Diajurkan oleh :
B. Etiologi
Bentuk peritonitis yang paling sering ialah SpontaneousBacterial Peritonitis (SBP)
dan peritonitis sekunder. SBP terjadi bukan karena ninfeksi intra abdomen,tetapi biasanya
terjadi pada pasien yangasites terjadi kontaminasi hingga kerongga peritoneal
sehingganmenjadi translokasi bakteri munuju dinding perut atau pembuluh limfe
mesenterium, kadang terjadi penyebaran hematogen jika terjadi bakterimia dan akibat
penyakit hati yang kronik. Semakin rendah kadar protein cairan asites, semakin tinggi
risiko terjadinya peritonitis dan abses. Ini terjadi karena ikatan opsonisasi yang rendah
antar molekul komponen asites pathogen yang paling sering menyebabkan infeksi adalah
bakteri gram negative E. Coli 40%, Klebsiella pneumoniae 7%, spesies Pseudomonas,
Proteus dan gram lainnya 20% dan bakteri gram positif yaitu Streptococcus pnemuminae
15%, jenis Streptococcus lain 15%,dan golongan Staphylococcus 3%, selain itu juga
terdapat anaerob dan infeksi campur bakteri. Peritonitis sekunder yang paling
sering terjadi disebabkan oleh perforasi atau nekrosis (infeksi transmural) organ-organ
dalam dengan inokulasi bakteri rongga peritonealterutama disebabkan bakteri gram
positif yang berasal dari saluran cerna bagian atas. Peritonitis tersier terjadi karena infeksi
peritoneal berulang setelah mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang
adekuat, bukan berasal dari kelainan organ, pada pasienperitonisis tersier biasanya timbul
abses atau flagmon dengan atau tanpa fistula. Selain itu juga terdapat peritonitis TB,
peritonitis steril atau kimiawi terjadi karena iritasi bahan-bahan kimia, misalnya cairan
empedu, barium, dan substansi kimia lain atau prses inflamasi transmural dari organ-
organ dalam (Misalnya penyakit Crohn).
C. Manifestasi Klinis
Tanda-tanda peritonitis relative sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi
atau pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, tatikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang menyakinkan
atau tegang karenairitasi peritoneum. Pada wanita dilakukan pemeriksaan
vagina bimanual untuk membedakan nyeri akibat pelvic inflammatoru disease.
Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan
imunosupresi (misalnya diabetes berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau
HIV), penderita dengan penurunan kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati
toksik, syok sepsis, atau penggunaan analgesic), penderita dnegan paraplegia dan
penderita geriatric.
D. Patofisiologi
Reaksi awal peritoneum terhadap invasi oleh bakteri adalah keluarnya eksudat
fibrinosa. Kantong-kantong nanah (abses) terbentuk di antara perlekatan fibrinosa, yang
menempel menjadi satu dengan permukaan sekitarnya sehingga membatasi
infeksi.Perlekatan biasanya menghilang bila infeksi menghilang, tetapi dapat menetap
sebagai pita-pita fibrosa, yang kelak dapat mengakibatkan obstuksi usus.
Peradangan menimbulkan akumulasi cairan karena kapiler dan membran
mengalamikebocoran. Jika defisit cairan tidak dikoreksi secara cepat dan agresif, maka
dapatmenimbulkan kematian sel. Pelepasan berbagai mediator, seperti misalnya
interleukin, dapat memulai respon hiperinflamatorius, sehingga membawa
ke perkembangan selanjutnya dari kegagalan banyak organ. Karena tubuh mencoba untuk
mengkompensasi dengan cara retensi cairan dan elektrolit oleh ginjal, produk buangan
juga ikut menumpuk. Takikardi awalnya meningkatkan curah jantung, tapi ini segera
gagal begitu terjadi hipovolemia.
Organ-organ didalam cavum peritoneum termasuk dinding abdomen mengalami
oedem. Oedem disebabkan oleh permeabilitas pembuluh darah kapiler organ-organ
tersebutmeninggi. Pengumpulan cairan didalam rongga peritoneum dan lumen-lumen
usus serta oedem seluruh organ intra peritoneal dan oedem dinding abdomen termasuk
jaringan retroperitoneal menyebabkan hipovolemia. Hipovolemia bertambah
dengan adanya kenaikan suhu, masukan yang tidak ada, serta muntah.Terjebaknya cairan
di cavum peritoneum dan lumen usus, lebih lanjut meningkatkan tekana intra abdomen,
membuat usaha pernapasan penuh menjadi sulit dan menimbulkan penurunan perfusi.
Bila bahan yang menginfeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum atau bila
infeksi menyebar, dapat timbul peritonitis umum. Dengan perkembangan peritonitis
umum, aktivitas peristaltik berkurang sampai timbul ileus paralitik; usus
kemudian menjadi atoni dan meregang. Cairan dan elektrolit hilang kedalam lumen usus,
mengakibatkan dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi dan oliguria. Perlekatan dapat
terbentuk antara lengkung-lengkung usus yang meregang dan dapat mengganggu
pulihnya pergerakan usus dan mengakibatkan obstruksi usus.
Sumbatan yang lama pada usus atau obstruksi usus dapat menimbulkan ileus
karena adanya gangguan mekanik (sumbatan) maka terjadi peningkatan peristaltik usus
sebagai usaha untuk mengatasi hambatan. Ileus ini dapat berupa ileus sederhana
yaituobstruksi usus yang tidak disertai terjepitnya pembuluh darah dan dapat bersifat total
atau parsial, pada ileus stangulasi obstruksi disertai terjepitnya pembuluh darah sehingga
terjadi iskemi yang akan berakhir dengan nekrosis atau ganggren dan akhirnya
terjadi perforasi usus dan karena penyebaran bakteri pada rongga abdomen sehingga
dapat terjadi peritonitis.
Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman
S. Typhi yang masuk tubuh manusia melalui mulut dari makan dan air yang tercemar.
Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung, sebagian lagi masuk keusus halus dan
mencapai jaringan limfoid plaque peyeri di ileum terminalis yang mengalami hipertropi
ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi, perforasi
ileum pada tifus biasanya terjadi pada penderita yang demam selama kurang lebih 2
minggu yang disertai nyeri kepala, batuk dan malaise yang disusul oleh nyeri perut, nyeri
tekan, defansmuskuler, dan keadaan umum yang merosot karena toksemia.
Perforasi tukak peptik khas ditandai oleh perangsangan peritoneum yang mulai di
epigastrium dan meluas keseluruh peritonium akibat peritonitis generalisata. Perforasi
lambung dan duodenum bagian depan menyebabkan peritonitis akut. Penderita yang
mengalami perforasi ini tampak kesakitan hebat seperti ditikam di perut. Nyeri ini timbul
mendadak terutama dirasakan di daerah epigastrium karena rangsangan peritonium oleh
asam lambung, empedu dan atau enzim pankreas. Kemudian menyebar keseluruh
perutmenimbulkan nyeri seluruh perut pada awal perforasi, belum ada infeksi bakteria,
kadang fase ini disebut fase peritonitis kimia, adanya nyeri di bahu menunjukkan
rangsanganperitoneum berupa mengenceran zat asam garam yang merangsang, ini
akan mengurangi keluhan untuk sementara sampai kemudian terjadi peritonitis bakteria.
Pada apendisitis biasanya biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks
oleh hiperplasi folikel limfoid, fekalit, benda asing, striktur karena fibrosis dan
neoplasma. Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang diproduksi mukosa
mengalamibendungan,makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas
dinding apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen dan menghambat aliran limfe yang mengakibatkan oedem, diapedesis
bakteri, ulserasi mukosa, dan obstruksi vena sehingga udem bertambah kemudian aliran
arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan nekrosis atau
ganggren dinding apendiks sehingga menimbulkan perforasi dan akhirnya mengakibatkan
peritonitis baik lokal maupun general.
Pada trauma abdomen baik trauma tembus abdomen dan trauma tumpul abdomen
dapat mengakibatkan peritonitis sampai dengan sepsis bila mengenai organ yang
berongga intra peritonial. Rangsangan peritonial yang timbul sesuai dengan isi dari
organ berongga tersebut, mulai dari gaster yang bersifat kimia sampai dengan kolon yang
berisi feses. Rangsangan kimia onsetnya paling cepat dan feses paling lambat. Bila
perforasi terjadi dibagian atas, misalnya didaerah lambung maka akan terjadi
perangsangan segera sesudah trauma dan akan terjadi gejala peritonitis hebat sedangkan
bila bagian bawah seperti kolon, mula-mula tidak terjadi gejala karena mikroorganisme
membutuhkan waktu untukberkembang biak baru setelah 24 jam timbul gejala akut
abdomen karena perangsangan peritoneum.
E. Pemeriksaan Diagnostik
1. Pemeriksaan Laboratorium
a. Complete Blood Count (CBC), umumnya pasien dengan infeksi intra abdomen
menunjukan adanya luokositosis (>11.000 sel/ µL) dengan adanya pergerakan ke
bentuk immatur pada differential cell count. Namun pada pasien dengan
immunocompromised dan pasien dengan beberapa tipe infeksi (seperti fungal dan
CMV) keadaan leukositosis dapat tidak ditemukan atau malah leucopenia
b. PT, PTT dan INR
c. Test fungsi hati jika diindikasikan
d. Amilase dan lipase jika adanya dugaan pancreatitis
e. Urinalisis untuk mengetahui adanya penyakit pada saluran kemih (seperti
pyelonephritis, renal stone disease)
f. Cairan peritoneal, cairan peritonitis akibat bakterial dapat ditunjukan dari pH dan
glukosa yang rendah serta peningkatan protein dan nilai LDH
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Foto polos
b. USG
c. CT Scan (eg, gallium Ga 67 scan, indium In 111–labeled autologous leucocyte
scan, technetium Tc 99m-iminoacetic acid derivative scan).
d. Scintigraphy
e. MRI
f. Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu:
1) Tiduran telentang (supine), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior (AP).
2) Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3) Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
3. X. Ray
Foto polos abdomen 3 posisi (anterior, posterior, lateral), didapatkan :
a. Illeus merupakan penemuan yang tak khas pada peritonitis.
b. Usus halus dan usus besar dilatasi.
c. Udara bebas dalam rongga abdomen terlihat pada kasus perforasi.
F. Penatalaksanaan
Pengganti cairan, koloid dan elektronik adalah focus utama dari penatalaksanaan
medis. Beberapa liter larutan isotonik di berikan. Hipovolemia terjadi karena sejumlah
besar cairan dalam ruang vuskuler. Analgesik di berikan untuk mengatasi nyeri.
Antiemetik dapat diberikan sebagai terapi untuk mual dan muntah. Intu basi usus dan pe
ngisapan membantu dalam menghilangkan distensi abdomen dalam meningkatkan fungsi
usus. Cairan dalam rongga abdomen dapat menyebabkan tekanan yang membatasi
ekspensi paru dan menyebabkan distress pernapasan.
Terapi oksigen dengan kanula nasal atau masker akan meningkatkan oksigenasi
secara adekuat, tetapi kadang-kadang intubasi jalan napas dan bantuan ventilasi di
perlukan. Terapi antibiotik massif biasanya dimulai di awal pengobatan peritonitis. Dosis
besar dari antibiotik spectrum luas di berikan secara intravena sampai organisme
penyebab infeksi diidentifikasi dan terapi antibiotic khusus yang tepat dapat dimulai.
Tindakan bedah mencakup mengangkat materi terinfeksi dan memperbaiki penyebab.
Tindakan pembedahan diarahkan pada eksisi (apendiks) reaksi denga atau tanpa
anastomosis (usus), memperbaiki (perforasi) dan drainase (abses). Pada sepsis yang
luas,perlu di buat di versi fekal.
Pengobatan yang pertama di berikan ialah tindakan yang suportif dengan segera
yaitu infuse darah plasma atau whole blood dan albumin, larutan, ringer, dekstrosa 5%,
atau Nacl fisiologi. Kortikosteroid di anjurkan oleh beberapa ahli untuk mengatasi
renyatan dan perlu diberikan denga dosis tinggi. Misalnya metilprednison 30 mg/ kg BB/
hari. Akan tetapi ada yang mendapatkan hasil yang memuaskan dengan kartikosteroid,
malahan dapat mengaburkan paremeter untuk memantau hasil pengobatan. Naloxono sutu
antagonis reseptor opium dapat mengatasi renyatan pada binatang percobaan akan tetapi
pada manusia hasilnya mengecewakan. Bila ada hipoksia diberikan oksigen. Parameter
yang penting untuk membimbing pemberian cairan ialah tanda-tanda vital, diuresis, dan
CVP. Juga perlu diperiksa apakah ada tanda-tanda DIC. Pada pasien dengan peritonitis
umum biasanya terjadi ileus paralitik, maka perlu di pasang pipa nasogastrik (nasogastric
tube) untuk di kompresi. Analgetik dan obat sedaktif jangan sering di berikan kecuali bila
diagnosis sudah ditegakkan. Setelah di ambil paling sedikit 2x sediaan darah untuk
pembiakan kuman. Barulah antibiotik dengan spektrum luas di berikan. Dosis awal perlu
tinggi, tanpa memandang fungsi ginjal, terutama bila diberikan yenis aminoglikosid.
Sebaiknya di beri antibiotik terhadap kuman aerob dan anaerob. Untuk klindamisin dan
metradinasol tidak perlu penyesuaian dosis bila ada kegagalan ginjal. Setelah keadaan
pasien stabil dan renyatan dapat diatasi, secepatnya di lakukan pembedahan. Tindakan
bedah untuk mencari sebabnya, menutupi kebocoran dan membersihkan rongga
peritoneum.
Ada yang menganjurkan pemberian anti biotic intra peritoneal setelah rongga
peritoneum bersih, misalnya 100cc- 200cc kanamisin 0,5% dengan hasil yang baik. Akan
tetapi banyak ahli yang memandang antibiotic intra peritoneal tidak diperlukan karena
kemungkinan rangsangan toksis dan antibiotik parenteral sudah mencapai kadar yang
memuakan dimperitoneum.
G. Komplikasi
Komplikasi dapat terjadi pada peritonitis bakterial akut sekunder, dimana
komplikasi tersebut dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan lanjut, yaitu:
1. Komplikasi dini.
a. Septikemia dan syok septic.
b. Syok hipovolemik.
c. Sepsis intra abdomen rekuren yang tidak dapat dikontrol dengan kegagalan
multisystem.
d. Abses residual intraperitoneal.
e. Portal Pyemia (misal abses hepar).
2. Komplikasi lanjut.
a. Adhesi.
b. Obstruksi intestinal rekuren.
H. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Identitas
1) Nama pasien
2) Umur
3) Jenis kelamin
4) Suku /Bangsa
5) Pekerjaan
6) Alamat
7) Keluhan utama:
Keluhan utama yang sering muncul adalah nyeri kesakitan di bagian perut
sebelah kanan dan menjalar ke pinggang.
b. Riwayat Penyakit Sekarang
Peritinotis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, lupus
eritematosus, dan sirosis hepatis dengan asites.
4. Implementasi
Implementasi adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai tujuan
yang spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana tindakan disusun untuk
membantu klien mencapai tujuan yang diharapkan. Tujuan dari implementasi adalah
membantu klien dalam mencapai tujuan yang telah titetapkan yang mencakup
peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit dan pemulihan kesehatan. (Erb, Olivieri,
Kozier, 1991 : 169)
5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan
yang menandakan seberapa jauh diagnosa keperawatan, rencana tindakan dan
pelaksanaannya sudah berhasil dicapai. Meskipun tahap evaluasi diletakkan pada
akhir proses keperawatan, evaluasi merupakan bagian integral pada setiap tahap
proses keperawatan. Pengumpulan data perlu direvisi untuk menentukan apakah
informasi yang telah dikumpulkan sudah mencukupi dan apakah perilaku yang
diobservasi sudah sesuai. Diagnosa juga perlu dievaluasi dalam hal keakuratan dan
kelengkapannya. Tujuan dan intervensi dievaluasi untuk menentukan apakah tujuan
tersebut dapat dicapai secara efektif atau tidak. (Erb, Olivieri, Kozier, 1991 : 169)
DAFTAR PUSTAKA
Doengoes, Marilynn.E., Alih bahasa I Made Kariasa. 2001. Rencana Asuhan Keperwatan,
Jakarta : EGC.
Hudak dan Gallo alih bahasa Alledekania, Betty Susanto, Teressa, Yasmin. 1987.
Keperawatan Kritis Edisi IV. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran (EGC).