Anda di halaman 1dari 16

KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

LAPORAN PENDAHULUAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN


PERITONITIS GENERALISATA DI RUANG IGD
RSUP SANGLAH DENPASAR

OLEH :
PUTU GEDE INDRAYASA
1902621008

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN DAN PROFESI NERS


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2020
BAB I
PENDAHULUAN

1. PENGERTIAN
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada
selaput organ perut (peritonieum). Peritonieum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Lokasi peritonitis bisa terlokalisir atau difuse, riwayat akut atau kronik dan
patogenesis disebabkan oleh infeksi atau aseptik. Peritonitis merupakan
suatu kegawat daruratan yang biasanya disertai dengan bakterecemia atau
sepsis. Akut peritonitis sering menular dan sering dikaitkan dengan perforasi
viskus(secondary peritonitis). Apabila tidak ditemukan sumber infeksi pada
intraabdominal, peritonitis diketagori sebagai primary peritonitis. (Padila,
2012).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi
pada selaput rongga perut (peritoneum). Peritoneum adalah selaput tipis dan
jernih yang membungkus organ perut dan dinding perut sebelah dalam.
Peritonitis adalah peradangan pada peritonium yang merupakan
pembungkus visera dalam rongga perut. Peritonitis adalah suatu respon
inflamasi atau supuratif dari peritoneum yang disebabkan oleh iritasi
kimiawi atau invasi bakteri.

2. ETIOLOGI
a. Infeksi bakteri
1. Mikroorganisme berasal dari penyakit saluran gastrointestinal
2. Appendisitis yang meradang dan perforasi
3. Tukak peptik (lambung / dudenum)
4. Tukan disentri amuba / colitis
5. Tukak pada tumor
6. Salpingitis
7. Divertikulitis
b. Secara langsung dari luar.
1. Operasi yang tidak steril
Terkontaminasi talcum venetum, lycopodium, sulfonamida, terjadi
peritonitisyang disertai pembentukan jaringan granulomatosa sebagai
respon terhadap benda asing, disebut juga peritonitis granulomatosa serta
merupakan peritonitis lokal. Trauma pada kecelakaan seperti rupturs limpa,
ruptur hati melalui tuba fallopius seperti cacing enterobius vermikularis.
Terbentuk pula peritonitis granulomatosa.
c. Secara hematogen sebagai komplikasi beberapa penyakit akut seperti
radang saluran pernapasan bagian atas, otitis media, mastoiditis,
glomerulonepritis. Penyebab utama adalah streptokokus atau pnemokokus.

3. TANDA DAN GEJALA


1. Syok (neurogenik, hipovolemik atau septik) terjadi pada beberpa
penderita peritonitis umum.
2. Demam
3. Distensi abdomen
4. Nyeri tekan abdomen dan rigiditas yang lokal, difus, atrofi umum,
tergantung pada perluasan iritasi peritonitis.
5. Bising usus tak terdengar pada peritonitis umum dapat terjadi pada
daerah yang jauh dari lokasi peritonitisnya.
6. Nausea
7. Vomiting
8. Penurunan peristaltik.

4. PATOFISIOLOGI
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah
keluarnya eksudat fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di
antara perlekatan fibrinosa, yang menempel menjadi satu dengan
permukaan sekitarnya sehingga membatasi infeksi. Perlekatan biasanya
menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap sebagai pita-pita
fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan
membran mengalami kebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara
cepat dan agresif, maka dapat menimbulkan kematian sel. Pelepasan
berbagai mediator, seperti misalnya interleukin, dapat memulai respon
hiperinflamatorius, sehingga membawa ke perkembangan selanjutnya dari
kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk mengkompensasi
dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan juga
ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini
segera gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen
mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah
kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya
kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.
Terjebaknya cairan di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih
lanjut meningkatkan tekana intra abdomen, membuat usaha pernapasan
penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik; usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat
menimbulkan ileus karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka
terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha untuk mengatasi
hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu obstruksi usus yang
tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total atau
parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah
sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren
dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada
rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis.
5. PATHWAY
6. KOMPLIKASI

Komplikasi yang terjadi pada peritonitis ialah inflamasi tidak lokal


dan seluruh rongga abdomen menjadi terkena pada sepsis umum. Sepsis
adalah penyebab umum dari kematian pada peritonitis. Syok dapat
diakibatkan dari septikemia atau hipovolemik. Proses inflamasi dapat
menyebabkan obstruksi usus, yang terutama berhubungan dengan
terjadinya perlekatan usus (Brunner & Suddarth, 2002).
Menurut Corwin (2010) komplikasi yang terjadi pada peritonitis
ialah sepsis dan kegagalan multiorgan.
Dua komplikasi pasca operatif paling umum adalah eviserasi luka
dan pembentukan abses. Luka yang tiba-tiba mengeluarkan drainase
serosanguinosa menunjukan adanya dehisens luka (Brunner & Suddarth,
2002 : 1104).

7. Klasifikasi
Peritonitis Primer merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak
berhubungan dengan abnormalitas organ intra-abdominal dan terjadi secara
spontan dan penyebab utama kasus peritonitis primer ini adalah oleh karena
infeksi bakteri. Peritonitis ini sering ditemukan pada pasien sirosis hepatic
oleh karena stadium akhir dari penyakit hepar yang lebih dikenal sebagai
Spontaneuous Bacterial Peritonitis (Daley, 2013). Rute infeksi dalam
peritonitis primer biasanya tidak jelas, tapi diperkirakan melalui hematogen,
limfogen, dan migrasi transmural melewati dinding usus yang berasal dari
lumen intestinal, atau pada wanita, berasal dari vagina melalui tuba falopi.
Terapinya adalah nonoperatif, menggunakan antibiotik intravena yang tepat.
Angka mortalitas dapat mencapai lebih dari 50% dan kebanyakan kasus
disebabkan oleh karena gagal hepar atau gagal ginjal. (King, 2010).
Peritonitis sekunder terjadi oleh karena masuknya mikroorganisme
ke dalam ronnga peritoneum melaui defek dinding intestinal atau organ
abdomen lain sebagai akibat terjadinya perforasi, inflamasi, iskemia, atau
trauma (tumpul, tajam, atau iatrogenic) pada organ abdomen dan/ atau
dinding organ. Peritonitis sekunder juga dapat terjadi oleh karena
komplikasi pasca operasi (misalnya, kebocoran pada anastomosis usus).
(Veen, 2011) Peritonitis sekunder merupakan peritonitis yang paling sering
ditemukan. Beberapa kondisi yang paling sering menyebabkan peritonitis
sekunder antara lain appendicitis, diverticulitis, kolesistitits, trauma tajam
yang mengenai usus, dan perforasi gaster atau ulkus duodenum.
Peritonitis Tersier Merupakan infeksi yang persisten atau berulang
dari rongga peritoneum setelah dilakukannya terapi peritonitis sekunder.
Peritonitis tersier timbul setidaknya dalam 48 jam setelah pengobatan yang
tampaknya berhasil pada peritonitis. (Lamme, 2012). Peritonitis tersier
merupakan tahap lanjut dalam peritonitis, ketika tanda-tanda klinis
peritonitis dan sistemik dari sepsis (misalnya, demam, takikardia, takipnea,
hipotensi, indeks jantung meningkat, resistensi vaskuler sistemik yang
rendah, leukopenia atau leukositosis, dan kegagalan multiorgan) bertahan
setelah pengobatan untuk peritonitis sekunder dan tidak ditemukannya
organisme atau adanya organiseme dengan virulensi yang rendah.
Peritonitis ini terjadi ketika manajemen source control, terapi antibiotik,
atau imunitas pasien tidak adekuat, sehingga disfungsi organ menetap atau
memburuk. Hal ini dibedakan dari peritonitis primer atau sekunder karena
flora mikroba sangat yang berbeda, hubungannya dengan disfungsi organ,
dan kematian yang signifikan (Mieny & Mennen, 2013).

8. PEMERIKSAAN PENUNJANG
a. Laboratorium
• Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra
abdomen menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan
adanya shift to the left. Namun pada pasien dengan immunocompromised
dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan CMV)
keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leukopenia
• PT, PTT dan INR
• Test fungsi hati jika diindikasikan
• Amilase dan lipase jika adanya dugaan pankreatitis
• Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih
(seperti pyelonephritis, renal stone disease)
• Kultur darah, untuk menentukan jenis kuman dan antobiotik

b. Radiologis
• Foto polos
Foto polos abdomen (tegak/supine, setengah duduk dan lateral
dekubitus) adalah pemeriksaan radiologis utama yang paling sering
dilakukan pada penderita dengan kecurigaan peritonitis. Ditemukannya
gambaran udara bebas sering ditemukan pada perforasi gaster dan
duodenum, tetapi jarang ditemukan pada perforasi kolon dan juga
appendiks. Posisi setengah duduk berguna untuk mengidentifikasi udara
bebas di bawag diafragma (seringkali pada sebelah kanan) yang
merupakan indikasi adanya perforasi organ.

• USG
USG abdomen dapat membantu dalam evaluasi pada kuadran kanan atas
(abses perihepatik, kolesistitis, dll), kuadran kanan bawah dan kelainan
di daerah pelvis. Tetapi kadang pemeriksaan akan terganggu karena
penderita merasa tidak nyaman, adanya distensi abdomen dan gangguan
distribusi gas abdomen.
USG juga dapat mendeteksi peningkatan jumalah cairan peritoneum
(asites), tetapi kemampuan mendeteksi jumlah cairan < 100 ml sangat
terbatas. Area sentral dari rongga abdomen tidak dapat divisualisasikan
dengan baik dengan USG tranabdominal. Pemeriksaan melalui daerah
flank atau punggung bisa meningkatkan ketajaman diagnostik. USG
dapat dijadikan penuntun untuk dilakukannya aspirasi dan penempatan
drain yang termasuk sebagai salah satu diagnosis dan terapi pada
peritonitis.

• CT Scan
Jika diagnosa peritonitis dapat ditegakkan secara klinis, maka CT Scam
tidak lagi diperlukan. CT Scan abdomen dan pelvis lebih sering
digunakan pada kasus intraabdominal abses atau penyakita pada organ
dalam lainnya. Jika memungkinkan, CT Scan dilakukan dengan
menggunakan kontra ntravena. CT Scan dapat mendeteksi cairan dalam
jumlah yang sangat minimal, area inflamasi dan kelainan patologi GIT
lainnya dengan akurasi mendekati 100%. Abses peritoneal dan
pengumpulan cairan bisa dilakukan aspirasi dan drain dengan panduan
CT Scan.
9. PENATALAKSANAAN
Prinsip umum terapi adalah penggantian cairan dan elektrolit yang
hilang yang dilakukan secara intravena, pemberian antibiotika yang sesuai,
dekompresi saluran cerna dengan penghisapan nasogastrik dan intestinal,
pembuangan fokus septik (apendiks, dsb) atau penyebab radang lainnya,
bila mungkin mengalirkan nanah keluar dan tindakan-tindakan
menghilangkan nyeri.

a. Konservatif
Terapi konservatif meliputi:
1. Cairan intravena
Pada peritonitis terjadi pindahnya CIS ke dalam rongga
peritoneum, jumlah cairan ini harus diganti dengan jumlah yan sesuai. Jika
ditemukan toksisitas sistemik atau pada penderita dengan usia tua dan
keadaan umum yang buruk, CVP (central venous pressure) dan kateter
perlu dilakukan, balans cairan harus diperhatikan, pengukuran berat badan
serial diperlukan untuk memonitoring kebutuhan cairan. Cairan yang
dipakai biasanya Ringer Laktat dan harus diinfuskan dengan cepat untuk
mengoreksi hipovolemia mengembalikan tekanan darah dan urin output
yang memuaskan.
2. Antibiotik
Terapi antibiotika harus diberikan sesegera diagnosis peritonitis
bakteri dibuat. Antibiotik berspektrum luas diberikan secara empirik, dan
kemudian diubah jenisnya setelah hasil kultur keluar. Pilihan antibiotika
didasarkan pada organisme mana yang dicurigai menjadi penyebab.
Antibiotika berspektrum luas juga merupakan tambahan drainase bedah.
Harus tersedia dosis yang cukup pada saat pembedahan, karena bakteremia
akan berkembang selama operasi.
3. Oksigenasi
Sangat diperlukan pada penderita dengan syok. Hipoksia dapat
dimonitor dengan pulse oximetry atau dengan pemeriksaan BGA.
b. Definitif / Pembedahan
Tindakan Preoperatif
Apabila pasien memerlukan tindakan pembedahan maka kita harus
mempersiapkan pasien untuk tindakan bedah antara lain :
o Mempuasakan pasien untuk mengistirahatkan saluran cerna.
o Pemasangan NGT untuk dekompresi lambung.
o Pemasangan kateter untuk diagnostic maupun monitoring urin.
o Pemberian terapi cairan melalui I.V
o Pemberian antibiotic

Tindakan Operatif
Terapi bedah pada peritonitis antara lain:
o Kontrol sumber infeksi, dilakukan sesuai dengan sumber infeksi. Tipe
dan luas dari pembedahan tergantung dari proses dasar penyakit dan
keparahan infeksinya.
o Pencucian ronga peritoneum: dilakukan dengan debridement,
suctioning, kain kassa, lavase, irigasi intra operatif. Pencucian dilakukan
untuk menghilangkan pus, darah, dan jaringan yang nekrosis
o Debridemen : mengambil jaringan yang nekrosis, pus dan fibrin
o Irigasi kontinyu pasca operasi

Terapi post-operatif
Tercapainya stabilitas hemodinamik dan perfusi organ yang baik
dalam hal ini perlu diperhatikan pemberian cairan dan suplai darah.
Pemberian antibiotik dilanjutkan 10 – 14 hari post operasi, tergantung pada
tingkat keparahan peritonitis. (LNG) Oral-feeding, diberikan bila sudah
flatus, produk ngt minimal, peristaltic usus pulih, dan tidak ada distensi
abdomen.
KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian:
1. Anamnesa :
a. Identitas pasien :
o Nama
o Jenis kelamin
o Umur
o Pekerjaan
o Suku/bangsa
o Pendidikan
o Tgl MRS
b. Riwayat kesehatan:
o Keluhan utama.
o Riwayat penyakit sekarang.
o Riwayat penyakit dahulu
o Riwayat penyakit keluarga.
o Riwayat psikososial
o Pola kebutuhan hidup sehari-hari :
2. Pemeriksaan Fisik
a. keadaan umum.
b. Pemeriksaan dari:
o B1(breathing)
o B2(blood)
o B3(bren)
o B4(bladder)
o B5(bowel)
o B6(bone)
B. Analisa Data :
NO SYMPTOM ETIOLOGI MASALAH
1. DS : Kompresi jaringan
 keluarga klien
mengatakan nyeri Lambung tertekan
diseluruh perutnya.
DO : Distensi abdomen Nyeri
 k/u somnolent
 T/d : 90/60 mmHg Akumulasi rongga abdomen

 RR : 16x/mnt
Nyeri
 N : 96x/mnt
 Temp : 36,7c
2. DS : Inflamasi
 Sebelumnya klien
mempunyai Peradangan
appendicitis yang
diobati sendiri dengan Penumpukan cairan dalam
antibiotic dari salinan rongga peritoneum
resep dokter 3 bulan
terakhir Kebocoran isi dari organ Hypertermi
DO : - dalam abdomen masuk ke
rongga peritoneum

hypertermi
3. DS : Kontaminasi bakteri
 Pasien sulit buang air
besar Peristaltic
Konstipasi
DO :
 Tubuh pasien lemas Konstipasi
4. DS : Usus mengalami paralisis
 Keluarga mengatakan
klien mengeluh mual, Anorexia, mual, muntah
sering muntah, nafsu Kurang vitamin dan mineral
Nutrisi kurang
makan menurun
dari kebutuhan
DO : Kebutuhan nutrisi tidak
tubuh
 Klien pusing terpenuhi

 Klien kekurangan
vitamin dan mineral Nutrisi kurang dari
kebutuhan tubuh

B. Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut berhubungan dengan agen injuri (biologi, kimia, fisik,
psikologis), kerusakan jaringan, akumulasi cairan dalam rongga abdomen
2. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan
3. Konstipasi berhubungan dengan penurunan peristaltik usus
4. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d
ketidakmampuan untuk memasukkan atau mencerna nutrisi oleh karena
faktor biologis, psikologis atau ekonomi, anoreksia, mual muntah.

C. Intervensi

Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi

1 Nyeri akut NOC : NIC :


b.d agen  Pain Level,  Lakukan pengkajian nyeri secara
injuri  pain control, komprehensif termasuk lokasi,
(biologi,  comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas
kimia, fisik, Setelah dilakukan tindakan dan faktor presipitasi
psikologis), keperawatan selama 3x24  Observasi reaksi nonverbal dari
kerusakan jam nyeri berkurang, dengan ketidaknyamanan
jaringan, kriteria hasil:  Bantu pasien dan keluarga untuk mencari
akumulasi  Mampu mengontrol nyeri dan menemukan dukungan
cairan dalam (tahu penyebab nyeri,
mampu menggunakan
rongga tehnik nonfarmakologi  Kontrol lingkungan yang dapat
abdomen untuk mengurangi nyeri, mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan,
mencari bantuan) pencahayaan dan kebisingan
 Melaporkan bahwa nyeri  Kurangi faktor presipitasi nyeri
berkurang dengan  Kaji tipe dan sumber nyeri untuk
menggunakan manajemen menentukan intervensi
nyeri  Ajarkan tentang teknik non farmakologi:
 Mampu mengenali nyeri napas dala, relaksasi, distraksi, kompres
(skala, intensitas, frekuensi hangat/ dingin
dan tanda nyeri)  Berikan analgetik untuk mengurangi
 Menyatakan rasa nyaman nyeri:
setelah nyeri berkurang  Tingkatkan istirahat
 Tanda vital dalam rentang  Berikan informasi tentang nyeri seperti
normal penyebab nyeri, berapa lama nyeri akan
 Tidak mengalami berkurang dan antisipasi ketidaknyamanan
gangguan tidur dari prosedur
 Monitor vital sign sebelum dan sesudah
pemberian analgesik pertama kali

Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi

2 Hipertermia NOC: NIC :


b.d proses Thermoregulasi  Monitor suhu sesering mungkin
penyakit/infla  Monitor warna dan suhu kulit
masi Setelah dilakukan tindakan  Monitor tekanan darah, nadi dan RR
keperawatan selama 3x24  Monitor penurunan tingkat kesadaran
jam pasien menunjukkan :  Monitor WBC, Hb, dan Hct
Suhu tubuh dalam batas  Monitor intake dan output
normal dengan kreiteria  Berikan anti piretik:
hasil:  Kelola Antibiotik
 Suhu 36 – 36,5 C  Selimuti pasien
 Nadi dan RR dalam  Berikan cairan intravena
rentang normal  Kompres pasien pada lipat paha dan
 Tidak ada perubahan warna aksila
kulit dan tidak ada pusing,  Tingkatkan sirkulasi udara
merasa nyaman  Tingkatkan intake cairan dan nutrisi
 Monitor TD, nadi, suhu, dan RR
 Catat adanya fluktuasi tekanan darah
 Monitor hidrasi seperti turgor kulit,
kelembaban membran mukosa)

Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi
3 Konstipasi NOC: NIC: Constipation/ Impaction Management
berhubungan  Monitor tanda dan gejala konstipasi
 Bowel elimination  Monior bising usus
dengan  Hydration  Monitor feses: frekuensi, konsistensi dan
penurunan Kriteria Hasil : volume
 Konsultasi dengan dokter tentang
peristaltik
penurunan dan peningkatan bising usus
 Mempertahankan
usus  Monitor tanda dan gejala ruptur
bentuk feses lunak
usus/peritonitis
setiap 1-3 hari
 Jelaskan etiologi dan rasionalisasi
 Bebas dari
tindakan terhadap pasien
ketidaknyamanan dan
 Identifikasi faktor penyebab dan
konstipasi kontribusi konstipasi
 Mengidentifikasi  Anjurkan pada pasien untuk makan buah-
indicator untuk buahan dan serat tinggi
mencegah konstipasi  Mobilisasi bertahap
 Evaluasi intake makanan dan minuman
 Dukung intake cairan
 Kolaborasikan pemberian laksatif

Perencanaan
No Diagnosa
Tujuan Intervensi

4 Ketidakseimb NOC:  Kaji adanya alergi makanan


angan nutrisi a. Nutritional status:  Kolaborasi dengan ahli gizi untuk
kurang dari Adequacy of nutrient menentukan jumlah kalori dan nutrisi yang
kebutuhan b. Nutritional Status : food dibutuhkan pasien
tubuh b.d and Fluid Intake  Yakinkan diet yang dimakan mengandung
ketidakmamp c. Weight Control tinggi serat untuk mencegah konstipasi
uan untuk Setelah dilakukan tindakan  Ajarkan pasien bagaimana membuat
memasukkan keperawatan selama 3x24 catatan makanan harian.
atau jam nutrisi kurang teratasi  Monitor adanya penurunan BB dan gula
mencerna dengan indikator: darah
nutrisi oleh  Albumin serum  Monitor lingkungan selama makan
karena faktor  Pre albumin serum  Jadwalkan pengobatan dan tindakan tidak
biologis,  Hematokrit selama jam makan
psikologis  Hemoglobin  Monitor turgor kulit
atau  Total iron binding  Monitor kekeringan, rambut kusam, total
ekonomi. capacity protein, Hb dan kadar Ht
 Jumlah limfosit  Monitor mual dan muntah
 Monitor pucat, kemerahan, dan kekeringan
jaringan konjungtiva
 Monitor intake nuntrisi
 Informasikan pada klien dan keluarga
tentang manfaat nutrisi
 Kolaborasi dengan dokter tentang
kebutuhan suplemen makanan seperti
NGT/ TPN sehingga intake cairan yang
adekuat dapat dipertahankan.
 Atur posisi semi fowler atau fowler tinggi
selama makan
 Kelola pemberan anti emetik
 Anjurkan banyak minum
 Pertahankan terapi IV line
 Catat adanya edema, hiperemik, hipertonik
papila lidah dan cavitas oval

Anda mungkin juga menyukai