Definisi
Peritonitis adalah inflamasi peritonium (lapisan membran serosa yang melapisi rongga
abdomen dan menutupi visera abdomen) merupakan penyulit berbahaya yang dapat
terjadi dalam bentuk akut maupun kronis (Santosa Budi, 2005).
Peritonitis adalah peradangan yang biasanya disebabkan oleh infeksi pada selaput
rongga perut (peritoneum) lapisan membran serosa rongga abdomen dan dinding perut
sebelah dalam. Peradangan ini merupakan komplikasi berbahaya yang sering terjadi
akibat penyebaran infeksi dari organ-organ abdomen (misalnya, apendisitis, salpingitis),
rupture saluran cerna atau dari luka tembus abdomen (Brunner & Suddarth, 2002)
2. Etiologi
Penyebab utama peritonitis ialah spontaneous bacterial peritonitis (SBP) akibat penyakit
hati yang kronik. SBP (Spontaneous Bacterial Peritonitis) terjadi bukan karena infeksi
intraabdomen, namun biasanya terjadi pada pasien dengan asites akibat penyakit hati
kronik. Akibat asites akan terjadi kontaminasi hingga ke rongga peritoneal sehingga
menjadi translokasi bakteri menuju dinding perut atau pembuluh limfe mesenterium,
kadang-kadang terjadi pula penyebaran hematogen jika telah terjadi bakteremia.
Peritonitis juga biasanya disebabkan oleh:
1. Penyebaran infeksi dari organ perut yang terinfeksi. Yang sering menyebabkan
peritonitis adalah perforasi lambung, usus, kandung empedu atau usus buntu.
Sebenarnya peritonium sangat kebal terhadap infeksi. Jika pemaparan tidak
berlangsung terus menerus, tidak akan terjadi peritonitis dan peritonium cenderung
mengalami penyembuhan bila diobati.
2. Penyakit radang panggul pada wanita yang masih aktif melakukan kegiatan seksual
3. Infeksi dari rahim dan saluran telur, yang mungkin disebabkan oleh beberapa jenis
kuman (termasuk yang menyebabkan gonore dan infeksi chlamidia)
4. Kelainan hati atau gagal jantung, dimana cairan bisa berkumpul di perut (asites) dan
mengalami infeksi
5. Peritonitis dapat terjadi setelah suatu pembedahan. Cedera pada kandung empedu,
ureter, kandung kemih atau usus selama pembedahan dapat memindahkan bakteri
ke dalam perut. Kebocoran juga dapat terjadi selama pembedahan untuk
menyambungkan bagian usus.
6. Dialisa peritoneal (pengobatan gagal ginjal) sering mengakibatkan peritonitis.
Penyebabnya biasanya adalah infeksi pada pipa saluran yang ditempatkan di dalam
perut.
7. Iritasi tanpa infeksi. Misalnya peradangan pankreas (pankreatitis akut) atau bubuk
bedak pada sarung tangan dokter bedah juga dapat menyebabkan peritonitis tanpa
infeksi.
Tanda-tanda peritonitis relatif sama dengan infeksi berat yaitu demam tinggi atau
pasien yang sepsis bisa menjadi hipotermia, takikardi, dehidrasi hingga menjadi
hipotensi. Nyeri abdomen yang hebat biasanya memiliki punctum maximum ditempat
tertentu sebagai sumber infeksi. Dinding perut akan terasa tegang karena mekanisme
antisipasi penderita secara tidak sadar untuk menghindari palpasinya yang
menyakinkan atau tegang karena iritasi peritoneum. Pemeriksaan-pemeriksaan klinis ini
bisa jadi positif palsu pada penderita dalam keadaan imunosupresi (misalnya diabetes
berat, penggunaan steroid, pascatransplantasi, atau HIV), penderita dengan penurunan
kesadaran (misalnya trauma cranial, ensefalopati toksik, syok sepsis, atau penggunaan
analgesic), penderita dengan paraplegia dan penderita geriatric.
4. Kalsifikasi
Bila ditinjau dari penyebabnya, infeksi peritonitis terbagi menjadi:
a. Penyebab Primer (Peritonitis Spontan)
Peritonitis primer biasanya disebabkan oleh penyakit hati. Cairan menumpuk di
perut, menciptakan lingkungan yang utama untuk pertumbuhan bakteri.
Peritonitis bakterial primer dibagi menjadi dua, yaitu:
Spesifik : misalnya Tuberculosis
Non spesifik: misalnya pneumonia non tuberculosis an Tonsilitis.
Faktor resiko yang berperan pada peritonitis ini adalah adanya malnutrisi,
keganasan intraabdomen, imunosupresi dan splenektomi.
Kelompok resiko tinggi adalah pasien dengan sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik,
lupus eritematosus sistemik, dan sirosis hepatis dengan asites.
c. Penyebab Tersier (infeksi rekuren atau persisten sesudah terapi awal yang
adekuat)
Peritonitis tersier dapat terjadi karena infeksi peritoneal berulang setelah
mendapatkan terapi SBP atau peritonitis sekunder yang adekuat, sering bukan
berasal dari kelainan organ. Pasien dengan peritonitis tersier biasanya timbul abses
atau flegmon, dengan atau tanpa fistula. Peritonitis tersier timbul lebih sering pada
pasien dengan kondisi komorbid sebelumnya dan pada pasien yang
imunokompromais.
5. Patofisiologi
Terlampir
6. Pemeriksaan Penunjang
I. Pemeriksaan Fisik
- Adanya acites
- Penderita tampak pucat
- Penderita tampak lemah
- Penderita tampak menangis kesakitan
- Membran mukosa kering
- Penderita tampak sesak
- Penderita tampak kurus
II. Pemeriksaan Penunjang
- Tes Darah : untuk melihat apakah ada bakteri yang ada dalam darah
- Sampel cairan dari perut : identifikasi bakteri yang menyebabkan infeksi
- CT scan : mengidentifikasi fluida diperut, atau organ yang terinfeksi
- Laboratorium : ditemukan adanya lekositosis, hemtokrit yang meningkat dan
asidosis metabolik
Pada peritonitis tuberculosa cairan peritoneal mengandung banyak protein (lebih
dari 3 gram/100 ml) dan banyak limfosit; basil tuberkel diidentifikasi dengan
kultur. Biopsi peritoneum per kutan atau secara laparoskopi memperlihatkan
granuloma tuberkuloma yang khas, dan merupakan dasar diagnosa sebelum
hasil pembiakan didapat.
- Pemeriksaan X-Ray
Ileus merupakan penemuan yang tidak khas pada peritonitis; usus halus dan
usus besar berdilatasi. Udara bebas dapat terlihat pada kasus-kasus perforasi.
- Gambaran Radiologis
Pemeriksaan radiologis merupakan pemeriksaan penunjang untuk pertimbangan
dalam memperkirakan pasien dengan abdomen akut. Pada peritonitis dilakukan
foto polos abdomen 3 posisi, yaitu :
1. Tiduran telentang ( supine ), sinar dari arah vertikal dengan proyeksi
anteroposterior ( AP ).
2. Duduk atau setengah duduk atau berdiri kalau memungkinkan, dengan sinar
horizontal proyeksi AP.
3. Tiduran miring ke kiri (left lateral decubitus = LLD), dengan sinar horizontal,
proyeksi AP.
Sebaiknya pemotretan dibuat dengan memakai kaset film yang dapat mencakup
seluruh abdomen beserta dindingnya. Perlu disiapkan ukuran kaset dan film
ukuran 35 x 43 cm.
Sebelum terjadi peritonitis, jika penyebabnya adanya gangguan pasase usus
(ileus) obstruktif maka pada foto polos abdomen 3 posisi didapatkan gambaran
radiologis antara lain:
1. Posisi tidur, untuk melihat distribusi usus, preperitonial fat, ada tidaknya
penjalaran. Gambaran yang diperoleh yaitu pelebaran usus di proksimal
daerah obstruksi, penebalan dnding usus, gambaran seperti duri ikan
(Herring bone appearance),
2. Posisi LLD, untuk melihat air fluid level dan kemungkinan perforasi usus. Dari
air fluid level dapat diduga gangguan pasase usus. Bila air fluid level pendek
berarti ada ileus letak tinggi, sedang jika panjang – panjang kemungkinan
gangguan di kolon. Gambaran yang diperoleh adalah adanya udara bebas
infra diafragma dan air fluid level.
3. Posisi setengah duduk atau berdiri. Gambaran radiologis diperoleh adanya
air fluid level dan step ladder appearance.
Jadi gambaran radiologis pada ileus obstruktif yaitu adanya distensi usus partial,
air fluid level, dan herring bone appearance.
Sedangkan pada ileus paralitik didapatkan gambaran radiologis yaitu:
1. Distensi usus general, dimana pelebaran usus menyeluruh sehingga kadang
– kadang susah membedakan anatara intestinum tenue yang melebar atau
intestinum crassum.
2. Air fluid level
3. Herring bone appearance
Bedanya dengan ileus obstruktif : pelebaran usus menyeluruh sehingga air fluid
level ada yang pendek –pendek (usus halus) dan panjang – panjang (kolon)
karena diameter lumen kolon lebih lebar daripada usus halus. Ileus obstruktif bila
berlangsung lama dapat menjadi ileus paralitik.2
Pada kasus peritonitis karena perdarahan, gambarannya tidak jelas pada foto
polos abdomen. Gambaran akan lebih jelas pada pemeriksaan USG
(ultrasonografi).
Gambaran radiologis peritonitis karena perforasi dapat dilihat pada pemeriksaan
foto polos abdomen 3 posisi. Pada dugaan perforasi apakah karena ulkus
peptikum, pecahnya usus buntu atau karena sebab lain, tanda utama radiologi
adalah :
1. Posisi tiduran, didapatkan preperitonial fat menghilang, psoas line
menghilang, dan kekaburan pada cavum abdomen.
2. Posisi duduk atau berdiri, didapatkan free air subdiafragma berbentuk bulan
sabit (semilunair shadow).
3. Posisi LLD, didapatkan free air intra peritonial pada daerah perut yang paling
tinggi. Letaknya antara hati dengan dinding abdomen atau antara pelvis
dengan dinding abdomen.
Jadi gambaran radiologis pada peritonitis yaitu adanya kekaburan pada cavum
abdomen, preperitonial fat dan psoas line menghilang, dan adanya udara bebas
subdiafragma atau intra peritoneal.
7. Penatalaksanaan
8. Asuhan Keperawatan
A. Pengkajian
1. Keadaan umum
Meliputi kondisi seperti tingkat kesadaran kualitatif atau GCS dan respon verbal
klien
2. Riwayat penyakit sekarang
Peritonitis dapat terjadi pada seseorang dengan peradangan iskemia, peritoneal
diawali terkontaminasi material, sindrom nefrotik, gagal ginjal kronik, SLE dan sirosis
hepatis dengan asites
3. Riwayat penyakit keluarga
Secara patologi peritonitis tidak diturunkan, namun jika peritonitis ini disebabkan
oleh bakterial primer seperti Tubercolosis, maka kemungkinan diturunkan ada
4. Pemeriksaan Fisik
- Pernafasan
Pola nafas irreguler ( RR> 20x/menit), dispnea, retraksi otot bantu pernafasan
serta menggunakan otot bantu nafas
- Kardiovaskular
Mengalami takikardi karena mediator inflamasi dan hipovolemia vaskuler. Irama
jantung irreguler akibat syok.
- Persarafan
Tidak mengalami gangguan pada otak namun hanya mengalami penurunan
kesadaran
- Perkemihan
Penurunan produksi urin
- GIT
Mengalami anoreksia dan nausea. Distensi abdomen, BU menurun dan gerakan
peristaltik usus turun (<12x/menit)
- Muskuloskeletal dan Integumen
Penderita peritonitis mengalami letih, sulit berjalan, nyeri perut dengan aktivitas.
Kemampuan pergerakan sendi terbatas, kekuatan otot mengalami kelelahan, dan
turgor kulit menurun akibat kekurangan volume cairan.
B. Masalah Keperawatan
PRE OP
I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit.
II. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
mual,muntah, anoreksia.
III. Hipertermi berhubungan dengan proses peradangan.
IV. Resiko infeksi berhubungan dengan kemungkinan ruptur.
POST OP
I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik
II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
III. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur invasif.
IV. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan fisik.
Pre Operasi
Dx I. Nyeri akut berhubungan dengan proses penyakit
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Kegelisahan atau keteganganotot
4. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
5. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
3. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru
Post Operasi
Dx. I. Nyeri berhubungan dengan agen cedera fisik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan nyeri dapat berkurang
atau hilang.
NOC : Level nyeri, kriteria hasil:
1. Nyeri berkurang
2. Ekspresi nyeri lisan atau pada wajah
3. Mempertahankan tingkat nyeri pada skala 0-10.
4. Menunjukkan teknik relaksasi yang efektif untuk mencapai kenyamanan.
NIC: Penatalaksanaan nyeri
1. Lakukan pengkajian nyeri, secara komprhensif meliputi lokasi, keparahan.
2. Observasi ketidaknyamanan non verbal
3. Gunakan pendekatan yang positif terhadap pasien, hadir dekat pasien untuk
memenuhi kebutuhan rasa nyamannya dengan cara: masase, perubahan posisi,
berikan perawatan yang tidak terburu-buru
4. Kendalikan factor lingkungan yang dapat mempengaruhi respon pasien
terhadap ketidaknyamanan
5. Anjurkan pasien untuk istirahat dan menggunakan tenkik relaksai saat nyeri.
6. Kolaborasi medis dalam pemberian analgesic.
Dx II. Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan asupan cairan yang tidak
adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan keseimbangan cairan
pasien normal dan dapat mempertahankan hidrasi yang adekuat.
NOC : Fluid balance, kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ urine normal,
HT normal
2. Tekanan darah, nadi, suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi, elastisitas, turgor kulit, membran mukosa
lembab,
4. Tidak ada rasa haus yang berlebihan
NIC : Fluid Management
1. Pertahankan catatan intake dan output yang akurat
2. Monitor vital sign dan status hidrasi
3. Monitor status nutrisi
4. Awasi nilai laboratorium, seperti Hb/Ht, Na+ albumin dan waktu pembekuan.
5. Kolaborasikan pemberian cairan intravena sesuai terapi.
6. Atur kemungkinan transfusi darah.
Brunner & Suddarth. Texbook of Medical Surgical Nursing Fifth edition IB. Lippincott
Company. Philadelphia. 1984.
Doenges, Marilynn E. et all. 1999. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC.
Johnson, Marion et all. 2000. Iowa Intervention Project Nursing Outcomes Classification
(NOC). St. Louis : Mosby Inc.
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : Media Aesculapius.
Smeltzer C. Suzanne, Bare G. Brendo. 2002. Keperawatan Medikal Bedah, vol. 3, EGC :
Jakarta.
Hall and Guyton. 1997. Fisiologi Kedokteran, EGC : Jakarta.
Noer Sjaifullah H. M. 1999. Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, FKUI, Jakarta.