Anda di halaman 1dari 24

1

LAPORAN PENDAHULUAN

PERITONITIS

SAMIADI
2302032488

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH LAMONGAN

TAHUN 2022/2023
2

BAB I

KONSEP MEDIS

1.1 DEFINISI
Peritonitis merupakan suatu proses inflamasi pada membran serosa yang
membatasi rongga abdomen dan organ-organ yang terdapat didalamnya dan
merupakan peyakit berbahaya dalam bentuk akut maupun kronis (Melly,
2016). Peritonitis biasanya disebabkan oleh infeksi dari organ abdomen,
perforasi saluran cerna, dan luka tembus abdomen. Peritonitis merupakan
suatu kegawatdaruratan abdomen yang biasanya ditandai dengan adanya
bakteri atau adanya sepsis yang terjadi karena masalah bedah dan non bedah.
Peritonitis akut biasanya sering dikaitkan dengan perfusi viskus (Hidayati dkk,
2018).
Peritonitis adalah peradangan yang disebabkan oleh infeksi pada selaput
organ perut atau peritoneum. Peritonieum adalah selaput tipis dan jernih yang
membungkus organ dan dinding perut bagian dalam. Lokasi terjadinya
peritonitis bisa terlokalisir atau difuse yaitu pada lokasi tertentu di abdomen
atau bisa terjadi di semua area abdomen. Peritonitis bisa ditandai dengan
riwayat nyeri akut atau kronik dan lokasi nyeri pada pasien yang bisa
diakibatkan dari dalam atau luar abdomen. Semua umur bisa terkena penyakit
peritonitis baik anak-anak, remaja, wanita, dan laki-laki hingga lanjut usia.
Peritonitis terbanyak pada anak-anak biasanya adalah perforasi apendiks, pada
orang tua biasanya terjadi komplikasi divertikulitis atau perforasi ulkus
peptikum. Komplikasi peritonitis berupa gangguan pembekuan darah dan
sepsis yang dapat mengakibatkan syok pada penderitanya. Organisme yang
sering menginfeksi adalah organisme yang biasanya hidup di usus besar atau
kolon yaitu eschericia coli. Reaksi awal peritoneum terhadap invasi bakteri
adalah keluarnya eksudat fibrosa dari peritoneum yang kemudian terbentuk
kantong-kantong nanah (abses) antara perlekatan fibrosa yang menempel.
Perlekatan biasanya menghilang apabila infeksi menghilang, tetapi bisa
menetap dan menjadi pita-pita fibrosa yang dapat menyebabkan terjadinya
obstruksi usus (Japanesa dkk, 2016).
3

1.2 ETIOLOGI

Penyebab terjadinya peritonitis adalah bakteri, bakteri ini masuk ke rongga


peritoneum yang mengakibatkan terjadinya peradangan. Peritonitis ini juga
bisa disebabkan oleh kalainan di dalam abdomen berupa inflamasi seperti
perforasi apendisitis, perforasi tukak lambung, perforasi thypoid abnominalis,
ileus obstruktif, dan perdarahan. Menurut (Hidayati, 2018) peritonitis
berdasarkan penyebabnya dibagi menjadi dua yaitu disebabkan dari dalam
tubuh dan dari luar tubuh, yaitu:
a. Dari dalam tubuh
1) Infeksi Bakteri
Peritonitis yang disebabkan oleh infeksi yang menyebar dari saluran
pencernaan seperti adanya bakteri atau jamur seperti eschericia coli
dan stafilokokus
2) Apendisitis
Apendisitis yang meradang dan adanya perforasi yaitu bakteri masuk
ke peritoneum melalui lubang pada saluran pencernaan
3) Pankreatitis
Adanya peradangan pada pankreas yang mengakibatkan infeksi dan
dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri menyebar secara luas
4) Divertikulisis
Infeksi kantong kecil yang menonjol pada saluran pencernaan, hal
tersebut bisa mengakibatkan peritonitis apabila salah satu kantong
pecah ke dalam rongga abdomen
b. Dari luar tubuh
1) Pembedahan Medis
Infeksi dapat muncul dikarenakan lingkungan yang kotor, kurang
terjaganya kebersihan, peralatan yang terkontaminasi, komplikasi dari
operasi pencernaan, dan komplikasi kolonoskopi atau endoskopi
2) Trauma pada kecelakaan
Dapat menyebabkan peritonitis apabila bakteri atau bahan kimia dari
bagian organ tubuh lain memasuki peritoneum.
1.3 KLASIFIKASI
4

Menurut Wyers & Matthews (2016) Klasifikasi peritonitis menurut


penyebabnya dibagi menjadi 3 yaitu primer, sekunder, dan tersier:
1. Peritonitis Primer
Peritonitis primer merupakan infeksi pada peritoneum yang tidak
berhubungan dengan abnormalitas organ dan biasanya terjadi secara
spontan. Peritonitis primer bisa juga disebabkan karena penyebaran infeksi
melalui darah dan kelenjar getah bening di peritoneum. Peritonisis primer
biasanya sering dikaitkan dengan penyakit sirosis hepatis yang biasanya
dikenal dengan spontaneounus bacterial peritonitis (SBP). Pasien sirosis
hepatis yang mengalami asites biasanya akan rentan terhadap infeksi
bakteri, hal ini disebabkan karena mekanisme pertahanan tubuh yang tidak
adekuat. Peritonitis juga bisa disebakan karena penggunaan/pemasangan
kateter peritoneum dimana terdapat akses untuk masuknya benda asing ke
dalam rongga peritoneum yang bisa menyebabkan peritonitis
2. Peritonitis Sekunder
Peritonitis sekunder terjadi disebabkan karena adanya proses inflamasi
pada rongga perinoteum yang bisa disebabkan adanya inflamasi, perforasi,
dan gangren dari struktur intraabdominal. Contoh dari peritonitis sekunder
yang paling sering ditemui adalah perforasi apendisistis, ulkus peptikum,
divertikulisis, dan komplikasi pasca operasi merupakan beberapa
penyebab yang sering ditemui pada peritonitis sekunder. Penyebab lain
terjadinya peritonitis sekunder adalah bocornya darah kedalam rongga
peritoneal yang disebabkan robekan pada kehamilan di tuba fallopi dan
kista
3. Peritonitis Tersier
Peritonitis tersier yaitu peritonitis berulang dari rongga peritoneum setelah
dilakukannya terapi peritonitis sekunder. Peritonitis tersier biasanya timbul
setelah 48 jam pengobatan peritonitis sekunder. Peritonitis ini terjadi
ketika imunitas pasien tidak adekuat sehingga terjadi disfungsi pada organ
abdomen.
1.4 MANIFESTASI
5

Gejala klinis peritonitis yang terutama adalah nyeri abdomen. Nyeri dapat
dirasakan terus-menerus selama beberapa jam, dapat terjadu hanya pada satu
tempat ataupun tersebar di seluruh abdomen. Dan semakin hebat nyeri yang
dirasakan saat penderita/pasien bergerak. Gejala lainnya meliputi (Warsinggih,
2017):
a. Terdapat distensi abdomen yang biasanya ditandai dengan penurunan
bising usus atau bising usus tidak terdengar sama sekali
b. Demam dan menggigil dengan temperatur lebih dari 38 0C, pada kondisi
sepsis berat dapat hipotermia
c. Mual dan muntah yang timbul akibat adanya kelainan patologis organ
visera atau akibat iritasi peritoneum
d. Adanya cairan dalam abdomen, yang dapat mendorong diafragma
mengakibatkan kesulitan bernafas
e. Kehilangan selera makan (nafsu makan menurun)
f. Rigiditas abdomen atau sering disebut ‘perut papan’ terjadi akibat
kontraksi otot dinding abdomen secara volunter sebagai respon/antisipasi
terhadap penekanan pada dinding abdomen ataupun involunter sebagai
respon terhadap iritasi peritoneum
g. Nyeri tekan dan nyeri lepas (+)
h. Takikardi, akibat pelepasan mediator inflamasi
i. Tidak dapat BAB/buang angin
j. Buang air kecil (BAK) sedikit
k. Perasaan haus terus menerus.
1.5 PATOFISIOLOGI
Peritonitis disebabkan dari berbagai penyebab baik infeksius ataupun non-
infeksius yang menyebabkan terjadinya peradangan pada peritoneum viseral
dan parietal. Ketika ada inflamasi respon awal peritoneum terhadap infeksi
adalah adanya vasodilatasim edema pada jaringan, transudasi cairan, dan
masuknya makorofag dan leukosit sebagai tanda inflamasi. Reaksi awal
peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat fibrinosa.
Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
6

infeksi. Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat


menetap sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi
usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalami kebocoran. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa ke
perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh
mencoba untuk mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh
ginjal, produk buangan juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya
meningkatkan curah jantung, tapi ini segera gagal begitu terjadi
hipovolemia.Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding
abdomen mengalami oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh
darah kapiler organ-organ tersebut meninggi. Pengumpulan cairan didalam
rongga peritoneum dan lumen-lumen usus serta oedem seluruh organ intra
peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk jaringan retroperitoneal
menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah dengan adanya kenaikan
suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah. Terjebaknya cairan di cavum
peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekanan intra
abdomen, membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan
penurunan perfusi. Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan
peritoneum atau bila infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum.
Dengan perkembangan peritonitis umum, aktivitas peristaltik berkurang
sampai timbul ileus paralitik, usus kemudian menjadi atoni dan meregang.
Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus, mengakibatkan dehidrasi,
syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat terbentuk antara
lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu pulihnya
pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus. Sumbatan yang lama pada
usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus karena adanya gangguan
mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus sebagai usaha
untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana yaitu
obstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat
bersifat total atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya
7

pembuluh darah sehingga terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis
atau ganggren dan akhirnya terjadi perforasi usus dan karena penyebaran
bakteri pada rongga abdomen sehingga dapat terjadi peritonitis (Sembiring
2018).
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang
disebabkan kuman S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari
makan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam
lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan mencapai jaringan limfoid
plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi ditempat ini
komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi ileum
pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri
perut, nyeri tekan, defans muskuler, dan keadaan umum yang merosot karena
toksemia. Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritonium
yang mulai di epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis
generalisata. Perforasi lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan
peritonitis akut. Penderita yang mengalami perforasi ini tampak kesakitan
hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul mendadak terutama dirasakan
di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh asam lambung,
empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh perut
menimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi
bakteria, kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu
menunjukkan rangsangan peritonium berupa mengenceran zat asam garam
yang merangsang, ini akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai
kemudian terjadi peritonitis bakteri. Pada apendisitis biasanya biasanya
disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks oleh hiperplasi folikel limfoid,
fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan neoplasma. Obstruksi tersebut
menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa mengalami bendungan,makin
lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding apendiks
mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem,
diapedesis bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem
8

bertambah kemudian aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding


apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau ganggren dinding apendiks
sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan peritonitis baik
lokal maupun general. Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen
dan trauma tumpul abdomen dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan
sepsis bila mengenai organ yang berongga intra peritonial. Rangsangan
peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari organ berongga tersebut, mulai
dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang berisi feses.
Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat
sedangkan bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala
karena mikroorganisme membutuhkan waktu untuk berkembang biak baru
setelah 24 jam timbul gejala akut abdomen karena perangsang
15

1.6 WOC
Iritan langsung (getah
Komplikasi dari organ Luka atau trauma Pembedahan medis yang
lambung/getah Devertikulosis
intrabdominal penetrasi tidak steril
empedu/getah pancreas)

Peningkatan
Komplikasi dari proses Pelepasan berbagai
Kuman dari luar masuk permeabilitas kapiler Mengaktifkan neutrophil
inflamasi organ-organ indicator kimiawi
ke cavum peritonium dan membrane dan makrofag
intraabdominal (histamine, bradikinin, dan
mengalami
serotonin)
kebocoran
Terjadi inflamasi pada Keluarnya Merangsang
peritonium eksudat fibrosa nosiseptor nyeri Pelepasan zat pirogen
Peumpukan cairan di endogen
rongga peritonium
Aktivitas peristaltic usus Membentuk
Risiko Infeksi Nyeri Akut
menurun abses Merangsang sel
Peningkatan tekanan
endotel hipotalamus
intraabdominal
Defisit Nutrisi Ileus paralitik Terjadi perlekatan
pada fibrosa Memicu pengeluaran
Penurunan ekspansi
Menekan diafragma prostaglandin
Terjadi Usus menjadi meregang paru
penurunan BB

Pola Napas Sesak napas Meningkatkan set Memicu kerja


Absropsi makan point suhu tubuh hipotalamus
Mual dan muntah Tidak Efektif (dyspnea)
terganggu

Suhu tubuh
Hipertermia
meningkat
16

1.7 PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan penunjang pada pasien peritonitis menurut Wyers & Matthews


(2016) adalah:
1. Pemeriksaan Laboratorium
Yaitu untuk mengtahui hasil leukosit dan hematrokit apakah ada
peningkatan atau tidak, apabila ada peningkatan leukosit lebih dari 11.000
sel/ml maka diduga peritonitis
2. Pemeriksaan X-Ray
Pemeriksaan X-ray dilakukan untuk mendapatkan foto abdomen dari 3
posisi yaitu posisi anteriorm, posterior, atau lateral. Pemeriksaan x-ray ini
bertujuan untuk mengetahui keadaan abdomen apakah ada abses atau tidak
di dalam rongga peretoneum
3. CT-Scan Abdomen
CT-Scan dilakukan untuk melihat tempat pastinya terjadi perforasi.
Pemeriksaan CT-Scan akan bisa mendeteksi adanya lesi. Walaupun
sensitivitasnya tinggi, CT-Scan tidak selalu diperlukan berkaitan dengan
biaya yang tinggi dan efek radiasinya. CT-Scan dapat memberi ketepatan
sampai 95%
4. USG
Pemeriksaan USG dapat menggambarkan adanya abses, dilatasi saluran
empedu, dan adanya penumpukan cairan
5. Diagnostic Peritoneal Lavage (DPL)
DPL dilakukan dengan cara memasukkan 1 liter saline normal ke dalam
peritoneal melalui keteter. Cairan keluar akan diperiksa jika mengandung
leukosit lebih dari 500 sel/ml dan kadar enzim amilase atau bilirubin
meningkat maka kemungkinan terjadi peritonitis sekunder
6. Laparoskopi
Pemeriksaan laparaskopi dilakukan untuk menentukan jenis perotonitis
dan penyebab penyakitnya, laparoskopi sangat akurat untuk melihat hasil
peritonitis pada pasien dan bisa diatasi menggunakan laparoskopi.
17

1.8 PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan peritonitis bisa dilakukan dalam dua hal yaitu pre operatif
dan pos operatif. Menurut Japanesa dkk (2016) penatalaksanaan peritonitis
adalah:
1. Penanganan Preoperatif
a) Resusitasi Cairan
Pengembalian volume cairan melalui intravaskular yang diperlukan
untuk menjaga produksi urin tetap baik dan menjaga keseimbangan
status hemodinamik tubuh. Cairan yang diberikan adalah cairan
larutan kristaloid dan koloid, cairan koloid lebih efektif untuk
mengatasi kehilangan cairan akan tetapi cairan koloid harganya lebih
mahal sehingga biasanya tenaga kesehatan medis menggunkan cairan
kristaloid dengan jumlah yang lebih besar
b) Antibiotik
Pemberian antibiotik bertujuan untuk melawan kuman aerob atau
anaerob yang menginfeksi peritoneum. Terapi antibiotik ini biasanya
digunakan sebelum dan setelah pasien dilakukan pembedahan. Banyak
jenis antibiotik yang bisa digunakan secara tunggal atau bisa
dikombinasikan antara lain sefalosporin, betalaktam, metronidazol,
dan aminoglikosida
c) Oksigen dan Ventilator
Pemberian oksigen pada peritonitis biasanya diberikan kepada pasien
peritonitis dengan hipoksemia. Oksigen perlu diberikan dikarenakan
ketika mengalami peritonitis biasanya terjadi peningkatan metabolisme
tubuh akibat adanya infeksi sehingga menimbulkan gangguan ventilasi
pada paru-paru
d) Pemasangan Kateter Urin dan Monitor Hemodinamik
Pemasangan keteter urin digunakan untik mengetahui fungsi dari
kandung kemih dan pengeluaran urin. Memonitor tanda tanda vital
setiap 4 jam sekali
2. Operatif (Pembedahan)
18

Terapi yang dilakukan untuk peritonitis adalah tindakan operasi atau


pembedahan. Operasi ini bertujuan untuk mengontrol sumber dari
kontaminasi peritoneum. Tindakan pembedahan ini berupa penutupan
perforasi usus dan reseksi usus. Beberapa tindakan pembedahan yang bisa
dilakukan untuk mengatasi peritonitis adalah:
a) Kontrol Sepsis
Tujuan pembedahan pada peritonitis adalah untuk menghilangkan
sepsis dan mencegah kompilkasi lebih lanjut. Kontrol sespis ini
dilakukan dengan insisi. Insisi merupakan teknik operasi yang terbaik,
insisi dilakukan dengan membuang jaringan yang terkontaminasi yang
sudah menjadi abses atau nekrosis
b) Peritoneal Drainage
Peritoneal drainage ini efektif digunakan pada peritonitis ditempat
yang terlokalisir dan melekat pada dinding yang biasanya gagal untuk
masuk ke rongga peritoneum. Pembedahan ini dilakukan dengan cara
mencuci atau mengirigasi semua rongga pertoneum untuk
mengeluarkan semua bakteri akan keluar setelah irigasi. Cairan yang
digunakan yaitu 3 liter cairan fisiologis saline atau ringer laktat untuk
membersihkan pus, feses, bahan nekrotik dan kemudian cairan tersebut
akan dibuang. Prosedur drainage ini dilakukan berulang sampai semua
rongga peritoneum bersih dari semua bakteri
c) Pembedahan Laparotomi
Laparotomi merupakan pilihan utama untuk menemukan infeksi
peritoneal dengan ditemukannya pus yang kemudian dilakukan piihan
antibiotik sebagai terapi
d) Pembedahan Laparoskopi
Laparoskopi ekftif untuk peritoitis dengan apendisitis akut, perofrasi
ulkus duodenum dan perforasi kolon
3. Penanganan Posoperatif
Monitor tanda-tanda vital secara intensif, pemberian cairan dan elektrolit,
dan bantuan ventilator pada klien yang tidak stabil untuk mencapai
stabilitas pembedahan hemodinamik dan perfusi organ-organ vital.
19

Antibiotik diberikan selama 10-14 hari bergantung pada keparahan


peritonitis. Respon klinis yang baik ditandai dengan produksi urin yang
normal, penurunan demam dan leukositosis, ileus menurun, dan keadaan
umum membaik. Tingkat kesembuhan bervariasi tergantung pada durasi
dan keparahan peritonitis. Pelepasan kateter (arterial, CVP, urin,
nasogastric) lebih awal dapat menurunkan resiko infeksi sekunder
(Doherty, 2006).
Komplikasi yang dapat terjadi pada perintonitis sekunder antara lain syok
septik, abses, dan perlengketan intraperitoneal. Sedangkan komplikasi
yang dapat terjadi pada perintonitis tersier yaitu perintonitis berulang dan
abses intraabdominal, bila terjadi perintonitis tersier ini sebaiknya kateter
dialysis dilepaskan (Melly, 2016).
1.9 KOMPLIKASI
1. Komplikasi intestinal : perdarahan usus, perporasi usus dan ilius paralitik.
2. Komplikasi extra intestinal
a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis),
miokarditis, trombosis, tromboplebitis.
b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia dan syndroma
uremia hemolitik.
c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.
d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, dan
kolesistitis.
e. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan
perinepritis.
f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan
arthritis. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meninggiusmus,
meningitis, polineuritis perifer, sindroma guillain bare dan sindroma
katatonia. (Lestari Titik, 2016)
20

BAB II

KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

2.1 PENGKAJIAN
a. Identitas Pasien
Pada tahap ini meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat rumah, agama
atau kepercayaan, pendidikan, pekerjaan, status perkawinan, dan tanggal
MRS (masuk rumah sakit)
b. Keluhan Utama
Pada pasien dengan perintonitis sering sekali mengeluh nyeri pada bagian
abdomen atau perut. Selain hal tersebut kaji lebih dalam atau tanyakan
pada klien kapan nyeri tersebut muncul, nyeri menyebar atau tidak,
bagaimana kualitas nyeri, serta apakah yang menyebabkan nyeri tersebut
muncul
c. Riwayat Penyakit Sekarang
Keluhan dan kronologi klien datang ke pelayanan kesehatan. Klien dengan
perintonitis umunya mengalami nyeri pada bagian perut yang akan hilang
dengan sendirinya. Selain keluhan nyeri pada bagian perut klien dengan
perintonitis juga mengalami demam atau menggigil dengan suhu mencapai
380C, perut terasa kaku, mual dan muntah, kesulitan buang air besar
(BAB), kehilangan nafsu makan, terdapat nyeri tekan pada bagian
abdomen, serta perasaan haus terus menerus
d. Riwayat Penyakit Dahulu
Kaji atau tanyakan kepada klien terkait penyakit yang sebelumnya pernah
dialami, apakah ada penyakit yang berhubungan dengan kondisi yang saat
ini dialami oleh klien
e. Riwayat Penyakit Keluarga
Kaji riwayat penyakit yang dialami oleh keluarga baik penyakit menular
atau penyakit tidak menular. Tanyakan kepada keluarga apakah ada
anggota keluarga yang mengalami penyakit yang saat ini dialami oleh
klien
21

f. Pengkajian Keperawatan
1. Persepsi Kesehatan dan Pemeliharaan Kesehatan
Persepsi tentang kesehatan dapat berubah disebabkan karena tindakan
medis dan perawat di rumah sakit, terkadang muncul persepsi yang
salah terhadap pemeliharaan kesehatan. Pola hidup sehat klien yang
menderita perintonitis harus ditingkatkan dalam menjaga kebersihan
diri, perawatan, dan tatalaksana hidup sehat
2. Pola Nutrisi/Metabolik (ABCD) (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Status nutrisi klien dapat diketahui melalui pengukuran tinggi badan
dan berat badan, kebiasaan makan dan minum sebelum dan selama
MRS juga harus ditanyakan, pasien dengan perintonitis akan
mengalami penurunan nafsu makan akibat dari rasa nyeri pada
abdomen dan penekanan pada struktur abdomen. Sehingga pasien
dengan perintonitis keadaan umumnya tampak lemah, membrane
mukosa pucat, dan turgor kulit tidak elastis
3. Pola Eliminasi (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Pengkajian pola eliminasi sebelum dan sesudah MRS perlu ditanyakan
mengenai kebiasaan defekasi. Keadaan umum pasien yang lemah,
pasien lebih banyak bed rest sehingga dapat menimbulkan konstipasi,
selain akibat pencernaan pada struktur abdomen menyebabkan
penurunan peristaltik otot-otot tractus degestivus. Pada umumya klien
dengan perintonitis mengalami kesulitan buang air besar (BAB) dan
sedikit mengeluarkan urine
4. Pola Aktivitas dan Latihan (saat sebelum sakit dan saat di RS)
Akibat dari sesak nafas kebutuhan O 2 jaringan akan kurang terpenuhi,
sehingga pasien akan cepat mengalami kelelahan dalam melakukan
aktivitas. Selain itu aktivitas pasien dalam sehari-hari akan berkurang
akibat dari nyeri pada bagian abdomen yang dialami, dengan demikian
kebutuhan ADL pasien dibantu perawat atau keluarga
22

5. Pola Istirahat dan Tidur


Adanya nyeri pada abdomen, sesak napas, dan peningkatan suhu tubuh
akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan istirahat dan tidur
klien
6. Pola Kognitif dan Perceptual
Kaji apakah klien mengetahui terkait hal-hal yang berhubungan
dengan penyakit atau prosedur yang akan dilakukan, dan kaji apakah
klien mengetahui tatalaksana yang harus dilakukan terkait prosedur
tersebut
7. Pola Konsep Diri
Kaji bagaimana klien memandang dirinya dalam kondisi sakit saat ini,
kaji apakah klien bisa menerima dan mudah adaptasi dengan penyakit
yang di derita saat ini
8. Pola Seksualitas dan Reproduksi
Kaji apakah klien mengalami gangguan seksualitas dan reproduksi
setelah keadaan sakit. Klien dengan perintonitis biasanya terdapat
ganggua dalam memenuhi hubungan intim
9. Pola Peran dan Hubungan
Kaji ada atau tidaknya dukungan untuk meningkatkan motivasi klien
dalam hal kesembuhan, kaji hubungan dengan pasangan, anak, cucu,
dan keluarga. Klien dengan perintonitis membutuhkan dukungan
penuh dari keluarga untuk proses penyembuhan penyakit yang dialami
10. Pola Mekanisme Koping
Kaji apakah ketika ada masalah klien selalu terbuka untuk
menceritakan masalah yang dialami, kaji apakah klien dapat
beradaptasi dengan lingkungan setelah mengetahui kondisi
penyakitnya
11. Sistem Nilai dan Keyakinan
Kaji apakah klien mengalami ganggun dalam keyakinan melakukan
ibdanhnya saat pada kondisi sakit.
23

g. Pemeriksaan fisik
1) Keadaan umum
Pasien tampak lemah, nyeri pada abdomen, dan demam dan menggigil
2) Pemeriksaan TTV
- TD (bisa hipotensi, berada dibawah 90/60 mmHg)
- RR (takipnea, lebih dari 24 x/menit)
- N (takikardi, lebih dari 100 x/menit)
- Suhu (hipertermia lebih dari 370C)
3) Pemeriksaan sistem respirasi
- Inspeksi pada pasien perintonitis tampak semetris, pergerakan
pernafasan menurun, dan pasien biasanya sesak nafas (dyspnea)
- Kaji apakah suara paru terdengar sonor atau tidak
- Auskultasi suara nafas (apakah terdapat suara napas tambahan atau
tidak)
4) Pemeriksaan sistem cardiovaskuler
- Pada inspeksi perlu diperhatikan letak ictus cordis, pemeriksaan ini
bertujuan untuk mengetahui ada tidaknya pembesaran jantung
- Perkusi dilakukan untuk menentukan batas jantung dimana daerah
jantung terdengar pekak, hal ini bertujuan untuk menentukan ada
tidaknya pembesaran jantung atau ventrikel kiri
- Auskultasi untuk menentukan adanya suara tambahan seperti
gallop dan murmur
5) Pemeriksaan sistem pencernaan
- Pada saat inspeksi perlu diperhatikan apakah abdomen membuncit
atau datar, selain itu ada tidaknya benjolan-benjolan atau massa
- Pada saat palpasi juga perlu diperhatikan adakah nyeri tekan pada
abdomen, massa (tumor), turgor kulit abdomen, dan apkaah hepar
teraba atau tidak
- Perkusi abdomen normal tympani, adanya massa padat atau cairan
menimbulkan suara pekak
- Auskultasi untuk mendengarkan suara peristaltic usus, dimana nilai
normalnya 5-35 x/menit
24

6) Pemeriksaan sistem musculoskeletal


Dilakukan untuk mengetahui kekuatan otot pada daerah ekstremitas
7) Pemeriksaan sistem integument
Pada pasien dengan perintonitis biasanya tampak sianosis akibat
adanya kegagalan sistem transport oksigen. Pada saat dilakukan
palpasi perlu diperiksa mengenai kehangatan kulit (dingin, hangat,
demam), tekstur kulit (halus, lunak, kasar), serta turgor kulit untuk
mengetahui derajat dehidrasi seseorang.
2.2 DIAGNOSIS KEPERAWATAN (SESUAI SDKI)
1. Hipertermia (D.0130) b.d proses penyakit (inflamasi) d.d suhu tubuh
diatas normal, kulit merah, takikardi, takipnea, dan kulit terasa hangat
2. Nyeri Akut (D.0077) b.d agen pencedera fisiologis (cedera pada organ
peritoneum) d.d mengeluh nyeri, tampak meringis, sulit tidur, frekuensi
nadi meningkat, bersikap protektif, gelisah, tekanan darah meningkat, pola
napas berubah, da nafsu makan berubah
3. Defisit Nutrisi (D.0019) b.d ketidakmampuan mengabsorpbsi nutrient d.d
kram atau nyeri abdomen, nafsu makan menurun, berat badan menurun
min 10% dibawah rentang ideal, bising usus hiperaktif, membran mukosa
pucat, dan otot menelan lemah
4. Pola Nafas Tidak Efektif (D.0005) b.d hiperventilasi (penurunan ekspansi
paru) d.d dispnea, fase ekspansi memanjang, penggunaan otot-bantu
pernafasan, penurunan kapasitas vital, pernafasan cuping hidung, pola
nafas abnormal, dan takipnea
5. Risiko Infeksi (D.0142) dibuktikan dengan efek prosedur invasif.
2.3 RENCANA ASUHAN KEPERAWATAN (SESUAI SLKI DAN SIKI)

Diagnosis Tujuan dan Intervensi Keperawatan (SIKI)


Keperawatan Kriteria Hasil
(SDKI) (SLKI)
Hipertermia Setelah dilakukan Manajemen Hipertermia
berhubungan Intervensi selama (I.15506)
dengan proses 3x24 jam, di Observasi
penyakit harapkan 1. Identifikasi penyebab
(D.0030) termoregulasi hipertermia
membaik : (mis:dehidrasi,terpapar
25

(L.14134) lingkungan panas,pengunaan


1. Mengigil incubator
Menurun (5) 2. Monitor Suhu tubuh
2. Kulit merah 3. Monitor kadar elektrolit
menurun (5) 4. Monitor kadar urine
3. Pucat menurun
Terapeutik
(5)
1. Sediakan Lingkungan dingi
4. Suhu tubuh
2. Longarkan atau lepaskan
membaik (5)
pakaian
5. Suhu kulit
3. Basahi dan kipasi permukaan
membaik (5)
tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Hindari pemberian
antipiretikatau aspirin
6. Berikan oksigen, jika perlu
Edukasi
1. Anjurkan Tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian cairan
dan elektrolit intravena
Nyeri akut b/d Setelah dilakukan Manajemen nyeri (I.08238)
Agen Intervensi selama Observasi
Pencederaan 3x24 jam, di 5. Identifikasi lokasi,
fisiologis harapkan tingkat karakteristik, durasi, frekuensi,
(D.0077) nyeri Menurun: kualitas, intensitas nyeri
Kriteria hasil 6. Identifikasi skala nyeri
1. Keluhan nyeri 7. Identifikasi faktor yang
menurun (5) memperberat nyeri dan
2. Meringis memperingn nyeri
menurun (5) 8. Identifikasi pengetahuan dan
3. Sikap protektif keyakinan nyeri
menurun (5) 9. Identifikasi respon nyeri non
4. Gelisah verbal
menurun (5) 10. Identifikasi Pengaruh nyeri
5. Kesulitan tidur pada kualitas hidup
menurun (5) 11. Monitor efek samping
6. Berfokus pada pengunaan analgesik
diri sendiri Terapeutik
menurun (5) 7. Berikan teknik non
famakologi untuk
26

menggurangi rasa nyeri


destraksi relaksasi
Edukasi
2. Anjurkan teknik non
farmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
3. Kontrol lingkungan yang
memperberat nyeri
4. Fasilitas istirahat dan tidur
5. Pertimbangkan sumber nyeri
dalam pemilihan strategi
meredakan nyeri
Edukasi
1. Jelaskan penyebab, priode dan
pemicu nyeri
2. Jelaskan strategi meredakan
nyeri
3. Anjurkan monior yeri secara
mandarin
4. Anjurkan teknik non
farmakologi untuk mengurangi
rasa nyeri
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian analgesik

Defisit Nutrisi Setelah di Manajemen Nutrisi (I. 03119)


b.d lakukan tindakan Observasi
Ketidakmampuan Asuhan 1. Monitor Status Nutrisi
Absorbsi Nutrien Keperawatan 2. Identifikasi Alergi atau
selama 3x24 jam Intoleransi makanan
di harapkan 3. Identifikasi makanan yang
tingkat nyeri di sukai
menurun : 4. Monitor Asupan makanan
Kriteriahasil 5. Monitor berat badan
1. Keluhan nyeri 6. Monitor
menurun (5) hasilpemeriksaanlaboratoriu
2. Meringis m
menurun (5) Terapiutik
3. Sikap protektif 1. Lakukan oral Hygine sebelum
menurun (5) makan, jika perlu
4. Gelisah 2. Sajikan makanan secara
menarik dan suhu yang sesuai
27

menurun (5) 7. Berikan nutrisi sediki


5. Kesulitan tidur ttapisering
menurun (5) 8. Berikan makanan tinggi serat
6. Berfokus pada 9. Berikan makanan tinggi
diri sendiri kalori dan tinggi protein
menurun(5) 10. Berikan suplemen makanan
Edukasi
1. Anjurkan posisi duduk, jika
mampu
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberian medikasi
Pola Napas Tidak SLKI (L.01004) Manajemen Jalan Napas
Efektif (D.0005) Pola Napas (I.01011)
Tujuan: Observasi
Setelah dilakuakan 1. Monitor pola napas (frekuensi,
tindakan kedalaman, usaha napas)
keperawatan selama 2. Monitor bunyi napas tambahan
3x24 jam
Terapeutik
diharapkan pola
1. Pertahankan kepatenan jalan
napas membaik
dengan napas dengan head-till dan
Kriteria Hasil: chin-lift
Pola Napas 2. Posisikan semi-fowler atau
(L.01004) fowler
1. Dyspnea dari 3. Berikan minuman hangat
skala 2 (cukup 4. Lakukan fisioterapi dada
meningkat) ke 5. Berikan oksigen, jika perlu
skala 5 Edukasi
(menurun) 1. Anjurkan asupan cairan 2000
2. Penggunaan ml/hari
otot bantu napas 2. Ajarkan batuk efektif
dari skala 2 Kolaborasi
(cukup 1. Kolaborasi pemberian
meningkat) ke bronkodilator, ekspektoran,
skala 5 dan mukolitik, jika perlu
(menurun)
3. Frekuensi napas
dari skala 2
(cukup
memburuk) ke
skala 5
(membaik)
Risiko Infeksi SLKI (L.14137) Pencegahan Infeksi (I.14539)
(D.0142) Tingkat Infeksi
28

Tujuan: Observasi
Setelah dilakuakan 1. Monitor tanda dan gejala infeksi
tindakan local dan sistemik
keperawatan selama
Terapeutik
3x24 jam
diharapkan tingkat 1. Batasi jumlah pengunjung
infeksi menurun 2. Berikan perawatan kulit pada
dengan area edema
Kriteria Hasil: 3. Cuci tangan sebelum dan
Tingkat Infeksi sesudah kontak dengan pasien
(L.14137) dan lingkungan pasien
1. Demam dari
4. Pertahankan teknik aseptic pada
skala 2 (cukup
pasien berisiko tinggi
meningkat) ke
Edukasi
skala 5
1. Jelaskan tanda dan gejala infeksi
(menurun)
2. Ajarkan cara mencuci tangan
2. Kemerahan
dengan benar
dari skala 2
3. Ajarkan cara memeriksa kondisi
(cukup
luka atau luka operasi
meningkat) ke
4. Anjurkan meningkatkan asupan
skala 5
nutrisi
(menurun)
5. Anjurkan meningkatkan asupan
3. Nyeri dari
cairan
skala 2 (cukup
meningkat) ke
skala 5
(menurun)
4. Bengkak dari
skala 2 (cukup
meningkat) ke
skala 5
(menurun)
2.4 EVALUASI
Setela tindakan keperawatan di laksanakan evaluasi proses dan hasil
mengacuh pada kriteria evaluasi yang telah di tentukan pada masing masing
diagnoa keperawatan sehingga:
1. Masalah teratasi atau tujuan tercapai (intervnsi di hentikan)
2. Masalah teratasi atau tercapai sebagian (intervensi di lanjutkan )
3. Maalah teratasi atau tujuan tidak tercapai (perlu di lakukan pengkajian
ulang dan intervensi dirubah)
29

DAFTAR PUSTAKA

Hidayati, Afif Nurul., Ikbar M. Ilham Adika., dan Rosyid Nur A. 2018. Gawat
Darurat Medis dan Bedah. Airlangga University Press: Surabaya
Japanesa, A., A. Zahari, dan S. Renita Rusjdi. 2016. Pola Kasus dan
Penatalaksanaan Peritonitis Akut di bangsal bedah RSUP dr. M. Djamil
Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 5(1):209–214

Melly, M. M. 2016. Peritonitis Primer akibat dari Penggunaan Kateter Vena


Umbilikalis pada Neonatus sebuah Laporan Kasus. 4(1):64–75

Pearce Evelyn C. 2009. Anatomi dan Fisiologi untuk Paramedis. Jakarta:


Gramedia
Sembiring Octavia Azriana. 2018. Prevalensi Peritonitis pada Pasien Apendisitis
di RSUP Haji Adam Malik Periode 2017. Skripsi. Repository Institusi USU:
Universitas Sumatera Utara

Tochie, J. N., N. V. Agbor., T. T. Frank Leonel., A. Mbonda., D. Aji Abang, dan


C. Danwang. 2020. Global Epidemiology of Acute Generalised Peritonitis:
A Protocol for a systematic review and meta-analysis. BMJ Open. 10(1):1–4

Warsinggih. 2017. Peritonitis dan Illeus. Bahan Ajar DR Dr. Warsinggih, Sp. B-
KBD. 24
Wyers, S. G & Matthews. 2016. Surgical peritonitis and Other Disease of The
Peritoneum, Mesentry, Omentum and Diaphragm’in Slesenger and
Fordtran’s Gastrointentinal and Liver Disease. United Stase of Amerika
634-641
Brunner & Suddarth. 2013. Keperawatan Medikal Bedah, Edisi 12. Jakarta: EGC

Gloria M. Bulechek, et al. 2013. Nursing Interventions Classifications (NIC),


Edisi Keenam. Missouri: Mosby Elsevier.

Morhedd, dkk. 2013. Nursing Outcomes Classification (NOC), Edisi Kelima.


Missouri: Mosby Elsevier.

Muttaqin, Arif. 2012. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien Dengan Gangguan
Sistem Kardiovaskular Dan Hematologi. Jakarta: Salemba Medika

Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2017) Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
Definisi dan Indikator Diagnostik. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.
30

Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018) Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
Definisi dan Tindakan Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat PPNI.

Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2019) Standar Luaran Keperawatan Indonesia
Definisi dan Kriteria Hasil Keperawatan. Jakarta: Dewan Pengurus Pusat
PPNI.

Anda mungkin juga menyukai