usus menurun bahkan hilang
e. Demam
f. Mual bahkan muntah
g. Takikaridia
h. Takipnea

3 Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi dari peritonitis adalah : gangguan
keseimbangan cairan dan elektrolit, sesak napas akibat desakan distensi
abdomen ke paru, pembentukan luka dan pembentukan abses. (Haryono,
2012).

4 Penatalaksanaan
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang hilang
yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya, bila
mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan menghilangkan
nyeri.
a. Konservatif
Indikasi terapi konservatif, antara lain:
- Infeksi terlokalisisr, mis: massa appendiks
- Penyebab peritonitis tidak memerlukan pembedahan (pankreatitis akut)
- Penderita tidak cukup baik untuk dilakukan general anestesi; pada
orang tua dan komorbid
- Fasilitas tidak memungkinkan dilakukannya terapi pembedahan.

Terapi konservatif meliputi:


- Cairan intravena
Pada peritonitis  terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga peritoneum,
jumlah cairan ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika
ditemukan toksisitas sistemik atau pada penderita dengan usia tua dan
keadaan umum yang buruk, CVP (central venous pressure) dan kateter
perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran berat
badan serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan
yang dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan
cepat untuk mengoreksi hipovolemia mengembalikan tekanan darah
dan urin output yang memuaskan.
- Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis bakteri
dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan
antibiotika didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi
penyebab. Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan
drainase bedah. Harus tersedia dosis yang cukup pada saat
pembedahan, karena bakteremia akan berkembang selama operasi.
- Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat
dimonitor dengan pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
- Pemasangan NGT
Akan mengurangi muntah dan mengurangi resiko terjadinya
pneumonia aspirasi
- Nutrisi Parenteral
- Pemberian analgetik, biasanya golongan opiat (i.v.) dan juga anti
muntah.

b. Definitif / Pembedahan
1) Tindakan Preoperatif 
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain :
- Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
- Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
- Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
- Pemberian terapi cairan melalui I.V
- Pemberian antibiotic
2) Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
- Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi.
Tipe dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar
penyakit dan keparahan infeksinya.
- Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning, kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian
dilakukan untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang
nekrosis
- Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
- Irigasi kontinyu pasca operasi

c. Laparotomi
Pembuangan fokus septik atau penyebab radang lain dilakukan
dengan operasi laparotomi. Insisi yang dipilih adalah insisi vertikal digaris
tengah yang menghasilkan jalan masuk ke seluruh abdomen dan mudah
dibuka serta ditutup. Jika peritonitis terlokalisasi, insisi ditujukan diatas
tempat inflamasi. Tehnik operasi yang digunakan untuk mengendalikan
kontaminasi tergantung pada lokasi dan sifat patologis dari saluran
gastrointestinal. Pada umumnya, kontaminasi peritoneum yang terus
menerus dapat dicegah dengan menutup, mengeksklusi, atau mereseksi
viskus yang perforasi. Pemberian antibiotik diteruskan samapai dengan 5
hari post operasi terutama pada peritonitis generalisata.
d. Laparoskopi
Laparoskopi terbukti efektif dalam manajemen appendisitis akut dan
perforasi ulkus duodenal. Dan dapat juga dilakukan pada kasus perforasi
kolon, tetapi lebih sering dilakukan laparotomi. Kontraindikasi pada
penderita dengan syok dan ileus
e. Lavase peritoneum dan Drainase
Lavase peritoneum dilakukan pada peritonitis yang difus, yaitu
dengan menggunakan larutan kristaloid (saline). Pemberian antiseptik
maupun antibiotik (tetrasiklin, povidone iodine) tidak dianjurkan karena
akan menyebabkan terjadinya adesi. Antibioyik diberikan secara parenteral
akan mencapai level bakterisidal dalam cairan peritoneum.  Setelah lavase
selsai dilakukan dilakukan aspirasi seluruh cairan dalam rongga abdomen
karena akan menghambat mekanisme defens lokal. Bila peritonitisnya
terlokalisasi, sebaiknya tidak dilakukan lavase peritoneum, karena
tindakan ini akan dapat menyebabkan bakteria menyebar ketempat lain.
Drainase (pengaliran) pada peritonitis umum tidak dianjurkan, karena
pipa drain itu dengan segera akan terisolasi/terpisah dari cavum
peritoneum, dan dapat menjadi tempat masuk bagi kontaminan eksogen.
Drainase berguna pada keadaan dimana terjadi kontaminasi yang terus-
menerus (misal fistula) dan diindikasikan untuk peritonitis terlokalisasi
yang tidak dapat direseksi.
f. Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah.
Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung
pada tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila
sudah flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada
distensi abdomen.

5 Patofisiologi
Peritonitis disebabkan oleh kebocoran isi rongga abdomen kedalam
rongga abdomen, biasanya diakibatkan dari inflamasi, infeksi, iskemia, trauma
atau perforasi tumor. (Dahlan, 2004). Awalnya mikroorganisme masuk
kedalam rongga abdomen adalah steril tetapi dalam beberapa jam terjadi
kontaminasi bakteri. Akibatnya timbul edema jaringan dan pertahanan
eksudat. Cairan dalam rongga abdomen menjadi keruh dengan bertambahnya
sejumlah protein, sel-sel darah putih, sel-sel yang rusak dan darah. Respon
yang segera dari saluran intestinal adalah hipermotilitas, di ikuti oleh ileus
paralitik dengan penimbunan udara dan cairan didalam usus besar.
Timbulnya peritonitis peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena
kapiler dan membrane mengalami kebocoran. Jika deficit cairan tidak
dikoreksi secara cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel.
Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai
respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya
dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk Bungan juga ikut
menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga
peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intraperitoneal
dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal menyebabkan
hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak
ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus,
lebih lanjut meningkatkan tekanan intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi. Bila bahan yang
menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila infeksi
menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktifitas peristaltic berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairang dan elektrolit hilang kedalam
lumen usus, mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria.
Perlekatan dapat terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan
dapat mengganggu pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi
usus.
Peritonitis adalah komplikasi berbahaya yang sering terjadi akibat
penyebaran infeksi. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk
diantara perlekatan fibrinosa yang menempel menjadi satu dengan permukaan
sekitarnya sehingga membatasi infeksi. (Padila, 2012).
PATHWAY

Bakteri Streptokok. Cedera perforasi Benda asing,


Stapilokok saluran cerna dialysis, tumor
eksternal

Masuk saluran
cerna Keluarnya enzim Porte de entre
Masuk kae ginjal pancreas, asam benda asing,
lambung, bakteri
Peradangan empedu
saluran cerna Perdangan ginjal

Masuk ke rongga
peritoneum

PERITONITIS

Fase Merangsang Merangsang Perangsangan


penyembuhan aktivitas pusat nyeri di pirogen di
parasimpatik talamus hipotalamus

Perlekatan
fibrosa nyeri hipertermi
Absorpsi
menurun
Obstruksi usus
Diare

Refluk makan ke
atas Kekurangan
volume cairan
dan elektrolit
Mual, muntah,
anoreksia

Intake inadekuat

Perubahan nutrisi kurang


dari kebutuhan
6 Pemeriksaan Penunjang
a. Pemeriksaan Laboratorium
1) Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya leukosittosis
2) Cairan peritoneal
3) Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih
b. Pemeriksaan Radiologi
1) Foto polos abdomen memperlihatkan distensi disertai edema dan
pembentukan gas dalam usus
2) USG
3) Foto rontgen abdomen memperlihatkan distensi disertai edema dan
pembentukan gas dalam usus halus dan usus besar atau pada kasus
perforasi organ visceral. Foto tersebut menunjukan udara bebas
dibawah diafragma
4) Foto rontgen toraks dapat memperlihatkan diafragma.

2.2 Konsep Dasar Asuhan Keperawatan Pada Pasien Peritonitis


2.2.1 Pengkajian
a. Riwayat keperawatan
Seseorang dengan peritonitis kebanyakan mempunyai riwayat seperti
rupture saluran cerna, komplikasi post operasi, operasi yang tidak steril
dan akibat pembedahan, trauma pada kecelakaan seperti limpa dan rupture
hati.
b. Pemeriksaan fisik : data focus
1) Pemeriksaan fisik
Kesadaran fisik yang dilakukan pada klien peritonitis :
- Kesadaran dan keadaan umum klien
Keadaan umum ini dapat meliputi kesan keadaan sakit termasuk
ekspresi wajah dan posisi pasien, kesadaran yang dapat meliputi
penilaian secara kualitas seperti kompos mentis, apatis, somnolen.
Spoor, koma dan delirium, dan status gizinya, GCS (Glasow Coma
Skala).
- Pola persepsi kesehatan atau manajemen kesehatan
Mengambarkan persepsi klien terhadap keluhan yang dialami klien,
dan tindakan yang dilakukan sebelum masuk rumah sakit. Pada
klien dengan peritonitis mengeluh nyeri berat dibagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang dan umumnya telah
dilakukan tindakan dengan obat anti nyeri.
-  Pola nutrisi-metabolik
Mengambarkan asupan nutrisi, cairan dan elektrolit, kondisi kulit
dan rambut, nafsu makan, diet khusus/suplemen yang dikonsumsi,
instruksi diet sebelumnya, jumlah makan atau minum serta cairan
yang masuk, ada tidaknya mual, muntah, kekeringan, kebutuhan
jumlah zat gizinya, dan lain-lain. Pada pasien peritonitis klien akan
mengalami mual. Vomit dapat muncul akibat proses patologis
organ visceral (seperti obstruksi) atau secara sekunder akibat iritasi
peritoneal, selain itu terjadi distensi abdomen, bising usus
menurun, dan gerakan peristaltic usus turun (<12x/menit). Diet
yang diberikan berupa makanan cair seperti bubur saring dan di
berikan melalui NGT.
- Pola Eliminasi
Pada pola eliminasi menggambarkan eliminasi pengeluaran system
pencernaan, perkemihan, integument dan pernapasan. Pada klien
dengan peritonitis terjadi penurunan produksi urin,
ketidakmampuan defekasi, turgor kulit menurun akibat kekurangan
volume cairan, takipnea.
- Pola Kognitif Perseptual
Menggambarkan kemampuan proses berpikir klien, memori,
tingkat kesadaran, dan kemampuan mendengar, melihat,
merasakan, meraba dan mencium, serta sensori nyeri. Pada klien
dengan peritonitis tidak mengalami gangguan pada otak namun
hanya mengalami penurunan kesadaran, adanya nyeri tekan pada
abdomen.
- Pola Aktifitas / Latihan
Menggambarkan tingkat kemampuan aktivitas dan latihan, selain
itu, fungsi respirasi dan fungsi sirkulasi. Pada klien dengan
peritonitis mengalami letih, sulit berjalan. Kemampuan pergerakan
sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan. Pola nafas
ireguler (RR >20x/menit), klien mengalami takikardi, akral :
dingin, basah dan pucat.
- Pola Istirahat dan Tidur
Pola istirahat tidur menggambarkan kemampuan pasien
mempertahankan waktu istirahat tidur serta kesulitan yang dialami
saat istirahat tidur. Pada klien dengan peritonitis didapati
mengalami kesulitan tidur karena nyeri.
- Pola Nilai dan Kepercayaan
Pola nilai dan kepercayaan menggambarkan pantangan dalam
agama selama sakit serta kebutuhan adanya kerohanian dan lain-
lain. Pengaruh latar belakang social, factor budaya, larangan agama
mempengaruhi sikap tentang penyakit yang sedang dialaminya.
Adakah gangguan dalam pelaksanaan ibadah sehari-hari
- Pola peran dan hubungan interpersonal
Pola peran dan hubungan menggambarkan status pekerjaan,
kemampuan bekerja, hubungan dengan klien atau keluarga, dan
gangguan terhadap peran yang dilakukan. Adanya kondisi
kesehatan mempengaruhi terhadap hubungan interpersonal dan
mengalami hambatan dalam menjalankan perannya selama sakit.
-  Pola persepsi atau konsep diri
Pola persepsi menggambarkan tentang dirinya dari masalah-
masalah yang ada seperti perasaan kecemasan, kekuatan atau
penilaian terhadap diri mulai dari peran, ideal diri, konsep diri,
gambaran diri, dan indentitas tentang dirinya. Pada klien dengan
peritonitis terjadi perubahan emosional
- Pola koping / toleransi stress
Pola koping / toleransi stress menggambarkan kemampuan untuk
menangani stress dan penggunaan system pendukung. Pada klien
dengan peritonitis di dapati tingkat kecemasan pada tingkat berat
- Pola reproduksi dan seksual
Pola reproduksi dan seksual menggambarkan periode menstruasi
terakhir, masalah menstruasi, masalah pap smear, pemeriksaan
payudara/testis sendiri tiap bulan, dan masalah seksual yang
berhubungan dengan penaykit.
Pada pola ini, pada wanita berhubungan dengan kehamilan, jumlah
anak, menstruasi, pernah terjangkit penyakit menular sehingga
menghindari aktifitas seksual. Pada pasien yang telah atau sudah
menikah terjadi perubahan

2.2.2 Diagnosa Keperawatan


a. Nyeri Akut b.d agen pencedera fisiologis (mis. inflamasi, iskemia,
neoplasma) d.d pasien mengeluh nyeri, pasien tampak meringis, gelisah,
sulit tidur, nadi meningkat.
b. Resiko infeksi berhubungan dengan trauma jaringan
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan ketidakmampuan makan, kurang asupan makanan d.d penurunan
berta badan dengan asupan makanan adekuat.
d. Kekurangan volume cairan berhubungan dengan kehilangan volume cairan
aktif d.d haus, kelemahan, kulit kering, membran mukosa kering,
penurunan haluaran urine.
e. Pola nafas tidak efektif b.d penurunan kedalaman pernafasan sekunder
distensi abdomen dan menghindari nyeri.
2.2.3 Rencana Keperawatan
No Tujuan Intrvensi Rasional
Dx
1 Setelah dilakukan 1. Kaji keluhan nyeri, 1. Mengindikasikan
asuhan keperawatan perhatikan lokasi, kebutuhan untuk
…x 24 jam intensitas, intervensi dan juga
diharapkan nyeri frekuensi, dan tanda-tanda
pasien dapat waktu. Menandai perkembangan/resol
berkurang/hilang gejala nonverbal asi komplikasi.
dengan kriteria hasil misalnya gelisah, Catatan : sakit yang
sbb: takikardia, dan kronis tidak
1. Pasien mampu meringis. menimbulkan
mengontrol nyeri. 2. Monitor vital sign perubahan
2. Melaporkan nyeri (suhu, nadi, autonomik.
berkurang dengan respirasi dan 2. Kondisi umum
menggunakan tekanan darah) seperti vital sign
manajemen nyeri. 3. Dorong akan menunjukkan
3. Mampu pengungkapan karakteristik nyeri
mengenali nyeri perasaan. yang dialami pasien.
(skala, intensitas, 4. Berikan aktivitas 3. Dapat mengurangi
frekuensi dan hiburan, mis : ansietas dan rasa
tanda-tanda membaca, takut, sehingga
nyeri). berkunjung, dll. mengurangi persepsi
4. Menyatakan rasa 5. Lakukan tindakan akan intansitas rasa
nyaman setelah paliatif, mis : sakit.
nyeri berkurang. pengubahan posisi, 4. Memfokuskan
massase, rentang kembali perhatian:
gerak pada sendi mungkin dapat
yang sakit. meningkatkan
6. Instruksikan kemampuan untuk
pasien/dorong menanggulangi.
untuk 5. Meningkatkan
menggunakan relaksasi/menurunka
visualisasi/ n tegangan otot.
bimbingan 6. Meningkatkan
imajinasi, relaksasi relaksasi dan
progresif, teknik perasaan sehat.
napas dalam. Dapat menurunkan
7. Kolaborasi : kebutuhan narkoti
berikan analgesik dimana
analgesik/antipireti telah terjadi proses
k, analgesik degenerative
narkotik. Gunakan neuro/motor.
ADP (analgesik Mungkin tidak
yang dikontrol berhasil jika muncul
pasien) untuk dimensia, meskipun
memberikan minor.
analgesia 24 jam 7. Kolaborasi :
dengan dosis pre memberikan
ro netra. penurunan
nyeri/tidak nyaman:
mengurangi demam.
Obat yang dikontrol
pasien atau
berdasarkan waktu
24 jam
mempertahankan
kadar analgesia
darah tetap stabil,
mencegah
kekurangan ataupun
kelebihan obat-
obatan.
2 Setelah dilakukan 1. Pantau suhu 1. Mendeteksi
asuhan keperawatan dengan teliti dan kemungkinan infeksi
…x 24 jam tanda-tanda infeksi
diharapkan tidak ada lainnya 2. Meminimalkan
tanda-tanda infeksi 2. Cuci tangan pajanan pada
dengan kriteria hasil sebelum dan organisme infektif
sbb: sesudah seluruh 3. Untuk mencegah
1. Klien bebas dari kontak perawatan kontaminasi
tanda dan gejala diakukan. silang/menurunkan
infeksi Instrusikan resiko infeksi
2. Menunjukkan pasien/orang 4. meminimalkan
kemampuan terdekat untuk terpaparnya pasien
untuk mencegah mencuci tangan dari sumber infeksi
terjadinya infeksi sesuai indikasi. 5. mencegah terjadinya
3. Julmah leukosit 3. Gunakan teknik infeksi

dalam batas aseptik yang


normal cermat untuk
4. Menunjukkan semua prosedur
perilaku hidup invasive
sehat 4.Tempatkan pasien
dalam ruangan
khusus
Kolaborasi:
5. Kolaborasi dalam
pemberian antibiotic

3 Setelah diberikan 1. Kaji ABCD 1. Mengetahui nutrisi


asuhan keperawatan 2. Timbang berat pasien
selama …x 24 jam badan setiap hari 2. Mengkaji pemasukan
diharapkan kebutuhan atau sesuai makanan yang
nutrisi pasien indikasi adekuat (termasuk
terpenuhi dengan 3. Berikan makanan absorbsi dan
criteria hasil sbb: cair yang utilisasinya) dan
1. Adanya mengandung zat mengethaui berat
peningkatan berat nutrien dan badan pasien.
badan sesuai elektrolit dengan 3. Pemberian makanan
tujuan. segera jika pasien melalui oral lebih
2. Berat badan ideal sudah dapat baik jika pasien sadar
sesuai dengan mentolirnya dan fungsi GI tract
tinggi badan. melalui pemberian baik
3. Mampu cairan melalui oral 4. Porsi lebih sedikit
mengidentifikasi 4. Berikan makanan dapat meningkatkan
kebutuhan nutrisi. sedikit tapi sering masukan makanan
4. Tidak ada tanda- 5. Ajarkan pasien 5. Untuk memudahkan
tanda malnutrisi. bagaimana pasien dalam
5. Menunjukkan membuat catatan mencukupi
peningkatan fungsi makanan harian kebutuhan nutrisinya
pengecapan dari 6. Berikan informasi 6. Informasi tentang
menelan. tentang kebutuhan nutrisi snagat penting
6. Tidak terjadinya nutrisi untuk mencegah
penurunan berat 7. Lakukan terjadinya malnutrisi
badan yang berarti. konsultasi dengan 7. Sangat bermanfaat
ahli gizi dalam perhitungan
dan penyesuaian diet
untuk memenuhi
kebutuhan pasien.
4 Setelah dilakukan 1. Pantau tanda 1. Membantu dalam
asuhan keperawatan vital, catat adanya evaluasi derajat
…x 24 jam hipotensi defisit
diharapkan kebutuhan (termasuk cairan/keefektifan
cairan pasien perubahan penggantian terapi
terpenuhi dengan postural), cairan dan respons
kriteria hasil : takikardia, terhadap
1. Haluaran urine takipnea, demam. pengobatan.
adekuat dengan Ukur CVP bila 2. Menunjukkan
berat jenis normal, ada. status hidrasi
2. Tanda vital stabil 2. Pertahankan keseluruhan.
3. Membran mukosa intake dan output 3. Untuk mencukupi
lembab yang adekuat lalu kebutuhan cairan
4. Turgor kulit baik hubungkan dengan dalam tubuh
5. Pengisian kapiler berat badan harian. (homeostatis).
meningkat 3. Rehidrasi/ 4. Menunjukkan
6. Berat badan dalam resusitasi cairan status hidrasi dan
rentang normal. 4. Ukur berat perubahan pada
jenis urine fungsi ginjal.
5. Hipovolemia,
5. Observasi
perpindahan cairan,
kulit/membran
dan kekurangan
mukosa untuk
nutrisi
kekeringan, turgor,
mempeburuk
catat edema
turgor kulit,
perifer/sacral.
menambah edema
6. Hilangkan tanda
jarinagan.
bahaya/bau dari
6. Menurunkan
lingkungan. Batasi
rangsangan pada 
pemasukan es batu.
gaster dan respons
7. Rubah posisi
muntah. 
dengan sering
7. Jaringan edema
berikan perawatan
dan adanya
kulit dengan
gangguan sirkulasi
sering, dan
cenderung merusak
pertahankan
kulit
tempat tidur kering
dan bebas lipatan.
5 Setelah dilakukan 1. Pantau hasil 1. Indikator
asuhan keperawatan analisa gas darah hipoksemia;
…x 24 jam dan indikator hipotensi,
diharapkan pola nafas hipoksemia: takikardi,
efektif, ditandai bunyi hipotensi, hiperventilasi,
nafas normal, tekanan takikardi, gelisah, depresi
O2 dan saturasi hiperventilasi, SSP, dan sianosis
O2 normal. dengan gelisah, depresi penting untuk
kriteria hasil sbb: SSP, dan sianosis. mengetahui
1. Pernapasan tetap 2. Auskultasi paru adanya syok
dalam batas untuk mengkaji akibat inflamasi
normal ventilasi dan (peradangan).
2. Pernapasan tidak mendeteksi 2. Gangguan pada
sulit komplikasi paru (suara nafas
3. Istirahat dan tidur pulmoner. tambahan) lebih
dengan tenang 3. Pertahankan pasien mudah dideteksi
4. Tidak pada posisi dengan
menggunakan semifowler auskultasi.
otot bantu napas 4. Berikan O2 sesuai 3. Posisi membantu
program memaksimalkan
ekspansi paru
dan menurunkan
upaya
pernafasan,
ventilasi
maksimal
membuka area
atelektasis dan
meningkatkan
gerakan sekret
kedalam jalan
nafas besar untuk
dikeluarkan.
4. Oksigen
membantu untuk
bernafas secara
optimal

2.3 Konsep Range of Motion (ROM)

A. Pengertian
Range Of Motion (ROM), merupakan istilah baku untuk menyatakan
batas/besarnya gerakan sendi baik normal. ROM juga di gunakan sebagai dasar
untuk menetapkan adanya kelainan batas gerakan sendi abnormal (HELMI, 2012).
Menurut (potter, 2010) Rentang gerak atau (Range Of Motion) adalah
jumlah pergerakan maksimum yang dapat di lakukan pada sendi, di salah satu dari
tiga bdang yaitu: sagital, frontal, atau transversal
Range Of Motion (ROM), adalah gerakan yang dalam keadaan normal
dapat dilakukan oleh sendi yang bersangkutan. Range Of Motion dibagi menjadi
dua jenis yaitu ROM aktif dan ROM pasif. (Suratun,Heryati,Manurung, &
Raenah, 2008
Range of motion adalah latihan gerakan sendi yang memungkinkan
terjadinya kontraksi dan pergerakan otot, di mana klien menggerakan masing-
masing persendiannya sesuai gerakan normal baik secara aktif ataupun pasif.
Tujuan ROM adalah : (1). Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot, (2).
Memelihara mobilitas persendian, (3) Merangsang sirkulasi darah, (4). Mencegah
kelainan bentuk. (Potter dan Perry (2006).

B. Klasifikasi ROM
Menurut (Suratun,Heryati,Manurung, & Raenah, 2008) klasifikasi rom sebagai
berikut:
1. ROM aktif adalah latihan yang di berikan kepada klien yang mengalami
kelemahan otot lengan maupun otot kaki berupa latihan pada tulang maupun
sendi dimana klien tidak dapat melakukannya sendiri, sehingga klien
memerlukan bantuan perawat atau keluarga.
2. ROM pasif adalah latihan ROM yang dilakukan sendiri oleh pasien tanpa
bantuan perawat dari setiap gerakan yang dilakukan. Indikasi ROM aktif
adalah semua pasien yang dirawat dan mampu melakukan
3. ROM sendii dan kooperatif.
a. Tujuan ROM
Menurut Johnson (2005), Tujuan range of motion (ROM) sebagai berikut:
1) Mempertahankan tingkat fungsi yang ada dan mobilitas ekstermitas
yang sakit.
2) Mencegah kontraktur dan pemendekan struktur muskuloskeletal.
3) Mencegah komplikasi vaskular akibat iobilitas
4) Memudahkan kenyamanan.
Sedangkan tujuan ltihan Range Of Motion (ROM) menurut Suratun,
Heryati, Manurung, & Raenah (2008).
1) Mempertahankan atau memelihara kekuatan otot.
2) Memelihara mobilitas persendian.
3) Merangsang sirkulsi darah.
4) Mencegh kelainan bentuk.

C. PRINSIP DASAR ROM


Prinsip dasar latihan range of motion (ROM) menurut Suratun, Heryati,
Manurung, & Raenah (2008) yaitu:
1. ROM harus di ulangi sekitar 8 kali dan di kerjakan minimal 2kali
sehari
2. ROM dilakukan perlahan dan hati-hati sehinga tidak melelahkan
pasien.
3. Dalam merencanakan program latihan range of motion (ROM) ,
Memperhatikan umur pasien, diagnosis, tanda vital, dan lamanya tirah
baring.
4. ROM sering di programkan oleh dokter dan di kerjakan oleh ahli
fisioterapi
5. Bagian-bagian tubuh yang dapat dilakukan ROM adalah leher, jari,
lengan, siku, bahu, tumit, atau pergelangan kaki
6. Rom dapat dilakukan pada semua persendian yang di curigai
mengurangi proses penyakit.
7. Melakukan ROM hrus sesuai waktunya, misalnya setelah mandi atau
perawatan rutin telah dilakukan.

D. GERAKAN PADA ROM


Rom aktif Merupakan latian gerak isotonik ( Terjadi kontraksi dan
pergerakan otot )yang dilakukan klien dengan menggerakan masing-
masing persendiannya sesuai dengan rentang geraknya yang normal.
(Kusyati Eni, 2006).
Rom pasif merupakan latihan pergerakan perawat atau petugas lain
yang menggerakkan persendian klien sesuai dengan rentang geraknya.
(Kusyati Eni, 2006).
Prosedur pelaksanaan :
Gerakan pinggul dan panggul
1. Fleksi dan ekstensi lutut dan pinggul
a. Angkat kaki dan bengkokkan lutut
b. Gerakkan lutut ke atas menuju dada sejauh mungkin
c. Kembalikan lutut ke bawah, tegakkan lutut, rendahkan kaki sampai
pada kasur.
2. Abduksi dan adduksi kaki
a. Gerakkan kaki ke samping menjauh klien
b. Kembalikan melintas di atas kaki yang lainnya
3. Rotasikan pinggul internal dan eksternal
a. Putar kaki ke dalam, kemudian ke luar Gerakkan telapak kaki dan
pergelangan kaki
1) Dorsofleksi telapak kaki
 Letakkan satu tangan di bawah tumit
 Tekan kaki klien dengan lengan anda untuk
menggerakkannya ke arah kaki
2) Fleksi plantar telapak kaki
 Letakkan satu tangan pada punggung dan tangan yang7
lainnya berada pada tumit
 Dorong telapak kaki menjauh dari kaki
3) Fleksi dan ekstensi jari-jari kaki
 Letakkan satu tangan pada punggung kaki klien, letakkan
tangan yang lainnya pada pergelangan kaki
 Bengkokkan jari-jari ke bawah
 Kembalikan lagi pada posisi semula
4) Intervensi dan eversi telapak kaki
 Letakkan satu tangan di bawah tumit, dan tangan yang
lainnyadi atas punggung kaki
 Putar telapak kaki ke dalam, kemudian ke luar.

E. KONSEP DASAR KEKUATAN OTOT


Otot merupakan alat gerak aktif, sebagai hasil kerja sama antara otot dan
tulang. Tulang tidak dapat berfungsi sebagai alat gerak jika tidakdigerakan oleh
otot, hal ini karena otot mempunyai kemampuan berkontraksi (memendek / kerja
berat & memanjang / kerja ringan) yang mengakibatkan terjadinya kelelahan otot,
proses kelelahan ini terjadi saat waktu ketahanan otot (jumlah tenaga yang
dikembangkan oleh otot) terlampaui (Waters & Bhattacharya 2009).
Pengertian kekuatan otot adalah kemampuan dari otot baik secara kualitas
maupun kuantitas mengembangkan ketegangan otot untuk melakukan kontraksi
( Waters & Bhattacharya 2009 ).
1. Pengukuran kekuatan otot
Penilaian Kekuatan Otot mempunyai skala ukur yang umumnya dipakai
untuk memeriksa penderita yang mengalami kelumpuhan selain
mendiagnosa status kelumpuhan juga dipakai untuk melihat apakah ada
kemajuan yang diperoleh selama menjalani perawatan atau sebaliknya
apakah terjadi perburukan pada penderita. Penilaian tersebut meliputi :
 Nilai 0: paralisis total atau tidak ditemukan adanya kontraksi pada otot,
 Nilai 1: kontaksi otot yang terjadi hanya berupa perubahan dari tonus
otot, dapat diketahui dengan palpasi dan tidak dapat menggerakan
sendi tidak dapat melawan pengaruh gravitasi.
 Nilai 3: dapat menggerakkan sendi, otot juga dapat melawan pengaruh
gravitasi tetapi tidak kuat terhadap tahanan yang diberikan pemeriksa
 Nilai 4: kekuatan otot seperti pada derajat 3 disertai dengan
kemampuan otot terhadap tahanan yang ringan
 Nilai 5: kekuatan otot normal. (Suratun, dkk, 2008)

Untuk mengetahui kekuatan atau kemampuan otot perlu dilakukan


pemeriksaan derajat kekuatan otot yang di buat ke dalam enam derajat (0-
5).
Derajat ini menunjukan tingkat kemampuan otot yang berbeda- beda.

Derajat 5 Kekuatan otot normal dimana seluruh gerakan dapat


dilakukan otot dengan tahanan maksimal dari proses yang
dilakukan berulang-ulang tanpa menimbulkan kelelahan.

Derajat 4 Dapat melakukan Range Of Motion (ROM) secara penuh dan


dapat melawan tahanan ringan

Derajat 3 Dapat melkukan ROM secara penuh dengan melawan gaya


berat (gravitasi), tetapi tidak dapat melawan tahanan.

Derajat 2 Dengan bantuan atau dengan menyangga sendi dapat


melakukan ROM secara penuh.

Derajat 1 Kontraksi otot minimal terasa/teraba pada otot bersangkutan


tanpa menimbulkan gerakan.

Derajat 0 Tidak ada kontraksi otot sam sekali.

(Asmadi, 2008)

Adapun cara untuk memeriksa kekutan otot dengan menggunakan derajat


kekuatan otot tersebut yaitu sebagai berikut:

1. Pemeriksaan kekuatan otot ekstermitas atas.


1) Pemeriksaan kekuatan otot bahu.
Caranya:

 Minta klien melakukan fleksi pada lengan ekstensi lengan dan beri
tahanan.
 Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi lengan, lalu beri
tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
2) Pemeriksaan kekuatan otot siku.
Caranya:

 Minta klien melakukan gerakan fleksi pada siku dan beri tahanan.
 Lakukan prosedur yang sama untuk gerakan ekstensi siku, lalu beri
tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
3) Pemeriksaan kekuatan otot pergelangan tangan.
 Letakkan lengan bawah klien di atas meja dengan telapak tangan
menghadap keatas.
 Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi telapak tangan dengan
melawan tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
4) Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari
tangan
Caranya:

 Mintalah klien untuk meregangkan jari-jari melawan


tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
b. Pemeriksaan kekuatan otot ekstremitas bawah
a. Pemeriksaan kekuatan otot panggul.
Caranya:
 Atur posisi tidul klien, lebih baik pemeriksaan dilakukan dalam
posisi supine.
 Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi tungkai dengan
melawan tahanan.
 Minta klien untuk melakukan gerakan abduktif dan adduksi
tungkai melawan tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunkan skala 0-5.
b. Pemeriksaan kekuatan otot lutut.
Caranya:

 Minta klien untuk melakukan gerakn fleksi lutut dengan


melawan tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
c. Pemeriksan kekuatan otot tumit.
Caranya:

 Minta klien untuk melakukan gerakan plantarfleksi dan


dorsifleksi dengan melawan tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
 Pemeriksaan kekuatan otot jari-jari kaki.
 Minta klien untuk melakukan gerakan fleksi dan ekstensi jari-
jari kaki dengan melawan tahanan.
 Nilai kekuatan otot dengan menggunakan skala 0-5.
Gambar 1.1. Leaflet ROM

Anda mungkin juga menyukai