Anda di halaman 1dari 23

LAPORAN PENDAHULAN

Congestif Heart Failure (CHF)

Diajurkan oleh :

Nama : DEWI ASTUTI


Prodi : D3 keperawatan

PROGRAM STUDI KEPERAWATAN DIPLOMA III


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HORIZON KARAWANG
Jl. Pangkal Perjuangan Km 1 By Pass Karawang 41316
2022
A. Konsep Congestif Heart Failure
1. Definisi Congestif Heart Failure
Gagal jantung kongestif (CHF) adalah keadaan patofisiologis berupa
kelainan fungsi jantung, sehingga jantung tidak mampu memompa darah untuk
memenuhi kebutuhan metabolisme jaringan atau kemampuannya hanya ada kalau
disertai peninggian volume diastolik secara abnormal. Penamaan gagal jantung
kongestif yang sering digunakan kalau terjadi gagal jantung sisi kiri dan sisi kanan
(Mansjoer, 2001). Gagal jantung adalah ketidak mampuan jantung untuk
mempertahankan curah jantung (Caridiac Output = CO) dalam memenuhi
kebutuhan metabolisme tubuh. Apabila tekanan pengisian ini meningkat sehingga
mengakibatkan edema paru dan bendungan di system vena, maka keadaan ini
disebut gagal jantung kongestif (Kabo & Karim, 2002).
2. Anatomi Jantung

3. Etiologi Congestif Heart Failure


Hudak dan Gallo (2000) penyebab kegagalan jantung yaitu:
1. Kelainan otot jantung
Gagal jantung sering terjadi pada penderita kelainan otot jantung, disebabkan
menurunnya kontraktilitas jantung. Kondisi yang mendasari penyebab
kelainan fungsi otot mencakup ateriosklerosis koroner, hipertensi arterial,
dan penyakit degeneratif atau inflamasi.
2. Aterosklerosis koroner
Mengakibatkan disfungsi miokardium karena terganggunya aliran darah
ke otot jantung. Terjadi hipoksia dan asidosis (akibat penumpukan asam
laktat). Infark miokardium (kematian sel jantung) biasanya mendahului
terjadinya gagal jantung. Peradangan dan penyakit miokardium
degeneratif, berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi yang secara
langsung merusak serabut jantung, menyebabkan kontraktilitas menurun.
3. Hipertensi sistemik atau pulmonal
Meningkatkan beban kerja jantung dan pada gilirannya mengakibatkan
hipertrofi serabut otot jantung.
4. Peradangan dan penyakit miokardium degeneratif
Berhubungan dengan gagal jantung karena kondisi ini secara langsung
merusak serabut jantung menyebabkan kontraktilitas menurun.
5. Penyakit jantung lain
Gagal jantung dapat terjadi sebagai akibat penyakit jantung yang
sebenarnya, yang secara langsung mempengaruhi jantung. Mekanisme
biasanya terlibat mencakup gangguan aliran darah yang masuk jantung
(stenosis katup semiluner), ketidakmampuan jantung untuk mengisi darah
(tamponade, perikardium, perikarditif konstriktif, atau stenosis AV),
peningkatan mendadak afterload.

4. Patofisiologi Congestif Heart Failure


Gagal jantung bukanlah suatu keadaan klinis yang hanya melibatkan satu
sistem tubuh melainkan suatu sindroma klinik akibat kelainan jantung
sehingga jantung tidak mampu memompa memenuhi kebutuhan metabolisme
tubuh. Gagal jantung ditandai dengan satu respon hemodinamik, ginjal, syaraf
dan hormonal yang nyata serta suatu keadaan patologik berupa penurunan
fungsi jantung. Respon hemodinamik yang tidak normal adalah peningkatan
tekanan pengisian (filling pressure) dari jantung atau preload. Respon
terhadap jantung menimbulkan beberapa mekanisme kompensasi yang
bertujuan untuk meningkatkan volume darah, volume ruang jantung, tahanan
pembuluh darah perifer dan hipertropi otot jantung. Kondisi ini juga
menyebabkan aktivasi dari mekanisme kompensasi tubuh yang akut berupa
penimbunan air dan garam oleh ginjal dan aktivasi system saraf adrenergik
(Price, 2005).
Penting dibedakan antara kemampuan jantung untuk memompa (pump
function) dengan kontraktilias otot jantung (myocardial function). Pada
beberapa keadaan ditemukan beban berlebihan sehingga timbul gagal jantung
sebagai pompa tanpa terdapat depresi pada otot jantung intrinsik. Sebaliknya
dapat pula terjadi depresi otot jantung intrinsik tetapi secara klinis tidak
tampak tanda-tanda gagal jantung karena beban jantung yang ringan. Pada awal
gagal jantung akibat CO yang rendah, di dalam tubuh terjadi peningkatan
aktivitas saraf simpatis dan sistem renin angiotensin aldosteron, serta
pelepasan arginin vasopressin yang kesemuanya merupakan mekanisme
kompensasi untuk mempertahankan tekanan darah yang adekuat. Penurunan
kontraktilitas ventrikel akan diikuti penurunan curah jantung yang
selanjutnya terjadi penurunan tekanan darah dan penurunan volume darah
arteri yang efektif (Baughman, 2005). Hal ini akan merangsang mekanisme
kompensasi neurohumoral. Vasokonstriksi dan retensi air untuk sementara
waktu akan meningkatkan tekanan darah sedangkan peningkatan preload akan
meningkatkan kontraktilitas jantung melalui hukum Starling. Apabila keadaan
ini tidak segera teratasi, peninggian afterload, peninggian preload dan
hipertrofi dilatasi jantung akan lebih menambah beban jantung sehingga terjadi
gagal jantung yang tidak terkompensasi. Dilatasi ventrikel menyebabkan
disfungsi sistolik (penurunan fraksi ejeksi) dan retensi cairan meningkatkan
volume ventrikel (dilatasi). Jantung yang berdilatasi tidak efisien secara
mekanis (hukum Laplace). Jika persediaan energi terbatas (misal pada
penyakit koroner) selanjutnya bisa menyebabkan gangguan kontraktilitas
(Patric, 2005).
Selain itu kekakuan ventrikel akan menyebabkan terjadinya disfungsi
ventrikel (Ismir, 2010). Pada gagal jantung kongestif terjadi stagnasi aliran darah,
embolisasi sistemik dari trombus mural, dan disritmia ventrikel refrakter (Price,
2005). Keadaan penyakit jantung koroner sebagai salah satu etiologi CHF akan
menurunkan aliran darah ke miokard yang akan menyebabkan iskemik
miokard dengan komplikasi gangguan irama dan sistem konduksi kelistrikan
jantung (Brunner Sudart, 2002 & Fathoni, 2011). Beberapa data menyebutkan
bradiaritmia dan penurunan aktivitas listrik menunjukan peningkatan
presentase kematian jantung mendadak, karena frekuensi takikardi ventrikel
dan fibrilasi ventrikel menurun (Gordon, 2004). WHO menyebutkan kematian
jantung mendadak bisa terjadi akibat penurunan fungsi mekanis jantung,
seperti penurunan aktivitas listrik, ataupun keadaan seperti emboli sistemik
(emboli pulmo, jantung) dan keadaan yang telah disebutkan diatas.
Mekanisme yang mendasari gagal jantung meliputi gangguan kemampuan
kontraktilitas jantung, yang menyebabkan curah jantung lebih rendah dari curah
jantung normal. Konsep curah jantung paling baik dijelaskan dengan
persamaan CO= HR X SV dimana curah jantung adalah fungsi frekuensi jantung
X volume sekuncup (Kabo & Karim, 2002). Curah jantung yang berkurang
mengakibatkan sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung
untuk mempertahankan curah jantung, bila mekanisme kompensasi untuk
mempertahankan perfusi jaringan yang memadai, maka volume sekuncup
jantunglah yang harus menyesuaikan diri untuk mempertahankan curah
jantung. Tapi pada gagal jantung dengan masalah utama kerusakan dan
kekakuan serabut otot jantung, volume sekuncup berkurang dan curah
jantung normal masih dapat dipertahankan (Kabo & Karim, 2002)..
Volume sekuncup, jumlah darah yang dipompa pada setiap kontraksi
tergantung pada tiga faktor yaitu:
1) Preload: setara dengan isi diastolik akhir yaitu jumlah darah yang
mengisi jantung berbanding langsung dengan tekanan yang
ditimbulkan oleh panjangnya regangan serabut jantung.
2) Kontraktilitas: mengacu pada perubahan kekuatan kontraksi yang
terjadi pada tingkat sel dan berhubungan dengan perubahan
panjang serabut jantung dan kadar kalsium.
3) Afterload: mengacu pada besarnya ventrikel yang harus di
hasilkan untuk memompa darah melawan perbedaan tekanan yang
di timbulkan oleh tekanan arteriole.

5. Manifestasi Klinis Congestif Heart Failure


Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi, tergantung dari umur
pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung, ruang-ruang jantung
yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan serta derajat gangguan
penampilan jantung.
Pada penderita gagal jantung kongestif, hampir selalu ditemukan (Kabo & Karim,
2002) :
1) Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal
dyspnea.
2) Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguri, nokturi, mual,
muntah, asites, hepatomegali, dan edema perifer.
3) Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi
buruk sampai delirium
6. Komplikasi Congestif Heart Failure
Menurut Smeltzer (2002), komplikasi dari CHF adalah :
1) Edema pulmoner akut
2) Hiperkalemia: akibat penurunan ekskresi, asidosis metabolik,
katabolisme dan masukan diit berlebih.
3) Perikarditis: Efusi pleura dan tamponade jantung akibat produk
sampah uremik dan dialisis yang tidak adekuat.
4) Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem
renin-angiotensin-aldosteron.
5) Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah
merah.
6) Tromboemboli adalah risiko terjadinya bekuan vena (thrombosis vena
dalam atau deep venous thrombosis dan emboli paru atau EP) dan
emboli sistemik tinggi, terutama pada CHF berat. Bisa diturunkan
dengan pemberian warfarin.
7) Komplikasi fibrilasi atrium sering terjadi pada CHF yang bisa
menyebabkan perburukan dramatis. Hal tersebut indikasi pemantauan
denyut jantung (dengan digoxin atau β blocker dan pemberian
warfarin).
8) Kegagalan pompa progresif bisa terjadi karena penggunaan diuretik
dengan dosis ditinggikan.
9) Aritmia ventrikel sering dijumpai, bisa menyebabkan sinkop atau
sudden cardiac death (25-50% kematian CHF). Pada pasien yang
berhasil diresusitasi, amiodaron, β blocker, dan vebrilator yang
ditanam mungkin turut mempunyai peranann (Patric, 2005).

7. Pemeriksaan Penunjang Congestif Heart Failure


1) Pada pemeriksaan foto toraks seringkali menunjukkan kardiomegali (rasio
kardiotorasik (CTR) > 50%), terutama bila gagal jantung sudah kronis.
Kardiomegali dapat disebabkan oleh dilatasi ventrikel kiri atau kanan,
LVH, atau kadang oleh efusi perikard. Derajat kardiomegali tidak
berhubungan dengan fungsi ventrikel kiri.
2) Elektrokardiografi memperlihatkan beberapa abnormalitas pada sebaigian
besar pasien (80-90%), termasuk gelombang Q, perubahan ST-T, hipertropi
LV, gangguan konduksi, aritmia.
3) Ekokardiografi harus dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis
gagal jantung. Dimensi ruang jantung, fungsi ventrikel (sistolik dan diastolik),
dan abnormalitas gerakan dinding dapat dinilai dan penyakit katub jantung
dapat disinggirkan.
4) Tes darah dirkomendasikan untuk menyinggirkan anemia dan menilai fungsi
ginjal sebelum terapi di mulai. Disfungsi tiroid dapat menyebabkan gagal
jantung sehingga pemeriksaan fungsi tiroid harus selalu dilakukan.
5) Pencitraan radionuklida menyediakan metode lain untuk menilai fungsi
ventrikel dan sangat berguna ketika citra yang memadai dari ekokardiografi
sulit diperoleh. Pemindahan perfusi dapat membantu dalam menilai fungsional
penyakit jantung koroner.

8. Penatalaksanaan Congestif Heart Failure


Terapi Umum dan Faktor Gaya Hidup
a. Aktifitas fisik harus disesuaikan dengan tingkat gejala. Aktifitas
yang sesuai menurunkan tonus simpatik, mendorong penurunan
berat badan, dan memperbaiki gejala dan toleransi aktivitas pada
gagal jantung terkompensasi dan stabil.
b. Oksigen merupakan vasorelaksan paru, merupakan afterload RV,
dan memperbaiki aliran darah paru.
c. Merokok cenderung menurunkan curah jantung, meningkatkan
denyut jantung, dan meningkatkan resistensi vascular sistemik dan
pulmonal dan harus dihentikan.
d. Konsumsi alkohol merubah keseimbangan cairan, inotropik
negative, dan dapat memperburuk hipertensi. Penghentian
konsumsi alcohol memperlihatkan perbaikan gejala dan
hemodinamik bermakna.
Terapi obat-obatan

a. Diuretik digunakan pada semua keadaan dimana dikehendaki peningkatan


pengeluaran air, khususnya pada hipertensi dan gagal jantung (Tjay,
2007). Diuterik yang sering digunakan golongan diuterik loop dan thiazide
(Lee, 2005). Diuretik Loop (bumetamid, furosemid) meningkatkan
ekskresi natrium dan cairan ginjal dengan tempat kerja pada ansa henle
asenden, namun efeknya bila diberikan secara oral dapat menghilangkan
pada gagal jantung berat karena absorbs usus. Diuretik ini menyebabkan
hiperurisemia. Diuretik Thiazide (bendroflumetiazid, klorotiazid,
hidroklorotiazid, mefrusid, metolazon). Menghambat reabsorbsi garam di
tubulus distal dan membantu reabsorbsi kalsium. Diuretik ini kurang
efektif dibandingkan dengan diuretic loop dan sangat tidak efektif bila laju
filtrasi glomerulus turun dibawah 30%. Penggunaan kombinasi diuretic
loop dengan diuretic thiazude bersifat sinergis. Tiazide memiliki efek
vasodilatasi langsung pada arterior perifer dan dapat menyebabkan
intoleransi karbohidrat (Gibbs CR, 2000).
b. Digoksin, pada tahun 1785, William Withering dari Birmingham
menemukan penggunaan ekstrak foxglove (Digitalis purpurea). Glikosida
seperti digoksin meningkatkan kontraksi miokard yang menghasilkan
inotropisme positif yaitu memeperkuat kontraksi jantung, hingga volume
pukulan, volume menit dan dieresis diperbesar serta jantung yang
membesar menjadi mengecil (Tjay, 2007). Digoksin tidak meneyebabkan
perubahan curah jantung pada subjek normal karena curah jantung
ditentukan tidak hanya oleh kontraktilitas namun juga oleh beban dan
denyut jantung. Pada gagal jantung, digoksin dapat memperbaiki
kontraktilitas dan menghilangkan mekanisme kompensasi sekunder yang
dapat menyebabkan gejala.
c. Vasodilator dapat menurunkan afterload jantung dan tegangan dinding
ventrikel, yang merupakan determinan utama kebutuhan oksigen moikard,
menurunkan konsumsi oksigen miokard dan meningkatkan curah jantung.
Vasodilator dapat bekerja pada system vena (nitrat) atau arteri (hidralazin)
atau memiliki efek campuran vasodilator dan dilator arteri (penghambat
ACE, antagonis reseptor angiotensin, prazosin dan nitroprusida).
Vasodilator menurukan prelod pada pasien yang memakan diuterik dosis
tinggi, dapat menurunkan curah jantung dan menyebabkan hipotensi
postural. Namun pada gagal jantung kronis, penurunan tekanan pengisian
yang menguntungkan biasanya mengimbangi penurunan curah jantung dan
tekanan darah. Pada gagal jantung sedang atau berat, vasodilator arteri
juga dapat menurunkan tekanan darah (Gibbs CR, 2000).
d. Beta Blocker (carvedilol, bisoprolol, metoprolol). Penyekat beta
adrenoreseptor biasanya dihindari pada gagal jantung karena kerja
inotropik negatifnya. Namun, stimulasi simpatik jangka panjang yang
terjadi pada gagal jantung menyebabkan regulasi turun pada reseptor beta
jantung. Dengan memblok paling tidak beberapa aktivitas simpatik,
penyekat beta dapat meningkatkan densitas reseptor beta dan
menghasilkan sensitivitas jantung yang lebih tinggi terhadap simulasi
inotropik katekolamin dalam sirkulasi. Juga mengurangi aritmia dan
iskemi miokard (Gibbs CR, 2000). Penggunaan terbaru dari metoprolol
dan bisoprolol adalah sebagai obat tambahan dari diuretic dan ACE-
blokers pada dekompensasi tak berat. Obatobatan tersebut dapat mencegah
memburuknya kondisi serta memeperbaiki gejala dan keadaan fungsional.
Efek ini bertentangan dengan khasiat inotrop negatifnya, sehingga perlu
dipergunakan dengan hati-hati (Tjay, 2007).
e. Antikoagolan adalah zat-zat yang dapat mencegah pembekuan darah
dengan jalan menghambat pembentukan fibrin. Antagonis vitamin K ini
digunakan pada keadaan dimana terdapat kecenderungan darah untuk
memebeku yang meningkat, misalnya pada trombosis. Pada trobosis
koroner (infark), sebagian obat jantung menjadi mati karena penyaluran
darah kebagian ini terhalang leh tromus disalah satu cabangnya. Obat-
obatan ini sangat penting untuk meningkatkan harapan hidup penderita
(Tjay, 2007).
f. Antiaritmia dapat mencegah atau meniadakan gangguan tersebut dengan
jalan menormalisasi frekuensi dan ritme pukulan jantung. Kerjanya
berdasarkan penurunan frekuensi jantung. Pada umumnya obat-obatn ini
sedikit banyak juga mengurangi daya kontraksinya. Perlu pula
diperhatikan bahwa obatobatan ini juga dapat memeperparah atau justru
menimbulkan aritmia (Tjay, 2007). Obat antiaritmia memepertahankan
irama sinus pada gagal jantung memberikan keuntungan simtomatik, dan
amiodaron merupakan obat yang paling efektif dalam mencegah AF dan
memperbaiki kesempatan keberhasilan kardioversi bila AF tetap ada
(Gibbs, 2000).
9. Pathway
cvc Peradangan dan penyakit Kelainan otot Aterosklerosis Hipertensi sistemik
miokardium degeneratif jantung koroner dan pulmonal

Hambatan aliran darah Beban tekanan sistolik berlebihan


Kontraktilitas
menurun
Hambatan pengisian Beban jantung meningkat
ventrikel

Output ventrikel menurun

Stroke volume dan cardiac output menurun

CHF
Gagal pompa ventrikel kiri Gagal pompa ventrikel kanan

Resiko Forward failure Backward failure Tekanan diastole meningkat


penurunan
curah jantung LED meningkat Bendungan atrium kanan
Suplai darah ke Renal flow
jaringan menurun menurun
Ketidakefektifa Tekanan pulmonal naik Bendungan vena sistemik
n perfusi Metabolisme RAA meningkat
jaringan perifer anaerob Tekanan kapiler paru naik
Asidosis Aldosteron meningkat Edema paru Lien: Hepar:
metabolik Splenomegali Hepatomegal
ADH meningkat Ketidakseimbangan i
tekanan pulmonal
ATP menurun
Mendesak diafragma
Retensi Na + H2O
fatigue Gangguan Ketidakefektifa Sesak Nyeri Nyeri
Kelebihan Volume Cairan pertukaran Gas n pola nafas nafas dada akut
Intoleransi
Aktivitas
Cemas akan kondisi

Ansietas
B. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
1. Aktivitas/istirahat
a. Gejala : Keletihan/kelelahan terus menerus sepanjang hari,
insomnia, nyeri dada dengan aktivitas, dispnea pada saat istirahat.
b. Tanda : Gelisah, perubahan status mental mis : letargi, tanda vital
berubah pad aktivitas.
2. Sirkulasi
a. Gejala : Riwayat HT, IM baru/akut, episode GJK sebelumnya,
penyakit jantung , bedah jantung , endokarditis, anemia, syok septic,
bengkak pada kaki, telapak kaki, abdomen.
b. Tanda :
1) TD ; mungkin rendah (gagal pemompaan).
2) Tekanan Nadi ; mungkin sempit.
3) Irama Jantung ; Disritmia.
4) Frekuensi jantung ; Takikardia.
5) Nadi apical ; PMI mungkin menyebar dan merubah
6) posisi secara inferior ke kiri.
7) Bunyi jantung ; S3 (gallop) adalah diagnostik, S4 dapat
8) terjadi, S1 dan S2 mungkin melemah.
9) Murmur sistolik dan diastolic.
10) Warna ; kebiruan, pucat abu-abu, sianotik.
11) Punggung kuku ; pucat atau sianotik dengan pengisian
12) kapiler lambat.
13) Hepar ; pembesaran/dapat teraba.
14) Bunyi napas ; krekels, ronkhi.
15) Edema ; mungkin dependen, umum atau pitting
16) khususnya pada ekstremitas.
3. Integritas ego
a. Gejala : Ansietas, kuatir dan takut. Stres yang berhubungan dengan
penyakit/keperihatinan finansial (pekerjaan/biaya perawatan medis)
b. Tanda : Berbagai manifestasi perilaku, mis : ansietas, marah,
ketakutan dan mudah tersinggung.
4. Eliminasi
Gejala: Penurunan berkemih, urine berwana gelap, berkemih malam hari
(nokturia), diare/konstipasi.

5. Makanan/cairan
a. Gejala : Kehilangan nafsu makan, mual/muntah, penambhan berat
badan signifikan, pembengkakan pada ekstremitas bawah,
pakaian/sepatu terasa sesak, diet tinggi garam/makanan yang telah
diproses dan penggunaan diuretic.
b. Tanda : Penambahan berat badan cepat dan distensi abdomen
(asites) serta edema (umum, dependen, tekanan dn pitting).
6. Higiene
a. Gejala : Keletihan/kelemahan, kelelahan selama aktivitas
Perawatan diri.
b. Tanda : Penampilan menandakan kelalaian perawatan personal.
7. Neurosensori
a. Gejala : Kelemahan, pening, episode pingsan.
b. Tanda : Letargi, kusut pikir, diorientasi, perubahan perilaku dan
mudah tersinggung.
8. Nyeri/Kenyamanan
a. Gejala : Nyeri dada, angina akut atau kronis, nyeri abdomen kanan
atas dan sakit pada otot.
b. Tanda : Tidak tenang, gelisah, focus menyempit danperilaku
melindungi diri.
9. Pernapasan
a. Gejala : Dispnea saat aktivitas, tidur sambil duduk atau dengan
beberapa bantal, batuk dengn/tanpa pembentukan sputum, riwayat
penyakit kronis, penggunaan bantuan pernapasan.
b. Tanda :
1) Pernapasan; takipnea, napas dangkal, penggunaan otot asesori
pernpasan.
2) Batuk : Kering/nyaring/non produktif atau mungkin batuk terus
menerus dengan/tanpa pemebentukan sputum.
3) Sputum ; Mungkin bersemu darah, merah muda/berbuih (edema
pulmonal)
4) Bunyi napas ; Mungkin tidak terdengar.
5) Fungsi mental; Mungkin menurun, kegelisahan, letargi.
6) Warna kulit ; Pucat dan sianosis.
10. Keamanan
Gejala : Perubahan dalam fungsi mental, kehilangankekuatan/tonus otot,
kulit lecet.

11. Interaksi sosial


Gejala: Penurunan keikutsertaan dalam aktivitas sosial yang biasa
dilakukan.

12. Pembelajaran/pengajaran
a. Gejala : menggunakan/lupa menggunakan obat-obat jantung,
misalnya : penyekat saluran kalsium.
b. Tanda : Bukti tentang ketidak berhasilan untuk meningkatkan.
13. Pemeriksaan Fisik
1) (B1) Breath
Pada Inspeksi pernapasan berapa kali dalam satu menit, apa ada
rektraksi otot – otot bantu pernapasan, pada Auskultasi adakah suara
nafas tambahan ronchi atau wheezing.
2) (B2) Blood
Perlu dilakukan apakah ada penurunan kadar Hb, Ht, dan leukosit,
ketidakstabilan tekanan darah, nadi, distensi vena jugularis, adanya
suara jantung P2, S3, S4 menunjukkan insufisiensi mitral akibat
dilatasi bilik kiri atau disfungsi otot papilaris.
3) (B3) Brain
Status mental dan emosi: Kaji apakah ada perubahan status mental
pada klien, disorientasi, kestabilan emosi.
Fungsi psikomotor: apakah pasien mengalami kelemahan pada
ekstremitas atas dan bawah.
Psikosensori: apakah penglihatan mengalami gangguan, reflek pupil
dan kesimetrisan.
4) (B4)   Bladder
Kaji apakah terjadi nokturia (rasa  ingin kencing di malam hari),
terjadi karena perfusi ginjal dan curah jantung akan membaik saat
istirahat. Kaji pula apakah perlu dilakukan pemasangan kateter
terkait dengan kelelahan yang dialami oleh klien ADHF.
5) (B5) Bowel
Biasanya tidak mengalami gangguan buang air besar.
6) (B6) Bone
Adanya keterbatasan aktivitas akibat nyeri yang timbul serta
kelelahan dan apakah mengalami gangguan ekstremitas atas maupun
ekstremitas bawah.
14. Riwayat psikologis.
Dalam hal ini yang perlu dikaji adalah tanggapan pasien mengenai
penyakitnya dan bagaimana hubungan pasien dengan orang lain serta
semangat dan keyakinan  pasien untuk sembuh.
2. Diagnosa Keperawatan
Menurut Nanda (2015), diagnosa keperawatan yang mungkin
muncul, sebagai berikut.
1. Resiko penurunan curah jantung
2. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan peningkatan tekanan
kapiler paru
3. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan diafragma terdesak
karena splenomegali dan hepatomegali
4. Nyeri akut berhubungan dengan iskemik jaringan
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan berkurangnya suplai oksigen
6. Ansietas berhubungan dengan kondisi dan prognosis penyakit
7. Kurang pengetahuan berhubungan dengan kondisi dan prgnosis
penyakit
3. Intervensi Keperawatan
Diagnosa Keperawatan NOC NIC
Resiko penurunan curah 1. Cardiac pump effectiveness Cardiac Care
jantung 2. Circulation status 1. Evaluasi adanya nyeri dada (skala, intensitas, lokasi, durasi)
3. Vital sign status 2. Catat adanya tanda dan gejala penurunan kardiak output
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Monitor status pernapasan yang menandakan gagal jantung
diharapkan curah jantung kembali efektif dengan 4. Monitor balance cairan
kriteria hasil: 5. Monitor adanya perubahan tekanan darah
1. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (TD Vital sign Monitor
120-80 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR 16- 1. Monitor vital sign
20 x/menit, suhu 36,5-37,5 C) 2. Catat adanya fluktuasi tekanan darah
2. Tidak ada edema paru, perifer dan tidak ada 3. Monitor kualitas nadi
asites 4. Monitor bunyi jantung
3. Tidak ada penurunan kesadaran 5. Monitor suara paru
6. Monitor pola pernapasan abnormal
Gangguan pertukaran gas 2. Respiratory status: ventilation Airway Management
berhubungan dengan 3. Respiratory status: airway patency 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
peningkatan tekanan kapiler 4. Vital sign status 2. Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas tambahan
paru Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Berikan bronkodilator bila perlu
diharapkan pola napas klien kembali efektif 4. Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan
dengan kriteria hasil: 5. Monitor respirasi dan status O2
1. Menunjukkan jalan napas yang paten Oxygen therapy
2. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 1. Kaji fungsi pernapasan, catat klien, sianosis dan perubahan
napas yang bersih (vesikuler), tidak ada tanda vital
sianosis dan dyspneu 2. Berikan posisi semi fowler
3. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (TD 3. Berikan terapi oksigen sesuai dosis
120-80 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR 16- 4. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
20 x/menit, suhu 36,5-37,5 C) 5. Kolaborasi dalam tindakan torakosintesis
Ketidakefektifan pola nafas 5. Respiratory status: ventilation Airway Management
berhubungan dengan 6. Respiratory status: airway patency 1. Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
peningkatan cairan dalam 7. Vital sign status 2. Auskultasi suara napas, catat adanya suara napas tambahan
pleura, penurunan ekspansi Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3. Berikan bronkodilator bila perlu
paru ditandai dengan diharapkan pola napas klien kembali efektif 4. Atur intake cairan untuk mengoptimalkan keseimbangan
peningkatan frekuansi dengan kriteria hasil: 5. Monitor respirasi dan status O2
pernapasan, pernapasan cuping 4. Menunjukkan jalan napas yang paten Oxygen therapy
hidung, dan penggunaan otot 5. Mendemonstrasikan batuk efektif dan suara 6. Kaji fungsi pernapasan, catat klien, sianosis dan perubahan
bantu pernapasan. napas yang bersih (vesikuler), tidak ada tanda vital
sianosis dan dyspneu 7. Berikan posisi semi fowler
6. Tanda-tanda vital dalam rentang normal (TD 8. Berikan terapi oksigen sesuai dosis
120-80 mmHg, nadi 60-100 x/menit, RR 16- 9. Monitor adanya kecemasan pasien terhadap oksigenasi
20 x/menit, suhu 36,5-37,5 C) 10. Kolaborasi dalam tindakan torakosintesis
Nyeri akut berhubungan 1. Pain level Pain Management
dengan iskemik jaringan 2. Pain control 1. Lakukan pengkajian nyeri secara komprehensif (lokasi,
3. Comfort level karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas, dan faktor
Setelah dilakukan tindakan keperawatan presipitasi).
diharapkan nyeri klien dapat teratasi dengan 2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.
kriteria hasil: 3. Gunakan teknik komunikasi terapeutik untuk mengetahui
1. Mampu mengontrol nyeri pengalaman nyeri pasien.
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan 4. Pilih dan lakukan penanganan nyeri (farmakologi dan non
menggunakan manajemen nyeri farmakologi).
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intensitas, 5. Ajarkan tentang teknik nonfarmakologi.
frekuensi, dan tanda nyeri) 6. Tingkatkan istirahat.
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri Analgesic Administration
berkurang 1. Tentukan lokasi, karakteristik, kualitas dan derajat nyeri
sebelum pemberian obat.
2. Cek riwayat alergi.
3. Cek instruksi dokter tentang jenis obat, dosis dan frekuensi.
4. Tentukan analgesik pilihan, rute pemberian, dan dosis
optimal.
5. Evaluasi efektivitas analgesik, tanda dan gejala.
Ansietas berhubungan dengan 1. Anxiety self-control Anxiety Reduction (Penurunan Kecemasan)
situasi krisis (Pre Op). 2. Anxiety level 1. Gunakan pendekatan yang menenangkan
3. Coping 2. Jelaskan semua prosedur dan apa yang diharapkan selama
Setelah dilakukan tindakan keperawatan prosedur
diharapkan kecemasan klien berkurang dengan 3. Temani pasien untuk memberikan keamanan dan mengurangi
kriteria hasil: takut
1. Klien mampu mengidentifikasi dan 4. Dengarkan dengan penuh perhatian
mengungkapkan gejala cemas; 5. Instruksikan pasien untuk menggunakan tingkat relaksasi
2. Vital sign dalam batas normal;
3. Postur tubuh, ekspresi wajah, bahasa tubuh
dan tingkat aktivitas menunjukkan
berkurangnya kecemasan.
DAFTAR PUSTAKA

American Heart Association. 2014. Understanding Blood Pressure Readings.


[serial online] http://www.heart.org/HEARTORG/Conditions/HighBlood
Pressure/AboutHighBloodPressure/Understanding-Blood-PressureRead-
ings_UCM_301764_Article.jsp [22 maret 2017]

Baughman, D. C & Hackley, J. C. 2005. Keperawatan Medikal Bedah: Buku Saku


dari Brunner & Suddarth. Jakarta: EGC.

Brunner dan Suddarth. 2002. Keperawatan Medikal-Bedah Edisi 8. Jakarta:EGC.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Intervention Classification (NIC). Oxford: Elcevier

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., Dochterman, J. M., & Wagner, C. M. (2013).


Nursing Outcome Classification (NOC). Oxford: Elcevier

Corwin, E.J. 2009. Buku Saku Patofisiologi Corwin. Jakarta: Aditya Media.

Fathoni M. 2011. Penyakit Jantung Koroner. Surakarta : Universitas Sebelas


maret press.

Gibbs CR, Davies MK, Lip GYH. 2000. ABC of heart failure Management:
digoxin and other inotropes, beta blockers, and antiarrhythmic and
antithrombotic treatment. BMJ

Gordon F. T. dan Douglas P.Z. 2004. What Causes Sudden Death in Heart
Failure. Circulation Research.

Herdman, T. Heather. (2015). Diagnosa Keperawatan Definisi dan Klasifikasi


2015-2017. Jakarta: EGC
Ismir Fahri. 2010. Evaluasi Ekokardiografi pada Gagal Jantung Distolik.
Available from: http://www.kardiologi-ui.com/newsread.php?id=365 [22
maret 2017]

Karim S, Kabo P. 2002. EKG dan Penanggulangan Beberapa Penyakit Jantung


untuk Dokter Umum. Jakarta: Balai Penerbit FK UI..
Mansjoer, A., dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran Edisi 3 Jilid 1.Jakarta: Media
Aesculapius.

Patrick Davey. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

Price, S. & Wilson, L. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.


Edisi 6. Jakarta: EGC.

Smeltzer, S. C., dan Bare, B. G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal-Bedah


Brunner dan Suddart, Volume 1. Edisi 8. Alih bahasa oleh Agung Waluyo,
dkk. Jakarta: EGC.

Tjay Tan Hoan dan Rahardja Kirana. 2007. Obat-Obat Penting: Jantung ed 6.
Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai